Anda di halaman 1dari 31

Pemberian Obat pada Kulit

Merupakan cara memberikan obat pada kulit dengan mengoleskan bertujuan mempertahankan hidrasi, melindungi
permukaan kulit, mengurangi iritasi kulit, atau mengatasi infeksi. Pemberian obat kulit dapat bermacam-macam
seperti krim, losion, aerosol, dan sprei.
Alat dan Bahan:
1. Obat dalam tempatnya (seperti losion, krim,aerosol, sprei).
2. Pinset anatomis.
3. Kain kasa.
4. Kertas tisu.
5. Balutan.
6. Pengalas.
7. Air sabun, air hangat.
8. Sarung tangan.

Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Pasang pengalas di bawah daerah yang akan dilakukan tindakan.
4. Gunakan sarung tangan.
5. Bersihkan daerah yang akan di beri obat dengan air hangat (apabila terdapat kulit mengeras) dan gunakan pinset
anatomis.
6. Berikan obat sesuai dengan indikasi dan cara pemakaian seperti mengoleskan, mengompres.
7. Kalau perlu tutup dengan kain kasa atau balutan pada daerah diobati.
8. Cuci tangan.

2.2 Pemberian Obat Topikal pada Kulit


2.2.1 Pengertian
Pemberian obat topikal pada kulit merupakan cara memberikan obat pada kulit dengan
mengoleskan obat yang akan diberikan. Pemberian obat topikal pada kulit memiliki tujuan yang
lokal, seperti pada superficial epidermis. Obat ini diberikan untuk mempercepat proses
penyembuhan, bila pemberian per-oral tidak dapat mencapai superficial epidermis yang miskin
pembuluh darah kapiler. Efek sistemik tidak diharapkan pada pemberian obat topikal pada kulit
ini. Apabila terjadi kerusakan kulit setelah penggunaan obat topikal pada kulit, maka
kemungkinan besar efek sistemik akan terjadi.2
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu karena tidak banyak
obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan pengobatan topical pada kulit
tergantung pada:
         Umur
         Pemilihan agen topikal yang tepat
         Lokasi dan luas tubuh yang terkena atau yang sakit
         Stadium penyakit
         Konsentrasi bahan aktif dalam vehikulum
         Metode aplikasi
         Penentuan lama pemakaian obat
Penetrasi obat topical pada kulit, melalui: stratum korneum  epidermis  papilla dermis  aliran
darah2
Proses penyerapan obat topikal jika diberikan pada kulit, yaitu:
         Lag phase - hanya di atas kulit, tidak masuk ke dalam darah
         Rising - dari stratum korneum diserap sampai ke kapiler dermis darah
         Falling - obat habis di stratum korneum. Jika terus diserap kedalam, khasiatnya akan semakin berkurang
Kurangnya konsentrasi obat yang sampai ke tempat sasaran bisa karena proses eksfoliasi (bagian
atas kulit mengelupas), terhapus atau juga karena tercuci.
Faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan obat, diantaranya adalah2:
         Keadaan stratum korneum yang berperan sebagai sawar kulit untuk obat.
         Oklusi, yaitu penutup kedap udara pada salep berminyak yang dapat meningkatkan penetrasi dan mencegah
terhapusnya obat akibat gesekan, usapan serta pencucian. Namun dapat mempercepat efek samping, infeksi,
folikulitis dan miliaria jika penggunaannya bersama obat atau kombinasinya tidak tepat.

         Frekuensi aplikasi, seperti pada obat kortikosteroid yang kebanyakan cukup diaplikasikan satu kali sehari, serta
beberapa emolien (krim protektif) yang akan meningkat penyerapannya setelah pemakaian berulang, bukan karena
lama kontaknya.

         Kuantitas obat yang diaplikasi


Jumlah pemakaian obat topikal pada kulit ini harus cukup, jika pemakaiannya berlebihan justru
malah tidak berguna. Jumlah yang akan dipakai, sesuai dengan luas permukaan kulit yang
terkena infeksi (setiap 3% luas permukaan kulit membutuhkan 1 gram krim atau salep).
         Faktor lain
Faktor lain seprti peningkatan penyerapan, dapat terjadi apabila:
     Obat dipakaikan dengan cara digosok sambil dipijat perlahan
     Dioles searah dengan pertumbuhan folikel rambut
     Ukuran partikel obat diperkecil
     Sifat kelarutan dan penetrasi obat diperbaiki
     Konsentrasi obat yang diberikan tepat
Contoh obat topikal untuk kulit :
1.      Anti jamur    : ketoconazol, miconazol, terbinafin
2.      Antibiotik     : oxytetrasiklin
3.      Kortikosteroid : betametason, hidrokortison
2.2.2 Tujuan
Pemberian obat topikal pada kulit bertujuan untuk mempertahankan hidrasi atau cairan
tubuh untuk mencapai homeostasis, melindungi permukaan kulit, mengurangi iritasi kulit,
menghilangkan gejala atau mengatasi infeksi. 2
2.2.3 Jenis
Pemberian obat topikal pada kulit dapat bermacam-macam seperti:

          Krim
          Salep (ointment)
          Lotion
          Lotion yang mengandung suspensi
          Bubuk atau powder
          Spray aerosol.

2.2.4 Keuntungan dan Kerugian

         Keuntungan
Untuk efek lokal, mencegah first-pass effect serta meminimalkan efek samping sistemik.
Untuk efek sistemik, menyerupai cara pemberian obat melalui intravena (zero-order)
         Kerugian
Secara kosmetik kurang menarik
Absorbsinya tidak menentu
2.2.5 Alat dan Bahan
        Troli
        Baki dan alas
        Perlak dan alas
        Bengkok (nierbekken)
        Air DTT dalam kom
        Kapas
        Sarung tangan
        Kassa kecil steril (sesuai kebutuhan)
        Kassa balutan, penutup plastik dan plester (sesuai kebutuhan)
        Lidi kapas atau tongue spatel
        Obat topikal sesuai yang dipesankan (krim, salep, lotion, lotion yang mengandung suspensi,
bubuk atau powder, spray aerosol)
        Buku obat (ISO)
        Baskom
        Larutan klorin 0.5% dalam tempatnya
        Sabun cuci tangan
        Lap handuk
        Tempat sampah basah dan kering

pemberian obat pada mata

 Indikasi dan kontra indikasi pemberian obat pada mata


Indikasi
Biasanya obat tetes mata digunakan dengan indikasi sebagai berikur
         meredakan sementara mata merah akibat iritasi ringan yang dapat disebabkan oleh debu, sengatan sinar matahari,
pemakaian lensa kontak, alergi atau sehabis berenang.

         antiseptik dan antiinfeksi.


         radang atau alergi mata.
Kontraindikasi
Obat tetes mata yang mengandungnafazolin hidroksida tidak boleh digunakan pada penderita
glaukoma atau penyakit mata lainnya yang hebat, bayi dan anak. Kecuali dalam pegawasan dan
nasehat dokter.
2.1.4 Persiapan Alat dan Bahan
Alat dan Bahan:
1. Obat dalam tempatnya dengan penetes steril atau berupa salep.
2. Pipet.
3. Pinset anatomi dalam tempatnya.
4. Korentang dalam tempatnya.
5. Plestier.
6. Kain kasa.
7. Kertas tisu.
8. Balutan.
9. Sarung tangan.
10. Air hangat/kapas pelembab.
a.       tetes atau salep mata
1.      botol obat dengan tetes mata steril atau tube salep.
2.      Patch dan plester mata (bila perlu).
3.      Kartu, format, atau huruf cetak nama obat.
4.      Bola kapas atau tisu.
5.      Wadah cuci berisi air hangat atau lap.
6.      Sarung tangan sekali pakai.
b.      cakram intraokuler
1.      cakram obat.
2.      Kartu, format, atau huruf cetak nama obat.
3.      Sarung tangan sekali pakai. 1
2.1.5 Prosedur kerja1

No. Langkah Rasional Gambar

1. Tinjau kembali program obat Memastika kelepatan


dari dokter, termasuk nama pemberian obat.
klien, nama obat, konsentrasi
obat, jumlah tetesan obat (jika
dalam bentuk cair), waktu dan
mata (kanan atau kiri) yang
menerima obat.
2. Cuci tangan Mengurangi penularan
mikroorganisme.

