Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PATOFISIOLOGI

“PENYAKIT TIDAK MENULAR JANTUNG KORONER”

(Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah” patofisiologi penyakit”)

DOSEN PENGAMPUH: NUR AININ ALFI, SKM,MKM.

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 1

DEA ANANDA PUTRI (221350021)

SRI MULIA ASTUTI (221350002)

EVI RAMANDA (221350007)

FAKULTAS KESEHATAN

PRODI S1 GIZI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan ilmu pengetahuan, kekuatan
dan petunjuk-Nya. Dimana dengan izin-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Penyakit Tidak Menular Jantung koroner”. Kami juga berterima kasih kepada Ibu Nur
Ainin Alfi,SKM,MKM. yang telah membimbing kami, dan juga kepada rekan-rekan yang telah
mendukung terselesaikannya makalah ini. Pemakalah menyusun makalah sebagai persyaratan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi Penyakit. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca, atas kekurangan kami, kami mohonmaaf karena sesungguhya kesempurnaan
hanya milik Allah semata

. Wassalmu’alaikum Wr. Wb

LUWU, 8 OKTOBER 2022

PENULIS
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………………………..1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………………..3
C. Tujuan penelitian …………………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian jantung koroner………………………………………………………….......4


2. Etiologi ……………………………………………………………………………….....4
3. Patofisiologi……………………………………………………………………………...5
4. Manifestasi klinis/gejala…………………………………………………………………5
5. Faktor faktor jantung koroner…………………………………………………………...6
6. Diagnosis jantung koroner………………………………………………………………9
7. Penatalaksanaan terapi jatung koroner………………………………………………....10
8. Pengobatan rasional jantung koroner…………………………………………………...13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………...….14
B. Saran ………………………………………………………………………………..…14

