Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PSIKOLOGI SOSIAL
Conformity, Compliance Individu, and Obedience
Dosen Pengampu : Yeni Marito Harahap, M.Pd

Disusun Oleh
Kelompok 6
Delima (1223151004)
Shabila Husna (1223351019)
Apriani Sagala (1223351021)
Lucia Panjaitan (12223351024)
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah

yang membahas tentang Conformity, Conpliance Individu, And Obedience


meskipun bentuknya sangat jauh dari kesempurnaan. Selanjutnya salawat dan
salam kami kirimkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sebagaimana beliau
telah mengangkat derajat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang.
Dalam penulisan makalah, kami memberikan sejumlah materi yang terkait
dengan materi yang disusun secara langkah demi langkah, agar mudah dan cepat
dipahami oleh pembaca.
Dan kami juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang
membimbing mata kuliah Psikologi Sosial atas bimbingannya pada semester ini
meskipun baru memasuki awal perkuliahan. Kami juga mengharapkan agar
makalah ini dapat dijadikan pedoman apabila, pembaca melakukan hal yang
berkaitan dengan makalah ini, karena apalah gunanya kami membuat makalah ini
apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.
Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan
makalah ini dengan baik, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.

Dengan hormat

Kelompok 5 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….…..……….. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………..……. ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang…………………………...……………………………………… 1
B.     Rumusan Masalah………………………………..……………………………... 1
C.     Tujuan…………………………………………..………………………………. 2

BAB II      PEMBAHASAN
A.    Konformitas...………………………………………………………………….... 2
B.     Tujuan BK……………………………...……………………………………...... 
C.     Arah Pelayanan BK………………………………………………...……….......  

BAB III     PENUTUP
A.    Kesimpulan……………………………..……………………………………… 11
B.     Saran………………………………………….…………………………….….. 11

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari
pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi bagaimana ia bertingkah laku dalam
lingkungannya. Secara definitif, pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap,
kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Caldini,
1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012).
Seperti definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengaruh sosial sangat berpengaruh
terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi
atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika
seorang wanita dari kalangan keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai
bahwa wanita harus segera dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah meskipun
wanita tersebut sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi namun
karena pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi
lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang
mempengaruhi ia dalam mengambil keputusan. Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap
individu (Sarwono & Meinarno, 2012), karena hal inilah individu berusaha untuk menahan
control dirinya yang tidak sesuai dengan keingininan kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat
mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok
sosialnya. Pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap prilaku
individu (Sarwono & Meinarno, 2012),
Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan
manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial. Namun sayang nya,
kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial tidak selalu
berarti positif karena bisa saja suatu individu mengikuti normanorma yang berlaku dalam
lingkungan sosial yang berprilaku negatif. Seperti konformitas pada prilaku perkelahian pelajar.
Terdapat tiga tipe penaruh sosial yaitu: konformitas, kepatuhan, dan ketundukan pada otoritas.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimkasud dengan Konformitas ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Compliance ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Obedience ?
4.      Apa factor penyebab masing-masing tipe pengaruh sosial tersebut ?

C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui dan memahami tipe pengaruh sosial
2.      Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebab masing-masing tipe pengaruh social
3.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    KONFORMITAS