3. Siapkan peralatan dan suplai Tetes mata tersedia


c.       tetes atau salep mata dalam bemtuk botol
7.      botol obat dengan tetes mata plastik atau kaca.
steril atau tube salep. Salep dignakan dalam
8.      Patch dan plester mata (bila tube kecil.
perlu).
9.      Kartu, format, atau huruf
cetak nama obat.
10.  Bola kapas atau tisu.
11.  Wadah cuci berisi air hangat
atau lap.
12.  Sarung tangan sekali pakai.
d.      cakram intraokuler
4.      cakram obat.
5.      Kartu, format, atau huruf
cetak nama obat.
6.      Sarung tangan sekali pakai.
4. Periksa atau identifikasi klien Memastikan klien yang
dengan membaca gelang menerima obat benar.
identifikasi atau menanyakan
nama klien
5. Jika tercapai patch mata,
lepaskan.
6. Kaji kondisi stuktur mata luar. Memberi data dasar
yang selanjutnya
digunakan untuk
menentukan apakah
timbul respon lokal
terhadap pengobatan
juga mengindikasikan
perlunya
membersihkan mata
sebelum obat
diberikan.
7. Periksa apakah klien alergi Klien akan megalami
terhadap lateks, jika alergi respons
gunakan sarung tangan yang hipersensitivitas jika
buka lateks. sarung tangan
menyentuh membran
mukosa.
8. Jelaskan prosedur kepada Klien sering merasa
klien. cemas tentang obat
yang dimasukan ke
mata karena adanya
kemungkinan
ketidaknyamanan.
9. Atur suplai di sisi tempat tidur Memastikan prosedur
dan gunakan sarung tangan. yang lancar dan teratur.
Sarunng tangan
mengurangi pajanan
terhadap drainase yang
infeksius.
10. Minta klien untuk berbaring Memudahkan obat
terlentang atau duduk dikursi dimasukkan dan
dengan kepala sedikit memudahkan drainase
hiperekstensi. yang ekluar dari mata.
11. Jika ada krusta (keropeng) Krusta atau drainase
atau drainase disepanjang merupakan tempat
kelopak mata atau kantus mikroorganisme
dalam, buang dengan berkumpul.
perlahan. Basahi kerak yang Membasahi krusta
kering dan sulit dipindahkan akan mempermudah
dengan menggunakan kain pembuangannya,
atau bola kapas lembab dengan demikian
selama beberapa menit. Selalu mencegah tekanan
mengusap dari kantus ke langsung pada mata.
kantus luar.
12. Masukan obat tetes, salep atau Kapas atau tisu
cakram: mengabsorpsi obat
a.       Jika memasukkan obat tetes yang keluar dari mata.
atau salep, dengan tangan Teknik ini
yang tidak dominan, pegang memenjankan kantong
bola kapas atau tisu pembersih konjungtiva. Menarik
pada tulang pipi klien tepat di kembali (retraksi)
bawah kelopak mata. lingkaran tulang mata.
b.      Jika memasukan obat tetes Mencegah tekanan dan
atau salep, dengan tisu atau trauma pada bola mata
kapas diletakkan dibawah dan mencegah jari
kelopak mata bawah, tekan menyentuh mata.
kebawah dengan lembut, Tindakan ini menarik
dengan ibu jari atau telunjuk kornea ke atas dan
pada lingkaran tulang mata. menjauhi kantong
c.       Minta klien melihat konjungtiva dan
kelangit-langit. mengurangi stimulasi
refleks mengedip.
d.      Memasukkan tetes mata: Membantu mencegah
1.      Dengan tangan yang dominan alat tetes mata
pada dahi klien, pegang alat tetes menyentuh struktur
mata berisi obat kira-kira sampai 2
mata secara tidak
cm diatas kantong konungtiva.
sengaja sehingga
2.      Teteskan sejumlah tetesan
mengurangi resiko
yang diresepkan ke dalam
cedera pada mata dan
kantong konjungtiva.
perpindahan infeksi ke
3.      Jika klien mengedip atau
alat tetes mata. Obat
menutup mata atau jika tetes
mata sudah disterilkan.
mata jatuh dibatas mata luar,
Kantong konjungtiva
ulangi prosedur.
biasanya menampung 1
4.      Ketika memberikan obat yang
sampai 2 tetes.
dapat menimbulkan efek sistemik,
lindungi jari anda dengan tisu bersih Memasukkan tetesan
dan beri tekanan lembut pada duktus ke dalam kantong mata
nasolakrimalis klien selama 30 memungkinkan
sampai 60 detik.
distribusi yang merata.
5.      Setelah memasukkan obat,
Efek terapeutik
minta klien untuk menutup
diperoleh hanya jika
mata dengan lembut.
tetesan mata masuk ke
kantong konjungtiva.
Mencegah aliran obat
berlebihan ke dalam
saluran hidung dan
faring. Mencegah
absorpsi ke sirkulasi
sistemik.
Membantu distribusi
obat, mendorong obat
dari kantong
konjungtiva
e.       Memasukkan salep mata: Obat didistribusi
1.      Dengan memegang aplikator merata dalam mata
salep diatas batas kelopak mata dan batas kelopak
mata, berikan aliran salep tipis mata.
mrata disepanjang sisi dalam Mengurangi refleks
kelopak mata bawah pada mengedip selama
konjungtiva. pemberian salep.
2.      Minta klien melihat Mendistribusikan obat
kebawah. merata dalam mata dan
3.      Berikan aliran tipis salep batas kelopak mata
konjungtiva di sepanjang Mendistribusikan obat
kelopak atas mata. lebih lanjut tanpa
4.      Minta klien menutup mata menimbulkan trauma
dan menggosok kelopak pada mata.
dengan lembut dalam gerakan Meningkatkan rasa
memutar menggunakan kapas. nyaman dan mencegah
5.      Jika terdapat kelebihan obat trauma pada mata
pada kelopak mata, seka obat Mengurangi peluang
tersebut dengan lembut dari infeksi
bagian dalam ke bagian luar
kantus.
6.      Jiak klien menggunakan
patch mata, kenakan dengan
menempatkan patch  yang
bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga yang bersih
diatas  mata yang diobati,
sehingga yang bersih diatas 
mata yang diobati, sehingga
yang bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga yang bersih
diatas  mata yang diobati,
sehingga yang bersih diatas 
mata yang diobati, sehingga
yang bersih diatas  mata yang
diobati, sehingga seluruh mata
tertutup. Plester dengan baik
tanpa menekan mata.
f.       Memasang  cakram inokuler Memungkinkan
1.      Buka kemasan berisi cakram perawat atau bidan
obat dengan lembut, tekan menginspeksi adanya
cakram pada ujung jari kerusakan atau
sehingga cakram melekat pada deformitas cakram
jari. sebelelum diberikan.
2.      Dengan tangan yang lain, Menyiapkan kantong
tarik kelopak mata bawah konjungtiva untuk
klien menjauhi matanya. menerima cakram obat.
Minta klien melihat ke atas. Menjamin pengantaran
3.      Tempatkan cakram didalam obat.
kantong konjungtiva, sehingga Menjamin keakuratan
cakram mengapung pada pengantaran obat.
sklera antara iris dan kelopak
mata bawah.
4.      Tarik kelopak mata bawah
klien keluar dan keatas
cakram. Seharusnya tidak bisa
melihat cakram pada saat ini.
Ulangi tindakan ini jika dapat
melihat cakram obat.
13. Keluarkan cakram intraokuler Mengurangi penularan
a.       Cuci tangan dan kenakan mikroorganisme.
sarung tangan. Menyiapkan klien
b.      Jelaskan prosedur kepada untuk menjalani
klien. prosedur.
c.       Dengan lembut tarik kelopak
mata bawah klien untuk
memajankan cakram.
d.      Dengan jri telunjuk dan ibu jari
tangan yang lain, jepit cakram obat
dan angkat keluar dari mata klien.

