Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sumpah merupakan syariat Islam yang diperbolehkan dalam Islam adapun


nama lain dari sumpah Al-Yamin dan Al-Qosam para ulama berbeda pendapat
tentang sumpah ini. Lafal Aiman dengan dibaca fat-hah huruf hamzah adalah bentuk
jamak lafal Yamin. Adapun asalnya menurut bahasa, adalah tangan kanan, kemudian
diucapkan atas suatu sumpah. Sedangkan menurut sarah, sesuatu yang cenderung
bertentangan atau mengukuhkannya dengan menyebut nama Allah Ta‟ala atau satu
sipat dari sifat-sifat Dzat-Nya (Ahmad sunarto, terjemah fat-hul qorib, dalam Al-
hidayah surabaya, 1992, H. 236).

Suatu sumpah tidak dianggap positif, kecuali dengan menyebut nama Allah
Ta‟ala, yakni menyebut dengan Dzat-Nya misalnya yang bersumpah mengucapkan;
“Demi Allah” dengan suatu nama dari beberapa nama Allah yang sudah ditentukan,
yang tidak boleh digunakan selain Allah, misalnya ahaliqil khalqi(pencipta mahluk)
atau menyebut dari satu sipat, sipat-sipat Dzat-Nya, yang sipat tersebut ada pada
Dzat-Nya. Ketentuan yang bersumpah adalah setiap mukalaf yang sadar
mengucapkan dengan sengaja untuk sumpah. Barang siapa bersumpah
menyedekahkan hartanya, misalnya mengucapkan; “bagi Allah atas diriku. karna
keras kepala dan emosi, maka yang bersumpah atau bernazar diperbolehkan apa
memenuhi apa yang ia sumpahkan dan menetapkannya dengan tujuan nazar dari
hartanya yang disedekahkan, atau membayar kafarat sumpah menurut pendapat yang
lebih terang. Menurut suatu pendapat bagidia wajib memenuhi apa yang ditetapkan.

Muhamad Soleh menafsirkan tentang hal yang telah telanjur lisan


mengucapkan sumpah tanpa ada kesengajaan, misalnya ucapan orang yang sedang
dalam keadaan marah atau tergesa-gesa secara kebetulan menggunakan kata; “Demi
Allah” dan dalam waktu yang lain tidak menggunakan kata “Demi Allah”. Lafal-lafal
sumpah dengan menyebut nama Allah Ta‟ala, yakni menyebut dengan Dzat-Nya

1
misalnya yang bersumpah mengucapkan; “Wau Al-Allahi, Bi Al-Allahi, Ta AlAllahi
Li Al-Allahi” ( Muhamad Soleh, Murod Al-Awamil, dalam Toko Kitab Kaero, H.3)

Barang siapa bersumpah, bahwa dia tidak akan berbuat sesuatu, misalnya
menjual hambanya, kemudian menyuruh orang lain mengerjakanya, dengan menjual
hamba yang bersumpah, bukan berarti menerjang (melanggar) sumpahnya, kecuali
yang bersumpah bermaksud tidak akan melakukan, begitu juga orang lain, maka
berarti menerjang sumpahnya sebab perbutan orang yang di perintah.

Yahya menyampaikan kepadaku hadist dari Malik, dari Nafi bahwa Abdullah
ibn Umar bahwa suatu ketika Rasulallah SAW. Berbicara kepada Umar Ibnu Al-
Khattab ketika iya sedang melakukan perjalanan dalam suatu ekspedisi dan Umar
bersumpah demi bapaknya, ia (Rasul) berkata: “Allah melarangmu bersumpah demi
bapakmu, jika seorang bersumpah, surulah ia bersumpah demi Allah atau tetap
diam”.

