Anda di halaman 1dari 9

Tugas

Manajemen Bisnis Syariah

Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional

Dosen : Abdul Jalil,S.H.,M.A.

OLEH

NAMA : NURDILA

NIM : B1B121168

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang Akad Jual Beli

1. Murabahah
Pertama: Ketentuan Umum
1. Akad bai al-murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai laba
2. Penjual (al-Bar) adalah pihak yang melakukan penjualan barang dalam akad jual beli,
baik berupa orang (Sakhshiyah thabi’iyah natuurlijke persoon) maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
(Sakhshiyah tibariah syakhshiyah hukmiyah
3. Pembeli (al-Musyari) adalah pihak yang melakukan pembelian dalam akad jual beli,
baik berupa orang (Sakhshiyah thahi yah natuurlijke persoon) maupun yang
dipersamakan dengan orang baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
(Sakhshivah Tibariah syakhshiyah hukmiyah rechtsperson).
4. Wilayah ashliyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh penjual karena yang
bersangkutan berkedudukan sebagai pemilik.
5. Wilayah niyabiyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh penjual karena yang
bersangkutan berkedudukan sebagai wakil dari pemilik atau wali atas pemilik.
6. Musman/mahl adalah barang yang dijual: mursman mahi merupakan imbangan atas
saman yang dipertukarkan.
7. Ra’s mal al-murabahaha) adalah harga perolehan dalam akad jual beli murabahah
yang berupa harga pembelian (pada saat belanja) atau biaya produksi berikut biaya-
biaya yang boleh ditambahkan.
8. Txaman al-murabahah adalah harga jual dalam akad jual beli murabahah yang
berupa ra’s mul al-murahahah ditambah keuntungan yang disepakati.
9. Bai al-murabahah at adiyyah adalah akad jual beli murabahah yang dilakukan atas
barang yang sudah dimiliki penjual pada saat barang tersebut ditawarkan kepada
calon pembeli.
10. Bal’ al-murubalah li al-amir hi al-syira adalah akad jual beli murabahah yang
dilakukan atas dasar pesanan dari pihak calon pembeli.
11. Al-Tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) adalah murabahah yang
pembayaran harganya tidak tunai.
12. But al-muzayadah adalah jual beli dengan harga paling tinggi yang penentuan harga
(saman) tersebut dilakukan melalui proses tawar menawar.
13. Bai al-muraqashuk adalah jual beli dengan harga paling rendah yang penentuan
harga (tsuman) tersebut dilakukan melalui proses tawar menawar
14. Al-Bai al-hal (a) adalah jual beli yang pembayaran harganya dilakukan secara tunai.
15. Al-Bai’ bi altaqsith adalah jual beli yang pembayaran harganya dilakukan secara
angsur bertahap.
16. Bai’ al-muqashshah adalah jual beli yang pembayaran harrganya dilakukan melalui
perjumpaan utang.
17. Khiyanah/Tadlis adalah bohongnya penjual kepada pembeli terkait penyampaian
ra’s mal murabahah.

Kedua : Ketentuan terkait Hukum dan Bentuk Murabahah


Akad jual beli murabahah boleh dilakukan dalam bentuk bai’ al’ Murabahah al-‘adliyyah
maupun dalam bentuk bai’ al-murabahah li al-amir bi al-syira’.
Ketiga : Ketentuan terkait Shigat al-‘Aqd

1. Akad jual beli murabahah harus dinyatakan secara tegas dan jelas serta dipahami dan
dimengerti oleh penjual dan pembeli.
2. Akad jual beli murabahah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan
perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Dalam hal perjanjian jual beli murabahah dilakukan secara tertulis, dalam akta perjanjian
harus terdapat informasi mengenai harga perolehan (ra’s mal al-murabahafr),
keuntungarr (al-ribh), dan harga jual (tsaman al-murabahah).

