Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

A DENGAN RISIKO
PERILAKU KEKERASAN DI RUANG ANGGREK
RSJ PROF. Dr. MUHAMMAD ILDREM
PROVINSI SUMATERA UTARA

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
KELOMPOK III

1. ANGELINA LAIA, S. Kep


2. LINA MARIANA NAINGGOLAN, S. Kep
3. SELAMAT FEBRY ANDREA, S. Kep
4. SOWAAZARO LAIA, S. Kep

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat serta karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis, sehingga
penulisdapat menyelesaikan Karya tulisini dengan judul “Asuhan Keperawatan
Jiwa Pada Tn. A dengan Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruangan Anggrek Di RSJ
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara”. Penulisan Karya Tulis
Ilmiah ini disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Stase Jiwa di
Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari
Mutiara Indonesia Tahun 2016.

Tulisan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih
yang setulusnya kepada yang terhormat Bapak/Ibu :
1. Parlindungan Purba, SH, MM, selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara.
2. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara
Indonesia.
3. Dr. Candra S, Sp.OG Selaku Direktur RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem
PROVSU yang Telah Memberikan Ijin Kepada Mahasiswa/I Profesi Ners
Dalam Melaksanakan Praktek Keperawatan Jiwa.
4. Ibu Duma Farida Panjaitan, S.Pd, S.Kep, Ners, selaku Kepala Bidang
Keperawatan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara yang telah
mengizinkan kelompok untuk melaksanakan praktek lapangan keperawatan
jiwa. di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
5. Ibu Lince Herawati Tambunan, S.Pd, S. Kep, Ners, selaku Kepala Bidang
Diklat di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara yang telah telah
mengijinkan kelompok untuk melaksanan praktek lapangan keperawatan jiwa
dan sekaligus pembimbing kelompok III di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi
Sumatera Utara yang telah mengarahkan kelompok dalam penyelesaian
proposal ini.
6. Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
7. Ns. Rinco Siregar, S.Kep, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Universitas
Sari Mutiara Indonesia.
8. Ns. Jek Amidos Pardede, S.Kep, M.Kep Sp.KJ selaku Koordinator Profesi
Ners Sekaligus Pembimbing Kelompok III Profesi Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Sari Mutiara
9. Sebagai bukti kasih sayang dan rasa hormat peneliti kepada kedua orang tua
yang sangat peneliti cintai dan banggakan, Ayahanda dan Ibunda serta Kakak
dan Adik peneliti yang selalu memberikan doa, perhatian, semangat,
pengorbanan, dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis dalam
penulisan ini.
10. Para dosen yang telah senantiasa sabar mengajar, mendidik dan membimbing
penulis selama menjadi mahasiswa Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan
Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
11. Kepada teman-teman Mahasiswa/i Universitas Sari Mutiara Indonesia yang
telah banyak memberikan dukungan, motivasi, dan upaya dalam membantu
menyelesaikan tulisan ini.

Harapan penulis semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya dan peneliti juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan dan kebaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.

Medan, 20 Desember 2016


      Penulis

             (Kelompok III)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Upaya Kesehatan
Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang
optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat (UU Kesehatan Jiwa, 2014).

Fenomena gangguan jiwa saat ini mengalami peningkatan yang signifikan,


setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa
bertambah. Berdasarkan data Word Health Organization (WHO, 2013) ada
sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. WHO
mengatakan setidaknya ada satu dari 4 orang di Indonesia mengalami
masalah mental dan masalah gangguan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah
menjadi maslah yang serius ( Hartanto, 2014).

Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis
bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan
menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia.
(Keliat,2011). WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang
didunia mengalami masalah mental, dan masalah gangguan kesehatan jiwa
yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.

Berdasarkan hasil penelitian dari Rudi Maslim dalam Mubarta (2011)


prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut
tergolong sedang dibandingkan dengan negara lainnya. Data dari 33 Rumah
Sakit Jiwa ( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.

