Anda di halaman 1dari 88

PEMBUATAN PEKTIN DARI LIMBAH KULIT JERUK

(Citrus sinensis) DENGAN METODE EKSTRAKSI


GELOMBANG ULTRASONIK MENGGUNAKAN
PELARUT ASAM SULFAT (H2SO4)

SKRIPSI

Oleh

AYU ARIMPI
140405081

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MARET 2019

Universitas Sumatera Utara


PEMBUATAN PEKTIN DARI LIMBAH KULIT JERUK
(Citrus sinensis) DENGAN METODE EKSTRAKSI
GELOMBANG ULTRASONIK MENGGUNAKAN
PELARUT ASAM SULFAT (H2SO4)

SKRIPSI

Oleh

AYU ARIMPI
140405081

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN


PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MARET 2019

Universitas Sumatera Utara


i2
Universitas Sumatera Utara
3
ii
Universitas Sumatera Utara
4iii
Universitas Sumatera Utara
PRAKATA

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
dengan judul “Pembuatan Pektin dari Limbah Kulit Jeruk (Citrus sinensis)
dengan Metode Ekstraksi Gelombang Ultrasonik Menggunakan Pelarut Asam
Sulfat (H2SO4)” ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.
Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
memberikan ilmu dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian
skripsi ini.
2. Bapak Bode Haryanto, S.T., M.T., Ph.D dan Ibu Maya Sarah, S.T., M.T., Ph.D,
selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan
masukan yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Maya Sarah, S.T., M.T., Ph.D, selaku Ketua Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. Erni Misran, S.T., M.T., selaku Sekretaris Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Ir. Bambang Trisakti, M.T., selaku Koordinator Skripsi Departemen
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama
menempuh pendidikan di Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara.
7. Seluruh Staf Pegawai Administrasi Departemen Teknik Kimia yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menjalankan perkuliahan.
8. Teman-teman seperjuangan Teknik Kimia angkatan 2014 yang telah bersama-
sama selama di perkuliahan dan telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

iv
Universitas Sumatera Utara
9. Dan semua pihak yang telah membantu penulis hingga terselesainya penelitian
dan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini masih
jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan segala kerendahan hati,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk membantu
dalam penyempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan atas
segala kebaikan semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Maret 2019

Ayu Arimpi

v
Universitas Sumatera Utara
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Kedua orang tua tercinta
Bapak Santoso dan Ibu Semili

Mereka adalah orang tua hebat yang telah membesarkan,


mendidik, memberikan motivasi dan mendukungku dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang.
Terima kasih atas pengorbanan, nasehat dan doa yang tiada hentinya,
yang telah bapak dan ibu berikan kepadaku selama ini.

Kepada Saudara/i tercinta


Neni Amila dan Rafli Alwi
Terima kasihku untuk segala motivasi, dukungan dan kasih sayang
untuk Kakakmu ini.

Semoga kiranya Allah SWT selalu meridhoi segala jerih payah kalian dan
memberikan balasan yang terbaik.
Aamiin

vi
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Ayu Arimpi


NIM : 140405081
Tempat/Tgl. Lahir : Sukarakyat, 2 Juni 1996
Nama Orang Tua : Santoso dan Semili
Alamat Orang Tua :
Sukarakyat, Desa Batu Tunggal, Kec. NA IX-X, Kabupaten
Labuhan Batu Utara

Asal sekolah:
 SDN 115510 Batu Tunggal, tahun 2002-2008
 SMPN 1 Rantau Utara, tahun 2008-2011
 SMAN 3 Rantau Utara, tahun 2011-2014

Pengalaman organisasi/kerja:
1. Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK),
2015/2016.
2. Pengurus Covalen Study Group (CSG) Fakultas Teknik USU periode
2016/2017.
3. Kerja Praktek di PT Toba Pulp Lestari, Porsea, Januari-Februari 2018.

vii
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan Pektin dari Limbah Kulit Jeruk (Citrus sinensis) dengan
Metode Ekstraksi Gelombang Ultrasonik Menggunakan Pelarut
Asam Sulfat (H2SO4)

ABSTRAK

Pektin dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri pembuatan jeli, selai,
pembentuk gel, pengental, penstabil dan pengemulsi. Pada penelitian ini akan
dilakukan ekstraksi pektin dengan bahan baku kulit jeruk (Citrus sinensis)
menggunakan bantuan gelombang ultrasonik dan pelarut asam sulfat (H2SO4) yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi waktu pengendapan dan konsentrasi
etanol sebagai bahan pengendap filtrat pektin terhadap karakteristik pektin yang
dihasilkan. Penelitian dilakukan dengan waktu ekstraksi 30 menit dengan temperatur
ekstraksi 70 0C menggunakan pelarut H2SO4. Variasi yang dilakukan adalah waktu
pengendapan selama 14 jam, 16 jam 18 jam dan 20 jam dan konsentrasi etanol 75%,
85% dan 95%. Pektin yang diperoleh kemudian diaplikasikan untuk proses
pengentalan karet dengan variasi rasio pectin dan karet (gram/ml) yang digunakan
adalah sebagai berikut (1:25; 2:25; 3:25; 4:25 dan 5:25). Karakteristik pektin yang
dihasilkan dengan karakteristik berturut-turut: rendemen berkisar antara 16,44%-
22,44%; kadar air 4,0%-9,45%; kadar abu 2,34%-5,54%; berat ekivalen 510,20%-
865,07 mg; kadar metoksil 7,35%-10,79%; dan kadar galakturonat 63,71%-95,74%.
Waktu pengendapan 18 jam dengan etanol 95% menghasilkan rendemen terbanyak
dengan karakteristik pektin terbaik yang telah memenuhi standar IPPA (International
Pectin Producers Association). Waktu pengentalan karet tercepat adalah 547 detik
dengan rasio pektin dan karet adalah 5:25.

Kata kunci : Ekstraksi, gelombang ultrasonik, kulit jeruk, pektin.

viii
Universitas Sumatera Utara
Pectin Production from Orange Peel (Citrus Sinensis) with
Ultrasonic Waves Extraction Method Using Sulfatic Acid (H2SO4)

ABSTRACT

Pectin can be utilized in various industries of making jelly, jam, gelling, thickener,
stabilizer and emulsifier. In this study, the extraction of pectin from orange peel
(Citrus sinensis) using ultrasonic waves and sulfuric acid (H2SO4) was conducted to
determine the effect of variation in settling time and concentration of the alcohol as
the pectin filtrate precipitating material on the characteristics of the pectin produced.
The study was carried out with 30 minutes extraction time, extraction temperature of
70 oC using H2SO4. Variations carried out were settling time for 14 hours, 16 hours,
18 hours and 20 hours, and concentration of the alcohol ; 65%, 75%, 85% and 95%.
The pectin obtained was then applied to the rubber thickening process with variations
in the ratio of pectin and rubber (grams / ml) used as follows (1:25; 2:25; 3:25; 4:25
and 5:25). Characteristics of pectin produced with successive characteristics: yield
ranged from 16.44%-22.44%; moisture content from 4.0-9.45%; ash content of
2.34%-5.54%; equivalent weight of 510.20-865.07 mg; methoxyl content of 7.35%-
10.79%; and galacturonic content of 63.71%-95.74%. The 18-hour settling time with
95% ethanol produced the most yield with the best pectin characteristics that met
IPPA (International Pectin Producers Association) standards. The fastest rubber
thickening time is 547 seconds with a pectin and rubber ratio of 5:25.

Keywords: Extraction, ultrasonic waves, orange peel, pectin.

ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i
PENGESAHAN SKRIPSI ii
LEMBAR PERSETUJUAN iii
PRAKATA iv
DEDIKASI vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN PENELITIAN 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN 4
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 PEKTIN 6
2.2 KARAKTERISTIK PEKTIN 8
2.2.1 Kadar Air 9
2.2.2 Kadar Abu 9
2.2.3 Berat Ekuivalen 9
2.2.4 Kadar Metoksil 9
2.2.5 Kadar Asam Galakturonat 10
2.3 KULIT JERUK (Citrus sinensis) 10
2.4 METODE EKSTRAKSI GELOMBANG ULTRASONIK 12
2.4.1 Gelombang Ultrasonik 12

x
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Ekstraksi Pektin 15
2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Pektin 17
2.5 ASAM SULFAT (H2SO4) 18
2.6 ETANOL (C2H5OH) 18
2.7 APLIKASI PEKTIN SEBAGAI PENGENTAL GETAH KARET 19
2.7.1 Getah Karet (Lateks) 19
2.7.2 Pengentalan Karet 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 22
3.1 LOKASI PENELITIAN 22
3.2 BAHAN DAN ALAT 22
3.2.1 Bahan 22
3.2.2 Alat 22
3.3. PROSEDUR PENELITIAN 23
3.3.1 Produksi Pektin 23
3.3.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi 24
3.3.3 Pengentalan Karet 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 27
4.1 EKTRAKSI PEKTIN 27
4.2 PENGARUH WAKTU PENGENDAPAN DAN
KONSENTRASI ETANOL PADA KARAKTERISTIK PEKTIN
HASIL EKSTRAKSI 28
4.2.1 Rendemen (Yield) 29
4.2.2 Kadar Air 30
4.2.3 Kadar Abu 32
4.2.4 Beat Ekivalen 34
4.2.5 Kadar Metoksil 35
4.2.6 Kadar Galakturonat 37
4.2.7 Derajat Esterifikasi 38
4.2.8 Penentuan Pektin Terbaik 39
4.3 IDENTIFIKASI GUGUS FUNGSI PEKTIN PADA SPEKTRUM
FTIR 40
4.4 PENGENTALAN KARET 42

xi
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 44
5.1 KESIMPULAN 44
5.2 SARAN 45
DAFTAR PUSTAKA 46

xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kimia Pektin dengan Sejumlah Variabel Gugus Metil
Ester 7
Gambar 2.2 Anatomi Buah Jeruk 12
Gambar 2.3 Prinsip Kavitasi Akustik 13
Gambar 2.4 Representasi Grafis dari Kavitasi-Gelembung Runtuh dan
Melepaskan Bahan Tanaman dalam Tiga Langkah. (a)
Representasi Gelembung dan Sel Tanaman, (b) Kerusakan
Dinding Sel dan Keruntuhan Gelembung, Akhirnya (c) Difusi
Pelarut Melalui Gangguan Seluler dan Pelepasan Senyawa 13
Gambar 2.5 Skema Perubahan Protopektin Menjadi Pektin dan Asam Pektat 16
Gambar 2.6 Perubahan Fasa pada Penggumpalan Karet 20
Gambar 2.7 Pengaruh Perubahan pH Lateks Tehadap Penggumpalan 21
Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Ekstraksi dengan Ultrasonic Bath (a)
Bagian Luar dan (b) Bagian Dalam 23
Gambar 4.1 Persentase Rendemen (Yield) 31
Gambar 4.2 Kadar Air 30
Gambar 4.3 Kadar Abu 33
Gambar 4.4 Berat Ekivalen 34
Gambar 4.5 Kadar Metoksil 36
Gambar 4.6 Kadar Galakturonat 37
Gambar 4.7 Struktur Pektin 40
Gambar 4.8 Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi 41
Gambar 4.9 Hubungan Rasio Pektin dengan Waktu Pengentalan Karet 43
Gambar L3.1 Flowchart Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk (Citrus sinensis) 61
Gambar L3.2 Flowchart Penentuan Kadar Air 62
Gambar L3.3 Flowchart Penentuan Kadar Abu 63
Gambar L3.4 Flowchart Penentuan Berat Ekivalen 64
Gambar L3.5 Flowchart Penentuan Kadar Metoksil Dan Kadar Galakturonat 65
Gambar L3.6 Flowchart Pengentalan Karet 66

xiii
Universitas Sumatera Utara
Gambar L4.1 Kulit Jeruk 67
Gambar L4.2 Pengeringan Kulit Jeruk 67
Gambar L4.3 Penghalusan Kulit Jeruk 67
Gambar L4.4 Ekstraksi Pektin 68
Gambar L4.5 Filtrat Pektin 68
Gambar L4.6 Pengendapan Pektin 68
Gambar L4.7 Pencucian Endapan Pektin 69
Gambar L4.8 Endapan Pektin Basah 69
Gambar L4.9 Pektin Kering 69
Gambar L4.10 Penghalusan Pektin 70
Gambar L4.11 Lateks 70
Gambar L4.12 Gumpalan Karet 70

xiv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Standar Mutu Pektin 8
Tabel 2.2 Tabel Karakteristik Kandungan Metoksil 10
Tabel 2.3 Sifat Fisika dan Kimia H2SO4 (Asam Sulfat) 18
Tabel 2.4 Komposisi Lateks Segar 20
Tabel 4.1 Hasil Karakteristik Pektin 29
Tabel 4.2 Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi 38
Tabel 4.3 Data Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi 41
Tabel L1.1 Hasil Karakteristik Pektin 52
Tabel L1.2 Data Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi 52
Tabel L1.3 Data Hasil Pengentalan Karet 53
Tabel L2.1 Hasil Perhitungan Yield Pektin Hasil Ekstraksi 54
Tabel L2.2 Hasil Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi 55
Tabel L2.3 Hasil Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi 56
Tabel L2.4 Hasil Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi 57
Tabel L2.5 Hasil Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi 57
Tabel L2.6 Hasil Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin Hasil Ekstraksi 58
Tabel L2.7 Hasil Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi 59

xv
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN 52
L1.1 DATA HASIL PENELITIAN 52
L1.2 DATA SPEKTRUM FTIR PEKTIN HASIL EKSTRAKSI 52
L1.3 DATA HASIL PENGENTALAN KARET 53
LAMPIRAN 2 PERHITUNGAN 54
L2.1 KARAKTERISTIK PEKTIN HASIL EKSTRAKSI 54
L2.1.1 Perhitungan Persen Rendemen (Yield) 54
L2.1.2 Perhitungan Kadar Air 54
L2.1.3 Perhitungan Kadar Abu 55
L2.1.4 Perhitungan Berat Ekivalen 56
L2.1.5 Perhitungan Kadar Metoksil 57
L2.1.6 Perhitungan Kadar Galakturonat 58
L2.1.7 Perhitungan Derajat Esterifikasi 59
LAMPIRAN 3 FLOWCHART PENELITIAN 60
L3.1 FLOWCHART EKSTRAKSI PEKTIN DARI KULIT
JERUK (CITRUS SINENSIS) 60
L3.2 FLOWCHART PENENTUAN KADAR AIR 62
L3.3 FLOWCHART PENENTUAN KADAR ABU 63
L3.4 FLOWCHART PENENTUAN BERAT EKIVALEN 64
L3.5 FLOWCHART PENENTUAN KADAR METOKSIL
DAN KADAR GALAKTURONAT 65
L3.6 FLOWCHART PENGENTALAN KARET 66
LAMPIRAN 4 DOKUMENTASI PENELITIAN 67
L4.1 PERSIAPAN BAHAN BAKU 67
L4.2 PROSES PRODUKSI PEKTIN 68
L4.3 APLIKASI PEKTIN 69