Daftar pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit Jantung Koroner atau yang biasa disebut PJK merupakan salah satu penyakit
yang dapat menyebabkan kematian terbesar. Penyakit Jantung Koroner disebabkan
karena tidak sanggupnya jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh yang
disebabkan karena penyumbatan yang terjadi pada pembuluh darah.Menurut World
Health Organization atau yang biasa disingkat WHO (2011) PJK adalah penyakit
penyebab kematian nomor satu secara global. Selain itu, menurut data WHO tahun 2012
dalam penelitian Bertalina (2017) jumlah penduduk dunia yang meninggal akibat
penyakit kardiovaskuler sebanyak 17,3 juta ditahun 2008. Sedangkan menurut WHO
(2013) di Asia Tenggara, Indonesia menepati urutan ke-4 setelah Negara Laos, Kamboja,
dan Filiphina yang memiliki angka PJK tertinggi.(1,2,3) Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Indonesia menurut diagnosis dokter sebesar 0,5% atau sekitar 883.447
orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter dan gejala yang sudah ada sebesar 1,5%
atau sekitar 2.650.340 orang.. (4) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suchi dinyatakan
bahwa Sumatera Barat dinyatakan sebagai Provinsi dengan prevalensi PJK tertinggi ke-4
di Indonesia. Setiap tahunnya terdapat 16 juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler.
Pada tahun 2001, 7,2 dari 16 juta kematian adalah akibat PJK. Menurut data WHO
diprediksikan bahwa pada tahun 2020 akan terdapat 25 juta kematian penduduk dunia
akibat penyakit kadiovaskular dan separuhnya disebabkan oleh PJK.(5) Rumah Sakit
Umum Pusat M. Djamil Padang merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang ada di
Sumatera Barat. Berdasarkan data rawat jalan Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil
Padang, diketahui penyakit jantung koroner yang disebabkan oleh atherosclerosis masuk
ke dalam 5 diagnosis terbesar.(6) Berdasarkan survey yang telah dilakukan peneliti di
tempat penelitian yaitu RSUP M. Djamil Padang, angka kejadian jantung koroner pada
tahun 2017 masih sangat tinggi yaitu dengan total 13.733 penderita PJK. Sedangkan
diantaranya ada 12725 penderita yang melakukan rawat jalan. Penyakit Jantung Koroner
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, ada faktor yang dapat diubah dan ada juga yang
tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga. Sedangkan faktor yang dapat diubah meliputi kadar kolesterol, gaya
hidup, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, merokok. (7) Kolesterol merupakan jenis
lemak yang dibutuhkan oleh tubuh. Kolesterol terbagi atas Low Density Lipoprotein
(LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan Trigliserida.(8) Jika dalam jumlah
berlebih, kolesterol LDL membahayakan karena dapat menimbulkan plak pada pembuluh
darah. Plak ini dapat mengakibatkan penyumbatan aliran darah ke otak dan ke
jantung.Penyumbatan darah ke jantung inilah yang disebut dengan Jantung Koroner.
Seperti yang telah dijelaskan, kadar kolesterol yang tinggi merupakan salah satu
penyebab terjadinya PJK yang merupakan penyakit yang menempati urutan tertinggi
sebagai penyakit penyebab kematian di Indonesia (26,4%). (9) Asupan lemak sangat erat
kaitannya dengan kadar kolesterol karena konsumsi lemak yang tinggi terutama lemak
jenuh akan meningkatkan kadar kolesterol plasma. Diperkirakan setiap penambahan asam
lemak jenuh 1% dari total kalori dapat meningkatkan kadar kolesterol darah sebanyak 1,9
mg/dl. Maka dari itu konsumsi lemak yang berlebih cenderung meningkatkan profil lipid
dalam darah dengan risiko penumpukkan atau pengendapan kolesterol pada dinding
pembuluh darah arteri. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rini 2015
yang menyatakan bahwa lemak sangat berbahaya karena dapat manaikkan kadar LDL
dan menurunkan kadar HDL sehingga meningkatkan risiko terkena PJK.(9) selain itu,
teori ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Waloya, dkk pada tahun
2015 yang menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak terutama yang mengandung
kolesterol dapat mempengaruhi kadar kolesterol darah. Namun hal ini hanya
berkontribusi kecil apabila tidak didukung oleh faktor lainnya.(10) Aktivitas fisik adalah
setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan energi.(11)
Semua kegiatan sehari-hari masuk kedalam aktivitas fisik termasuk didalamnya kegiatan
olahraga. Olahraga berperan dalam membantu perbaikan penyakit jantung dan stroke
dengan jalan penurunan tekanan darah, peningkatan High Density Lipoprotein (HDL),
penurunan LDL, memperbaiki aliran darah, dan meningkatkan kapasitas kerja jantung.
Latihan intesitas sedang yang dilakukan dalam waktu yang relatif lama menyebabkan
asam lemak digunakan sebagai energi yang akan memperkecil peluang sintesis inti sterol,
sehingga kolesterol tidak terbentuk secara berlebihan. Menurut Soeharto dalam Hartini
tahun 2015 menyatakan bahwa olahraga yang dilakukan lebih dari 30 menit dapat
membantu memecah lemak dan kolesterol.dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
olahraga dapat menurunkan kadar kolesterol.(12) Selain itu Sugeha pada tahun 2013 juga
menyatakan bahwa olahraga dapat menurunkan kadar LDL kolesterol dan dapat
meningkatkan HDL kolesterol.(13) Pada survey yang telah dilakukan pada pasien di
RSUP M. Djamil Padang, ditemukan kadar kolesterol yang berbeda-beda. Hal ini
membuktikan bahwa kadar kolesterol pada populasi bervariasi. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas
peneliti tertarik untuk mengangkat topik penelitian tentang “Hubungan Asupan Lemak
dan Kebiasaan Olahraga dengan Kadar Kolesterol pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan asupan lemak dan
kebiasaan olahraga dengan kadar kolesterol pada pasien penyakit jantung koroner?”

