Anda di halaman 1dari 50

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOORPERATIF TIPE THINK PAIR

SHARE (TPS) TERHADAP KETERAMPILAN BERFIKIR KREATIF DITINJAU


DARI JENIS KELAMIN SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 TAPUNG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memnuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program
Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

MEILA HANDAINI

NIM.1784202008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI

BANGKINANG

2019/2020

ABSTRAK

MEILA HANDAINI (2020): Pengaruh Model Pembelajaran Koorpreratif Tipe

Think Pare Share (TPS) Terhadap Keterampilan Berfikir


Kreatif Ditinjau Dari Jenis Kelamin Siswa Kelas X SMA

NEGERI 3 TAPUNG

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara

kelompok siswa yang belajar dengan model Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran

konvensional, (2) mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa

laki-laki dan kelompok siswa perempuan, (3) mengetahui pengaruh interaksi antara model

pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan berpikir kreatif. Penelitian ini

tergolong quasi experiment dengan rancangan posttest-only control group design.Populasi

penelitian adalah siswa kelas X SMA NEGERI 3 TAPUNG kecamatan Tapung kabupaten

Kampar yang berjumlah 104 orang. Sampel penelitian ini dipilih dengan teknik random

sampling. Instrumen penelitian adalah tes keterampilan berpikir kreatif. Data dianalisis

menggunakan statistik deskriptif, dan ANAVA AB. Hasil penelitian menunjukkan (1)

terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model Think Pair Share (TPS) dan kelompok siswa yang dibelajarkan

dengan model pembelajaran konvensional (Fhitung = 31,662 dengan sig = 0,001). (2)

terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa laki-

laki dan kelompok siswa perempuan (Fhitung = 4,751 dengan sig = 0,033). (3) terdapat

interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan

berpikir kreatif (Fhitung = 4,751 dengan sig = 0,033).

Kata kunci: Model TPS, gender, berpikir kreatif


Abstract

This study aims to (1) to know the difference of creative thinking skills among the group of

students who studied with Think Pair Share (TPS) model and those who learn by

conventional learning models, (2) to know the difference of creative thinking skills among

groups of male students and female students, (3) to know the effect of interaction between

learning model and gender toward the creative thinking skills. This study is classified into

quasi-experimental design with posttest-only control group design. Population of this study

was the fifth grade of elementary students Gugus III Tambora Melaya at Jembrana regency in

the academic year 2015/2016 which amounted to 104 students. The research sample was

chosen by random sampling technique. The research instrument used creative thinking skills

test. The data were analyzed using descriptive statistics and ANOVA AB. The results of this

study showed (1) there were significant differences of creative thinking skills between the

groups of students who taught by Think Pair Share (TPS) model and those who taught by
conventional learning models (Fcount = 31.662 with sig = 0.001). (2) there were significant

differences of creative thinking skills between groups of male students and female students

(Fcount = 4.751 with sig = 0,033). (3) there were significant interaction between the learning

model and gender toward the creative thinking skills (Fcount = 4.751 with sig = 0,033).

Keywords: TPS Model, Gender, Creative Thinking.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena

berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat meneylesaikan skripsi dengan judul

Pengaruh Model Pembelajaran Koorperatif Tipe Think Pair Share (Tps) Terhadap

Keterampilan Berfikir Kreatif Ditinjau Dari Jenis Kelamin Siswa Kelas X SMA Negeri 3

Tapung. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana

Strata-1 Univeritas Pahlawan Tuanku Tambusai Riau.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari begitu banyak bantuan dari

berbagai pihak yang telah memberikan uluran tangan dan kemurahan hati kepada penulis.

Terutama kepada Ayahanda Andi Satria dan Ibunda tercinta Sunarni, yang telah banyak

memberikan dukungan baik moral maupun material. Selain itu, pada kesempatan ini penuls

juga ingin menyatakan dengan penuh hormat ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Astuti Yunus, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika

Universitas Pahlawan dan selaku dosen penguji II yang telah menyempurnakan

penyusunan skripsi ini, sekaligus selaku penasehat akademis yang telah banyak

membimbing masa-masa perkuliahan penulis.

2. Kasman Edi Putra, M.Si. selaku pembimbing I skripsi yang telah meluangkan

waktu, tenaga dan pikirian untuk menyempurnakan skripsi ini.


3. Zulfah M.Pd. Selaku dosen pembimbing II skripsi yang telah meluangkan waktu,

tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasehat

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Adityawarman Hidayat, M.Pd. selaku dosen penguji I yang telah

menyempurnakan penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberi bekal ilmu yang tidak ternilai harganya

selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Pendidikan Matematika.

6. Kakakku Tersayang Kiki Sri Jayanti, beserta keluargaku yang tercinta yang telah

memberikan dukungan dan semangat selama penyeselaian skripsi ini.

7. Temanku Reza. Yang telah memberikan bantuan tekhnologi, serta semangat

dalam peneyelesian skripsi ini.

8. Teman-temanku di Jurusan Pendidikan Matematika khususnya angkatan 2017

(Dicky, Melma, Umay, Fitri, Dewi, Andi, Afdhal,Ardi, Afrizal) yang telah

memberi dukungan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena

keterbatasan kemampuan penulis sendiri disegala bidang, sehingga segala bentuk kritik dan

saran sangat diharapkan dan diterima dengan senang hati.

Semoga segala amal jariah dibalas dengan balasan yang berlipat ganda oleh Allah

Subhanahu Wa Ta’ala. Aamiin YaaRobbal ‘Alamin.

Bangkinang, 21 Maret 2020


Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................

SURAT PERNYATAAN.........................................................................................

HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................................

ABSTRAK................................................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................

B. Rumusan Masalah................................................................................

C. Tujuan Penelitian.................................................................................

D. Manfaat Penelitian...............................................................................

E. Definisi Operaional..............................................................................

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori.........................................................................................

1. Keterampilan Berfikir Kreatif.......................................................

2. Pembelajaran Kooperatif...............................................................

3. Think Pair Share (TPS).................................................................

4. Hubungan Model Pembelajaran Koorperatif Struktural

Think Pair Share (TPS) dengan keterampilan

berfikir Kreatif Matematika...........................................................

B. Penelitian yang Relevan......................................................................

C. Konsep Operasional.............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan

sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu berkompetisi dalam perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah

Indonesia telah menempuh berbagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan

nasional, yakni melakukan penyempurnaan kurikulum, mengadakan berbagai pelatihan

terhadap kualitas guru, pengadaan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Kualitas

sumber daya manusia menyangkut kemampuan manusia baik secara individual maupun

secara kolektif untuk dapat bertahan hidup ditengah tuntutan kebutuhan dan arus

globalisasi. Potensi yang dimiliki oleh siswa dapat terwujud jika proses pendidikan

mampu mendidik siswa dengan baik, memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi dan

karakter yang kuat. Keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi keterampilan berpikir

kritis dan keterampilan berpikir kreatif, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Keterampilan berpikir kreatif adalah dasar dari keterampilan berpikir kritis,

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Dalam kehidupan sehari-hari kita

sering mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana atau keinginan, atau sering

disebut dengan masalah. Ada masalah yang muncul berulang kali dan ada juga masalah

yang belum pernah muncul sebelumnya sehingga diperlukan cara yang efektif dan efisien

untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Untuk memperoleh cara yang efektif dan

efisien inilah, maka dibutuhkan keterampilan berpikir kreatif dalam memecahkan

masalah.
Keterampilan berpikir kreatif sangat penting diajarkan kepada seseorang karena

keterampilan berpikir kreatif merupakan dasar yang memungkinkan seseorang

menanggulangi dan meminimalisir permasalahan dimasa mendatang. Keterampilan

berpikir kreatif dapat membantu seseorang untuk menghadapi berbagai tantangan,

mengkontruksi argumen, memecahkanmasalah dan mengambil keputusan dengan tepat.

Keterampilan berpikir kreatif bukan merupakan karakteristik yang mutlak

dibawa sejak lahir, melainkan dapat dilatihkan dan dikembangkan. Pengembangan

keterampilan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan mengkondisikan pembelajaran

sedemikian rupa sehingga seseorang memperoleh pengalaman-pengalaman dalam

pengembangan keterampilan berpikir kreatif. “Seseorang yang sering berlatih

menggunakan keterampilan berpikir kreatif dicirikan dengan mencetuskan banyak

gagasan, jawaban, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal,

dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mampu mengungkapkan

hal yang baru dan unik, dan mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan

atau produk” (Munandar dalam Susanto, 2013:111).