xvi
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Jeruk merupakan salah satu buah utama di dunia. Khususnya, jeruk manis
(Citrus sinensis) adalah buah yang paling umum ditanam di dunia. Pohon jeruk
ditanam di iklim tropis dan subtropis (Fakayode dan Abobi, 2018). Menurut data
Badan Pusat Statistik khusus Sumatera Utara produksi buah jeruk pada tahun 2015
mencapai 483.006 ton (BPS, 2017). Buah jeruk secara besar-besaran dimanfaatkan
oleh industri pengolahan jus, dengan kulit yang dikategorikan sebagai limbah. Hasil
jus jeruk adalah setengah dari berat buah (Fakayode dan Abobi, 2018), dapat
dikatakan 50% dari buah jeruk adalah limbah salah satunya berupa kulit buah.
Buah jeruk terdiri dari dua bagian yaitu kulit (kulit buah) dan ampas. Kedua
bagian ini mudah dipisahkan satu sama lain dengan ampas yang berfungsi sebagai
bagian buah yang dapat dimakan sementara kulit sebagai sumber pektin yang baik
(Devi, et al., 2014). kulit jeruk dibagi menjadi epikrap atau flavedo (permukaan
perifer perifer) dan mesokrap atau albedo (lapisan tengah lunak putih) (Rafiq, et al.,
2016). Kulit buah jeruk sebagian besar albedo yang baru saja dipanen mengandung
sekitar 70% air, sekitar 6-8% gula, sejumlah besar pektin dan asam organik yg
jumlahnya kecil (Chandler, 1958). Menurut Khan, et al., (2015), didalam kulit jeruk
mengandung 30% pektin dalam basis kering.
Arioui et al, (2016) melaporkan hasil penelitiannya dalam mengekstraksi pektin
dari kulit jeruk (Citrus sinensis) dengan perolehan sebesar 24,33%, sementara
Zanella dan Taranto (2015) memperoleh hasil terbaik pektin dari albedo jeruk (Citrus
sinensis L. Osbeck) adalah 38,21%. Perolehan pektin oleh Guo, et al., (2012) sebesar
15,47%. Nilai rendemen bervariasi sesuai dengan parameter ekstraksi serta
karakteristik bahan baku (Arioui, et al., 2016).
Nilai ekonomi yang dimiliki pektin cukup tinggi, akan tetapi pengolahan untuk
produksi pektin di Indonesia sampai saat ini belum juga tercapai. Kebutuhan pektin
di Indonesia semakin berkembang dengan bertambahnya industri-industri makanan
(Siregar, et al., 2014).

1
Universitas Sumatera Utara
Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman
pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan komponen
utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai perekat dan
menjaga stabilitas jaringan dan sel (Tuhuloula, et al., 2013). Pada dasarnya semua
tanaman yang berfotosintesis tanpa kecuali mengandung pektin namun dalam jumlah
yang berbeda tergantung pada jenis tanaman dan tingkat kematangannya (Widiastuti,
2015).
Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.
Pektin dapat larut dalam beberapa macam pelarut seperti air, beberapa senyawa
organik, senyawa alkalis dan asam. Ekstraksi pektin dengan menggunakan pelarut
asam merupakan cara ekstraksi yang umum digunakan karena kemungkinan terjadi
kerusakan pektin lebih sedikit (Ristianingsih, et al., 2014). Pektin dalam jaringan
tanaman terdapat sebagai protopektin yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu
dilakukan hidrolisis protopektin menjadi pektin yang larut dalam air menggunakan
pelarut asam dalam ekstraksi pektin. Asam sulfat (H2SO4) merupakan pelarut yang
kuat menghidrolisis protopektin dan merupakan pelarut yang baik untuk banyak
reaksi (Susanti, et al., 2017). Sayah, et al., (2016) melaporkan hasil ekstraksi pektin
dari kulit jeruk dengan membandingkan penggunaan jenis pelarut yaitu asam sulfat
dan asam sitrat menunjukan rendeman yang diperoleh dengan pelarut asam sulfat
sebesar 33,63% dan menggunakan asam sitrat sebesar 29, 93%.
Selain itu, banyak metode ekstraksi telah dikembangkan untuk meningkatkan
efisiensi ekstraksi yang lebih baik dan kualitas pektin, seperti ekstraksi pelarut
dengan pengadukan dan pemanasan, ekstraksi reflux panas, ekstraksi gelombang
mikro, ekstraksi enzimatik dan ekstraksi ultrasound (Grassino, et al., 2016).
Pemilihan ekstraksi metode konvensional dan penggunaan suhu tinggi
menyebabkan kualitas pektin menurun. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
modifikasi proses ekstraksi untuk memperoleh rendemen yang lebih banyak lagi
dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik pada proses esktraksi pektin
(Adhiksana, 2017). Teknik ultrasonik telah dipelajari untuk meningkatkan ekstraksi
senyawa target dari sumber tanaman (Oliveira, et al., 2016).
Metode ultrasonik adalah metode yang menggunakan gelombang ultrasonik
yaitu gelombang akustik dengan frekuensi lebih besar (16-20 KHz). Salah satu

2
Universitas Sumatera Utara
manfaat metode ekstraksi ultrasonik adalah untuk mempercepat proses ekstraksi.
Meninjau penelitian yang telah dilakukan oleh Adhiksana yang membandingkan
hasil rendemen pektin dari kulit pisang dengan metode konvensional dan metode
ultrasonik. Rendemen diperoleh sebesar 25,59% (metode ultrasonik) dan 18,3 %
(metode konvensional) (Adhiksana, 2017). Oleh karena itu, kontribusi utama dari
pekerjaan ini adalah pemanfaatan gelombang ultrasonik untuk meningkatkan
efisiensi ekstraksi, mengurangi waktu dan suhu pemrosesan (Grassino, et al., 2016).
Sifat fisik yang terpenting dari pektin adalah dapat membentuk gel dengan
keberadaan asam dan gula. Karakteristik pektin yang diekstrak diharapkan sama
seperti pektin komersial yang harus memenuhi standar mutu International Pectin
Producers Association (IPPA) dan Food Chemical Codex. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada proses ekstraksi adalah perlakuan pendahuluan bahan sebelum
ekstraksi, ukuran partikel, jenis pelarut, waktu, suhu dan proses pemisahan pelarut
(Rosalina, et al., 2017). Berdasarkan penelitian Chua, et al., (2018) bahwa kondisi
optimum ekstraksi pektin dari kulit buah naga menggunakan bantuan gelombang
ultrasonik diperoleh pada suhu 71,8oC dan waktu ekstraksi selama 25 menit.
Pengolahan pektin dipengaruhi oleh sifat fisik dan cara ekstraksi, salah satunya
adalah bahan pengendap dan lama pengendapan. Meninjau hasil penelitian
(Lumbantoruan, et al., 2014) bahwa interaksi antara konsentrasi pengendap dan lama
pengendapan pada pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit durian memberikan
pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rendemen, kandungan metoksil dan
kadar galakturonat dan berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar abu dan berat
ekivalen. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh waktu
pengendapan dan konsentrasi bahan pengendap menggunakan etanol pada ekstraksi
pektin dari kulit jeruk (Citrus sinensis).
Pektin telah banyak digunakan, baik pada industri pangan, kesehatan maupun
industri karet. Pada industri karet pektin digunakan sebagai bahan pembantu dalam
proses pengentalan lateks, memperbaiki warna, konsistensi kekentalan, dan stabilitas
produk yang dihasilkan (Ristianingsih, et al., 2014).
Penggunaan bahan kimia yang digunakan sebagai pembeku getah karet (lateks)
juga tidak kalah pentingnya. Selama ini para penyadap biasanya membekukan getah
karet dengan bahan-bahan kimia seperti tawas, urea, dan cuka. Padahal jika kita

3
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bahan-bahan kimia tersebut secara terus-menerus, maka akan
membuat produktivitas karet tersebut akan menurun. Jika tidak memperhatikan
petunjuk baku, penggunaan bahan-bahan kimia tersebut sebenarnya sangat berbahaya
bagi tubuh kita (Purnomo, et al., 2014).
Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, sudah cukup banyak penelitian
yang membahas tentang pektin. Ekstraksi pektin dari kulit jeruk (Citrus sinensis)
dipilih karena ketersediaan bahannya yang melimpah dengan menggunakan metode
ultrasonik dan hasilnya diaplikasikan pada proses pengentalan karet. Selama ini
petani karet biasanya membekukan getah karet dengan bahan-bahan kimia. Oleh
karena itu, perlu adanya pengental getah karet dari bahan alami seperti pektin.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengekstraksi
pektin dari kulit jeruk (Citrus sinensis) menggunakan metode ultrasonik. Disini
peneliti ingin mendapatkan informasi bagaimana pengaruh waktu pengendapan dan
konsentrasi bahan pengendap pada filtrat pektin untuk menghasilkan pektin dengan
karakteristik terbaik, dan membandingkan karakteristik pektin terbaik yang
dihasilkan dengan pektin standar IPPA.

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahi pengaruh waktu pengendapan dan
konsentrasi bahan pengendap pada filtrat pektin yang diekstraksi dari kulit jeruk
(Citrus sinensis) menggunakan metode ultrasonik terhadap karakteristik pektin yang
dihasilkan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan dapat
digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan produk pektin dari limbah kulit
jeruk (Citrus sinensis) yang dikemudian hari dapat meminimalkan impor pektin dan
memaksimalkan produk pektin dari limbah kulit jeruk sebagai produk agribisnis
lokal.

4
Universitas Sumatera Utara
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia dan
Laboratorium Kimia Organik Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara. Adapun bahan baku yang digunakan pada pembuatan
pektin adalah kulit jeruk (Citrus sinensis).
Penelitian ini dilakukan yaitu dengan tahap pre-treatment bahan baku, ekstraksi,
pengendapan/penggumpalan, pencucian dan pengeringan.
Variabel yang digunakan :
Pembuatan pektin dari kulit jeruk (Citrus sinensis).
a. Variabel tetap :
1. Massa sampel : 25 gram
2. Konsentrasi pelarut (H2SO4) : 0,050 N (Sufy, 2015)
3. Waktu ekstraksi (menit) : 30 (Chua, et al., 2018)
4. Rasio solid : pelarut (b/v) : (1:30)
5. Suhu ekstraksi : 70 oC (Chua, et al., 2018)
6. Suhu pengeringan pektin : 50oC (Lumbantoruan, et al., 2014)
b. Variabel Berubah :
1. Waktu pengendapan pektin (jam) : 14; 16; 18; 20 (Lumbantoruan, et al.,
2014)
2. Konsentrasi bahan pengendap (% etanol) : 75; 85; 95 (Lumbantoruan, et al.,
2014)
Karakterisasi pektin yang dihasilkan adalah :
1. Analisa Kadar Air (Pengeringan dengan Oven) (Devi, et al., 2014)
2. Analisa Kadar Abu (Pengabuan dengan Furnace) (Sufy, 2015)
3. Analisa Berat Ekuivalen (Titrasi dengan NaOH) (Devi, et al., 2014)
4. Analisa Kadar Metoksil (Titrasi dengan NaOH) (Devi, et al., 2014)
5. Analisa Kadar Asam Galakturonat (Devi, et al., 2014)
6. Analisa Gugus Fungsi Pektin dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Aplikasi pektin sebagai bahan pengental getah karet (lateks) :
a. Variabel tetap : Valume karet = 5 ml
b. Variabel berubah :
Rasio pektin : karet (gr/ml) : 1:25; 2:25; 3:25; 4:25 dan 5:25

5
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PEKTIN
Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman
pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan komponen
utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai perekat dan
menjaga stabilitas jaringan dan sel. Pektin merupakan senyawa polisakarida dengan
bobot molekul tinggi (Tuhuloula, et al., 2013).
Istilah pektin pertama kali dideskripsikan dan diisolasi oleh ilmuwan Prancis
bernama Henry Braconnot pada tahun 1825. Pektin terutama terdiri dari asam D-
galakturonat yang bergabung dengan ikatan glikosida α - (1- 4). Sebagai bagian dari
struktur tanaman, pektin adalah campuran kompleks dari blok asam
homogalakturonat yang disebut 'daerah halus' yang dicampur dengan blok asam
homogalakturonat yang mengandung banyak gula netral termasuk rhamnose,
galaktosa, arabinosa dan glukosa yang disebut 'daerah berbulu'. Tepung netral juga
hadir sebagai rantai samping dalam jumlah yang berbeda tergantung pada sumber
pektin dan metode ekstraksi yang digunakan. Persentase residu asam galakturonat
umumnya diesterifikasi dengan metanol. Pektin tanaman dapat larut dalam air atau
protopektin (Girma dan Worku, 2016).
Pektin merupakan serbuk halus atau sedikit kasar, berwarna putih dan hampir
tidak berbau. Bobot molekul pektin bervariasi antara 30.000-300.000. Kelarutan
pektin berbeda-beda, sesuai dengan kadar metoksilnya. Pektin dengan kadar metoksil
tinggi larut dalam air dingin, pektin dengan kadar metoksil rendah larut dalam
larutan alkali atau oksalat. Pektin tak larut dalam aseton dan alkohol. Kandungan
pektin di dalam tanaman berbeda-beda tergantung pada sumber dan metode ekstraksi
yang dilakukan (Hastuti, 2016).
Pektin terdapat berlimpah di dinding yang tumbuh mengelilingi dan membagi
sel, dinding sel di bagian-bagian lunak dari tanaman, dan di lamella tengah dan sudut
sel. Pektin juga terdapat dalam persimpangan zona antara sel-sel dengan dinding
sekunder termasuk xilem dan sel-sel serat dalam jaringan kayu. Pektin merupakan
komponen semua dinding tinggi tanaman dan dinding dari gymnospermae. Pektin

6
Universitas Sumatera Utara
pada tanaman juga banyak terdapat pada lapisan kulit pada buah. Pektin dapat
membentuk gel dengan bantuan asam dan gula. (Injilauddin, et al., 2015).
Pektin dalam industri pangan digunakan dalam pembuatan produk selai, jelly,
pengental sari buah, pembuatan permen, emulsion flavor, saos salad, dan zat emulsi.
Dalam industri makanan dan minuman pektin dipakai sebagai bahan pembuat tekstur
yang baik pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer, untuk pembuatan selai
diperlukan pektin dengan derajat metilasi 74, artinya 74% dari gugus karboksil
mengalami metilasi. Pada industri karet, pektin digunakan sebagai bahan pembantu
dalam proses pengentalan lateks, memperbaiki warna, konsistensi kekentalan, dan
stabilitas produk yang dihasilkan (Ristianingsih, et al., 2014). Dalam obat pektin bisa
digunakan untuk melapisi obat-obatan dan merumuskan kapsul tergantung pH untuk
melepaskan komposisi aktif di usus besar atau bagian spesifik lainnya dari tubuh
(Rojas, et al., 2015).
Berikut adalah struktur kimia pektin dengan sejumlah variabel gugus metil ester
ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Kimia Pektin dengan Sejumlah Variabel Gugus Metil Ester
(Khan, et al., 2015)
Beberapa definisi yang berhubungan dengan pektin :
1. Asam pektat
Asam pektat merupakan senyawa poligalakturonat yang gugus karboksilnya tidak
terseterifikasi. Asam pektat memiliki berat molekul (BM) tinggi. Monomer asam
pektat adalah asam α-galakturonat yang saling terikat dengan α-1,4-glikosida.
2. Asam pektinat
Asam pektinat merupakan senyawa yang biasa disebut dengan pektin. Senyawa
ini merupakan poligalakturonat yang sebagian gugus karboksilnya teresterifikasi
secara enzimatik didalam tanaman oleh enzim pektase. Pembentukan ester metil
didalam molekul asam pektinat membuat senyawa ini terdispersi di dalam air.

