Anda di halaman 1dari 74

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI

BALITA PADA MASA ADAPTASI NEW NORMAL DI BAKARU

NUR HIDAYATI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita pada


Masa Adaptasi New Normal di Bakaru
Nama : Nurhidayati
NIM : 217240088
Konsentrasi : Gizi
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Ilmu Kesehatan (FIKES)

Menyetujui,

Ayu Dwi Putri Rusman, SKM, MPH Usman, SKM, M.Kes


Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat

Haniarti, S.Si, Apt, M.Kes Ayu Dwi Putri Rusman, SKM, MPH
NBM : 865 740 NBM : 11 44 942

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal

Penelitian ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status

Gizi Balita Pada Masa Adaptasi New Normal Di Bakaru”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan berupa bimbingan,

saran maupun dorongan moral dan material dalam proses penyusunan proposal

penelitian ini sehingga penulis mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu,

penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada :

1. Secara Khusus, penulis ingin mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya

kepada kedua orangtua Bahri dan Baharia yang memberikan kasih sayang

bimbingan, do’a sehingga penulis mendapat kemudahan dalam

menyelesaikan penulisan Proposal Penelitian ini, serta perhatian yang tulus

kepada penulis, juga kepada teman-teman seperjuangan yang senantiasa

mendukung.

2. Ibu Ayu Dwi Putri Rusman, SKM, MPH Selaku Pembimbing I dan selaku

ketua prongram studi kesehatan masyarakat UM parepare yang senantiasa

meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan saran-saran hingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

iii
3. Bapak Usman, SKM,. M.Kes. Selaku Pembimbing II yang senantiasa

meluangkan waktu dan memberikan petunjuk dalam penyusunan Proposal

Penelitian ini.

4. Ibu Fitriani Umar, SKM, M.Kes selaku dosen penanggap yang senantiasa

memberikan masukan dan sran sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal ini.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga Allah

SWT.Selalu melimpahkan karunia-Nya dan membalas semua amal baik dan

pengorbanan yang telah diberikan. Penulis senantiasa mengharap saran dan

kritik yang sifatnya membangun untuk penelitian selanjutnya.

Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiquk Khaerat

Wassalamu Alaikum Wr. Wb

Parepare, 09 Februari 2022

Nurhidayati

iv
ABSTRAK

Pandemi COVID-19 (virus corona) telah mengakibatkan beberapa perubahan


dalam kehidupan sehari-hari, yang semuanya berdampak pada kesehatan gizi. Masa balita
merupakan masa yang krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, serta
penambahan kebutuhan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan status gizi balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.
Metode penelitian yang digunakan adalah desain cross sectional study. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh anak balita usia 12-59 bulan di Desa Bakaru. Metode
pengambilan sampel adalah purposive sampling. Data dianalisa dengan menggunakan
WHO Anthro dan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mayoritas status gizi balita
yaitu yaitu gizi baik sebanyak 15 responden dengan presentase 42,9%, mayoritas
pendapatan keluarga balita yaitu kategori rendah sebanyak 32 responden dengan
presentase 91,4%, dan mayoritas pola asuh ibu yaitu kategori cukup sebanyak 29
responden dengan presentase 82,9%. Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square
untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,576 (>0,05) hal ini menandakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Pada hubungan pola asuh
ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru didapatkan nilai p-value sebesar 0,395 (<0,05)
hal ini menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status
gizi balita.

Kata kunci: Status Gizi, Balita, Pendapatan Keluarga, Pola Asuh Ibu.

iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1998 di Bakaru. Anak ke-5

dari pasangan Bapak Bahri dan Ibu Baharia. Memulai sekolah dasar di SDN 155

Lembang, lulus pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 5

Lembang, lulus pada tahun 2014. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan

di SMK DDI Parepare dan tamat pada tahun 2017. Pada tahun 2017, penulis

melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Universitas Muhammadiyah Pare-

pare dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan.

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................6
C. Tujuan........................................................................................................6
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8


A. Tinjauan Umum COVID-19......................................................................8
B. Tinjauan Umum Adaptasi New Normal...................................................13
C. Tinjauan Umum Balita.............................................................................16
D. Tinjauan Umum Konsep Gizi Balita.......................................................19
E. Tinjauan Umum Status Gizi Balita..........................................................20
F. Tinjauan Umum Faktor Yang Mempengaruhi Gizi Balita......................22
G. Tinjauan Umum Stunting.........................................................................26
H. Kerangka Teori........................................................................................28
I. Kerangka Pikir.........................................................................................28

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................29


A. Metode Dan Desain Penelitian................................................................29
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian..................................................................29
C. Populasi Dan Sampel...............................................................................29
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif..............................................30
E. Instrumen Penelitian................................................................................31
F. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................31
G. Pengolah dan Analisis Data.....................................................................32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................34


A. Hasil...............................................................................................................34
B. Pembahasan...................................................................................................37

BAB V PENUTUP................................................................................................47

vi
A. Kesimpulan....................................................................................................47
B. Saran..............................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

vii
DAFTAR TABEL

1. Kebutuhan Energi pada Balita 6-24 bulan................................................18


2. Kebutuhan Protein pada Balita 6-24 bulan...............................................18
3. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Umur 0-60 Bulan
Berdasarkan Indeks (BB/U).....................................................................21
4. Karakteristik Ibu Balita di Desa Bakaru...................................................34
5. Karakteristik Balita di Desa Bakaru ........................................................34
6. Status Gizi Balita di Desa Bakaru ...........................................................35
7. Pendapatan Keluarga Balita di Desa Bakaru............................................35
8. Pola Asuh Ibu Balita di Desa Bakaru.......................................................36
9. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita.....................36
10. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita..............................37

viii
DAFTAR GAMBAR

1. Virus Coovid-19.........................................................................................8
2. Kerangka Teori.........................................................................................28
3. Kerangka Berpikir ...................................................................................28

ix
DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian.................................................................................53
2. Hasil Analisa.............................................................................................57
3. Surat Permohonan Pengatar Izin Penelitian ............................................63
4. Surat Permohonan Izin Penelitian............................................................64
5. Dokumentasi Penelitian............................................................................65

x
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

COVID-19 telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health

Organization (World Health Organization, 2020), serta Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana dengan Keputusan No. 9 A Tahun 2020, yang

kemudian diperpanjang dengan Keputusan No. 13 A Tahun 2020 sebagai Status

Situasi Darurat Bencana Tertentu Akibat Penyakit Virus Corona di Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun

2020 tentang Pembatasan Nasional Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan

Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Presiden

Nomor 11 Tahun 2020 yang menetapkan Status Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat, karena dengan peningkatan kasus dan penyebaran antar wilayah,

kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020

tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019

(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Pandemi COVID-19 (virus corona) telah mengakibatkan beberapa

perubahan dalam kehidupan sehari-hari, yang semuanya berdampak pada

kesehatan gizi. Masa balita merupakan masa yang krusial bagi pertumbuhan dan

perkembangan yang cepat, serta penambahan kebutuhan makanan [1]. Saat

pandemi Covid-19 tingkat ekonomi masyarakat terjadi penurunan sehingga dapat

mempengaruhi peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kulitas yang

lebih baik. Hal ini akan mempengaruhi asupan gizi bagi anak terutama balita.

1
Ketika masyarakat mengalami masalah ekonomi karena kehilangan pendapatan

dan memiliki akses yang terbatas ke makanan sehat, jumlah anak yang

kekurangan gizi akan cenderung meningkat di tengah angka yang memang sudah

tinggi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena asupan makanan bergizi sangat

penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh guna mencegah dan melawan

COVID-19 [1].

Masyarakat dihadapkan dengan kondisi yang serba salah, untuk mencegah

terjadinya penyebaran Covid-19 semua orang harus meningkatkan daya tahan

tubuh, yaitu dengan mengatur pola makan yang seimbang dan sehat, berolahraga

minimal 30 menit/hari, serta istirahat yang cukup. Tetapi dengan kondisi masa

New Normal seperti sekarang sekolah, perkuliahan dan bekerja dialihkan dari

rumah sehingga mengakibatkan masyarakat memiliki ruang gerak yang terbatas.

Aktivitas yang terbatas di masa New Normal dapat meningkatkan perilaku

sedentary activity yang akan berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

masyarakat [2]. Dampak lain yang dirasakan bagi sebagian orang yang tetap bisa

bekerja dari rumah adalah berkurangnya penghasilan yang bisa dia dapatkan,

berbeda jauh dengan bekerja dari kantor. Berkurangnya pendapatan, berarti

berkurang juga daya beli masyarakat, secara tidak langsung dapat menyebabkan

berkurangnya pemenuhan gizi keluarga, terutama gizi pada anak [3].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni et al., (2021)

menyatakan bahwa pandemi covid-19 berdampak pada status gizi balita

berdasarkan TB/U mengalami peningkatan pada kategori sangat pendek dari

5,73% menjadi 6,61% dan pendek dari 11,89% pada bulan Februari menjadi

2
16,74% pada bulan Agustus 2020. Status gizi balita berdasarkan BB/TB

mengalami peningkatan pada beresiko gizi lebih dari 5,73% menjadi 9,25%, gizi

lebih dari 2,20% menjadi 5,73%, dan obesitas dari 1,76% pada bulan Februari

menjadi 2,20% pada bulan Agustus 2020. Status gizi balita berdasarkan IMT/U

mengalami peningkatan pada bersiko gizi lebih, gizi lebih, dan obesitas dari

9,25%, 2,64%, dan 2,20% pada bulan Februari menjadi 12,33%, 6,61% [4].

Status gizi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan

kesehatan anak sebagai hasil interaksi antara makanan yang dimakan dengan cara

penggunaannya oleh tubuh. Teknik antropometri yang dibedakan menjadi dua

yaitu pengukuran pertumbuhan (ukuran tubuh) dan pengukuran komposisi tubuh

dapat digunakan untuk menentukan status gizi [5].