Dengan keterampilan berpikir kreatif seseorang akan mampu melahirkan banyak

gagasan dalam penyelesaian suatu masalah yang dapat dipercaya dan masuk akal, serta

dapat berpikir secara divergen untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam

kehidupan sehari-hari. Keterampilan berpikir kreatif sangat penting dilatih dan

dikembangkan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi awal dapat

diketahui kondisi pembelajaran yang ada pada saat ini justru sebaliknya, yaitu

pengelolaan pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa belum

ditangani secara optimal.

Proses pendidikan merupakan wahana pertumbuhan potensi yang dimiliki oleh

siswa dan guru adalah seseorang yang memfasilita sinya tanpa mencampuri dan
mengontrol proses belajar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pebelajar secara mandiri

merupakan tanggung jawab utama proses pembelajaran terhadap dirinya. Proses

pembelajaran di kelas hendaknya tidak terlalu didominasi oleh guru, dimana siswalah

yang lebih aktif dalam penentuan tujuan belajar dan sumber belajar. Proses pembelajaran

di kelas seharusnya mampu membangun kemauan siswa untuk berperan aktifdalam

mengikuti pembelajaran. Guru hanya berperan sebagai fasilitator saja sedangkan siswa

mempelajari sesuatu dengan mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Namun pada

kenyataannya, proses pembelajaran yang terjadi saat ini, pada umumnya hanya

berorientasi pada hafalan yang bersifat tidak permanen, kurang bermakna, kurang

terintegrasi, dan kurang membantu siswa untuk melatih kemampuan berpikir kreatif.

Selain itu, proses pembelajaran di kelas lebih didominasi oleh guru (teacher

centered), dimana siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan dan mencatat materi

pelajaran yang disampaikan oleh gurunya sehingga hanya terjadi komunikasi satu arah

saja. Proses pembelajaran seperti ini dianggap kurang mampu melatih keterampilan

berpikir kreatif siswa di sekolah. Keterampilan berpikir kreatif siswa juga tidak terlepas

dari faktor internal siswa salah satunya adalah jenis kelamin. Dalam pemecahan masalah,

setiap siswa memiliki proses berpikir yang berbeda-beda.

Adanya perbedaan jenis kelamin menyebabkan anak laki-laki dan anak

perempuan mempunyai pengalaman belajar yang berbeda. “Pada umumnya, perempuan

cenderung menggunakan kedua sisi otak mereka secara serentak, sedangkan pria

menggunakan satu sisi atau sisi lainnya. Ini berarti bahwa laki-laki cenderung

menggunakan keterampilan-keterampilan bahasa di otak sebelah kirinya atau

keterampilan-keterampilan pemecahan masalah spasial di otak sebelah kanannya.

Sedangkan perempuan menggunakan keduanya sekaligus” (Gray dalam Hermaya,

1997:91). Orang dewasa memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda,
bahkan saat anak-anak berperilaku sama. Menurut Santrock (dalam Rachmawati & Anna

Kuswani, 2007:263) dalam satu penelitian observasi, anak laki-laki dan perempuan usia

12-16 bulan menunjukkan perilaku asertif yang sama (diukur dari frekuensi usaha

mereka untuk menarik perhatian orang dewasa) dan verbal (diukur dari usaha mereka

untuk berkomunikasi dengan orang lain). Namun guru memberikan respon lebih antusias

terhadap anak laki-laki yang asertif dibandingkan dengan yang pemalu, dan terhadap

anak perempuan yang berkomunikasi secara verbal dari pada yang nonverbal. Secara

halus, guru-guru mendorong perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin. “Saat

dilakukan observasi dengan anak-anak yang sama setahun kemudian, perbedaan gender

sudah tampak, anak laki-laki berperilaku lebih asertif dan anak perempuan berbicara

lebih banyak dengan gurunya” (Fagot Dkk dalam Rachmawati & Anna Kuswani,

2007:263).

Kondisi ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sadker dan Klein

(dalam Rachmawati & Anna Kuswani, 2007:263) yang mengungkapkan bahwa “anak

laki-laki lebih banyak digambarkan dalam peran-peran aktif profesional. Sementara

anak perempuan lebih sering diperlihatkan dalam peran-peran pasif dan mengurus

rumah”. Dalam penelitiannya juga disebut bahwa guru berinteraksi dengan cara yang

berbeda dengan siswa laki-laki dan perempuan. Perbedaan perlakuan antara siswa laki-

laki dan perempuan diduga dapat mempengaruhi perkembangan intelektual siswa seperti

keterampilan berpikir kreatif yang berdampak pada hasil belajar siswa. Berdasarkan

paparan di atas, guru hendaknya meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa

dengan memperhatikan faktor pendekatan belajar dan internalnya. Guru sebagai pendidik

perlu memiliki pengetahuan mengenai model pembelajaran yang dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kreatif siswa.


Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan

sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, “model

pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat kita gunakan untuk

mendesain polapola mengajar secara tatap muka di dalam kelas” (Tabany, 2014:23).

Salah satu model pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran di kelas

dan mampu memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir kreatif dan

memungkinkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain adalah model pembelajaran

kooperatif tipe Think PairShare (TPS).

Menurut Kurniasih dan Sani Berlin (2013:58), model pembelajaran kooperatif

tipe Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi adalah jenis pembelajaran

kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Pada dasarnya,

model ini merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi

kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk

mengendalikan kelas secara keseluruhan dan prosedur yang digunakan dalam Think-

Pair-Share (TPS) dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan

saling membantu. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat

membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan dasar serta pemecahan masalah

yang kompleks. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa model pembelajaran

kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memberikan pengaruh yang positif terhadap

pembelajaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Desia, menyampaikan bahwa siswa

yang belajar mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

secara signifikan memiliki keterampilan berpikir kreatif yang lebih baik dari siswa yang

mengikuti model pembelajaran konvensional.

Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat diterapkan

dalam usaha untuk melatih kemampuan berpikir kreatif siswa. Adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui perbedaan keterampilan

berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran

kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran konvensional; 2) Untuk

mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa laki-laki dan

kelompok siswa perempuan; 3) Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara model

pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan berpikir kreatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu “

Apakah terdapat Pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan berfikir kreatif siswa

ditinjau dari jenis kelamin siswa jika menggunakan strategi Think Pair Share (TPS)?’’

C. Tujuan Penulisan

Penelitian in bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh yang

signifikan terhadap keterampilan berfikir kreatif siswa ditinjau dari jenis kelamin kelas X

SMA Negeri 3 Tapung dengan menggunakan model koorperatif tipe Think Pair Share

(TPS).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi setiap pelaku yang terlibat

dalam proses pembelajaran seperti:

1. Bagi peneliti, penelitian ini bias menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman

peneliti yang sangat berguna ketika mengaplikasikan model tersebut dalam mengajar

nanti. Selanjutnya secara akademis penelitian ini akan dapat memperkaya dan

menambah pengalaman untuk mengatasi masalah dalam pembelajran matematika.


2. Bagi siswa, dapat menerima pengalaman belajar yang bervariasi sehingga dapat

meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika terutama untuk meningkatkan

keterampilan berfikir kreatif pada pelajaran matematika.

3. Guru bias menjadikan alternatif dalam menerapkan model pembelajaran, sehingga

dapat menjadi sumbangan nyata bagi peningkatan professional guru dalam upaya

meningkatkan kreatifitas belajar.

4. Bagi sekolah, penelitian ini bias dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

menentukan model pembelajaran pada waktu –waktu yang akan datang.

E. Definisi Operasional

Kajian ini berkenaan dengan pengaruh model pembelajaran koorperatif tipe Think

Pair Share ( TPS) dengan keterampilan berfikir kreatif siswa ditinjau dari jenis kelamin

siswa SMA. Beberapa istilah yang perlu ditegaskan disini adalah:

1. TPS adalah singkatan dari Think Pair Share atau berpikir-berpasangan-berbagi,

merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola

interaksi siswa.

2. Kemampuan berpikir kreatif terdiri dari dua suku kata yaitu berpikir dan kreatif,

berpikir itu sendiri merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila

mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Terdapat

bermacam-macam cara berpikir antara lain berpikir vertikal, lateral, kritis analitis,

kreatif, dan strategis.


BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Kajian Teori

Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua variabel,
yaitu pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pemberian
Reward dan motivasi belajar siswa.

