BAB I
Pendahuluan
Produk farmasi yang diformulasikan dari zat obat atau bahan aktif
farmasi dan bahan tambahan, sebagian besar tersedia dalam bentuk padatan.
Bahan aktif farmasi dan bahan bahan tambahan tersedia dalam beberapa
bentuk padat yang berbeda yaitu polimorf, solvat, hidrat, garam, cocrystals dan
padatan amorf. Sebagian besar obat-obatan yang dipasarkan memiliki bentuk
kristal molekuler. Susunan molekul dalam kristal menentukan sifat fisik dan
dalam kasus tertentu menentukan sifat kimia dan sangat mempengaruhi
pengolahan serta sifat utama obat seperti laju disolusi dan stabilitas dari obat
tersebut.
Pada pembuatan produk obat, pengembangan bentuk sediaan padatan
lebih disukai dengan alasan lebih stabil dan mudah dalam proses
manufakturabilitas. Umumnya, molekul obat lebih stabil dalam keadaan padat
dibandingkan dengan bentuk cair di mana pada bentuk sediaan cair, degradasi
terjadi lebih mudah dan cepat. Tugas dari seorang formulator adalah
bertanggung jawab dalam memformulasi produk yang stabil secara fisik dan
kimiawi, manufacturable, dan bioavailable. Mengingat bahwa kebanyakan obat
yang tersedia memiliki polimorfisme struktural tertentu, maka dari itu lebih baik
memilih mengembangkan polimorf obat yang paling stabil secara
termodinamika untuk menjamin bioavailabilitas produk selama penyimpanan di
berbagai kondisi penyimpanan dunia nyata.
Namun dalam proses manufaktur dan formulasi sediaan padat, memiliki
beberapa tantangan tersendiri, yaitu pada umumnya dalam keadaan padat
molekul obat secara struktural dapat mengadopsi lebih dari satu bentuk atau
konformasi dalam kisi kristal yang dapat menimbulkan fenomena polimorfisme.
Karena sifat bahan padat yang terkait erat dengan struktur kristal tiga
dimensinya, maka variasi dalam kisi kristal atau polimorfisme dapat
menghasilkan sifat kimia dan fisik yang berbeda dan pada akhirnya dapat
mempengaruhi penerapan material dan efektifitas dari produk farmasi.
Sehingga, keberhasilan pengembangan produk obat memerlukan pemahaman
2
yang komprehensif tentang sifat bentuk padat dari semua bahan yang terlibat ,
termasuk bahan aktif farmasi maupun bahan tambahan.
Pilihan akurat dan karakterisasi fase bentuk padat mempengaruhi
kualitas proses manufaktur, kinerja dan ketersediaan hayati bentuk sediaan
akhir obat. Setiap bentuk memiliki sifat fisikokimia yang unik yang dapat
memberikan pengaruh dalam efektivitas produk farmasi, seperti bioavailabilitas,
stabilitas fisikokimia dan manufakturabilitas. Untuk itu dibutuhkan pemahaman
menyeluruh mengenai hubungan antara struktur fisik dan sifat-sifat padatan
farmasi sehingga bisa selektif dalam memilih bentuk yang paling cocok dari
bahan aktif farmasi tersebut untuk pengembangan ke produk obat.
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan
struktural kisi kristal bahan obat yang kemudian akan berdampak pada
efektifitas dari sediaan farmasi tersebut dan terjadi pada proses manufacturing
adalah penggabungan pelarut ke dalam struktur kristal dari senyawa organik
yang dapat menyebabkan perubahan baik pada sifat fisik maupun kimia dari
struktur kristal, seperti seperti kepadatan, kelarutan, tingkat bioavailabilitas dan
disolusi. Stabilitas fisikokimia dan bioavailabilitas bahan obat dapat menjadi
masalah serius selama pengembangan obat baru. Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya masalah, pedoman bahan obat dari Food and Drug
Administration (FDA) menyatakan bahwa untuk persetujuan obat baru,"
prosedur analisis yang tepat'' perlu digunakan untuk mendeteksi polimorf,
pseudopolimorf dan bentuk amorf dari bahan obat dan juga menekankan
pentingnya mengendalikan bentuk kristal dari zat obat selama berbagai tahap
pengembangan produk.