14. Buang  suplai yang kotor ke Mempertahankan


dalam wadah yang tepat. lingkungan yang rapi
Lepas dan buang sarung pada sisi tempat tidur
tangan dan cuci tangan. dan mengurangi
penularan
mikroorganisme.
15. Observasi resons klien Mengevaluasi reaksi
terhadap pengobatan, terhadap obat.
perhatikan tanda dan gejala
efek sistemik yang potensial
dan kondisi mata.
16. Catat konsentrasi obat, jumlah Pencatatan yang tepat
tetesan atau cakram waktu pada waktunya
pemberian dan mata yang mencegah kesalahan
menerima obat (kanan atau dalam pemberian obat
kiri). (misal, pengulangan
pemberian dosis obat
atau pemberian obat
terlewat)

Teknik Pemberian Obat secara Parenteral


Teknik Pemberian Obat secara Parenteral

Lima bulan yang lalu, tepatnya bulan Juli 2007 artikel suplemen mengangkat
sebuahartikel mengenai teknik pengobatan via air minum atau pengobatan oral.
Kesempatan kali inikami akan menyampaikan tentang teknik pengobatan
parenteral yaitu pemberian obat melalui injeksi atau suntikan. Di dunia
perunggasan teknik injeksi lebih familiar dipakai untuk  pemberian vaksin,
terutama vaksin inaktif, sedangkan untuk pengobatan masih relatif jarang
dilakukan. Kebanyakan peternak lebih memilih memberikan obat melalui air minum.Obat
injeksi diartikan sebagai sediaan steril bebas pirogen (senyawa organik yang
menimbulkan demam yang berasal dari kontaminasi mikrobia). Berdasar pada
definisitersebut, maka syarat obat suntik adalah steril. Jika tidak steril maka bisa
dipastikan bukanefek ampuh dari obat yang kita peroleh, melainkan penyakit ayam
menjadi semakin parah.Kondisi steril tentu saja tidak hanya pada sediaan obat
yang kita gunakan tetapi alat suntik yang kita gunakan juga harus dalam kondisi
steril.Sediaan obat injeksi dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu larutan, suspensi dan
emulsi.Bentuk sediaan obat injeksi berupa larutan yang relatif encer akan lebih
cepat diabsorpsi(diserap) dalam tubuh dan menghasilkan efek terapi yang lebih
cepat dibandingkan bentuk suspensi dan emulsi.Teknik parenteral mungkin jarang
digunakan, namun pada kondisi tertentu teknik  pengobatan ini sangat diperlukan.
Pada umumnya teknik ini dilakukan guna memperolehkerja obat yang cepat,
misalnya saat kondisi ayam parah dimana nafsu makan dan minumturun. Selain itu
bisa disebabkan sifat zak aktif dari obat yang bisa rusak atau tidak efektif  jika
diberikan via oral (air minum, ransum).

Jenis Teknik Pengobatan Parenteral

Dalam dunia kedokteran, obat dapat disuntikkan ke dalam hampir seluruh organ atau bagian tubuh,
termasuk sendi, ruang cairan sendi, tulang punggung bahkan dalam kondisigawat dapat disuntikkan dalam
jantung. Lain halnya dalam dunia perunggasan, teknik injeksiyang biasanya diaplikasikan adalah suntikan
intramuskuler dan subkutan.Lokasi penyuntikan obat yaitu intramuskuler (IM), intravena (IV) dan subkutan (SC)
 
Suntikan  intramuskuler Injeksi intramuskuler dilakukan dengan memasukkan obat ke dalam
otot (daging).Obat tersebut selanjutnya akan terabsorpsi ke pembuluh darah yang terdapat pada
otot.Tempat penyuntikkan sebaiknya sejauh mungkin dari syaraf-syaraf utama atau
pembuluhdarah utama. Selain itu, hendaknya dipilih otot dengan suplai pembuluh
darah dankontraksi (pergerakan) otot yang banyak. Pada ayam, lokasi penyuntikan
intramuskuler  biasanya dilakukan pada otot dada (pectoral ) atau otot paha (femur ). 
Aplikasi ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan titik
tempat jarum ditusukkan dan di mana obat ditempatkan. Jika terjadi kesalahan maka
bisamengakibatkan terjadinya paralisis akibat rusaknya syaraf, abses, kista, emboli,
hematommaupun terkelupasnya kulit. Produk yang diberikan secara intramuskuler
antara lain

Gentamin, Vet Strep atau Injeksi Vitamin B Kompleks. Suntikan intramuskuler di bagian dada
dan paha. Perhatikan kemiringan jarum suntik,sebaiknya ± 30o.y

Suntikan subkutanSedikit berbeda dengan suntikan intramuskuler, lokasi


penyuntikan subkutan beradadi bawah permukaan kulit (di antara daging/otot
dengan kulit) dan untuk ayam biasanyadipilih lokasi penyuntikan di leher bagian
belakang sebelah bawah. Kulit leher ayamdicubit sehingga lebih memudahkan dalam
penyuntikan. Apabila di sekitar leher ayam basah, itu menandakan bahwa obat yang
disuntikkan tidak masuk sempurna ke bawahkulit.Suntikan subkutan di leher bagian
bawah. Hati-hati dengan syaraf yang terdapat di leher 

 Obat yang diaplikasikan dengan suntikan subkutan adalah obat yang tidak mengiritasi
jaringan kulit. Setelah obat disuntikkan ke bawah kulit, obat akan berdifusi dicairan
antar sel kulit, kemudian terabsorpsi ke pembuluh darah. Efek pengobatan
denganteknik ini relatif lebih lambat (efek depo atau sustained effect ) jika
dibandingkan dengan suntikan .Volume obat yang disuntikan dengan teknik ini relatif
lebih kecil daripada jumlahobat yang diberikan secara intramuskuler. Obat-obat yang
bisa mengiritasi sebaiknyatidak diberikan dengan suntikan subkutan karena dapat memicu
timbulnya rasa sakit,lecet atau abses dan rasa nyeri. Saat melakukan pemberian obat dengan teknik
suntikan subkutan di daerah leher harus dilakukan secara hati-hati karena pada bagian ini
juga terdapat syaraf dan jikaterkena dapat  menyebabkan ayam tortikolis bahkan
kematian

