Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK

KLIMATOLOGI DAN HIDROLOGI HUTAN

Disusun Oleh :

1. Hijryan Elman K.A (16/398320/KT/08315)


2. Fakhrani Amalia A.S (20/455331/KT/09179)
3. Farihatul Ibriza (20/455332/KT/09180)
4. Fatika Rahmadini (20/455333/KT/09181)
5. Lora Tri Mallisa (20/462009/KT/09392)

LABORATORIUM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN UGM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2020
Sepanjang tahun 2015 - 2018, terdapat event anomali iklim di sepanjang pesisir
Samudera Hindia bagian timur, dan tentunya berdampak juga terhadap area pendaratan penyu
di pesisir selatan Jawa Timur. Beberapa publikasi telah menggambarkan adanya perubahan
tinggi muka air laut dan faktor yang memacu perubahan kondisi atmosferis dan oseanografi
di pesisir Samudera Hindia bagian timur (Han, dkk. 2010). Sementara, untuk penelitian skala
lokal terkait kondisi penyu di pesisir selatan Jawa Timur terkait cuaca ekstrem masih belum
ada.
Salah satu indikasi dari perubahan iklim adalah meningkatnya frekuensi siklon.
(Webster et.al., 2005) mempublikasikan adanya trend peningkatan intensitas siklon tropis.
Sementara itu, selama kurun waktu 5 Tahun (2014 – 2018), BMKG mencatat adanya 10
siklon tropis yang terdapat di Samudera Hindia dan 6 diantaranya berdampak di area perairan
selatan Jawa Timur. Peningkatan intensitas siklon menyebabkan terjadinya gelombang besar
sehingga berdampak pada terbentuknya profil abrasi pada pantai peneluran. Penelusuran data
sekunder dari basis data siklon JAXA memperlihatkan sebaran dan intensitas siklon tropis di
Samudera Hindia pada rentang waktu 2014 – 2018. Sepanjang tahun 2016 – 2017, terjadi
peningkatan event siklon di pesisir barat Australia, yang berakibat pada gelombang tinggi di
perairan selatan Jawa, yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang cukup kuat pada
perairan Samudera Hindia pada tahun 2016 (Lim et.al., 2017). IOD sendiri merupakan event
anomali suhu permukaan laut Samudera Hindia bagian tropis, yang terjadi secara interannual
(pada kurun waktu lebih dari 2 tahun). IOD berkorelasi dengan variasi SPL di Samudera
Pasifik yaitu ENSO, karena adanya Sirkulasi Walker (Shinoda et.al., 2004). IOD positif
terkait dengan fenomena El Nino, sedangkan IOD negative terkait dengan adanya La Nina.
Pada Tahun 2016, IOD negative mencapai puncaknya pada Bulan Juli sampai dengan
September.