Oleh karena itu, skrining bentuk padat dari bahan aktif farmasi dan
karakterisasi secara menyeluruh dalam mengindentifikasi bahan aktif farmasi
merupakan hal kritis yang harus dilakukan dalam memilih bahan aktif farmasi
yang nantinya akan memperlihatkan sifat yang tepat untuk produk farmasi
tertentu.
3
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
Gambar 1. Satuan sel dengan dimensi sel (a) dan struktur tiga dimensi pola
geometris kristal (b)
Banyak senyawa farmasi organik dan anorganik dapat mengkristal
dalam dua bentuk atau bentuk yang lebih padat namun tetap memiliki
komposisi kimia yang sama. Bentuk-bentuk padat disebut sebagai polimorf.
Karena struktur kristal mereka bervariasi, polimorf memiliki berbagai sifat fisik,
seperti kelarutan, higroskopisitas, laju disolusi, dan kompatibilitas (Malaj, 2009).
Habit kristal didefinisikan sebagai bentuk eksternal (morfologi) dan
penampilan kristal yang berbeda tetapi tidak menimbulkan konformasi polimorf
baru. Habit kristal terjadi karena pada saat proses rekristalisasi kecepatan
pertumbuhan dari kristal tidak sama.
Polimorfisme adalah fenomena di mana satu jenis molekul yang sama
dapat berubah ke dalam bentuk kristal yang berbeda (Malaj, 2009).
Pseudopolimorfisme adalah perubahan sifat fisik yang mirip dengan
yang terlihat pada polimorf bahan obat dengan molekul yang sama, tetapi
struktur kristal yang berbeda dimana senyawa bereaksi dengan pelarutnya. Jika
air digunakan sebagai pelarut, pseudopolimorf yang dikenal sebagai hidrat, jika
pelarut organik digunakan pseudopolimorf yang dikenal sebagai solvate
(Swatrz, 2008).
2.2. Habit Kristal
Habit kristal didefinisikan sebagai bentuk eksternal (morfologi) dan
penampilan kristal yang berbeda dalam habit kristal, terjadi ketika lingkungan di
mana kristal tumbuh mempengaruhi bentuk kristal tanpa mempengaruhi
struktur internal dari kristal, sehingga terjadi pembentukan habit kristal yang
5
Gambar 2. Dua tipe habit kristal : (A) Anhedral dan (B) euhedral
Habit kristal anhedral atau allotriomorphic membentuk kristal yang tidak
teratur. Meskipun kristal anhedral memiliki bentuk tidak teratur, tetapi mereka
masih menampilkan susunan teratur pada satuan sel (molekul atau atom)
dalam kisi kristal. Habit kristal euhedral atau idiomorphic membentuk Kristal
yang jelas dan teratur. Ada lima sub-kelas kristal euhedral: tabular, platy,
prismatik, acicular dan blade (Swatrz, 2008).
Gambar 3. Perbedaan bentuk kristal habit (1) Tabular, (II) Platy, (III) Prismatic,
(IV) Acicular dan (V) Bladed
Aspirin dikenal karena kemampuannya untuk mengkristal dalam habit
kristal yang berbeda. Habit Kristal aspirin yang diperoleh ketika aspirin
direkristalisasi menggunakan berbagai pelarut diilustrasikan pada gambar
berikut (Swatrz, 2008). :
6
Gambar 4. Perbedaan bentuk habit kristal dari hasil kristalisasi Aspirin pada
pelarut yang berbeda
2.3. Kristalisasi
Agar proses kristalisasi berlangsung, larutan harus dalam keadaan super
saturated. Dalam larutan super saturated zat terlarut memiliki konsentrasi lebih
besar daripada jumlah zat terlarut dalam pelarut pada suhu dan tekanan
tertentu. Terlepas dari kenyataan bahwa kristalisasi tergantung pada keadaan
super saturated, proses kristalisasi juga tergantung pada nukleasi. Nukleasi
adalah langkah awal dalam proses kristalisasi. Proses nukleasi dapat dibagi
dalam dua tahap, nukleasi primer dan sekunder. Nukleasi primer adalah
pembentukan molekuler yang stabil yang mengarah pada proses kristalisasi
dan pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan kristal. Jika kristalisasi
lanjut terjadi setelah awal kristal telah terbentuk, ini disebut sebagai nukleasi
sekunder (Perald, 2006).
