Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
Pendahuluan

Produk farmasi yang diformulasikan dari zat obat atau bahan aktif
farmasi dan bahan tambahan, sebagian besar tersedia dalam bentuk padatan.
Bahan aktif farmasi dan bahan bahan tambahan tersedia dalam beberapa
bentuk padat yang berbeda yaitu polimorf, solvat, hidrat, garam, cocrystals dan
padatan amorf. Sebagian besar obat-obatan yang dipasarkan memiliki bentuk
kristal molekuler. Susunan molekul dalam kristal menentukan sifat fisik dan
dalam kasus tertentu menentukan sifat kimia dan sangat mempengaruhi
pengolahan serta sifat utama obat seperti laju disolusi dan stabilitas dari obat
tersebut.
Pada pembuatan produk obat, pengembangan bentuk sediaan padatan
lebih disukai dengan alasan lebih stabil dan mudah dalam proses
manufakturabilitas. Umumnya, molekul obat lebih stabil dalam keadaan padat
dibandingkan dengan bentuk cair di mana pada bentuk sediaan cair, degradasi
terjadi lebih mudah dan cepat. Tugas dari seorang formulator adalah
bertanggung jawab dalam memformulasi produk yang stabil secara fisik dan
kimiawi, manufacturable, dan bioavailable. Mengingat bahwa kebanyakan obat
yang tersedia memiliki polimorfisme struktural tertentu, maka dari itu lebih baik
memilih mengembangkan polimorf obat yang paling stabil secara
termodinamika untuk menjamin bioavailabilitas produk selama penyimpanan di
berbagai kondisi penyimpanan dunia nyata.
Namun dalam proses manufaktur dan formulasi sediaan padat, memiliki
beberapa tantangan tersendiri, yaitu pada umumnya dalam keadaan padat
molekul obat secara struktural dapat mengadopsi lebih dari satu bentuk atau
konformasi dalam kisi kristal yang dapat menimbulkan fenomena polimorfisme.
Karena sifat bahan padat yang terkait erat dengan struktur kristal tiga
dimensinya, maka variasi dalam kisi kristal atau polimorfisme dapat
menghasilkan sifat kimia dan fisik yang berbeda dan pada akhirnya dapat
mempengaruhi penerapan material dan efektifitas dari produk farmasi.
Sehingga, keberhasilan pengembangan produk obat memerlukan pemahaman
2

yang komprehensif tentang sifat bentuk padat dari semua bahan yang terlibat ,
termasuk bahan aktif farmasi maupun bahan tambahan.
Pilihan akurat dan karakterisasi fase bentuk padat mempengaruhi
kualitas proses manufaktur, kinerja dan ketersediaan hayati bentuk sediaan
akhir obat. Setiap bentuk memiliki sifat fisikokimia yang unik yang dapat
memberikan pengaruh dalam efektivitas produk farmasi, seperti bioavailabilitas,
stabilitas fisikokimia dan manufakturabilitas. Untuk itu dibutuhkan pemahaman
menyeluruh mengenai hubungan antara struktur fisik dan sifat-sifat padatan
farmasi sehingga bisa selektif dalam memilih bentuk yang paling cocok dari
bahan aktif farmasi tersebut untuk pengembangan ke produk obat.
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan
struktural kisi kristal bahan obat yang kemudian akan berdampak pada
efektifitas dari sediaan farmasi tersebut dan terjadi pada proses manufacturing
adalah penggabungan pelarut ke dalam struktur kristal dari senyawa organik
yang dapat menyebabkan perubahan baik pada sifat fisik maupun kimia dari
struktur kristal, seperti seperti kepadatan, kelarutan, tingkat bioavailabilitas dan
disolusi. Stabilitas fisikokimia dan bioavailabilitas bahan obat dapat menjadi
masalah serius selama pengembangan obat baru. Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya masalah, pedoman bahan obat dari Food and Drug
Administration (FDA) menyatakan bahwa untuk persetujuan obat baru,"
prosedur analisis yang tepat'' perlu digunakan untuk mendeteksi polimorf,
pseudopolimorf dan bentuk amorf dari bahan obat dan juga menekankan
pentingnya mengendalikan bentuk kristal dari zat obat selama berbagai tahap
pengembangan produk.
Oleh karena itu, skrining bentuk padat dari bahan aktif farmasi dan
karakterisasi secara menyeluruh dalam mengindentifikasi bahan aktif farmasi
merupakan hal kritis yang harus dilakukan dalam memilih bahan aktif farmasi
yang nantinya akan memperlihatkan sifat yang tepat untuk produk farmasi
tertentu.
3

BAB II
TINJAUAN PUSAKA

2.1. Bentuk Padat


Bentuk padat adalah fase yang paling sering ditemui dalam praktek
farmasi. Pilihan akurat dan karakterisasi fase bentuk padat mempengaruhi
kualitas proses manufaktur, kinerja dan ketersediaan hayati bentuk sediaan
akhir obat. Selama proses kristalisasi dan pengolahan formulasi farmasi,
sejumlah perubahan fase bentuk padat dapat terjadi. Ini dapat termasuk
polimorf, solvat, desolvated solvat dan bahan amorf (Chavez, 2009).
Fase padat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Malaj, 2009) :