Pada Bulan Juni 2016, terjadi banjir pasang yang melanda pesisir selatan Jawa, yaitu
adanya Siklon Cempaka pada November 2017 yang memberi dampak destruktif terhadap
pesisir selatan Jawa (Swarinoto, dkk. 2019). Adanya gelombang besar menyebabkan
terjadinya perubahan garis pantai dan juga fitur abrasi yang terdapat di lokasilokasi
pendaratan penyu di Selatan Jawa. Badai juga menyebabkan terjadinya perendaman area di
atas batas pasang surut (Webster et.al., 2005). Apabila kondisi tersebut berlangsung secara
terus menerus, maka penyu dikhawatirkan akan kehilangan area supratidal (yang berada di
atas garis batas pasang surut) sebagai lokasi favorit dalam meletakkan telur. Analisis citra
temporal Landsat 8 dan Sentinel 2A menunjukkan adanya perubahan fisik pantai berupa
munculnya fitur abrasi pada beberapa bagian pantai dan perubahan fisik area di sekitar mulut
sungai. Adanya perubahan fisik tersebut menyebabkan pergeseran lokasi peneluran penyu,
dikarenakan penyu tidak dapat naik pada pantai dengan elevasi yang curam untuk meletakkan
telurnya.
Korelasi SPL dengan temperatur substrat pada pantai pendaratan penyu Pengolahan
data dari Citra MODIS Aqua dengan resolusi 4 Km dilakukan pada rentang Tahun 2015 –
2018 untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan yang terjadi pada variabel SPL pada
saat musim peneluran. Interpretasi citra satelit memperlihatkan bahwa pada Bulan Agustus
Tahun 2016, suhu di perairan pesisir selatan Jawa Timur cenderung lebih hangat, dengan
rata-rata berkisar antara 26 – 28°C. Sementara itu, kegiatan survei lapangan dilaksanakan
pada musim yang sama, menunjukkan rentang suhu pada keenam lokasi penelitian berada
pada kisaran 26,5 – 28,2ºC. Ukuran butir sedimen yang dominan di area penelitian memiliki
kategori pasir sedang dan pasir kasar yang merupakan karakteristik khas pantai pendaratan
penyu. Proses inkubasi yang berhasil menetaskan tukik berada pada rentang temperatur
substrat 25 – 35ºC. Kondisi kelembaban substrat pada lokasi penelitian di TKK berada pada
kondisi “dry+” sampai dengan “wet+”. Kondisi tersebut mengindikasikan kelembaban pasir
sarang berada pada kisaran sedang menuju tinggi. Pada lokasi wilayah timur (TNMB dan
TNAP), kondisi substrat berada pada kisaran “dry+” sampai dengan “dry+ wet+”.
Temperatur sarang dipengaruhi oleh warna pasir dan ukuran butir, struktur biofisik
pantai, iklim lokal dan panas metabolik yang dihasilkan pada saat embrio berkembang.
Mekanisme determinasi jenis kelamin menurut beberapa literatur dipengaruhi oleh regulasi
aromatase, enzim yang mengonversi testosterone (hormon jantan) atau prekusor enzim
tersebut menjadi estrogen (hormon betina). Pada penyu tempayan di California, temperatur
yang lebih hangat (>29.2°C) memproduksi lebih banyak jumlah betina, sedangkan temperatur
yang lebih dingin (<29.2°C) menghasilkan lebih banyak tukik jantan. Temperatur konstan
yang berada pada kisaran <29.2°C memproduksi jumlah tukik dengan proporsi jenis kelamin
seimbang, hal ini dinamakan temperatur pivot. Variabel krusial yang mempengaruhi
keberhasilan penetasan telur dan jenis kelamin adalah temperatur dan kelembaban substrat.
Ketiadaan basis data yang baik menjadi kendala untuk mendapatkan gambaran yang terjadi
pada lokasi-lokasi peneluran di pesisir selatan Jawa Timur secara temporal.
Walaupun pada rentang waktu 2016 – 2018 terdapat gelombang tinggi sepanjang
tahun, yang mengakibatkan terjadinya abrasi di beberapa titik pantai yang mereka kelola, hal
tersebut dianggap belum menjadi ancaman serius bagi penyu yang mendarat pada area
peneluran. Upaya pengelolaan adaptif merupakan hal yang penting mengingat ancaman
perubahan iklim (terutama cuaca ekstrem dan kenaikan muka air laut) pada lokasi peneluran
akan semakin intens. Sebagaimana model yang dibuat oleh menunjukkan beberapa kawasan
di Samudera Hindia bagian utara dan timur mengalami kenaikan muka air laut, termasuk
diantaranya perairan selatan Sumatera dan Jawa.

Respon Penyu Terhadap Perubahan Iklim


Dampak peningkatan suhu secara global nampaknya mempengaruhi semua aspek
kehidupan, tidak terkecuali keberlangsungan hidup spesies penyu yang terancam punah ini.
Aspek struktur populasi dan migrasi merupakan hal yang sangat rentan terhadap kondisi ini.
Berikut ini merupakan beberapa aspek yang rentan mengalami perubahan.
• Peningkatan suhu pasir akan mempengaruhi sex ratio; akan menghasilkan lebih banyak
betina, dengan kondisi ekstrim dimana 100% individu betina akan dihasilkan. Pertanyaannya
adalah apakah suhu penentu kelamin penyu akan bergeser untuk mengakomodasi
keseimbangan rasio kelamin betina dan jantan, dan apakah proses pendinginan (presipitasi)
mampu mengimbangi peningkatan suhu pasir sarang? Irigasi sarang dan naungan telah
diusulkan sebagai kemungkinan langkah-langkah mitigasi iklim untuk sarang penyu (Fuentes
et.al., 2012). Di sarang alami, naungan yang dihasilkan oleh vegetasi menurunkan suhu
inkubasi dan menghasilkan produksi proporsi tukik jantan yang lebih tinggi (Spotila et.al.,
1987). Bayangan dengan menanam pohon menurunkan suhu sarang dan menghasilkan tukik
dengan kinerja locomotion yang lebih tinggi daripada sarang yang tidak teduh (Wood et.al.,
2014). Untuk beberapa populasi, rasio seks yang menetas bisa mencapai 100% betina pada
tahun 2070 (Fuentes et.al., 2011) dan naungan sarang kulit telah terbukti meningkatkan
produksi jantan tanpa mengorbankan kebugaran menetas atau menetas kesuksesan (Patino
et.al., 2012). Demikian juga, penyiraman eksperimental dalam kondisi tertentu dapat
menurunkan suhu sarang (Jourdan et.al., 2013) dengan cara yang sama seperti curah hujan
dapat menurunkan suhu inkubasi, yang menghasilkan tukik jantan (Houghton et.al., 2007).

• Perkawinan silang antar spesies (hibridisasi): Diduga karena faktor ketidakseimbangan rasio
kelamin betina dan jantan di populasi. Contoh antara penyu sisik dan penyu hijau di Teluk
California, Meksiko (Seminoff et al., 2003). Sehingga jika kondisi ketidakseimbangan rasio
kelamin ini terus berlanjut, akankah kejadian hibridisasi makin banyak ditemukan.
• Perubahan struktur populasi pada habitat bertelur
Contoh : Perubahan populasi penyu di pesisir Guyana dari dominasi penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menjadi penyu hijau
(Chelonia mydas) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea) (artikel Stabroek News, 25
Juni 2007 dalam Marine Turtle Newsletter No. 117, 2007).

• Penaikan muka air laut (sea level rise): Yang akan terjadi adalah habitat peneluran
menyempit/menghilang (terutama pantai yang landai), kasus penumpukan sarang makin
banyak, kasus sarang penyu terendam pasang air laut makin banyak, angka keberhasilan
penetasan (hatching succes) berkurang.
• Diprediksikan perubahan sistem arus global: migrasi penyu bergantung pada arus laut
sehingga kemungkinan bisa mempengaruhi rute migrasi penyu

Peran penyu laut terhadap ekosistem sesuai laporan LSM Oceana (Wilson et.al., 2010):

1. Pemelihara Habitat
a. Padang lamun – Penyu hujau memakan daun-daun di padang lamun, memelihara
padang lamun dari kerimbunan yang berlebih yang mencegah masuknya sinar
matahari dan terhambatnya alir nutrient. Selain itu konsumsi padang lamun juga
mengurangi konsentrasi nitrogrn di dasar laut dan dekomposisi daun-daun tua.
b. Terumbu karang – Penyu sisikmengonsumsi bunga karang, dan dengan demikian
mencegah ekspansi bunga karang di atas permukaan terumbu karang, serta
memungkinkan tterumbu karang memperluas koloninya. Cabikan penyu sisik pada
bunga karang juga memungkinkan binatang-binatang kecil lain menembus dan
memakan bunga karang seperti Geodia sp. Yang memiliki perlindungan duri-duri
silika yang padat (Jackson, 1997).
c. Peningkatan kualitas pesisir – Telur-telur penyu secara langsung maupun tidak
langsung memperbaiki kualitas wilayah tempat bertelur. Telur-telur yang tidak
menetas akan menambah konsentrasi nutrient, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium.
Nutrien-nutrien ini membantu pertumbuhan vegetasi dan dengan demikian juga
meningkatkan stabilisasi daerah tersebut. Vegetasi yang tumbuh memberikan sumber
makan bagi binatang-binatang herbivora, dan dengan demikian berpengaruh terhadap
sebaran spesies. Telur-telur penyu juga merupakan sumber makanan bagi banyak
predator, yang mendistribusikan Kembali nutrient lewat feses mereka.

2. Keseimbangan jaring-jaring makanan


a. Control populasi ubur-ubur – Penyu belimbing memangsa banyak ubur-ubur sebagai
makanan utama merreka, dan satu ekor penyu diketahui memakan hampir 200kg
ubur-ubur setiap hari. Ubur-ubur adalah pemakan telur-telur dan larva ikan.
Berkurangnya jumlah penyu akan menyebabkan ledakan populasi ubur-ubur dan
mengurangi jumlah iklan di laut.
b. Pemasok makanan bagi ikan – Epibiont yang tumbuh pada karapas penyu merupakan
sumber makanan bagi beberapa jenis ikan dan udang. Selain itu penyu dan telurnya
juga merupakan sumber makanan bagi banyak binatang lain, di darat, di udara, dan
dalam laut.

3. Siklus nutrient yang lebih baik


Pada butir 1c merupakan peran penyu dalam siklus nutrient di darat. Namun
perbaikan siklus nutrient juga terjadi di dasar laut. Saat penyu tempayan mencari
mangsa di dasar laut, mereka menciptakan jejak di sedimen saat mereka menyapu
pasir dengan sirip mereka untuk mengekspos mangsa. Perilaku ini mempengaruhi
aerasi dan distribusi sedimen, dan juga keragaman spesies dan dinamika ekosistem
dasar laut.