7
Universitas Sumatera Utara
3. Protopektin
Protopektin merupakan senyawa pektat yang terdapat pada bagian hijau tanaman
atau pada buah yang belum masak. Protopektin tidak larut didalam air karena
kehadiran garam kalsium atau magnesium yang tidak larut. Penyebab lain
ketidaklarutan protopektin adalah karena berikatan dengan selulosa atau beberapa
polisakarida dengan berat molekul tinggi yang tidak larut. Protopektin dapat dibuat
menjadi pektin yang larut dalam air dengan cara mengekstraksinya dalam larutan
asam panas (Sulihono, et al., 2012). Suhu yang tinggi menyebabkan ikatan antara
molekul-molekul protopektin tersebut mudah terlepas dan larut dalam air (Jariyah, et
al., 2015). Proses pelarutan protopektin menjadi pektin terjadi karena adanya
penggantian ion kalsium dan magnesium oleh ion hidrogen ataupun karena putusnya
ikatan antara pektin dan selulosa. Semakin tinggi konsentrasi ion hidrogen (pH)
makin rendah kemampuan menggantikan ion kalsium dan magnesium ataupun
memutus ikatan dengan selulosa akan semakin tinggi pula dan pektin yang larut akan
bertambah (Hanum, et al., 2012).

2.2 KARAKTERISTIK PEKTIN


Pektin adalah zat yang berbentuk padatan yang berwarna putih kecoklatan. Sifat
fisika lainnya seperti kelarutan, viscositas, dan kemampuan membentuk gel
tergantung dari karakteristik kimia pektin itu sendiri seperti kadar metoksil, derajat
esterifikasi dan berat molekul (Prasetyowati, 2009).
Berikut adalah standar mutu pektin berdasarkan standar mutu International
Pectin Producers Association (2003).
Tabel 2.1 Standar Mutu Pektin
Faktor Mutu Kandungan
Kandungan metoksil :
 Pektin metoksil tinggi > 7,12%
 Pektin bermetoksil rendah 2,5 - 7,12%
Kadar asam galakturonat > 65%
Kadar abu < 10%
Kadar air < 12%
Derajat esterifikasi untuk :
 Pektin ester tinggi > 50%
 Pektin ester rendah < 50%
Berat Ekivalen 600 – 800 mg
(Sufy, 2015)

8
Universitas Sumatera Utara
Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin Producers
Association (IPPA). Kondisi ekstraksi pektin berpengaruh terhadap karakteristik
pektin dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin.

2.2.1 Kadar Air


Kadar air menyatakan banyaknya air yang terdapat dalam pektin. Kadar air
bahan berpengaruh terhadap masa simpan. Kadar air yang tinggi menyebabkan
kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Sulihono, et al., 2012). Peningkatan kadar air
pektin seiring dengan meningkatnya suhu ekstraksi, karena dengan rendemen tinggi
kadar air masih banyak tersisa pada bahan. Kadar air yang dihasilkan dapat
dipengaruhi oleh rendemen pektin (Jariyah, et al., 2015). Semakin kecil kadar air
maka kualitas pektin semakin baik.

2.2.2 Kadar Abu


Abu merupakan bahan anorganik yang terdapat dalam residu atau sisa
pembakaran bahan organik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin,
jika kadar abu dalam pektin tinggi, maka presentase kandungan pektin yang terdapat
didalamnya semakin rendah (Jariyah, et al., 2015).

2.2.3 Berat Ekivalen


Berat ekivalen merupakan kandungan gugus asam galakturonat bebas yang
tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat
pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus
metil ester atau tidak mengalami esterifikasi (Sufy, 2015). Nilai berat ekivalen ini
ditentukan berdasarkan reaksi penyabunan gugus karboksil oleh NaOH. Banyaknya
volume NaOH yang digunakan dalam analisa berbanding terbalik dengan nilai berat
ekivalen. Semakin besar volume NaOH yang digunakan maka semakin kecil berat
ekivalen yang akan didapat sehingga jumlah gugus karboksil yang tak teresterifikasi
semakin banyak. Semakin kecil berat ekivalen maka akan semakin besar kadar
metoksil pektin (Sulihono, et al., 2012).

2.2.4 Kadar Metoksil


Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di dalam
pektin yang dapat menentukan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi
struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Sufy, 2015).

9
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Tabel Karakteristik Kandungan Metoksil
Kandungan
Karakteristik
Metoksil
Derajat esterifikasi >50%
Kadar metoksil >7%
Tinggi Dapat membentuk gel pada rentang pH=1 hingga 3,5 dan
penambahan gula 55-85%
Suhu pembentukan gel sekitar 88°C
Derajat esterifikasi <50%
Kadar metoksil <7%
Rendah Dapat membentuk gel pada rentang pH=1 hingga 7 atau
lebih, terdapat ion kalsium dan penambahan gula 0-85%
Suhu pembentukan gel sekitar 54°C
(Widiastuti, 2015)
Derajat esterifikasi menunjukkan persentase jumlah residu asam D-
galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi oleh etanol (Maryati, et al.,
2018). Pektin bersifat mudah menjadi jelly kalau ditambahkan air dan gula dalam
keadaan asam. Sifat mudah menjadi jelly ini sangat tergantung pada jumlah gugus
metoksil dalam molekulnya. Makin tinggi kadar metoksil maka makin cepat pektin
menjadi jelly (Zahrotun, et al., 2013).

2.2.5 Kadar Asam Galakturonat


Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting
dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kecenderungan kadar
galakturonat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan bertambahnya waktu
karena reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin yang komponen dasarnya asam
D-galakturonat (Ristianingsih, et al., 2014). Salah satu yang menentukan mutu pektin
adalah kadar galakturonat. Semakin tinggi kadar galakturonat maka mutu pektin
semakin tinggi pula (Nurviani, et al., 2014).

2.3 KULIT JERUK (Citrus sinensis)


Indonesia terdapat berbagai macam varietas jeruk. Keragaman jeruk sangat
tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya anggota pada marga Citrus. Meskipun
demikian, yang dianggap sebagai jeruk yang asli hanya 3 kelompok yaitu mandarin,
jeruk besar dan sitron, sedangkan yang lainnya hasil persilangan dari ketiga
kelompok tersebut. Kelompok mandarin sendiri terdiri dari banyak spesies yang
secara fenotipik berbeda jauh (Suryaningtyas, 2014).

10
Universitas Sumatera Utara
Citrus sinensis, juga dikenal sebagai jeruk manis, dikonsumsi tidak hanya
sebagai buah tetapi juga sebagai ramuan obat di beberapa negara. Citrus sinensis
bagian keluarga Rutaceae dan didistribusikan secara luas di daerah tropis dan
subtropis (Liew, et al., 2018).
Kedudukan taksonomi tanaman jeruk manis sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae ( biji berkeping dua)
Bangsa : Rutales
Famili : Rutaceae
Marga : Citrus
Jenis : Citrus sinensis
Jeruk manis (Citrus sinensis), yang mempunyai ciri tanaman perdu dengan
ketinggian 3- 10 meter, ranting berduri; duri pendek berbentuk paku. Tangkai daun
panjang 0,5 – 3,5 cm. helaian daun bulat telur, elliptis atau memanjang, dengan
ujung tumpul atau meruncing tumpul. Mahkota bunga putih atau putih kekuningan.
Buah bentuk bola, atau bentuk bola tertekan berwarna kuning, oranye atau hijau
dengan kuning. Daging buah kuning muda, oranye kuning atau kemerah-merahan
dengan gelembung yang bersatu dengan yang lain (Suryaningtyas, 2014).
Buah jeruk biasanya diproses menjadi jus dan sekitar 45 hingga 60% dari berat
buahnya dibuang sebagai limbah yang terdiri dari kulit, membran, vesikula jus dan
biji (Putnik, et al., 2017). Kulit jeruk menawarkan potensi besar untuk dieksploitasi
sebagai produk bernilai tambah, termasuk untuk pemulihan antioksidan alami,
pektin, enzim atau untuk produksi etanol, asam organik, minyak esensial dan
prebiotik protein sel tunggal. Selain itu, kulit C. sinensis adalah sumber yang kaya
vitamin C, serat, dan banyak nutrisi, termasuk fenolik dan flavonoid.
Kulit dibagi menjadi dua bagian utama, epicarp dan mesocarp. Epicarp adalah
permukaan perifer yang berwarna, sebagian besar terbuat dari sel parenkim dan
kutikula. Ini ditutupi dengan epidermis lilin epikutikular dengan banyak kelenjar
minyak aromatik kecil yang memberikan bau khusus. Mesocarp adalah lapisan
tengah lunak yang terletak di bawah epicarp. Ini terdiri dari sel-sel seperti tubular

11
Universitas Sumatera Utara
yang menghubungkan bersama untuk menciptakan massa jaringan yang dikompresi
ke dalam area interseluler. Kulit C. sinensis telah digunakan sebagai obat tradisional
di bagian dunia tertentu untuk menghilangkan ketidaknyamanan perut, peradangan
kulit, infeksi kurap, membantu dalam pelindung saraf, dan meningkatkan kesehatan
jantung (Liew, et al., 2018). Struktur jeruk ditunjukkan pada gambar 2.2 berikut.

Biji
Flavedo
Kelenjar
minyak
Pigmen Pulp
Pigmen Albedo
Gula Selulosa
Asam Pektin
Hemiselulosa

Gambar 2.2 Anatomi Buah Jeruk (Rafiq, et al., 2016)

2.4 METODE EKSTRAKSI GELOMBANG ULTRASONIK


2.4.1 Gelombang Ultrasonik
Gelombang ultrasonik adalah gelombang bunyi dengan frekuensi yang lebih
besar dari batas frekuensi tertinggi yang bisa didengar oleh telinga manusia yaitu
lebih besar dari 20 KHz. Gelombang ultrasonik merupakan gelombang longitudinal
yaitu gelombang yang terjadi karena perapatan dan perenggangan partikel-partikel
dalam medium yang dilaluinya diakibatkan oleh gangguan dari benda yang bergetar.
Dapat pula dikatakan, gelombang ultrasonik adalah gelombang bunyi yang terjadi
karena adanya getaran dari partikel zat padat, zat cair atau juga gas yang dilaluinya.
Partikel-partikel tersebut bergetar disekitar titik setimbangnya sehingga ikut
menggetarkan partikel-partikel yang disebut kavitasi.
Selama proses sonikasi, gelombang longitudinal dibuat ketika gelombang sonik
bertemu dengan media cair, sehingga menciptakan daerah kompresi dan ekspansi
bergantian. Daerah-daerah perubahan tekanan ini menyebabkan kavitasi terjadi, dan
gelembung-gelembung gas terbentuk dalam medium. Gelembung-gelembung ini
memiliki area permukaan yang lebih besar selama siklus ekspansi, yang
meningkatkan difusi gas, menyebabkan gelembung mengembang (Dolatowski, et al.,
2007).

12
Universitas Sumatera Utara
Berikut skema prinsip kavitasi akustik dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.
Kompresi Kompresi Kompresi
Tekanan

Pembentukan
gelembung Memperbanyak Ukuran tidak
stabil Suhu dan tekanan
maksimum

Rarefraksi Rarefraksi

Waktu
Gambar 2.3 Prinsip Kavitasi Akustik
(Soria dan Villamiel, 2010 dalam Torres, et al., 2017)

Saat cairan memadat dan membentang, gelembung kavitasi dapat berperilaku


dalam dua cara. Pertama, disebut kavitasi stabil, gelembung terbentuk pada intensitas
ultrasonik yang cukup rendah (1-3 Wcm-2) berosilasi menjadi beberapa ukuran
keseimbangan untuk banyak siklus akustik. Kedua, disebut kavitasi sementara,
gelembung dibentuk menggunakan intensitas suara lebih dari 10 Wcm-2. Gelembung
transien meluas melalui beberapa siklus akustik ke radius setidaknya dua kali ukuran
awal mereka, sebelum runtuh dengan keras pada kompresi (Santos, et al., 2009).
Berikut representasi grafis dari kavitasi-gelembung rusak dan melepaskan
bahan tanaman dapat dilihat pada gambar 2.4.

Dinding sel Komponen Gangguan sel Gangguan sel Pembebasan


komponen

Gelembung Pelarut masuk


Gelembung
Gelembung
hancur

(a) (b) (c)


Gambar 2.4 Representasi Grafis dari Kavitasi-Gelembung Runtuh dan Melepaskan
Bahan Tanaman dalam Tiga Langkah. (a) Representasi Gelembung dan
Sel Tanaman, (b) Kerusakan Dinding Sel dan Keruntuhan Gelembung,
Akhirnya (c) Difusi Pelarut Melalui Gangguan Seluler dan Pelepasan
Senyawa (Shirsath, et al., 2012 dalam Torres, et al., 2017).