Ketika diterapkan pada fase padatan, sifat kristal dinyatakan dalam


bentuk kristal yang ideal di mana unit struktural, unit sel, didefinisikan dalam
ruang tiga dimensi (Gambar 1 (a) dan 1 (b) ). Unit sel memiliki orientasi
tertentu dan bentuk didefinisikan oleh vektor translasi, a, b, dan c, dan memiliki
volume yang pasti, V, yang mengandung atom dan molekul yang diperlukan
untuk menghasilkan bentuk kristal (Malaj, 2009).
4

Gambar 1. Satuan sel dengan dimensi sel (a) dan struktur tiga dimensi pola
geometris kristal (b)
Banyak senyawa farmasi organik dan anorganik dapat mengkristal
dalam dua bentuk atau bentuk yang lebih padat namun tetap memiliki
komposisi kimia yang sama. Bentuk-bentuk padat disebut sebagai polimorf.
Karena struktur kristal mereka bervariasi, polimorf memiliki berbagai sifat fisik,
seperti kelarutan, higroskopisitas, laju disolusi, dan kompatibilitas (Malaj, 2009).
Habit kristal didefinisikan sebagai bentuk eksternal (morfologi) dan
penampilan kristal yang berbeda tetapi tidak menimbulkan konformasi polimorf
baru. Habit kristal terjadi karena pada saat proses rekristalisasi kecepatan
pertumbuhan dari kristal tidak sama.
Polimorfisme adalah fenomena di mana satu jenis molekul yang sama
dapat berubah ke dalam bentuk kristal yang berbeda (Malaj, 2009).
Pseudopolimorfisme adalah perubahan sifat fisik yang mirip dengan
yang terlihat pada polimorf bahan obat dengan molekul yang sama, tetapi
struktur kristal yang berbeda dimana senyawa bereaksi dengan pelarutnya. Jika
air digunakan sebagai pelarut, pseudopolimorf yang dikenal sebagai hidrat, jika
pelarut organik digunakan pseudopolimorf yang dikenal sebagai solvate
(Swatrz, 2008).
2.2. Habit Kristal
Habit kristal didefinisikan sebagai bentuk eksternal (morfologi) dan
penampilan kristal yang berbeda dalam habit kristal, terjadi ketika lingkungan di
mana kristal tumbuh mempengaruhi bentuk kristal tanpa mempengaruhi
struktur internal dari kristal, sehingga terjadi pembentukan habit kristal yang
5

berbeda, tetapi tidak menimbulkan konfigurasi polimorf baru. Perbedaan-


perbedaan dalam bentuk kristal ini disebabkan oleh gangguan dari kristalisasi
pada permukaan molekul yang berbeda dari kristal (Swatrz, 2008).

Gambar 2. Dua tipe habit kristal : (A) Anhedral dan (B) euhedral
Habit kristal anhedral atau allotriomorphic membentuk kristal yang tidak
teratur. Meskipun kristal anhedral memiliki bentuk tidak teratur, tetapi mereka
masih menampilkan susunan teratur pada satuan sel (molekul atau atom)
dalam kisi kristal. Habit kristal euhedral atau idiomorphic membentuk Kristal
yang jelas dan teratur. Ada lima sub-kelas kristal euhedral: tabular, platy,
prismatik, acicular dan blade (Swatrz, 2008).

Gambar 3. Perbedaan bentuk kristal habit (1) Tabular, (II) Platy, (III) Prismatic,
(IV) Acicular dan (V) Bladed
Aspirin dikenal karena kemampuannya untuk mengkristal dalam habit
kristal yang berbeda. Habit Kristal aspirin yang diperoleh ketika aspirin
direkristalisasi menggunakan berbagai pelarut diilustrasikan pada gambar
berikut (Swatrz, 2008). :
6

Gambar 4. Perbedaan bentuk habit kristal dari hasil kristalisasi Aspirin pada
pelarut yang berbeda

2.3. Kristalisasi
Agar proses kristalisasi berlangsung, larutan harus dalam keadaan super
saturated. Dalam larutan super saturated zat terlarut memiliki konsentrasi lebih
besar daripada jumlah zat terlarut dalam pelarut pada suhu dan tekanan
tertentu. Terlepas dari kenyataan bahwa kristalisasi tergantung pada keadaan
super saturated, proses kristalisasi juga tergantung pada nukleasi. Nukleasi
adalah langkah awal dalam proses kristalisasi. Proses nukleasi dapat dibagi
dalam dua tahap, nukleasi primer dan sekunder. Nukleasi primer adalah
pembentukan molekuler yang stabil yang mengarah pada proses kristalisasi
dan pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan kristal. Jika kristalisasi
lanjut terjadi setelah awal kristal telah terbentuk, ini disebut sebagai nukleasi
sekunder (Perald, 2006).
Nukleasi primer dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub kategori:
nukleasi homogen dan nukleasi heterogen. Nukleasi homogen terjadi secara
spontan dan hanya dapat dicapai dalam volume kecil larutan rekristalisasi.
Nukleasi heterogen terjadi lebih sering dan berlangsung di antarmuka atau
permukaan di mana ia dapat dirangsang melalui sarana partikel asing hadir
dalam larutan rekristalisasi. Nukleasi sekunder melibatkan nukleasi kristal yang
hadir dalam larutan rekristalisasi dengan cara kristalisasi secara terus menerus.