Terdapat dua jenis variabel yang mungkin mempengaruhi penyebab

masalah gizi: faktor langsung dan tidak langsung. Penyebab langsungnya adalah

konsumsi makanan dan penyakit menular yang diakibatkannya. Ketahanan pangan

di rumah, pola asuh, perawatan kesehatan, dan kebersihan lingkungan yang buruk

juga merupakan faktor tidak langsung. Empat pengaruh tidak langsung tersebut

adalah pendidikan, pengetahuan, pendapatan, pekerjaan, dan keterampilan ibu.

Saat ini ada 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun yang meninggal akibat

masalah pola makan di seluruh dunia. Dampak lainnya adalah terganggunya

pertumbuhan dan perkembangan mental, serta kecerdasan anak, sehingga lebih

rentan terhadap suatu infeksi [5].

Pendidikan gizi ibu sangat penting dalam meningkatkan status gizi

keluarga, khususnya status gizi anaknya. Mengetahui gizi yang baik

3
memungkinkan seseorang untuk dapat menciptakan makanan yang sehat untuk

konsumsi keluarganya, dimulai dengan mengidentifikasi, memilih, mengolah, dan

terakhir menyajikan menu bergizi sehari-hari [6]. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Alfiana tahun 2017, ada hubungan antara kesadaran gizi ibu

dengan kesehatan gizi anaknya [7].

Selain pengetahuan ibu, kesehatan gizi bayi terkait dengan riwayat

menyusui eksklusif bayi. Air Susu Ibu (ASI) menawarkan beberapa keuntungan

bagi bayi. Menyusui adalah bagian penting dari perawatan bayi dan

pengembangan generasi mendatang. Jumlah nutrisi yang tertelan berdampak pada

pertumbuhan dan perkembangan bayi baru lahir. Menyusui dapat menyediakan

sebagian besar kebutuhan diet ini. ASI tidak hanya merupakan sumber energi

utama bagi bayi baru lahir, tetapi juga merupakan pemasok utama protein,

vitamin, dan mineral. Pemberian ASI saja, tanpa makanan atau minuman

tambahan, dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi sampai ia berusia enam bulan

atau yang biasa disebut dengan ASI eksklusif [8].

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, Air Susu Ibu (ASI)

eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi baru lahir sejak lahir selama

enam bulan tanpa menambah atau mengganti makanan atau minuman lain

(kecuali obat, vitamin, dan mineral). ASI mengandung kolostrum, yang kuat

dalam antibodi dan memasok protein untuk sistem kekebalan tubuh serta

pembunuh kuman tingkat tinggi, mengurangi kemungkinan kematian pada bayi

yang disusui secara eksklusif. Dalam hal ini terdapat kaitan antara riwayat

pemberian ASI eksklusif dengan kondisi gizi bayi usia 7 hingga 24 bulan. [9]

4
Status gizi balita pada masa pandemi memiliki hubungan yang sangat erat

dengan adanya ketersediaan pangan dalam lingkup rumah tangga. Banyak orang

tua yang mengalami PHK sehingga kemampuan untuk mencukupi kebutuhan

rumah tangga semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekirman

yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan dapat mempengaarui

peningkatan belanja untuk pangan, sebaliknya sedangkan penurunan pendapatan

dapat mempengaruhi tingkat ketahanan pangan dalam rumah tangga sehingga

menyebabkan masalah pada gizi balita. Tingkat pendapatan merupakan faktor

penting yang dapat menentukan kualitas serta kuantitas pangan dalam rumah

tangga karena berhubungan langsung dengan kemampuan daya beli. Masyarakat

dengan pendapatan rendah lebih memilih konsumsi pangan dengan sumber energi

seperti padi-padian, umbi-umbian serta sayuran, sedangkan masyarakat dengan

pendapatan tinggi akan memilih pangan dengan lebih bervariasi seperti makanan

dari submer hewani, gula, lemak, minyak dan makanan kaleng [4].

Status gizi bayi juga dipengaruhi oleh variabel pekerjaan. Peningkatan

pendapatan untuk peningkatan kesehatan dan kesulitan keluarga yang

berhubungan dengan kondisi gizi merupakan hubungan yang erat antara

peningkatan pendapatan untuk peningkatan kesehatan dan peningkatan

pendapatan untuk perbaikan kondisi gizi [10]. Oleh sebab itu, Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Status Gizi Balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.

5
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Adakah hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita

pada masa adaptasi new normal di Bakaru?

2. Adakah hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita pada masa

adaptasi new normal di Bakaru?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah, maka peneliti dapat memutuskan

bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor

yang berhubungan dengan status gizi balita pada masa adaptasi new

normal di Bakaru.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dengan status

gizi balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.

b. Mengetahui hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita

pada masa adaptasi new normal di Bakaru.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu untuk manfaat teoritis dan

manfaat praktis. Berikut ini adalah manfaat penelitian ini.

6
1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang

faktor apa saja yang berhubungan faktor-faktor yang berhubungan

dengan status gizi balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti

selanjutnya yang akan membahas dan lebih mengembangkan topik

penelitian yang serupa.

7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum COVID-19

1) Definisi

Virus SARS-CoV-2 atau virus korona baru yang muncul di Wuhan, China,

pada akhir 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah Cina hingga ke

beberapa negara di belahan dunia [11]. Struktur genom virus pada SARS-CoV-2

adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur genom virus. ORF: open reading frame, E: envelope, M:

membran, N: nukleokapsid [12].

Corona virus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus

ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan

unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat

menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,

betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness

Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus

(MERS-CoV). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam

genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini

masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah

Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu

8
Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses

mengajukan nama SARS-CoV-2 [13].

2) Epidemiologi

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di

China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari

2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar,

kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China. Tanggal

30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China,

dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand,

Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi,

Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman

[13].

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020

sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi

berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di

Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia.

Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus

dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat

pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru

sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan

6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu

11,3% [13].

9
3) Etiologi

Corona virus merupakan virus zoonotik, RNA virus, bersirkulasi di hewan,

seperti unta, kucing, dan kelelawar. Hewan dengan coronavirus dapat berkembang

dan menginfeksi manusia seperti pada kasus MERS dan SARS seperti kasus

outbreak saat ini. Epidemi dua betacoronavirus SARS dan MERS sekitar 10.000

kasus; tingkat kematian 10 % untuk SARS dan 37% untuk MERS. Studi saat ini

telah mengungkapkan bahwa COVID-19 mungkin berasal dari hewan liar, tetapi

asal pastinya masih belum jelas [14].

4) Transmisi dan Penularan

Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi

sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi

SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat

batuk atau bersin. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada

aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam. WHO

memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5.

Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28 [13].

Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier

asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait

transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan

pasien COVID-19. Beberapa peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada

neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum

terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang

10
transmisi vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali

pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif [13].

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil

biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di

feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam

feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini

menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral. Stabilitas SARS-

CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-CoV.

Eksperimen menunjukkan SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan

stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam).

Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada

kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di

gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas

ventilasi, namun tidak pada sampel udara [13].

5) Manifestasi Klinis

Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala sangat

ringan, hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan respirasi

akut yang mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan support di Intensive

Care Unit (ICU). Ditemukan beberapa kesamaan manifestasi klinis antara infeksi

SARS-CoV-2 dan infeksi betacoronavirus sebelumnya, yaitu SARS-CoV dan

MERS-CoV. Beberapa kesamaan tersebut diantaranya demam, batuk kering,

gambaran opasifikasi ground-glass pada foto toraks [15].

11
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19, diantaranya yaitu

demam, batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk. gejala klinis yang paling sering terjadi

pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau

kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun tidak begitu

sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah 5%,

dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea. Sakit

abdominal merupakan indikator keparahan pasien dengan infeksi COVID-19.

Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien mengalami diare,

5,6% pasien mengalami mual dan/atau muntah [15].

Manifestasi neurologis pada pasien Covid-19 harus senantiasa

dipertimbangkan. Meskipun manifestasi neurologis tersebut merupakan presentasi

awal. Virus Corona dapat masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang

juga diekspresikan oleh sel neuron dan sel glial. Pasien memiliki riwayat status

epileptikus pada dua tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan

asam valproat dan levetiracetam dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun.

Tidak ada gejala saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien tidak

membutuhkan terapi oksigen. Penelitian lain menunjukkan manifestasi neurologis

pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status epileptikus pada pasien lelaki usia

8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan riwayat kejang sebelumnya [15].

12
B. Tinjauan Umum Adaptasi New Normal

1) Adaptasi

Menurut Denison (1995), teori adaptasi merupakan penekanan pada

kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, menerima,

menafsirkan dan menerjemahkan gangguan ataupun perubahan dari eksternal ke

dalam norma-norma internal organisasi yang berdampak terhadap

keberlangsungan dan ketahanan sebuah organisasi. Sebagai upaya kesuksesan

adaptasi, organisasi harus memiliki persepsi dan respon terhadap lingkungan,

kemampuan untuk menanggapi kondisi internal serta memiliki raksi cepat

terhadap perubahan [2].

2) New Normal

New Normal bukanlah terminologi baru namun sudah digunakan dalam

Studi Ketahanan misalnya oleh Rolf Pendall, Kathryn Foster, and Margaret

Cowell (2010) yang menyebut "New Normal" sebagai kondisi/kehidupan baru

setelah terjadi guncangan besar. Dalam paper itu Pendall, Foster, dan Cowell

mengemukakan dua konsep yang terpisah tentang ketahanan (resilience) yakni

didasarkan pada analisis keseimbangan di mana ketahanan adalah kemampuan

untuk kembali ke keadaan yang sudah ada sebelumnya dalam sistem

keseimbangan tunggal atau beralih ke New Normal dalam berbagai sistem

kesetimbangan yakni ketahanan dalam hal sistem adaptif kompleks dan berkaitan

dengan kemampuan suatu sistem untuk beradaptasi dan berubah dalam

menanggapi stres dan tekanan. [16]

13
Dionysios Nikolopoulos, Henk-Jan van Alphen, Dirk Vries, Luc Palmen ,

Stef Koop, Peter van Thienen, Gertjan Medema and Christos Makropoulos

menggunakan terminologi New Normal dalam makalah mereka berjudul

“Tackling the New Normal: A Resilience Assessment Method Applied to Real-

World Urban Water Systems". Mereka merujuk filsuf Yunani pra-Socractic,

Heraclitus yang menulis bahwa “perubahan adalah satusatunya yang konstan

dalam kehidupan” dan karenanya berkaitan dengan tantangantantangan dan

ketidakpastian yang terkait dengan masa depan [16].

Terminologi New Normal juga digunakan Graeme J McColl dan Frederick

M Burkle Jr (2012) dalam tulisan hasil penelitian mereka terhadap adaptasi dan

strategi penduduk Christchurch, Selandia Baru akibat serangkaian gempa bumi

menghancurkan wilayah itu selama lebih dari satu tahun. Gempa itu

mengakibatkan kerusakan besar pada rumah, bangunan, layanan penting dan

sumber daya dalam air, saluran pembuangan, makanan, akses ke kesehatan, energi

untuk pemanasan dan pendinginan, dan tantangan ketahanan yang belum pernah

dihadapi sebelumnya. Hasil riset kedua peneliti ini menggambarkan sejumlah

besar bangunan yang hancur, kerusakan lahan, membuat pembangunan kembali

menjadi mustahil bagi banyak orang. Sebagian besar penduduk memutuskan

untuk meninggalkan kampung halamannya, namun sebgian penduduk ingin tetap

bertahan dan menjalankan New Normal, untuk proses yang mendefinisikan

kehidupan sehari-hari dan keputusan masa depan Bagi penduduk yang bertahan

New Normal berfungsi sebagai pedoman yang tidak nyaman tetapi realistis

dengan apa ketahanan lebih lanjut dapat diukur [16].

14
New normal atau tatanan hidup baru merupakan kebijakan yang

diberlakukan oleh pemerintah setelah adanya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial

Berskala Besar) yang telah dijalani oleh masyarakat. Istilah tatanan hidup baru

seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam halaman

websitewww.covid19.go.id adalah kehidupan yang berjalan dengan adanya

protokol kesehatan yang ketat agar terhindar dari penularan Covid19 dengan rajin

mencuci tangan setelah beraktifitas, tetap jaga jarak dan selalu menggunakan

masker ketika berada diluar rumah [17].

Menularnya Covid-19 membuat dunia menjadi resah, termasuk di Indonesia.

Covid-19 merupakan jenis virus yang baru sehingga banyak pihak yang tidak tahu

dan tidak mengerti cara penanggulangan virus tersebut. Seiring mewabahnya virus

corona atau covid-19 ke ratusan negara, pemerintah republic Indonesia

memberikan protocol kesehatan. Protokol kesehatan tersebut akan dilaksanakan di

seluruh Indonesia oleh pemerintah dengan dipandu secara terpusat oleh

kementerian kesehatan. Bahkan disejumlah daerah yang telah menerapkan PSBB

dianggap tidak efektif dengan alasan berbagai faktor. Menurut Sosiolog, Imam

Prasodjo, Faktor penghambat pelaksanaan PSSB yaitu: [18]

1. Kesadaran masyarakat.

2. Banyaknya kantor yang harusnya tutup tetapi tidak tutup, masih

mewajibkan bekerja.

3. Pembagian sembakon yang tidak lancar.

4. Pendekatan hukum yang tidak serius.

15
Kebiasaan baru (New Normal) memiliki definisi yang berbeda menyesuaikan

sudut pandang dari beberapa kepentingan dan institusi. Secara umum new normal

merupakan sebuah cara atau tatanan baru dalam menjalani kehidupan dan

aktivitas sehari-hari. Menurut pakar kesehatan dan dilihat dari perspektif

kesehatan, agar suatu daerah atau negara dapat mengimplementasikan new normal

harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain daerah tersebut sudah terbukti

mengalami perlambatan kasus persebaran virus, sudah dilakukannya PSBB secara

maksimal, kondisi masyarakat yang siap dan mampu memenuhi kebutuhan daya

tahan tubuh serta tersedianya infrastruktur yang memadai untuk mendukung

aktivitas sehari-hari. Dari perspektif sosial, new normal merubah perilalu

masyarakat untuk lebih berhati-hati dan mengurangi kontak langsung seperti jabat

tangan, cipika-cipiki dan berkumpul. Sedangkan dari sisi ekonomi dan bisnis, new

normal menggeser bisnis model menjadi serba digital dan bergantung pada

teknologi. Sedang pemerintah Indonesia mendefinisikan new normal sebagai

membudayakan hidup bersih dan sehat dengan rajin melakukan cuci tangan,

menggunakan masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan [2].

C. Tinjauan Umum Balita

1) Pengertian

Balita didefinisikan sebagai seorang individu hingga sekelompok

orang dalam suatu populasi yang berusia mulai dari satu sampai tiga tahun.

Kelompok usia bayi (0-2 tahun), kelompok usia balita (2-3 tahun), serta

kelompok usia prasekolah (>3-5 tahun) merupakan tiga kategori usia

16
balita. Sedangkan WHO mengklasifikasikan balita sebagai seseorang yang

berusia 0 sampai 60 bulan [19].

2) Karakteristik

Persagi (1992) melalui bukunya, Gizi Seimbang dalam Kesehatan

Reproduksi (Balanced Nutrition in Reproductive Health) berpendapat,

balita yang mulai menginjak 1-5 tahun dapat diklasifikasikan menjadi dua

kategori tergantung pada karakteristiknya, yakni: "batita", yakni anak-anak

yang lebih tua dari satu tahun hingga tiga tahun dan usia “prasekolah”,

berusia tiga sampai lima tahun [20].

3) Kebutuhan Gizi Balita

Masa bayi adalah tahap kehidupan kritis serta diperlukan perhatian

yang sangat khusus. Pada masa sekarang, balita membutuhkan jumlah dan

kualitas zat gizi yang benar dan tepat melalui makanan yang

dikonsumsinya sehari-harinya [19]. Guna memperoleh status gizi yang

optimal, maka diperlukan adanya keseimbangan antara asupan dan

pengeluaran zat gizi. Status gizi balita bisa diukur dengan menggunakan

Kartu Menuju Sehat (KMS) melalui tahap penimbangan berat badan anak.

a) Energi

Kebutuhan energi pada balita umur 6-24 bulan yang sebagai mana

terdapat pada sebagai berikut: [21]

17
Tabel 1. Kebutuhan Energi pada Balita 6-24 bulan
Umur balita Total Energi ASI Energi MP-
(bulan) Kebutuhan (Kkal) ASI (Kkal)
Energi (Kkal
6-12 650 400 250
12-24 850 350 500
Sumber: Depkes RI [22]

Kebutuhan energi pada tahun pertama 100-200 Kkal/kg BB. Untuk

tiap tiga tahun pertambahan umur, kebutuhan energi turun 10 Kkal/kg

BB [19].

b) Protein

Kebutuhan protein pada balita umur 6-24 bulan sebagai mana

terdapat pada tabel 2 [21]

Tabel 2. Kebutuhan Protein pada Balita 6-24 bulan


Umur balita Total Protein (g) Protein MP-
(bulan) Kebutuhan ASI (g)
Protein (g)
6-12 16 10 6
12-24 20 8 12
Sumber: Depkes RI [21]

Protein diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk

pertumbuhan dan sumber energi. Disarankan untuk memberikan 2,5-3

g/kg BB bagi bayi dan 1,5-2 g/kg BB bagi anak sekolah [19].

c) Lemak

Jumlah lemak yang dibutuhkan tidak ditetapkan melalui angka

absolut. Menurut WHO (1990), konsumsi lemak 20-30% dari total

kebutuhan energi bermanfaat bagi kesehatan. Jumlah tersebut

menyediakan asam lemak yang diperlukan serta membantu dalam

proses penyerapan vitamin yang larut dalam lemak [23]. Karbohidrat

18
adalah jenis karbohidrat yang dapat ditemukan pada berbagai jenis.

WHO (1990) menyatakan bahwa karbohidrat kompleks berperan

hingga 50-65% dari jumlah seluruh konsumsi energi, dengan gula

sederhana yang tidak lebih dari 10% [23].

4) Pemantauan Pertumbuhan

Pertumbuhan fisik adalah suatu indikator status gizi pada bayi

maupun anak agar bayi yang baru lahir sehat serta diharapkan mampu

berkembang dengan baik. Perkembangan anak harus diperiksa secara

teratur, berat dan tinggi badan anak yang berusia kurang dari lima

tahun (balita) diukur berdasarkan usianya [23]. Pola pertumbuhan akan

menunjukkan kurangnya asupan energi dan gizi pada anak-anak, serta

kemungkinan pengaruh genetika pada masa pertumbuhan yang

dialaminya. Dalam grafik berat badan berdasarkan usia, anak-anak

yang mengonsumsi makanan lebih sedikit akan menunjukkan adanya

gejala penurunan. Apabila tidak terdapay nutrisi yang signifikan dalam

jangka waktu yang panjang, maka tingkat pertumbuhan akan melambat

sampai akhirnya terhenti [23].

D. Tinjauan Umum Konsep Gizi Balita

Keadaan gizi merupakan suatu keadaan fisiologis yang disebabkan atas

tersedianya zat gizi dalam jaringan seluler tubuh, atau kondisi yang timbul karena

adanya keseimbangan antara konsumsi bersamaan dengan penyerapan serta

pemanfaatan zat gizi tersebut [24]. Keadaan tubuh akibat konsumsi, penyerapan,

serta pemanfaatan makanan dinamakan sebagai status gizi. Makanan yang

19
memenuhi kebutuhan gizi tubuh biasanya menghasilkan status gizi yang dapat

diterima. Malnutrisi didefinisikan sebagai suatu kekurangan atau kelebihan nutrisi

penting dalam makanan untuk periode waktu yang lama. Kekurangan gizi dapat

bermanifestasi sebagai kekurangan gizi dan kelebihan gizi [24].

Karena bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling sensitif

terhadap penyakit gizi buruk, maka pengukuran kesehatan gizi balita merupakan

indikasi terbesar dala, status gizi masyarakat. [24]. Malnutrisi pada anak di bawah

usia lima tahun sulit teridentifikasi oleh pemerintah, masyarakat, atau bahkan

keluarga. Artinya, jika di suatu wilayah terdapat sejumlah anak yang mengalami

kurang gizi, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk khawatir karena

anak tersebut tidak menunjukkan keadaan sakit. Faktor gizi buruk pada anak di

bawah usia lima tahun bisa dikatakan lebih rumit, sehingga memerlukan strategi

terpadu dari berbagai bagian kehidupan anak untuk mengatasinya. Tidak hanya

mengenai makanan, namun juga lingkungan hidup anak, seperti pengasuhan anak,

pendidikan ibu, air bersih dan kesehatan lingkungan, kualitas pelayanan

kesehatan, serta aspek lainnya [24].

E. Tinjauan Umum Status Gizi Balita

1. Pengertian

Status gizi merupakan suatu tingkatan keadaan gizi seseorang yang dapat

diterapkan dalam menentukan sehat atau tidaknya gizi seseorang (gizi buruk).

Gizi buruk yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kekurangan,

kelebihan, serta keseimbangan zat gizi yang diperlukan dalam masa pertumbuhan,

kecerdasan, aktivitas, atau produksi [25].

20
Kesehatan gizi anak di bawah usia lima tahun merupakan salah satu

indikasi yang dapat digunakan guna menunjukkan mutu hidup masyarakat

sekaligus memungkinkan intervensi dalam mencegah efek yang lebih keras serta

perencanaan yang lebih baik untuk mencegah anak-anak di masa mendatang agar

tidak mengalami nasib atau keadaan yang sama [26].

2. Penilaian Status Gizi

a) Penilaian Antropometri (BB/U)

Antropometri merupakan suatu metode guna menentukan

ketidakseimbangan asupan protein dan energi secara keseluruhan. Pola

pertumbuhan fisik, serta proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan

jumlah air dalam tubuh, menunjukkan tingkat ketidakseimbangan tersebut

[24].

Kategori dan kriteria status gizi anak didasarkan pada indeks (BB/B),

yang ditunjukkan pada tabel 3 sesuai aturan dasar dalam mengadopsi

standar antropometri WHO tahun 2005.

Tabel 3. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Umur 0-60
Bulan Berdasarkan Indeks (BB/U)
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-
Score)
Berat Badan menurut Gizi Buruk <-3 SD
Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai <-2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Sumber: Kemenkes RI [27]

Standar Deviasi Unit (SD) disebut juga Z-skor. WHO

menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk

memantau pertumbuhan [24].

21
Rumus perhitungan Z-skor adalah [24]:

Nilai individu subyek −nilai medianbaku rujukan


z-skor=
nilai simpang baku rujukan

b) Klinis

Pemeriksaan klinis merupakan metode utama dalam melakukan

penilaian tingkat status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan pada

perubahan yang berkaitan dengan defisiensi nutrisi. Hal tersebut dapat

dilihat pada jaringan epitel superfisial, misalnya kulit, mata, rambut,

dan mukosa/organ mulut dekat permukaan tubuh, seperti tiroid [24].

c) Biokimia

Penilaian status gizi dengan metode biokimia merupakan

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap berbagai jaringan

tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan diantaranya: darah, urin, feses

dan beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot [24].

d) Biofisik

Pengkajian biofisik status gizi merupakan suatu metode penentuan

status gizi dengan mengevaluasi fungsi (khususnya jaringan) serta

mengamati perubahan struktur jaringan [24].

F. Tinjauan Umum Faktor Yang Mempengaruhi Gizi Balita

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita terbagi atas dua jenis,

antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada

pada diri anak itu sendiri, seperti status kesehatan, usia, jenis kelamin, dan tipe

tubuh. Status kesehatan berhubungan dengan adanya penekanan respon imun,

serta memiliki ikatan dengan prevalensi dan keparahan penyakit menular, seperti

22
kwashiorkor atau wasting, yang biasanya ditemukan pada tingkat yang sangat

parah. Infeksi itu sendiri menyebabkan penderita kehilangan makanan karena

muntah dan diare. Faktor usia merupakan faktor yang menentukan kebutuhan

protein terutama pada kelompok anak usia dini yang masih dalam masa

pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan faktor jenis kelamin yang lebih banyak

terjadi pada wanita, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi

adalah faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain

pendidikan, pengetahuan, infeksi dan pendapatan [26].

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita terbagi menjadi

beberapa bagian, sebagai berikut: [24]

a. Faktor langsung

1.) Keadaan infeksi

Ada hubungan erat antara infeksi (bakteri, virus, dan

parasit) dengan kejadian malnutrisi. Perlu ditegaskan bahwa

terdapat interaksi sinergis antara gizi buruk dengan penyakit

infeksi. Mekanisme patologisnya dapat berubah secara sendiri-

sendiri atau bersama-sama, yaitu berkurangnya asupan zat gizi

karena kehilangan nafsu makan, berkurangnya penyerapan, dan

kebiasaan makan lebih sedikit saat sakit, serta peningkatan

kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah, dan

perdarahan. Dan peningkatan permintaan karena meningkatnya

permintaan yang disebabkan oleh penyakit dan parasit internal.

23
1) Konsumsi Makan

Dalam mengukur asupan makanan, sangat penting untuk

menentukan kebenaran mengenai apa yang dikonsumsi seorang

individu, serta hal tersebut juga dilakukan guna menentukan status

gizi dan mengidentifikasi variabel diet yang mungkin

menyebabkan malnutrisi.

b. Faktor tidak langsung

1. Pengaruh budaya

Hal-hal yang perlu ditinjau dalam pengaruh budaya

meliputi sikap terhadap makanan, penyebab penyakit, persalinan,

serta produksi makanan. Dalam sikap terhadap makanan, masih

ada beberapa tabu, takhayul, dan tabu di masyarakat, sehingga

tingkat konsumsi hanya dikategorikan sebagai makanan rendah.

Konsumsi makanan yang rendah juga dipengaruhi oleh adanya

penyakit, terutama infeksi saluran pencernaan. Anak yang lahir

terlalu dekat dan terlalu banyak akan mempengaruhi asupan gizi

keluarga. Rendahnya konsumsi zat gizi keluarga juga dipengaruhi

oleh produksi pangan. Rendahnya hasil gabah disebabkan petani

masih menggunakan teknik tradisional.

24
2. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi dibedakan berdasarkan:

a) Data sosial

Data sosial ini meliputi keadaan penduduk di suatu masyarakat,

keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, penyimpanan

makanan, air dan kakus

b) Data ekonomi

Data ekonomi mencakup kekayaan yang terlihat seperti

pekerjaan, pendapatan rumah tangga, tanah, jumlah ternak,

perahu, mesin jahit, kendaraan, dll, serta harga pangan yang

bergantung pada pasar dan perubahan musim.

3. Produksi pangan

Data yang relevan untuk produksi pangan adalah

penyediaan makanan keluarga, sistem pertanian, tanah, peternakan

dan perikanan serta keuangan.

4. Pelayanan kesehatan dan pendidikan

Kecukupan jumlah fasilitas pelayanan medis yang meliputi

jumlah rumah sakit, jumlah tenaga kesehatan, jumlah pegawai, dan

lain-lain merupakan salah satu aspek pelayanan kesehatan. Jumlah

anak sekolah, pemuda serta kelompok pemuda, dan media massa

seperti radio dan televisi, merupakan beberapa contoh fasilitas

pendidikan.

25
G. Tinjauan Umum Stunting
1) Definisi
Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki
panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan
dengan umur. Pengukuran dilakukan menggunakan standar petumbuhan
anak dari WHO, yaitu dengan interpretasi stunting jika lebih dari minus
dua standar deviasi median. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada
bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Umumnya berbagai penyebab
ini berlangsung dalam jangka waktu lama [28].
Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi
kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan
perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera ditangani dengan
baik. Dampak stunting dalam jangka pendek dapat berupa penurunan
kemampuan belajar karena kurangnya perkembangan kognitif. Sementara
itu dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup anak saat
dewasa karena menurunnya kesempatan mendapat pendidikan, peluang
kerja, dan pendapatan yang lebih baik. Selain itu, terdapat pula risiko
cenderung menjadi obesitas di kemudian hari, sehingga meningkatkan
risiko berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, kanker,
dan lain-lain [28].
2) Faktor penyebab stunting
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut [29]:
a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada
masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan
informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6
bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan

26
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makan- an baru pada bayi, MPASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman.
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante
Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes
dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan
imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas
(baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan
PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
c. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan
bergizi. Penyebabnya karena harga makanan bergizi di Indonesia
masih tergolong mahal.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di
lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

27
H. Kerangka Teori

Kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


Pandemi Virus
Covid-19

Penanganan oleh Adaptasi New


pemerintah Normal

Perubahan pola
hidup

Status Gizi Balita

Faktor langsung: Faktor tidak langsung:


- Keadaan Infeksi - Pengaruh Budaya
- Konsumsi Makan - Faktor Sosial Ekonomi
- Produksi Pangan
- Pelayanan kesehatan dan
pendidikan

Gambar 2. Kerangka Teori [24].

I. Kerangka Pikir

Kerangka pikir pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Faktor-faktor gizi balita


Pendapatan keluarga Status Gizi Balita
Pola asuh ibu

Gambar 3. Kerangka Pikir


Keterangan:
Variable Independen : Faktor-faktor gizi balita (Pendapatan keluarga dan pola
asuh ibu)
Variabel Dependen : Status Gizi Balita

28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross

sectional atau penelitian dengan pengambilan data satu waktu. Penelitian

kuantitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan hasil

analisis berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam area populasi yang sudah

ditentukan sehingga hasil yang ditemukan dapat mengetahui hubungan antara

kejadian balita gizi stunting dengan faktor-faktor resiko [30].

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bakaru. Alasan pemilihan lokasi

penelitian ini adalah karena dari data yang didapatkan, bahwa angka prevalensi

balita gizi stunting mengalami peningkatan di Desa Bakaru.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari-Maret 2022.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak balita usia 12-59 bulan di

Desa Bakaru.