Secara sadar maupun tidak, individu pada dasarnya cenderung untuk mengikuti
aturanaturan yang terdapat di lingkungan sosialnya. Seperti ketika seseorang memilih pakaian
yang sama dengan orang lain dalam lingkungannya karena mengikuti tren berpakaian yang ada
di lingkungannya, padahal orang tersebut bisa saja tidak memilih pakaian yang sama dengan
orang lain jika ia mau tetapi ia memilih untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang
disekitarnya agar sesuai dengan prilaku orang lain dan hal inilah yang disebut dengan
konformitas (conformity).
Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008 dalam
Sarwono & Meinarno, 2012).
Ketika seseorang ada dalam suatu kelompok sosial, pasti ia akan mengikuti norma sosial yang
ada di dalam kelompok social tersebut hal ini dilakukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya untuk dapat bertahan hidup.
Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah
laku (Saworno & Meinarno, 2012). Norma social dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa
yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu hal apa yang kebanyakan orang
lakukan. Injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit, misalnya setiap mahasiswa di
Universitas Mercubuana harus memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan setiap mahasiswa
harus menggunakan sepatu tertutup ketika berada di lingkungan kampus atau peringatan tidak
boleh merokok pada area kampus. Jadi injuctive norms adalah norma yang dinyatakan secara
tegas dan memiliki sangsi ketika tidak dilakukan.
Sedangkan descriptive norms biasanya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara tegas dan
tertulis. Misalnya saja ketika hari Raya Lebaran sudah menjadi tradisi untuk bermaaf-maafan,
atau ketika kita menjenguk orang sakit kita biasanya membawa buah-buahan. Norma juga bisa
jadi mendetail dan eksplisit, lihat saja perbedaan norma nikah pada adat Islam dan adat Jawa.
Jika dalam adat Islam norma nikahnya adalah adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi
minimal dua orang, dan dilakukan akad nikah maka pernikahan dapat dikatakan sah. Tetapi adat
Jawa memiliki norma nikah yang lebih mendetail dan lebih eksklusif, dalam adat Jawa terdapat
malam midodareni dan siraman pada malam sebelum pernikahan. Saat siraman air yang
digunakan harus terdapat kembang tujuh rupa untuk kedua mempelai dan sebagian air siraman
dari mempelai wanita harus diantarkan kepada mempelai pria untuk kemudian digunakan kepada
mempelai pria. Pada saat akad nikah, orang tua calon pengantin pria/wanita tidak hadir.
Sedangkan saat prosesi menuju pelaminan ada kegiatan injak telur, balangan, dan kacar-kucur.
Manusia dapat mengikuti norma sosial karena adanya tekanan-tekanan untuk berprilaku
dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial yang ada, tekanan tersebut juga dapat
dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Misalnya ketika dua orang yang sudah sepakat
untuk menikah secara sederhana tanpa rumit dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap
menjelang pernikahan Karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya yang
menginginkan untuk melangsungkan pernikahan dengan cara adat tertentu. Tekanan yang ada
dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk
melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan
dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008 dalam
Sarwono & Meinarno, 2012), hal ini dapat dilihat ketika sebuah masjid disuatu daerah
mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana alam, dapat dilihat bahwa beberapa orang
melihat berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya dan cendrung untuk mengikuti
berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya. Atau ketika penggunaan smartphone
Blackberry mulai menyebar, sebelumnya hanya masyarakat lapisan menengah atas yang
menggunakan smartphone Blackberry tetapi kemudian merambah ke lapisan masyarakat yang
lain, yang dapat dikatakan bahwa terjadi konformitas yang memiliki tujuan agar dapat disukai
dan dapat bertindak benar menurut kelompok sosialnya. Terdapat beberapa riset awal mengenai
konformitas dalam psikologi social, antara lain penelitian dari Muzafer Sherif (1936 dalam
Taylor, Peplau, Sears, 2009) dan Salomon Asch (1951, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Dalam riset yang dilakukan oleh Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009)
tentang autokinetic phenomenon, beberapa mahasiswa pria yang menjadi partisipan diminta
untuk duduk diruang gelap dan melihat satu titik cahaya. Sebelumnya setiap mahasiswa diberi
tahu bahwa titik tersebut bergerak dan tugas mereka adalah memperkirakan berapa jauh cahaya
tersebut bergerak. Sebagian besar partisipan merasa kesulitan untuk membuat perkiraan karena
menurut mereka cahaya tersebut bergerak dalam kecepatan bervariasi dan ke arah yang berbeda.
Sebenarnya, penelitian tersebut menggunakan ilusi perseptual yang disebut “efek autokinetik”:
salah satu titik cahaya yang terlihat dalam gelap tampak seperti bergerak, meskipun
sesungguhnya cahaya itu tetap diam di tempat. Karena ambiguitas situasi ini, para partisipan
tidak dapat memastikan penilaiannya. Banyak partisipan yang mengatakan bahwa cahaya
tersebut bergerak sekitar 1 atau 2 inci tetapi ada pula partisipan yang beranggapan bahwa cahaya
tersebut bergerak sejauh 800 kaki, hal ini terjadi mungkin karena partisapan tersebut mengira
bahwa ia berada dalam ruangan gymnasium. Dalam serangkaian eksperiamen yang Sherif
lakukan, ia membagi kelompok dalam dua atau tiga orang. Dalam eksperimen tersebut partisipan
diminta untuk mengatakan perkiraannya dengan keras segera ketika cahaya diperlihatkan. Dalam
percobaan pertama, umumnya jawaban para partisipan beragam. Tetapi ketika berulang kali
dilakukan percobaan, jawaban para partisipan menjadi semakin sama. Dalam hal ini para
partisipan mempertimbangangkan jawaban lain dari dalam kelompok mereka. Apa yang ingin di
perlihatkan Sherif dalam eksperimen ini adalah kemunculan norma atau standar kelompok untuk
menilai cahaya tersebut. Akhirnya, ketika partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan sendiri
tanpa adanya kelompok jawaban mereka tetap terpengaruh oleh jawaban yang diberikan oleh
kelompok mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat kemunculan suatu norma social saat
kelompok pertemanan kita mulai membuat aturan mengenai tempat yang rutin dikunjungi ketika
selesai kegiatan perkuliahan, atau dalam gaya berpakaian dan berperilaku. Dalam eksperimen
lain yang dilakukan oleh Sherif, dia melakukan variasi lain yaitu dengan cara partisipan memberi
penilaian dalam satu kelompok yang terdiri dari dua orang. Tetapi, sebenarnya hanya satu orang