Nukleasi sekunder dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi: suhu,


konsentrasi gradien, penyimpangan kristal yang disebabkan oleh kotoran,
bentuk kristal dan habit kristal (Swatrz, 2008).
7

2.4. Polimorfisme
Polimorfisme adalah fenomena di mana satu jenis molekul yang sama
dapat berubah ke dalam bentuk kristal yang berbeda. Polimorf memiliki jarak
antar molekul yang berbeda atau interatomik relatif sehingga memiliki sifat fisik
dan kimia yang berbeda seperti densitas, kekerasan, indeks bias, titik leleh,
entalpi fusi, tekanan uap, kelarutan, laju disolusi, dan sifat termodinamika
lainnya dan kinetika bahkan warna (Malaj, 2009).

Struktur kristal yang berbeda dalam polimorf muncul ketika zat obat
mengkristal dalam susunan kristal yang berbeda atau konformasi yang
berbeda. Terjadinya polimorfisme cukup umum di antara molekul organik dan
sejumlah besar senyawa obat polimorfik telah dicatat dan di dokumentasi
(Malaj, 2009).
Selain itu, adanya tekanan selama pengolahan, seperti pengeringan,
penggilingan, granulasi basah, pengeringan oven dan pemadatan, dilaporkan
mempercepat fase transisi dalam fase padat. Tingkat konversi polimorfik akan
tergantung pada stabilitas relatif dari fase tersebut dan pada jenis pengolahan
mekanik yang diterapkan. Untuk menjaga faktor ini maka biasanya fase padat
yang dipilih adalah bentuk polimorfik yang paling stabil untuk mengontrol bentuk
kristal dan distribusi ukuran serta bentuk kristal selama proses pengolahan.
8

Adanya bentuk metastabil selama pengolahan atau pada bentuk sediaan akhir
sering menyebabkan ketidakstabilan pelepasan obat (Malaj, 2009).
2.5. Pseudopolimorfisme
Istilah pseudo-polimorfisme telah digunakan sebagai istilah umum untuk
solvasi dari struktur kristal, orde kedua transisi, mesomorphism, isomer dinamis
dan efek regangan kisi Kristal. Dalam pseudo-polimorfisme struktur kristal yang
berbeda yang terbentuk adalah hasil dari hidrasi atau solvasi entitas kimia
dimana senyawa bereaksi dengan pelarutnya. Bentuk kristal ini mengandung
pelarut atau molekul air, tergantung pada pelarut yang digunakan selama
rekristalisasi. Jika air digunakan sebagai pelarut, pseudopolimorf yang dikenal
sebagai hidrat, jika pelarut organik digunakan pseudopolimorf yang dikenal
sebagai solvat (Swatrz, 2008).
Pseudopolimorfisme adalah perubahan sifat fisik yang mirip dengan
yang terlihat pada polimorf bahan obat dengan molekul yang sama, tetapi
struktur kristal yang berbeda. Kristal solvat dan hidrat memainkan peran penting
dalam industri farmasi. Pembentukan pseudopolimorfisme obat-obatan dapat
sangat penting karena perubahan sifat fisik kristal dapat mempengaruhi
keamanan dan kemanjuran obat. Pembentukan pseudopolymorphs dipengaruhi
oleh sejumlah variabel seperti suhu, tekanan dan pilihan pelarut dengan
demikian mengubah variabel operasi selama kristalisasi dapat mengakibatkan
perubahan bentuk pseudopolymorphic atau penemuan bentuk-bentuk baru
(Swatrz, 2008).
2.5.1. Solvat
Solvat adalah kompleks molekul kristal yang terbentuk ketika pelarut
yang terperangkap dalam kisi kristal bahan aktif farmasi selama kristalisasi
menggunakan pelarut organik atau campuran pelarut organik. Solvat terbentuk
dengan proporsi stoichiometric atau non-stoichiometric antara senyawa dan
pelarut yang digunakan untuk rekristalisasi (Swatrz, 2008).
Mekanisme dan banyaknya pelarut yang masuk dapat diobservasi untuk
menentukan apakah pelarut terperangkap di dalam ruang-ruang kosong dari
kisi kristal atau apakah atau membentuk ikatan hidrogen dan ikatan van der
Waal pada kisi kristal (Swatrz, 2008).
9

Daftar pelarut yang paling umum digunakan adalah :