13
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, beberapa mekanisme yang terlibat dalam ekstraksi ultrasonik
telah diidentifikasi. Salah satu posisi mekanisme adalah fragmentasi yang dikaitkan
dengan tumbukan antara partikel dan gelombang ultrasonik, yang menyebabkan
pengurangan ukuran partikel, sehingga memudahkan perpindahan massa. Lainnya
adalah erosi yang membantu meningkatkan aksesibilitas pelarut dengan
menanamkan gelembung pada permukaan matriks tanaman. Sono-kapilaritas dan
sonoporasi, mampu meningkatkan penetrasi cairan melalui saluran yang dihasilkan
oleh gelembung ledakan dan perubahan permeabilitas membran sel, masing-masing.
Akhirnya, mekanisme tegangan semata-mata menghasilkan runtuhnya gelembung
kavitasi ke dalam cairan, karena fenomena osilasi (Torres, et al., 2017).
Kavitasi ultrasonik adalah fenomena fisik yang kinerjanya tergantung pada
parameter yang dijelaskan di bawah sebagai berikut.
a. Frekuensi
Pada frekuensi sonik yang tinggi, dalam satuan MHz, produksi kavitasi
gelembung menjadi lebih sulit dari pada frekuensi sonik rendah yaitu satuan kHzt.
Untuk mencapai kavitasi, dengan meningkatnya frekuensi sonik, sehingga intensitas
yang diterapkan terdengar harus ditingkatkan, untuk memastikan bahwa kekuatan
kohesif dari media cair.
b. Intensitas
Intensitas sonkasi sebanding dengan amplitudo getaran sumber ultrasonik, dengan
demikian kenaikan dalam amplitudo getaran akan menyebabkan peningkatan
intensitas getaran dan peningkatan efek sonochemistry. Untuk mencapai ambang
kavitasi intensitas minimum diperlukan. Ini berarti bahwa amplitudo yang lebih
tinggi tidak selalu diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Selain itu,
amplitude yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan yang cepat dari tranduser
ultrasonik, sehingga agitasi cair bukannya kavitasi dan dalam transmisi yang kecil
dari ultrasonik melalui media cair. Namun, amplitudo harus meningkat ketika
bekerja dengan sampel viskositas tinggi.
c. Pelarut
Pelarut yang digunakan untuk melakukan preparasi sampel dengan ultrasonikasi
harus dipilih dengan hati-hati. Sebagai aturan umum, sebagian besar aplikasi
dilakukan di dalam air. Namun, ada beberapa cairan polar, seperti beberapa organik,

14
Universitas Sumatera Utara
dapat juga digunakan, tergantung pada tujuan yang diinginkan. Kedua viskositas
pelarut dan tegangan permukaan diharapkan untuk menghambat kavitasi. Semakin
tinggi kekuatan kohesif alami bertindak dalam cairan (misalnya, tinggi viskositas dan
tegangan permukaan tinggi) semakin sulit untuk mencapai kavitasi.
d. Temperatur
Suhu pelarut memainkan dua peranan dalam ultrasonifikasi. Dalam satu sisi,
penggunaan suhu tinggi membantu untuk mengacaukan interaksi zat terlarut matriks
yang kuat, ikatan hidrogen dan atraksi dipol antara molekul zat terlarut dan situs aktif
pada matriks. Selain itu, tingkat difusi lebih cepat terjadi pada lebih tinggi. Disisi
lain, kavitasi lebih baik dicapai pada suhu yang lebih rendah. Hal ini karena sebagai
suhu pelarut naik menyebabkan tekanan uap dan pelarut mengisi gelembung kavitasi,
yang kemudian cenderung runtuh karena efek sonifikasi yang kurang intens.
(Armanda, 2018)

2.4.2 Ektraksi Pektin


Ekstraksi adalah proses yang paling penting dalam produksi pektin. Zat pektik
biasanya diekstraksi dengan bahan kimia atau metode enzimatik, dengan proses fisik
dan kimia beberapa tahap, di mana melibatkan hidrolisis, ekstraksi dan pelarutan
makromolekul. Ekstraksi dengan air panas adalah yang paling sederhana dan metode
tertua untuk pemulihan zat pektis dari jaringan tanaman. Ekstraksi pektin melibatkan
hidrolisis protopektin yang tidak larut ke dalam pektin terlarut (Panchami dan
Gunasekaran, 2017).
Metode ekstraksi akan bervariasi berdasarkan keadaan sebenarnya untuk setiap
jenis tanaman tertentu. Misalnya, protopektin dibawa ke dalam larutan dengan asam
encer yang panas. Susunan umum kandungan pektin bervariasi dengan pematangan
tanaman dan cukup mudah dibawa ke dalam larutan tergantung pada jenis tanaman
(Girma dan Worku, 2016).
Kondisi ekstraksi pektin berpengaruh terhadap karaktistik pektin dan sifat fisik
pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin (Wusnah, et al., 2015). Pektin dapat
larut dalam beberapa macam pelarut seperti air, beberapa senyawa organik, senyawa
alkalis dan asam. Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang
disebabkan oleh proses hidrolisis protopektin. Proses tersebut menyebabkan

15
Universitas Sumatera Utara
protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam
asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan
senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat. Berikut skema perubahan
protopektin menjadi pektin dan asam pektat dapat dilihat pada gambar 2.5.

Protopektin Pektin
Hidrolisis
Basa Hidrolisis
Asam Pektat
Gambar 2.5 Skema Perubahan Protopektin Menjadi Pektin dan Asam Pektat
(Tuhuloula, et al., 2013)
Ekstraksi dengan bantuan ultrasound adalah proses yang menggunakan energi
akustik dan pelarut untuk mengekstrak senyawa target dari berbagai matriks
tanaman. Peningkatan transfer massa dibawa oleh kavitasi akustik yang diinduksi
dalam media cair, yang merupakan salah satu efek menguntungkan dari teknologi ini.
Seperti halnya pektin yang merupakan serat larut, yang terdapat di dinding sel
tumbuhan, kavitasi dan gangguan sel yang disebabkan oleh gelombang ultrasound
dapat meningkatkan transfer massa dari matriks padat ke pelarut meningkatkan
ekstraksi pektin (Oliveira, et al., 2016).
Cara kerja metode ultrasonik dalam mengekstraksi adalah sebagai berikut :
gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrason secara lokal dari kavitasi
mikro yaitu pembentukan banyak gelembung uap air pada sekeliling bahan yang
akan diekstraksi sehingga terjadi pemanasan pada bahan tersebut, yang pada
akhirnya akan melepaskan senyawa ekstrak. Terdapat efek ganda yang dihasilkan,
yaitu pengacauan dinding sel sehingga membebaskan kandungan senyawa yang ada
di dalamnya dan pemanasan lokal pada cairan dan meningkatkan difusi ekstrak.
Energi kinetik dilewatkan ke seluruh bagian cairan, diikuti dengan munculnya
gelembung kavitasi pada dinding atau permukaan sehingga meningkatkan transfer
massa antara permukaan padat cair. Efek mekanik yang ditimbulkan adalah
meningkatkan penetrasi dari cairan menuju dinding membran sel, mendukung
pelepasan komponen sel, dan meningkatkan transfer massa. Kavitasi ultrasonik
menghasilkan daya patah yang akan memecah dinding sel secara mekanis dan
meningkatkan transfer material (Adhiksana, 2017).

16
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi Pektin
Faktor yang mempengaruhi ekstraksi dan karakterisasi pektin yaitu :
1) Suhu
Ekstraksi pektin biasa dilakukan dengan cara memanaskan bahan pada suhu
tertentu. Pektin akan terekstrak optimal dengan adanya kenaikan suhu karena suhu
akan meningkatkan kelarutan pektin (Nurhayati, et al., 2016). Menurut Susanti, et al.,
(2017) semakin meningkatnya suhu operasi menjadikan reaksi yang terjadi berjalan
semakin cepat. Hal ini membuat molekul hidrolitik pada ikatan rantai galakturonan
menjadi lebih cepat terlepas.
2) Pelarut
Ekstraksi pektin dengan menggunakan pelarut asam merupakan cara ekstraksi
yang umum digunakan karena kemungkinan terjadi kerusakan pektin lebih sedikit.
Guna memperoleh hasil ekstraksi yang optimal diperlukan pengaturan tingkat
keasaman (pH), suhu dan lama hidrolisis. Tingkat keasaman (pH) ekstraksi pektin
juga perlu diatur (Ristianingsih, et al., 2014).
3) Waktu ekstraksi
Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya hidrolisis
pektin menjadi asam galakturonat (Wusnah, et al., 2015). Kontak antar bahan dengan
pelarut berlangsung lama sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada
pelarut untuk menghidrolisis protopektin (Susanti, et al., 2017).
4) pH
Semakin kuat tingkat keasaman suatu pelarut maka terjadinya degradasi yang
menyebabkan rusaknya reaksi menjadi lebih cepat (Susanti, et al., 2017). Secara
komersial, pektin yang diekstrak dari bahan baku dengan asam mineral encer panas
pada pH sekitar 2 (Hastuti, 2016).
5) Pemisahan pelarut
Pengendapan merupakan proses pemisahan pektin dari larutan dengan cara
pengendapan senyawa pektinnya. Biasanya dilakukan dengan spray drying, salting
out dan dengan penambahan bahan pelarut organik seperti alkohol dan aseton
(Triandini, et al., 2014). Semakin tinggi konsentrasi pengendap dan lama
pengendapan maka semakin besar nilai rendemen pektin yang dihasilkan
(Lumbantoruan, et al., 2014).

17
Universitas Sumatera Utara
2.5 ASAM SULFAT (H2SO4)
Pektin dalam jaringan tanaman terdapat sebagai protopektin yang tidak larut
dalam air. Oleh karena itu dilakukan hidrolisis protopektin menjadi pektin yang larut
dalam air menggunakan pelarut asam dalam ekstraksi pektin (Susanti, et al., 2017).
Asam sulfat (H2SO4) merupakan salah satu bahan penunjang yang sangat
penting dan banyak dibutuhkan industri kimia, antara lain untuk industri pupuk
(pembuatan super fosfat, ammonium sulfat), pengolahan minyak bumi, farmasi,
kertas dan pulp.
Asam sulfat (H2SO4) merupakan cairan yang bersifat korosif, tidak berwarna,
tidak berbau, sangat reaktif dan mampu melarutkan berbagai logam. Bahan kimia ini
dapat larut dengan air dengan segala perbandingan, mempunyai titik lebur 10,31 oC
dan titik didih pada 336,85oC tergantung kepekatan serta pada temperatur 300oC atau
lebih terdekomposisi menghasilkan sulfur trioksida (Lutfiati, 2008).
Tabel 2.3 Sifat Fisika dan Kimia H2SO4 (Asam Sulfat)
No. Sifat Fisika Sifat Kimia
1. Berat molekul : 98,08 g/mol Bersifat korosif
2. Titik didih : 337 oC Bersifat toksik
3. Titik leleh : 10 oC Mudah terbakar
4. Densitas : 1,84 gr/cm3 Larut dalam air dingin dan
etil alkohol.
5. Viskositas : 26,7 cP Berbahaya bagi pernapasan
(ScienceLab, 2013)

2.6 ETANOL (C2H5OH)


Etanol adalah suatu cairan transparan, udah terbakar, tidak berwarna, mudah
menguap, dengan rumus kimia C2H5OH, dapat bercampur dengan air, eter, dan
kloroform, diperoleh melalui fermentasi karbohidrat dari ragi yang disebut juga
dengan etil alkohol (Bender dan Dickie, 1982 dalam Aziz, et al., 2018). Etanol
(C2H5OH) termasuk kelompok hidroksil yang memberikan polaritas pada molekul
dan mengakibatkan meningkatnya ikatan hidrogen intermolekuler. Etanol digunakan
pada berbagai produk meliputi campuran bahan bakar, produk minuman, penambah
rasa, industri farmasi, dan bahan-bahan kimia.
Sifat-sifat fisis etanol yaitu rumus molekul C2H5OH, berat molekul 46,07
gram/mol, titik didih pada 1 atm 78.4°C, titik beku -112°C, berbentuk cair dan tidak

18
Universitas Sumatera Utara
berwarna serta spesifik gravity 0,786 pada 20°C (Perry dan Green, 1997 dalam Aziz,
et al., 2018). Sifat-sifat kimia etanol bersifat hidrofob, rantai karbon cukup panjang,
untuk minuman diperoleh dari peragian karbohidrat (Vogel, 1985 dalam Aziz, et al.,
2018).
Etanol umumnya dalam proses sintesa pektin sebagai larutan penggumpal dan
pencuci agar dapat dipisahkan antara pektin dan pelarutnya serta larutan tambahan
untuk menaikkan pH dari pektin yang asam karena pelarutnya (Aziz, et al., 2018).

2.7 APLIKASI PEKTIN SEBAGAI PENGENTAL GETAH KARET


2.7.1 Getah Karet (Lateks)
Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas yang banyak
dikembangkan di dunia terutama oleh negara-negara produsen karet alam terbesar
diantaranya Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Tujuan utama dari pengembangan
karet alam adalah memroduksi lateks dan bekuannya. Lateks dan bekuannya
merupakan bahan baku utama bagi industri berbasis pertanian untuk memroduksi
produk berbahan dasar karet seperti ban, sepatu karet, sarung tangan karet, balon,
dan produk-produk karet lainnya (Wiyanto dan Kusnadi, 2013).
Lateks yang berasal dari pohon Hevea brasiliensis terdiri dari satu suspensi
koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terkandung didalamnya. Bagian-bagian
yang terkandung tersebut tidak larut sempurna melainkan terpencar homogen atau
merata di dalam air. Partikel-partikel koloidal ini sedemikian kecil dan halus
sehingga dapat menembus saringan. Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua
komponen. Komponen pertama adalah bagian yang mendispersikan atau
memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata yang disebut dengan
serum yang mengandung bagian-bagian bukan karet yang melarut dalam air seperti
protein, garam-garam mineral, enzim-enzim. Komponen kedua adalah bagian yang
didispersikan atau dipencarkan yang terdiri dari butir-butir yang dikelilingi lapisan
tipis protein. Lateks yang terdiri dari 2 bahan utama yaitu partikel-partikel karet
(rubber particle) dan bahan bukan karet (non rubber). Sebelum tercampur atau
terkontaminasi dengan bahan-bahan lain latek itu mempunyai pH normal yaitu ± pH
: 6,9-7,0 cair dan bersifat koloid dan stabil (Praharnata, 2016). Berikut adalah
komposisi lateks segar yang disajikan pada tabel 2.4.

19
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Komposisi Lateks Segar
Kandungan Kadar (%)
Karet (Cis 1,4-poliisoprene) 25,0 – 40,0
Karbohidrat 1,0 – 2,0
Protein dan senyawa nitrogen 1,0 – 1,5
Lipid 1,0 – 1,5
Senyawa anorganik 0,1 – 1,5
Air 60 – 75
(Purbaya, et al., 2011)

2.7.2 Pengentalan Karet


Tanaman karet memiliki peranan yang besar dalam kehidupan perekonomian
Indonesia. Banyak masyarakat yang hidup dengan mengandalkan perkebunan karet
sebagai komoditas usahanya dan khususnya bagi mereka yang tinggal di pedesaan.
Dalam tahap awal, petani karet biasanya melakukan pengolahan lateks secara
sederhana sebelum dijual ke pengumpul (pabrik karet), adapun pengolahan yang
dilakukan adalah dengan melakukan prakoagulasi pada lateks sehingga menjadi
berbentuk padatan dengan menggunakan koagulan yang lazim digunakan oleh
masyarakat (Praharnata, 2016).
Penggumpalan adalah peristiwa perubahan fase sol menjadi fase gel dengan
bantuan bahan penggumpal yang biasa disebut dengan koagulan. Lateks akan
menggumpal jika muatan listrik diturunkan (dehidratasi), pH lateks diturunkan
(penambahan asam H+) dan penambahan elektrolit. Penurunan pH lateks dapat
terjadi baik secara alami maupun disengaja atau adanya perlakuan khusus pada lateks
seperti penambahan bahan penggumpal (Purbaya, et al., 2011).
Perubahan fasa pada penggumpalan karet dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut.

Gambar 2.6 Perubahan Fasa pada Penggumpalan Karet


(Barney, 1973 dalam Suwardin dan Purbaya, 2015)

20
Universitas Sumatera Utara
Penambahan pektin pada proses pengentalan karet dapat menurunkan pH
karena pektin bersifat asam dengan adanya gugus karboksilat. Pektin akan
terhidrolisis menghasilkan asam pektat dan asam pektinat. Semakin tinggi
penambahan pektin maka pH semakin menurun (Shahidi dan Marian 1995 dalam
Amelia, et al., 2016). Apabila lateks ditambahkan dengan asam akan terjadi
penurunan pH sampai pada titik isoelektrik sehingga partikel karet menjadi tidak
bermuatan. Protein pada lateks yang kehilangan muatan akan mengalami denaturasi
sehingga selubung protein yang berfungsi melindungi partikel karet akan terjadi
tumbukan yang menyebabkan terjadinya koagulasi (Arta Sihombing, 2010 dalam
Laoli, et al., 2013). Pengaruh perubahan pH lateks tehadap penggumpalan dapat
dilihat pada gambar 2.7 berikut.

Gambar 2.7 Pengaruh Perubahan pH Lateks Tehadap Penggumpalan


(Barney, 1973 dalam Suwardin dan Purbaya, 2015)

21
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia dan
Laboratorium Kimia Organik, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 BAHAN DAN ALAT


3.2.1 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Kulit jeruk (Citrus sinensis)
2. Asam sulfat (H2SO4)
3. Asam klorida (HCl)
4. Etanol 96% (C2H6O)
5. Aquadest (H2O)
6. Natrium klorida (NaCl)
7. Natrium hidroksida (NaOH)
8. Indikator Phenolphtalein

3.2.2 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Ultrasonic bath 11. Batang pengaduk
2. Erlenmeyer 12. Aluminium foil
3. Beaker glass 13. Oven
4. Termometer 14. Cawan porselen
5. pH meter 15. Furnace
6. Neraca analitik 16. Desikator
7. Statif dan klem 17. Pipet tetes
8. Buret 18. Kertas saring
9. Gelas ukur 19. Tabung reaksi
10. Corong gelas

22
Universitas Sumatera Utara
3.3 PROSEDUR PENELITIAN
3.3.1 Produksi Pektin
1) Persiapan Bahan Baku
Kulit jeruk dicuci untuk menghilangkan kotoran kemudian dipotong dengan
ukuran ± 0,5 cm untuk memudahkan proses penghancuran bahan menggunakan
blender. Kulit jeruk dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60 oC untuk mengurangi
kandungan airnya, kemudian dihancurkan lagi hingga menjadi serbuk.
2) Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk
Serbuk kulit jeruk yang dihasilkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 25
gram, kemudian ditambahkan larutan asam sulfat (H2SO4) 0,050 N sebanyak 750 ml.
Campuran kemudian dipanaskan di dalam alat Ultrasonic Bath yang diisi air pada
suhu 70oC, selama 30 menit. Perhitungan waktu ekstraksi dimulai saat tercapainya
kondisi operasi percobaan. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan
kertas saring dan filtrat diambil. Filtrat ini disebut filtrat pektin.

Elma
S 300
Elmasonic

Ultrasonic bath

Turn on temp

Turn on timer

Turn on

Turn on

(a)

Termometer

P-136
Erlenmeyer

(b)
Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Ekstraksi dengan Ultrasonic Bath (a) Bagian Luar
dan (b) Bagian Dalam

23
Universitas Sumatera Utara
3) Pengendapan Pektin
Filtrat hasil ekstraksi yang telah dingin diendapkan menggunakan etanol
dengan variasi konsentrasi 75%, 85% dan 95% dengan perbandingan volume 1:1
kemudian didiamkan dengan variasi waktu 14 jam, 16 jam, 18 jam dan 20 jam.
Endapan pektin yang terbentuk dipisahkan dari filtratnya menggunakan kertas saring.
4) Pencucian Pektin
Endapan pektin yang terbentuk dicuci dengan etanol 96% sambil dilakukan
pengadukan. Pemisahan endapan pektin dengan etanol 96% bekas pencucian
dilakukan menggunakan kertas saring. Hal ini dilakukan beberapa kali hingga pektin
bebas asam (tanda tidak lagi bereaksi dengan asam adalah ketika air bekas pencucian
pektin berwarna merah bila ditetesi phenolftalein) (Rosalina, et al., 2017).
5) Pengeringan Pektin
Pektin basah hasil pengendapan yang telah dicuci dan bebas asam selanjutnya
dikeringkan dalam oven pada temperatur 50oC hingga berat konstan. Gel pektin yang
telah kering kemudian ditimbang dan beratnya dicatat.

3.3.2 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi


1) Perhitungan Persen Rendemen (Yield)
Rendemen pektin dihitung dengan mengukur persentase pektin yang dihasilkan
setelah proses pengeringan pektin basah hasil pengendapan.
Yield pektin dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
P
Yield (%) = x 100% (3.1)
Bi

Dimana : P = jumlah pektin yang dihasilkan (g)


Bi = jumlah serbuk kulit jeruk (25 g)
(Devi, et al., 2014)
2) Kadar Air
Sampel pektin 0,2 gram (wa) dalam cawan porselen dikeringkan dalam oven
pada suhu 100oC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan
wa -wb
ditimbang (wb). % Kadar Air = x 100% (3.2)
wa

Dimana : wa = bobot sebelum dikeringkan (g)


wb = bobot setelah dikeringkan (g)
(Devi, et al., 2014)

24
Universitas Sumatera Utara
3) Kadar Abu
1. Cawan porselin dikeringkan dalam furnace pada suhu 600 oC
2. Cawan kosong didinginkan dalam desikator dan ditimbang pada neraca
analitik (W1)
3. Sampel ditimbang sebanyak 0,2 gram, dimasukkan ke dalam cawan
4. Cawan yang berisi sampel ditimbang lagi (W2)
5. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam furnace pada suhu 600oC
selama 3 jam
6. Setelah 3 jam, cawan yang berisi abu didinginkan di dalam desikator.
7. Setelah dingin, cawan yang berisikan abu ditimbang sampai beratnya
konstan untuk mendapatkan W3
8. Data yang diperoleh dihitung dengan rumus :
W3  W1
% Kadar abu  x 100% (3.3)
W2  W1
(Sufy, 2015)

4) Berat Ekivalen
Pektin sebanyak 0,5 gram dibasahi dengan 5 ml etanol dan dilarutkan dalam
100 ml aquadest yang ditambahkan 1 gram NaCl. Larutan hasil campuran tersebut
dititrasi perlahan-lahan dengan 0,1N NaOH memakai indikator phenolptalein sampai
terjadi perubahan menjadi merah rosa (pH 7,5) yang bertahan selama 30 detik.
Berat sampel (mg)
Berat Ekivalen (mg)  x 100% (3.4)
ml NaOH x N NaOH
(Devi, et al., 2014)
5) Kadar Metoksil dan Kadar Galakturonat
Pektin kering yang diperoleh dianalisis kandungan metoksil dan
galakturonatnya. Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan penambahan 25 ml
0,25 N NaOH, diaduk dan dibiarkan selama 30 menit pada temperatur kamar dalam
keadaan tertutup. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan 0,25 N HCl dan dititrasi
dengan 0,1 N NaOH dengan indikator phenolptalein sampai terjadi perubahan
menjadi merah rosa dan kadar galakturonat dapat dihitung dari miliekivalen NaOH
yang diperoleh dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil. Kadar
metoksil dan galakturonat dapat dihitung dengan persamaan berikut :

25
Universitas Sumatera Utara
ml NaOH x 31 x N NaOH x 100
Kadar Metoksil (%)  (3.5)
Berat Sampel (mg)
Keterangan : Nilai 31 adalah bobot molekul metoksil yang berupa CH3O.
176 x 0,1z x 100 176 x 0,1y x 100
Kadar Galakturonat (%)   (3.6)
Berat Sampel (mg) Berat Sampel (mg)
Keterangan :
z : ml (titer) NaOH dari penentuan berat ekivalen.
y : ml (titer) NaOH dari penentuan kadar metoksil.
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat
(Devi, et al., 2014)

6) Derajar Esterifikasi
Derajat esterifikasi ini diperoleh dari perbandingan antara kadar metoksil
dengan kadar galakturonat.
176 x % metoksil
Derajat Esterifikasi (%)  x 100% (3.7)
31 x % galakturon at

(Sufy, 2015)

3.3.3 Pengentalan Karet


Pektin yang diperoleh kemudian diaplikasikan untuk proses pengentalan karet.
Getah karet 5 ml dicampur dengan pektin dengan perbandingan berat pektin (gr) dan
volume getah karet (ml) adalah sebagai berikut: 1:25; 2:25; 3:25; 4:25 dan 5:25.
Waktu dihitung mulai dari pencampuran sampai terjadi pengentalan pada karet.

26
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 EKTRAKSI PEKTIN


Pada penelitian ini ekstraksi pektin dari kulit jeruk (Citrus sinensis) dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik pada suhu 700C, waktu ekstraksi 30 menit dan
menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4) 0,05N.
Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh
proses hidrolisis protopektin. Proses tersebut menyebabkan protopektin berubah
menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama
ekstraksi tertentu (Tuhuloula, 2013). Suhu dan waktu ekstraksi dalam penelitian ini
ditetapkan dengan pendekatan berdasarkan penelitian Chua, et al., (2018)
menyatakan bahwa kondisi operasi pada ektraksi pektin yang optimum dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik yaitu pada suhu 71,8 oC dan waktu ektraksi 25
menit.
Ektraksi pektin kulit jeruk dalam percobaan ini dilakukan dengan sumber
pemanas gelombang ultrasonik berfrekuensi 37 kHz dari Elmasonic S 300 H. Pada
metode konvensional energi panas akan bergerak dari arah luar ke dalam bahan
ekstrak. Sedangkan dengan ultrasonik, memanfaatkan peristiwa kavitasi dalam
proses sehingga bisa mempercepat proses ektraksi sehingga waktu ektraksi lebih
singkat.
Secara prinsip gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrasonik
secara lokal dan kavitasi mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga
terjadi pemanasan pada bahan tersebut, yang mengakibatkan terlepasnya senyawa
ekstrak. Terdapat efek ganda yang dihasilkan, yaitu pengacauan dinding sel sehingga
membebaskan kandungan senyawa yang ada di dalamnya dan pemanasan lokal pada
cairan yang meningkatkan difusi ekstrak. Energi kinetik dilewatkan ke seluruh
bagian cairan, diikuti dengan munculnya gelembung kavitasi pada dinding atau
permukaan sehingga meningkatkan transfer massa antara permukaan padat-cair. Efek
mekanik yang ditimbulkan adalah meningkatkan penetrasi dari cairan menuju
dinding membran sel, mendukung pelepasan komponen sel dan meningkatkan
transfer massa (Liu, 2010 dalam Adhiksana, 2017).

27
Universitas Sumatera Utara
Jenis pelarut yang dipilih pada percobaan adalah larutan asam. Asam adalah
agen pengekstrak pektin terkuat karena memungkinkan ekstraksi pektin yang tidak
larut yang terikat erat dengan sel matriks bahan tanaman dan menghasilkan hasil
yang lebih tinggi. Pektin umumnya diperkaya dalam asam galakturonat. Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa efek dari kekuatan ekstraktan asam pada hasil
karakteristik pektin. Telah ditemukan bahwa peningkatan kekuatan asam (yaitu,
penurunan pH) memainkan peran penting dalam meningkatkan kandungan asam
galakturonat. Selanjutnya, jenis asam dan konsentrasi mempengaruhi hasil, sifat
fisiokimia dan fungsional pektin (Sandarani, 2017).
H2SO4 merupakan pelarut yang kuat menghidrolisis protopektin. Hal ini juga
dimungkinkan karena waktu ekstraksi yang singkat yaitu 30 menit maka sifat panas
pada H2SO4 dapat membantu proses ekstraksi, seperti penelitian yang dilakukan
Susanti (2017) menunjukkan bahwa pada ekstraksi pektin dari albedo durian
diperoleh yield tertinggi dengan menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4).
Setelah proses ekstraksi selesai, kemudian dilakukan penggumpalan atau
pengendapan pektin. Pengendapan ini diperlukan karena pektin terlarut memiliki
gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya. Hal ini disebabkan pektin
termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas
yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isolistrik. Pektin distabilkan oleh selapis
air melalui ikatan elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan
positif molekul air. Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi
stabilitas dispersi pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air,
sehingga pektin akan menggumpal dan mengendap (Fitriani, 2003 dalam Megawati
dan Machsunah, 2016).

4.2 PENGARUH WAKTU PENGENDAPAN DAN KONSENTRASI


ETANOL PADA KARAKTERISTIK PEKTIN HASIL EKSTRAKSI
Tabel 4.1 di bawah menunjukkan karakteristik pektin hasil ekstraksi dari kulit
jeruk (Citrus sinensis) dengan memberikan perlakuan pengendapan selama 14 jam,
16 jam, 18 jam dan 20 jam menggunakan etanol sebesar 75%, 85% dan 95%.

28
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Hasil Karakteristik Pektin
Karakteristik

Galkturonat
Kadar Abu
Perlakuan

Rendemen

Kadar Air

Ekivalen

Metoksil
Kadar

Kadar
Pengendapan

Berat

(mg)
(%)

(%)

(%)

(%)
No.

(%)
(Waktu,
Konsentrasi)

1 14 jam, 75% 17,20 7,80 4,90 862,07 7,63 63,71


2 14 jam, 85% 18,92 9,45 4,31 645,57 7,35 69,02
3 14 jam, 95% 18,60 6,50 4,98 643,04 8,12 73,45
4 16 jam, 75% 16,44 8,70 4,00 657,89 8,06 72,51
5 16 jam, 85% 18,40 7,48 4,72 681,33 8,01 71,30
6 16 jam, 95% 19,92 4,55 3,36 649,35 9,73 82,37
7 18 jam, 75% 19,72 6,98 4,51 746,27 7,50 66,18
8 18 jam, 85% 22,32 6,50 4,19 555,56 8,06 77,44
9 18 jam, 95% 22,44 4,00 3,98 623,46 10,01 85,04
10 20 jam, 75% 20,48 5,65 5,54 694,44 8,68 74,62
11 20 jam, 85% 20,92 4,76 3,85 543,48 10,54 92,22
12 20 jam, 95% 22,40 6,54 2,34 510,20 10,79 95,74

4.2.1 Rendemen (Yield)


Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan
pelarut. Kandungan pektin tergantung pada jenis bahan yang digunakan dan metode
ekstraksinya. Rendemen pektin adalah banyaknya pektin yang dihasilkan dari
ekstraksi kulit jeruk (Citrus sinensis) dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik
pada suhu 700C, waktu ekstraksi 30 menit dan menggunakan pelarut asam sulfat
(H2SO4) 0,05N. Variasi yang dilakukan yaitu pada perlakuan waktu pengendapan
dan konsentrasi etanol sebagai bahan pengendap pektin.
Rendemen pektin yang dihasilkan dari ektraksi kulit jeruk berkisar antara
16,44%-22,44%. Rendemen tertinggi didapatkan pada waktu pengendapan 18 jam
dengan konsentrasi etanol sebesar 95% dari 25 gram serbuk kulit jeruk. Rendemen
terendah didapatkan pada waktu pengendapan 16 jam dengan konsentrasi etanol 75%
sebesar 4,11 gram pektin.

29
Universitas Sumatera Utara
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
rendemen pektin dapat dilihat pada gambar 4.1.

25
Etanol
20 75%
Rendemen (%)

15 85%
95%
10

0
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.1 Persentase Rendemen (Yield)

Gambar 4.1 menunjukkan adanya pengaruh perlakuan pengendapan pektin


yaitu rendeman pektin meningkat dengan meningkatnya waktu pengendapan dan
konsentrasi etanol. Etanol di dalam larutan pektin akan bersifat sebagai
pendehidroksi sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan terganggu dan
pektin akan mengendap karena alkohol berbobot molekul rendah sehingga akan
bercampur sempurna dengan air melalui ikatan hidrogen sehingga mengurangi
jumlah ion atau molekul air disekeliling pektin sehingga pektin akan mengendap
(Prasetyowati, et al., 2009). Pada perlakuan lama waktu pengendapan dapat dilihat
pada penggunaan etanol 95% rendemen meningkat dengan semakin lama waktu
pengendapan. Pada perlakuan perubahan konsentrasi etanol dapat dilihat pada waktu
pengadapan 16 jam, 18 jam dan 20 jam, rendemen meningkat dengan semakin
meningkat konsentrasi etanol yang digunakan. Waktu pengendapan selama 18 jam
merupakan waktu optimum untuk proses pengendapan pektin menggunakan etanol
95%.

4.2.2 Kadar Air


Pada penelitian ini proses pengurangan kadar air dilakukan di dalam oven pada
suhu 50 °C hingga diperoleh berat pektin konstan. Pengujian kadar air pektin
dilakukan pengeringan pada suhu 100 oC selama 3 jam.

30
Universitas Sumatera Utara
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
kadar air dapat dilihat pada gambar 4.2.

10.00
Etanol
Kadar Air (%) 8.00 75%
6.00 85%
95%
4.00

2.00

0.00
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.2 Kadar Air

Pada gambar 4.2 terlihat kadar air pektin tertinggi diperoleh pada waktu
pengendapan 14 jam dengan konsentrasi etanol 85%, sedangkan kadar air pektin
terendah diperoleh pada waktu pengendapan 18 jam dengan konsentrasi etanol 95%.
Dari hasil pengujian kadar air pektin dari kulit jeruk terlihat bahwa kadar air
cenderung akan semakin menurun seiring dengan kenaikan waktu pengendapan dan
konsentrasi etanol yang digunakan. Kadar air dari pektin hasil ekstraksi pada
penelitian ini berkisar antara 4,0-9,45%. Syarat kadar air maksimum untuk pektin
kering menurut IPPA (International Pectin Producers Association) (2003) yaitu
maksimal 12%, dengan demikian kadar air pektin hasil penelitian ini memenuhi
syarat mutu yang ditetapkan.
Penambahan etanol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas
larutan koloidalnya dan akibatnya pektin akan terkoagulasi dan selama pengendapan
terjadi penggantian molekul air oleh molekul terlarut yang mengakibatkan kontak
yang lebih luas antara rantai-rantai pektin yang menghasilkan jaringan kompleks
molekul polisakarida. Pengaruh waktu pengendapan dapat dilihat pada gambar 4.2
dengan konsentrasi etanol 85%, kadar air mengalami penurunan dengan
meningkatnya waktu pengendapan. Kadar air juga mengalami penurunan dengan
meningkatnya konsentrasi etanol sebagai bahan pengendap yang dapat dilihat pada
pengendapan selama 16 jam dan 18 jam. Alkohol berbobot molekul rendah sehingga

31
Universitas Sumatera Utara
akan bercampur sempurna dengan air melalui ikatan hidrogen sehingga mengurangi
jumlah ion atau molekul air disekeliling pektin.
Hasil yang didapatkan dari sintesa pektin ini merupakan massa campuran,
dimana sebelum dilakukan pengeringan, komposisi pektin campuran terdiri dari
etanol, pektin, zat warna dan sukrosa. Setelah dilakukan pengeringan dimana pelarut
etanol teruapkan pada suhu ruangan maka komposisi massa campuran adalah pektin,
zat warna dan sukrosa (Aziz, et al., 2018). Dan dapat di katakan bahwa kandungan
etanol yang belum menguap pada proses pengeringan pektin itu sangat kecil
dikarenakan dari hasil perhitungan kadar air pada pektin yang diperoleh masih
dibawah dari batas maksimum yaitu sekitar 4,0%-9,4%, sehingga keberadaan etanol
juga dikatakan aman dengan komposisi yang tidak besar pada pektin.
Air yang masih terdapat pada pektin merupakan air yang berada diantara
permukaan pektin dan sulit untuk dihilangkan. Semakin kecil kadar air maka kualitas
pektin semakin baik. Fitria (2013) menjelaskan bahwa kondisi penyimpanan pektin
sebelum dilakukan uji kadar air akan mempengaruhi hasil pengujian. Penyimpanan
pada tempat lembab dan wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan
kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab kembali.
Dan tingginya kadar air pada pektin yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh
pengeringan yang tidak maksimal.

4.2.3 Kadar Abu


Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan
anorganik. Kadar abu ini menunjukkan masih ada atau tidaknya komponen anorganik
yang tertinggal di dalam pektin setelah pembakaran. Komponen anorganik dapat
berupa kalsium dan magnesium yang terhidrolisis bersama protopektin. Kadar abu
berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin kecil kadar abu, maka
kemurnian pektin akan semakin baik (Sulihono, et al., 2012)
Pada penelitian ini dalam menentukan kadar abu pada pektin hasil ekstraksi
dilakukan pengabuan di dalam furnace pada suhu 600 °C selama 3 jam. Dari hasil
pengujian kadar abu pektin dari kulit jeruk terlihat bahwa kadar abu cenderung akan
semakin menurun seiring dengan kenaikan waktu pengendapan dan konsentrasi
etanol yang digunakan.

32
Universitas Sumatera Utara
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
kadar abu dapat dilihat pada gambar 4.3.

6.00
5.00 Etanol
Kadar Abu (%) 75%
4.00 85%
3.00 95%

2.00
1.00
0.00
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.3 Kadar Abu

Kadar abu pektin dari ektraksi kulit jeruk berkisar antara 2,34-5,54%. Syarat
kadar abu maksimum untuk pektin kering menurut IPPA (International Pectin
Producers Association) (2003) yaitu maksimal 10%, dengan demikian kadar abu
pektin hasil penelitian ini memenuhi syarat mutu yang ditetapkan. Kadar abu pektin
tertinggi diperoleh pada waktu pengendapan 20 jam dengan konsentrasi etanol 75%
sedangkan yang terendah diperoleh pada waktu pengendapan 20 jam dengan
konsentrasi etanol 95%.
Pengaruh waktu pengendapan dapat dilihat pada gambar 4.3 dengan
konsentrasi etanol 85% dan yang menunjukkan kecenderungan kadar abu mengalami
penurunan dengan meningkatnya waktu pengendapan, sedangkan pada konsentrasi
etanol 75% dan 95% mengalami fluktuasi. Kadar abu juga mengalami penurunan
dengan meningkatnya konsentrasi etanol sebagai bahan pengendap yang dapat dilihat
pada pengendapan selama 18 jam dan 20 jam, namun fluktuasi pada waktu 14 jam
dan 16 jam.
Kadar abu pektin dipengaruhi oleh residu bahan anorganik yang terdapat pada
bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin. Hal ini disebabkan juga oleh
kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak yang
semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu reaksi.
Mineral yang terlarut akan turut mengendap bercampur dengan pektin pada saat
proses pengendapan (Kalapathy, 2001 dalam Fitria, 2013), sehingga dapat dikatakan

33
Universitas Sumatera Utara
semakin banyak rendemen pektin yang terendapkan karena waktu pengendapan dan
konsentrasi etanol yang meningkat mengakibatkan mineral yang terlaut pada proses
ektraksi juga semakin banyak turut mengendap. Hasil pengukuran kadar abu pektin
pada penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan diatas karena meningkatnya
konsentrasi etanol dan lama waktu pengendapan menghasilkan kadar abu yang
cenderung menurun dan juga mengalami fluktuasi.

4.2.4 Berat Ekivalen


Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam
galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam pektat
murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun atas asam poligalakturonat
yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat
murni memiliki berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam
galakturonat dengan metanol mengakibatkan semakin rendahnya jumlah asam
galakturonat bebas yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Fitria, 2013 dalam
Aziz, et al., 2018).
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
berat ekivalen dapat dilihat pada gambar 4.4.

1000
Etanol
Berat Ekivalen (mg)

800 75%
600 85%
95%
400

200

0
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.4 Berat Ekivalen

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa berat ekuivalen pektin hasil ekstraksi


semakin nenurun dengan meningkatnya waktu pengendapan pektin dan konsentrasi
etanol yang ditambahkan. Berat ekivalen pektin tertinggi diperoleh pada waktu

34
Universitas Sumatera Utara
pengendapan 14 jam dengan konsentrasi etanol 75% yaitu sebesar 865,07 mg. Berat
ekivalen pektin terendah diperoleh pada waktu pengendapan 20 jam dengan
konsentrasi etanol 95% yaitu sebesar 510,20 mg.
Waktu pengendapan menunjunkukkan pengaruh yang kurang signifikan pada
nilai berat ekivalen yang diperoleh. Pada konsentrasi etanol 95% yang menunjukkan
kecenderungan berat ekivalen mengalami penurunan dengan meningkatnya waktu
pengendapan. Berat ekivalen juga mengalami penurunan dengan meningkatnya
konsentrasi etanol sebagai bahan pengendap yang dapat dilihat pada pengendapan
selama 20 jam.
Etanol umumnya dalam proses sintesa pektin sebagai larutan penggumpal dan
pencuci agar dapat dipisahkan antara pektin dan pelarutnya serta larutan tambahan
untuk menaikkan pH dari pektin yang asam karena pelarutnya (Aziz, et al., 2018).
Harga berat ekivalen ditentukan berdasarkan reaksi penyabunan gugus karboksil oleh
NaOH. Banyaknya volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan gugus
karboksil berbanding terbalik dengan nilai berat ekivalen. Semakin besar volume
NaOH maka akan semakin kecil nilai berat ekivalen. Semakin kecil berat ekivalen
artinya kandungan metoksil pektin semakin tinggi.
Berat ekivalen yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 510,20-862,07 mg.
Data standar mutu IPPA (International Pectin Producers Association) (2003),
dimana berat ekivalen pektin berkisar antara 600-800. Hasil penelitian ini masih ada
yang tidak memenuhi standar mutu yaitu pada waktu pengendapan 14 jam dengan
konsentrasi etanol 75% dengan nilai berat ekivalen melebihi standar mutu,
sedangkan pada perlakuan pengendapan 18 jam konsentrasi 85% dan pada waktu 20
jam dengan konsentrasi 85 dan 95% menghasilkan berat ekivalen yang nilainya di
bawah standar mutu pektin.

4.2.5 Kadar Metoksil


Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah mol etanol yang terdapat di dalam
100 mol asam galakturonat. Kadar metoksil pektin ini memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi
struktur dan tekstur dari gel pektin.

35
Universitas Sumatera Utara
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
kadar metoksil pektin dapat dilihat pada gambar 4.5.

12.00
Kadar Metoksil (%)
10.00
8.00 Etanol
6.00 75%
85%
4.00
95%
2.00
0.00
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.5 Kadar Metoksil

Pada gambar 4.5 dapat dilihat kadar metoksil pektin yang didapat dari hasil
penelitian ini sekitar 7,35%-10,79%. Kadar metoksil pektin tertinggi diperoleh pada
waktu pengendapan 20 jam dengan konsentrasi etanol 95%. Kadar metoksil pektin
terendah diperoleh pada waktu pengendapan 14 jam dengan konsentrasi etanol 85%.
Pengaruh waktu pengendapan dapat dilihat pada gambar 4.5 dengan konsentrasi
etanol 85 dan 95%, kadar metoksil mengalami peningkatan dengan meningkatnya
waktu pengendapan. Kadar metoksil juga mengalami peningkatan dengan
meningkatnya konsentrasi etanol sebagai bahan pengendap yang dapat dilihat pada
pengendapan selama 18 dan 20 jam.
Hal ini dikarenakan proses demetilasi dan deesterifikasi (hidrolisa gugus ester)
pada pektin yang dapat meningkatkan kadar metoksil yang dihasilkan. Semakin
banyak oksigen yang terlarut dalam larutan akan mempercepat reaksi, dengan
demikian bila pengendapan yang lama akan mengakibatkan proses demetilasi. Proses
demetilasi akan memindahkan gugus metil yang terekstraksi sehingga
mengakibatkan banyak gugus metil yang dilepaskan (Hanifah, 2002 dalam
Lumbantoruan, et al., 2014).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pektin yang dihasilkan termasuk
pada pektin bermetoksil tinggi karena nilai kadar metoksil pektin memenuhi standar
IPPA (International Pectin Producers Association) (2003) yaitu >7,12% untuk jenis

36
Universitas Sumatera Utara
pektin bermetoksil tinggi. Dengan demikian pektin hasil ekstraksi dapat membentuk
gel pada rentang pH=1 hingga 3,5 dan dengan penambahan gula 55-85% (Widiastuti,
2015).

4.2.6 Kadar Galakturonat


Salah satu yang menentukan mutu pektin adalah kadar galakturonat. Semakin
tinggi kadar galakturonat maka mutu pektin semakin tinggi pula (Nurviani, et al.,
2014). Kadar galakturonat yang diperoleh berkisar antara 63,71-95,74%. Kadar
galakturonat pektin tertinggi diperoleh pada waktu pengendapan 20 jam dengan
konsentrasi etanol 95% sedangkan kadar galakturonat pektin terendah diperoleh pada
waktu pengendapan 14 jam dengan konsentrasi etanol 75%.
Hubungan waktu pengendapan dan konsentrasi etanol yang digunakan terhadap
kadar galakturonat dapat dilihat pada gambar 4.6.

100.00
Kadar Galakturonat (%)

80.00 Etanol
75%
60.00
85%
40.00 95%

20.00

0.00
14 16 18 20
Waktu (jam)
Gambar 4.6 Kadar Galakturonat

Pengaruh waktu pengendapan dapat dilihat pada gambar 4.6 dengan


konsentrasi etanol 85 dan 95% yang menunjukkan kecenderungan kadar galakturonat
mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu pengendapan. Kadar
galakturonat juga mengalami peningkatan dengan meningkatnya konsentrasi etanol
sebagai bahan pengendap yang dapat dilihat pada pengendapan selama 14 jam, 18
jam dan 20 jam. Hal ini disebabkan karena etanol bersifat polar sehingga dapat
mengendapkan lebih banyak pektin dan semakin lama pengendapan maka akan
terjadi reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin yang komponen dasarnya adalah

37
Universitas Sumatera Utara
asam D-galakturonat (Hariyati, 2006 dalam Lumbantoruan, et al., 2014). Kadar asam
galakturonat juga dipengaruhi oleh hasil karekteristik pektin yang lain, salah satunya
kadar abu karena kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin yaitu asam
galakturonat, jika kadar abu dalam pektin tinggi, maka presentase kandungan pektin
yang terdapat didalamnya semakin rendah (Jariyah, et al., 2015). Dari hasil pengujian
kadar abu pektin dengan memvariasikan proses pengendapan, nilai kadar abu yang
diperoleh menurun dengan meningkatnya waktu dan konsentrasi etanol yang
digunakan sehingga dapat mempengaruhi kadar asam galakturonat yaitu berbanding
terbalik dengan hasil kadar abu pektin.
Syarat kadar galakturonat untuk pektin kering menurut IPPA (International
Pectin Producers Association) (2003) yaitu minimum 65%, dengan demikian kadar
galakturonat pektin hasil penelitian ini memenuhi syarat mutu yang ditetapkan
kecuali pada waktu pengendapan selama 14 jam dengan etanol 75%.

4.2.7 Derajat Esterifikasi


Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat
yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Derajat esterifikasi ini
diperoleh dari perbandingan antara kadar metoksil dengan kadar galakturonat. Tabel
4.2 menyajikan nilai besarnya derajat esterifikasi pektin hasil ektstaksi dari kulit
jeruk yang diperoleh pada penelitian ini.
Tabel 4.2 Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi

Perlakuan Derajat
Run Pengendapan Esterifikasi
(Waktu, Konsentrasi) (%)
1 14 jam, 75% 67,96
2 14 jam, 85% 60,50
3 14 jam, 95% 62,74
4 16 jam, 75% 63,11
5 16 jam, 85% 63,77
6 16 jam, 95% 67,09
7 18 jam, 75% 64,36
8 18 jam, 85% 59,09
9 18 jam, 95% 66,80
10 20 jam, 75% 66,04
11 20 jam, 85% 64,89
12 20 jam, 95% 63,97

38
Universitas Sumatera Utara
Kisaran derajat esterifikasi yang diperoleh pada penelitian ini adalah 59,09%-
67,96%. Derajat esterifikasi terbesar didapat pada ekstraksi pektin dari kulit jeruk
dengan perlakuan pengendapan selama 14 jam dan menggunakan etanol 75%.
Derajat esterifikasi merupakan presentasi gugus karbonil yang teresterifikasi, dimana
pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin bermetoksil tinggi
dan derajat esterifikasi dibawah 50% dinamakan pektin bermetoksi rendah
berdasarkan standar IPPA (International Pectin Producers Association) (Sufy,
2015). Berdasarkan hasil penelitian, derajat esterifikasi pektin hasil ekstraksi bernilai
diatas 50% yang menunjukkan bahwa pektin bermetoksil tinggi yang telah sesuai
dari hasil perhitungan kadar metoksil pektin yang menunjukkan bahwa pektin hasil
ekstraksi merupakan pektin dengan metoksil tinggi.

4.2.8 Penentuan Pektin Terbaik


Penentuan pektin hasil ektraksi sebagai yang terbaik ini berdasarkan
perbandingan banyaknya rendemen dan melihat karakteristik terbaik yang telah
memenuhi standar mutu pektin komersial. Pada hasil rendemen pektin dengan
perlakuan pengendapan selama 18 jam dengan etanol 85% dan 95% menunjukkan
hasil yang mendekati, dan jika dibandingkan dengan waktu pengendapan selama 20
jam dengan konsentrasi 95%, hasil rendemen mengalami sedikit sekali perubahan
yaitu penurunan. Dapat dikatakn bahwa pengendapan pektin dengan waktu 18 jam
sudah menunjukkan waktu yang optimum dengan etanol 95%.
Rendemen juga dipengaruhi adanya kadar air dan kadar abu pada pektin.
Apabila kadar air dan kadar abu besar maka kandungan pektin murni akan sedikit
jumlahnya pada persentasi rendemen tersebut. Pada hasil pengukuran kadar air
pektin, perlakuan pengendapan 18 jam dengan etanol 95% menghasilkan kadar air
terendah, namun pada pengukuran kadar abu yang terendah diperoleh pada waktu
pengendapan 20 jam dengan etanol 95%.
Hasil karakteristik pektin yang lain juga menunjukkan kualitas pektin seperti
berat ekivalen, kadar metoksil dan kadar galakturonat. Semakin tinggi kadar
galakturonat maka mutu pektin semakin tinggi pula. Pada konsentrasi etanol 95% di
masing-masing waktu pengendapan menunjukkan hasil kadar galakturonat yang

39
Universitas Sumatera Utara
tertinggi, sehingga ditetapkan bahwa perlakuan pengendapan dengan etanol 95%
merupakan yang paling baik.
Pada waktu pengendapan pektin, waktu penegndapan 20 jam menghasilkan
kadar galakturonat tertinggi namun pada pengukuran berat ekivalen menunjukkan
masih dibawah syarat yang ditetapkan. Sehingga perlakuan pengendapan dengan
etanol 95% dipilih waktu pengendapan yang terbaik yaitu selama 18 jam.

4.3 IDENTIFIKASI GUGUS FUNGSI PEKTIN PADA SPEKTRUM FTIR


Spektroskopi FTIR merupakan salah satu teknik analitik yang sangat baik
dalam proses identifikasi struktur molekul suatu senyawa. Hasil pengukuran
spektrum FTIR menunjukkan kelompok gugus fungsi dan memberikan informasi
struktural pektin hasil ekstraksi dari bahan baku kulit jeruk (Citrus sinensis) dan
larutan pengekstraksi berupa pelarut asam sulfat (H2SO4) dengan variasi perlakuan
lama pengendapan dan konsentrasi bahan pengendap menggunakan etanol. Rentang
bilangan gelombang yang digunakan adalah 4000-500 cm-1 dengan sampel pektin
yang dipilih adalah pektin hasil ektraksi yang terbaik yaitu dengan perlakuan
pengendapan selama 18 jam dengan etanol 95%.

Gambar 4.7 Struktur Pektin


(Khan, et al., 2015)

Pada struktur pektin di atas memperlihatkan bahwa gugus fungsional pektin


ditandai dengan terdapatnya vibrasi OH, ikatan –CH3 pada cabang metoksil
(COOCH3), ikatan –C-H, gugus karbonil (-C=O), dan gugus eter (-O-) yang terukur
oleh spektroskopi FTIR pada daerah panjang gelombang tertentu.
Gugus fungsional utama pektin biasanya terletak pada area bilangan
gelombang 1000-2000 cm-1 (Kalapathy dan prector 2001 dalam Sufy 2015). Ikatan
karboksil (-C=O) berada pada 1630-1650 cm-1 untuk kelompok karboksil bebas

40
Universitas Sumatera Utara
(Gnanasambandam 1999 dalam Sufi 2015). Pada bilangan gelombang antara 1100
dan 1200 cm-1 menunjukkan ikatan dari eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam
struktur cincin dari metoksil pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1
merupakan lembab dalam pektin yang terserap. Absorpsi gugus C-H selalu berada
pada frekuensi 3000-2840 cm-1. Cabang metoksil (-CH3) mempunyai karakteristik
penyerapan sekitar 1375 cm-1. Senyawa alkohol atau ester dapat diketahui dengan
menemukan gugus C-O pada bilangan gelombang sekitar 1300-1000 cm-1. (Pavia, et
al., 2001). Berikut grafik spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi pada gambar 4.8.

-CH3
-C=O

C-O
C-H

-O-
-OH

Gambar 4.8 Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi

Tabel 4.2 dibawah ini menyajikan data bilangan gelombang spektrum FTIR
yang menunjukkan gugus fungsional dari pektin hasil ekstraksi.
Tabel 4.3 Data Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi
Area
No. Gugus Senyawa
(bilangan gelombang (cm-1)
1 3444,73 -OH Hidroksil
2 2923,45 C-H Alkil
3 1629,80 -C=O Karbonil
4 1327,78 –CH3 Metoksil
5 1267,77 C-O Alkohol, ester
6 1110,27 -O- Eter

41
Universitas Sumatera Utara
Serapan gugus fungsional dari pektin hasil ekstraksi terlihat dari data spektrum
FTIR di atas. Spektrum menunjukkan puncak serapan lebar yang khas pada bilangan
gelombang 3444,73 cm-1 mengidentifikasikan adanya serapan dari gugus hidroksil
(OH). Pada daerah gelombang 2923,45 cm-1 menunjukkan adanya serapan dari –C-H.
Adanya gugus karbonil (-C=O) pada panjang gelombang 1629,80 cm-1 menunjukkan
bahwa sampel tersebut tergolong sebagai pektin. Pada panjang gelombang 1327,78
cm-1 menunjukkan adanya serapan dari cabang metoksil (-CH3) dan juga adanya
gugus C-O pada 1267,77 cm-1. Pada daerah panjang gelombang 1110,27 cm-1
terdapat serapan dari gugus eter (-O-) pada pektin hasil ektraksi.
Dari gugus fungsi pada pektin yang terukur oleh spektroskopi FTIR dengan
masing-masing serapan pada daerah panjang gelombang tertentu menunjukkan
kesesuain dengan struktur pektin. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya vibrasi
OH, ikatan –C-H, gugus karbonil (-C=O), ikatan –CH3 pada cabang metoksil
(COOCH3) dan gugus eter (-O-).

4.4 PENGENTALAN KARET


Aplikasi pektin pada penelitian ini yaitu digunakan pada proses pengentalan
cairan karet (lateks). Pektin pada hasil percobaan dengan perlakuan lama
pengendapan 18 jam dan etanol 95% dipilih sebagai sampel yang digunakan pada
aplikasi pengentalan karet karena dianggap sebagai hasil pektin terbaik yang
memenuhi karakteristik standar pektin dengan kadar metoksil 10,01% dan kadar
galakturonat yaitu 85,04%.
Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan butir-butir karet
yang terdapat dalam cairan lateks, supaya menjadi satu gumpalan atau koagulum.
Analisis ini dilakukan dengan tujuan agar memperoleh kadar koagulan yang ideal
untuk menggumpalkan karet, diamati dari sisi efektifitas waktu dan kadar koagulan
yang digunakan. Metode yang dilakukan adalah pencampuran dimana rasio antara
massa pektin (g) dan volume karet (m) mentah adalah 1:25; 2:25; 3;25; 4:25; dan
5:25 dengan volume karet tetap sebesar 5 ml.

42
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini adalah grafik hungungan rasio pektin dengan waktu pengentalan
karet (lateks) yang disajikan pada gambar 4.9.

3500
3000 Pektin
Kulit Jeruk
Waktu (detik)
2500
2000
1500
1000
500
0
1:25 2:25 3:25 4:25 5:25
Rasio
Gambar 4.9 Hubungan Rasio Pektin dengan Waktu Pengentalan Karet

Hasil aplikasi pektin dapan dilihat pada gambar 4.9 yang menunjukkan bahwa
semakin tinggi rasio maka semakin cepat waktu pengentalan. Dari penelitian didapat
waktu pengentalan sekitar 9-55 menit atau secara berturut-turut 3316, 2493, 1704,
1275 dan 547 detik. Berdasarkan penetitian Ariesti, et al., (2015) diketahui proses
pengentalan karet tanpa penambahan pektin membutuhkan waktu selama 138 menit
atau selama 8280 detik.
Koagulasi lateks adalah peristiwa terjadinya perubahan fase sol menjadi gel
dengan bantuan koagulan. Koagulasi lateks dapat terjadi karena dehidrasi dengan
menambah bahan atau zat menyerap lapisan molekul air disekeliling partikel karet
yang bersifat sebagai pelindung pada lateks (Ali, et al., 2010). Salah satu zat yang
dapat digunakan yaitu pektin. Penambahan pektin pada proses pengentalan karet juga
dapat menurunkan pH karena pektin bersifat asam karena adanya gugus karboksilat.
Semakin tinggi penambahan pektin maka pH semakin menurun (Shahidi dan Marian
1995 dalam Amelia, et al., 2016). Dengan adanya penambahan pektin pada karet
mentah dapat meningkatkan waktu penggumpalan karet menjadi lebih cepat. Waktu
pengentalan karet tercepat yaitu selama 547 detik, diperoleh pada penambahan 1
gram sampel pektin pada 5 ml karet. Hal ini disebabkan semakin banyak pektin yang
di tambahkan maka semakin besar luas permukaannya sehingga pengikatan air pada
karet mentah akan semakin cepat.

43
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Perlakuan pada pengendapan pektin dapat mempengaruhi rendemen pektin hasil
ekstraksi. Semakin lama waktu pengendapan dan semakin besar konsentrasi
etanol yang digunakan rendemen pektin semakin meningkat. Rendemen pektin
tertinggi diperoleh pada pengendapan selama 18 jam dengan konsentrasi etanol
95% yaitu sebesar 22,44% dari berat sampel kering kulit jeruk (Citrus sinensis)
yang diektraksi menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4) dengan bantuan
ultrasonik.
2. Perlakuan pengendapan pektin juga memberikan pengaruh pada karakteristik
dari pektin yang telah diekstraksi. Semakin lama waktu pengendapan dan
semakin besar konsentrasi etanol yang digunakan hasil karakteristik seperti
kadar air, kadar abu dan berat ekivalen menunjukkan kecenderungan mengalami
penurunan.
3. Pada karakteristik kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi
pektin hasil ekstraksi mengalami peningkatan dengan meningkatnya lama waktu
pengendapan dan konsentrasi etanol.
4. Hasil pektin terbaik dipilih berdasarkan standar mutu IPPA (International Pectin
Producers Association) (2003). Pektin dengan perlakuan pengendapan selama 18
jam dengan konsentrasi etanol 95% dipilih sebagai pektin terbaik pada penelitian
ini.
5. Hasil pengujian gugus fungsional dari pektin hasil ekstraksi kulit jeruk (Citrus
sinensis) dengan Spektroskopi FTIR memberikan hasil yang sesuai dengan
struktur pektin.
6. Pengentalan karet dengan menggunakan pektin sebagai koagulan dapat
mempercepat proses penggumpalan pektin dan hasil penggumpalan tercepat
diperoleh pada rasio pektin : karet yaitu 1 gram pektin pada 5 ml karet.