Yahya meyampaikan kepadaku hadist dari Malik, dari Nafi‟ bahwa Abdullah
Ibn Umar berkata: “jika seseorang melanggar suatu sumpah yang telah ia tegaskan,
maka ia membebaskan seorang budak, atau memberi pakaian 10 orang miskin, jika
seorang melanggar sebuah sumpah yang belum ia tegaskan, maka ia harus memberi
makan 10 orang miskin dan setiap orang diberi makan satu mudd gandum. Seseorang
yang tidak memiliki sesuatu untuk itu, maka ia harus berpuasa selama tiga hari”.
Malik berkata bahwa seseorang yang mempersembahkan seruruh hartanya dijalan
Allah, dan kemudian ia melangagar sumpahnya, maka ia harus menyerahkan
sepertiga dari hartanya dijalan Allah karna itulah yang dilakukan Rasulallah SAW.
Dalam kasus Abu Lubaba.

Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dari hadist Abdurahman bin
Samarah; Barang siapa bersumpah atas sebuah sumpah, lalu ia berpendapat bahwa
yang lainnya lebih baik dari itu, maka hendaknya dia mendatangkan yang baik itu,
lalu membayar kafarat atas sumpahnya tersebut. Akan tetapi, didalam Islam,
seseorang tidak bisa begitu saja menarik lagi sumpah, nadzar, dan lafal-lafal yang

2
diucapkan. Sebaliknya lafal-lafal tersebut telah menjadi beban bagi dirinya sejak saat
ia di ucapkan.

Ulama berselisih pendapat tentang kewajiban memutuskan perkara dengan


qosamah, secara garis besar dikatakan oleh Imam Malik, Imam Syfi‟i, Imam Abu
Hanifah, Iamam Ahmad, Sufyan, Daud dan murid-muridnya, dan ulama kota besar
lainya, tetapi menurut sebagian ulam seperti Salim bin Abdullah, Ulayah, Abu
Qilamh, Umar bin Abdul Aziz, memutuskan perkara berdasarkan qosamah tidak
boleh, Dalam hal ini mayoritas ulama berpedoman pada riwayat dari Nabi SAW,
yakni hadist Huaishah dan Muhaisahah yang telah disepakati keshahihannya oleh
ulama ahli hadist.

Alasan ulama-ulama yang menafikan qosamah, karna dianggap bertentangan


dengan hukum-hukum dasar syariat yang telah disepakati keshahiannya. Antara lain
disebutkan, seseorang diperbolehkan bersumpah berdasarkan hal-hal yang
diketahuinya secara pasti, atau yang dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Itulah
sebabnya Al-Bukhori meriwayatkan Atsar dari Abu Qilabah, bahwa pada suatu hari
sang umar bin Abdul Aziz mengungkapkan isi hatinya kepada orang bayak dan
memperkenankan mereka untuk menemuinya dan merkapun menemuinya. Sang
khalifah bertaya, “Bagaimana menurut kalian tentang qosamah?”Setelah diam
beberapa saat, mereka menjawab, “Menurut kami memutuskan qishash berdasarkan
qasamah sudah benar, dan itulah yang biasa dilakukan oleh para khalifah.” Ia
menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, disekitar Anda ada beberpa bangsawan arab
dan perwira-perwira. Bagai mana menurut Anda kalau ada lima puluh orang bersaksi
bahwa seseorang telah berbuat zina, meskipun mereka tidak melihatnya sendiri.
apakah anda akan meranjamnya?” sang khlifah menjawab, “tidak” Ia bertaya,
“bagaimana menurut anda, jika ada lima puluh orang bersaksi kepada anda bahwa
seseorang telah mencuri di kota Hamas, tetapi mereka tidak melihatnya sendiri,
apakah anda akan memotong tangannya?” sang khlafah menjawab, “tidak”.

Apabila orang bersumpah menggunakan pernyataan yang bisa menjadi


sebagai sumpah, kemudian mengatakan, “saya tidak memaksudkannya sebagai

3
sumpah” maka perkataannya yang akhir tidak bisa diterima. Apabila dibelakang
sumpahnya mengtakan “Insya Allah” ( jika Allah menghendakinya) serta ia
memaksudkan lafal itu dan pengecualian dalam ma‟na sumpah diucapkan, dan
pengecualian itu bersambungan dengan sumpah, maka sumpah tidak terjadi
penghianatan sumpah maupun kewajiban kaffarah sumpah, jikalau ia tidak
mengucapkan pengecualian tetapi meniatkan didalam hatinya, maka secara lahir tidak
bisa terlelakan adanya penghiantan dan kaffarah, tetapi (secara batin ia dihukumi
menurut apa yang sebetulnya terjadi dalam hatinya. Apabila mengtakan kepada orang
lain “saya menyumpah engkau demi Allah” atau “ demi Allah saya minta kepadamu
agar melakukan bener-bener begini” dan ia bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri.