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara asupan lemak dan
kebiasaan olahraga dengan kadar kolesterol pada pasien PJK di RSUP M. Djamil Padang.
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN JANTUNG KORONER


Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner. penyempitan atau penyumbatan
ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa
nyeri. Kondisi lebih parah kemampuan jantung memompa darah akan hilang,
sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa
menyebabkan kematian (Soeharto, 2001)
2. ETIOLOGI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada perinsipnya disebabkan oleh dua
faktor utama yaitu: 1) Aterosklerosis Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan
penyebab penyakit arteri koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis
menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga
secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka
5 resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah
miokardium (Brown, 2006). 2) Trombosis Endapan lemak dan pengerasan pembuluh
darah terganggu dan lamakelamaan berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada
mulanya, gumpalan darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk
mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan
darah dibagian robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping darah
menjadi trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah
jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di
pembuluh darah otak menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004).
3. PATOFISIOLOGI
1) Angina pektoris stabil Angina pektoris ditegakkan berdasarkan keluhan nyeri dada
yang khas, yaitu rasa tertekan atau berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri.
Nyeri dada terutama saat melakukan kegiatan fisik, terutama dipaksa bekerja keras
atau ada tekanan emosional dari luar. Biasanya serangan angina pektoris berlangsung
1-5 menit, tidak lebih dari 10 menit, bila serangan lebih dari 20 menit, kemungkinan
terjadi serangan infark akut. Keluhan hilang setelah istirahat (Kusrahayu, 2004).
2) Angina pektoris yang tidak stabil Pada angina pektoris yang tidak stabil serangan
rasa sakit dapat timbul pada waktu istirahat, waktu tidur, atau aktifitas yang ringan.
Lama sakit dada lebih lama daripada angina biasa, bahkan sampai beberapa jam.
Frekuensi serangan lebih sering dibanding dengan angina pektoris biasa (Kusrahayu,
2004).
3) Angina varian (prinzmetal) Terjadi hipoksia dan iskemik miokardium disebabkan
oleh vaso spasme (kekakuan pembuluh darah), bukan karena penyempitan progesif
arteria koroneria. Episode terjadi pada waktu istirahat atau pada jam-jam tertentu tiap
hari. EKG peningkatan segmen ST (Sutedja, 2008).
4) Sindrom koroner akut (SKA) Sindrom klinik yang mempunyai dasar patofisiologi
yang sama yaitu erosi, fisur, ataupun robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan
thrombosis yang menyebabkan ketidak seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokard. Termasuk SKA adalah angina pektoris stabil dan infark miokard akut
(Majid, 2007). Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan
kematian(Anonima , 2006).
d. Gejala umum Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit
atau tersumbat. Rasa sakit tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian
tengah adalah keluhan klasik penderita penyempitan pembuluh darah koroner.
Kondisi 7 yang perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di dada muncul mendadak
dengan keluarnya keringat dinggin yang berlangsung lebih dari 20 menit serta tidak
berkurang dengan istirahat. Serangan jantung terjadi apabila pembuluh darah koroner
tiba-tiba menyempit parah atau tersumbat total. Sebagian penderita PJK mengeluh
rasa tidak nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan mengeluh rasa lemas bahkan pingsan
(Yahya, 2010).
e. Faktor Resiko Secara statistik, seseorang dengan faktor resiko kardiovaskuler akan
memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menderita gangguan koroner
dibandingkan mereka yang tanpa faktor resiko. Semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki, semakin berlipat pula kemungkinan terkena penyakit jantung koroner
(Yahya, 2010). Faktor-faktor resiko yang dimaksud adalah merokok, alkohol,
aktivitas fisik, berat badan, kadar kolesterol, tekanan darah (hipertensi) dan diabetes.