yang menjadi partisipan rill; sedangkan orang kedua sebenarnya adalah periset yang membantu
peneliti untuk memberikan penilaian yang lebih tinggi atau lebih rendah dari penilaian partisipan
rill. Dalam kondisi ini, partisipan rill mulai memberi penilaian yang lebih mendekati penilaian
periset. Jika misalnya pada percobaan pertama partisipan rill memberikan penilaian bahwa
cahaya tersebut bergerak antara 10 sampai 15 inci dan periset memberikan penilaian bahwa
cahaya tersebut hanya bergerak sejauh 2 sampai 3 inci maka pada percobaan berikutnya
partisipan rill akan cendrung menurunkan penilaiannya. Pada akhirnya, penialain partisipan rill
akan sama dengan penilaian periset tersebut.
Dalam eskperimen ini Sherif telah membuktikan bahwa dalam situasi yang tidak pasti
dan ambigu, orang cendrung menyesuaikan diri dengan norma yang dibangun oleh rekannya
yang lebih konsisten. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat ketika seorang anggota baru
dalam kelompok kemahasiswaan akan mengikuti cara berprilaku dan cara berpakaian anggota
lain yang sudah lebih dulu ada dalam kelompok tersebut.
Salomon Asch (1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dalam penelitiannya ingin
mengetahui apakah konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, seperti yang ditunjukan oleh
penelitian Sherif, dimana orang tidak mengetahui apakah jawab yang benar. Apakah orang akan
menyesuaikan dirinya jika situasi stimulusnya pasti atau jelas? Asch berpendapat bahwa ketika
orang menghadapi situasi yang tidak ambigu, mereka akan percaya pada persepsinya sendiri dan
memberi penilaian yang independen, bahkan ketika anggota lain dari kelompoknya tidak setuju
dengannya. Asch melakukan penelitian untuk menguji hipotesisnya tesebut. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Asch, partisipannya adalah lima orang mahasiswa yang ikut ambil bagian
dalam studi tentang persepsi. Para pastisipan tersebut diminta duduk di sekitar sebuah meja dan
diberi tahu bahwa mereka harus menilai panjang garis. Mereka diberikan dua kartu, satu kartu
berisi garis “standar” dan kartu kedua berisi tiga kartu berbeda yang salah satunya sama
panjangannya dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu pertama. Parisipan diminta untuk
memilih garis mana yang panjangannya sama dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu
pertama. Lima partisipan diminta untuk menjawab dengan mejawab dengan suara keras secara
bergiliran sesuai dengan urutan tempat duduknya ketika garis di tunjukan kepada meraka, orang
pertama memberikan jawaban selanjutanya orang kedua dan seterunya sampai orang kelima.
Karena penilaian pada percobaan pertama mudah, maka tidak ada perbedaan jawaban antara
partisipan. Ketika semua partisipan sudah memberikan jawaban, selanjutnya diberikan kembali
satu set kartu kedua, dan mereka menjawab lagi, dan kemudian diberikan lagi satu set kartu
ketiga. Pada titik ini, eksperimen tersebut tampaknya membosankan dan tidak menghasilkan
apaapa. Tetapi pada percobaan eksperimen ketiga, partisipan pertama melihat garis tersebut
secara lebih teliti dan kemudian memberi jawaban yang keliru. Partisipan selanjutnya juga
memberi jawaban yang salah, begitupun dengan partisipan ketiga dan keempat. Partisipan kelima
tampak merasa penasaran, dia jelas melihat bahwa keempat partisipan sebelumnya memberi
jawaban yang salah. Misalnya jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi keempat partisipan
sebelumnya memilih jawaban garis 1. Partisipan kelima mengetahui bahwa jawaban yang benar
adalah garis 2, tetapi sepertinya semua orang memilih garis 1 sebagai jawaban yang benar.
Dalam situasi ini, kadang-kadang partisipan kelima memberikan jawaban yang salah
seperti keempat partisipan lain meskipun ia tahu bahwa jawaban itu salah. Sebagian partisipan
memberi jawaban salah dalam 35% dari seluruh jumlah percobaan. Beberapa partisipan tidak
memberikan jawaban yang salah, dan sebagian lagi memberi jawaban yang selalu salah.
Biasanya dari tiga orang partisipan, satu orang memberikan jawaban yang salah. Sebenarnya
dalam eksperimen ini situasinya sudah direkayasa. Empat partisipan pertama adalah pembantu
peneliti dan mereka sudah diminta untuk memberikan jawaban sesuai permintaan peneliti.
Tetapi, partisipan real tidak mengetahui hal tersebut, dan ikut – ikutan memberi jawaban yang
salah. Penting untuk mengingat penilaian seperti ini. Perkiraan bahwa subjek yang memberikan
jawaban tidak yakin dengan jawaban yang benar dan juga karena dipengaruhi oleh orang lain.
Tetapi pemikiran ini salah. Partisipan disini cukup yakin pada jawaban yang benar dan ketika
tidak ada tekanan kelompok dia selalu memilih jawaban yang benardalam percobaan. Mereka
ikut menyesuaikan diri meski mereka tahu mana jawaban yang benar. Jumlah konformitas yang
ditemukan dalam studi yang dilakukan Asch terhadap mahasiswa di AS belum dapat dikatakan
tinggi atau rendah. Kebanyakan partisipan menyesuaikan diri setidaknya sekali selama
eksperiment berlangsung. Disisi lain, kebanyakan jawaban yang diberikan oleh partisipan adalah
benar meski terdapat tekanan kelompok. Dalam hal ini jelas ada konformitas, tetapi itu
independent dari penilaian. Asch tampaknya melihat bahwa ia hanya menemukan sedikit
konformitas dalam penelitiannya ini dan karena itu dia merasa agak cemas : “Kami menemukan
tendensi kuat untuk melakukan konformitas dimasyarakat kita, dan bahkan sangking kuatnya
orang-orang muda yang cerdas tampaknya bisa terpengaruh karenanya” (Asch, 1955 dalam
Taylor, Peplau, Sears, 2009). Penelitian Asch memicu timbulnya banyak studi lain mengenai
konformitas. Riset telah menunjukan efek konformitas yang sama pada berbagai tugas
eksperimen, seperti mengevaluasi pernyataan opini, pernyataan fakta, dan silogisme logis
(Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dengan kata lain, terlepas dari stimulus yang diberikan dan
kejelasan jawaban yang benar ketika individu dihadapkan pada penilaian kelompok yang
seragam, tekanan mayoritas dari kelompok akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan
diri dengan kelompoknya.
Myres (1988 dalam Saworno & Meinarno, 2012) membagi konformitas menjadi dua
bentuk, yaitu:
1.      Konformitas compliance, dalam bentuk konformitas ini individu bertindak sesuai dengan
tekanan kelompok. Meskipun sebenarnya dirinya sendiri tidak menyetujui tindakan tersebut.
Pada konformitas compliance, individu berusaha menghindari penolakan kelompok dan
mengharapkan penerimaan kelompok (normative influence).
2.      Konformitas acceptance, dalam bentuk konformitas ini tingkah laku dan keyakinan individu
sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Pada konformitas acceptance, konformitas
terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu
(informational influence).