4. Pengadaan habitat
Penyu tempayan diketahui memiliki lebih dari 100 spesies epibiont pada kerapasnya.
Selain itu, kerapas penyu merupakan tempat tinggal yang lebih aman bagi epibiont
disbanding substratum lain dan memungkinkan sebaran spasial spesies-spesies
epibiont yang sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Fuentes M, Fish M, Maynard J. 2012. Management strategies to mitigate the impacts of
climate change on sea turtle’s terrestrial reproductive phase. Mitig Adapt Strategies Glob
Chang 17: 51–63.
Fuentes M, Limpus C, Hamann M. 2011 Vulnerability of sea turtle nesting grounds to
climate change. Glob Chang Biol 17: 140–153.

Hill JE, Paladino FV, Spotila JR, Tomillo PS. 2015. Shading and Watering as a Tool to
Mitigate the Impacts of Climate Change in Sea Turtle Nests

Han, W., Meehl, G. A., Rajagopalan, B., Fasullo, J. T., Hu, A., Lin, J., Yeager, S. 2010.
Patterns of Indian Ocean sea-level change in a warming climate. Nature Geoscience, 3(8),
546–550.

Hawkes, L., A. C. Broderick, M. H. Godfrey, & B. J. Godley. 2009. Climate Change And
Marine Turtles. Endangered Species Research Vol. 7: 137–154.

Houghton J, Myers A, Lloyd C, King R, Isaacs C, Hays G. 2007. Protracted rainfall


decreases temperature within leatherback turtle (Dermochelys coriacea) clutches in
Grenada, West Indies: Ecological implications for a species displaying temperature
dependent sex determination. J Exp Mar Biol Ecol 345: 71–77.

Jackson, J.B.C. 1997. Reefs since Columbus. Coral Reefs 16, Suppl :S23-S32.

Jourdan J, Fuentes M. 2013. Effectiveness of strategies at reducing sand temperature to


mitigate potential impacts from changes in environmental temperature on sea turtle
reproductive output. Mitig Adapt Strategies Glob Chang 20: 1–13.
Katselidis K, Schofield G, Stamou G, Dimopoulos P, Pantis J. 2012. Females First, Past,
present and future variability in offspring sex ratio at a temperate sea turtle breeding area.
Anim Conserv 15: 508–518.

Lim, E.-P., & H. H. Hendon. 2017. Causes and Predictability of the Negative Indian Ocean
Dipole and Its Impact on La Niña During 2016. Scientific Reports, 7(1), 12619.

Patino‐Martinez J, Marco A, Quiñones L, Hawkes L. 2012. A potential tool to mitigate the


impacts of climate change to the Caribbean leatherback sea turtle. Glob Chang Biol 18:
401–411.
Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut.

Saputra, D. K, et. al. 2019. Journal of Fisheries and Marine Research Vol. 3 No. 1 :118-126.
Shinoda, T., H. H. Hendon, & M. A. Alexander. 2004. Surface and subsurface dipole
variability in the Indian Ocean and its relation with ENSO. Deep Sea Research Part I:
Oceanographic Research Papers, 51(5),619–635.

Spotila JR, Standora EA, Morreale SJ, Ruiz GJ.1987. Temperature dependent sex
determination in the green turtle (Chelonia mydas): effects on the sex ratio on a natural
nesting beach. Herpetologica 43: 74–81.
Swarinoto, Y., A. Putra, E. Fibriantika, & N. Alfuadi. 2019. Atmospheric Dynamics Analysis
of Tropical Cyclone Cempaka. IJSBAR.
Webster, P. J., G. J. Holland, J. A., Curry, & H.-R. Chang. 2005. Changes in Tropical
Cyclone Number, Duration, and Intensity in a Warming Environment. Science,
309(5742),1844–1846.

Wilson, E.G., K.L. Miller, D. Allison, dan M. Magliocca, 2010. Why Healthy Oceans Need
Sea Turtles: The Importance of Sea Turtles to Marine Ecosystems. Ocean report, 17.
Wood A, Booth DT, Limpus CJ. 2014. Sun exposure, nest temperature and loggerhead turtle
hatchlings: Implications for beach shading management strategies at sea turtle rookeries. J
Exp Mar Biol Ecol 451: 105–114.

Anda mungkin juga menyukai