2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share


Pembahasan variabel model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-
Share mencakup pengertian pembelajaran kooperatif, unsur-unsur pembelajaran
kooperatif, ciri-ciri pembelajaran kooperatif, tujuan pembelajaran kooperatif,
langkah-langkah pembelajaran kooperatif, pengertian dari model pembelajaran
Kooperatif tipe Think-Pair-Share, karakteristik model pembelajaran Kooperatif
tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran
Kooperatif tipe Think-Pair-Share yang akan diuraikan sebagai berikut:.

2.1.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif


Pengajaran kooperatif (Cooperatif Learning) memerlukan pendekatan
pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Houlobec, 2001).
Dalam pembelajaran kooperatif ini berlangsung suasana keterbukaan dan
demokratis, sehingga akan memberikan kesempatan optimal pada anak untuk
bekerja sama dan berinteraksi dengan baik.
Terdapat beberapa pengertian mengenai pembelajaran kooperatif yang
dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Slavin (2009:4) mendefinisikan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah strategi mengajr dimana para siswa bekerja dalam

8
9

kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam


mempelajari materi pelajaran.
Menurut Lie, A (2007: 12) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik
untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur
disebut juga sebagai sistem pembelajaran gotong royong. Menurut Asma N
(Juwita, 2008: 30) pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan yang
mencakup kelompok kecil dari siswa yang bekerjasama sebagai suatu tim untuk
memecahkan masalah, menyelesaikan suatu tugas atau menyelesaikan suatu
tujuan bersama. Senada dengan pernyataan tersebut, Johnson dan Johnson
(Muharromi, 2009: 31) mengartikan pembelajaran kooperatif sebagai
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan
menyelesaikan tugas dalam kelompok kecil dan meyakinkan bahwa setiap
anggota kelompok terlibat dalam menyelesaikan tugas.
Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran kooperatif
sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling -
membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga
dinamakan “belajar teman sebaya.”
Dahlan (Juwita, 2008: 30) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan aktivitas dimana anggota kelompok biasa saling berbagi pengetahuan
dan saling mengoreksi bila terdapat kekeliruan pada kelompok tersebut.
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dengan membentuk kelompok-
kelompok kecil, dimana setiap anggota kelompok dapat saling membantu, berbagi
pengetahuan dan bekerjasama untuk menyelesaikan lembar kegiatan siswa.
Beberapa ahli menyatakan bahwa model ini tidak hanya unggul dalam
membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama dan membantu teman.
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran
10

sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi


yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi
belajarnya.

2.1.1.2 Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif


Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam
kelompok. Lie (2005: 30) menyatakan bahwa terdapat lima unsur dasar
pembelajaraan kooperatif yang membedakannya dengan belajar kelompok pada
umumnya. Kelima unsur model pembelajaran kooperatif tersebut adalah:
1. Saling Ketergantungan Positif
Saling ketergantungan positif memperlihatkan situasi dimana para siswa: 1)
Melihat pekerjaannya bermanfaat bagi kelompoknya dan pekerjaan kelompok
bermanfaat bagi kelompoknya dan pekerjaan kelompok bermanfaat bagi
dirinya. 2) Bekerja bersama dalam kelompok yang kecil untuk
memaksimalkan pembelajaran kepada setiap anggota kelompok, dengan
membagikan pengetahuan masing-masing demi keberhasilan bersama dalam
kelompok.
2. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat dari saling ketergantungan positif. Jika tugas dan
pola penilaian dibuat sesuai prosedur pembelajaran kooperatif, maka setiap
siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Dengan
demikian, keberhasilan metoda kerja kerja kelompok bergantung pada
persiapan guru dalam penyusunan tugasnya.
3. Tatap Muka
Dalam interaksi ini, setiap anggota kelompok saling bertemu muka dan
berdiskusi. Interaksi ini bertujuan untuk mendorong dan memberikan fasilitas
kepada usaha-usaha setiap anggota kelompok dalam menyelesaikan tugasnya.
11

4. Komunikasi Antar Anggota


Untuk dapat menyelesaikan tugas dalam kelompok, siswa harus: 1) Saling
memepercayai, 2) Komunikasi secara akurat, 3) saling menerima dan
menunjang, dan 4) menyelesaikan masalah secara konstruktif. Dengan
demikian, suatu kelompok akan berhasil jika para anggotanya dapat saling
mendengarkan dan saling mengutarakan pendapat mereka.
5. Evaluasi Proses Kelompok
Pada saat pembelajaran kooperatif, guru mengamati kelompok, menganalisa
masalah-masalah yang dibahas kelompok tentang cara kerja mereka.

2.1.1.3 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran kooperatif ditandai oleh struktur tugas, tujuan dan
penghargaan. Siswa bekerja dalam situasi semangat pembelajaran kooperatif atau
membutuhkan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan mereka harus
mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas.
Menurut Ibrahim (2005:67), adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan suatu
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang,
rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan
jenis kelamin yang berbeda.
d. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.
12

2.1.1.4 Tujuan Pembelajaran Kooperatif


Menurut Ibrahim (2005:7), pembelajaran kooperatif memiliki tiga tujuan,
yaitu hasil belajar akademik, penerimaan tehadap perbedaan individu dan
pengembangan keterampilan sosial.

1) Hasil belajar akademik


Pembelajaran kooperatif ini bertujuan untuk meningkatkan kegiatan atau
aktivitas siswa dalam tugas-tugas akademik dan meningkatkan penilaian siswa
pada belajar akademik yang berhubungan dengan hasil belajar.
2) Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan pembelajaran kooperatif disini adalah memberikan kesempatan kepada
siswa untuk saling bekerja sama tanpa membedakan kemampuan/keahlian
sehingga tercipta saling ketergantungan satu sama lain dan belajar untuk
menghargai pendapat orang lain.
3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan pembelajaran kooperatif disini adalah mengajarkan kepada siswa
keterampilan bekerja sama dan kolaborasi juga berguna untuk menumbuhkan
kemampuan kerja sama, berpikir kritis dan membantu teman.
13

2.1.1.5 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif


Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu ditunjukkan pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1 Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
Menyampaikan tujuan dan ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa memotivasi siswa belajar
Fese-2 Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan
Menyajikan informasi jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase-3 Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
Mengorganisasikan siswa caranya membentuk kelompok belajar dan
ke dalam kelompok membantu setiap kelompok agar melakukan
kooperatif transisi secara efisien
Fase-4 Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
Membimbing kelompok pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
bekerja dan belajar
Fase-5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang meteri
Evaluasi yang telah dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase-6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik
Memberikan penghargaan upaya maupun hasil belajar individu dan
kelompok.
Sumber: Ibrahim, dkk. (2000: 10)
14

2.1.1.6 Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS)


Model pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share (TPS) merupakan
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekannya di
Maryland pada tahun 1981 (Lie, 2005: 57). Strategi Think-Pair-Share (TPS) atau
berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Menurut Lie (2002:57)
Think-Pair-Share adalah pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk
bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini, guru sangat
berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga
terciptanya suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja
sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Strategi ini dikembangkan untuk
meningkatkan partisipasi siswa di dalam kelas, sehingga lebih unggul
dibandingkan pembelajaran ceramah yang menggunakan metoda hafalan dasar,
yaitu guru mengajukan pertanyaan dan satu orang siswa memberikan jawaban.
Teknik ini mendorong jawaban siswa setingkat lebih tinggi dan membantu siswa
mengerjakan tugas.
Berikut pendekatan dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share

(TPS) yang disajikan pada Tabel 2.2


Tabel 2.2
Pendekatan Dalam Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share

Aspek Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS)


Tujuan Informasi akademik sederhana
Kognitif
Tujuan Keterampilam kelompok dan keterampilan sosial
Sosial
Struktur Bervariasi, berdua, bertiga, kelompok dengan 4-5 orang
Tim anggota
15

Pemilihan Guru
Topik
Tugas Siswa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan secara sosial
Utama dan kognitif
Penilaian Bervariasi
Pengakuan Bervariasi
Sumber: Ibrahim, dkk. (2000:29)

