NUR HIDAYATI
i
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
Mengetahui,
Haniarti, S.Si, Apt, M.Kes Ayu Dwi Putri Rusman, SKM, MPH
NBM : 865 740 NBM : 11 44 942
ii
KATA PENGANTAR
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan berupa bimbingan,
saran maupun dorongan moral dan material dalam proses penyusunan proposal
kepada kedua orangtua Bahri dan Baharia yang memberikan kasih sayang
mendukung.
2. Ibu Ayu Dwi Putri Rusman, SKM, MPH Selaku Pembimbing I dan selaku
iii
3. Bapak Usman, SKM,. M.Kes. Selaku Pembimbing II yang senantiasa
Penelitian ini.
4. Ibu Fitriani Umar, SKM, M.Kes selaku dosen penanggap yang senantiasa
proposal ini.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga Allah
Nurhidayati
iv
ABSTRAK
Kata kunci: Status Gizi, Balita, Pendapatan Keluarga, Pola Asuh Ibu.
iv
RIWAYAT HIDUP
dari pasangan Bapak Bahri dan Ibu Baharia. Memulai sekolah dasar di SDN 155
Lembang, lulus pada tahun 2014. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan
di SMK DDI Parepare dan tamat pada tahun 2017. Pada tahun 2017, penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................6
C. Tujuan........................................................................................................6
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................6
BAB V PENUTUP................................................................................................47
vi
A. Kesimpulan....................................................................................................47
B. Saran..............................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Virus Coovid-19.........................................................................................8
2. Kerangka Teori.........................................................................................28
3. Kerangka Berpikir ...................................................................................28
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner Penelitian.................................................................................53
2. Hasil Analisa.............................................................................................57
3. Surat Permohonan Pengatar Izin Penelitian ............................................63
4. Surat Permohonan Izin Penelitian............................................................64
5. Dokumentasi Penelitian............................................................................65
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kesehatan gizi. Masa balita merupakan masa yang krusial bagi pertumbuhan dan
mempengaruhi peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kulitas yang
lebih baik. Hal ini akan mempengaruhi asupan gizi bagi anak terutama balita.
1
Ketika masyarakat mengalami masalah ekonomi karena kehilangan pendapatan
dan memiliki akses yang terbatas ke makanan sehat, jumlah anak yang
kekurangan gizi akan cenderung meningkat di tengah angka yang memang sudah
tinggi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena asupan makanan bergizi sangat
COVID-19 [1].
tubuh, yaitu dengan mengatur pola makan yang seimbang dan sehat, berolahraga
minimal 30 menit/hari, serta istirahat yang cukup. Tetapi dengan kondisi masa
New Normal seperti sekarang sekolah, perkuliahan dan bekerja dialihkan dari
sedentary activity yang akan berpengaruh pada status gizi dan kesehatan
masyarakat [2]. Dampak lain yang dirasakan bagi sebagian orang yang tetap bisa
bekerja dari rumah adalah berkurangnya penghasilan yang bisa dia dapatkan,
berkurang juga daya beli masyarakat, secara tidak langsung dapat menyebabkan
5,73% menjadi 6,61% dan pendek dari 11,89% pada bulan Februari menjadi
2
16,74% pada bulan Agustus 2020. Status gizi balita berdasarkan BB/TB
mengalami peningkatan pada beresiko gizi lebih dari 5,73% menjadi 9,25%, gizi
lebih dari 2,20% menjadi 5,73%, dan obesitas dari 1,76% pada bulan Februari
menjadi 2,20% pada bulan Agustus 2020. Status gizi balita berdasarkan IMT/U
mengalami peningkatan pada bersiko gizi lebih, gizi lebih, dan obesitas dari
9,25%, 2,64%, dan 2,20% pada bulan Februari menjadi 12,33%, 6,61% [4].
kesehatan anak sebagai hasil interaksi antara makanan yang dimakan dengan cara
masalah gizi: faktor langsung dan tidak langsung. Penyebab langsungnya adalah
di rumah, pola asuh, perawatan kesehatan, dan kebersihan lingkungan yang buruk
juga merupakan faktor tidak langsung. Empat pengaruh tidak langsung tersebut
Saat ini ada 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun yang meninggal akibat
3
memungkinkan seseorang untuk dapat menciptakan makanan yang sehat untuk
dilakukan oleh Alfiana tahun 2017, ada hubungan antara kesadaran gizi ibu
menyusui eksklusif bayi. Air Susu Ibu (ASI) menawarkan beberapa keuntungan
bagi bayi. Menyusui adalah bagian penting dari perawatan bayi dan
sebagian besar kebutuhan diet ini. ASI tidak hanya merupakan sumber energi
utama bagi bayi baru lahir, tetapi juga merupakan pemasok utama protein,
vitamin, dan mineral. Pemberian ASI saja, tanpa makanan atau minuman
tambahan, dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi sampai ia berusia enam bulan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, Air Susu Ibu (ASI)
eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi baru lahir sejak lahir selama
enam bulan tanpa menambah atau mengganti makanan atau minuman lain
(kecuali obat, vitamin, dan mineral). ASI mengandung kolostrum, yang kuat
dalam antibodi dan memasok protein untuk sistem kekebalan tubuh serta
yang disusui secara eksklusif. Dalam hal ini terdapat kaitan antara riwayat
pemberian ASI eksklusif dengan kondisi gizi bayi usia 7 hingga 24 bulan. [9]
4
Status gizi balita pada masa pandemi memiliki hubungan yang sangat erat
dengan adanya ketersediaan pangan dalam lingkup rumah tangga. Banyak orang
rumah tangga semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekirman
penting yang dapat menentukan kualitas serta kuantitas pangan dalam rumah
dengan pendapatan rendah lebih memilih konsumsi pangan dengan sumber energi
pendapatan tinggi akan memilih pangan dengan lebih bervariasi seperti makanan
dari submer hewani, gula, lemak, minyak dan makanan kaleng [4].