      Seorang individu memiliki kencendrungan untuk menyesuaikan diri meskipun tidakan


tersebut bertentangan dengan persepsinya sendiri secara personal. Dalam banyak kasus, banyak
individu yang memiliki anggapan bahwa persepsi kelompoknya salah sedangkan persepsinyalah
yang benar. Tetapi ketika individu tersebut diminta untuk memberikan jawaban terbuka, mereka
cenderung untuk memberikan jawaban kelompok yang bahkan menurut mereka salah.
Kecenderungan untuk melakukan konformitas sebenarnya tidak selalu pada hal-hal positif, tetapi
juga konformitas terhadap hal-hal yang negative. Seperti yang terjadi pada perkelahian pelajar,
dalam perkelahian pelajar dapat dilihat bahwa manusia cendrung untuk melakukan konformitas
pada hal-hal negatif. Terdapat beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengkaji
masalah perkelahian pelajar tersebut, seperti penelitian yang dilakukan oleh Soekadji, dkk (1992,
dalam Sarwono & Meinarno, 2012) yang mengatakan bahwa perkelahian pelajar terjadi karena
siswa-siswa baru suatu SMU mewarisi tradisi perkelahian tersebut dari kakak-kakak kelas
mereka. Biasanya siswa-siswa baru tersebut diindoktrinasi oleh kakak kelas mereka, indoktrinasi
disini maksudnya adalah meraka harus mau membela kawan sekolah mereka dimana pun, kapan
pun, dan dengan cara apapun. Dan apabila mereka melakukan penolakan terhadap hal tersebut,
maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa kekerasan fisik dan dikucilkan oleh teman-
teman sekolahnya. Karena adanya tekanan dari kelompok sosialnya, sehingga mereka pun
melakuakan perkelahian antar pelajar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ronni Rambe
(1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012), sample penelitiannya adalah siswa pelajar SMU yang
menjadi pelaku perkelahian pelajar dengan rentang usia 15-19 tahun dan pernah terlibat
perkelahian pelajar delam 6 bulan terakhir. Dengan 60 partisipan Rambe mengukur dengan
menggunakan alat ukur konformitas dan menggunakan selfesteem inventory dari Coopersmith.
Hasil penelitian yang dilakukan Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) tidak
menunjukan adanya hubungan antara konformitas dengan harga diri yang dimiliki pelajar yang
terlibat perkelahian, tidak selalu pelajar dengan harga diri rendah menampilakan konformitas
compliance, begitu juga tidak selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilkan konformitas
acceptance.

Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) mengemukakan lima faktor yang
menyebabkan tingkah laku konformitas dalam perkelahian pelajar:
1.    Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain sebagai pengalihan untuk melupakan masalah
personal, membangun rasa percaya diri, menghilangakan beban pelajaran, melampiaskan
kekesalan, dan menambah pengalaman.
2.    Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat dalam perkelahian, suka berkelahi
meskipun tahu bahwa perkelahian dapat membuat terluka.
3.    Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara lain buang-buang waktu dan merasa
takut atau was-was akan di pukul.
4.    Faktor ke empat adalah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan masalah dengan
berkelahi.
5.    Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang dipukul oleh siswa
sekolah lain.

Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) menyimpulkan bahwa faktor pertama,
kedua, dan kelima beracuan kepada konformitas acceptance. Sementara faktor ketiga dan
keempat mengacu kepada konformitas compliance. Tetapi perilaku konformitas kelompok tidak
berarti tidak memiliki tujuan, seperti yang diungkapkan dalam jurnal psikologi; “But herd
behavior does not mean behavior without purpose. Usually, the purpose is clear. For example, a
clerk may follow the orders of his/her superior because he/she can benefit by doing so. In this
case, his/her purpose is very clear. Of course, herd behavior can also be purposeless, for
example, the instinctive reflex of organisms.” (Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li,
Lin, 2012) jadi dapat dilihat bahwa perilaku konformitas pada kelompok memiliki tujuan-tujuan
yang jelas. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma
kelompok, karena ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauh mana individu melakuakan
konformitas atau justru malah menolaknya.
Baron, Branscombe, dan Byrne (2008 dalam Saworno & Meinarno) menjelaskan tiga
faktor yang mempengaruhi terjadi konformitas, yaitu :
1.    Kohesivitas kelompok adalah sejauh mana kita tertarik terhadap suatu kelompok social tertentu
dan ingin menjadi bagian dari kelompok social tersebut. Karena semakin menarik sebuah
kelompok sosial maka semakin besar kemungkinan bagi individu untuk melakukan konformasi
terhadap norma kelompok tersebut.
2.    Besar kelompok menunjukan berapa banyak orang yang berprilaku dengan normanorma tertentu
yang terdapat dalam kelompok tersebut, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya.
3.    Norma yang bersifat injuctive cenderung di abaikan, sedangkan norma yang bersifat descriptive
cendrung diikuti. Tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompoknya,
dikarenakan individu kadang memiliki keinginan untuk menjadi unik dan beda dari yang lain