Nukleasi primer dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub kategori:
nukleasi homogen dan nukleasi heterogen. Nukleasi homogen terjadi secara
spontan dan hanya dapat dicapai dalam volume kecil larutan rekristalisasi.
Nukleasi heterogen terjadi lebih sering dan berlangsung di antarmuka atau
permukaan di mana ia dapat dirangsang melalui sarana partikel asing hadir
dalam larutan rekristalisasi. Nukleasi sekunder melibatkan nukleasi kristal yang
hadir dalam larutan rekristalisasi dengan cara kristalisasi secara terus menerus.
2.4. Polimorfisme
Polimorfisme adalah fenomena di mana satu jenis molekul yang sama
dapat berubah ke dalam bentuk kristal yang berbeda. Polimorf memiliki jarak
antar molekul yang berbeda atau interatomik relatif sehingga memiliki sifat fisik
dan kimia yang berbeda seperti densitas, kekerasan, indeks bias, titik leleh,
entalpi fusi, tekanan uap, kelarutan, laju disolusi, dan sifat termodinamika
lainnya dan kinetika bahkan warna (Malaj, 2009).
Struktur kristal yang berbeda dalam polimorf muncul ketika zat obat
mengkristal dalam susunan kristal yang berbeda atau konformasi yang
berbeda. Terjadinya polimorfisme cukup umum di antara molekul organik dan
sejumlah besar senyawa obat polimorfik telah dicatat dan di dokumentasi
(Malaj, 2009).
Selain itu, adanya tekanan selama pengolahan, seperti pengeringan,
penggilingan, granulasi basah, pengeringan oven dan pemadatan, dilaporkan
mempercepat fase transisi dalam fase padat. Tingkat konversi polimorfik akan
tergantung pada stabilitas relatif dari fase tersebut dan pada jenis pengolahan
mekanik yang diterapkan. Untuk menjaga faktor ini maka biasanya fase padat
yang dipilih adalah bentuk polimorfik yang paling stabil untuk mengontrol bentuk
kristal dan distribusi ukuran serta bentuk kristal selama proses pengolahan.
8
Adanya bentuk metastabil selama pengolahan atau pada bentuk sediaan akhir
sering menyebabkan ketidakstabilan pelepasan obat (Malaj, 2009).
2.5. Pseudopolimorfisme
Istilah pseudo-polimorfisme telah digunakan sebagai istilah umum untuk
solvasi dari struktur kristal, orde kedua transisi, mesomorphism, isomer dinamis
dan efek regangan kisi Kristal. Dalam pseudo-polimorfisme struktur kristal yang
berbeda yang terbentuk adalah hasil dari hidrasi atau solvasi entitas kimia
dimana senyawa bereaksi dengan pelarutnya. Bentuk kristal ini mengandung
pelarut atau molekul air, tergantung pada pelarut yang digunakan selama
rekristalisasi. Jika air digunakan sebagai pelarut, pseudopolimorf yang dikenal
sebagai hidrat, jika pelarut organik digunakan pseudopolimorf yang dikenal
sebagai solvat (Swatrz, 2008).
Pseudopolimorfisme adalah perubahan sifat fisik yang mirip dengan
yang terlihat pada polimorf bahan obat dengan molekul yang sama, tetapi
struktur kristal yang berbeda. Kristal solvat dan hidrat memainkan peran penting
dalam industri farmasi. Pembentukan pseudopolimorfisme obat-obatan dapat
sangat penting karena perubahan sifat fisik kristal dapat mempengaruhi
keamanan dan kemanjuran obat. Pembentukan pseudopolymorphs dipengaruhi
oleh sejumlah variabel seperti suhu, tekanan dan pilihan pelarut dengan
demikian mengubah variabel operasi selama kristalisasi dapat mengakibatkan
perubahan bentuk pseudopolymorphic atau penemuan bentuk-bentuk baru
(Swatrz, 2008).