pendapatan untuk perbaikan kondisi gizi [10]. Oleh sebab itu, Tujuan dari
dengan Status Gizi Balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.
5
B. Rumusan Masalah
2. Adakah hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita pada masa
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
yang berhubungan dengan status gizi balita pada masa adaptasi new
normal di Bakaru.
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu untuk manfaat teoritis dan
6
1. Manfaat Teoritis
dengan status gizi balita pada masa adaptasi new normal di Bakaru.
2. Manfaat Praktis
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1) Definisi
Virus SARS-CoV-2 atau virus korona baru yang muncul di Wuhan, China,
pada akhir 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah Cina hingga ke
beberapa negara di belahan dunia [11]. Struktur genom virus pada SARS-CoV-2
Corona virus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus
unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah
8
Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses
2) Epidemiologi
China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari
2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar,
dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand,
Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi,
Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman
[13].
sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh dunia.
Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus
sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan
6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu
11,3% [13].
9
3) Etiologi
seperti unta, kucing, dan kelelawar. Hewan dengan coronavirus dapat berkembang
dan menginfeksi manusia seperti pada kasus MERS dan SARS seperti kasus
outbreak saat ini. Epidemi dua betacoronavirus SARS dan MERS sekitar 10.000
kasus; tingkat kematian 10 % untuk SARS dan 37% untuk MERS. Studi saat ini
telah mengungkapkan bahwa COVID-19 mungkin berasal dari hewan liar, tetapi
SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat
batuk atau bersin. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada
transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan
neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum
terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang
10
transmisi vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali
pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif [13].
biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di
feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam
feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini
stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam).
kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di
gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas
5) Manifestasi Klinis
Care Unit (ICU). Ditemukan beberapa kesamaan manifestasi klinis antara infeksi
11
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19, diantaranya yaitu
demam, batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk. gejala klinis yang paling sering terjadi
pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau
kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun tidak begitu
sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk darah 5%,
dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami dispnea. Sakit
Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien mengalami diare,
awal. Virus Corona dapat masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang
juga diekspresikan oleh sel neuron dan sel glial. Pasien memiliki riwayat status
epileptikus pada dua tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan
asam valproat dan levetiracetam dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun.
Tidak ada gejala saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien tidak
pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status epileptikus pada pasien lelaki usia
8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan riwayat kejang sebelumnya [15].
12
B. Tinjauan Umum Adaptasi New Normal
1) Adaptasi
2) New Normal
Studi Ketahanan misalnya oleh Rolf Pendall, Kathryn Foster, and Margaret
setelah terjadi guncangan besar. Dalam paper itu Pendall, Foster, dan Cowell
kesetimbangan yakni ketahanan dalam hal sistem adaptif kompleks dan berkaitan
13
Dionysios Nikolopoulos, Henk-Jan van Alphen, Dirk Vries, Luc Palmen ,
Stef Koop, Peter van Thienen, Gertjan Medema and Christos Makropoulos
M Burkle Jr (2012) dalam tulisan hasil penelitian mereka terhadap adaptasi dan
menghancurkan wilayah itu selama lebih dari satu tahun. Gempa itu
sumber daya dalam air, saluran pembuangan, makanan, akses ke kesehatan, energi
untuk pemanasan dan pendinginan, dan tantangan ketahanan yang belum pernah
kehidupan sehari-hari dan keputusan masa depan Bagi penduduk yang bertahan
New Normal berfungsi sebagai pedoman yang tidak nyaman tetapi realistis
14
New normal atau tatanan hidup baru merupakan kebijakan yang
Berskala Besar) yang telah dijalani oleh masyarakat. Istilah tatanan hidup baru
protokol kesehatan yang ketat agar terhindar dari penularan Covid19 dengan rajin
mencuci tangan setelah beraktifitas, tetap jaga jarak dan selalu menggunakan
Covid-19 merupakan jenis virus yang baru sehingga banyak pihak yang tidak tahu
dan tidak mengerti cara penanggulangan virus tersebut. Seiring mewabahnya virus
dianggap tidak efektif dengan alasan berbagai faktor. Menurut Sosiolog, Imam
1. Kesadaran masyarakat.
mewajibkan bekerja.