Keempat : Ketentuan terkait Para Pihak


1. Jual beli boleh dilakukan oleh orang maupun yang dipersamakan dengan orang, baik
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Penjual (al-Ba’i’) dan pembeli (al-Musytarl) harus cakap hukum (ahliyah) sesuai dengan
syariah dan peratu-ran perundang-undanga yang berlaku;
3. Penjual (al-Ba’i) harus memiliki kewenangan (wilayah) untuk melakukan akad jual beli,
baik kewenangan yang bersifat ashliyyah maupun kewenangan yang bersifat niyabiyyah
ketentuan terkait niyabiyyah

Kelima : Ketentuan terkait Mutsman/mabi'i


1. Mutsman/mabi’boleh dalam bentuk barang dan/atau berbentuk hak yang dimiliki
penjual secara penuh (milk al-tam).
2. Mutsman/mab’i’ harus berupa barang dan/atau hak yang boleh dimanfaatkan menurut
syariah (mutaqawwam) dan boleh diperjualbelikan menurut syariah dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
3. Mutsman/mabi’i harus berwujud, jelas,pasti, tertentu dan dapat diserahterimakan
(qudrat al-taslim) pada saat akad jual beli murabahah dilakukan.
4. Dalam hal mabi’ berupa hak, berlaku ketentuan dan batasan sebagaimana ditentukan
dalam Fatwa MUI nomor I/MLTNAS VII/512A05 bntang Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keenam : Ketentuan terkait Ra’s Mal al-Murabahah

1. Ra’s mal al-murabahahharus diketahui (ma’lum) oleh penjual dan pembeli


2. Penjual (al-ba’i’) dalam akad jual beli murabahah tidak boleh melakukan tindakan
khiyanah/tadlis terkait ra’ s mal al-murabahah.

Ketujuh : Ketentuan terkait Tsama

1. Harga dalam akad jual beli murabahah (tsaman al-murabahah harus dinyatakan secara
pasti pada saat akad, baik ditentukan melalui tawar menawar, lelang, maupun tender.
2. Pembayaran harga dalam jual beli murabahah boleh dilakukan secara tuna (bai’ al-hal),
tangguh (bai’ al-mu’ajjal), bertahap/cicil (bai’ bi al-taqsith), dan dalam kondisi tertentu
boleh dengan cara perjumpaan utang (bai’ al-muqashshah) sesuai dengan kesepakatan.

Kedelapan : Ketentuan terkait Produk dan Kegiatan.


Murabahah yang direalisasikan dalam bentuk pembiayaan (al-tamwil bi Al-murabahah), ba;,k
al-murabahah li al-amir bi al-syira’ maupun almurabahah al-‘adiyah, berlaku ketentuan
(dhawabith) dan batasan (hudud) murabahah sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI
Nomor 04/DSN-MUI1|Y DAA} tentang Murabahah.

Kesembilan : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian
sengketa berdasarkan Syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Penerapan fatwa ini dalam kegiatan atau produk usaha wajib terlebih dahulu
mendapatkan opini dari Dewan Pengawas Syariah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
temyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Murabahah adalah akad yang dijalankan menggunakan instrumen jual beli dengan
mengambil keuntungan

2. Akad Mudharabah
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH
Pertama : Ketentuan Umum
1. Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal
(malik/shahib al-mal) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola
(amil/mudharth) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang
disepakati dalam akad.
2. Shahib ul-mal malik () adalah pihak penyedia dana dalam usaha kerja sama usaha
mudharabah, baik berupa orang (Sakhshiyah thabitah natuurlijke persoon) maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak Isyakhshiyah
rechtsperson). Berbadan hukum (Syakhshiyah tibariah ‫ االعتبارية‬hakimiah ‫الحكمية الشخصية‬
‫الشخصية‬
3. Amil mudharib (a) adalah pihak pengelola dana dalam usaha kerja sama usaha
mudharabah, baik berupa orang (syakhshiyah thabitvah natuurlijke persoon) maupun
yang disamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
(syakhshiyah i’tibariah/syakhshiyah hukmiyah Rechtsperson).
4. Ra’s mal al-mudharabah (3) adalah modal usaha dalam usaha kerja sama mudharabah.
5. Nisbah bagi hasil adalah nisbah atau perbandingan yang dinyatakan dengan angka
seperti persentase untuk membagi hasil usaha.
6. Mudharabah-muqayyadah (a) adalah akad mudharabah yang dibatasi jenis usaha, jangka
waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
7. Mudharabah-muthlaqah (a) adalah akad mudharabah yang tidak dibatasi jenis usaha,
jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
8. Mudharabah-tsunayyah ) adalah akad mudharabah yang dilakukan secara langsung
antara shahib al-mul dan mudharib.
9. Mudharabah-musyarakah (5) adalah akad mudharabah yang pengelolanya (mudharth)
turut menyertakan modalnya dalam kerja sama usaha.
10. Tugwim al urudh adalah penaksiran barang yang menjadi ra’s al mal untuk diketahui nilai
atau harganya.
11. Keuntungan usaha (ur-ribh) mudharabah adalah pendapatan usaha berupa
pertambahan dari investasi setelah dikurangi modal. Atau modal dan biaya-biaya.
12. Kerugian usaha (al-khasarah) mudharahah adalah hasil usaha, di mana jumlah modal
usaha yang diinvestasikan mengalami penurunan atau jumlah modal dan biaya-biaya
melebihi jumlah pendapatan
13. At-ta di adalah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan
14. Ar-tagshir adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan.
15. Mukhalafat asy-syuruth adalah menyalahi isi dan/atau substansti atau syarat-syarat yang
disepakati dalam akad.