Menurut Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa teknik belajar


mengajar Think-Pair-Share mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas. Penggunaan metode
pembelajaran TPS menuntut siswa menggunakan waktunya untuk
mengerjakan tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan oleh guru di
awal pertemuan sehingga diharapkan siswa mampu memahami materi
dengan baik sebelum guru menyampaikannya pada pertemuan selanjutnya.
2. Memperbaiki kehadiran. Tugas yang diberikan oleh guru pada setiap
pertemuan selain untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran juga dimaksudkan agar siswa dapat selalu berusaha hadir pada
setiap pertemuan. Sebab bagi siswa yang sekali tidak hadir maka siswa
tersebut tidak mengerjakan tugas dan hal ini akan mempengaruhi hasil
belajar mereka.
3. Angka putus sekolah berkurang. Model pembelajaran TPS diharapkan dapat
memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat
lebih baik daripada pembelajaran dengan model konvensional.
4. Sikap apatis berkurang. Sebelum pembelajaran dimulai, kencenderungan
siswa merasa malas karena proses belajar di kelas hanya mendengarkan apa
yang disampaikan guru dan menjawab semua yang ditanyakan oleh guru.
Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar,
metode
16

pembelajaran TPS akan lebih menarik dan tidak monoton dibandingkan


metode konvensional.
5. Penerimaan terhadap individu lebih besar. Dalam model pembelajaran
konvensional, siswa yang aktif di dalam kelas hanyalah siswa tertentu yang
benar-benar rajin dan cepat dalam menerima materi yang disampaikan oleh
guru sedangkan siswa lain hanyalah “pendengar” materi yang disampaikan
oleh guru. Dengan pembelajaran TPS hal ini dapat diminimalisir sebab semua
siswa akan terlibat dengan permasalahan yang diberikan oleh guru.
6. Hasil belajar lebih mendalam. Parameter dalam PBM adalah hasil belajar
yang diraih oleh siswa. Dengan pembelajaran TPS perkembangan hasil
belajar siswa dapat diidentifikasi secara bertahap. Sehingga pada akhir
pembelajaran hasil yang diperoleh siswa dapat lebih optimal.
7. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem kerjasama yang
diterapkan dalam model pembelajaran TPS menuntut siswa untuk dapat
bekerja sama dalam tim, sehingga siswa dituntut untuk dapat belajar
berempati, menerima pendapat orang lain atau mengakui secara sportif jika
pendapatnya tidak diterima.

Model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) juga mempunyai kelemahan.


Kelemahannya adalah:
1. Metode pembelajaran Think-Pair-Share belum banyak diterapkan di sekolah.
2. Sangat memerlukan kemampuan dan ketrampilan guru, waktu pembelajaran
berlangsung guru melakukan intervensi secara maksimal.
3. Menyusun bahan ajar setiap pertemuan dengan tingkat kesulitan yang sesuai
dengan taraf berfikir anak dan
4. Mengubah kebiasaan siswa belajar dari yang dengan cara mendengarkan
ceramah diganti dengan belajar berfikir memecahkan masalah secara
kelompok, hal ini merupakan kesulitan sendiri bagi siswa (Lie : 2004).
17

Kelemahan lain dari metode TPS adalah pembelajaran yang baru


diketahui, kemungkinan yang dapat timbul adalah sejumlah siswa bingung,
sebagian kehilangan rasa percaya diri, saling mengganggu antar siswa.
Secara umum, tahapan-tahapan dalam pembelajaran ini adalah guru
mengajukan masalah atau pertanyaan bagi siswa untuk diselesaikan. Kemudian,
siswa memikirkan penyelesaianya secara individu lalu berpasangan untuk
mendiskusikan hasil pemikiran mereka. Dua pasang siswa bergabung dalam satu
kelompok berempat dan mendiskusikan permasalahan tersebut kembali. Pasangan
yang terpilih berbagi kesimpulan dengan seluruh kelas.
Dalam model pembelajaran ini, langkah guru yang menyajikan masalah
untuk diselesaikan oleh siswa menunjukkan bahwa guru bertindak tidak hanya
sebagai penyampai informasi, akan tetapi guru juga bertindak sebagai fasilitator.
Dengan demikian, siswa diharapkan berperan aktif dalam memecahkan
permasalahan.

2.1.1.7 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)


Dinamakan TPS berdasarkan tahap utama dalam langkah-langkah yang
ada pada saat pelaksanaannya (National Science Institute for Education, 1997),
yaitu tiga langkah utamanya yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran, yaitu
langkah Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi).

Think (berpikir). Pada langkah ini, pertama-tama guru memancing siswa


melalui suatu pertanyaan permasalahan. Di sini, guru mengajak siswa untuk
berpikir mengenai permasalahan tersebut untuk beberapa saat.

Pair (berpasangan). Pada langkah ini, siswa dapat mencari teman


berpasangan untuk memecahkan permasalahan yang diberikan tadi. Siswa
dapat berpasangan dengan teman sebangkunya untuk lebih mengefektifkan
waktu selama pembelajaran. Di sini, pasangan dapat saling bertukar ide atau
18

pendapat guna memperoleh pemecahan masalah yang terbaik menurut


keduanya.

Share (berbagi). Pada langkah ini, tiap-tiap pasangan dapat membagikan


hasil pemikiran mereka kepada teman lain dan kelas. Teknisnya, guru dapat
memanggil tiap pasangan ke depan kelas untuk berbagi solusi, mendatangi
tiap pasangan, atau mempersilahkan tiap pasangan yang mengajukan diri,
dan lainnya.
Think Pair Share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa
waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain
(Ibrahim dalam Estiti, 2007:10). Pada tahap Think, terdapat “wait or think time”
yakni waktu berpikir. Maksudnya, siswa diberi waktu terlebih dahulu untuk
memikirkan dan memahami permasalahan yang diberikan. Waktu tersebut
diharapkan dapat dapat digunakan oleh siswa untuk mencari solusi permasalahan
yang diberikan berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Dengan adanya waktu
berpikir ini tentu saja dapat meningkatkan kreatifitas siswa dalam berpikir dan
mengungkapkan pendapatnya. Namun perlu diingat, waktu berpikir ini sebaiknya
diberikan dengan batasan yang tidak terlalu lama agar siswa dapat lebih cekatan
dalam berpikir dan dapat segera bertukar pikiran dengan sesama siswa lain seperti
yang terdapat pada langkah berikutnya dari model ini.
Setelah siswa memperoleh solusi versi mereka masing-masing dalam
waktu berpikir tersebut, mereka akan dipasangkan dengan siswa lainnya pada
tahap pair. Di sini, mereka dapat saling bertukar pikiran dan pendapat guna
memperoleh solusi terbaik dari keduanya.
Selanjutnya, guru akan kembali membimbing siswa untuk memasuki
diskusi kelas pada tahap Share. Tiap pasangan akan mempresentasikan solusi
yang telah mereka peroleh pada saat berpasangan. Dengan adanya “pasangan”,
siswa tidak akan merasa malu lagi dalam mengungkapkan pendapatnya ketika
jawaban dari solusi permasalahan yang mereka utarakan dirasa belum memenuhi.
19

Mereka tidak akan takut salah karena mereka merasa dapat berbagi “rasa malu”
yang mungkin timbul. Pada tahap Share ini juga dapat menyadarkan siswa bahwa
seringkali pendapat mereka yang pada awalnya mereka anggap salah, ternyata
tidak salah sama sekali. Dengan kata lain, secara tidak langsung dapat
menumbuhkan keberanian siswa dalam berkomunikasi di depan kelas.
dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling
membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara
kooperatif. Keunggulan dan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa, yaitu
memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk
dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Isjoni, 2006).

2.1.1.8 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS)


Adapun langkah-langkah atau alur pembelajaran dalam Model
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) adalah :

Langkah 1 : Pendahuluan
Pada tahap ini, guru menyampaikan pertanyaan yang merupakan permasalahan.
Tahap ini dimulai dengan guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi
yang akan disampaikan.

Langkah 2 : Think

Pada tahap ini, siswa dituntut berpikir secara individual. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang
disampaikan guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk
menuliskan hasil pemikirannya masing-masing. Siswa membutuhkan penjelasan
bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
20

Langkah 3 : Pair

Selanjutnya, setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan


pasangan. Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka
paling benar atau paling meyakinkan. Interaksi selama waktu yang disediakan
dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan
gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Guru memotivasi siswa
untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi
dengan LKS berupa kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan
secara kelompok.

Langkah 4 : Share

Pada langkah ini, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan


keseluruhan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk
berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar
sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan hasil kelompoknya.
Areans, (1997) disandur Tjokrodihardjo, (2003).