Bilamana tidak bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, atau bila bermaksud
permohonan syfa”at (Kepada Allah) atau menyumpah orang yang diajak bicara atau
tidak memaksudkan apa-apa (yaitu mutlaq) maka sumpah tidak menjadi, karna ia
tidak bersumpah dan juga si orang-orang yang diajak bicara. Begitu bayaknya jenis
sumpah dalam Islam dengan hukum yang berbeda-beda memungkinkan sumpah bisa
terjadi dikalangan masyarakat dalam dunia sosial, ekonomi dan pendidikan maupun
dalam keluarga. Berdasarkan latar belakang penulis telah mengambil sebuah topik
yang dijadikan sebuah makalah dengan judul “SUMPAH (AINAN)”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari sumpah?
2. Bagaimana adab dalam bersumpah?
3. Jelaskan macam-macam sumpah?
4. Bagaimana kaffarat (denda) dari sumpah?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk menjelaskan definisi dari sumpah.
2. Untuk menjelaskan adab bersumpah dalam islam.
3. Untuk mengetahui macam-macam sumpah.
4. Untuk mengetahui kaffarat (denda) dari sumpah
5. .

4
1.4 Manfaat Makalah

Makalah ini memiliki manfaat yang diharapkan dapat berguna bagi semua
pihak baik secara teoritisnya maupun praktisnya. Adapun manfaat dari penelitian ini
adalah:

1. Secara teoritis diharapakan makalah ini mampu memberikan sumbangan ilmu


terutama ilmu dibidang munakahat bagaimana penjelasan mengenai sumpah
menurut tinjauan hukum Islam.
2. Secara peraktisnya diharapakan hasil makalah ini mampu memberikan
penjelasan yang baik mengenai sumpah yang nantinya dapat dimanfaatkan
dalam kehidupan sehari-hari.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sumpah

Kata “aiman” adalah bentuk jamak dari yamin yang berarti tangan kanan.
Sumpah disebut tangan kanan karena jika orang-orang Arab saling bersumpah,
mereka saling berpegangan tangan kanan. Menurut istilah syar’i, sumpah artinya
menguatkan atau menegaskan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT.

2.2 Beberapa Adab Besumpah


1. Dimakhruhkan terlalu sering bersumpah

Allah Ta’ala telah mencela orang yang terlalu sering bersumpah dengan firman-
Nya:

ٍ ‫َّم ِه ْي ۙ ٍن َحاَّل‬
‫ف ُك َّل تُ ِط ْع َواَل‬
“Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka
menghina.” (Al- Qalam: 10)

Dan juga dengan firman-Nya:

‫اَ ْي َمانَ ُك ْم َواحْ فَظُ ْٓوا‬

“Dan jagalah sumpahmu.” (Al-Maidah:89)

Orang-orang Arab dahulu memuji orang yang jarang bersumpah. Hikmah dari
perintah meminimalkan kebiasaan bersumpah adalah menghindari hilangnya arti
sumpah. Maksudnya orang yang terlalu sering bersumpah dan telah menjadi
kebiasaannya, baik dalam perkara kecil maupun besar, biasanya akan kehilangan arti
sumpahnya.

2. Sumpah hanya dapat dilakukan dengan nama dan sifat Allah

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu‘anhu bahwa Rasulullah SAW pernah


menasehati ‘Umar bin Khaththab Radhiallahu‘anhu ketika ia bersumpah dengan

6
menyebut nama ayahnya ketika ia berada di atas binatang tunggangannya. Rasulullah
SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama nenek moyang


kalian. Barangsiapa ingin bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah
atau hendaklah ia diam.” (Al-Bukhari dan Muslim)

Dua faidah dalam hadits ini:

a. Kecaman atas bersumpah dengan selain Allah.