Mekanisme dan luasnya pelarut yang masuk dapat diteliti untuk


menentukan apakah pelarut terperangkap di dalam ruang-ruang kosong dari
kisi kristal atau apakah terikat pada kisi kristal melalui ikatan hidrogen atau van
der Waal. Struktur kristal dan konformasi molekul pelarut berperan penting
pada bagian integral dalam mekanisme dan luasnya inklusi pelarut yang masuk
(Swatrz, 2008).
2.5.2. Hydrat
Jika pelarut yang digunakan dalam proses rekristalisasi adalah air, maka
bentuk kristal ini disebut hydrat. Hydrat sangat relevan untuk pengembangan
produk farmasi karena air sangat sering digunakan dalam pembuatan produk
farmasi (Malaj, 2009).
10

Klasifikasi hydrat dapat dilihat sebagai berikut (Swatrz, 2008) :

a. Class 1 hydrates : Isolated site hydrates


Jenis hidrat terjadi ketika molekul air terisolasi dari kontak langsung
dengan molekul air lainnya. Contoh dari Isolated site hydrates adalah:
cephadrine dihydrate (Swatrz, 2008).

Gambar 5. Bentuk diagram dari data kristal tunggal untuk cephadrine dihidrat.
Pasangan molekul air berada di lokasi kisi Kristal yang terisolasi.
b. Class 2 hydrates : Channel hydrates
Ketika molekul air yang terperangkap di dalam kisi kristal, saluran atau
rongga mungkin terbentuk di dalam struktur kristal. Molekul air ini berada di
11

samping molekul air lain di sebelah kisi unit sel dan bertanggung jawab untuk
pembentukan rongga atau saluran dalam kisi kristal. Saluran ini kosong dan
hanya sebuah konstruksi konseptual, karena struktur kristal memiliki densitas
yang rendah sehingga saluran kosong ini tidak akan stabil secara fisik tanpa
perubahan yang terkait dalam parameter kisi kristal. Sebuah contoh dari kelas 2
hidrat adalah ampisilin trihidrat (Swatrz, 2008).

Gambar 6. Bentuk diagram ampisilin trihidrat disimpulkan dari data kristal


tunggal.
 Expanded channel hydrates
Dalam keadaan tertentu beberapa saluran hidrat dapat menyerap
kelembaban tambahan ke saluran kisi kristal bila terkena kelembaban tinggi.
Hidrasi dari kisi Kristal ini dapat menyebabkan kisi Kristal menjadi lebih luas
dan mempengaruhi dimensi satuan sel. Perubahan dari dimensi kristal, karena
hidrasi dapat diselidiki dengan cara analisis XRPD (Swatrz, 2008).
 Planar hydrates
Dalam subclass ini, molekul air yang terperangkap di dalam kisi kristal
akan dilokalisasi dalam bidang dua dimensi. Contoh hidrat planar adalah
natrium ibuprofen (Swatrz, 2008).
12

Gambar 7. Bentuk diagram untuk natrium ibuprofen dengan air dan natrium
ditampilkan sebagai bola van der waals
 Dehydrated hydrates
Dehidrasi biasanya menyebabkan perubahan dalam struktur kisi kristal.
Namun, jika setelah dehidrasi struktur kristal ditemukan mirip dengan struktur
Kristal yang terhidrasi awal (tapi dengan kerapatan yang lebih rendah) maka
struktur dehidrasi diklasifikasikan sebagai hidrat dehidrasi. Jika Struktur
anhidrat untuk senyawa tertentu sudah ada, struktur diklasifikasikan sebagai
polimorf. Perilaku yang sama ada untuk solvat (Swatrz, 2008).
c. Class 3 hydrates : lon-associated hydrates
Jika molekul air terikat dengan ion logam dalam struktur kristal, bentuk
kristal diklasifikasikan sebagai kelas 3 hidrat. Berpusat pada saat pembentukan
interaksi anatara logam dan air maka interaksi logam-air akan memiliki
pengaruh pada struktur dan stabilitas kristal hidrat. Untuk dehidrasi terjadi di
kelas 3, hidrat suhu tinggi diperlukan saat interaksi antara ion logam dan
molekul air yang relatif kuat. kelas 3 hidrat biasanya direkristalisasi untuk
produk farmasi yang menunjukkan kelarutan rendah. Contoh dari kelas 3 hidrat
adalah: kalsium calteridol (Swatrz, 2008).
13