Kelemahan dan Kelebihan Parenteral

 Aplikasi pengobatan parenteral tentu saja mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya :

Memerlukan ketrampilan khususTidak setiap orang atau personal kandang mampu


mengaplikasikan teknik  pengobatan ini. Hal ini disebabkan teknik ini membutuhkan ketrampilan
khusus,diantaranya mengetahui anatomi tubuh ayam maupun teknik penyuntikan yang baik.
pemberian obat dengan cara inhalasi

TERAPI INHALASI RESPIRATORY

1. PENDAHULUAN
Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori (saluran
pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas
ketika serangan asma dapat dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik penggunaan inhaler yang sesuai. 1

Setelah sekian lama, terapi inhalasi memainkan peranan penting di dalam merawat penyakit asma dan penyakit paru
lainnya. Obat yang diberikan dengan cara ini absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas,
terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat
diberikan langsung pada bronkus. Tidak seperti penggunaan obat secara oral (tablet dan sirup) yang terpaksa melalui
sistem penghadangan oleh pelbagai sistem tubuh, seperti eleminasi di hati. 1,2

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan demikian, efek
samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian
lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar
mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru. 1,2

2.   DEFINISI

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi. 3

Terapi inhalasi juga dapat diartikan sebagai suatu pengobatan yang ditujukan untuk mengembalikan perubahan-
perubahan patofisiologi pertukaran gas sistem kardiopulmoner ke arah yang normal, seperti dengan menggunakan
respirator atau alat penghasil aerosol. 4

3.   TINJAUAN ANATOMI-FISIOLOGIS SALURAN NAPAS

Untuk memahami tentang penggunaan serta farmakokinetik (terutama absorpsi dan bioavailabilitas) dan
farmakodinamik obat secara inhalasi, sebelumnya kita harus memahami anatomi dan fisiologi pernapasan terlebih
dahulu.

Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (penghantar udara) dan
bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara bolak-balik di antara atmosfir
dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi (dead space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi
juga berfungsi sebagai proteksi dan pengaturan kelembaban udara. Adapun yang termasuk ke dalam konduksi
adalah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkur dan bronkiolus nonrespiratorius. 5

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang
terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris. 5

Secara histologis epitel yang melapisi permukaan saluran pernapasan terdiri dari epitel gepeng berlapis berkeratin
dan tanpa keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia pada rongga hidung, trakea, dan
bronkus; epitel silindris rendah/kuboid bersilia dengan sel piala pada bronkiolus terminalis; epitel kuboid selapis
bersilia pada bronkiolus respiratorius; dan epitel gepeng selapis pada duktus alveolaris dan sakus alveolaris serta
alveolus. Di bawah lapisan epitel tersebut terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah,
serabut saraf dan kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos dan serabut elastin. 6

Dari semua itu barulah kita pahami bagaimana obat dapat masuk dan bekerja pada paru-paru. Obat masuk dengan
perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui saluran pernapasan, kemudian menempel
pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot
polos.
Agar obat dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ, maka ukuran partikel obat
harus disesuaikan dengan ukuran/diameter saluran napas.

4.   TUJUAN DAN SASARAN

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara
sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan
pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkannya.

Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, meng-encerkan sputum, menurunkan
hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi. Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka panjang untuk
menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat, terutama penggunaan kortikosteroid. 3

5.   INDIKASI

Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
sindrom obstruktif post tuberkulosis, fibrosis kistik, bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang
kental dan lengket. 3

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan obat lain
yang berbentuk aerosol. 2

Pada penyakit Asma dan Chronic Obstructive pulmonal disease (COPD = PPOK & PPOM) terapi inhalasi
merupakan terapi pilihan. 7 Dengan terapi inhalasi obat dapat masuk sesuai dengan dosis yang diinginkan, langsung
berefek pada organ sasaran. Dari segi kenyamanan dalam penggunaan, cara terapi MDI banyak disukai pasien
karena obat dapat mudah di bawa ke mana-mana. Kemasan obat juga menguntungkan karena dalam satu botol bisa
dipakai untuk 30 atau sampai 90 hari penggunaan. 8

6.   KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau
obat yang digunakan. 3

7.   CARA PENGGUNAAN BERBAGAI TERAPI INHALASI

Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan
(gas powered hand held nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4)
pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator. 3,7
7.1. INHALER DOSIS TERUKUR

Inhaler dosis terukur atau lebih sering disebut MDI diberikan dalam bentuk inhaler aerosol dengan/tanpa spacer dan
bubuk halus (dry powder inhaler) yaitu diskhaler, rotahaler, dan turbohaler. Pada umumnya digunakan pada pasien
yang sedang berobat jalan dan jarang dipergunakan di rumah sakit. Cara ini sangat mudah dan dapat dibawa
kemana-mana oleh pasien, sehingga menjadi pilihan utama pagi penderita asma. 1,3,7

MDI terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian kotak yang mengandung zat dan bagian mouthpiece. Bila bagian kotak yang
mengandung zat ini dibuka (ditekan), maka inhaler akan keluar melalui mouthpiece. 1,7

Pemakaian inhaler aerosol. Inhaler dikocok lebih dahulu agar obat homogen, lalu tutupnya dibuka à inhaler
dipegang tegak, kemudian dilakukan maksimal ekspirasi pelan-pelan à mulut inhaler diletakan di antara kedua bibir,
lalu katupkan kedua bibir dan lakukan inspirasi pelan-peran. Pada waktu yang sama kanester ditekan untuk
mengeluarkan obat tersebut dan penarikan napas diteruskan sedalam-dalamnya à tahan napas sampai 10 detik atau
hitungan 10 kali dalam hati. Prosedur tadi dapat diulangi setelah 30 detik sampai 1 menit kemudian tergantung dosis
yang diberikan oleh dokter. 1,3

Pemakaian inhaler aerosol dengan ruang antara (spacer). Inhaler dikocok lebih dahulu dan buka tutupnya,
kemudian mulut inhaler dimasukan ke dalam lubang ruang antara à mouth piece diletakan di antara kedua bibir, lalu
kedua bibir dikatupkan, pastikan tidak ada kebocoran à tangan kiri memegang spacer, dan tangan kanan memegang
kanester inhaler à tekan kanester sehingga obat akan masuk ke dalam spacer, kemudian tarik napas perlahan dan
dalam, tahan napas sejenak, lalu keluarkan napas lagi. Hal ini bisa diulang sampai merasa yakin obat sudah terhirup
habis. 3

Pemakaian diskhaler. Lepaskan tutup pelindung diskhaler, pegang kedua sudut tajam, tarik sampai tombol terlihat
à tekan kedua tombol dan keluarkan talam bersamaan rodanya à letakkan diskhaler pada roda, angka 2 dan 3
letakkan di depan bagian mouth piece à masukan talam kembali, letakan mendatar dan tarik penutup sampai tegak
lurus dan tutup kembali à keluarkan napas, masukan diskhaler dan rapatkan bibir, jangan menutupi lubang udara,
bernapas melalui mulut sepat dan dalam, kemudian tahan napas, lalu keluarkan napas perlahan-lahan. à putar
diskhaler dosis berikut dengan menarik talam keluar dan masukan kembali. 3