Menurut data WHO, pada tahun 2013 jumlah penderita skizofrenia mencapai
450 juta jiwa di seluruh dunia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6%
untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi
gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau
sekitar 400.000 orang. Dari jumlah tersebut, ternyata 14,3% di antaranya atau
sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di
pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%. (Riskesdas, 2013)

Kejadian gangguan jiwa yang terjadi ini dapat ditimbulkan akibat adanya
suatu pemicu dari fungsi afektif dalam keluarga yang tidak berjalan dengan
baik. Apabila fungsi afektif ini tidak dapat berjalan semestinya, maka akan
terjadi gangguan psikologis yang berdampak pada kejiwaan dari seluruh unit
keluarga tersebut (Nasir & Muhith, 2011). Gangguan jiwa merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada unsure jiwa yang manifestasinya pada kesadaran,
emosi, persepsi, dan intelegensi. Salah satu gangguan jiwa tersebut adalah
perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakn secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol ( Kusumawati dan Hartono,
2010).
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis ingin memberikan Asuhan
Keperawatan Jiwa pada Tn. A dengan Resiko Perilaku Kekerasan di Ruang
Anggrek di RSJ. Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara dengan pelayanan
kesehatan secara holistic dan komunikasi teraupetik dalam meningkatkan
kesejahteraan serta mencapai tujuan yang diharapkan

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan makalah ini dibatasi pada satu kasus saja yaitu
asuhan keperawatan pada Tn. A dengan resiko perilaku kekerasan di RSJ Prof.
Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara mulai tanggal 12 Desember
2016 – 23 Desember 2016

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan jiwa Skizofrenia paranoid episode berulang “risiko perilaku
kekerasan” sesuai dengan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian, analisa data, merumuskan masalah
keperawatan, membuat pohon  masalah, menetapkan pohon  masalah,
menetapkan diagnosa keperawatan  pada Tn. A dengan resiko perilaku
kekerasan di ruang Anggrek RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera
Utara
b. Dapat menegakkan diagnose keperawatan pada Tn. A dengan resiko
perilaku kekerasan di ruang Anggrek RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi
Sumatera Utara.
c. Dapat menyusun rencana tindakan keperawatan pada Tn. A dengan
resiko perilaku kekerasan di ruang Cempaka RSJ Medan untuk
memenuhi kebutuhan Tn. M dan mengatasi masalah Tn. A
d. Dapat mengimplementasikan rencana  tindakan keperawatan pada Tn.
A dengan resiko perilaku kekerasan di ruang Anggrek RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem Provinsi Sumatera Utara sesuai dengan diagnosa keperawatan
yang telah ditegakkan.
e. Dapat menilai hasil (mengevaluasi) tindakan keperawatan yang telah
dilakukan pada Tn. A dengan resiko perilaku kekerasan di ruang
Anggrek RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
f. Dapat melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan pada Tn. A
dengan resiko perilaku kekerasan di ruang Anggrek RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakn secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain
disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol ( Kusumawati
dan Hartono, 2010).

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk


melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan
definisi ini, perilaku kekerasan dapat di lakukan secara verbal di arahkan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.Perilaku kekerasan dapat
terjadi dalam dua bentuk yaitu perilaku kekrasan saat sedang berlangsung
atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).(Keliat,
2012)

B.Tanda Dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala pada pasien data yang perlu dikaji
adalah :
Masalah Keperawatan Data Yang Perlu Dikaji
Perilaku kekerasan Subjektif
1. Klien mengancam.
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor.
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel.
4. Klien mengatakan ingin berkelahi.
5. Klien menyalahkan dan menuntut.
6. Klien meremehkan.

Objektif
1. Mata melotot/pandangan tajam.
2. Tangan mengepal.
3. Rahang mengatup.
4. Wajah memerah dan tegang.
5. Postur tubuh kaku.
6. Suara keras.

Seseorang yang mengalami masalah ini harus diberikan rencana dan tindakan
yang sesuai sehingga pola ekspresi kemarahannya dapat diubah menjadi
bentuk yang bisa diterima yaitu perilaku yang sesuai, yaitu ekspresi
kemarahan langsung kepada sumber kemarahan dengan tetap menghargai
orang yang menjadi sumber kemarahan tersebut.