Gambar 8. Bentuk diagram dari data kristal tunggal untuk calteridol kalsium
Salah satu masalah dalam karakterisasi bentuk padat solvate dan hidrat,
adalah beberapa solvat ditransformasikan ke bentuk desolvat dan struktur
kristal mereka berbeda dari struktur kristal solvat yang asli atau menjadi bentuk
amorf setelah desolvasi. Dalam kasus terakhir, struktur isomorfik antara solvat
dan desolvates sering membutuhkan beberapa analitis teknik untuk memahami
sifat dari solvat tersebut. Selain itu, beberapa solvat yang mudah kehilangan
pelarut pada suhu lingkungan dapat diabaikan kecuali tindakan pencegahan
khusus yang diambil untuk menjaga komposisi mereka (Swatrz, 2008).
Sebuah solvat yang mempertahankan pola kristal asli setelah desolvasi
memiliki struktur terowongan. Struktur terowongan ini diisi dengan molekul
pelarut dan struktur dipertahankan selama proses desolvation. Berbagai sifat
fisikokimia spesifik untuk jenis solvat ini yang menggambarkan struktur
terowongan telah dilaporkan, terrmasuk non stoikiometrik solvasi/desolvasi,
ketidakstabilan setelah desolvasi, pola kristal lambat relaksasi setelah
desolvasi, dan isomorphism antara solvat dari senyawa yang sama (Swatrz,
2008).
2.5.3. Pengaruh Kandungan Air Pada Kondisi Hydrasi
Ketika pelarut organik digunakan selama karakterisasi bentuk polimorf,
maka kandungan air dari campuran pelarut ini harus diperhitungkan. Penelitian
menujukkan bahwa beberapa bahan obat diketahui memiliki banyak bentuk
pseudopolymorf terhydrasi, perbedaan kecil dari kadar air dengan mudah dapat
menghasilkan berbagai kristal terhydrasi yang berbeda dari proses rekristalisasi
tersebut. Seperti yang terlihat pada gambar 9, perbedaan-perbedaan kecil
14

dalam kadar air etil asetat (berkisar 0-3,2%) menghasilkan tiga pseudopolymorf
terhydrasi yang berbeda. Pentingnya untuk mengontrol kelembaban (air) isi
pelarut yang digunakan selama proses rekristalisasi karenanya harus
ditekankan (Perald, 2006).

Gambar 9. Kristalisasi bentuk kristal hidrat


2.5.4. Bentuk Desolvate/Dehydrate
Seperti disebutkan sebelumnya , polimorf memiliki pola XRPD berbeda.
Hal ini juga berlaku untuk pseudopolymorf. Hal ini diketahui bahwa molekul
pelarut atau air bisa memainkan peran penting dalam stabilisasi kisi kristal. Jika
pelarut berperan dalam memaksa memegang kristal bersama-sama itu
memungkinkan akan mengakibatkan runtuhnya kristal ketika dipindahkan dari
kisi kristal. Runtuhnya kristal akan menimbulkan pembentukan kristal atau
polimorf yang berbeda. Hal ini dilihat bahwa puncak exothermic diamati hanya
setelah desolvation dan puncak endotermik menunjukkan bahwa ketika metanol
akan dipindahkan dari kisi kristal, maka kisi kristal menjadi tidak stabil dan
harus diatur ulang dalam bentuk kristal dengan endothermic yang mencair
pada pada suhu 1480C. Sebuah pola X - ray difraksi serbuk ( XRPD ) diambil
dari solvat metanol sebelum dan sesudah desolvation. Pola XRPD berbeda ,
membuktikan fakta bahwa bentuk kristal memang berbeda satu sama lain. Pola
XRPD sampel ini diilustrasikan pada Gambar 10 (Perald, 2006).
15

Gambar 10. Pola XPRD dari (a) produk solvate methanol dan (b) produk
desolvate
Jika kisi kristal tidak runtuh selama proses desolvasi, maka pelarut tidak
memainkan peran penting dalam stabilisasi kisi dan bentuk kristal asli tetap
sama (desolvated solvat). Desolvated solvate juga disebut sebagai desolvate
isomorfik. Desolvated solvat ini kurang padat daripada bentuk mereka
sepenuhnya terlarut seperti digambarkan pada Gambar 11. Perlu dicatat
bahwa bentuk-bentuk isomorfik hanya sedikit berbeda daripada XRPD bentuk
solvate yang utuh. Contoh obat yang termasuk adalah eritromisin A, cefachlor
dan cephalexin (Perald, 2006).
16

Gambar 11. Ilustrasi sederhana dari pseudopolimorfism dan desolvasi isomorf.


Symbol α adalah molekul obat dan symbol ∞ adalah molekul air/pelarut.
2.5.5. Polimorfisme antara pseudopolymorf
Seperti polimorf yaitu setidaknya dua bentuk kristal yang ada untuk
senyawa yang sama (entitas molekul yang sama), polimorfisme antara
pseudopolymorf juga mungkin di mana senyawa tersebut memiliki status
dehidrasi solvat yang sama (stoikiometri) untuk dua atau lebih bentuk kristal
pseudopolymorf tersebut. Sebuah contoh dari fenomena ini
adalah bahwa niklosamida yang memiliki dua monohydrates. Istilah
pseudopolymof polimorf biasanya digunakan untuk contoh ini, baik menjadi
bentuk polimorf hidrat atau larutan polimorf (Perald, 2006).
2.6. Pengaruh Bentuk Polimorfisme dan Pseudopolimorfisme Pada
Pharmaceutical Manufacturing dan Integritas Produk
2.6.1. Kelarutan dan Bioavaibilitas
Titik lebur dan kelarutan berhubungan dengan panas fusi. Panas fusi
adalah jumlah energi yang dibuat selama peleburan. Kristal dengan kisi kuat
memiliki titik leleh tinggi dan dengan demikian membutuhkan panas yang lebih
besar untuk peleburan dibandingkan dengan kristal yang memiliki kisi lemah.
Karena kelarutan membutuhkan gangguan kisi kristal hal ini juga tergantung
pada kekuatan kisi kristal, dimana polimorf yang berbeda mungkin
menunjukkan perbedaan kelarutan. Dalam sebagian besar kasus dapat
17