15
Kebiasaan baru (New Normal) memiliki definisi yang berbeda menyesuaikan
sudut pandang dari beberapa kepentingan dan institusi. Secara umum new normal
merupakan sebuah cara atau tatanan baru dalam menjalani kehidupan dan
kesehatan, agar suatu daerah atau negara dapat mengimplementasikan new normal
harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain daerah tersebut sudah terbukti
maksimal, kondisi masyarakat yang siap dan mampu memenuhi kebutuhan daya
masyarakat untuk lebih berhati-hati dan mengurangi kontak langsung seperti jabat
tangan, cipika-cipiki dan berkumpul. Sedangkan dari sisi ekonomi dan bisnis, new
normal menggeser bisnis model menjadi serba digital dan bergantung pada
membudayakan hidup bersih dan sehat dengan rajin melakukan cuci tangan,
1) Pengertian
orang dalam suatu populasi yang berusia mulai dari satu sampai tiga tahun.
Kelompok usia bayi (0-2 tahun), kelompok usia balita (2-3 tahun), serta
16
balita. Sedangkan WHO mengklasifikasikan balita sebagai seseorang yang
2) Karakteristik
balita yang mulai menginjak 1-5 tahun dapat diklasifikasikan menjadi dua
yang lebih tua dari satu tahun hingga tiga tahun dan usia “prasekolah”,
yang sangat khusus. Pada masa sekarang, balita membutuhkan jumlah dan
kualitas zat gizi yang benar dan tepat melalui makanan yang
pengeluaran zat gizi. Status gizi balita bisa diukur dengan menggunakan
Kartu Menuju Sehat (KMS) melalui tahap penimbangan berat badan anak.
a) Energi
Kebutuhan energi pada balita umur 6-24 bulan yang sebagai mana
17
Tabel 1. Kebutuhan Energi pada Balita 6-24 bulan
Umur balita Total Energi ASI Energi MP-
(bulan) Kebutuhan (Kkal) ASI (Kkal)
Energi (Kkal
6-12 650 400 250
12-24 850 350 500
Sumber: Depkes RI [22]
BB [19].
b) Protein
g/kg BB bagi bayi dan 1,5-2 g/kg BB bagi anak sekolah [19].
c) Lemak
18
adalah jenis karbohidrat yang dapat ditemukan pada berbagai jenis.
4) Pemantauan Pertumbuhan
maupun anak agar bayi yang baru lahir sehat serta diharapkan mampu
teratur, berat dan tinggi badan anak yang berusia kurang dari lima
tersedianya zat gizi dalam jaringan seluler tubuh, atau kondisi yang timbul karena
pemanfaatan zat gizi tersebut [24]. Keadaan tubuh akibat konsumsi, penyerapan,
19
memenuhi kebutuhan gizi tubuh biasanya menghasilkan status gizi yang dapat
penting dalam makanan untuk periode waktu yang lama. Kekurangan gizi dapat
Karena bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling sensitif
terhadap penyakit gizi buruk, maka pengukuran kesehatan gizi balita merupakan
indikasi terbesar dala, status gizi masyarakat. [24]. Malnutrisi pada anak di bawah
usia lima tahun sulit teridentifikasi oleh pemerintah, masyarakat, atau bahkan
keluarga. Artinya, jika di suatu wilayah terdapat sejumlah anak yang mengalami
kurang gizi, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk khawatir karena
anak tersebut tidak menunjukkan keadaan sakit. Faktor gizi buruk pada anak di
bawah usia lima tahun bisa dikatakan lebih rumit, sehingga memerlukan strategi
terpadu dari berbagai bagian kehidupan anak untuk mengatasinya. Tidak hanya
mengenai makanan, namun juga lingkungan hidup anak, seperti pengasuhan anak,
1. Pengertian
Status gizi merupakan suatu tingkatan keadaan gizi seseorang yang dapat
diterapkan dalam menentukan sehat atau tidaknya gizi seseorang (gizi buruk).
Gizi buruk yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan adanya kekurangan,
kelebihan, serta keseimbangan zat gizi yang diperlukan dalam masa pertumbuhan,
20
Kesehatan gizi anak di bawah usia lima tahun merupakan salah satu
sekaligus memungkinkan intervensi dalam mencegah efek yang lebih keras serta
perencanaan yang lebih baik untuk mencegah anak-anak di masa mendatang agar
pertumbuhan fisik, serta proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
[24].
Kategori dan kriteria status gizi anak didasarkan pada indeks (BB/B),
Tabel 3. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Umur 0-60
Bulan Berdasarkan Indeks (BB/U)
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-
Score)
Berat Badan menurut Gizi Buruk <-3 SD
Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai <-2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Sumber: Kemenkes RI [27]
21
Rumus perhitungan Z-skor adalah [24]:
b) Klinis
c) Biokimia
d) Biofisik
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita terbagi atas dua jenis,
antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada
pada diri anak itu sendiri, seperti status kesehatan, usia, jenis kelamin, dan tipe
serta memiliki ikatan dengan prevalensi dan keparahan penyakit menular, seperti
22
kwashiorkor atau wasting, yang biasanya ditemukan pada tingkat yang sangat
muntah dan diare. Faktor usia merupakan faktor yang menentukan kebutuhan
protein terutama pada kelompok anak usia dini yang masih dalam masa
pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan faktor jenis kelamin yang lebih banyak
terjadi pada wanita, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi
adalah faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain
a. Faktor langsung
23
1) Konsumsi Makan
menyebabkan malnutrisi.
1. Pengaruh budaya
24
2. Faktor sosial ekonomi
a) Data sosial
b) Data ekonomi
3. Produksi pangan
pendidikan.
25
G. Tinjauan Umum Stunting
1) Definisi
Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki
panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan
dengan umur. Pengukuran dilakukan menggunakan standar petumbuhan
anak dari WHO, yaitu dengan interpretasi stunting jika lebih dari minus
dua standar deviasi median. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada
bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Umumnya berbagai penyebab
ini berlangsung dalam jangka waktu lama [28].
Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi
kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan
perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera ditangani dengan
baik. Dampak stunting dalam jangka pendek dapat berupa penurunan
kemampuan belajar karena kurangnya perkembangan kognitif. Sementara
itu dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup anak saat
dewasa karena menurunnya kesempatan mendapat pendidikan, peluang
kerja, dan pendapatan yang lebih baik. Selain itu, terdapat pula risiko
cenderung menjadi obesitas di kemudian hari, sehingga meningkatkan
risiko berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, kanker,
dan lain-lain [28].
2) Faktor penyebab stunting
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut [29]:
a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada
masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan
informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6
bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan
26
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makan- an baru pada bayi, MPASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman.
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante
Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes
dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan
imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas
(baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan
PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
c. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan
bergizi. Penyebabnya karena harga makanan bergizi di Indonesia
masih tergolong mahal.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di
lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih buang air besar (BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
27
H. Kerangka Teori
Perubahan pola
hidup
I. Kerangka Pikir
28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Dan Desain Penelitian
analisis berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam area populasi yang sudah
1. Lokasi Penelitian
penelitian ini adalah karena dari data yang didapatkan, bahwa angka prevalensi
2. Waktu Penelitian
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak balita usia 12-59 bulan di
Desa Bakaru.
2. Sampel
data dengan pertimbangan tertentu [31]. Sampel dalam penelitian ini adalah anak
29
balita gizi stunting di wilayah kerja Puskesmas yaitu sebanyak 35 anak dan ibu
Kriteria objektif:
2. Pola asuh adalah proses ibu dalam mendukung perkembangan balita yang
Kriteria objektif:
antara status gizi buruk, kurang, baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan
Kriteria objektif:
30
Variabel penelitian adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota
suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain:
ibu.
Bakaru.
E. Instrumen Penelitian
kuesioner dan mikrotois untuk diisi oleh ibu dalam status gizi balita. Kuisioner
atau angket merupakan alat penelitian berupa daftar pertanyaan yang dapat
dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor status gizi yang dirasakan oleh ibu yang
yang sistematis.
1. Data Primer
31
keadaan infeksi, konsumsi makan, diperoleh melalui wawancara
2. Data Sekunder
1. Pengolah Data
jawaban.
2. Analisis Data
1. Analisis Univariat
32
Analisis univariat dalam penelitian ini digunakan untuk
dengan rumus:
x
P= x 100 %
y
Keterangan:
2. Analisis Bivariat
value 0,05 yang berarti tidak ada hubungan faktor risiko dengan
i=1 fn
Keterangan:
𝑥2 = Chi Kuadrat
33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Karakteristik Ibu
Berdasarkan hasil penelitian pada ibu balita sebanyak 35 responden di
Desa Bakaru didapatkan hasil sebagai berikut:
2. Karakteristik Balita
Berdasarkan hasil penelitian pada balita sebanyak 35 responden di Desa
Bakaru didapatkan hasil sebagai berikut:
34
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas karakteristik balita berusia 25-48
bulan sebanyak 24 responden dengan presentase 68%. Kemudian mayoritas balita
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 responden dengan presentase 69%.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas status gizi balita yaitu gizi baik
sebanyak 15 responden dengan presentase 42,9%, kemudian dilanjutkan dengan
status gizi buruk sebanyak 13 responden dengan presentase 37,1%, dan status gizi
kurang sebanyak 7 responden dengan presentase 20%.
3. Pendapatan Keluarga
35
4. Pola Asuh Ibu
Tabel 8. Pola Asuh Ibu Balita di Desa Bakaru
Pola Asuh Ibu (n) (%)
Cukup 29 82.9
Baik 6 17.1
Total 35 100.0
36
Tabel 10. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Status Gizi Balita
Pola Asuh Status Gizi Total
Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Cukup 10 28,6 7 20 12 34,3 29 82,9
Baik 3 8,6 0 0 3 8,6 6 17,1
Total 13 37,2 7 20 15 42,8 35 100,0
Pembahasan
1. Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan mayoritas status gizi balita
yaitu yaitu gizi baik sebanyak 15 responden dengan presentase 42,9%. Menurut
Ilahi (2017) Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak, baik faktor
langsung maupun faktor tidak langsung, serta akar masalah. Akar masalah
tersebut yaitu status ekonomi yang memberikan dampak buruk terhadap status
gizi anak [33].
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayarni
dan Sumarmi (2018) yang menyatakan bahwa hasil pengukuran status gizi balita
menurut indeks BB/U balita menunjukkan hasil sebesar 56,7% dengan status gizi
normal [34]. Menurut Sudarsih dan Wijayanti (2013), Semakin baik pengetahuan
gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan
yang diperolehnya untuk dikonsumsi. Pengalaman dalam mengikuti penyuluhan-
penyuluhan tentang status gizi juga dapat meningkatkan pengetahuan ibu untuk
dapat menyusun menu yang adekuat dengan bahan makanan yang seimbang, zat
gizi dan kebutuhan gizi seseorang serta hidangan dan pengolahanya [35].
37
Terdapat 13 balita dengan status gizi buruk di Desa Bakaru. Menurut
Hairunis et al., (2018), Gizi kurang akan menghambat laju perkembangan anak.
Akibatnya, proporsi struktur tubuh menjadi tidak sesuai dengan usianya dan
berimplikasi pada perkembangan aspek lain. Apabila anak balita mengalami
kurang gizi akan berdampak pada keterbatasan pertumbuhan, rentan terhadap
infeksi, dan peradangan kulit. Akhirnya, perkembangan anak yang meliputi
kognitif, motorik, bahasa, dan keterampilannya akan terhambat dibandingkan
dengan balita yang memiliki status gizi yang baik.11 Status gizi kurang akan
memengaruhi perkembangan mental maupun sosial anak. Oleh karena itu,
keduanya harus mendapat perhatian, baik dari pemerintah, masyarakat maupun
orang tua. Salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah
dengan melihat status gizi anak. Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat
perkembangan seorang anak dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS).
Prevalensi gizi kurang dan buruk yang tinggi berdampak pada terjadinya stunting
pada balita. Tiga faktor utama penyebab gizi kurang, yaitu kualitas dari kuantitas
konsumsi pangan yang buruk, pola asuh, dan akses fasilitas kesehatan yang tidak
memadai. Faktor yang berkaitan dengan stunting, yaitu, status sosial ekonomi
keluarga, pendidikan orang tua, status gizi, berat badan saat lahir, penyakit anak,
persediaan air bersih, pelayanan kesehatan, dan etnis [36].
Menurut Kasumayanti (2020), status gizi baik terjadi bila tubuh
memperoleh zat gizi yang cukup sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
pertumbuhan otak kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mugkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi apabila tubuh
memperoleh zat gizi berlebih sehingga menimbulkan toksin yang membahayakan
[37].
2. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan mayoritas pendapatan keluarga
balita yaitu kategori rendah 32 responden dengan presentase 91,4%. Mayoritas
pendapatan keluarga di Bakaru adalah rendah yaitu berkisar dibawah UMR.
38
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mulazimah (2017), hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga
mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan status gizi Balita.
Berdasarkan analisis data menunjukkan pendapatan keluarga mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap status gizi Balita p = 0,014 (< 0,05). Faktor
sosial ekonomi berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi. Pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi pada
balita, jika suatu keluarga memiliki pendapatan yang besar serta cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga maka dijamin kebutuhan gizi pada
balita akan terpenuhi. Teori lain menyebutkan bahwa kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, tentunya terkait dengan ketersediaan
pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga [38].
Masyarakat di Bakaru rata-rata berpenghasilan lebih dari UMR.
Berdasarkan literatur Ilahi (2017) menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga
berpengaruh terhadap penyediaan dan distribusi pangan dalam keluarga. Pada
rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga relatif banyak kualitas
konsumsi pangan akan semakin buruk. Keluarga dengan keadaan sosial ekonomi
yang kurang dengan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kebutuhan
primer seperti makanan, sandang dan perumahan tidak terpenuhi [33].
Hasil penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jayarni dan Sumarni (2018) yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga di
Kelurahan Wonokusumo sebagian besar kurang dari rata–rata yaitu Rp.2.363.092
sebesar 53,6%. Penelitian serupa menunjukkan keluarga yang tinggal di pedesaan
maupun perkotaan yang memiliki balita dengan status gizi underweight tergolong
pendapatan kurang dari rata–rata. Pendapatan kurang dari rata–rata akan
berdampak pada pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Pengeluaran rumah
tangga termasuk didalamnya pengeluaran untuk pangan salah satu indikator dalam
menentukan ketahanan pangan rumah tangga [34].
Menurut teori Indarti (2016), Orangtua adalah pintu gerbang utama
kesehatan anak-anak. Orangtua membuat pilihan tentang jumlah dan kualitas
39
kesehatan yang diterima anak-anak mereka, makanan yang mereka makan, jumlah
aktivitas fisik mereka, jumlah dukungan emosional yang mereka disediakan, dan
kualitas lingkungan di sekeliling mereka. Pilihan ini dikondisikan oleh sumber
daya material, pengetahuan tentang kesehatan serta perilaku kesehatan mereka.
Sumber daya orangtua dan perilaku kesehatan ini dipengaruhi kondisi sosial
ekonomi mereka. Anak-anak di Amerika Serikat yang mempunyai tingkat
pencapaian status kesehatan yang kurang baik mempunyai orangtua orang yang
miskin, kurang berpendidikan atau mempunyai kesehatan yang buruk. Anak-anak
dalam keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah ini lebih mungkin untuk
mengembangkan berbagai masalah kesehatan kronis. Kesenjangan status
kesehatan antara anak-anak kaya dan miskin lebih tinggi pada masa anak-anak
dan menurun pada saat memasuki usia dewasa [38].
40
Peran keluarga terutama ibu dalam anak akan menentukan tumbuh
kembangnya. Perilaku ibu dalam memberi makan, cara makan yang sehat dan
memberi makanan bergizi serta mengontrol porsi yang dihabiskan akan
meningkatkan status gizi anak. Peningkatan kemampuan pola asuh ibu dalam
praktik pemberian makan menyebabkan penambahan berat badan anak. Bila
pertumbuhan anak adalah penambahan berat badan antara dua titik waktu, maka
konklusi yang dapat dibuat yakni peningkatan kemampuan pola asuh ibu dalam
praktik pemberian makan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan.
