Aliran ini timbul di Inggris pada pertengahan abad ke 19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Mazhab ini didasarkan atas psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk; perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak. Maka setiap perbuatan yang sudah dilakukan sudah lebih banyak mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak. Dengan demikian setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih banyak mendatangkan kesenangan. Jadi menurut teori ini orang melakukan kejahatan karena perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri. Mazhab klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajarannya yang terpenting adalah doktrin “Nullum Crimen Sine Lege” yang berarti tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidak pastian dan kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong undang-undang saja. 2. Tokoh beserta Prinsipnya Mazhab klasik muncul pada abad ke-18 yang dipelopori oleh Cesare Beccaria, aliran ini timbul di Inggris paada abad pertengahan ke-19. Aliran ini, dengan Doktrin of free will-nya, mendasarkan pada filsafat hedonistis yang memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih perbuatan yang dapat memberikan kebahagian dan menghindari perbuatan-perbuatan yang akan memberikan penderitaan. Cesare Beccaria (1738-1798), beliau berusaha menentang kesewenangan lembaga peradilan pada saat itu, dalam kritiknya pada intinya adalah menentang terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman. Dengan demikian, aliran ini dikenal dengan aliran kriminologi klasik yang berkembang di Inggris dan Negara Amerika. Dasar dari mazab ini adalah Hedonistic-Psycology yang mempergunakan metodenya adalah armchair. Psikologi yang menjadi dasar aliran ini adalah sifat individualistis. Intelectualistis serta voluntarsitis. Sebelum terjadinya revolusi Perancis. Di Eropa terdapat kerajaan absolut (absolute monarchie), dimana hukum pidana pada saat itu belum dibukukan (dikodifikasikan) dan juga pada waktu itu belum terdapat ketentuan hukum. Sehubungan dengan keadaan yang demikian itu, perangkat negara dapat menghukum setiap orang, yang menurut pendapatnya patut dihukum. Adapun berat ringannya hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim, sehinga terdapat ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Selain itu, tatacara penyidikan orang juga belum diatur dengan Undang-undang (belum ada KUHAP), sehingga sering kali menimbulkan tindakantindakan dari pihak penyidik yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Kemudian di Perancis timbullah kegemparan, karena seorang yang bernama Jean Callas dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Walaupun ia senantiasa menyangkal tuduhan tadi, ia tetap dipersalahkan dan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Hukuman tadi dijalankan dimuka umum dengan jalan radbraking. Akan tetapi setelah hukuman tadi dijalankan, kemudian seorang yang bernama Voltair berjuang dan me-nuntut agar kasus Jean Callas disidik ulang. Perjuangannya berhasil, dan kasus itu disidik ulang. Ternyata Voltair mampu menunjukkan bukti dan saksi bahwa anaknya Jean Callas itu bunuh diri dengan cara menggantung diri, bukan dibunuh oleh Jean Callas. Pembelaan Voltair ini membuahkan suatu Peninjauan Kembali, dan hasilnya suatu keputusan Mahkamah bahwa Jean Callas tidak bersalah. Akibat kasus Jean Callas ini di Italy timbul gerakkan untuk mengatur hukum pidana serta sanksinya dengan undang- undang, serta disusunlah suatu hukum acara yang mampu melindungi kesewenangan pemerintah. Tujuannya agar terdapat kepastian hukum (rechtzekerheid). Dengan dilakukannya perjuangan ini, diperjuangkan pula untuk menghindari rechtelijkewillekeur. Dasar pemikiran dari mazab klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang memiliki kehendak bebas (free will). Dalam bertingkah laku, manusia kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya (hedonisme). Dengan lain perkataan lain manusia dalam bertingkah laku dipandu oleh dua hal yaitu kesenangan dan penderitaan yang menjadi risiko dari tindakan yang dilakukannya. Sehingga dalam hal ini hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakan yang dilakukannya, dan bukan karena kesalahannya. Dengan pemikiran demikian maka Beccaria menuntut adanya persamaan dimuka hukum bagi semua orang (equality before the law) dan keadilan dalam penerapan sanksi. Beccaria selanjutnya menginginkan kesetaraan antara tindakan dan hukuman yang dijatuhkan. Kemudian Jeremy Bentham, seorang Inggris berbicara mengenai hal yang diungkapkan oleh Beccaria. Ia menyatakan bahwa tujuan dari pemberian hukuman semata- semata berfungsi sebagai alat pencegahan bagi lahirnya kejahatan. Pendapat Jeremy Bentham ini kemudian mengilhami lahirnya Code Civil du Napoleon 1971 dan juga konstitusi Amerika. Adanya persamaan di hadapan hukum dan keseimbangan antara hukuman atau sanksi dan kejahatan diterapkan secara murni pada saat itu. 3. Kesimpulan Landasan dari aliran Kriminologi klasik ini adalah, bahwa individu dilahirkan bebas dengan kehendak bebas (free will). Untuk menentukan pilihannya sendiri, individu memiliki hak asasi di antaranya hak untuk hidup, kebebasan untuk memiliki harta kekayaan, pemerintahan Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah, setiap warga Negara hanya menyerahkan sebagian haknya kepada Negara sepanjang diperlukan oleh Negara untuk mengatur masyarakat. Demi kepentingan sebagian besar masyarakat kejahatan merupakan pelanggaran perjanjian sosial dan karena itu dikatan sebagai kejahatan moral. Dalam kajian konteks tersebut sehingga dapat dipahami, cirri-ciri atau landasan kriminologi klasik dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Manusia dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) untuk menentukan pilhannya sendiri. 2) Manusia memiliki hak asasi di antaranya hak untuk hidup, kebebasan serta memiliki kekayaan. 3) Pemerintah Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah. 4) Setiap warga Negara hanya menyerahkan sebagian hak asasinya kepada Negara sepanjang diperlukan oleh Negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan sebagian terbesar dari masyarakat. 5) Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu kejahatan merupakan kejahatan moral. 6) Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk untuk memlihara perjanjian sosial. Oleh karena itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan di kemudian hari. 7) Setiap orang dianggap sama di depan hukum, oleh karena itu seharusnya setiap orang diperlakukan sama.