ditujukan bahwa kelarutan tidak langsung sebanding dengan stabilitas polimorf


yang berarti bahwa lebih lemah kisi Kristal maka memiliki yang kelarutan lebih
baik (Perald, 2006).
Bagian penting bagi produk farmasi adalah kemungkinan bahwa bentuk
metastabil (bentuk kurang stabil) memiliki kelarutan yang lebih tinggi dalam
larutan saturated. Larutan super saturate ini pada akhirnya akan kembali ke
kesetimbangan sebagai bentuk endapan yang stabil. Jika obat yang digunakan
sebagai bentuk metastabil dan larutan super saturated dibuat untuk jangka
waktu yang cukup sebelum kesetimbangan tercapai, maka akan menyebabkan
peningkatan bioavailabilitas karena konsentrasi yang lebih tinggi dari obat
tersedia untuk penyerapan. Karakteristik ini mungkin berbahaya jika obat
mencapai konsentrasi plasma toksik, tetapi juga bisa menguntungkan untuk
obat yang memiliki bioavaibilitas rendah (Perald, 2006).
2.6.2. Densitas dan Kekerasan
Setiap bentuk polimorf atau pseudopolimorf memiliki densitas yang
berbeda. Densitas dapat didefinisikan sebagai massa zat persatuan volume.
Perbedaan densitas disebabkan karena struktur kisi kristal memenuhi packing
dari setiap sel satuan bentuk kisi kristal yang lain. Karena perbedaan densitas
dan kekerasan, maka setiap bentuk polimorf memiliki teknik pencampuran yang
berbeda. Adanya perbedaan-perbedaan ini oleh karena itu harus dipelajari dan
diketahui sebelum manufacturing produk obat untuk memprediksi dan
membantu jika terdapat kesulitan dalam formulasi dan pada tahap proses
pembuatan (Perald, 2006).
2.6.3. Water Sorption
Setiap bentuk pseudopolimorf memiliki kisi kristal yang berbeda
sehingga dapat dipahami bahwa volume masing-masing air yang masuk dalam
kisi Kristal juga mungkin berbeda. Untuk menggambarkan perbedaan dalam
kemampuan penyerapan air antara bentuk kristal yang berbeda
(yang memiliki volume yang berbeda), maka antibiotik cephaloridine digunakan
sebagai contoh. Tiga bentuk kristal desolvated solvat yang berbeda disiapkan
kemudian diberikan kondisi percobaan yang sama pada kelembaban relatif.
Dari percobaan ini diamati bahwa desolvated di-metanol solvat mengambil 2
18

molekul air, desolvated mono-metanol solvat mengambil satu molekul air dan
dehydtare hydrat mengambil 3/4 dari molekul air (Perald, 2006).

Gambar 12. Water sorption behavior dari 3 bentuk Kristal desolvat


Chepaloridine.
Dari contoh ini dapat dilihat bahwa senyawa yang sama (bentuk kristal
yang berbeda) dapat bervariasi dalam kemampuan solvasi/hidrasi. Ini
merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan saat pengembangan produk
dan manufaktur, seperti pada proses pembuatan tablet termasuk pada proses
granulasi basah. Penyebab paling umum untuk gangguan talc adalah bahwa
bubuk talc mengembangkan dan ini paling sering disebabkan oleh penyerapan
kelembaban (Perald, 2006).
Penyerapan air dapat mempengaruhi stabilitas obat dengan jelas jika
obat ini rentan terhadap hidrolisis, sehingga mengurangi masa simpan produk
atau mungkin memiliki efek serius pada integritas produk (tablet rapuh) yang
akan membatasi pada proses transportasi jika di distribusikan atau
menyebabkan konversi polimorf (Perald, 2006).
2.6.4. Stabilitas
 Stabilitas Fisika
Stabilitas fisik dapat dijelaskan sebagai adanya bentuk polimorf yang
berbeda dengan kecenderungan untuk mengkonversi satu sama lain, karena itu
berkaitan dengan transformasi fisik senyawa (interkonversi polimorfik).
Stabilitas fisik tidak hanya mencakup perubahan fasa dari amorf ke bentuk
kristal, tetapi juga perubahan fase antara polimorf solvat ke desolvates dan
19

dehydrate ke bentuk hydrat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor (Perald,


2006).
 Stabilitas Kimia
Bentuk padat yang berbeda memiliki reaktivitas kimia yang berbeda
(reaktivitas bentuk padat). Contoh peptida DL-Ala-Met yang lebih rentan
terhadap oksidasi dalam bentuk amorf dibandingkan dengan bentuk kristal yang
terlihat pada gambar 1.21 (Perald, 2006).