Peningkatan kualitas pengasuhan ibu dalam praktik pemberian makan akan
menyebabkan peningkatan kualitas pertumbuhan anak, sehingga anak akan
bertumbuh dengan baik. Saat ini, dengan bergesernya fungsi wanita dalam rumah
tangga yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga menjadi pencari
tambahan nafkah untuk menutupi kekurangan kebutuhan ekonomi keluarga, maka
hubungan beban kerja ibu dengan perawatan atau pola asuh anak di rumah yang
berkaitan dengan gizi anak menjadi aspek penting bagi kesejahteraan anak dan
harus mendapatkan perhatian yang serius [40].
41
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan tingat pendapatan dengan
status gizi pada anak TK ABA Jowah dan SD Muhammadiyah Sangonan IV.
Penelitian ini tidak menunjukan adanya hubungan antara pendapatan dengan
status gizi pada anak dapat di karenakan pendapatan keluarga yang kurang dari
UMR masih dapat mencukupi kebutuhan makanan keluarga sehingga status
gizinya normal [43].
Menurut Ilahi (2017) bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi tidak
selalu diikuti dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Meskipun seseorang
cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi belum
tentu mencermikan bahwa apa yang dimakan tersebut sudah baik dalam mutu
gizinya. Selain itu, kemampuan keluarga dalam membeli makanan tidak hanya
dipengaruhi oleh besarnya pendapatan tetapi harga bahan makanan. Beberapa
harga bahan makanan yang mahal cenderung tidak dipilih dan dibeli, jadi dalam
keluarga jenis makanan tersebut jarang disajikan sehingga dalam memenuhi
kebutuhan gizi masih kurang [33].
Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian dari Sebataraja et
al., (2014) menyebutkan bahwa dari uji statistik didapatkan hubungan yang nyata
antara status ekonomi kelurga terhadap status gizi anak. Faktor ekonomi
merupakan suatu penentu status gizi yang dapat mempengaruhi status gizi anak.
Status ekonomi yang rendah atau kemiskinan menduduki posisi pertama pada
masyarakat yang menyebabkan gizi kurang. Faktor sosial ekonomi meliputi
pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor ini akan berinteraksi satu dengan yang
lain sehingga mempengaruhi masukan zat gizi. Keadaan ekonomi keluarga yang
baik dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap anggota keluarga.
Kekurangan gizi pada anak-anak merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena sumber dayanegara yang miskin [44].
Penelitian lain dilakukan oleh Indarti (2016), menunjukkan bahwa status
ekonomi keluarga mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi balita
dengan nilai X2 hitung = 4,639 lebih tinggi dari X2 tabel yaitu 3,841. Berdasarkan
status ekonomi keluarga, balita yang tinggal bersama keluarga dengan status
42
ekonomi rendah mempunyai proporsi status gizi kurang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang tinggal bersama keluarga dengan status ekonomi
tinggi. Persentase gizi kurang pada balita yang tinggal bersama keluarga dengan
status ekonomi rendah sebanyak 17,9% dan gizi kurang pada balita balita yang
tinggal bersama keluarga dengan status ekonomi tinggi sebanyak 7,7% [39].
Menurut Mulazimah (2017) mengatakan bahwa faktor sosial ekonomi
berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan zat gizi.
Pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi pada balita, jika suatu
keluarga memiliki pendapatan yang besar serta cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi anggota keluarga maka dijamin kebutuhan gizi pada balita akan terpenuhi.
Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, tentunya
terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga [38].
Pendapatan keluarga di Desa Bakaru rata-rata di bawah UMR, namun
memiliki balita dengan tingkat status gizi normal. Hal ini dikarenakan ibu balita
yang dapat mengatur keuangan dengan tepat dan ibu yang bekerja sebagai ibu
rumah tangga, sehingga dapat lebih fokus memberikan pangan yang bergizi untuk
anaknya. Menurut Kasumayanti dan Aulia (2020), hal ini bisa juga disebabkan
karena ibu bisa memanfaatkan perkarangan rumah untuk menanam bahan
makanan yang mengandung nilai gizi untuk balitanya, memvariasikan macam-
macam masakan yang bergizi dari bahan makanan yang dimamfaatkan di
perkarangan rumah, suaminya sering menangkap ikan di sungai untuk dikonsumsi
sendiri, sehingga balita gizi balita dapat terpenuhi. Sedangkan responden dengan
pendapatan keluarga yang terpenuhi namun memiliki balita dengan gizi tidak
normal, hal ini dapat disebabkan ibu tidak bisa mengelola keuangan dengan baik
meskipun pendapatan terpenuhi, namun tidak membelanjakan uang sesuai dengan
kebutuhan gizi [37].
Berdasarkan literatur yang mendukung hasil penelitian ini menyatakan
bahwa hal ini terjadi kemungkinan karena keluarga responden sebenarnya
mempunyai penghasilan cukup akan tetapi karena cara mengatur belanja keluarga
yang kurang baik, misalnya untuk pangan disediakan belanja terlalu sedikit lebih
43
banyak diperuntukkan bagi pembelian barang-barang lain dibanding dengan
pemenuhan zat gizi anak, akibatnya anak mengalami status gizi kurang.