Kedua : Ketentuan Hukum Bentuk Mudharabah

Mudharahah boleh dilakukan dalam bentuk-bentuk berikut.

1. Mudharabah-muqayyadah.
2. Mudharabah-muthlaqah
3. Mudharabah-tsuna “byyah
4. Mudharabah-musyarakah

Ketiga : Ketentuan Shighat Akad

1. Akad mudharahah harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah dipahami dan
dimengerti serta diterima para pihak.
2. Akad mudharabah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat,dan perbuatan
tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Mudharih dalam akad mudharabah tsuna iyyah tidak boleh melakukan
mudharahah ulang (mudharib yudharth) kecuali mendapatkan izin dari shahih
al-mal.

Keempat: Ketentuan Para Pihak

1. Shahih al-mal dan mudharib boleh berupa orang (syahshiyah Thabi iyak
natuurlijke persoon) maupun yang disamakan dengan orang, baik berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum (syakhshiyah tibariah yakhshiyah
hukmiyah rechtsperson)
2. Shahib al-mal dan mudharib wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Shakib al-mal wajib memiliki modal yang diserahterimakan kepada Midharib.
4. Mudhurib wajib memiliki keahlian keterampilan melakukan usaha dalam rangka
mendapatkan keuntungan

Kelima : Ketentuan terkait Ra’s al-Mal

1. Modal usaha mudharabah harus diserahterimakan (al-taslim) secara bertahap


atau tunai sesuai kesepakatan.
2. Modal usaha mudharabah pada dasarnya wajib dalam bentuk uang, namun
boleh juga dalam bentuk barang atau kombinasi antara uang dan barang.
3. Jika modal usaha dalam bentuk barang, wajib dilakukan taqwim al uruh pada
saat akad.
4. Modal usaha yang diserahkan oleh shahib al-mal wajib dijelaskan jumlah nilai
nominainya.
5. Jenis mata uang yang digunakan sebagai ru’s al-mal wajib disepakati oleh para
pihak (shahih al-mal dan mudharib).
6. Jika shahib al-mal menyertakan ra’s al-mul berupa mata uang yang berbeda,
wajib dikonversi ke dalam mata uang yang disepakati sebagai ra’s al-mal pada
saat akad
7. Ra’s al-mal tidak boleh dalam bentuk piutang.

Keenam : Ketentuan terkait Nisbah Bagi Hasil

1. Sistem/metode pembagian keuntungan harus disepakati dan dinyatakan secara


jelas dalam akad.
2. Nisbah bagi hasil harus disepakati pada saat akad.
3. Nisbah bagi hasil sebagaimana angka 2 tidak boleh dalam bentuk nominal atau
angka persentase dari modal usaha.
4. Nisbah bagi hasil sebagaimana angka 2 tidak boleh menggunakan angka
persentase yang mengakibatkan keuntungan hanya dapat diterima oleh salah
satu pihak; sementara pihak lainnya tidak berhak mendapatkan hasil usaha
mharabah.
5. Nisbah bagi hasil boleh diubah sesuai kesepakatan.
6. Nisbah bagi hasil boleh dinyatakan dalam bentuk multinisbah