Gambar 13. Perbedaan oksidasi dari kristal dan amorf DL-Ala-Met

Sekarang jelas bahwa stabilitas kimia, seperti hidrolisis, degradasi dan


oksidasi dapat bervariasi antara bentuk polimorf. Jadi untuk menyimpulkan,
stabilitas baik secara fisik dan kimia merupakan salah satu
faktor penting untuk dipertimbangkan karena dapat memiliki dampak serius
pada keamanan produk dan efektivitas (Perald, 2006).
2.6.5. Thermal Behaviour
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa polimorf memiliki kisi kristal yang
berbeda, densitas dan kekerasan yang berbeda, kestabilan kisi kristal dan
energi bebas yang berbeda. Perbedaan ini sesuai dengan thermal behaviour
seperti titik lebur. Hal ini juga diketahui bahwa beberapa ikatan seperti ikatan
Van der Waals lebih mudah diatasi dibandingkan ikatan hidrogen. Oleh karena
itu mudah dipahami bahwa tergantung pada jenis bentuk dan densitas kisi
kristal, menunjukkan titik lebur yang berbeda dan thermal berbeda yang
disebabkan interkonversi polimorf seperti desolvasi dan hydrasi (Perald, 2006).
2.6.6. Electrical Properties
20

Electrical properties (seperti konduktivitas) berhubungan erat dengan


kelarutan senyawa. Semakin tinggi kelarutan semakin tinggi pula
konduktivitasnya (Perald, 2006).

2.7. Metode Analisis Karakterisasi Bahan Aktif Farmasi Bentuk


Pseudopolimorfisme
2.7.1. Difraksi X-Ray
 X-ray Powder Diffraction (XRPD)
Kristal adalah produk packing dari suatu molekul. XRPD digunakan
dalam karakterisasi polimorf karena kristal memiliki pola difraksi yang unik dan
bertindak sebagai sistem kisi-kisi kristal tiga dimensi dan untuk x-ray memiliki
panjang gelombang sebanding dengan jarak antar atom pada kisi-kisi kristal
(Perald, 2006).
Kristal dianalisis dengan menggunakan analisis PXRD untuk penentuan
akhir dari bentuk padat. Setiap pseudopolimorf memiliki pola difraksi yang
berbeda yang dapat diketahui dengan cepat dan dapat identifikasi. Sebuah
PAN anlytical X-Pert Pro Alpha-1 difraktometer dengan tembaga radiasi Kα1
digunakan untuk menghubungkan dengan detektor X'Celerator. Pola PXRD
dibuat atas sudut difraksi (2θ) kisaran 10 ° sampai 80 °, dengan ukuran langkah
0,02 ° dan waktu penghitungan 1 detik per langkah (Chavez, 2009).
Contoh (Takata, et al) :

Gambar 14. Pola difraksi Powder X-ray dari MA-2029 hydroclorida bentuk
Kristal solvate dari : (a) acetonitril/air sebelum pengeringan vakum, (b)
acetonitril/air setelah pengeringan vakum, (c) etil asetat jenuh dengan air
21

sebelum pengeringan vakum, (d) etil asetat jenuh dengan air setelah
pengeringan vakum
 Variable temperature X-ray Powder Diffraction (VT-XRPD)
VT-XRPD digunakan untuk mempelajari perubahan pola XRPD terhadap
temperatur. Sumber panas digunakan untuk memanaskan sampel ke suhu
yang diinginkan. Suhu ini kemudian dipertahankan selama analisis (3- 40° C).
Sampel dianalisis di suhu berkisar 25-180°C. Kondisi pengukuran sama seperti
pada XPRD digunakan penghubung Anton Paar TTK 450 kamera suhu rendah
(Anton Pam, Aushia) dengan tingkat pemanasan 0,1°C/detik (Perald, 2006).
Contoh :

Gambar 9. Pola difraksi Powder X-ray MA-2029 hydroclorida hidrat selama


pemanasan
2.7.2. Spektrofotometer Infra Merah
Spektroskopi IR didasarkan pada konversi molekul radiasi IR dan
dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif. Beam IR
mengalami penyerapan, pencerminan dan difraksi dari sampel tetapi hanya
pantulan yang berisi informasi tentang serapan sampel. Spektrometri IR adalah
cara mudah dan sensitif untuk menganalisis struktur dan konformasi senyawa
organik. Spektroskopi IR telah terbukti menjadi alat yang cukup ampuh dalam
karakterisasi polimorf bentuk padat (Perald, 2006).
Dalam beberapa kasus penggunaan IR, dapat menghasilkan spektrum
bentuk kristal yang berbeda yang sangat mirip. Ada dua kemungkinan alasan
22

untuk fenomena ini. Salah satu alasannya adalah bahwa packing kristal dan
konformasi memiliki sedikit perbedaan. Yang kedua adalah bahwa molekul
memiliki terlalu banyak peregangan dan rotasi getaran yang memenuhi getaran
sampel (Perald, 2006).
Contoh spectra Griseofulvin :

Gambar 15. Spektra IR dari Gatifloxacin sesquihydrate dan bentuk anhydrat.