Sebaliknya, pendapatan yang kurang namun memprioritaskan konsumsi pangan
keluarga sehingga status gizi anaknya tergolong normal [42].
44
anak yang selalu mendapat tanggapan, respon dan pujian dari ibunya menunjukan
keadaan gizi yang lebih baik [46].
Menurut Masyudi et al., (2019), Ibu yang mempunyai pola asuh kurang
baik relatif kondisi gizi dan kesehatan anak juga kurang optimal. Selain itu, balita
yang pola asuhnya tidak baik memiliki kemungkinan 6,3 kali lebih besar
mengalami status gizi kurang dibanding balita yang pola asuh makannya baik.
Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan
penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan. Semua orang
tua harus memberikan hak anak untuk tumbuh. Semua anak harus memperoleh
yang terbaik sesuai dengan kemampuan tubuhnya sehingga pertumbuhan yang
optimal dapat tercapai. Untuk itu perlu perhatian/dukungan orangtua. Untuk
tumbuh dengan baik tidak cukup dengan memberinya makan, asal memilih menu
makanan dan asal menyuapi anak nasi [47].
Penelitian lain oleh Nangley (2017) menyatakan bahwa berdasarkan hasil
uji statistik fisher’s Exact test diperoleh nilai p=0.001 sehingga nilai p lebih kecil
dari nilai α (0.05). Hasil uji menunjukan bahwa terdapat hubungan antara praktek
merawat balita dengan status gizi berdasarkan indeks antropometri BB/U.
Semakin baik pola asuh yang diberikan maka semakin baik status gizi balita dan
sebaliknya apabila ibu memberikan pola asuh yang kurang baik dalam pemberian
makanan pada balita maka status gizi balita juga akan terganggu. Pemberian
makanan kepada anak dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu serta
adanya dukungan dari keluarga. Anak-anak yang mendapatkan pemberian makan
yang cukup dan bergizi, pertumbuhan fisik dan sel otaknya akan berlansung
dengan baik. Pemenuhan gizi yang baik termasuk pemberian ASI ekslusif sampai
anak berumur 6 bulan dan pemberian ASI yang diteruskan hingga anak berusia 24
bulan akan berdampak positif, selain itu pemberian MPASI sesuai dengan usia
anak dapat mempengaruhi status gizi anak [48].
Berdasarkan literatur yang mendukung hasil penelitian ini menyatakan
bahwa hal ini terjadi karena meskipun pendidikan ibu hanya SMA dan keluarga
memiliki keterbatasan penghasilan (rendah), namun ibu fokus di rumah untuk
45
mengurus anak dengan melakukan manajemen waktu untuk mengasuh anak
dengan baik [42].
46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Mayoritas status gizi balita yaitu yaitu gizi baik sebanyak 15
responden dengan presentase 42,9%, mayoritas pendapatan keluarga
balita yaitu kategori rendah sebanyak 32 responden dengan presentase
91,4%, dan mayoritas pola asuh ibu yaitu kategori cukup sebanyak 29
responden dengan presentase 82,9%.
2. Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui
hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,576 (>0,05) hal ini menandakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan
status gizi balita.
3. Pada hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita Desa Bakaru
didapatkan nilai p-value sebesar 0,395 (<0,05) hal ini menandakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi
balita.
B. Saran
Saran untuk penelitian ini adalah diperlukan pengelolaan pendapatan
keluarga dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan pola asuh
ibu sebaiknya lebih ditingkatkan agar status gizi balita dapat terpenuhi dengan
baik.
47
DAFTAR PUSTAKA
[3] c. and a. y. s. rahayu, "tantangan pencegahan stunting pada era adaptasi baru
“new normal” melalui pemberdayaan masyarakat di kabupaten pandeglang,"
jurnal kebijakan kesehatan indonesia : jkki, vol. 09, no. 03, pp. 136-146,
2020.
[4] e. anggraeni, m. palupi and a. a. ayustina, "gambaran status gizi balita pada
masa pandemi covid-19 di desa semanding kecamatan pagu," jurnal gizi kh,
vol. 1, no. 1, pp. 33-42, 2021.
[5] m. k. w. giri, "hubungan pengetahuan ibu dan sikap ibu tentang pemberian
asi ekslusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di kelurahan kampung
kajanan kecamatan buleleng," jurnal magister kedokteran keluarga, 2013.
[6] d. sediaoetama, ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid i, jakarta: dian
rakyat, 2018.
[9] &. a. h. linawati, "ubungan pemberian asi eksklusif dengan status gizi bayi 7-
12 bulan di wilayah kerja puskesmas kalianda lampung selatan," malahayati
nursing journal, 2019.
[10] e. sulistyorini and t. rahayu, "hubungan pekerjaan ibu balita terhadap status
gizi balita di posyandu prima sejahtera desa pandean kecamatan ngemplak
kabupaten boyolali," jurnal gizi indonesia, 2009.
[11] r. li, s. pei, b. chen, y. song, t. zhang, w. yang and j. sharman , "substantial
undocumented infection facilitates the rapid dissemination of novel
coronavirus (sars-cov-2)," science, vol. 368, no. 6490, pp. 489-493, 2020.