Pemakaian rotahaler. Pegang bagian mulut rotahaler secara vertikal, tangan lain memutar badan rotahaler sampai
terbuka à masukan rotacaps dengan sekali menekan secara tepat ke dalam lubang epat persegi sehingga puncak
rotacaps berada pada permukaan lubang à pegang permukaan rotahaler secara horizontal dengan titik putih di atas
dan putar badan rotahaler berlawanan arah sampai maksimal untuk membuka rotacaps à keluarkan napas
semaksimal mungkin di luar rotahaler, masukan rotahaler dan rapatkan bibir dengan kepala agak ditinggikan dengan
kepala agak ditengadahkan ke belakang à hiruplah dengan kuat dan dalam, kemudian tahan napas selama mungkin.
à lalu keluarkan rotahaler dari mulut, sambil keluarkan napas secara perlahan-lahan. 3

Pemakaian turbohaler. Putar dan lepas penutup turbohaler à pegang turbohaler dengan tangan kiri dan menghadap
atas lalu dengan tangan kanan putar pegangan (grip) ke arah kanan sejauh mungkin kemudian putar kembali
keposisi semula sampai terdengar suara klik à hembuskan napas maksimal di luar turbohaler à letakkan mouth piece
di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada kebocoran di sekitar mouth piece kemudian tarik napas
dengan tenang sekuat dan sedalam mungkin à sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbohaler dari mulut. Jika
yang diberikan lebih dari satu dosis ulangi tahapan 2 – 5 (tanda panah) dengan selang waktu 1 – 2 menit – pasang
kembali tutupnya. 3

Setelah penggunaan inhaler. Basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan
obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut
akibat efek obat (terutama kortikosteroid). 1

Cara mencuci. Kegagalan mencuci inhaler dengan cara yang benar akan menimbulkan sumbatan dan pada akhirnya
dapat mengurangi jumlah/dosis obat. Cusi bekar serbuk yang tertinggal di corong inhaler. Keluarkan belas obat dan
basuh inhaler dengan air hangat dengan sedikit sabun. Keringkan dan masukan kembali ke dalam tempatnya. 1

Bagaimana cara untuk mengetahui inhaler sudah kosong. Setiap inhaler telah dilabelkan dengan jumlah dos
yang ada. Contoh di bawah akan menerangkan bagaimana untuk menentukan kandungan obat di dalam inhaler. Jika
botol obat mengandungi 200 hisapan dan kita harus mengambil 8 hisapan sehari, maka obat habis dalam 25 hari.
Jika kita mula menggunakan inhaler pada tanggal 1 Mei, maka gantikan inhaler tersebut dengan yang baru pada/atau
sebelum tanggal 25 Mei. Tulis tanggal mula menggunakan inhaler pada botol obat untuk menghindari kesalahan.

Kandungan inhaler juga boleh diperkirakan dengan cara memasukkan botol obat ke dalam air. Kedudukan botol
obat di dalam air menggambarkan kandungan obat dalam inhaler.

7.2. PENGUAPAN (NEBULIZER)


Cara ini digunakan dengan memakai disposible nebulizer mouth piece dan pemompaan udara (pressurizer) atau
oksigen. Larutan nebulizer diletakan di dalam nebulizer chamber. Cara ini memerlukan latihan khusus dan banyak
digunakan di rumah sakit. Keuntungan dengan cara ini adalah dapat digunakan dengan larutan yang lebih tinggi
konsentrasinya dari MDI. Kerugiannya adalah hanya 50 – 70% saja yang berubah menjadi aerosol, dan sisanya
terperangkap di dalam nebulizer itu sendiri. 7
Jumlah cairan yang terdapat di dalam hand held nebulizer adalah 4 cc dengan kecepatan gas 6 – 8 liter/menit.
Biasanya dalam penggunaannya digabung dalam mukolitik (asetilsistein) atau natrium bikarbonat. Untuk
pengenceran biasanya digunakan larutan NaCl. 1,7

Cara menggunakannya yaitu: Buka tutup tabung obat, masukan cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis yang
ditentukan à gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol “on” pada nebulizer à jika
memakai masker, maka uap yang keluar dihirup perlahan-lahan dan dalam inhalasi ini dilakukan terus menerus
sampai obat habismasker. Bila memakai mouth piece, maka tombol pengeluaran `erosol ditekan sewaktu inspirasi,
hirup uap yang keluar perlahan-lahan dan dalam. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10 – 15
menit). 3

Beberapa contoh jenis nebulizer antara lain: Simple nebulizer; Jet nebulizer, menghasilkan partikel yang lebih
halus, yakni antara 2 – 8 mikron. Biasanya tipe ini mempunyai tabel dan paling banyak dipakai di rumah sakit.
Beberapa bentuk jet nebulizer dapat pula diubah sesuai dengan keperluan, sehingga dapat digunakan pada ventilator
dan IPPB, dimana dihubungkan dengan gas kompresor. 7

Ultrasonik nebulizer, alat tipe ini menggunakan frekuensi vibrator yang tinggi, sehingga dengan mudah dapat
mengubah cairan menjadi partikel kecil yang bervolume tinggi, yakni mencapai 6 cc/menit dengan partikel yang
uniform. Besarnya partikel adalah 5 mikron dan partikel dengan mudah masuk ke saluran pernapasan, sehingga
dapat terjadi reaksi, seperti bronkospasme dan dispnoe. Oleh karena itu alat ini hanya dipakai secara intermiten,
yakni untuk menghasilkan sputum dalam masa yang pendek pada pasien dengan sputum yang kental. 7

Antomizer nebulizer, partikel yang dihasilkan cukup besar, yakni antara 10 – 30 mikron. Digunakan untuk
pengobatan laring, terutama pada pasien dengan intubasi trakea.7

7.3. INTERMITEN POSITIVE PRESSURE BREATHING

Cara ini biasanya diberikan di rumah sakit dan memerlukan tenaga yang terlatih. Cara ini jauh lebih mahal dan
mempunyai indikasi yang terbatas, terutama untuk pasien yang tidak dapat bernapas dalam dan pasien-pasien yang
sedang dalam keadaan gawat yang tidak dapat bernapas spontan. Untuk pengobatan di rumah cara yang terbaik
adalah dengan menggunakan MDI. 7

7.4. VENTILATOR

Dapat dengan menggunakan MDI atau hand held nebulizer, yakni melalui bronkodilator Tee. Dengan cara ini
sebenarnya tidak efektif oleh karena banyak aerosol yang mengendap, sehingga cara ini dianggap kurang efektif
dibandingkan dengan MDI. 7
8.   AEROSOL DAN KEBERHASILAN TERAPI

Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu: Ukuran partikel. Partikel
dengan ukuran 8 – 15 mikron dapat sampai ke bronkus dan bronkiolus, sedangkan partikel dengan ukuran 2 mikron
dapat sampai le alveolus. Akan tetapi partikel dengan ukuran 40 mikron hanya dapat sampai di bronkus utama.
Partikel yang banyak digunakan pada terapi aerosol adalah partikel yang berukuran antara 8 – 15 mikron. 7

Gravitasi (gaya berat). Semakin besar suatu partikel, maka akan semakin cepat pula partikel tersebut menempel
pada saluran pernapasan. Akan tetapi keadaan ini juga tergantung pada viskositas dari bahan pelarut yang dipakai. 7

Inersia. Inersia menyebabkan partikel didepositkan. Molekul air mempunyai massa yang lebih besar daripada
molekul gas di dalam saluran pernapasan. Partikel yang ada di bronkus lebih mudah bertabrakan daripada partikel
yang ada di saluran pernapasan yang besar. Semakin kecil diameter saluran pernapasan, maka akan semakin besar
pula pengaruh dari inersia gas. 7

Aktivitas kinetik. Keadaan ini dialami oleh partikel yang lebih kecil dari 0,5 mikron. Semakin besar energi kinetik
yang digunakan, maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya tabrakan di antara aerosol dan akan semakin
mudah terjadinya kolisi dan selain itu juga akan semakin mudah partikel tersebut bergabung. 7

Sifat-sifat alamiah dari partikel. Sifat-sifat alamiah dari partikel ditentukan oleh tonik (osmotik). Larutan yang
hipotonik akan mudah kehilangan air akibat dari penguapan. Aerosol elektrik yang dihasilkan oleh ultrasonik
nebulizer bermuatan lebih besar daripada mekanikal nebulizer. Pada temperatur yang panas molekul-molekul akan
mempunyai ukuran yang lebih besar dan akan mudah jatuh. 7

Sifat-sifat dari pernapasan. Pada prinsifnya jumlah dari aerosol yang berubah menjadi cairan ditentukan pula oleh
volume tidal, frekuensi pernapasan, kecepatan aliran inspirasi, dan apakah bernapas melalui mulut atau hidung, dan
juga memeriksa faal pernapasan pada umumnya. 7

9.   OBAT/ZAT PADA TERAPI INHALASI

Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2 simpatomimetik, seperti
metaprotenolol (Alupen), albuterol (Venolin dan Proventil), terbutalin (Bretaire), bitolterol (Tornalat), isoetarin
(Bronkosol); Steroid seperti beklometason (Ventide), triamnisolon (Azmacort), flunisolid ( Aerobid); Antikolinergik
seperti atropin dan ipratropium (Atrovent); dan Antihistamin sebagai pencegahan seperti natrium kromolin (Intal). 7

Keuntungan dari aerosol ini baik diberikan secara aerosol maupun dengan inhaler, adalah memberikan efek
bronkodilator yang maksimal yang lebih baik dari cara pemberian lain, sementara itu pengaruh sistemiknya hampir
tidak ada. Oleh karena itu cara pengobatan ini adalah merupakan cara yang paling optimal. 1,7,8
10.   EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI

Jika aerosol diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan
(bronkospasme). Disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat
terjadi. 7

11.   KESIMPULAN

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi. Terapi inhalasi merupakan satu
teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik.

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan demikian, efek
samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian
lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar
mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara
sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan
pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkannya. Seperti untuk  mengatasi
bronkospasme, meng-encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan obat lain
yang berbentuk aerosol. Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif pada pasien
dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan

Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan
(gas powered hand held nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4)
pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator.

Setelah penggunaan inhaler, basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan obat
yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat
efek obat (terutama kortikosteroid). Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa faktor,
yaitu: ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia partikel, aktivitas kinetik, sifat alamiah partikel, dan sifat dari
pernapasan pasien.

Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2 simpatomimetik, kortikosteroid,
antikolinergik, dan antihistamin. Bahaya iritasi saluran napas dan terjadinya bronkospasme serta reaksi
hipersensitivitas (obat atau vehikulum) dapat terjadi pada penggunaan terapi ini.
Tahap Pemberian Suntikan Epidural
Tahap Pemberian Suntikan Epidural

Suntikan Epidural
Menjelang akhir persalinan tahap pertama dan saat persalinan tahap kedua, umumnya bantuan lebih
lanjut untuk mengurangi rasa sakit dan tidak nyaman adalah anestesi atau pembiusan. Pembiusan yang
populer di Indonesia adalah epidural atau painless labour. Pembiusan ini memblok rasa sakit di rahim,
leher rahim, dan bagian atas vagina. Meskipun demikian, otot panggul tetap dapat melakukan gerakan
rotasi kepala bayi untuk keluar melalui jalan lahir. Ibu tetap sadar dan bisa mengejan ketika diperlukan
meskipun dibius.
Mekanisme kerja epidural sebagai berikut. Tulang punggung terdiri dari tulang belakang yang terpisah-
pisah. Tulang belakang melindungi urat saraf tulang belakang yang membentang dari pinggul hingga ke
pangkal leher. Urat saraf tulang belakang terdiri dari jutaan serabut saraf. Semuanya terhubung ke otak
dan ke seluruh bagian tubuh dengan rute berbeda-beda. Secara fungsi, serabut saraf dibagi dua jenis,
yaitu serabut urat saraf sensoris dan serabut urat saraf motoris. Serabut saraf sensoris berfungsi
menyampaikan pesan, seperti rasa sakit, panas, dan dingin dari tubuh ke otak. Serabut saraf motoris
bekerja sebaliknya, yaitu menyampaikan pesan dari otak ke bagian tubuh, antara lain “menyuruh” tubuh
bergerak atau berkontraksi.
Pada pembiusan epidural, bagian yang dibius atau diberi penawar sakit adalah urat saraf sensoris
sehingga sakit saat kontraksi di rahim tidak sampai ke otak. Akibatnya, ibu pun tidak merasakan sakit.
Namun, pembiusan ini tidak boleh terkena urat saraf motoris sehingga otak tetap dapat “memerintahkan”
otot-otot rahim berkontraksi.
Di punggung, urat saraf dikelilingi selubung berisi air yang disebut dura. Antara dura dengan tulang
terdapat rongga yang dilalui serabut urat saraf menuju dan dari berbagai bagian tubuh yang disebut
epidura. Pembiusan dilakukan dengan memasukkan jarum kecil berisi tabung (kateter) yang sangat kecil
melalui otot punggung ibu hingga ke epidura, dan dengan sangat hati-hati menarik ujung jarum hingga
tabung polythene tertinggal di dalam rongga epidura. Sekarang, dokter dapat memberi pembiusan
melalui tabung di dalam rongga tersebut.
Pembiusan epidural harus dilakukan dokter spesialis anestesi. Ketika memasukkan jarum suntik, ibu
diminta menekuk seperti posisi bayi dalam perut. Setelah itu, ibu harus diawasi karena dapat mengalami
efek samping, seperti mual, kejang, dingin, sakit kepala, hingga penurunan tekanan darah sampai titik
sangat rendah yang tentu tidak balk bagi ibu maupun janin. Untuk mengatasi penurunan tekanan darah,
kadang dokter menyertai pembiusan epidural dengan suntikan 500 ml cairan ke pembuluh darah sebelum
pembiusan.
Selain itu, karena tidak merasakan sakit akibat suntikan epidural, mungkin ibu menjadi sulit untuk
membantu kelahiran bayi dengan mengandalkan otot perutnya dan mendorong ketika terjadi kontraksi
rahim. Hal ini menyebabkan persalinan tahap kedua lebih lama dibanding ibu yang tidak mendapat
epidural. Ada kemungkinan, bayi dikeluarkan dengan bantuan forsep atau vacum.
Dari penelitian yang dilakukan pada bayi baru lahir alami atau per vagina dengan ibu yang menggunakan
metode ini, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada nilai APGAR pertama dan kelima antara
bayi studi dengan bayi kontrol. Selain itu, tidak didapatkan perbedaan kejadian bayi kuning dan lama
perawatan di rumah sakit.
Di negara barat, banyak ibu menggunakan metode epidural. Sepuluh persen dari mereka menyatakan
metode ini tidak efektif dan rasa sakit tetap dialami. Sepuluh persen lainnya mengeluh epidural
menimbulkan kejang dan dingin. Namun, 800/0 ibu merasakan manfaat metode ini. Kini, teknik epidural
disempurnakan dengan dikembangkannya teknik blok epidural kontinu, yaitu teknik epidural yang
dikendalikan pasien (patient controlled epidural analgesia) dan teknik kombinasi epidural spinal
(combined spinal epidural analgesia).
Di bawah ini keuntungan penggunaan epidural.
• Delapan puluh persen ibu berhasil mengatasi rasa sakit.
• Tidak mengacaukan pikiran.
• Membantu dalam mengontrol tekanan darah tinggi.
• Mengembalikan kemampuan ibu mengontrol persalinan sehingga mengembalikan rasa percaya diri.
• Kini, epidural lebih canggih. Penggunaannya tidak memberi efek kebas pada kaki dan tangan.
Berikut ini kerugian penggunaan epidural.
• Mungkin, ibu merasa mati rasa hanya di sebagian tubuh. Sebagian kecil perut tidak mengalami efek
pembiusan.
• Ibu harus tetap di tempat tidur dan merasa sangat menggigil.
• Mungkin, ibu membutuhkan infus di tangan karena epidural membuat tekanan darah beberapa wanita
turun. Efeknya kurang baik bagi suplai oksigen ke bayi. Cara pencegahannya, tambah segera volume
darah untuk membuat tekanan darah normal kembali.
• Mungkin, kateter terpasang di kandung kemih ibu. Penggunaan epidural menyebabkan ibu tidak dapat
memperkirakan waktu untuk buang air kecil sehingga ibu buang air kecil secara otomatis.
• Mungkin, ibu merasa tidak sepenuhnya sadar. Dengan terpasangnya tiga tabung di tubuhnya, ibu harus
diberi tahu saatnya mengejan jika efek pembiusan belum hilang pada tahap melahirkan.
• Epidural dapat memperpanjang waktu persalinan, khususnya fase mengejan dan melahirkan bayi.
• Denyut jantung bayi harus dimonitor sepanjang waktu.
• Ada kemungkinan penggunaan forsep atau vacum untuk membantu kelahiran bayi karena seringkali
epidural membuat bayi tidak dapat bergerak ke posisi yang pas untuk dikeluarkan.
• Pada saat jarum epidural dicabut dan tabungnya dilepas, kemungkinan ada kebocoran cairan rongga
epidura. Cairan ini dapat bergesekan dengan serabut saraf tulang belakang. Padahal, pergesekan sedikit
saja dapat menimbulkan sakit kepala berat. Hal ini dapat diatasi dengan mengambil sedikit darah dari
tangan ibu. Biasanya, sehari setelah kelahiran bayi dan menyuntikkannya ke punggung untuk menutup
lubang akibat jarum epidural.
• Beberapa ibu mendapat masalah berkemih setelah menggunakan epidural.
• Epidural tidak dapat digunakan pada persalinan di rumah.
Dalam menggunakan epidural, perhatikan tip-tip di bawah ini.
• Usahakan diam tidak bergerak saat ahli anestesi memasang epidural di punggung ibu. Posisi ibu dapat
berbaring menyamping atau menekuk seperti posisi bayi dalam perut. Konsentrasilah pada pernapasan.
Tarik napas panjang melalui hidung, kemudian keluarkan perlahanlahan melalui mulut. Pegang tangan
pendamping persalinan dan pertahankan kontak mata dengannya.
• Diskusikan dengan dokter kemungkinan melepas epidural pada tahap mengejan. Jika ibu dapat
merasakan kontraksi saat itu, ibu lebih efektif mengejan.
Mobile epidural
Mobile epidural adalah epidural dalam dosis lebih sedikit dan diberikan dalam teknik baru sehingga
meskipun dapat menghilangkan rasa sakit, tetapi ibu tetap dapat merasakan sensasi kakinya karena kaki
tidak ikut kebal.
Cara penggunaannya persis epidural biasa. Sebuah tabung dipasangkan melalui jarum yang ditusukkan
di bagian bawah punggung. Obat anestesi yang dicampur obat pereda sakit, seperti pethidin atau
fentanyl dimasukkan ke dalam tubuh melalui selang kecil. Cara kerjanya juga mirip epidural biasa, hanya
ibu tidak merasa kebal di kaki. Mobile epidural juga diberikan sepanjang tahap persalinan pertama saat
ibu tidak sanggup menahan sakit akibat kontraksi atau di awal persalinan jika ibu sama sekali tidak mau
merasakan sakit kontraksi. Keuntungannya, ini merupakan cara sangat baik untuk menghilangkan rasa
sakit dan selama penggunaannya ibu tetap dapat bergerak. Kerugiannya, kualitas bergerak masih
dibatasi. Mungkin, ibu hanya dapat bergerak dari tempat tidur ke kursi atau berjalan dengan bantuan.
Kerugian lain, epidural ini sama dengan penggunaan epidural biasa.
Pemberian Obat via Anus/Rektum

Pemberian Obat via Anus/Rektum


Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum, dengan tujuan memberikan
efek lokal dan sistemik. Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang bertujuan untuk
mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak pada daerah feses dan merangsang buang air besar.

Contoh pemberian obat yang memiliki efej lokal seperti obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal untuk
meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi
bronkus. Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat pada dnding rektal yang melewati sfingter ani interna.
Kontra indikasi pada pasien yang mengalami pembedahan rektal.
Alat dan Bahan:
1. Obat suppositoria dalam tempatnya.
2. Sarung tangan.
3. Kain kasa.
4. Vaselin/pelicin/pelumas.
5. Kertas tisu.

Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Gunakan sarung tangan.
4. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa.
5. Oleskan ujung pada obat suppositoria dengan pelicin.
6. Regangkan glutea dengan tangan kiri, kemudian masukkan suppositoria dengan perlahan melalui anus, sfingter
anal interna dan mengenai dinding rektal kurang lebih 10 cm pada orang dewasa, 5 cm pada bayi atau anak.
7. etelah selesai tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan tisu.
8. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring telentang atau miring selama kurang lebih 5 menit.
9. Setelah selesai lepaskan sarung tangan ke dalam bengkok.
10. Cuci tangan.
11. Catat obat, jumlah dosis, dan cara pemberian.

Pemberian Obat per Vagina


Merupakan cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui vagina, yang bertujuan untuk mendapatkan
efek terapi obat dan mengobati saluran vagina atau serviks. Obat ini tersedia dalam bentuk krim dan suppositoria
yang digunakan untuk mengobati infeksi lokal.

Alat dan Bahan:


1. Obat dalam tempatnya.
2. Sarung tangan.
3. Kain kasa.
4. Kertas tisu.
5. Kapas sublimat dalam tempatnya.
6. Pengalas.
7. Korentang dalam tempatnya.

Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Gunakan sarung tangan.
4. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa.
5. Bersihkan sekitar alat kelamin dengan kapas sublimat.
6. Anjurkan pasien tidur dalam posisi dorsal recumbert.
7. Apabila jenis obat suppositoria maka buka pembungkus dan berikan pelumas pada obat.
8. Regangkan labia minora dengan tangan kiri dan masukkan obat sepanjang dinding kanal vaginal posterior sampai
7,5-10 cm.
9. Setelah obat masuk, bersihkan daerah sekitar orifisium dan labia dengan tisu.
10. Anjurkan untuk tetap dalam posisi kurang lebih 10 menit agar obat bereaksi.
11. Cuci tangan.
12. Catat jumlah, dosis, waktu, dan cara pemberian.