(Baron, Branscombe, dan Byrne, 2012 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Dalam
sebuah jurnal yang berjudul On Being Loud and Proud: Non-Conformity and Counter-
Conformity to Group Norms pada tahun 2003 menunjukan dalam dua eksperimen yang
dilakukan bahwa terjadinya prilaku konformitas terkait dengan landasan moral pada
individu; “In both experiments, it was found that participants who had a weak moral basis for
their attitude conformed to the group norm on private behaviours. In contrast, those who had a
strong moral basis for their attitude showed non-conformity on private behaviours and
counterconformity on public behaviour. Incidences of non-conformity and counter-conformity
are discussed with reference to theory and research on normative influence (Hornsey, Matthew
J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M ; Sep 2003). Tetapi dibandingkan
dengan yang tidak melakukan konformitas, lebih banyak individu yang melakukan konformitas.
Hal ini dapat dipandang secara positif ataupun negatif, hal positif dari adanya konformitas adalah
kecendrungan individu untuk mengikuti aturan atau norma yang berlaku di masyarakat sehingga
terciptanya keteraturan. Disamping konformitas dalam hal positif, juga terdapat konformitas
negatif seperti perkelahian antar pelajar yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pengalaman
konformitas sehari-hari dibentuk oleh kontes kultural (Kim & Markus, 1999 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009), konformitas dipandang berbeda-beda dalam berbagai kultural yang ada.
Misalnya saja di AS dan Eropa Barat yang menekankan kepada kultur induvidualis menekankan
kepada kebebasan dan kemandirian personal (Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas
dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan dapat membatasi kebebasan personal. Sebaliknya, di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang memiliki kultur kolektivis menekankan kepada pentingnya
ikatan pada kelompok sosial. Dalam kultur kolektivis orang tua sangat menjunjung tinggi
kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga,
Segall, & Dasen, 1992 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dianggap
sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral.
Dalam bahasa Korea konformitas mengandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim
& Markus, 1999 Taylor, Peplau, Sears, 2009). Ada nya konsistensi antara nilai-nilai kultural
yang dipelajari seseorang saat mereka masih dalam tahap tumbuh-kembang dan yang mereka
lihat di media massa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukan pada tahap dewasa
(Taylor, Peplau, Sears, 2009). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kultur dapat
memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas. Pada penelitian mengenai konformitas
terbaru yang dilakukan oleh Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica pada tahun 2008
mengenai persepsi konformitas, diketahui bahwa orientasi politik seseorang juga mempengaruhi
persepsinya mengenai konformitas. “Our findings also confirm that political orientation can
affect perceptions of conformity, as left-wing participants evaluated conformity more negatively
and were less ambivalent toward it than were right-wing participants.” (Cavazza, Nicoletta;
Mucchi-Faina, Angelica, 2008). Dalam melakukan konformitas individu biasanya memiliki
alasan. Diantaranya adalah dua alasan penting, yakni ingin melakukan hal yang benar dan ingin
disukai (Martin & Hewstone, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya lebih
menyukai untuk menyesuaikan diri dengan perilaku kelompok yang ia anggap benar dan apabila
ia ingin disukai atau diterima oleh anggota kelompok tersebut. Salah satu alasan seseorang
melakukan konformitas adalah ketika orang lain memberikan informasi yang bermanfaat bagi
dirinya, hal ini disebut informational influence atau pengaruh informasi yang ditimbulkan dari
keinginan untuk bertindak benar sesuai keinginan kelompok sosial. Misalnya ketika seseorang
baru pertama kali menonton film di bioskop, maka orang tersebut akan memperhatikan orang
lain yang dia anggap sudah terbiasa menonton di bioskop, seperti mengamati perilaku mereka
dalam membeli tiket. Dengan cara seperti itu orang tersebut dapat menguasai dasar-dasar sistem
pembelian tiket di bioskop tersebut. Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini
kelompok, semakin mungkin kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut (Taylor, Peplau,
Sears, 2009).
Pada dasarnya tingkat konformitas pada seseorang akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kepercayaan pada kebenaran suatu kelompok dimana ia melakukan konformitas.
Keyakinan kepada kelompok harus diimbangi dengan keyakinan kepada diri sendiri. Studi-studi
awal menemukan bahwa semakin ambigu atau semakin sulit tugas, semakin cenderung orang
menyesuaikan diri dengan penilaian kelompok (Coleman, Blake, & Mouton, 1958 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009), hal ini mungkin terjadi karena kurangnya keyakinan terhadap penilaian
sendiri. Kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri bisa saja disebabkan karena kurangnya
pengetahuan. Bila konformitas terjadi karena adanya pengaruh informasi yang menimbulkan
keyakinan bahwa anggota kelompok benar, individu biasanya mengubah cara berfikir dan
berperilaku yang mereka miliki. Pengaruh informasi karenanya dapat dilihat sebagai proses
rasional yang menyebabkan perilaku orang lain bisa mengubah keyakinan atau interprestasi kita
atas situasi dan konsekuensinya membuat kita bertindak sesuai dengan kelompok itu (Grivvin &
Buehler, 1993 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Alasan kedua dari terjadinya konformitas
adalah keinginan agar diterima secara sosial, hal ini dinamakan normative influence atau
pengaruh normatif (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya ingin agar dapat diterima,
disukai, dan diperlakukan dengan baik oleh individu lain dalam kelompok sosial. Secara
bersamaan, kita ingin menghindari penolakan, pelecehan, dan ejekan (Janes & Olson, 2000
dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Pengaruh normative terjadi ketika individu mengubah perilakunya untuk menyesuaikan
diri terhadap norma kelompok agar dapat diterima secara sosial. Dalam situasi semacam ini,
konformitas menimbulkan perubahan lahiriah didalam perilaku publik, tetapi tidak selalu
mengubah opini pribadi kita. Individu cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi
ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Yang
dimaksud dalam hal ini adalah, individu cenderung menyesuaikan diri kedalam situasi dimana ia
dipengaruhi oleh ukuran kelompok; konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok
meningkat, keseragaman atau kekompakan opini kelompok; seorang yang berhadapan dengan
mayoritas akan cenderung untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan mayoritas itu, dan
komitmen; konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar individu dengan kelompok
(Forsyth, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) kita kepada kelompok yang dapat
mempengaruhi konformitas. Selain pengaruh yang telah disebutkan tadi, ada perbedaan individu
dalam keinginan akan individuasi yang juga dapat mempengaruhi apakah kita akan
menyesuaikan diri atau membangkang dalam kelompok sosial. Keinginan individuasi adalah
keinginan individu untuk menjadi berbeda dan mencolok dari orang lain.
Konformitas terhadap mayoritas adalah aspek dasar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi,
pengaruh minoritas bukanlah tidak penting. Terkadang kubu minoritas yang kuat dengan ide
baru dan unik dapat merubah pandangan mayoritas (DeDreu & DeVries, 2001 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009). Agar minoritas dapat efektif, minoritas harus konsisten dan kuat (Wood et
al., 1994 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

B.     COMPLIANCE (KETUNDUKAN)

Salah satu cara orang untuk saling mempengaruhi satu sama lain adalah dengan meminta
orang lain melakukan hal yang sama (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Seperti ketika seseorang
meminta temannya untuk menilai bagaimana penampilannya, atau ketika seseorang meminta
untuk dipinjamkan uang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali perilaku kita dipengaruhi oleh
permintaan langsung orang lain (Saworno & Meinarno, 2012). Dalam psikologi sosial hal ini
merupakan suatu bentuk dari pengaruh sosial, yaitu compliance atau ketundukan.
Compliance (ketundukan memenuhi permintaan orang lain) didefinisikan sebagi
melakukan apa-apa yang diminta orang lain, walau mungkin kita tidak suka (Taylor, Peplau,
Sears, 2009). Hal utama dari compliance adalah kemauan kita untuk merespon permintaan orang
lain, misalnya ketika kita sedang berjalan disebuah mall dan ada seseorang yang menawarkan
anda selebaran promosi suatu produk, biasanya meskipun anda tidak menginkan membeli produk
tersebut anda akan tetap mengambil brosur yang ditawarkan. Atau bisa jadi ketika orang tersebut
menawarkan potongan harga, kita akan tertarik untuk membeli pruduk itu karena kita berfikir
kita akan mendapat keuntungan dari potongan harga tersebut. Dalam kasus ini terkadang kita
memenuhi permintaan begitu saja, tanpa ada sebabnya.
Atau dalam kasus lain, seorang adik meminta untuk diambilkan mainan di atas lemari
oleh kakaknya yang berdiri dekat dengan lemari dan kakaknya mengambilkan mainan tersebut.
Ellen Langers menyebut perilaku ini sebagai “tanpa berfikir,” sebab respon itu diberikan hampir
tanpa dipikirkan dahulu. Mungkin karena kebiasaan, kita belajar ketika seseorang meminta atau
membutuhkan sesuatu, khususnya sesuatu yang sepele atau biasa saja, dan orang tersebut
memberikan alasan (meski alasanya tidak bermakna ataupun tidak masuk akal), maka kita
seharusnya memenuhi permintaan tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Compliance memiliki berbagai prinsip dasar yang di utarakan oleh beberapa ahli, seperti
French dan Bertman Raven serta Robert C. Cialdini. French dan Raven membagi prinsip dasar
compliance dalam enam dasar kekuasaan yaitu (Frence & Raven, 1959 dalam Taylor, Peplau,
Sears, 2009):
1.    Imbalan,
Salah satu basis kemampuan adalah kemampuan untuk memberi hasil positif bagi orang
lain, memberi hasil positif disini dapat berarti membantu orang lain mendapatkan tujuan yang
diinginkan atau menawarkan imbalan yang bermanfaat.
Misanya, orang tua yang menjanjikan hadiah kepada anaknya jika anak tersebut dapat meraih
peringkat pertama di kelasnya.
2.    Koersi,
Koersi atau pemakasaan dapat berupa paksaan fisik sampai ancaman hukuman atau tanda
ketidaksetujuan. Misanya ketika seorang mahasiswa yang seharusnya mengikuti kegitan
perkuliahan dengan serius malah menggunakan telephone genggam di kelas ketika perkuliahan
berlangsung, lalu dosennya mengancam akan mengambil telephone genggam mahasiswa
tersebut.
3.    Keahlian, pengetahuan khusus, training, dan keterampilan juga dapat menjadi sumber
kekuasaan. Hal ini didasari karena kita akan lebih mengikuti saran dari ahli daripada bukan dari
ahlinya.
Misanya, seorang bapak yang lebih menengarkan perkataan dokter daripada perkataan anaknya
untuk sesering mungkin istirahat agar kesehatannya segera pulih.
4.      Informasi,
Usaha mempengaruhi orang lain dengan memberi mereka informasi atau argument yang
logis tentang tindakan yang seharusnya mereka lakukan. Kekuatan informasi juga dapat
mempengaruhi seseorang untuk melakukan compliance, meskipun yang mengutarakan informasi
tersebut bukanlah seorang yang ahli.
Misalnya, ketika seseorang mengajak temannya untuk mengikuti seminar dan mengatakan
bahwa salah satu pembicarnya adalah penulis buku yang disukai temanannya.
5.    Kekuasaan rujukan,
Kekuasaan ini eksis ketika kita mengidentifikasi atau ingin menjalin hubungan dengan
kelompok atau orang lain. Dalam sebuah kelompok, kecendrungan seseorang untuk dapat
diterima dalam kelompok tersebut dapat menimbulkan compliance.
Misalnya, anggota-anggota yang ada dalam sebuah kelompok pertemanan akan mengikuti apa
yang diinginkan oleh kelompok tersebut.
6.    Otoritas yang sah, norma sosial yang mengizinkan orang yang berkuasa untuk mengajukan
permintaan.
Misalnya, ketua kelompok kepanitiaan memiliki kekuasaan untuk membagi tugas pada anggota-
anggotanya. Selain enam dasar kekuasaan yang diatas,
Frence dan Raven juga memasukan kekuatan ketidak berdayaan dan manipulasi
evironmental ke dalam prinsip dasar compliance. Dalam kekuatan ketidak berdayaan, Misalnya
saja ketika di dalam perpustakaan seseorang ingin meminta tolong kepada orang yang postur
tubuhnya lebih tinggi untuk meraih buku yang akan dia pinjam, dia tidak dapat meraihnya karena
buku tersebut terdapat pada rak tertinggi. Dalam kasus tersebut, orang yang meminta bantuan itu
adalah orang yang ada dalam keadaan tidak berdaya, dan dalam kasus tersebut orang cendrung
untuk memenuhi permintaan, karena menghormati norma tanggung jawab sosial (norms of social
responsibility). Sedangkan manipulasi environmental dapat terjadi ketika apabila pihak yang
mempengaruhi mengubah situasi sehingga target pengaruh harus tunduk (Taylor, Peplau, Sears,
2009). Contohnya, ketika seorang adik yang dijahili oleh kakaknya akan memperingatkan
kakaknya dengan mengancam akan memberitahukan perlakuan kakaknya kepada ayahnya.
Disini tujuan dari peringatan adiknya adalah untuk mengubah sikap kakaknya agar tidak
menjahili dia lagi dengan kekuasaan ayahnya.
Sedangkan menurut Robert C. Cialdini dalam compliance dipengaruhi oleh prinsip dasar,
yaitu (Cialdini, 1995, 2006 dalam Saworno & Meinarno, 2012):
1.    Pertemanan atau rasa suka, kecenderungan untuk lebih mudah memenuhi  permintaan teman
atau orang yang kita sukai daripada orang yang belum dikenal atau dibenci. Misalnya, seorang
anak yang memuji ibunya agar ibunya menyukainya dan mau menuruti keinginannya.
2.    Komitmen dan konsisten, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan akan suatu hal yang
konsisten ketika kita berada dalam suatu posisi atau tindakan.
Misalnya seseorang yang merasa sebagai bangsa Indonesia dan merasa memiliki sifat
nasionalisme yang kuat maka ia akan memasang bendera merah-putih di halaman rumahnya atau
ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
3.    Kelangkaan, kecendrungan untuk menghargai dan mengamankan objek yang langka atau
berkurang ketersediaannya yang memicu untuk memenuhi permintaan yang menekan
kelangkaan daripada yang tidak.
Misalnya, seorang penjual mengatakan kepada pembeli bahwa barang yang ia jual adalah
barang-barang yang langka dan sulit ditemukan sehingga hanya beberapa orang yang mungkin
memilikinya dan membuat pembeli tersebut ingin membeli barang yang dijual oleh penjual
tersebut.
4.    Timbal-balik, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan dari seseorang yang yang
sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Misalnya, seseorang yang menerima orang
lain sebagai karyawan di perusahaannya karena pernah dibantu oleh orang tersebut dan merasa
harus membalas budi.
5.    Validasi sosial, keinginan untuk bertingkah laku benar dengan cara bertingkah laku dan berfikir
seperti orang lain. Misalnya, dalam suatu kelompok pertemanan ada salah beberapa anggota
yang mengatakan bahwa memakai baju berkerah itu adalah hal yang aneh dan anggota yang lain
ikut untuk berfikir demikian.
6.    Otoritas, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas atau
yang setidaknya tampak memiliki otoritas. Misalnya, seseorang mahasiswa yang duduk didekat
pintu yang terbuka, akan menuruti perintah dari dosennya untuk menutup pintu daripada perintah
yang sama dari temannya sesame mahasiswa.
                        Selain prinsip-prinsip compliance di atas, mood juga dapat berpengaruh terhadap
compliance. Seseorang lebih mau melakukan compliance ketika ia merasa senang dibandingkan
ketika ia merasa sedih (Forgas, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dari hasil
eksperimennya mengenai hal ini Josep Forgas mengambil kesimpulan bahwa mood memberikan
efek yang signifikan terhadap reaksi permintaan tolong, efek mood akan lebih besar apabila
permintaannya bersifat kasar: orang yang sedang senang cenderung mengabaikan cara
permintaan yang disampaikan, dan orang yang sedang sedih akan lebih merespons permintaan
yang sopan daripada yang kasar (Forgas, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
                        Beberapa riset telah meneliti teknik-teknik spesifik dari compliance, seperti
(Taylor, Peplau, Sears, 2009):
1.    Tenik Foot-in-the-Door
                   Salah satu cara untuk membuat seseorang tunduk adalah dengan mengajukan
permintaan kecil pada awalnya, lalu mengajukan permintaan besar setelahnya. Studi klasik yang
dilakukan oleh Freedman dan Fraser (1966 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) telah menunjukan
efek ini. Dalam efektivitas teknik ini, berperan beberapa proses psikologi seperti persepsi diri
dan keinginan untuk dianggap sebagai seorang yang konsisten (Guadano, Asher, Demaide, &
Cialdini, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Misalnya ketika seseorang meminta temannya untuk datang ke rumahnya, dan ketika temannya
tiba di rumahnya ia meminta agar temannya membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan
rumah.
2.    Teknik Door-in-the-Face
                   Dalam teknik ini, seseorang mengajukan permintaan yang besar dan kemudian
mengajukan permintaan yang kecil. Studi yang dilakukan oleh Cialdini et al (1975 dalam Taylor,
Peplau, Sears, 2009) membuktikan keefektivan teknik ini. Tenik ini biasa ditemukan dalam
kegiatan tawar-menawar.
Misalnya, seorang pedagang menjual barang seharga Rp 10.000 dan kemudian pembeli
menawarnya menjadi Rp 8.000, padahal penjual sengaja memberikan harga Rp 10.000 kepada
pembeli tersebut agar dia mendapatkan uang Rp 8.000 seperti yang sebenarnya ia inginkan.
3.    Teknik Low-Ball
                   Dengan teknik ini awalnya mendapatkan persetujuan dengan permintaan yang tidak
memiliki informasi lengkap, dan kemudian memberikan informasi yang lengkap setelahnya.
Teknik ini tampaknya sukses karena begitu seseorang telah membuat komitmen public untuk
melakukan suatu tindakan, dia akan enggan untuk menarik komitmennya (Burger & Cornelius,
2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Misalnya ketika seorang mahasiswa meminta kepada temannya sesama mahasiswa untuk
mengadakan rapat angkatan di kampus, tetapi dia tidak diberi tahu bahwa dalam rapat tersebut
mahasiswa yang datang diminta untuk wajib membayar uang kas. Kemungkinan besar jumlah
mahasiswa yang ikut rapat tersebut akan lebih banyak jika tidak diberikan informasi lengkap
mengenai pembayaran wajib uang kas.
4.    Teknik That’s-Not-All
                   Yang dimaksud dengan teknik ini adalah memberikan kesepakatan dan kemudian
menaikan tawaran. Eksperimen yang dilakukan oleh Burger (1986 dalam Taylor, Peplau, Sears,
2009) menunjukan efektivitas teknik ini.
Misalnya, seorang sales di supermarket menawarkan pan happy call kepada salah satu
pengunjung mall tersebut dan ketika pengunjung tersebut sedang berfikir apakah ingin membeli
atau tidak, sales tersebut mengatakan bahwa jika pengunjung itu membeli pan happy call tersebut
maka ia akan mendapatkan hadiah berupa buku resep masakan. Padahal buku tersebut sudah
termasuk kedalam pembayaran pembelian pan happy call itu.
5.    Teknik Pique Permintaan
                   Yang tidak lazim dan dapat menarik perhatian adalah inti dari teknik ini, karena
kadang orang akan menolak permintaan tanpa berfikir panjang terlebih dahulu maka untuk
meminimalisir hal tersebut permintaan yang diajukan harus dapat menarik perhatian orang lain.
Misalnya seorang pejalan kaki mengabaikan atau menolak langsung permintaan seorang
peminta-minta karena merasa jengkel, tetapi ketika di hari berikutnya peminta-minta tersebut
membuat tulisan “berikan saya 100 perak dan saya akan kenyang” maka tulisan tersebut akan
menarik perhatian pejalan kaki dan memungkinkan ia untuk memenuhi permintaan peminta-
minta itu.

C.    OBDIENCE (KEPATUHAN)
                  
                   Selain dipenuhi oleh Konformitas dan Compliance, perilaku kita dalam kehidupan
seharihari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Dikantor, atasan memerintahkan
bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Disekolah guru melarang murid untuk membawa
benda-benda tajam dan merokok. Dirumah, orang tua menyuruh anaknya untuk beribadah.
Dalam perilaku-perilaku diatas, apakah orang yang diperintah akan mematuhi permintaan
tersebut? Biasanya orang-orang mengikuti permintaan atau perintah orang lain yang dianggap
memiliki Power (kekuatan). Perilaku-perilaku ini dalam psikologi sosial, disebut sebagai
obedience atau kepatuhan dalam psikologi social.
                   Obdience merupakan salah satu jenis pengaruh social, di mana seseorang menaati
dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur
power (Baron, Branscombe, dan Bryrne, 2008) Aspek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan
(obedience), keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau
memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih
jarang terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya
melalui (velvet glove) melalui permintaan dan bukannya perintah langsung. Seseorang mentaati
dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur
power.
       Empat penyebab obedience menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008) :
1.         Melepas tanggung jawab pribadi. Artinya individu menilai bahwa tanggung jawab ada pada
orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribadi, Misalnya atasannya yang dianggap
menanggung semua tanggung jawab
2.         Individu yang memberi perintah menggunakan simbol-simbol, seperti rencana, seragam, dan
yang lainnya untuk mengingatkan orang yang diperintah akan kekuasaan serta peran yang
diemban.
3.         Hal-hal yang terjadi secara gradual, yaitu perintah yang dimulai dari hal kecil kemudian
meningkat menjadi lebih besar.
4.         Proses yang terjadi sangat cepat sehingga individu tidak bisa merefleksikan dan berpikir secara
mendalam tindakan yang mestinya ia lakukan. Dalam hal ini terdapat konsep Experimental
realism, yakni realitas terhadap pengalaman yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dimana
individu menafsirkan situasi yang sangat kuat, membuat kebanyakan individu sulit untuk
melawan. Meskipun kita terdorong untuk menanyakan “Orang seperti apa yang akan mematuhi
perintah untuk menyakiti orang yang tidak bersalah?”, tetapi dalam psikologi sosial, pertanyaan
yang lebih bermanfaat adalah “Aspek – aspek apakah dari situasi yang membuat orang sulit
untuk tidak mematuhi perintah?”
                   Penelitian tentang kepatuhan dilakukan oleh “Stanley Milgram” sejak tahun 1963.
Penelitian ini menggunakan alat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menimbulkan efek
sebagaimana dikemukakan kepada subjek. Penelitian terdiri dari tiga orang yaitu subjek,
eksperimenter dan seorang yang berpasangan dengan subjek (Learner). Prosesnya adalah
eksperimenter meminta subjek untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh subjek
dengan kejutan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt. Sebelum
eksperimen berlangsung, alat ini dicobakan kepada subjek agar dapat merasakan sengatan listrik
tersebut. Ketika sengatan mencapai voltage tinggi, biasanya subjek meminta pertimbangan
eksperimenter untuk menghentikannya. Eksperimenter meminta kepada subjek untuk terus
melakukan hingga penelitian berakhir pada saat hukuman mencapai 450 volt. Peristiwa
memberikan hukuman tersebut sebenarnya tidak benar-benar terjadi. Ekspresi Learner ketika
subjek menekan tombol hukuman disebut sedemikian rupa, padahal sesungguhnya dia tidak
merasakan apapun. Semua peristiwa tersebut sudah diatur, yang ingin diteliti dalam eksperimen
ini adalah “ seberapa jauh kepatuhan subjek terhadap perintah eksperimenter” ? Hasil Penelitian :
- Ternyata hanya 12.5 % subjek yang berhenti sesudah memberi hukuman pada batas 300 volts.
Lebih dari 60 % subjek mematuhi perintah hingga akhir eksperimen. - Penelitian ini kemudian
dimodifikasi dengan memperdengarkan jeritan Learner. Hasilnya 37.5 % subjek tidak lagi
mematuhi perintah eksperimenter. Apabila subjek dengan Learner berada dalam satu ruangan, 60
% tidak mematuhi perintah; dan 70% subjek tidak mematuhi perintah apabila ia harus ikut
memegangi alat eksperimennya. - Dalam keadaan sendirian hanya 5 % subjek yang mau
memberi hukuman hingga di atas 150 volts, sedangkan jika dalam kelompok 67.5 % mau
meneruskan eksperimen.

Ø  FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBEDIENCE :


1.      Jenis kelamin.
                Dalam hubungannya dengan perintah dan tingkat otoritas orang yang memerintah.
Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena merasa ngeri melihat dan
mendengarkan korban; maka dalam penelitian Milgram, wanita cenderung lebih menolak
perintah.
2.      Tingkat otoritas.
                Pengaruh terhadap kepatuhan dapat dilihat dalam kehidupan seharihari. Orang
diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang memerintah adalah teman yang setingkat.
Perlu ditambahkan bahwa semakin tinggi status dari figure yang mempunyai otoritas serta
adanya keyakinan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perilaku kepatuhannya itu adalah
sumber otoritas maka orang akan semakin patuh untuk bertingkah laku ( misal: dosen -
mahasiswa).
3.      Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang menuntut
kepatuhan (contoh : dalam ujian ).
4.      Terbatasnya peluang untuk tidak patuh. Individu yg mematuhi perintah yg merusak, menyakiti,
dan menghancurkan orang lain ketika berada dlm situasi diperintahkan untuk melakukannya
disebut destructive obedience.
Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu
membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
1.      Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas
tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu
yang buruk terjadi.
2.      Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan
status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma
ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa
sulit untuk tidak mematuhinya.
3.      Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan
yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya.
4.      Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan
kecenderungan meningkatnya kepatuhan.
Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak :
1.    Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah
yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan— bukan pihak otoritas.
2.    Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi
perintah yang merusak adalah tidak layak.
3.    Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka mempertanyakan
keahlian dan motif dari figure-figur tersebut.
4.    Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan
kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri. Hal ini bisa dicegah dengan
diingatkan bahwa ia sendiri mengemban tanggung jawab, individu harus diberi tahu secara jelas
bahwa perintah-perintah yang dekskrutif tidak diperbolehkan, dan juga individu perlu meninjau
ulang motif dari atasannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Secara sadar maupun tidak, individu pada dasarnya cenderung untuk mengikuti aturanaturan
yang terdapat di lingkungan sosialnya. Seperti ketika seseorang memilih pakaian yang sama
dengan orang lain dalam lingkungannya karena mengikuti tren berpakaian yang ada di
lingkungannya, padahal orang tersebut bisa saja tidak memilih pakaian yang sama dengan orang
lain jika ia mau tetapi ia memilih untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang
disekitarnya agar sesuai dengan prilaku orang lain dan hal inilah yang disebut dengan
konformitas (conformity).
Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah
lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008 dalam Sarwono
& Meinarno, 2012).
Compliance (ketundukan memenuhi permintaan orang lain) didefinisikan sebagi
melakukan apa-apa yang diminta orang lain, walau mungkin kita tidak suka (Taylor, Peplau,
Sears, 2009). Hal utama dari compliance adalah kemauan kita untuk merespon permintaan orang
lain, misalnya ketika kita sedang berjalan disebuah mall dan ada seseorang yang menawarkan
anda selebaran promosi suatu produk, biasanya meskipun anda tidak menginkan membeli produk
tersebut anda akan tetap mengambil brosur yang ditawarkan.
Obdience merupakan salah satu jenis pengaruh social, di mana seseorang menaati dan
mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur
power (Baron, Branscombe, dan Bryrne, 2008) Aspek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan
(obedience), keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau
memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih
jarang terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya
melalui (velvet glove) melalui permintaan dan bukannya perintah langsung. Seseorang mentaati
dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur
power.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, W. Sarwito, Meinarno, A. Eko, 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika
Mulyadi, Seto DKK. 2016. Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Gunadarman

Anda mungkin juga menyukai