Langkah 5 : Evaluasi
Langkah akhirnya yaitu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan evaluasi dan penguatan
terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan.
Dalam hal peran guru dalam mengajar dapat dilihat dari aktivitas yang
dilakukan oleh guru selama model diterapkan. Langkah-langkah penyelenggaraan
model diskusi Think-Pair-Share dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
21

Tabel 2.3
Langkah-langkah penyelenggaraan model diskusi Think-Pair-Share
Tahap Kegiatan Guru
Tahap 1 menyampaikan tujuan (1) Menyampaikan pendahuluan,
dan mengatur siswa (a)motivasi,
(b)menyampaikan tujuan dasar diskusi
(c) apersepsi;
(2) Menjelaskan tujuan diskusi,
Tahap 2 mengarahkan diskusi (1) Mengajukan pertanyaan
awal/permasalahan;
(2) Modeling,
Tahap 3 menyelenggarakan (1) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
diskusi mengerjakan LKS secara mandiri (think);
(2) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
berpasangan (pair);
(3) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
berbagi (share);
(4) Menerapkan waktu tunggu;
(5) Membimbing kegiatan siswa,
Tahap 4 mengakhiri diskusi Menutup diskusi.
Tahap 5 melakukan Tanya Membantu siswa membuat rangkuman
jawab singkat tentang proses diskusi dengan Tanya jawab singkat
diskusi

Sumber: Tjokrodihardjo, (2003)

Kegiatan “berpikir-berpasangan-berbagi” dalam Model Pembelajaran


Think Pair Share (TPS) memberikan banyak keutungan. Siswa secara individu
dapat mengembangkan pemikirannya masing-masing karena adanya waktu
berpikir (wait or think time), sehingga kualitas jawaban juga dapat meningkat.
22

Menurut Jones (2006), akuntabilitas berkembang karena siswa harus saling


melaporkan hasil pemikiran masing-masing dan berbagi (berdiskusi) dengan
pasangannya, kemudian pasangan-pasangan tersebut harus berbagi dengan
seluruh kelas. Jumlah kelompok yang kecil mendorong setiap anggota untuk
terlibat secara aktif, sehingga siswa jarang atau bahkan tidak pernah berbicara di
depan kelas paling tidak memberikan ide atau jawaban karena pasangannya.
Selain itu, menurut Spencer Kagan manfaat Think Pair Share antara lain :

Para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan


tugasnya dan untuk mendengarkan satu sma lain ketika mereka terlibat dalam
kegiatan Think Pair Share lebih banyak siswa yang mengangkat tangan
mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa
mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan
kualitas jawaban mungkin menjadi lebih banyak.

Para guru juga mungkin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir
ketika menggunakan Think Pair Share. Mereka dapat berkonsentrasi
mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan
pertanyaan tingkat tinggi.
Keunggulan dari Think-Pair-Share ini adalah optimalisasi partisipasi
siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan
membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, model Think-Pair-Share ini
memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi
mereka kepada orang lain. Model ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran
dan untuk semua tingkatan anak didik.

2.1.2 Kajian Tentang Reward


Pembahasan variabel pemberian reward mencakup pengertian reward,
komponen-komponen penerapan reward, syarat-syarat reward dan tujuan reward
yang akan diuraikan sebagai berikut:
23

2.1.2.1 Pengertian Reward


Reward merupakan suatu bentuk teori reward positif yang bersumber dari
aliran Behavioristik yang dikemukakan oleh Watson, Ivan Padlow dan kawan-
kawan dengan teori S-R nya. Reward adalah suatu bentuk perlakuan positif
subyek. Reward atau penghargaan merupakan respon terhadap suatu tingkah laku
yang dapat peningkatan kemungkinan terulang kembalinya tingkah laku tersebut
(Mulyasa, 2007 : 77).
Reward menurut bahasa, berasal dari bahasa inggris Reward yang berarti
penghargaan atau hadiah (John M, Echols, 1996 : 485).
Sedangkan menurut istilah, banyak sekali pendapat yang mengemukakan,
diantaranya, reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan, dalam
konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan
motivasi para pegawai. Metode ini bisa mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan
seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka
melakuakan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi,
reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk
memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Reward adalah salah satu alat pendidikan. Jadi dengan sendirinya maksud
ganjaran itu ialah sebagai alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat
merasa senang, karena perbuatannya atau pekerjaannya mendapat penghargaan.
Selanjutnya yang dimaksud pendidik memberikan reward supaya anak lebih giat
lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi dari pada yang telah
dapat dicapainya. Dengan kata lain, anak menjadi lebih keras kemauannya untuk
bekerja atau berbuat yang lebih baik lagi (Ngalim purwanto, 1984 : 231).
Reward adalah penghargaan yang diberikan oleh seseorang ataupun suatu
institusi. Reward berhubungan dengan antusias yang menyala-nyala orang yang
memilikinya mempunyai keyakinan yang sangat besar terhadap kesuksesan orang
akan mengejar apapun yang mereka inginkan. Pencapaian-pencapaian itulah yang
24

disebut reward, arti reward bukan hanya sekedar hadiah melainkan ada sebuah
pencapaian yang telah dilaluinya.
Reward merupakan sesuatu yang disenangi atau digemari oleh anak-anak
yang diberikan kepada siapa saja yang dapat memenuhi harapan yakni mencapai
tujuan yang ditentukan, atau bahkan mampu melebihinya. Besar kecilnya reward
yang diberikan kepada yang berhak tergantung kepada banyak hal, terutama
ditentukan oleh tingkat pencapaian yang diraih. Tentang bagaimana wujudnya,
banyak ditentukan oleh jenis atau wujud pencapaian yang diraih serta kepada
siapa reward tersebut diberikan. (Suharsimi, 1993 : 160)
Jadi dapat disimpulkan bahwa reward adalah suatu cara yang digunakan
oleh seseorang untuk memberikan suatu penghargaan kepada seseorang karena
sudah mengerjakan suatu hal yang yang benar, sehingga seseorang itu bisa
semangat lagi dalam mengerjakan tugas tersebut. Contohnya seorang guru telah
memberikan penghargaan, atau pujian kepada siswanya yang telah menjawab
pertanyaan dengan baik, atau prestasinya baik, maka siswa itu semangat lagi
dalam mengerjakan tugas itu.
Peranan reward dalam proses mengajar cukup penting terutama sebagai
faktor eksternal dalam mempengaruhi dan mengarahkan perilaku siswa. Hal ini
berdasarkan atas berbagai pertimbangan logis, diantaranya reward biasanya dapat
menimbulkan motivasi belajar siswa, dan reward juga memiliki pengaruh positif
dalam kehidupan siswa. Manusia selalu mempunyai cita-cita, harapan dan
keinginan. Inilah yang dimanfaatkan oleh reward. Maka dengan metode ini,
seseorang mengerjakan perbuatan baik atau mencapai suatu prestasi yang tertentu
diberikan suatu reward yang menarik sebagai imbalan. Dengan demikian dengan
melakukan sesuatu perbuatan atau mencapai suatu prestasi.(Mahfudh, 1987 : 81)
Reward merupakan alat pendidikan yang mudah dilaksanakan dan sangat
menyenangkan bagi siswa, untuk itu reward dalam suatu proses pendidikan
sangat dibutuhkan keberadaannya demi meningkatkan motivasi belajar. Maksud
dari para pendidik memberi reward kepada siswa adalah supaya siswa siswa
25

menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi
yang akan dicapainya, dengan kata lain siswa menjadi lebih keras kemauannya
untuk belajar lebih baik. (Ngalim Purwanto, 1985 : 231)

2.1.2.2 Komponen-Komponen Penerapan Reward


Keterampilan dasar penerapan reward terdiri atas beberapa komponen
yaitu:
a. Reward Verbal (pujian):
1) Kata-kata : bagus, ya benar, tepat, bagus sekali, dan lain-lain;
2) Kalimat : pekerjaan anda baik sakali, saya gembira dengan hasil pekerjaan
anda.
b. Reward non Verbal:
1) Reward berupa mimik dan gerakan badan lain: senyuman, angguan, acungan
ibu jari, tepuk tangan dan lain-lain,
2) Reward dengan cara mendekati, guru mendekati siswa untuk menunjukkan
perhatian, hal ini dapat dilaksanakan dengan cara berdiri disamping siswa,
berjalan menuju kearah siswa, duduk dekat seorang atau kelompok siswa,
berjalan disisi siswa. Guru dapat mengira-ngira berapa lama ia berada
didekat seorang atau kelompok siswa, sebab bila terlalu lama akan
menimbulkan suasana yang tidak baik di kelas.
3) Reward dengan cara sentuhan,
Guru dapat menyatakan persetujuan dan penghargaan terhadap siswa atas
usaha dan penampilannya dengan cara menepuk pundak, menjabat tangan.
4) Reward berupa symbol atau benda,
Reward simbolis ini dapat berupa surat-surat tanda jasa, bisa berupa
sertifikat-sertifikat. Sedangkan yang berupa benda dapat berupa kartu
bergambar, peralatan sekolah, pin, plastic dan lain sebagainya.
26

5) Kegiatan yang menyenangkan,


Guru dapat menggunakan kegiatan-kegiatan atau tugas-tugas yang
disenangi oleh siswa yang memperlihatkan kemajuan dalam pelajaran musik
ditunjuk untuk menjadi pemimpin paduan suara sekolah atau diperbolehkan
menggunakan alat-alat musik pada jam-jam bebas (Uzer Usman, 1991 : 73-
74)
6) Reward dengan memberikan penghormatan,
Reward yang berupa penghormatan tersebut juga dibagi lagi menjadi dua
macam yaitu
Pertama berbentuk semacam penobatan. Yaitu anak yang mendapat
penghormatan diumumkan dan ditampilkan dihadapan temen-temannya,
temen-teman sekolah, atau mungkin juga dihadapkan para teman dan orang
tua murid. Misalnya saja pada malam perpisahan yang akan diadakan pada
akhir tahun, kemudian ditampilkan murid-murid yang telah berhasil menjadi
bintang-bintang kelas. Penobatan dan penampilan bintang-bintang pelajar
untuk semua kota dan daerah, biasanya dilakukan dimuka umum. Misalnya
pada rangkaian upacara hari proklamasi kemerdekaan.
Kedua, penghormatan yang berbentuk pemberian kekuasaan untuk
melakukan sesuatu. Misalnya, kepada anak yang berhasil menyelesaikan
suatu soal sulit, disuruh mengerjakan di papan tulis untuk di contoh temen-
temannya (Amir, 1973 : 159).
7) Reward dengan memberikan perhatian tak penuh.
Diberikan kepada siswa yang memberikan jawaban yang kurang
sempurna. Umpamanya, bila seorang siswa hanya memberikan jawaban
sebagian besar, sebaiknya guru menyatakan, “ya, jawabanmu sudah baik,
tetapi masih perlu disempurnakan,” dengan begitu siswa tersebut mengetahui
bahwa jawabannya tidak seluruhnya salah, dan ia mendapat dorongan untuk
menyempurnakannya.
27

Dari banyak macam reward diatas, maka dari itu seorang guru dapat
memilih reward yang relevan dengan siswa disesuiakan dengan situasi dan
kondisi siswa atau situasi dan kondisi keuangan, bila hal itu menyangkut masalah
keuangan.

2.1.2.3 Syarat-Syarat Reward


Dalam memberikan reward seorang guru hendaknya dapat mengetahui
siapa yang berhak mendapat reward, seorang guru harus selalu ingat akan maksud
dari pemberian reward itu. Seorang siswa yang pada suatu ketika menunjukkan
hasil lebih baik dari biasanya, mungkin sangat baik diberikan reward. Dalam hal
ini seorang guru hendaknya bijaksana, jangan sampai reward menimbulkan iri
hati pada siswa yang lain yang merasa diriya lebih pandai, tetapi tidak mendapat
reward.
Kalu kita perhatikan apa yang diuraikan tentang maksud ganjaran,
bilamana dan siapa yang perlu mendapat reward, serta reward apakah yang baik
untuk diberikan kepada seseorang. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan
oleh pendidik:
a. Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betul-
betul murid-muridnya dan tahu menghargai dengan tepat. Reward yang
tidak tepat dapat membawa akibat yang tidak diinginkan;
b. Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak janganlah menimbulkan rasa
cemburu atau iri hati bagi anak yang lain yang merasa pekerjaannya juga
lebih baik, tetapi tidak mendapat reward;
c. Memberikan reward hendaknya hemat, terlalu kerap atau terus menerus
memberikan reward akan menjadi hilang arti reward tersebut sebagai alat
pendidikan;
d. Janganlah memberikan reward dengan menjanjikan dahulu sebelum anak-
anak menunjukkan prestasi kerjanya, reward yang telah dijanjikan dahulu
akan membawa kesukaran-kesukaran bagi beberapa anak yang kurang
pandai;
28

e. Pendidik harus berhati-hati memberikan reward, jangan sampai reward yang


diberikan kepada anak-anak diterimanya bagi upah dari pada jerih payah
yang telah dilakukannya (Ngalim Purwanto, 1985 : 233).
Ada beberapa pendapat para ahli pendidikan terhadap reward sebagai alat
pendidikan yang berbeda-beda. Sebagian menyetujui dan menganggap penting
dipakai sebagai alat untuk membentuk kata hati siswa. Sebaliknya ada pula para
ahli-ahli pendidikan yang tidak suka sama sekali. Mereka berpendapat bahwa
reward itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat pada siswa. Menurut
pendapat mereka, seorang guru hendaklah mendidik siswa supaya mengerjakan
dan berbuat yang baik dengan tidak mengharapakan imbalan, pujian, tetapi
semata-mata karena pekerjaan atau perbuatan itu memang kewajibannya.
Sedangkan pendapat yang terakhir terletak diantara keduanya, sebagai
seorang pendidik hendaklah menginsafi bahwa yang dididik adalah siswa yang
masih lemah kemauannya dan belum mempunyai kata hati seperti orang dewasa.
Dari mereka belumlah dapat dituntut supaya mereka mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk atas kemauan dan keinsafannya sendiri. Perasaan
kewajiban mereka masih belum sempurna, bahkan pada siswa yang masih kecil
boleh dikatakan belum ada. Untuk itu, maka reward sangat diperlukan pula bagi
siswa dan berguna bagi pembentukan kata hati dan kemauan (Ibid, hlm 234).

2.1.2.4 Tujuan Reward


Mengenai masalah reward, perlu peneliti bahas tentang tujuan yang harus
dicapai dalam pemberian reward. Hal ini dimaksudkan, agar dalam berbuat
sesuatu bukan karena perbuatan semata-mata, namun ada sesuatu yang harus
dicapai dengan perbuatannya, karena dengan adanya tujuan akan member arah
dalam melangkah.
Tujuan yang harus dicapai dalam pemberian reward adalah untuk lebih
mengembangkan motivasi yang bersifat instrinsik dari motivasi ekstrinsik, dalam
artian siswa melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan itu timbul dari
29

kesadaran siswa itu sendiri. Dan dengan reward itu, juga diharapakan dapat
membangun suatu hubungan yang positif antara guru dan siswa, karena reward
itu adalah bagian dari pada penjelmaan dari rasa cinta kasih sayang seorang guru
kepada siswa.
Jadi, maksud dari reward itu yang paling terpenting bukanlah hasil yang
dicapai seorang siswa, tetapi dengan hasil yang dicapai siswa, guru bertujuan
membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik da lebih keras kepada siswa.
Seperti halnya telah disinggung diatas, bahwa reward disamping merupakan alat
pemdidikan reprensif yang menyenangkan, reward juga dapat menjadi pendorong
atau motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik (Umi Masrurah, 2007 : 21).

2.1.3 Kajian Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
(TPS) Dengan Pemberian Reward

Think Pair Share (TPS) merupakan suatu teknik sederhana dengan


keuntungan besar. Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari
siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum
disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think Pair Share (TPS) juga dapat
memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kelas. Think Pair Share (TPS) sebagai salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thinking, pairing, dan
sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher
oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami
konsep-konsep baru (student oriented).
Hambatan yang ditemukan selama proses pembelajaran antara lain berasal
dari segi siswa, yakni: siswa-siswa yang pasif, dengan metode ini mereka akan
ramai dan mengganggu teman-temannnya. Tahap pair siswa yang seharusnya
menyelesaikan soal dengan berdiskusi bersama pasangan satu bangku dengannya
tetapi masih suka memanfaatkan kegiatan ini untuk berbicara di luar materi
30

pelajaran, menggantungkan pada pasangan dan kurang berperan aktif dalam


menemukan penyelesaian serta menanyakan jawaban dari soal tersebut pada
pasangan yang lain.
Jumlah siswa di kelas juga berpengaruh terhadap pelaksanaan metode
think pair share ini. Jumlah siswa yang ganjil berdampak pada saat pembentukan
kelompok. Akibatnya terdapat kelompok yang beranggotakan lebih dari 2 (dua)
siswa. Hal ini akan memperlambat proses diskusi pada tahap pair, karena
pasangan lain telah menyelesaikan sementara satu siswa tidak mempunyai
pasangan. Hambatan lain yang ditemukan yaitu dari segi waktu.
Kelemahan lain yang terjadi pada tahap think adalah ketidaksesuaian
antara waktu yang direncanakan dengan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan
siswa yang suka mengulur-ulur waktu dengan alasan pekerjaan belum
diselesaikan. Hal ini berdampak pada hasil belajar ranah kognitif, yaitu siswa
kurang menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. Metode ini membutuhkan
banyak waktu karena terdiri dari 3 (tiga) langkah yang harus dilaksanakan oleh
seluruh siswa yang meliputi tahap think, pair, share.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka diberikan reward yang berarti
penghargaan atau hadiah. Peranan reward dalam proses mengajar cukup penting
terutama sebagai faktor eksternal dalam mempengaruhi dan mengarahkan
perilaku siswa. Diantaranya reward biasanya dapat menimbulkan motivasi belajar
siswa, dan reward juga memiliki pengaruh positif dalam kehidupan siswa.
Maksud dari para pendidik memberi reward kepada siswa adalah supaya siswa
siswa menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi
prestasi yang akan dicapainya, dengan kata lain siswa menjadi lebih keras
kemauannya untuk belajar lebih baik dan lebih bersemangat. (Ngalim Purwanto,
1985 : 231)
Dalam pembelajaran dengan tipe TPS, untuk menghindari hambatan-
hambatan yang sering ditemui saat pembelajaran berlangsung maka peneliti
menggunakan pemberian reward sebagai upaya untuk mengatasi hal-hal tersebut.
31

Reward ini diberikan karena reward merupakan alat yang sesuai diberikan untuk
mengatasi situasi belajar siswa yang tidak kondusif saat pelajaran kelompok
diterapkan karena saat pelajaran kelompok diterapkan, kecenderungan siswa yang
ramai dan tidak serius dalam belajar akan mudah ditemukan, hal ini akan
berdampak pada proses belajar yang tidak sesuai dengan rencana. Oleh sebab itu
reward diberikan agar pada saat pembelajaran TPS berlangsung, kecenderungan
siswa yang pasif akan teratasi, maka akan terjadi situasi belajar yang
menyenangkan dan siswa termotivasi untuk serius dalam pembelajaran karena
pada akhir perbuatannya atau pekerjaannya, siswa akan mendapatkan
penghargaan. Hal ini juga akan memudahkan peneliti dalam menerapkan
pembelajaran TPS.
Dalam penggunaannya, reward terdiri dari beberapa komponen seperti
reward verbal (pujian) dan reward non verbal. Dari komponen reward tersebut,
guru dapat memilih reward yang relevan dengan siswa dan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi siswa atau situasi dan kondisi keuangan, agar disaat
pembelajaran, semua dapat berjalan dengan lancar. Bila proses belajar siswa
berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka tentunya penerapan pembelajaran
TPS akan mudah diterapkan.
Adapun langkah-langkah atau alur pembelajaran dalam Model
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan pemberian Reward adalah :

Langkah 1 : Pendahuluan
Pada tahap ini, guru menyampaikan pertanyaan yang merupakan permasalahan.
Tahap ini dimulai dengan guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi
yang akan disampaikan.

Langkah 2 : Think

Pada tahap ini, siswa dituntut berpikir secara individual. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang
32

disampaikan guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk
menuliskan hasil pemikirannya masing-masing. Siswa membutuhkan penjelasan
bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
Langkah 3 : Pair

Selanjutnya, setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan


pasangan. Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka
paling benar atau paling meyakinkan. Interaksi selama waktu yang disediakan
dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan
gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Guru memotivasi siswa
untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi
dengan LKS berupa kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan
secara kelompok.

Langkah 4 : Share

Pada langkah ini, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan


keseluruhan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk
berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar
sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan hasil kelompoknya.
Areans, (1997) disandur Tjokrodihardjo, (2003).

Langkah 5 : Reward

Pada langkah ini, guru memberi sertifikat/hadiah pada kelompok yang telah
berpatisipasi dalam diskusi kelas. Pemberian penghargaan lebih berorientasi pada
kelompok daripada individu. Hal ini dilakukan agar kelompok siswa lebih
kompak dan bersemangat dalam setiap pembelajaran kelompok yang diterapkan.

Langkah 6 : Evaluasi
Langkah akhirnya yaitu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan evaluasi dan penguatan
terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan.
33

2.1.4 Kajian Motivasi Belajar


Pembahasan variabel motivasi belajar mencakup pengertian motivasi
belajar, aspek aspek motivasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
belajar, fungsi motivasi dan tujuan motivasi yang akan diuraikan sebagai berikut

2.1.4.1 Pengertian Motivasi Belajar


Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti
bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan
sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan
untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas
perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang
sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah,
dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku
yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan
belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 2000).
Sejalan dengan pernyataan Santrock di atas, Brophy (2004) menyatakan
bahwa motivasi belajar lebih mengutamakan respon kognitif, yaitu
kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna dan
bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut.
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang
disampaikan, membaca materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan
strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki
keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang
34

tinggi, mencari bahan-bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan.
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah
aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan.
Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang
berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut (Brophy, 2004).

2.1.4.2 Aspek-Aspek Motivasi Belajar


Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yang dikemukakan oleh
Santrock (2007), yaitu:
a. Motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu
yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering
dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman.
Misalnya, murid belajar keras dalam menghadapi ujian untuk
mendapatkan nilai yang baik. Terdapat dua kegunaan dari hadiah, yaitu
sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah
mengontrol perilaku siswa, dan mengandung informasi tentang
penguasaan keahlian.
b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar
menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan
itu. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang
menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan
mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan
dipakai untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa.
Terdapat dua jenis motivasi intrinsik, yaitu:
1) Motivasi intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan
personal. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka
melakukan sesuatu karena kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan
atau
35

imbalan eksternal. Minat intrinsik siswa akan meningkat jika mereka


mempunyai pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab
personal atas pembelajaran mereka.
2) Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman
optimal kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan
berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam
tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu
mudah.

2.1.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar


Menurut Brophy (2004), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
motivasi belajar siwa, yaitu:
a. Harapan guru
b. Instruksi langsung
c. Umpanbalik (feedback) yang tepat
d. Penguatan dan hadiah
e. Hukuman

Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman (2000) menyatakan


bahwa bentuk dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi
dalam kegiatan belajar adalah:
a. Pemberian angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan
tujuan utama yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.
b. Persaingan/kompetisi
c. Ego-involvement, yaitu menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar
merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga
bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri.
d. Memberi ulangan, hal ini disebabkan karena para siswa akan menjadi giat
belajar kalau mengetahui akan ada ulangan.
36

e. Memberitahukan hasil, hal ini akan mendorong siswa untuk lebih giat
belajar terutama kalau terjadi kemajuan.
f. Pujian, jika ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, hal
ini merupakan bentuk penguatan positif

2.1.4.4 Fungsi Motivasi


Dari uraian diatas jelaslah bahwa motivasi mendorong timbulnya kelakuan
dan mempengaruhi serta mengubah kelakuan.
Jadi fungsi motivasi itu ialah:
a. Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi tidak
akan timbul perbuatan seperti belajar.
b. Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian
tujuan yang diinginkan
c. Sebagai penggerak, ia berfungsi sebagai mesin bagi mobil. Besar kecilnya
motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan (Oemar
Hamalik, 1991 : 175)
d. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang
harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan
perbuatan- perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus,
tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan
waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi
dengan tujuan (Sadirman, 1991 : 84).