2.7.3. Thermal Method Analysis
 Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Dengan DSC dapat diamati perubahan energi selama pemanasan sampel.
Peristiwa termal melibatkan penyerapan energi panas disebut endotermik dan
peristiwa termal yang melibatkan pelepasan panas atau energi disebut
eksotermik. Jumlah panas/energi yang dilepaskan atau diserap berbanding
lurus dengan daerah di bawah puncak. DSC dapat digunakan untuk (Perald,
2006) :
1. Penentuan karakteristik suhu (titik lebur, dehidrasi/desolvation)
2. Membedakan antara bentuk polimorf
3. Penentuan kompatibilitas antara bahan aktif farmasi dan exipient, dll.
Evaluasi kuantitatif energi yang terkait dengan desolvasi membantu
dalam penentuan jumlah dan jenis pelarut yang tepat untuk digunakan dalam
bentuk pseudopolimorf (Chavez, 2009).
Contoh (Takata, et al) :
23

Gambar 16. Kurva DSC MA-2029 hydroclorida hidrat. Tingkat pemanasan


10oC/min
 Thermal Gravimetric Analysis (TGA)
TGA digunakan untuk menentukan berapa banyak pelarut yang terikat
dalam kisi kristal dan memberikan informasi berapa rasio molekul pelarut yang
digunakan untuk melarutkan pada bentuk pseudopolimorf (6).
Contoh (Chavez, 2009).:

Gambar 17. Kurva TGA natrium naproxen (a) anhydrat, (b) monohydrate, (c)
methanol solvate, (d) dehydrated dan (e) ethanol solvated
2.7.4. Microscopy
24

Selama rekristalisasi, kristal dapat berubah dalam ukuran dan bentuk.


Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kinetik, seperti intensitas pencampuran
tingkat pemanasan, serta faktor termodinamika, seperti polimorfisme dan
komposisi pelarut yang digunakan. Mikroskop optik digunakan untuk
mengamati perubahan ukuran kristal dan bentuk berdasarkan bentuk
pseudopolimorfisme yang dipengaruhi oleh suhu dan komposisi pelarut
(Chavez, 2009).

Gambar 18. Photomicrograph bentuk pseudopolimorfisme Natrium Naproxen


(a) anhydrat (b) monohydrate (c) dihydrat (d) methanol solvate (e) ethanol
solvat
25

BAB III
KESIMPULAN

Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :


1. Pseudopolimorfisme adalah perubahan sifat fisik yang mirip dengan yang
terlihat pada polimorf bahan obat dengan molekul yang sama, tetapi
struktur kristal yang berbeda. Jika air digunakan sebagai pelarut,
pseudopolimorf yang dikenal sebagai hidrat, jika pelarut organik digunakan
pseudopolimorf yang dikenal sebagai solvat.
2. Molekul pelarut atau air yang digunakan dalam proses rekristalisasi
memainkan peran penting dalam stabilisasi kisi kristal, perbedaan kecil dari
kadar air dan molekul pelarut dengan mudah dapat menghasilkan berbagai
bentuk kristal yang berbeda dari proses rekristalisasi.
3. Bentuk Kristal yang metastabil (bentuk kurang stabil) memiliki kelarutan dan
bioavailabilitas yang lebih tinggi.
4. Kelarutan, densitas, kekerasan, water sorption, stabilitas fisika dan kimia,
thermal behavior dan electrical properties dari setiap bentuk Kristal bahan
obat memberikan pengaruh tertentu terhadap pharmaceutical
manufacturing dan integritas produk yang nantinya akan berefek kepada
kualitas suatu produk farmasi.
5. Metode analisis yang dapat digunakan dalam karakterisasi bahan aktif
farmasi bentuk kristal pseudopolimorfisme adalah dengan metode X-Ray
difraksi, spektrofotometer infra merah, thermal method analisis dan secara
mikroskopi.
26

DAFTAR PUSTAKA

Chavez, J. 2009. Crystallization of Pseudopolymorphic Forms of Sodium


Naproxen in Mixed Solvents Systems Georgia Institute of Technology.
Georgia.

Malaj, L, 2009. Impact of Solid State Properties of Sodium Naproxen Hydrates


on Their Technological Performance. Academic Dissertation, Italy

Perold, Zak, 2006. The Polymorphic and Pseudopolimorphic Behavior of


Gatifloxacin Crystal Modification. Department of Pharmaceutics at The
North-West University Potchefstroom Campus

Strege, Christine, 2004. On (Pseudo-)polymorphic Phase Transformation.


Mathematicsh Naturwissenschhlich Technische Fakultat Dermatin Luther
Universitat Halle. Witterberg

Swatrz, A, C. 2008. Characterisation and Thermodynamic Stability of Solvated


Crystal Forms of Mebendazole. North West University, Potchefstroom

Takata, N, Hayashi Y, et al. Characterization of MA-2029 Hydrochloride


Solvates, Desolvtes and a Hydrat. Asian Journal of Pharmaceutical
Sciences, 2006, 1(3-4) : 146-158
27

Anda mungkin juga menyukai