Catatan: apabila menggunakan obat jenis krim, isi aplikator krim atau ikuti petunjuk krim yang tertera pada
kemasan, renggangkan lipatan labia dan masukkan aplikator kurang lebih 7,5 cm dan dorong penarik aplikator untuk
mengeluarkan obat dan lanjutkan sesuai langkah nomor 8,9,10,11.

Pervaginam
Untuk obat ini bentuknya hampir sama atau menyerupai obat yang diberikan secara rektal, hanya saja dimasukkan
ke dalam vagina

Teknik Pemberian Obat per oral,sublingual


Tehnik Pemberian Obat

Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa cara di antiaranya: oral,
parenteral, rektal, vaginal, kulit, mata, telinga dan hidung, dengan menggunakan prinsip lima
tepat yakni tepat nama pasien, tepat nama obat, tepat dosis obat, tepat cara pemberian dan tepat
waktu pemberian.

Pemberian Obat per Oral


Merupakan cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan mencegah, mengobati, mengurangi
rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis obat.
Alat dan Bahan:
1. Daftar buku obat/ catatan, jadual pemberian obat.
2. Obat dan tempatnya.
3. Air minum dalam tempatnya.

Prosedur Kerja:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Baca obat, dengan berprinsip tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat waktu dan tepat
tempat.
4. Bantu untuk meminumkannya dengan cara:
 Apabila memberikan obat berbentuk tablet atau kapsul dari botol, maka tuangkan jumlah yang
dibutuhkan ke dalam tutup botol dan pindahkan ke tempat obat. Jangan sentuh obat dengan
tangan. Untuk obat berupa kapsul jangan dilepaskan pembungkusnya.
 Kaji kesulitan menelan, bila ada jadikan tablet dalam bentuk bubuk dan campur dengan
minuman.
 Kaji denyut nadi dan tekanan darah sebelum pemberian obat yang membutuhkan pengkajian.
5. Catat perubahan, reaksi terhadap pemberian, dan evaluasi respon terhadap obat dengan
mencatat hasil pemberian obat.
6. Cuci tangan.

Pemberian Obat Per Oral/ Sublingual

Pemberian Obat Per oral

            Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena merupakan cara
yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara
oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorbsi, maka pemberian obat
per oral dapat disertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain (Gbr. 40-2).
            Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak
dapat dipakai pada keadaan gawat. Obat yang diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30

sampai dengan 45 menit sebelum diabsorbsi dan efek puncaknya dicapai setelah 1 sampai 1 jam.
Rasa dan bau obat yang tidak enak sering menganggu pasien. Cara per oral tidak dapat dipakai pada
pasien yang  mengalami mual- mual, muntah, semi koma, pasien yang akan menjalani pengisapan cairan
lambung serta pada pasien yang mempunyai gangguan menelan.
            Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan menyebabkan muntah (missal
garam besi dan salisilat). Untuk mencegah hal ini, obat dipersiapkan dalam bentuk kapsul yang
diharapkan tetap utuh dalam suasana asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau
basa di usus. Dalam memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak boleh
dikunyah dan pasien diberi tahu untuk tidak minum antacid atau susu sekurang- kurangnya satu jam
setelah minum obat.
            Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus dilakukan dengan cara yang
paling nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau rasanya tidak enak. Pasien dapat diberi minuman
sirup pasien (es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah minum sirup pasien dapat diberi minum,
pencuci mulut atau kembang gula.
Gambar 4-2. Persiapan pemberian obat per oral.
Persiapan obat per oral dan cara lainnya merupakan hal yang penting. A, Kartu pesanan obat
harus diperiksa secara hati- hati tentang pesanan obatnya. Sebelum mengambil/ mengeluarkan obat,
perawat harus mencocokkan kartu pesanan obat dengan label pada botol kemasan obat. Setiap label
harus dibaca tiga kali untuk menyakinkan obat yang diberi (1) Pada saat botol obat diambil dari almari, (2)
Pada saat mencocokkan dengan kartu pesanan obat, (3) Pada saat dikembalikan. B, Obat dalam bentuk
cair dituangkan menjauhi sisi label, sejajar dengan mata pada permukaan yang datar. Sebelum
mengembalikan obat ke dalam almari atau lemari es, perawat harus mengusap bibir botol sehingga obat
tidak lengket atau merusak label. C, Tablet dan kapsul dikeluarkan dari botolnya pada tutupnya kemudian
pada mangkok yang dialasi kertas untuk diberikan pada pasien. Kapsul dan tablet tidak boleh dipegang.
(Diadaptasikan dari :Pagliaro, 1986, Pharmacologic Aspects of Nursing, The CV Mosby co, St Louis).

Cara kerja pemberian obat per oral


Peralatan :
1.      Baki berisi obat- obatan atau kereta sorong obat- obat (tergantung sarana yang ada)
2.      Kartu rencana pengobatan
3.      Cangkir disposable untuk tempat obat
4.      Martil dan lumping penggerus (bila diperlukan).
Tahap kerja :
1.      Siapan peralatan dan cuci tangan
2.      Kaji kemammpuan pasien untuk dapat minum obat per oral (kemapuan menelan, mual dan muntah, akan
dilakuakn penghisapan caiaran lambung, atau tidak boleh makan/ minum).
3.      Periksa kembali order pengobatan (nama pasien,nama dan dosis obat, waktu dan cara pemberian). Bila
ada keragu- raguan laporkan ke perawat jaga atau dokter.
4.      Ambil obat sesuai yang diperlukan (Baca order pengobatan dan ambil obat di almari, rak atau lemari es
sesuai yang di perlukan).
5.      Siapkan obat- obatan yang akan diberikan (gunakan teknik asptik, jangan menyentuh obat dan cocokkan
dengan order pengobatan) (lihat Gbr. 4-1).
6.      Berikan obat pada waktu dan cara yang benar yaitu dengan cara :
         Yakin bahwa tidak pada pasien yang salah
         Atur posisi pasien duduk bila mungkin
         Berikan cairan/ aiar yang cukup untuk membantu menelan, bila sulit menelan anjurkan pasien
meletakkan obat di lidah bagian belakang, kemudian pasien dianjurkan minum.
         Bila obat mempunyai rasa tidak enak, beri pasien berapa butir es batu untuk diisap sebelumnya, atau
berikan obat dengan menggunakan lumatan apael atau pisang.
         Tetap bersama pasien sampai obat ditelan. 
7.      Catat tindakkan yang telah dilakukan meliputi nama dan dosis obat yang diberikan, setiap keluhan dan
hasil pengkajian pada pasien. Bila obat tidak dapat masuk, catat secara jelas dan tulis tanda tangan anda
dengan jelas.
8.      Kemudian semua peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar kemudian cuci tangan.
9.      Lakukan evaluasi mengenai efek obat pada pasien kurang lebih 30 menit sewaktu pemberian.

Pemberian Secara Sublingual


Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara meletakkan obat di bawah
lidah. Meskipun cara ini jarang dilakukan, namun perawat harus mampu melakukannya. Dengan cara ini,
aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke
dalam pembuluh darah. Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami kesakitan. Pasien
diberitahu untuk tidak menelan obat karena bila ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses
kimiawi dengan cairan lambung. Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien diberitahu untuk
membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap. Obat yang sering
diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi
pembuluh darah. Obat ini banyak diberikan pada pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina
pectoris. Dengan cara sublingual, obat bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya
dalam waktu tiga menit (Rodman dan Smith, 1979).

Anda mungkin juga menyukai