4. MANIFESTASI KLINIS/GEJALA PENYAKIT JANTUNG KORONER


Gejala pjk :
1. Beberapa hari atau minggu sebelumnya tubuh terasa tidak bertenaga, dada tidak
enak, waktu olahraga atau bergerak jantung berdenyut keras, nafas tersengal
sengal, kadang kadang di sertai mual, muntah, dan tubuh mengeluarkan banyak
keringat,
2. Nyeri dada
Sakit dada kiri (Angina) dan nyeri terasa berasal dari dalam. Nyeri dada yang di
rasakan pasien juga bermacam macam seperti di tusuk tusuk, terbakar, tertimpa
benda berat, di sayat, panas.
Nyeri dada dirasakan di dada kiri di sertai penjalaran kelengan kiri, nyeri di uluh
hati, dada kanan, nyeri dada yang menembus hingga punggung, bahkan ke rahang
dan leher.
1. Jantung berdebar (denyut nadi cepat)
2. Keringat dingin
3. Tenaga dan pikiran menjadi lemah, ketakutan yang tidak ada alasannya,
perasaan mau mati saja
4. Tekanan darah rendah/stroke
5. Dalam kondisi sakit :
Sakit nyeri terutama di dada sebelah kiri tulang bagian atas dan tengah sampai
ketelapak tangan. Terjadinya sewaktu dalam keadaan tenang.
Tanda PJK :
1. Biasanya kadar lemak yang tinggi tidak menimbulkan gejala. Kadang kadang,
jika kadarnya sangat tinggi endapan lemak akan membentuk suatu penumpukan
lemak yang di sebut xantoma di dalam tendo (urat daging) dan didalam kulit.
2. Demam, suhu tubuh umumnya sekitar 38 derajat c
3. Mual mual dan muntah, perut bagian atas kembung dan sakit
4. Muka pucat pasih
5. Kulit menjadi basah dan dingin badan bersimbah peluh
6. Gerakan menjadi lambat( kurang semangat)
7. Sesak nafas
8. Cemas dan gelisah
9. Pingsan

5. FAKTOR FAKTOR JANTUNG KORONER


Faktor-faktor resiko dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat diubah dan tidak
dapat diubah.
1) Faktor resiko lain yang masih dapat diubah
a. Hipertensi Tekanan darah yang terus meningkat dalam jangka waktu panjang akan
mengganggu fungsi endotel, sel-sel pelapis dinding dalam pembuluh darah (termasuk
pembuluh koroner). Disfungsi endotel ini mengawali proses pembentukan kerak yang
dapat mempersempit liang koroner. Pengidap hipertensi beresiko dua kali lipat
menderita penyakit jantung koroner. Resiko 8 jantung menjadi berlipat ganda apabila
penderita hipertensi juga menderita DM, hiperkolesterol, atau terbiasa merokok.
Selain itu hipertensi juga dapat menebalkan dinding bilik kiri jantung yang akhirnya
melemahkan fungsi pompa jantung (Yahya, 2010). Resiko PJK secara langsung
berhubungan dengan tekanan darah, untuk setiap penurunan tekanan darah diastolik
sebesar 5mmHg resiko PJK berkurang sekitar 16% (Leatham, 2006).
b. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) berpotensi menjadi ancaman terhadap
beberapa organ dalam tubuh termasuk jantung. Keterkaitan diabetes mellitus dengan
penyakit jantung sangatlah erat. Resiko serangan jantung pada penderita DM adalah
2-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa DM. Jika seorang penderita DM
pernah mengalami serangan jantung, resiko kematiannya menjadi tiga kali lipat lebih
tinggi. Peningkatan kadar gula darah dapat disebabkan oleh kekurangan insulin dalam
tubuh, insulin yang tidak cukup atau tidak bekerja dengan baik (Yahya, 2010).
Penderita diabetes cenderung memiliki pravalensi prematuritas, dan keparahan
arterosklerosis lebih tinggi. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan
secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya arterosklerosis. Diabetes
mellitus juga berkaitan dengan proliferasi sel otot polos dalam pembuluh darah arteri
koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Peningkatan kadar LDL dan
turunnya kadar HDL juga disebabkan oleh diabetes milletus. Biasanya penyakit
jantung koroner terjadi di usia muda pada penderita diabetes dibanding non diabetes
(Leatham, 2006).
c. Merokok Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada
perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-30%.
Resiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga
tiga kali lebih tinggi menderita PJK dari pada yang tidak merokok (Leatham, 2006).
Setiap batang rokok mengandung 4.800 jenis zat kimia, diantaranya karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen sianida, amoniak, oksida nitrogen,
senyawa hidrokarbon, tar, nikotin, benzopiren, fenol dan kadmium. Reaksi kimiawi
yang menyertai pembakaran tembakau menghasilkan senyawa-senyawa kimiawi yang
terserap oleh darah melalui proses difusi. Nikotin yang masuk dalam pembuluh darah
akan merangsang katekolamin dan bersama-sama zat kimia yang terkandung dalam
rokok dapat merusak lapisan dinding koroner. Nikotin berpengaruh pula terhadap
syaraf simpatik sehingga jantung berdenyut lebih cepat dan kebutuhan oksigen
meninggi. Karbon monooksida yang tersimpan dalam asap rokok akan menurunkan
kapasitas penggangkutan oksigen yang diperlukan jantung karena gas tersebut
menggantikan sebagian oksigen dalam hemoglobin. Perokok beresiko mengalami
seranggan jantung karena perubahan sifat keping darah yang cenderung menjadi
lengket sehingga memicu terbentuknya gumpalan darah ketika dinding koroner
terkoyak (Yahya, 2010). 10
d. Hiperlipidemia Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam
lemak bebas berasal eksogen dari makanan dan endogen dari sintesis lemak.
Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis
yang penting sehubungan dengan arteriogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma tetapi
terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum. Peningkatan kolesterol
LDL, dihubungkan dengan meningkatnya resiko terhadap koronaria, sementara kadar
kolesterol HDL yang tinggi tampaknya berperan sebagai faktor perlindung terhadap
penyakit arteri koroneria (Muttaqin, 2009).
e. Obesitas Kelebihan berat badan memaksa jantung bekerja lebih keras, adanya
beban ekstra bagi jantung. Berat badan yang berlebih menyebabkan bertambahnya
volume darah dan perluasan sistem sirkulasi sehingga berkolerasi terhadap tekanan
darah sistolik (Soeharto, 2001).
f. Gaya hidup tidak aktif Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko PJK yang setara
dengan hiperlipidemia, merokok, dan seseorang yang tidak aktif secara fisik memiliki
resiko 30%-50% lebih besar mengalami hipertensi. Aktivitas olahraga teratur dapat
menurunkan resiko PJK. Selain meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan untuk
mengatasi stres, keuntungan lain olahraga teratur adalah meningkatkan kadar HDL
dan menurunkan kadar LDL. Selain itu, diameter pembuluh darah jantung tetap
terjaga sehingga kesempatan tejadinya pengendapan kolesterol pada pembuluh darah
dapat dihindari (Leatham 2006)
2) Tiga faktor resiko yang tidak dapat diubah, yaitu:
a. Jenis Kelamin Penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada
laki-laki daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan,
namun setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan sebanding
dengan insidensi pada laki-laki (Leatham, 2006).
b. Keturunan (genetik) Riwayat jantung koroner pada keluarga meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur (Brown, 2006). Riwayat keluarga
penderita jantung koroner umumnya mewarisi faktor-faktor resiko lainnya, seperti
abnormalitas kadar kolesterol, peningkatan tekanan darah, kegemukan dan DM. Jika
anggota keluarga memiliki faktor resiko tersebut, harus dilakukan pengendalian
secara agresif. Dengan menjaga tekanan darah, kadar kolesterol, dan gula darah agar
berada pada nilai ideal, serta menghentikan kebiasaan merokok, olahraga secara
teratur dan mengatur pola makan (Yahya, 2010)
c. Usia Kerentanan terhadap penyakit jantung koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Namun dengan demikian jarang timbul penyakit serius sebelum
usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun, insiden MI meningkat lima
kali lipat. Hal ini terjadi akibat adanya pengendapan aterosklrerosis pada arteri
koroner (Brown, 2006)

6.DIAGNOSIS JANTUNG KORONER


Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, jika diagnosis PJK telah dibuat terkandung
pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami
infark jantung atau kematian mendadak. Dokter harus memilih pemeriksaan yang
perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang
maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut ini cara-cara
diagnostik:
1. Anamnesis Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa lampau seperti riwayat
merokok, usia, infark miokard sebelumnya dan beratnya angina untuk kepentingan
diagnosis pengobatan (Anonim, 2009).
2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada
PJK adalah denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan kecepatan respirasi
(Majid, 2007).
3. Laboratorium Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil
lipid seperti LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk menentukan faktor
resiko dan perencanaan terapi. Selain pemeriksaan diatas dilakukan pula
memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin. Pengukuran penanda enzim jantung
seperti troponin sebaiknya dilakukan bila evaluasi mengarah pada sindrom koroner
akut (Anonim, 2009).
4. Foto sinar X dada X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan
gagal jantung, penyakit katup jantung atau gangguan paru. Adanya kardiomegali, dan
kongesti paru dapat digunakan prognosis (Anonim, 2009).
5. Pemeriksaan jantung non-invasif a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang
penting untuk mendiagnosis PJK. b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner
dan teknik imaging (computed tomografi (CT) dan magnetic resonance
arteriography. Sinar elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang mampu
mendeteksi kadar kalsium koroner (Anonim, 2009).
6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner a. Arteriografi koroner adalah
Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes non invasif tidak jelas atau tidak dapat
dilakukan. Namun arteriografi koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental pada
pasien angina stabil. Arteriografi koroner memberikkan gambaran anatomis yang
dapat dipercaya untuk identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan terapi
dan prognosis (Anonim, 2009)
7. PENATALAKSANAAN TERAPI JANTUNG KORONER
Terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme, manifestasi klinis,
perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis dari
kasus PJK. Pada prinsipnya terapi ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan
cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard
akut atau kematian mendadak.
a. Golongan Nitrat Mekanisme kerja golongan nitrat vasodilatasi, menurunkan
pengisian diastolik, menurunkan tekanan intrakardiak dan meningkatkan perfusi
subendokardium. Nitrat kerja pendek penggunaan sublingual untuk profilaksis, nitrat
kerja panjang penggunaan oral atau transdermal untuk menjaga periode bebas nitrat.
Nitrat kerja jangka pendek diberikan pada setiap pasien untuk digunakan bila
terdapat nyeri dada. Dosis nitrat diberikan 5 mg sublingual dapat diulang tiga kali
sehari (Anonim, 2009).
b. Golongan Penyekat β (beta bloker) Terdapat bukti-bukti bahwa pemberian beta
bloker pada pasien angina yang sebelumnya pernah mengalami infark miokard, atau
gagal jantung memiliki keuntungan dalam prognosis. Berdasarkan data tersebut beta
bloker merupakan obat lini pertama terapi angina pada pasien tanpa kontraindikasi
(Anonim, 2009). Beta bloker dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan
pencernaan, mimpi buruk, rasa capek, depresi, reaksi alergi blok AV, dan
bronkospasme. Beta bloker dapat memperburuk toleransi glukosa pada pasien
diabetes juga mengganggu respon metabolik dan autonomik terhadap hipoglikemik
(Anonim, 2000). Dosis beta bloker sangat bervariasi untuk propanolol 120-480/hari
atau 3x sehari 10-40mg dan untuk bisoprolol 1x sehari 10-40mg. 16
c. Golongan antagonis kalsium Mekanisme kerja antagonis kalsium sebagai
vasodilatasi koroner dan sistemik dengan inhibisi masuknya kalsium melalui kanal
tipe-L. Verapamil dan diltiazem juga menurunkan kontraktilitas miokardium,
frekuensi jantung dan konduksi nodus AV. Antagonis kalsium dyhidropyridin
(missal: nifedippin, amlodipin, dan felodipin) lebih selektif pada pembuluh darah
(Anonim, 2009). Pemberian nifedipin konvensional menaikkan risiko infark jantung
atau angina berulang 16%, Penjelasan mengapa penggunaan monoterapi nifedipin
dapat menaikkan mortalitas karena obat ini menyebabkan takikardi refleks dan
menaikkan kebutuhan oksigen miokard (Anonimª, 2006). Dosis untuk antagonis
kalsium adalah nifedipin dosis 3x5-10mg, diltiazem dosis 3x30-60mg dan verapamil
dosis 3x 40-80mg.
d. Obat antiplatelet Terapi antiplatelet diberikan untuk mencegah trombosis koroner
oleh karena keuntungannya lebih besar dibanding resikonya. Aspirin dosis rendah
(75- 150mg) merupakan obat pilihan kebanyakan kasus. Clopidogrel mungkin dapat
dipertimbangkan sebagai alternative pada pasien yang alergi aspirin, atau sebagai
tambambahan pasca pemasangan sent, atau setelah sindrom koroner akut. Pada
pasien riwayat perdarahan gastrointestinal aspirin dikombinasi dengan inhibisi
pompa proton lebih baik dibanding dengan clopidogrel. Untuk Clopidogrel dengan
dosis 75 mg satu kali sehari (Anonim, 2009) Aspirin bekerja dengan cara menekan
pembentukan tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase dalam
platelet (trombosit) melalui 17 asetilasi yang ireversibel. Kejadian ini menghambat
agregasi trombosit melalui jalur tersebut. Sebagian dari keuntungan dapat terjadi
karena kemampuan anti inflamasinya dapat mengurangi ruptur plak (Anonimª,
2006).
e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I) ACE-I merupakan obat yang
telah dikenal luas sebagai obat antihipertensi, gagal jantung, dan disfungsi ventrikel
kiri. Sebagai tambahan, pada dua penelitian besar randomized controlled ramipril dan
perindopril penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien penyakit
jantung koroner stabil tanpa disertai gagal jantung. ACE-I merupakan indikasi pada
pasien angina pectoris stabil disertai penyakit penyerta seperti hipertensi, DM, gagal
jantung, disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, dan pasca infark miokard. Pada pasien
angina tanpa disertai penyakit penyerta pemberian ACE-I perlu diperhitungkan
keuntungan dan resikonya (Anonim, 2009). Dosis untuk penggunaan obat golongan
ACE-I untuk captopril 6,25-12,5 mg tigakali sehari. Untuk ramipril dosis awal 2,5
mg dua kali sehari dosis lanjutan 5 mg duakali sehari, lisinopril dosis 2,5-10 mg satu
kali sehari (Lacy et al, 2008).
f. Antagonis Reseptor Bloker Mekanisme dengan mencegah efek angiotensin II,
senyawa-senyawa ini merelaksasikan otot polos sehingga mendorong vasodilatasi,
meningkatkan eksresi garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma, dan
mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II secara teoritis juga
mengatasi beberapa kelemahan ACEI (Oates and Brown, 2007). Antagonis reseptor
bloker diberikan bila pasien intoleran dengan ACE-I (Anonim, 2009). Dosis untuk 18
valsartan 40 mg dua kali sehari dosis lanjutan 80-160mg, maximum dosis 320 mg
(Lacy et al,2008).
g. Anti kolesterol Statin menurunkan resiko komplikasi atherosklerosis sebesar 30%
pada pasien angina stabil. Beberapa penelitian juga menunjukkan manfaat statin pada
berbagai kadar kolesterol sebelum terapi, bahkan pada pasien dengan kadar
kolesterol normal. Terapi statin harus slalu dipertimbangkan pada pasien jantung
koroner stabil dan angina stabil. Target dosis terapi statin untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler sebaiknya berdasarkan penelitian klinis
yang telah dilakukan dosis statin yang direkomendasi adalah simvastatin 40 mg/hr,
pravastatin 40 mg/hr, dan atorvastin 10 mg/hr. Bila dengan dosis diatas kadar
kolesterol total dan LDL tidak mencapai target, maka dosis dapat ditingkatkan sesuai
toleransi pasien sampai mencapai target (Anonim, 2009). Statin juga dapat
memperbaiki fungsi endotel, menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus,
bersifat anti inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid. Statin sebaiknya diteruskan
untuk mendapatkan keuntungan terhadap kelangsungan hidup jangka panjang
(Anonimª, 2006). Kontraindikasi pasien dengan penyakit hati yang aktif, pada
kehamilan dan menyusui. Efek samping miosis yang reversibel merupakan efek
samping yang jarang tapi bermakana. Statin juga menyebabkan sakit kepala,
perubahan nilai fungsi ginjal dan efek saluran cerna (Anonim, 2000).
8. PENGOBATAN RASIONAL JANTUNG KORONER
Definisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diaknosa, pengobatan,
melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau hewan.
Penggunaan obat diharapkan dapat memperoleh kesembuhan dari penyakit yang
diderita. Perlu diperhatikan agar pengunaannya sesuai dengan ketentuanketentuan,
sebab bila salah penggunaan obat dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Dikatakan bahwa obat dapat memberi kesembuhan dari penyakit bila digunakan
untuk penyakit yang cocok dengan dosis yang tepat. Bila tidak akan memperoleh
kerugian bagi badan bahkan sampai kematian (Anief, 1997). Penggunaan obat
dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu. Masing–masing persyaratan mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis akan memberi konsekuensi
berupa kekeliruan dalam menentukan jenis pengobatan (Anonimb , 2006) Secara
praktis pengunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a. Tepat Indikasi Pemilihan obat yang didasarkan pada indikasi adanya suatu gejala
atau diagnosis penyakit yang akurat (Anonimb , 2006)
b. Tepat pasien Pemilihan obat disesuakan dengan kondisi fisiologis dan patologis
pasien dengan memiliki ada tidaknya kontra indikasi (Anonimb ,2006).
c. Tepat obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spectrum penyakit (Anonimb , 2006).
d. Tepat dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan
rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya
dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang
diharapkan (Anonimb , 2006).
e. Waspada terhadap efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek
samping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi (Anonimb , 2006).
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Penyakit jantung koroner disebabkan karna terjadinya penumpukan plak pada arteri
koroner yang berlangsung lama. Plak yang menempel pada arteri koroner lambat laut
akan menyebabkan aterosklerosis. Penatalaksanaan hal ini dapat dilakukan dengan
cara non operatif dan operatif, non operatif meliputi penggunaan obat obatan dan
perubahan gaya hidup sedangkan operatif dengan cara angioplasty dan CABG.Obat
obatan yang biasa digunakan untuk menagemen lipid antara lain adalah golongan
resin, kolestiramin,lovastatin dsb yang mempunyai efek samping yang berbeda beda.