2. Sampel

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Menurut

Sugiyono (2016) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber

data dengan pertimbangan tertentu [31]. Sampel dalam penelitian ini adalah anak

29
balita gizi stunting di wilayah kerja Puskesmas yaitu sebanyak 35 anak dan ibu

sebagai responden yang diwawancarai yang diambil dari populasi.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pendapatan keluarga adalah jumlah pemasukan keuangan yang didapat

oleh bapak atau ibu balita

Kriteria objektif:

Rendah : Jika jumlah pendapatan < Rp. 3.165.876 (UMR)

Tinggi : Jika jumlah pendapatan > Rp. 3.165.876 (UMR)

2. Pola asuh adalah proses ibu dalam mendukung perkembangan balita yang

meliputi intelektual fisik, sosial, emosional serta finansial anak.

Kriteria objektif:

Baik : Jika skor > 80%

Cukup : Jika skor 60%-80%

Kurang Baik : Jika skor < 60%

3. Status gizi adalah tingkat keadaan yang menggambarkan keadaan tubuh

sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan

antara status gizi buruk, kurang, baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan

obesitas yang diukur dengan menggunakan salah satu antropometri yaitu

indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/U):

Kriteria objektif:

Status gizi buruk : < -3 SD

Status gizi kurang : -3 SD sd < -2 SD

Status gizi baik : -2 SD sd +2 SD

30
Variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota

suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain:

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi yaitu pendapatan keluarga dan pola asuh

ibu.

b. Variable terikat dalam penelitian ini adalah status gizi balita di

Bakaru.

E. Instrumen Penelitian

Instrument adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data

penelitian [32]. Penelitian ini akan menggunakan instrument angket atau

kuesioner dan mikrotois untuk diisi oleh ibu dalam status gizi balita. Kuisioner

atau angket merupakan alat penelitian berupa daftar pertanyaan yang dapat

memperoleh informasi dari banyak narasumber. Kuesioner dalam penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor status gizi yang dirasakan oleh ibu yang

memiliki balita di Bakaru, yang memiliki kesempatan untuk menjadi responden

yang sistematis.

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer berupa data yang diperoleh langsung oleh peneliti di lapangan

melalui responden dengan cara observasi, wawancara dan penyebaran

kuisoner. Data primer dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Data variabel independen seperti pengaruh budaya, faktor sosial

ekonomi produksi pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan,

31
keadaan infeksi, konsumsi makan, diperoleh melalui wawancara

dengan menggunakan kuesioner penelitian.

b. Data asupan makanan diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan metode food recall 24 jam.

2. Data Sekunder

Data sekunder mencakup gambaran umum mengenai Kecamatan yang

diperoleh dari instansi pemerintah setempat (Puskesmas, Kantor Camat).

G. Pengolah dan Analisis Data

1. Pengolah Data

Melakukan tahap pengolahan data mulai dari kegiatan editing,

coding, tabulating dan entry data serta menganalisa data.

a. Editing, berupa pengecekan kembali terhadap data yang telah

dikumpulkan serta melengkapi data yang di anggap masih kurang.

b. Coding, berupa pemberian kode atau tanda dari setiap jawaban-

jawaban respoden dalam bentuk angka pada masing-masing

jawaban.

c. Tabulating, berupa kegiatan memasukkan jawaban-jawaban yang

telah diolah ke dalam suatu tabel dan selanjutnya akan dianalisa.

d. Entry Data, berupa kegiatan memasukkan data yang telah diolah

ke dalam data base komputer.

2. Analisis Data

1. Analisis Univariat

32
Analisis univariat dalam penelitian ini digunakan untuk

mendeskripsikan distribusi frekuensi setiap variabel penelitian.

Analisis diskriptif univariat diuji pada setiap variabel penelitian

dengan rumus:

x
P= x 100 %
y

Keterangan:

P = presentase subyek pada ketegori tertentu

x = jumlah sampel dengan karakteristik tertentu

y = jumlah total sampel

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Serta membuktikan hipotesis

penelitian. Pembuktian hipotesis menggunakan uji statistik chi-

square dalam program software statistik komputer dengan derajat

kemaknaan ρ value = 0,05. Hasil uji statistik bermakna apabila ρ

value 0,05 yang berarti tidak ada hubungan faktor risiko dengan

kejadian preeklampsia. Rumus perhitungan Chi-Square:


k
( f 0−fh)2
x =∑
2

i=1 fn

Keterangan:

𝑥2 = Chi Kuadrat

𝑓0 = Frekuensi yang diobservasi

𝑓𝑛 = Frekuensi yang diharapkan

33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Karakteristik Ibu
Berdasarkan hasil penelitian pada ibu balita sebanyak 35 responden di
Desa Bakaru didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4. Karakteristik Ibu Balita di Desa Bakaru


Karekteristik Usia (n) (%)
20-24 1 3%
25-29 6 17%
30-34 7 20%
35-39 19 54%
>40 2 6%
Total 35 100%

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas karakteristik responden ibu yaitu


yaitu berada pada rentang usia 35-39 sebanyak 19 responden dengan presentase
54% dan yang paling rendah rentang usia 20-24 sebanyak 1 responden dengan
presentase 3%,

2. Karakteristik Balita
Berdasarkan hasil penelitian pada balita sebanyak 35 responden di Desa
Bakaru didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5. Karakteristik Balita di Desa Bakaru


Karekteristik (n) (%)
Usia
12-24 bulan 10 29%
25-36 bulan 12 34%
37-48 bulan 12 34%
49-60 bulan 1 3%
Jenis Kelamin
Laki-laki 24 69
Perempuan 11 31
Total 35 100

34
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas karakteristik balita berusia 25-48
bulan sebanyak 24 responden dengan presentase 68%. Kemudian mayoritas balita
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 responden dengan presentase 69%.

3. Status Gizi Responden

Berdasarkan hasil penelitian pada ibu balita sebanyak 35 responden di


Desa Bakaru didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 6. Distribusi Status Gizi Balita di Desa Bakaru


Status Gizi (n) (%)
Gizi Buruk 13 37.1
Gizi Kurang 7 20.0
Gizi Baik 15 42.9
Total 35 100.0

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas status gizi balita yaitu gizi baik
sebanyak 15 responden dengan presentase 42,9%, kemudian dilanjutkan dengan
status gizi buruk sebanyak 13 responden dengan presentase 37,1%, dan status gizi
kurang sebanyak 7 responden dengan presentase 20%.

3. Pendapatan Keluarga

Tabel 7. Pendapatan Keluarga Balita di Desa Bakaru


Pendapatan Keluarga (n) (%)
Rendah 32 91.4
Tinggi 3 8.6
Total 35 100.0

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas pendapatan keluarga balita yaitu


kategori rendah sebanyak 32 responden dengan presentase 91,4%.

35
4. Pola Asuh Ibu
Tabel 8. Pola Asuh Ibu Balita di Desa Bakaru
Pola Asuh Ibu (n) (%)
Cukup 29 82.9
Baik 6 17.1
Total 35 100.0

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas pola asuh ibu yaitu kategori


cukup sebanyak 29 responden dengan presentase 82,9%, kemudian dilanjutkan
dengan pola asuh ibu kategori baik sebanyak 6 responden dengan presentase
17,1%.

5. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita


Berdasarkan hasil analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita
Jumlah Status Gizi Total
Pendapatan Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Rendah 12 34,3 7 20 13 37,1 32 91,4
Tinggi 1 2,9 0 0 2 5,7 3 8,6
Total 13 37,2 7 20 15 42,8 35 100,0

Hasil analisis bivariat menggunakan SPSS dengan uji chi-square untuk


mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,576 (>0,05) hal ini menandakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita.

6. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita


Berdasarkan hasil analisis bivariat untuk mengetahui hubungan pola asuh
ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru adalah sebagai berikut:

36
Tabel 10. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita
Pola Asuh Status Gizi Total
Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Cukup 10 28,6 7 20 12 34,3 29 82,9
Baik 3 8,6 0 0 3 8,6 6 17,1
Total 13 37,2 7 20 15 42,8 35 100,0

Hasil analisis bivariat menggunakan SPSS dengan uji chi-square untuk


mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,395 (>0,05) hal ini menandakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita.

Pembahasan
1. Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan mayoritas status gizi balita
yaitu yaitu gizi baik sebanyak 15 responden dengan presentase 42,9%. Menurut
Ilahi (2017) Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak, baik faktor
langsung maupun faktor tidak langsung, serta akar masalah. Akar masalah
tersebut yaitu status ekonomi yang memberikan dampak buruk terhadap status
gizi anak [33].
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayarni
dan Sumarmi (2018) yang menyatakan bahwa hasil pengukuran status gizi balita
menurut indeks BB/U balita menunjukkan hasil sebesar 56,7% dengan status gizi
normal [34]. Menurut Sudarsih dan Wijayanti (2013), Semakin baik pengetahuan
gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan
yang diperolehnya untuk dikonsumsi. Pengalaman dalam mengikuti penyuluhan-
penyuluhan tentang status gizi juga dapat meningkatkan pengetahuan ibu untuk
dapat menyusun menu yang adekuat dengan bahan makanan yang seimbang, zat
gizi dan kebutuhan gizi seseorang serta hidangan dan pengolahanya [35].

37
Terdapat 13 balita dengan status gizi buruk di Desa Bakaru. Menurut
Hairunis et al., (2018), Gizi kurang akan menghambat laju perkembangan anak.
Akibatnya, proporsi struktur tubuh menjadi tidak sesuai dengan usianya dan
berimplikasi pada perkembangan aspek lain. Apabila anak balita mengalami
kurang gizi akan berdampak pada keterbatasan pertumbuhan, rentan terhadap
infeksi, dan peradangan kulit. Akhirnya, perkembangan anak yang meliputi
kognitif, motorik, bahasa, dan keterampilannya akan terhambat dibandingkan
dengan balita yang memiliki status gizi yang baik.11 Status gizi kurang akan
memengaruhi perkembangan mental maupun sosial anak. Oleh karena itu,
keduanya harus mendapat perhatian, baik dari pemerintah, masyarakat maupun
orang tua. Salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah
dengan melihat status gizi anak. Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat
perkembangan seorang anak dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS).
Prevalensi gizi kurang dan buruk yang tinggi berdampak pada terjadinya stunting
pada balita. Tiga faktor utama penyebab gizi kurang, yaitu kualitas dari kuantitas
konsumsi pangan yang buruk, pola asuh, dan akses fasilitas kesehatan yang tidak
memadai. Faktor yang berkaitan dengan stunting, yaitu, status sosial ekonomi
keluarga, pendidikan orang tua, status gizi, berat badan saat lahir, penyakit anak,
persediaan air bersih, pelayanan kesehatan, dan etnis [36].
Menurut Kasumayanti (2020), status gizi baik terjadi bila tubuh
memperoleh zat gizi yang cukup sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
pertumbuhan otak kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mugkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi apabila tubuh
memperoleh zat gizi berlebih sehingga menimbulkan toksin yang membahayakan
[37].

2. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan mayoritas pendapatan keluarga
balita yaitu kategori rendah 32 responden dengan presentase 91,4%. Mayoritas
pendapatan keluarga di Bakaru adalah rendah yaitu berkisar dibawah UMR.

38
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mulazimah (2017), hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga
mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan status gizi Balita.
Berdasarkan analisis data menunjukkan pendapatan keluarga mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap status gizi Balita p = 0,014 (< 0,05). Faktor
sosial ekonomi berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi. Pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi pada
balita, jika suatu keluarga memiliki pendapatan yang besar serta cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga maka dijamin kebutuhan gizi pada
balita akan terpenuhi. Teori lain menyebutkan bahwa kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, tentunya terkait dengan ketersediaan
pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga [38].
Masyarakat di Bakaru rata-rata berpenghasilan lebih dari UMR.
Berdasarkan literatur Ilahi (2017) menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga
berpengaruh terhadap penyediaan dan distribusi pangan dalam keluarga. Pada
rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga relatif banyak kualitas
konsumsi pangan akan semakin buruk. Keluarga dengan keadaan sosial ekonomi
yang kurang dengan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kebutuhan
primer seperti makanan, sandang dan perumahan tidak terpenuhi [33].
Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jayarni dan Sumarni (2018) yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga di
Kelurahan Wonokusumo sebagian besar kurang dari rata–rata yaitu Rp.2.363.092
sebesar 53,6%. Penelitian serupa menunjukkan keluarga yang tinggal di pedesaan
maupun perkotaan yang memiliki balita dengan status gizi underweight tergolong
pendapatan kurang dari rata–rata. Pendapatan kurang dari rata–rata akan
berdampak pada pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Pengeluaran rumah
tangga termasuk didalamnya pengeluaran untuk pangan salah satu indikator dalam
menentukan ketahanan pangan rumah tangga [34].
Menurut teori Indarti (2016), Orangtua adalah pintu gerbang utama
kesehatan anak-anak. Orangtua membuat pilihan tentang jumlah dan kualitas

39
kesehatan yang diterima anak-anak mereka, makanan yang mereka makan, jumlah
aktivitas fisik mereka, jumlah dukungan emosional yang mereka disediakan, dan
kualitas lingkungan di sekeliling mereka. Pilihan ini dikondisikan oleh sumber
daya material, pengetahuan tentang kesehatan serta perilaku kesehatan mereka.
Sumber daya orangtua dan perilaku kesehatan ini dipengaruhi kondisi sosial
ekonomi mereka. Anak-anak di Amerika Serikat yang mempunyai tingkat
pencapaian status kesehatan yang kurang baik mempunyai orangtua orang yang
miskin, kurang berpendidikan atau mempunyai kesehatan yang buruk. Anak-anak
dalam keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah ini lebih mungkin untuk
mengembangkan berbagai masalah kesehatan kronis. Kesenjangan status
kesehatan antara anak-anak kaya dan miskin lebih tinggi pada masa anak-anak
dan menurun pada saat memasuki usia dewasa [38].

3. Pola Asuh Ibu


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan mayoritas pola asuh ibu yaitu
kategori cukup sebanyak 29 responden dengan presentase 82,9%, kemudian
dilanjutkan dengan pola asuh ibu kategori baik sebanyak 6 responden dengan
presentase 17,1%. Menurut Chassandra dan Novadela (2014), pola asuh yang baik
dan tepat digunakan dalam mendidik dan merawat anak yaitu pola asuh
demokratis karena dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara
optimal. Pola asuh demokratis ini bercirikan orang tua senantiasa mengontrol
perilaku anak dengan fleksibel, memperlakukan anak dengan hangat,
mendengarkan aspirasi anak, serta mampu membangun kepercayaan diri pada
anak. Misalnya, dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi anak melalui pola makan
yang teratur dan seimbang, orang tua selalu melibatkan anak dalam memilih
makanan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi. Apabila makanan yang dipilih oleh
anak tidak sesuai dengan asupan nutrisi yang dibutuhkan, maka orang tua akan
memberikan pengarahan secara bijaksana sehingga anak dapat mengontrol emosi
dan mampu mengembangkan sikap bertanggung jawab serta percaya terhadap
kemampuan diri [39].

40
Peran keluarga terutama ibu dalam anak akan menentukan tumbuh
kembangnya. Perilaku ibu dalam memberi makan, cara makan yang sehat dan
memberi makanan bergizi serta mengontrol porsi yang dihabiskan akan
meningkatkan status gizi anak. Peningkatan kemampuan pola asuh ibu dalam
praktik pemberian makan menyebabkan penambahan berat badan anak. Bila
pertumbuhan anak adalah penambahan berat badan antara dua titik waktu, maka
konklusi yang dapat dibuat yakni peningkatan kemampuan pola asuh ibu dalam
praktik pemberian makan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan.
Peningkatan kualitas pengasuhan ibu dalam praktik pemberian makan akan
menyebabkan peningkatan kualitas pertumbuhan anak, sehingga anak akan
bertumbuh dengan baik. Saat ini, dengan bergesernya fungsi wanita dalam rumah
tangga yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga menjadi pencari
tambahan nafkah untuk menutupi kekurangan kebutuhan ekonomi keluarga, maka
hubungan beban kerja ibu dengan perawatan atau pola asuh anak di rumah yang
berkaitan dengan gizi anak menjadi aspek penting bagi kesejahteraan anak dan
harus mendapatkan perhatian yang serius [40].

4. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita


Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk
mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,5760 (>0,05) hal ini menandakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih et al.,
(2020), yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis menggunakan chi-
square diperoleh nilai X2 hitung sebesar 1,36 pada taraf kesalahan 5% dengan
dk:1 diperoleh nilai kritik (X2 tabel) sebesar 3,841, karena 1,36<3,841, maka
tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi
balita usia 6 sampai 59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung [42].
Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Astuti dan Sulistiyowati (2013) yang menyatakan bahwa analisis hubungan
tingkat pendapatan dengan status gizi pada penelitian didapatkan p-value 0,136

41
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan tingat pendapatan dengan
status gizi pada anak TK ABA Jowah dan SD Muhammadiyah Sangonan IV.
Penelitian ini tidak menunjukan adanya hubungan antara pendapatan dengan
status gizi pada anak dapat di karenakan pendapatan keluarga yang kurang dari
UMR masih dapat mencukupi kebutuhan makanan keluarga sehingga status
gizinya normal [43].
Menurut Ilahi (2017) bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi tidak
selalu diikuti dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Meskipun seseorang
cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi belum
tentu mencermikan bahwa apa yang dimakan tersebut sudah baik dalam mutu
gizinya. Selain itu, kemampuan keluarga dalam membeli makanan tidak hanya
dipengaruhi oleh besarnya pendapatan tetapi harga bahan makanan. Beberapa
harga bahan makanan yang mahal cenderung tidak dipilih dan dibeli, jadi dalam
keluarga jenis makanan tersebut jarang disajikan sehingga dalam memenuhi
kebutuhan gizi masih kurang [33].
Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian dari Sebataraja et
al., (2014) menyebutkan bahwa dari uji statistik didapatkan hubungan yang nyata
antara status ekonomi kelurga terhadap status gizi anak. Faktor ekonomi
merupakan suatu penentu status gizi yang dapat mempengaruhi status gizi anak.
Status ekonomi yang rendah atau kemiskinan menduduki posisi pertama pada
masyarakat yang menyebabkan gizi kurang. Faktor sosial ekonomi meliputi
pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor ini akan berinteraksi satu dengan yang
lain sehingga mempengaruhi masukan zat gizi. Keadaan ekonomi keluarga yang
baik dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap anggota keluarga.
Kekurangan gizi pada anak-anak merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena sumber dayanegara yang miskin [44].
Penelitian lain dilakukan oleh Indarti (2016), menunjukkan bahwa status
ekonomi keluarga mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi balita
dengan nilai X2 hitung = 4,639 lebih tinggi dari X2 tabel yaitu 3,841. Berdasarkan
status ekonomi keluarga, balita yang tinggal bersama keluarga dengan status

42
ekonomi rendah mempunyai proporsi status gizi kurang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang tinggal bersama keluarga dengan status ekonomi
tinggi. Persentase gizi kurang pada balita yang tinggal bersama keluarga dengan
status ekonomi rendah sebanyak 17,9% dan gizi kurang pada balita balita yang
tinggal bersama keluarga dengan status ekonomi tinggi sebanyak 7,7% [39].
Menurut Mulazimah (2017) mengatakan bahwa faktor sosial ekonomi
berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan zat gizi.
Pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi pada balita, jika suatu
keluarga memiliki pendapatan yang besar serta cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi anggota keluarga maka dijamin kebutuhan gizi pada balita akan terpenuhi.
Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, tentunya
terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga [38].
Pendapatan keluarga di Desa Bakaru rata-rata di bawah UMR, namun
memiliki balita dengan tingkat status gizi normal. Hal ini dikarenakan ibu balita
yang dapat mengatur keuangan dengan tepat dan ibu yang bekerja sebagai ibu
rumah tangga, sehingga dapat lebih fokus memberikan pangan yang bergizi untuk
anaknya. Menurut Kasumayanti dan Aulia (2020), hal ini bisa juga disebabkan
karena ibu bisa memanfaatkan perkarangan rumah untuk menanam bahan
makanan yang mengandung nilai gizi untuk balitanya, memvariasikan macam-
macam masakan yang bergizi dari bahan makanan yang dimamfaatkan di
perkarangan rumah, suaminya sering menangkap ikan di sungai untuk dikonsumsi
sendiri, sehingga balita gizi balita dapat terpenuhi. Sedangkan responden dengan
pendapatan keluarga yang terpenuhi namun memiliki balita dengan gizi tidak
normal, hal ini dapat disebabkan ibu tidak bisa mengelola keuangan dengan baik
meskipun pendapatan terpenuhi, namun tidak membelanjakan uang sesuai dengan
kebutuhan gizi [37].
Berdasarkan literatur yang mendukung hasil penelitian ini menyatakan
bahwa hal ini terjadi kemungkinan karena keluarga responden sebenarnya
mempunyai penghasilan cukup akan tetapi karena cara mengatur belanja keluarga
yang kurang baik, misalnya untuk pangan disediakan belanja terlalu sedikit lebih

43
banyak diperuntukkan bagi pembelian barang-barang lain dibanding dengan
pemenuhan zat gizi anak, akibatnya anak mengalami status gizi kurang.
Sebaliknya, pendapatan yang kurang namun memprioritaskan konsumsi pangan
keluarga sehingga status gizi anaknya tergolong normal [42].

5. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita


Berdasarkan hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk
mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,395 (>0,05) hal ini menandakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi balita. Hasil penelitian
ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih et al., (2020), yang
menyatakan bahwa dari hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pola pengasuhan baik dari pengasuhan diri maupun pengasuhan
mengenai kesehatan terhadap status gizi balita, sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara pola pengasuhan dengan status gizi
balita usia 6 sampai 59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung [42].
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Handayani (2017) yang menyatakan bahwa dari hasil uji statistik didapatkan nilai
pvalue = 0,003 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara
pola asuh dengan status gizi pada pada anak balita [45]. Penelitian lain
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi
balita. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Putri et al., (2015), yang
melakukan penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
anak balita di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Berdasarkan analisis
bivariat menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p <
0,05 pada faktor pola asuh ibu (p=0,000) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara pola asuh ibu dengan status gizi anak balita. Hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pola asuh sangat mempengaruhi
status gizi seperti memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada
anak, memberi waktu yang cukup untuk memperhatikan asupan gizinya sehingga
status gizi anak menjadi lebih baik. Selain itu berdasarkan penelitian Hamal anak-

44
anak yang selalu mendapat tanggapan, respon dan pujian dari ibunya menunjukan
keadaan gizi yang lebih baik [46].
Menurut Masyudi et al., (2019), Ibu yang mempunyai pola asuh kurang
baik relatif kondisi gizi dan kesehatan anak juga kurang optimal. Selain itu, balita
yang pola asuhnya tidak baik memiliki kemungkinan 6,3 kali lebih besar
mengalami status gizi kurang dibanding balita yang pola asuh makannya baik.
Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan
penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan. Semua orang
tua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua anak harus memperoleh
yang terbaik sesuai dengan kemampuan tubuhnya sehingga pertumbuhan yang
optimal dapat tercapai. Untuk itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk
tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu
makanan dan asal menyuapi anak nasi [47].
Penelitian lain oleh Nangley (2017) menyatakan bahwa berdasarkan hasil
uji statistik fisher’s Exact test diperoleh nilai p=0.001 sehingga nilai p lebih kecil
dari nilai α (0.05). Hasil uji menunjukan bahwa terdapat hubungan antara praktek
merawat balita dengan status gizi berdasarkan indeks antropometri BB/U.
Semakin baik pola asuh yang diberikan maka semakin baik status gizi balita dan
sebaliknya apabila ibu memberikan pola asuh yang kurang baik dalam pemberian
makanan pada balita maka status gizi balita juga akan terganggu. Pemberian
makanan kepada anak dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu serta
adanya dukungan dari keluarga. Anak-anak yang mendapatkan pemberian makan
yang cukup dan bergizi, pertumbuhan fisik dan sel otaknya akan berlansung
dengan baik. Pemenuhan gizi yang baik termasuk pemberian ASI ekslusif sampai
anak berumur 6 bulan dan pemberian ASI yang diteruskan hingga anak berusia 24
bulan akan berdampak positif, selain itu pemberian MPASI sesuai dengan usia
anak dapat mempengaruhi status gizi anak [48].
Berdasarkan literatur yang mendukung hasil penelitian ini menyatakan
bahwa hal ini terjadi karena meskipun pendidikan ibu hanya SMA dan keluarga
memiliki keterbatasan penghasilan (rendah), namun ibu fokus di rumah untuk

45
mengurus anak dengan melakukan manajemen waktu untuk mengasuh anak
dengan baik [42].

46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Mayoritas status gizi balita yaitu yaitu gizi baik sebanyak 15
responden dengan presentase 42,9%, mayoritas pendapatan keluarga
balita yaitu kategori rendah sebanyak 32 responden dengan presentase
91,4%, dan mayoritas pola asuh ibu yaitu kategori cukup sebanyak 29
responden dengan presentase 82,9%.
2. Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui
hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,576 (>0,05) hal ini menandakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan
status gizi balita.
3. Pada hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,395 (<0,05) hal ini menandakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi
balita.

B. Saran
Saran untuk penelitian ini adalah diperlukan pengelolaan pendapatan
keluarga dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan pola asuh
ibu sebaiknya lebih ditingkatkan agar status gizi balita dapat terpenuhi dengan
baik.

47
DAFTAR PUSTAKA

[1] b. welasasih and b. wirjatmadi, "beberapa faktor yang berhubungan dengan


status gizi balita stunting," the indonesian journal of public health, 2012.

[2] d. f. arinda, w. i. fajar, d. m. sari and y. , "aktivitas fisik, perilaku kesehatan


dan gizi di masa new normal pada pegawai di indonesia," jurnal pangan
kesehatan dan gizi (jakagi), vol. 1, no. 2, pp. 9-19, 2021.

[3] c. and a. y. s. rahayu, "tantangan pencegahan stunting pada era adaptasi baru
“new normal” melalui pemberdayaan masyarakat di kabupaten pandeglang,"
jurnal kebijakan kesehatan indonesia : jkki, vol. 09, no. 03, pp. 136-146,
2020.

[4] e. anggraeni, m. palupi and a. a. ayustina, "gambaran status gizi balita pada
masa pandemi covid-19 di desa semanding kecamatan pagu," jurnal gizi kh,
vol. 1, no. 1, pp. 33-42, 2021.

[5] m. k. w. giri, "hubungan pengetahuan ibu dan sikap ibu tentang pemberian
asi ekslusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di kelurahan kampung
kajanan kecamatan buleleng," jurnal magister kedokteran keluarga, 2013.

[6] d. sediaoetama, ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid i, jakarta: dian
rakyat, 2018.

[7] n. afrinis, b. verawati and a. t. hendarini, "analisis faktor yang berhubungan


dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan pada masa pandemi covid-19," jurnal
kesehatan masyarakat, 2021.

[8] h. d. anggraini, "perilaku pemberian asi ekslusif dikaitkan dengan


pengelolaan laktasi selama persalinan," universitas muhammadiyah
semarang, 2017.

[9] &. a. h. linawati, "ubungan pemberian asi eksklusif dengan status gizi bayi 7-
12 bulan di wilayah kerja puskesmas kalianda lampung selatan," malahayati
nursing journal, 2019.

[10] e. sulistyorini and t. rahayu, "hubungan pekerjaan ibu balita terhadap status
gizi balita di posyandu prima sejahtera desa pandean kecamatan ngemplak
kabupaten boyolali," jurnal gizi indonesia, 2009.

[11] r. li, s. pei, b. chen, y. song, t. zhang, w. yang and j. sharman , "substantial
undocumented infection facilitates the rapid dissemination of novel
coronavirus (sars-cov-2)," science, vol. 368, no. 6490, pp. 489-493, 2020.

[12] p. y. x. l. w. x. g. h. b. z. l. z. w. .. &. s. z. l. zhou, "a pneumonia outbreak

48
associated with a new coronavirus of probable bat origin," nature,, vol. 579 ,
no. 7798, pp. 270-273., 2020.

[13] a. r. c. m. p. c. w. s. w. d. y. m. h. h. .. &. y. e. susilo, " coronavirus disease


2019: tinjauan literatur terkini," jurnal penyakit dalam indonesia, vol. 7, no.
1, pp. 45-67, 2020.

[14] c. w. j. a. e. a. d. a. p. f. .. y. f. f. morfi, "kajian terkini coronavirus disease


2019 (covid-19)," jurnal ilmu kesehatan indonesia, vol. 1, no. 1, 2020.

[15] n. i. fitriani, "tinjauan pustaka covid-19: virologi, patogenesis, dan


manifestasi klinis," jurnal medika malahayati, vol. 4, no. 3, 2020.

[16] r. megawanty and m. hanita, "ketahanan keluarga dalam adaptasi new normal
pandemi covid-19 di indonesia," jurnal kajian lemhannas ri, vol. 9, no. 1, pp.
491-504, 2021.

[17] b. m. a. alkatiri, z. nadiah and a. n. s. nasution, "opini publik terhadap


penerapan new normal di media sosial twitter," coverage: journal of
strategic communication, vol. 11, no. 1, pp. 19-26, 2020.

[18] a. rosidi and e. nurcahyo, "penerapan new normal (kenormalan baru) dalam
penanganan covid-19 sebagai pandemi dalam hukum positif," journal ilmiah
rinjani: media informasi ilmiah universitas gunung rinjani, vol. 8, no. 2, pp.
193-197, 2020.

[19] m. adriani and w. bambang, gizi dan kesehatan balita (peranan mikro zinc
pada pertumbuhan balita), jakarta: kencana, 2014.

[20] k. irianto, gizi seimbang dalam kesehatan reproduksi (balanced nutrition in


reproductive health), bandung: alfabeta, 2014.

[21] r. depkes, pedoman penyelenggaraan dan prosedur rekam medis rumah sakit
di indonesia, jakarta: depkes ri, 2006.