2.5.1. Solvat
Solvat adalah kompleks molekul kristal yang terbentuk ketika pelarut
yang terperangkap dalam kisi kristal bahan aktif farmasi selama kristalisasi
menggunakan pelarut organik atau campuran pelarut organik. Solvat terbentuk
dengan proporsi stoichiometric atau non-stoichiometric antara senyawa dan
pelarut yang digunakan untuk rekristalisasi (Swatrz, 2008).
Mekanisme dan banyaknya pelarut yang masuk dapat diobservasi untuk
menentukan apakah pelarut terperangkap di dalam ruang-ruang kosong dari
kisi kristal atau apakah atau membentuk ikatan hidrogen dan ikatan van der
Waal pada kisi kristal (Swatrz, 2008).
9
Gambar 5. Bentuk diagram dari data kristal tunggal untuk cephadrine dihidrat.
Pasangan molekul air berada di lokasi kisi Kristal yang terisolasi.
b. Class 2 hydrates : Channel hydrates
Ketika molekul air yang terperangkap di dalam kisi kristal, saluran atau
rongga mungkin terbentuk di dalam struktur kristal. Molekul air ini berada di
11
samping molekul air lain di sebelah kisi unit sel dan bertanggung jawab untuk
pembentukan rongga atau saluran dalam kisi kristal. Saluran ini kosong dan
hanya sebuah konstruksi konseptual, karena struktur kristal memiliki densitas
yang rendah sehingga saluran kosong ini tidak akan stabil secara fisik tanpa
perubahan yang terkait dalam parameter kisi kristal. Sebuah contoh dari kelas 2
hidrat adalah ampisilin trihidrat (Swatrz, 2008).
Gambar 7. Bentuk diagram untuk natrium ibuprofen dengan air dan natrium
ditampilkan sebagai bola van der waals
Dehydrated hydrates
Dehidrasi biasanya menyebabkan perubahan dalam struktur kisi kristal.
Namun, jika setelah dehidrasi struktur kristal ditemukan mirip dengan struktur
Kristal yang terhidrasi awal (tapi dengan kerapatan yang lebih rendah) maka
struktur dehidrasi diklasifikasikan sebagai hidrat dehidrasi. Jika Struktur
anhidrat untuk senyawa tertentu sudah ada, struktur diklasifikasikan sebagai
polimorf. Perilaku yang sama ada untuk solvat (Swatrz, 2008).
c. Class 3 hydrates : lon-associated hydrates
Jika molekul air terikat dengan ion logam dalam struktur kristal, bentuk
kristal diklasifikasikan sebagai kelas 3 hidrat. Berpusat pada saat pembentukan
interaksi anatara logam dan air maka interaksi logam-air akan memiliki
pengaruh pada struktur dan stabilitas kristal hidrat. Untuk dehidrasi terjadi di
kelas 3, hidrat suhu tinggi diperlukan saat interaksi antara ion logam dan
molekul air yang relatif kuat. kelas 3 hidrat biasanya direkristalisasi untuk
produk farmasi yang menunjukkan kelarutan rendah. Contoh dari kelas 3 hidrat
adalah: kalsium calteridol (Swatrz, 2008).
13
Gambar 8. Bentuk diagram dari data kristal tunggal untuk calteridol kalsium
Salah satu masalah dalam karakterisasi bentuk padat solvate dan hidrat,
adalah beberapa solvat ditransformasikan ke bentuk desolvat dan struktur
kristal mereka berbeda dari struktur kristal solvat yang asli atau menjadi bentuk
amorf setelah desolvasi. Dalam kasus terakhir, struktur isomorfik antara solvat
dan desolvates sering membutuhkan beberapa analitis teknik untuk memahami
sifat dari solvat tersebut. Selain itu, beberapa solvat yang mudah kehilangan
pelarut pada suhu lingkungan dapat diabaikan kecuali tindakan pencegahan
khusus yang diambil untuk menjaga komposisi mereka (Swatrz, 2008).