48
associated with a new coronavirus of probable bat origin," nature,, vol. 579 ,
no. 7798, pp. 270-273., 2020.
[16] r. megawanty and m. hanita, "ketahanan keluarga dalam adaptasi new normal
pandemi covid-19 di indonesia," jurnal kajian lemhannas ri, vol. 9, no. 1, pp.
491-504, 2021.
[18] a. rosidi and e. nurcahyo, "penerapan new normal (kenormalan baru) dalam
penanganan covid-19 sebagai pandemi dalam hukum positif," journal ilmiah
rinjani: media informasi ilmiah universitas gunung rinjani, vol. 8, no. 2, pp.
193-197, 2020.
[19] m. adriani and w. bambang, gizi dan kesehatan balita (peranan mikro zinc
pada pertumbuhan balita), jakarta: kencana, 2014.
[21] r. depkes, pedoman penyelenggaraan dan prosedur rekam medis rumah sakit
di indonesia, jakarta: depkes ri, 2006.
[23] s. almatsier, prinsip dasar ilmu gizi, jakarta: pt. gramedia pustaka utama,
2011.
[24] d. supariasa, penilaian status gizi, jakarta : penerbit buku kedokteran egc,
2002.
[26] soekirman, ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat, jakarta:
49
dirjen dikti depdiknas, 2000.
[28] n. n. oktia, "stunting pada anak: penyebab dan faktor risiko stunting di
indonesia," qawwam: journal for gender mainstreaming, vol. 14, no. 1, pp.
19-28, 2020.
[33] r. k. illahi, "hubungan pendapatan keluarga, berat lahir, dan panjang lahir
dengan kejadian stunting balita 24-59 bulan di bangkalan.," jurnal
manajemen kesehatan yayasan rs. dr. soetomo, vol. 3, no. 1, pp. 1-7, 2017.
[38] y. indarti, "hubungan status ekonomi keluarga dengan status gizi balita di
kecamatan ajung kabupaten jember tahun 2016," jurnal fenomena, vol. 15,
no. 1, pp. 149-162, 2016.
50
[39] d. e. a. n. i. t. n. chashandra, "hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak
pra sekolah (> 3-5 tahun)," jurnal ilmiah keperawatan sai betik, vol. 10, no.
2, pp. 171-16, 2017.
[40] m. m. b. a. e. p. masita, "pola asuh ibu dan status gizi balita," quality: jurnal
kesehatan, vol. 12, no. 2, pp. 23-32, 2018.
[44] r. handayani, "faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak
balita," jurnal endurance: kajian ilmiah problema kesehatan, vol. 2, no. 2,
pp. 217-224, 2017.
KUESIONER PENELITIAN
IDENTITAS IBU
Nama Ibu : ..............................
51
Umur Ibu : ......... tahun
Alamat : ..............................................................
IDENTITAS BALITA
Nama Balita : ..............................
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Tanggal Lahir : ..............................
Umur : ........... tahun.............bulan
Berat Badan : ..................kg
PETUNJUK
Mohon dijawab semua pertanyaan dengan memberikan tanda (X) pada
pilihan yang dianggap paling benar dengan keadaan saudara.
A. Pendapatan Keluarga
1. Pendapatan Ayah = Rp
2. Pendapatan Ibu = Rp
3. Jumlah Anak =
52
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
4. Apakah ibu selalu memberikan perawatan kesehatan dini pada balita?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
5. Apakah ibu sudah memberikan imunisasi pada balita?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
6. Apakah ibu selalu memberikan penghargaan berupa pujian pada balita bila
balita melakukan sesuatu perbuatan yang baik?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
7. Apakah ibu selalu memberikan sentuhan pada balita dengan lembut untuk
menjalin komunikasi?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
8. Apakah ibu Selalu memberikn perhatian pada balita sesibuk apapun anda
di rumah?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
9. Apakah ibu selalu mengajari bersikap baik pada anak diwaktu anak sedang
bemain bersama temannya?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
53
10. Apakah ibu selalu memberikan pengalaman baru pada balita seperti
berjabat tangan?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
11. Apakah ibu sering melatih anak ibu untuk menggosok gigi sendiri?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
12. Apakah ibu selalu melatih dan mengawasi balita anda untuk makan
sendiri?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
13. Apakah ibu sering melatih balita untuk mencuci tangan sebelum makan?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
14. Apakah ibu selalu melatih balita untuk mandi menggunakan sabun?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
15. Apakah ibu selalu membiasakan anak untuk tidur siang?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
Lampiran. Hasil Analisa
1. Analisis Univariat
54
UsiaIbu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
55
Jumlah Pendapatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
PolaAsuh
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
StatusGizi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
56
2. Analisa Bivariat
3. JumlahPendapatan * StatusGizi Crosstabulation
StatusGizi
Tinggi Count 1 0 2 3
Total Count 13 7 15 35
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Linear-by-Linear
.305 1 .581
Association
N of Valid Cases 35
StatusGizi
57
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Linear-by-Linear
.305 1 .581
Association
Baik Count 3 0 3 6
Total Count 13 7 15 35
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
58
B. Hasil Analisa WHO Antropomethry
59
60
Permohonan pengatar izin penelitian
61
Permohonan izin penelitian
62
Cd Foto pembagian kuesioner
63