[22] t. penyusun, pedoman penyelenggaraan dan prosedur rekam medis rumah


sakit di indonesia, jakarta: depkes ri, 2006.

[23] s. almatsier, prinsip dasar ilmu gizi, jakarta: pt. gramedia pustaka utama,
2011.

[24] d. supariasa, penilaian status gizi, jakarta : penerbit buku kedokteran egc,
2002.

[25] a. siswanto, "perlindungan hak – hak reproduksi remaja," 2001. [online].


available: www.bkkbn.go.id.

[26] soekirman, ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat, jakarta:

49
dirjen dikti depdiknas, 2000.

[27] kemenkes, profil kesehatan indonesia tahun 2014, jakarta: kementerian


kesehatan ri, 2014.

[28] n. n. oktia, "stunting pada anak: penyebab dan faktor risiko stunting di
indonesia," qawwam: journal for gender mainstreaming, vol. 14, no. 1, pp.
19-28, 2020.

[29] d. m. a. r. i. sutarto, "stunting, faktor resiko dan pencegahannya,"


agromedicine unila, vol. 5, no. 1, pp. 540-545, 2018.

[30] nurhaedah, metologi penelitian, jakarta: kementrian kesehatan republik


indonesia, 2017.

[31] sugiyono, metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d, bandung: pt


alfabet, 2016.

[32] s. arikunto, metodologi penelitian suatu pendekatan proposal, jakarta: pt.


rineka cipta, 2002.

[33] r. k. illahi, "hubungan pendapatan keluarga, berat lahir, dan panjang lahir
dengan kejadian stunting balita 24-59 bulan di bangkalan.," jurnal
manajemen kesehatan yayasan rs. dr. soetomo, vol. 3, no. 1, pp. 1-7, 2017.

[34] d. e. &. s. s. jayarni, "hubungan ketahanan pangan dan karakteristik keluarga


dengan status gizi balita usia 2–5 tahun (studi di wilayah kerja puskesmas
wonokusumo kota surabaya)," amerta nutrition, vol. 2, no. 1, pp. 44-51,
2018.

[35] s. &. w. p. b. sudarsih, "hubungan antara pendapatan keluarga dengan status


gizi balita usia 36-60 bulan di wilayah kerja puskesmas gondang mojokerto,"
medica majapahit (jurnal ilmiah kesehatan sekolah tinggi ilmu kesehatan
majapahit), vol. 5, no. 2, 2013.

[36] m. n. h. s. a. y. l. r. d. hairunis, "hubungan status gizi dan stimulasi tumbuh


kembang dengan perkembangan balita," sari pediatri, vol. 20, no. 3, pp. 146-
151, 2018.

[37] e. d. a. m. kasumayanti, "hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi


balita di desa tambang wilayah kerja puskesmas tambang kabupaten kampar
tahun 2019," jurnal ners, vol. 4, no. 1, pp. 7-12., 2020.

[38] y. indarti, "hubungan status ekonomi keluarga dengan status gizi balita di
kecamatan ajung kabupaten jember tahun 2016," jurnal fenomena, vol. 15,
no. 1, pp. 149-162, 2016.

50
[39] d. e. a. n. i. t. n. chashandra, "hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak
pra sekolah (> 3-5 tahun)," jurnal ilmiah keperawatan sai betik, vol. 10, no.
2, pp. 171-16, 2017.

[40] m. m. b. a. e. p. masita, "pola asuh ibu dan status gizi balita," quality: jurnal
kesehatan, vol. 12, no. 2, pp. 23-32, 2018.

[41] f. d. &. s. t. f. astuti, "hubungan tingkat pendidikan ibu dan tingkat


pendapatan keluarga dengan status gizi anak prasekolah dan sekolah dasar di
kecamatan godean," kes mas: jurnal fakultas kesehatan masyarakat
universitas ahmad daulan, vol. 7, no. 1, pp. 15-19, 2013.

[42] m. mulazimmah, "hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita


desa ngadiluwih kecamatan ngadiluwih kabupaten kediri.," efektor, vol. 4,
no. 2, pp. 18-21., 2017.

[43] l. r. f. o. a. a. a. sebataraja, "hubungan status gizi dengan status sosial


ekonomi keluarga murid sekolah dasar di daerah pusat dan pinggiran kota
padang lisbet rimelfhi sebataraja," jurnal kesehatan andalas, vol. 3, no. 2,
2014.

[44] r. handayani, "faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak
balita," jurnal endurance: kajian ilmiah problema kesehatan, vol. 2, no. 2,
pp. 217-224, 2017.

[45] r. f. d. s. a. y. l. putri, "faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi


anak balita di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang," jurnal kesehatan
andalas, vol. 4, no. 1, 2015.

[46] m. m. m. a. t. m. r. masyudi, "dampak pola asuh dan usia penyapihan


terhadap status gizi balita indeks bb/u," action: aceh nutrition journal, vol. 4,
no. 2, pp. 111-116, 2019.

[47] world health organization, coronavirus disease 2019 (covid-19), (online)


indonesia: world health organization, 2020.

[48] a. t. a. p. d. a. a. d. a. k. aris amirullah, "deskripsi status gizi anak usia 3


sampai 5 tahun pada masa covid 19," jurnal pendidikan anak usia dini, vol.
1, no. 1, 2020.

KUESIONER PENELITIAN

IDENTITAS IBU
Nama Ibu : ..............................

51
Umur Ibu : ......... tahun
Alamat : ..............................................................
IDENTITAS BALITA
Nama Balita : ..............................
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Tanggal Lahir : ..............................
Umur : ........... tahun.............bulan
Berat Badan : ..................kg

PETUNJUK
Mohon dijawab semua pertanyaan dengan memberikan tanda (X) pada
pilihan yang dianggap paling benar dengan keadaan saudara.

A. Pendapatan Keluarga

1. Pendapatan Ayah = Rp

2. Pendapatan Ibu = Rp

3. Jumlah Anak =

B. Pola Asuh Ibu


1. Apakah ibu selalu memberikan makan pada balita dilakukan secara
teratur?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
2. Apakah ibu selalu memberikan makanan 4 sehat 5 sempurna pada balita?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
3. Apakah ibu selalu memberikan pakian yang layak dan aman pada balita?
a. Selalu

52
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
4. Apakah ibu selalu memberikan perawatan kesehatan dini pada balita?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
5. Apakah ibu sudah memberikan imunisasi pada balita?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
6. Apakah ibu selalu memberikan penghargaan berupa pujian pada balita bila
balita melakukan sesuatu perbuatan yang baik?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
7. Apakah ibu selalu memberikan sentuhan pada balita dengan lembut untuk
menjalin komunikasi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
8. Apakah ibu Selalu memberikn perhatian pada balita sesibuk apapun anda
di rumah?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
9. Apakah ibu selalu mengajari bersikap baik pada anak diwaktu anak sedang
bemain bersama temannya?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah

53
10. Apakah ibu selalu memberikan pengalaman baru pada balita seperti
berjabat tangan?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
11. Apakah ibu sering melatih anak ibu untuk menggosok gigi sendiri?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
12. Apakah ibu selalu melatih dan mengawasi balita anda untuk makan
sendiri?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
13. Apakah ibu sering melatih balita untuk mencuci tangan sebelum makan?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
14. Apakah ibu selalu melatih balita untuk mandi menggunakan sabun?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
15. Apakah ibu selalu membiasakan anak untuk tidur siang?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
Lampiran. Hasil Analisa

A. Hasil Analisa SPSS

1. Analisis Univariat

54
UsiaIbu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 24 1 2.9 2.9 2.9

25 2 5.7 5.7 8.6

28 2 5.7 5.7 14.3

29 2 5.7 5.7 20.0

30 2 5.7 5.7 25.7

31 2 5.7 5.7 31.4

33 2 5.7 5.7 37.1

34 1 2.9 2.9 40.0

35 3 8.6 8.6 48.6

36 1 2.9 2.9 51.4

37 5 14.3 14.3 65.7

38 5 14.3 14.3 80.0

39 5 14.3 14.3 94.3

40 1 2.9 2.9 97.1

41 1 2.9 2.9 100.0

Total 35 100.0 100.0

55
Jumlah Pendapatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah 32 91.4 91.4 91.4

Tinggi 3 8.6 8.6 100.0

Total 35 100.0 100.0

PolaAsuh

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Cukup 29 82.9 82.9 82.9

Baik 6 17.1 17.1 100.0

Total 35 100.0 100.0

StatusGizi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Buruk 13 37.1 37.1 37.1

Kurang 7 20.0 20.0 57.1

Baik 15 42.9 42.9 100.0

Total 35 100.0 100.0

56
2. Analisa Bivariat
3. JumlahPendapatan * StatusGizi Crosstabulation

StatusGizi

Buruk Kurang Baik Total

JumlahPendapatan Rendah Count 12 7 13 32

% of Total 34.3% 20.0% 37.1% 91.4%

Tinggi Count 1 0 2 3

% of Total 2.9% .0% 5.7% 8.6%

Total Count 13 7 15 35

% of Total 37.1% 20.0% 42.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.103a 2 .576

Likelihood Ratio 1.644 2 .439

Linear-by-Linear
.305 1 .581
Association
N of Valid Cases 35

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .60.
PolaAsuh * StatusGizi Crosstabulation

StatusGizi

Buruk Kurang Baik Total

PolaAsuh Cukup Count 10 7 12 29

% of Total 28.6% 20.0% 34.3% 82.9%

57
Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.103a 2 .576

Likelihood Ratio 1.644 2 .439

Linear-by-Linear
.305 1 .581
Association

Baik Count 3 0 3 6

% of Total 8.6% .0% 8.6% 17.1%

Total Count 13 7 15 35

% of Total 37.1% 20.0% 42.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.857a 2 .395


Likelihood Ratio 3.013 2 .222
Linear-by-Linear
.029 1 .865
Association
N of Valid Cases 35

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 1.20.

58
B. Hasil Analisa WHO Antropomethry

59
60
Permohonan pengatar izin penelitian

61
Permohonan izin penelitian

62
Cd Foto pembagian kuesioner

63

Anda mungkin juga menyukai