B.SARAN
Diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai hubungan pola konsumsi lemak dan
status obesitas sentral dengan profil lipid pasien penyakit jantung koroner di Rumah
sakit.Proses pengumpulan data sebaiknya dilakukan langsung dengan pasien penyakit
jantung koroner agar data bersifat kualitatif dan nyata.Penelitian ini mengunakan
metode literature review sehingga data bersifat kualiatif sehingga data data yang
diperoleh banyak sekali ditemukan bias.Untuk itu diperlukan kajian literature yang
lebih banyak lagi dengan berbagai sumber data base sehingga mendapatkan yang baik
atau dilakukan penelitian dengan metode lain yang lebih obyektif.
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, Phillip I., and Ward, Jeremy PT., 2010, At a Glance Sistem
Kardiovaskular 3th ed, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Alwi, Idrus., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid
III,Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Anief, M., 1997, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, Edisi ke 3, hal 148,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2000, Informatorium
Obat Nasional Indonesia, hal 1, 6, Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta.
Bresler, Michael Jay, and Sternbach, George L., 2007, Manual Kedokteran
Darurat Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Brown, C. T., 2006, Penyakit Aterosklerotik Koroner, dalam Price, S.A. dan
Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep-konsep Proses Penyakit,
diterjemahkan oleh Pendit, B.U., Hartanto, H., Wulansari, P., Susi, N. dan
Mahanani, D.A., Volume 2, Edisi 6, 579-585, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Cannon CP, McCabe CH, Belder R, et al ., 2002, Design of the Pravastatin or
Atorvastatin Evaluation and Infection Therapy (PROVE IT)-TIMI 22 trial.
Am J Cardiol. 2002;89:860-1.
Chen ZM, Pan HC, Chen YP, et al., 2005 Early intravenous then oral metoprolol
in 45,852 patients with acute myocardial infarction: randomised placebo-
controlled trial. Lancet. 2005;366:1622-32.
Chilton, R., and Talbert, R.L., 2008, Dipiro Pharmacotherapy 7th, McGraw-Hill,
Amerika.
Dargie HJ., 2001, Effect of carvedilol on outcome after myocardial infarction in
patients with left-ventricular dysf unction: the CAPRICORN randomised
trial. Lancet. 2001;357:1385 90.
Depkes RI, 2006, Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional , Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dines K. Mehta, 2006, British National Formulary 57, London : BMJ Group
Publishing Ltd.
35
Garcia-Dorado D, Permanyer-Miralda G, Brotons C, et al ., 1999, Attenuated
severity of new acute ischemic events in patients with previous coronary
heart disease receiving long-acting nitrates. Clin Cardiol. 1999;22:303-8.
Goodman SG, Cohen M, Bigonzi F, et al., 2003, Randomized trial of low
molecular weight heparin (enoxaparin) versus unfractionated heparin for
unstable coronary artery disease: one-year results of the ESSENCE Study.

Anda mungkin juga menyukai