A. Faktor terjadinya Perilaku Kekerasan


Menurut Keliat (2012), terdapat faktor predisposisi dan faktor presipitasi
terjadinya perilaku kekerasan yaitu:
1. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu seperti :
a. Psikologi, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yangn
kemudian dapat menyebabkan agresif atau amuk, masa kanak – kanak
yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau
sanki penganiayaan dapat menyebabkan gangguan jiwa pada usia
dewasa atau remaja. Pandangan psikologis lainnya mengenai perilaku
agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan pedisposisi
atau pengealaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mempu melilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
b. Biologis, respon biologis timbul karena kegiatan system syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat,
takhikardi, wajah merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urine
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup,
tangan dikepal, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini disebabkan energy
yang dikeluarkan saat marah bertambah.
c. Perilaku, Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
d. Sosial budaya, Social-learning theory, Teori yang dikembangkan oleh
Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan
respon-respon lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon
terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan
respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa eksternal atau
internal.Contoh internal, oang yang mengalami keterbangkitan seksual
karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka
yang tidak menonton film tersebut.Seseorang anak marah karena tidak
boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti
marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan
mendapatkan apa yang diinginkan. Contoh eksternal, seorang anak
menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa
mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah
boneka. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah – olah perilaku kekerasan diterima (permissive).
Cultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat di
terima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.
e. Aspek spiritual, kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan
marah individu. Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki
dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral
dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepadanya.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan
yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan
orang yang dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain.
Perilaku destruktif-diri tidak langsung meliputi: Merokok, Menyabu,
Berjudi, Tindakan kriminal, terlibat dalam aktivitas rekreasi beresiko
tinggi, Penyalagunaan zat, Perilaku yang menyimpang secara sosial.
Perilaku yang menimbulkan stress, Gangguan makan, Ketidakpatuhan
terhadap pengobatan Medis (Stuart, 2012).

Menurut Siswanto (2009), stresor yang dialami oleh individu yang


diperoleh dari kelompok misalnya berhubungan dengan teman, atasan dan
bawahan dapat memicu terjadinya perilaku kekerasan. Demikian juga usia
remaja (masa perubahan) mudah terjadi stress yang dapat berakibat pada
perilaku yang menyimpang.

Dalam tinjauan spiritual, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan


dan bisikan setan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal
(Devil Support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan setan melalui
pembuluh darah ke jantung, otak, dan organ vital manusia lain yang
dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya
terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan
norma agama (super ego).

B. Proses Terjadinya Marah


Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui
3 cara yaitu : 1) Mengungkapkan secara verbal, 2) Menekan, 3) Menantang.
Dari ketiga cara ini, cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain
adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan
rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus – menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi psikomatik atau agresi dan ngamuk. Secara skematis perawat
penting sekali memahami proses kemarahan yang dapat digambarkan pada
skema 2.1 dibawah ini.
Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau
eksternal. Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal
sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian,
hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal
tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu
(Disruption & Loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana seorang individu
memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut
(Personal meaning).

Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk
istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah
melatih persyarafan telinga (nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan
kegiatan secara positif (Compensatory act) dan tercapai perasaan lega
(Resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala
sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif
(olah raga, menyapu atau baca puisi saat dia marah dan sebagainya) maka
akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (Helplessness). Perasaan itu
akan memicu timbulnya kemarahan (Anger). Kemarahan yang diekpresikan
keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif (Contruktive
action) dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekpresikan keluar
(Expressed outward) dengan kegiatan yang destruktif (Destruktive action)
dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (Guilt). Kemarahan yang
dipendam (Expressed inward) akan menimbulkan gejala psikosomatis
(Poinful symptom) (Yosep, 2007).

C. Tanda dan Gejala


1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan sosial.

D. Rentang Respon
Keterangan:
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative.
3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
5. Amuk / Perilaku Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control.

E. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan koping yang konstruktif dalam
mengekpresikan kemarahannya.Mekanisme koping yang umum digunakan
adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
represif, denial dan reaksi formasi.

Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:


a. Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan system syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah marah, pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, kewaspadaan juga
meningkat, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek
yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan perilaku asertif
adalah cara yang terbaik, individu dapat mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan dengan
perilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak
Perilaku muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.

F. Penatalaksanaan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol perilaku psikososial.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan
menenangkan hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Aedil, dkk (2013).Perilaku Petugas Kesehatan Dalam Perawatan Pasien


Gangguan Jiwa Skizoprenia Di Rumah Sakit Khusus daerah Sulawesi
Selatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Direja Ade (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta. Nuha


Medika

Nasution, dkk( 2008). Asuhan Keperawatan pada klien Dengan masalah


Psikososial Dan gangguan Jiwa.Edisi kedua. USU.

Purba dkk (2013).Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial


Dan Gangguan Jiwa. Edisi kedua. USU

Anda mungkin juga menyukai