Hadits ini menyebutkan nenek moyang secara khusus , karena orang-orang


Arab dahulu suka bersumpah dengan nama nenek moyang mereka.

b. Barangsiapa bersumpah dengan sesuatu selain nama Allah meskipun nama


yang disebut pantas digunakan dan tidak dalam pengertian ibadah, seperti
malaikat, nabi, ulama, orang tua, Ka’bah dan lain-lain, tetap dianggap tidak
sah dan tidak berlaku (Fatwa Bari dan Majmu Fatawa).
3. Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah termasuk syirik

Ibnu ‘Umar Radhiallahu‘anhu menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:

‫ْش َرك فَقَ ْد هَّللا ِ بِ َغي ِْر َحلَفَ َم ْن‬

“Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau
musyirik.” (At-tarmidzi dan Abu Dawud)

Ibnu ‘Umar mengungkapkan hadits tersebut sebagai teguran terhadap orang


yang mengucapkan, “Tidak, demi Ka’bah.” Dengan demikian, engkau tidak boleh
bersumpah dengan menyebut Nabi, Ka’bah, kemuliaan, kenikmatan, dan lain-lain,
karena itu terlarang.

4. Jika tanpa sadar engkau terlanjur bersumpah dengan menyebut nama selain
Allah, maka ucapkanlah, “Laa ilaaha illaah (tidak ada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah).”

7
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

“Apabila ada seorang di antara kalian bersumpah dan mengucapkan dalam


sumpahnya, ‘Demi Lata (dan ‘Uzza),’ maka hendaklah ia mengucapkan, “Laa ilaaha
illaah (tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah).” (Al-Bukhari dan
Muslim)

5. Apabila engkau bersumpah bahwa engkau memeluk agama selain Islam,


walaupun engkau berdusta, maka statusmu seperti apa yang engkau ucapkan
dalam sumpah itu

Tsabit bin adh-Dhahak berkata, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang bersumpah dengan agama selain Islam, baik berdusta maupun
sengaja, maka keadaan dirinya sesuai dengan sumpah yang diucapkannya itu.” (Al-
Bukhari dan Muslin)

Gambarannya seperti berikut, seseorang bersumpah bahwa dirinya adalah


seorang Yahudi atau Nasrani, atau telah keluar dari agama Islam, baik untuk
perbuatan yang telah dan akan dilakukan, sengaja ataupun tidak sengaja, maka
sumpahnya tetap haram. Pernyataan sumpahnya tidak dianggap sumpah yang sah dan
tidak juga mengharuskan kaffarat.

6. Jika ada orang yang bersumpah kepadamu dengan menyebut nama Allah,
maka engkau harus menerima sumpahnya. Abu diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Isa bin Maryam pernah melihat seorang laki-laki sedang mencuri, maka ia
bertanya, ‘Apakah engkau tadi mencuri?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak, demi Rabb
yang tiada ilah yang pantas disembah kecuali Dia.’ Mendengar ucapan sumpah
orang tersebut, ‘Isa berkata, ‘Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan
penglihatanku.”

8
2.3 Macam-Macam Sumpah

Sumpah terbagi atas tiga macam:

1. Sumpah Laghwu

Maksudnya adalah sumpah yang biasa diucapkan oleh seseorang tanpa maksud
bersumpah, baik dengan kalimat untuk menyetujui atau menolak, seperti “Tidak,
demi Allah,” “Tentu, demi Allah,” dan “Demi Allah, engkau harus makan,” dan
sebagainya.

Sumpah seperti ini tidak berlaku, tidak ada konsekuensi hukum dan tidak
menuntut kaffarat (jika dilanggar). Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Allah tidak menghukummu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk


bersumpah), tetapi Allah menghukummu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja
(untuk bersumpah) oleh hatimu.” (Al-Baqarah: 225)

Sebagian ulama mengatakan, “Sumpah laghwu adalah sumpah yang


dinyatakan tentang sesuatu yang diyakini tetapi kenyataannya berbeda dengan apa
yang ia yakini sebelumnya.”