Sebuah solvat yang mempertahankan pola kristal asli setelah desolvasi
memiliki struktur terowongan. Struktur terowongan ini diisi dengan molekul
pelarut dan struktur dipertahankan selama proses desolvation. Berbagai sifat
fisikokimia spesifik untuk jenis solvat ini yang menggambarkan struktur
terowongan telah dilaporkan, terrmasuk non stoikiometrik solvasi/desolvasi,
ketidakstabilan setelah desolvasi, pola kristal lambat relaksasi setelah
desolvasi, dan isomorphism antara solvat dari senyawa yang sama (Swatrz,
2008).
2.5.3. Pengaruh Kandungan Air Pada Kondisi Hydrasi
Ketika pelarut organik digunakan selama karakterisasi bentuk polimorf,
maka kandungan air dari campuran pelarut ini harus diperhitungkan. Penelitian
menujukkan bahwa beberapa bahan obat diketahui memiliki banyak bentuk
pseudopolymorf terhydrasi, perbedaan kecil dari kadar air dengan mudah dapat
menghasilkan berbagai kristal terhydrasi yang berbeda dari proses rekristalisasi
tersebut. Seperti yang terlihat pada gambar 9, perbedaan-perbedaan kecil
14
dalam kadar air etil asetat (berkisar 0-3,2%) menghasilkan tiga pseudopolymorf
terhydrasi yang berbeda. Pentingnya untuk mengontrol kelembaban (air) isi
pelarut yang digunakan selama proses rekristalisasi karenanya harus
ditekankan (Perald, 2006).
Gambar 10. Pola XPRD dari (a) produk solvate methanol dan (b) produk
desolvate
Jika kisi kristal tidak runtuh selama proses desolvasi, maka pelarut tidak
memainkan peran penting dalam stabilisasi kisi dan bentuk kristal asli tetap
sama (desolvated solvat). Desolvated solvate juga disebut sebagai desolvate
isomorfik. Desolvated solvat ini kurang padat daripada bentuk mereka
sepenuhnya terlarut seperti digambarkan pada Gambar 11. Perlu dicatat
bahwa bentuk-bentuk isomorfik hanya sedikit berbeda daripada XRPD bentuk
solvate yang utuh. Contoh obat yang termasuk adalah eritromisin A, cefachlor
dan cephalexin (Perald, 2006).
16
molekul air, desolvated mono-metanol solvat mengambil satu molekul air dan
dehydtare hydrat mengambil 3/4 dari molekul air (Perald, 2006).
Gambar 14. Pola difraksi Powder X-ray dari MA-2029 hydroclorida bentuk
Kristal solvate dari : (a) acetonitril/air sebelum pengeringan vakum, (b)
acetonitril/air setelah pengeringan vakum, (c) etil asetat jenuh dengan air
21
sebelum pengeringan vakum, (d) etil asetat jenuh dengan air setelah
pengeringan vakum
Variable temperature X-ray Powder Diffraction (VT-XRPD)
VT-XRPD digunakan untuk mempelajari perubahan pola XRPD terhadap
temperatur. Sumber panas digunakan untuk memanaskan sampel ke suhu
yang diinginkan. Suhu ini kemudian dipertahankan selama analisis (3- 40° C).
Sampel dianalisis di suhu berkisar 25-180°C. Kondisi pengukuran sama seperti
pada XPRD digunakan penghubung Anton Paar TTK 450 kamera suhu rendah
(Anton Pam, Aushia) dengan tingkat pemanasan 0,1°C/detik (Perald, 2006).
Contoh :
untuk fenomena ini. Salah satu alasannya adalah bahwa packing kristal dan
konformasi memiliki sedikit perbedaan. Yang kedua adalah bahwa molekul
memiliki terlalu banyak peregangan dan rotasi getaran yang memenuhi getaran
sampel (Perald, 2006).
Contoh spectra Griseofulvin :
Gambar 17. Kurva TGA natrium naproxen (a) anhydrat, (b) monohydrate, (c)
methanol solvate, (d) dehydrated dan (e) ethanol solvated
2.7.4. Microscopy
24
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA