Anda di halaman 1dari 1

Pengertian Akad Salam

Salam berasal dari kata As salaf yang artinya pendahuluan karena pemesan barang
menyerahkan uangnya di muka. Para ahli fikih menamainya al mahawi'ij (barang-barang mendesak)
karena ia sejenis jual beli yang dilakukan mendesak walaupun barang yang diperjualbelikan tidak ada di
tempat "mendesak", dilihat dari sisi pembeli karena ia sangat membutuhkan barang tersebut di
kemudian ha sementara dari sisi penjual, ia sangat membutuhkan uang tersebut.

Salam dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli di mana barang yang
diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan, dan-pembeli melakukan pembayaran di muka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari. PSAK 103 mendefinisikan salam
sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual
(muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslan:) pada saat akad disepakati sesuai
dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menghindari risiko yang merugikan, pembeli boleh meminta
jamiran dari penjual.

Contoh akad salam, misalnya, pembeli memesan beras tipe IR 64 sebanyak 2 ton dengan
harga Rp5.000 per kilogram dan diserahkan 4 bulan ke depan atau paća waktu panen, dibayar di muka
Di sini, jelas sekali bahwa pembeli harus menyerahkan uang di muka sebesar Rp10 juta untuk
pembelian 2 ton beras IR 64 yang akan diserahkan 4 bulan kemudian oleh penjual.

Akad salam dapat digunakan untuk membantu petani dengan tiga strategi pendekatan yang dilakukan
pemerintah (Syafi'i Antonio, 1999), antara lain sebagai berikut.

1. Pemerintah membentuk perusahaan pembiayaan syariah, untuk sektor pertanian secara khusus
dalam bentuk BUMN nonbank. Perusahaan ini bertanggung jawab untuk menyalurkan pembiayaan
pada petani, dan kemudian menjual hasil pertanian yang didapat kepada publik atau pemerintah dengan
kata lain memperluas peran Bulog, di mana bulog difungsikan pula sebagai lembaga pembiayaan petani.
Hal yang terpenting lembaga ini haruslah amanah.

2. Pemerintah membentuk bank pertanian syariah. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana cara bank untuk menyimpan hasil pertanian, mengingat ia akan menerima dalam bentuk
produk dari petani dan bukan dalam bentuk uang. Untuk itu, perlu ada modifikasi dari skema salam, di
mana bank dapat menunjuk petani yang bersangkutan untuk menjualkan hasil pertaniannya ke pasar,
dan kemudian mengembalikan sejumlah uang kepada bank. Petani dapat diberikan komisi tambahan
oleh bank karena telah bertindak sebagai agennya.

3. Melalui penerbitan sukuk. Daerah-daerah surplus pangan dapat menerbitkan sukuk berbasis salam
dan daerah-daerah yang kekurangan pangan dapat menginvestasikan dananya untuk membeli sukuk.
Daerah surplus pangan akan memiliki modal tambahan, dan daerah minus pangan akan mendapat
kepastian supply pangan.

Anda mungkin juga menyukai