Dua pendapat tentang sumpah laghwu tidaklah memiliki perbedaan yang


berarti. Sumpah laghwu mencakup keduanya, karena menurut pendapat pertama,
orang tersebut sama sekali tidak memiliki maksud untuk bersumpah. Sedangkan
menurut pendapat kedua, orang tersebut hanya bermaksud untuk menunjukan
kebenaran.

2. Sumpah Palsu

Sumpah ini termasuk dosa besar. Sumpah palsu adalah sumpah dusta tentang
suatu perkara yang telah terjadi dengan tujuan untuk merampas hak orang lain.
Sumpah ini disebut juga yaminuz zuur (sumpah palsu) atau yaminul fajirah (sumpah
keji). Nabi SAW bersabda:

9
“Termasuk dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah (syirik), durhaka kepada
kedua orang tua, dan sumpah palsu.” (Shahih Al-Bukhari)

Sumpah palsu tidak dapat ditebus dengan kaffarat, karena dosanya terlalu
besar. Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu berkata, “Salah satu dosa besar yang kami
anggap tidak dapat ditebus dengan kaffarat adalah yamin ghamus.” Seseorang
bertanya, “Apakah yamin ghamus itu?” Ibnu Mas’ud menjelaskan, “Sumpah dusta
yang diucapkan oleh seseorang untuk merampas harta saudaranya.”

Dalam bahasa Arab, sumpah palsu ini disebut ghamus yang berarti “yang
membenamkan.” Kata ini memberikan makna bahwa sumpah palsu ini akan
membenamkan pelakunya ke dalam neraka Jahannam. Sumpah ini tidak dapat ditebus
dengan kaffarat. Pelakunya harus bertaubat dengan tulus dan mengembalikan harta
yang yang dirampas kepada pemiliknya jika sumpah tersebut menjadi penyebab
hilangnya hak orang lain. Sumpah dusta yang sering diucapkan seorang pedagang
untuk menaikkan mutu barangnya termasuk sumpah.

3. Sumpah biasa (yang sah)


Sumpah seperti ini diucapkan dengan menyebut Allah, salah satu nama atau
sifat-Nya untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan datang dengan sengaja,
tidak terpaksa, dan disertai keinginan yang kuat untuk melakukannya.

Sumpah ini wajib dipenuhi, artinya objek sumpah tersebut harus dikerjakan.
Jika tidak, maka engkau telah membatalkan sumpah dan wajib membayar kaffarat
sesuai ketentuan-ketentuan yang akan kami jelaskan pada pembahasan berikutnya.

Beberapa faidah:

1. Apabila ketika bersumpah engkau mengatakan, “Insya Allah,” maka engkau


tidak dianggap berdosa (jika membatalkannya).
Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya ia mengatakan, ‘Insya Allah,’ niscaya ia tidak berdosa (ketika
membatalkan sumpahnya). (Al-Bukhari dan Muslim)

10
Pengecualian (ucapan insya Allah) tersebut berlaku apabila diucapkan
langsung (bersambung) dengan sumpah agar kaffarat tidak berlaku.

2. Apabila engkau bersumpah melakukan sesuatu kemudian tidak melakukannya


karena lupa atau dipaksa (melanggarnya), maka engkau tidak dianggap
berdosa (dengan batalnya sumpah).

Jika engkau bersumpah untuk tidak mengerjakan sesuatu, kemudian engkau


mengerjakannya karena lupa, tidak sengaja, atau dipaksa, maka engkau tidak
dianggap berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.”
(Al-baqarah: 286)

3. Sumpah tidak boleh menjadi penghalang untuk berbuat baik. Maksudnya, jika
engkau bersumpah lalu mendapati pilihan lain yang lebih baik, maka
lakukanlah apa yang lebih baik dan bayarlah kaffarat atas sumpah yang telah
engkau ucapkan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang


untuk berbuat kebaikan, bertakwa, dan mengadakan ishlah diantara manusia.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengerahui.” (Al-Baqarah: 224)

Bahkan, seseorang wajib melanggar sumpahnya dan membayar kaffarat jika


sumpahnya itu berhubungan dengan isterinya dan membahayakan rumah tangganya.
Jika ia berkata, “Aku tidak akan membatalkan sumpahku, aku tidak mau dan takut
berdosa, “maka ia sebetulnya telah melakukan kesalahan. Justru dengan tetap
memenuhi sumpahnya dan membiarkan keluarganya tertimpa masalah, ia telah
berbuat dosa yang lebih besar.