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Kajian hasil penelitian yang relevan membahas hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, yaitu :
1. Nurlaili (2010) meneliti tentang Keefektifan Model Pembelejaran Koopetarif
Think-Pair-Share (TPS) Dengan Bantuan CD Pembelajaran Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Peserta Didik Kelas VIII
37

Semester II SMP Negeri 4 Pati menyatakan kemampuan pemecahan masalah


peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif Think-Pair-
Share (TPS) dengan bantuan CD Pembelajaran lebih efektif daripada
kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang menggunakan model
pembelajaran ekspositori dengan bantuan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan
menggunakan uji t dari materi sebelumnya diperoleh data kedua kelas tersebut
berada pada kondisi awal yang sama. Berdasarkan hasil penelitian,
perhitungan uji normalitas kelas eksperimen diperoleh X2 hitung = 5,500 dan
kelas kontrol didapat X2 hitung = 7,669 dengan X2 tabel = 7,81 dapat
disimpulkan data bersifat normal. Perhitungan uji homogenitasnya diperoleh
Fhitung = 1,032 dan Ftabel = 2,074 dapat disimpulkan data bersifat homogen.
Untuk menguji hipotesis digunakan uji t diperoleh thitung = 1,790 dan t tabel
= 1,671 dapat disimpulkan Ho ditolak, artinya hipotesis diterima.
2. Hening Susena Nugrahani (2011) meneliti tentang Penerapan Strategi
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Dengan Penggunaan Media Mind Map
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Sejarah
Kelas VII B SMP Negeri 4 Satu Atep Sale Rembang menunjukkan ada
peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil belajar sejarah
siswa pada pra siklus nilai rata- rata siswa 52,85 dengan ketuntasan belajar
klasikal siswa 32,14 % terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata siswa 62,32
dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 64,28 % pada siklus I dan nilai rata-
rata siswa 69,10 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 82,14 % pada
siklus
II. Perilaku negatif yang ditunjukkan siswa pun berubah setelah diberikan
tindakan. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran, berani
mengemukakan pendapat di depan kelas, dan semakin percaya diri tampil
dalam presentasi.
3. Kinanti Rejeki (2010) meneliti tentang Keefektifan Metode Pembelajaran
Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) dan Student Team Achievement
Division (STAD) Ditinjau Dari Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII
38

SMP N 5 Sleman menyatakan pada Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-


rata posttest kelas eksperimen STAD sebesar 68,47 (simpangan baku =
28,58), untuk kelas eksperimen TPS sebesar 70,14 (simpangan baku =
28,92),dan untuk kelas kontrol yaitu 60 (simpangan baku = 16,72), dari skor
maksimal yang mungkin dicapai yaitu 100 dan skor minimal yang mungkin
dicapai yaitu 0. Dari uji hipotesis , diperoleh hasil yaitu: (1) dengan uji
ANAVA diketahui bahwa ada perbedaan keefektifan dari ketiga metode
pembelajaran ditinjau dari prestasi belajar siswa ( p = 0,221 dan ∝= 5%); (2)
dengan uji lanjutan yaitu uji Tukey disimpulkan bahwa ada perbedaan
keefektifan dari ketiga metode pembelajaran yang diteliti (metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD dibandingkan metode pembelajaran
kooperatif TPS, p = 0,959; ∝=5%; pada metode pembelajaran kooperatif tipe
TPS dibandingkan metode pembelajaran ekspositori, p = 0,232; ∝= 5%; dan
pada metode pembelajaran ekspositori dibandingkan metode pembelajaran
kooperatif tipe STAD, p = 0,359; ∝= 5%). Artinya metode pembelajaran yang
berbeda keefektifannya adalah metode pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan metode pembelajaran kooperatif TPS ; (3) menurut hasil uji-t, diperoleh
hasil bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe TPS dan metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD efektif digunakan, sedangkan metode
pembelajaran ekspositori belum efektif digunakan (pTPS = 0,977; pSTAD =
0,750; pekspositori = 0,002; _ = 5%). (4) pada penelitian ini, metode
pembelajaran yang paling efektif digunakan adalah metode pembelajaran
kooperatif tipe TPS, diikuti metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dan
metode pembelajaran ekspositori
39

2.3 Kerangka Berpikir


Berdasarkan landasan teori dan kajian berbagai penelitian yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, penulis cenderung berpendapat bahwa
penerapan metode kooperatif model Think Pair Share (TPS) dengan pemberian
reward berpengaruh positif signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Think Pair
Share adalah model pembelajaran kooperatif memiliki prosedur secara eksplisit
dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling
membantu satu sama lain. Dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja
sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil
secara kooperatif. Strategi ini dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi
siswa di dalam kelas, sehingga lebih unggul dibandingkan pembelajaran ceramah
yang menggunakan metoda hafalan dasar, yaitu guru mengajukan pertanyaan dan
satu orang siswa memberikan jawaban. Teknik ini juga mempunyai keunggulan
yaitu optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan
hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, model
Think-Pair-Share ini memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Model ini bisa digunakan
dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan anak didik.
Sedangkan reward adalah suatu bentuk perlakuan positif subyek. Reward
atau penghargaan merupakan respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat
peningkatan kemungkinan terulang kembalinya tingkah laku. Reward atau
ganjaran merupakan salah satu alat pendidikan. Jadi dengan sendirinya maksud
ganjaran itu ialah sebagai alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat
merasa senang, karena perbuatannya atau pekerjaannya mendapat penghargaan.
Dengan diberikannya reward pada pelaksanaan pembelajarannya, dipastikan akan
menumbuhkan minat dan semangat dalam pembelajarannya.
Jadi untuk mengatasi hambatan-hambatan yang sering ditemui saat
pembelajaran TPS berlangsung maka peneliti menggunakan pemberian reward
sebagai upaya mengatasi kecenderungan siswa yang pasif , maka akan terjadi
40

situasi belajar yang menyenangkan dan siswa termotivasi untuk serius dalam
pembelajaran karena pada akhir perbuatannya atau pekerjaannya, siswa akan
mendapatkan penghargaan. Hal ini juga akan memudahkan peneliti dalam
menerapkan pembelajaran TPS.
Sedangkan motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
proses pembelajaran, harus ada dorongan mental yang muncul dari dalam dan luar
siswa untuk melaksanakan proses pembelajaran yang diharapkan. Karena dalam
belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat
lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan motif tersebut.
Untuk mengetahui motivasi siswa selama pembelajaran Maka dari itu
peneliti menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
(TPS) dengan pemberian reward. Karena kebanyakan motivasi belajar siswa pada
suatu pembelajaran sangat rendah. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang
berasal dari guru yang menggunakan metode pembelajaran konvensional, hal ini
membuat siswa merasa bosan, sehingga proses pembelajaran tidak seperti yang
diharapakan. Untuk itu peneliti akan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe
Think-Pair-Share dengan pemberian reward untuk melihat motivasi belajar siswa
setelah pembelajaran dilakukan di kelas
41

Untuk kerangka berpikirnya dapat dilihat dalam gambar dibawah ini

Kelas
eksperimen
t

Pembelajaran biasa yang dilakukan guru


kelas (konvesional)

Pengukuran awal

Pembelajaran dengan model Think Pair


Share (TPS) dengan pemberian Reward

Pengukuran akhir

Pengaruh dari pembelajaran konvesional dan pembelajaran


model Think Pair Share (TPS) dengan pemberian Reward
terhadap motivasi belajar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian

Pada penelitian ini, Peneliti hanya menggunakan satu kelas, yaitu kelas
eksperimen. Hal ini dilakukan karena peneliti dalam penelitian ini menggunakan
desain one group pre test-post test desaign. Pada pertemuan pertama, peneliti
menerapkan pembelajaran konvensional. Untuk melihat motivasi siswa pada saat
42

pembelajaran konvensional dilakukan, diakhir pembelajaran peneliti


memberi pengukuran awal yang berupa angket. Data awal diambil
sebagai pembanding dengan data akhir yang diperoleh dari pembelajaran
dengan perlakuan diterapkan. Selanjutnya pada pertemuan kedua peneliti
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan
pemberian reward. Untuk melihat motivasi siswa setelah pembelajaran
dengan model Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward
diterapkan, peneliti memberi pengukuran akhir yang berupa angket.
Setelah data diperoleh maka peneliti membandingkan hasil pengukuran
awal dengan hasil pengukuran akhir. Hal ini dilakukan untuk melihat
apakah ada pengaruh antara pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-
Share (TPS) dengan pemberian reward dengan pembelajaran
konvensional yang diterapkan pada pertemuan pertama.

2.4 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang akan
dikemukakan oleh penulis adalah :
Hipotesis : Ada pengaruh positif signifikan antara model pembelajaran
tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward terhadap
motivasi belajar IPA (Studi di kalangan siswa kelas V Sekolah Dasar
Negeri Bugel 02 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga).
Ho : b ≤ 0 : Tidak ada pengaruh positif signifikan model pembelajaran
tipe Think- Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward
terhadap motivasi belajar IPA (Studi di kalangan siswa
kelas V Sekolah Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga).
Ha : b > 0 : Ada pengaruh positif signifikan antara model pembelajaran
43

tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward


terhadap motivasi belajar IPA (Studi di kalangan siswa
kelas V Sekolah Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga)

Anda mungkin juga menyukai