Ketujuh : Keentuan Kegiatan Usaha


1. Usaha yang dilakukan mudhurib harus usaha yang halal dan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang undangan
yang berlaku.
2. Mudharib dalam melakukan usaha madharahah harus atas nama entitas
mudharabah, tidak boleh atas nama dirinya sendiri.
3. Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas
malharabah, boleh dibebankan ke dalam entitas mudharabah
4. Muharih tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan, atau
menghadiahkan ra's al-mal dan keuntungan kepada pihak lain, kecuali
atas dasar izin dari shahih al-mal.
5. Mudharib tidak boleh melakukan perbuatan yang termasuk at ta'addi, at-
tagshir, dan/atau mukhalafat asy-syuruth

Kedelapan : Ketentuan terkait Pembagian Keuntungan dan Kerugian

1. Keuntungan usaha mudharabah harus dihitung dengan jelas untuk


menghindarkan perbedaan dan/atau sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian madharabah
2. Seluruh keuntungan harus dibagikan sesuai nisbah bagi yang telah
disepakati, dan tidak boleh ada sejumlah tertentu dari
keuntungan.yang ditentukan di awal hanya untuk shahib al-mal atau
mudhari.
3. Mudharib boleh mengusulkan kelebihan atau persentase keuntungan
untuk diberikan kepadanya jika keuntungan tersebut melebihi jumlah
tertentu.
4. Kerugian usaha mudharahah menjadi tanggung jawab shahib al mal
kecuali kerugian tersebut terjadi karena mudharih melakukan
tindakan yang termasuk at-ta'addi, at-taqshir, dan/atau mukhalafat
asy-syuruth, atau mudharih melakukan pelanggaran terhadap batasan
dalam mudharahah muqayyadah.
Kesembilan : Ketentuan Aktivitas dan Produk LKS
1. Jika akad mudharabah direalisasikan dalam bentuk pembiayaan
maka berlaku dhawahith dan hudud sebagaimana terdapat
dalam fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
2. Jika akad midharabah direalisasikan dalam bentuk madharabah
musyarakah maka berlaku dhuwabith dan hudud sebagaimana
terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 50/DSN-MUT/11/2006
tentang Akad Mutharabah Musyarakah
3. Jika akad matharabah direalisasikan dalam bentuk mudharabah
musyarakah pada aktivitas perasuransian syariah maka berlaku
dhawabith dan hudud sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN
MUI Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musyarakah pada Asuransi Syariah

Kesepuluh : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika


terrjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan
Syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Penerapan fatwa ini dalam kegiatan atau produk usaha wajib
terlebih dahulu mendapatkan opini dari Dewan Pengawas Syariah
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari temyata terdapat kekeliruan maka akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil-ardhi,yaitu berjalan di muka bumi yang pada
umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di
jalan Allah. Sedangkan menurut istilah fiqih, mudharabah adalah akad perjanjian (kerja sama
usaha) antara kedua belah pihak dimana ada satu pihak yang memberikan modal untuk
dikembangkan, kemudian keuntungannya dibagi dua. Mudharabah merupakan pembiayaan
yang sepenuhnya untuk memodali usaha.
Sebagai sebuah akad, Mudharabah memiliki lima rukun, yaitu:
1. Modal
2. Jenis usaha
3. Keuntungan
4. Pelafalan transaksi
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola

3. Akad Musyarakah
FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Beberapa Ketentuan:

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan

Kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a Penawaran dan penerimaan harus
secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad),

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

e. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau

dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. B. Setiap


mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan

Setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil

Dewan Syariah Nasional MUI

08 Pembiayaan Musyarakah

eSetiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan
masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah
dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan
yang disengaja. E. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.

3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) a. Modal

1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset,
harus terlebih dahulu dinilai dengan

Tunai dan disepakati oleh para mitra. 2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas
dasar

Kesepakatan
2) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan b. Kerja 1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar

Pelaksanaan musyarakah: akan tetapi, kesamaan porsi

Kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh

Melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut
bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. 2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan

Masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

E Keuntungan 1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

Menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu

Alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah 2) Setiap keuntungan mitra harus


dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang
ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau

Prosentase itu diberikan kepadanya. 4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang


dengan jelas dalam akad

d. Kerugian

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-
masing dalam modal 4. Biaya Operasional dan Persengketaan

a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. B. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Akad musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati dan
kerugian akan ditanggung bersama.

Anda mungkin juga menyukai