4. Apakah sumpah berdasarkan niat orang yang bersumpah atau niat orang yang
memintanya bersumpah?

11
a. Apabila seseorang bersumpah dengan niat yang sesuai dengan sumpahnya,
maka hal itu ditetapkan sebagai sumpahnya. Karena segala perbuatan
tergantung pada niatnya.
b. Sumpah yang berkaitan dengan hak-hak manusia tergntung pada niat orang
yang menyuruhnya bersumpah. Jika seseorang bersumpah dengan
menggunakan tauriyah, seperti bersumpah dengan sesuatu tetapi yang ia
maksud adalah sesuatu yang bertentangan dengan ucapan sumpahnya, dengan
tujuan agar dapat mengambil hak orang lain, maka sumpah yang ia ucapkan
tidak berlaku.
5. Memenuhi sumpah orang lain.

Seandainya ada orang yang bersumpah agar engkau melakukan sesuatu yang
hukumnya mubah, maka engkau dianjurkan untuk memenuhi sumpahnya. Artinya,
engkau memenuhi sumpahnya agar orang tersebut terbebas dari sumpahnya.

6. Jika engkau bersumpah kepada seseorang agar melakukan sesuatu tetapi tidak
memenuhinya, apakah engkau harus membayar kaffarat? Jawabannya adalah
sebagai berikut:
a. Jika engkau berkata kepada seseorang, “Demi Allah, engkau akan melakukan
begini,” dengan maksud bersumpah, lalu tidak memenuhinya, maka engkau
dianggap telah berdosa (melanggar sumpah) dan harus membayar kaffarat.
b. Jika engkau mengatakan kepadanya, “Demi Allah, lakukanlah ini,” maka
ucapan seperti ini tidak termasuk sumpah, sehingga engkau tidak dianggap
berdosa (melanggar sumpah).
2.4 Kaffarat (Denda) Sumpah

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa jika engkau bersumpah, tetapi


melanggar sumpah tersebut, maka akan berdosa dan wajib membayar kaffarat.
Kaffarat bisa dibayar dengan salah satu dari apa yang tertera berikut:

1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa
diberikan kepada keluarga sendiri.

12
2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin.
3. Memerdekakan hamba sahaya.

Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga tersebut, maka bisa diganti dengan
berpuasa tiga hari. Puasa ini hanya boleh dilakukan jika engkau benar-benar tidak
sanggup melakukan ketiga hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman

”Allah tidak menghukummu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja


(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukummu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka(kaffaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kaffarat
sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah
Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur kepada-
Nya.” (Al-Ma’idah: 89)

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sumpah merupakan syariat Islam yang diperbolehkan dalam Islam adapun
nama lain dari sumpah Al-Yamin dan Al-Qosam. Menurut istilah syar’i,
sumpah artinya menguatkan atau menegaskan sesuatu dengan menyebut nama
Allah SW
2. Jika engkau bersumpah, tetapi melanggar sumpah tersebut, maka akan
berdosa dan wajib membayar kaffarat
3.2 Saran
1. Pembahsan mengenai sumpah (ainan) dalam makah ini masih memiliki

keterbatasan, oleh karena itu diperlukan pembahasan lanjutan yang lebih

mendalam baik dari sumber bacaan atau orang yang lebih paham dalam

pembahasan ini.

2. Diharapakan makalh ini dapat menambah wawasan dan pengeatahuan

mengenai sumpah dalam pandangan agama islam.

14
DAFTAR PUSTAKA

Fiqih Sunah Wanita

15

Anda mungkin juga menyukai