44
Universitas Sumatera Utara
5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Perlunya penambahan variasi lain pada proses pengendapan pektin setelah
ekstraksi dan pengenbangan metode pengendapan pektin.
2. Perlu adanya penambahan variasi lain pada proses ekstraksi pektin dengan
menggunakan gelombang ultrasonik.
3. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah dihasilkan.
4. Perlu adanya analisa tentang kelayakan dari penelitian ini untuk mengetahui
seberapa besar potensi produksi pektin ini dapat dikembangkan dalam bidang
industri.

45
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

Adhiksana, A. 2017. Perbandingan Metode Konvensional Ekstraksi Pektin dari Kulit


Buah Pisang dengan Metode Ultrasonik. Journal of Research and Technology
3(2): 80-88.
Ali, F., A. Sihombing, dan A. Fauzi. 2010. Koagulasi Lateks dengan Ekstrak Gadung
(Dioscorea hispida Dennts). Jurnal Teknik Kimia 3(17): 8-16.
Amelia, O., S. Astuti dan Zulferiyenni. 2016. Pengaruh Penambahan Pektin dan
Sukrosa Terhadap Sifat Kimia dan Sensori Selai Jambu Biji Merah (Psidium
guajava L.). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian.
Politeknik Negeri Lampung: 149-159.
Ariesti L. K., F. Waharina dan Y. Ristianingsih. 2015. Pengaruh Konsentrasi HCl
dan Komposisi Campuran Kulit Pisang pada Ekstraksi Pektin dari
Kulit Pisang dan Aplikasinya pada Proses Pengentalan Karet. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, Sustainable Energy and Mineral
Processing for National Competitiveness Yogyakarta. 12-13 Oktober: 1-8.
Arioui, F., D. A. Saada, dan A. Cheriguene. 2017. Physicochemical and Sensory
Quality of Yogurt Incorporated with Pectin from Pe el of Citrus sinensis. Food
Science and Nutrition, 5 (2): 358–364.
Armanda, R. 2018. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit
Buah Pisang Kepok Berbantukan Gelombang Ultrasonic. Tugas Akhir.
Program Studi Petro dan Oleo Kimia, Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri
Samarinda. Samarinda.
Aziz. T., M. E. G. Johan, D. Sri. 2018. Pengaruh Jenis Pelarut, Temperatur dan
Waktu Terhadap Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Kulit Buah Naga
(Hylocereuspolyrhizus). Jurnal Teknik Kimia 24(1): 17-27.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara. 2017. Produksi Buah-Buahan
Menurut Jenis Tanaman (Ton) 2011-2015. https://sumut.bps.go.id. Diakses
pada tanggal 16 Oktober 2018.
Chandler, W. H. 1958. Evergreen Orchards. Lea & Febiger. Philadelphia.
Chua, B. L., N. Y. Kai, A. Ali. 2018. Ultrasound Assisted Extraction of Pectin from
Dragon Fruit Peels. Journal of Engineering Science and Technology : 65-81.

46
Universitas Sumatera Utara
Devi, W. E., R.N. Shukla, A. Abraham, S. Jarpula, dan U. Kaushik. 2014. Optimized
Extraction Condition and Characterization of Pectin from Orange Peel.
International Journal of Research in Engineering & Advanced Technology,
2(2): 1-9.
Dolatowski, Z. J., J. Stadnik, D. Stasiak. 2007. Applications of Ultrasound
in Food Technology. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment 6(3): 89-99.
Fakayode, O. A., dan K. E. Abobi. 2018. Optimization of Oil and Pectin Extraction
from Orange (Citrus sinensis) Peels: A Response Surface Approach. Journal of
Analytical Science and Technology 9(20): 1-16.
Fitria, V. 2013. Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok
(Musa balbisiana BBB). Skripsi. Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Girma, E., dan T. Worku. 2016. Extraction and Characterization of Pectin from
Selected Fruit Peel Waste. International Journal of Scientific and Research
Publications 6(2): 447-454.
Grassino, A. N., M. Brncˇic´, D. V. Topic´, S. Roca, M. Dent, dan S. R. Brncˇic´.
2016. Ultrasound Assisted Extraction and Characterization of Pectin from
Tomato Waste. Food Chemistry, Elsevier 198: 93-100.
Guo, X., D. Han, H. Xi, L. Rao, X. Liao, X. Hu. 2012. Extraction of Pectin from
Navel Orange Peel Assisted by Ultra-High Pressure, Microwave or Traditional
Heating: A Comparison. Carbohydr. Polym. 88: 441–448.
Hanum, F., I. M. D. Kaban dan M. A. Tarigan. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit
Buah Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia Universitas
Sumatera Utara 1(2): 21-26.
Hastuti, B. 2016. Pektin dan Modifikasinya untuk Meningkatkan Karakteristik
sebagai Adsorben. Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia VIII :157-
170.
Injilauddin, A. S., M. Lutfi dan W. A. Nugroho. 2015. Pengaruh Suhu dan Waktu
pada Proses Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Nangka (Artocarpus
heterophyllus). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 3(3): 280-
286.
Jariyah, Sudaryati, R. Yulistiani dan Habibi. 2015. Ekstraksi Pektin Buah Pedada
(Sonneratia caseolaris). J.REKAPANGAN 9(1): 28-33.

47
Universitas Sumatera Utara
Khan, M., N. Bibi, dan A. Zeb. 2015. Optimization of Process Conditions for Pectin
Extraction from Citrus Peel. Science, Technology and Development, 34(1): 9-
15.
Laoli, S., I. Magdalena, dan F. Ali. 2013. Pengaruh Asam Askorbat dari Ekstrak
Nanas Terhadap Koagulasi Lateks (Studi Pengaruh Volume dan Waktu
Pencampuran). Jurnal Teknik Kimia 2(19): 49-59.
Liew, S. S., W. Y. Ho, S. K. Yeap, dan S, A. B. Sharifudin. 2018. Phytochemical
Composition and In Vitro Antioxidant Activities of Citrus sinensis Peel
Extracts. PeerJ. 3 Agustus :1-16.
Lumbantoruan, D. I. P., S. Ginting, dan I. Suhaidi. 2014. Pengaruh Konsentrasi
Bahan Pengendap dan Lama Pengendapan Terhadap Mutu Pektin Hasil
Ekstraksi dari Kulit Durian. J.Rekayasa Pangan dan Pertanian 2(2): 58-64.
Lutfiani, A. 2008. Prarancangan Pabrik Asam Sulfat dari Sulfur dan Udara dengan
Proses Kontak Kapasitas 225.000 Ton Per Tahun. Laporan. Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Megawati dan E. L. Machsunah. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Kepok
(Musa paradisiaca) Menggunakan Pelarut HCl sebagai Edible Film. Jurnal
Bahan Alam Terbuka 5(1):14-21.
Nurhayati, N., M. Maryanto dan R. Tafrikhah. 2016. Ekstraksi Pektin dari Kulit dan
Tandan Pisang dengan Variasi Suhu dan Metode. AGRITECH 36(3):327-334.
Nurviani, S. B., dan N. K. Sumarni. 2014. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit
Buah Pepaya (Carica papaya L.) Varietas Cibinong, Jinggo dan Semangka.
Online Jurnal of Natural Science 3(3): 322-330.
Oliveira, C. F., D. Giordani, R. Lutckemier, P. D. Gurak, F. C. Olivera, L. D. F.
Marczak. 2016. Extraction of Pectin from Passion Fruit Peel Assisted by
Ultrasound. LWT - Food Science and Technology 71:110-115.
Panchami, P.S., and S. Gunasekaran. 2017. Extraction and Characterization of Pectin
from Fruit Waste. International Journal of Current Microbiology and Applied
Sciences 6(8): 943-948.
Pavia, D. L., G. M. Lampman dan G. S. Kriz. 2001. Introduction to Spectroscopy
Third Edition. Thomson Learnin, Inc.Washington.
Praharnata, J. S., dan H. Wijayanti. 2016. Pengaruh Penggunaan Nanas dan Umbi
Pohon Gadung sebagai Koagulan Terhadap Kualitas Bahan Olahan Karet
Rakyat. Konversi 5(1) 27-34.

48
Universitas Sumatera Utara
Prasetiyo, A. W., Wignyanto dan A. F. Mulyadi. 2015. Ekstraksi Oleoresin Jahe
(Zingiber officinale, Rosc.) dengan Metode Ekstraksi Sokletasi (Kajian Rasio
Bahan dengan Pelarut dan Jumlah Sirkulasi Ekstraksi yang Paling Efisien).
Jurnal Industria. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Prasetyowati, K. P. Sari dan H. Pesantri. 2009. Ekstraksi Pektin dari Kulit Mangga.
Jurnal Teknik Kimia 4(16): 42-49.
Purbaya, M., T. I. Sari, C. A. Saputri, dan M. T. Fajriaty. 2011. Pengaruh Beberapa
Jenis Bahan Penggumpal Lateks dan Hubungannya dengan Susut Bobot, Kadar
Karet Kering dan Plastisitas. Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3
Palembang:353-357.
Purnomo, L. J., Nuryati dan Fatimah. 2014. Pemanfaatan Buah Limpasu (Baccaurea
lanceolata) Sebagai Pengental Lateks Alami. Jurnal Teknologi Agro-Industri
1(1): 24-32.
Putnik, P., D. B. Kovaˇcevi´c, A. R. Jambrak, F. J. Barba, G. Cravotto, A. Binello, J.
M. Lorenzo, dan A. Shpigelman. 2017. Innovative “Green” and Novel
Strategies for the Extraction of Bioactive Added Value Compounds from
CitrusWastes—A Review. Molecules 22:680.
Rafiq, S., R. Kaul, S.A. Sofi, N. Bashir, F. Nazir, dan G. A. Nayik. Citrus Peel As a
Source of Functional Ingredient: A Review. Journal of the Saudi Society of
Agricultural Sciences 17:351-358.
Ristianingsih, Y., I. F. Nata, D. S. Anshori, dan I. P. A. Putra. 2014. Pengaruh
Konsentrasi HCl dan pH pada Ekstraksi Pektin dari Albedo Durian dan
Aplikasinya pada Proses Pengentalan Karet. 3(1): 30-34.
Rojas, R., J. C. C. Esquivel, M. T. O. Esquivel, C. Mun˜oz, J. A. A. Joya, dan C. N.
Aguilar. 2015. Mango Peel as Source of Antioxidants and Pectin: Microwave
Assisted Extraction. Waste Biomass Valor. 4 Juli: 1-9.
Rosalina, Y., L. Susanti, dan N. Br. Karo. 2017. Kajian Ekstraksi Pektin dari Limbah
Jeruk Rimau Gerga Lebong (Jeruk RGL) dan Jeruk Kalamansi. AGROINTEK
11(2): 68-74.
Sandarani, MDJC. 2017. A Review: Different Extraction Techniques of Pectin.
Journal of Pharmacognosy and Natural Prosuct 3(3): 1-15.

49
Universitas Sumatera Utara
Santos, H. M., C. Lodeiro, dan J. L. C.MartRnez. 2009. Ultrasound in Chemistry:
Analytical Applications. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA,
Weinheim. Portugal.
Sayah, M. Y., R. Chabir, H. Benyahia, Y. R. Kandri, F. O. Chahdi, H. Touzani, dan
F. Errachidi. 2016. Yield, Esterification Degree and Molecular Weight
Evaluation of Pectins Isolated from Orange and Grapefruit Peels under
Different Conditions. PLOS ONE. 19 September: 1-16
ScienceLab, 2013. Material Safety Data Sheet Sulfuric acid MSDS.
http://www.sciencelab.com/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2017.
Siregar, L. A., R. J. Nainggolan, dan M. Nurminah. 2014. Pengaruh Lama Ekstraksi
Terhadap Mutu Pektin dari Kulit Durian. J.Rekayasa Pangan dan Pertanian
2(3):11-15.
Sufy, Qadrina. 2015. Pengaruh Variasi Perlakuan Bahan Baku dan Konsentrasi Asam
Terhadap Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari Limbah Kulit Pisang Kepok
Kuning (Musa balbisiana BBB). Skripsi. Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sulihono, A., B. Tarihoran, dan T. E. Agustina. 2012. Pengaruh Waktu, Temperatur
dan Jenis Pelarut Terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Bali (Citrus
maxima). Jurnal Teknik Kimia 18(4): 1-8.
Suryaningtyas, N. W. Y., L. I. M. Yulianti dan P. K. Atmodjo. 2014. Kemampuan
Pektin Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis) sebagai Biosorben Logam Berat
Krom (VI). Program Studi Biologi, Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma
Jaya.
Susanti, D., I. Hartati dan Suwardiyono. 2017. Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro
Pektin Albedo Durian (Durio zibethinus murray). Inovasi Teknik Kimia 2(1):
19-23.
Suwardin, D., dan M. Purbaya. 2015. Jenis Bahan Penggumpal dan Pengaruhnya
Terhadap Parameter Mutu Karet Spesifikasi Teknis. Warta Perkaretan 34(2):
147-160.
Torres, N. M., T. A. Talavera, H. E. Andrews, A. S. Contreras, dan N. Pacheco.
2017. Ultrasound Assisted Extraction for the Recovery of Phenolic Compounds
from Vegetable Sources. Agronomy 7(47): 1-19.

50
Universitas Sumatera Utara
Triandini, M. M., Aslamiah, dan D. R. Wicakso. 2014. Pengambilan Pektin dari
Albedo Semangka dengan Proses Ekstraksi Asam. Konversi 3(1): 1-9.
Tuhuloula, A., L. Budiyarti dan E. N. Fitriana. 2013. Karakterisasi Pektin dengan
Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode Ekstraksi.
Konversi 2(1): 21-27.
Widiastuti, D. R. 2015. Ekstraksi Pektin Kulit Jeruk Bali dengan Microwave
Assisted Extraction dan Aplikasinya sebagai Edible Film. Tugas Akhir.
Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Wiyanto dan N. Kusnadi. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Karet
Perkebunan Rakyat. Jurnal Agribisnis Indonesia 1(1): 39-58.
Wusnah., Z., dan Sulastri. 2015. Pengaruh pH dan Waktu Ekstraksi Terhadap
Karakteristik Pektin dari Kulit Coklat. Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4(2):
27-35.
Zahrotun, E. N., Y. Nugraheni dan Rusdiansjah. 2013. Pengaruh Suhu dan Waktu
Terhadap Hasil Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Nanas. Simposium Nasional
RAPI XII FT UMS: 39-43.
Zanella, K., dan O. P. Taranto. 2015. Influence of The Drying Operating Conditions
on The Chemical Characteristics of Citric Acid Extracted Pectins from Pera
Sweet Orange (Citrus sinensis L. Osbeck) Albedo and Flavedo. J. Food Eng.
166:111-118.

51
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 1
DATA PENELITIAN

L1.1 DATA HASIL PENELITIAN


Adapun data hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut:
Tabel L1.1 Hasil Karakteristik Pektin
Karakteristik

Galkturonat
Perlakuan

Kadar Abu
Rendemen

Kadar Air

Ekivalen

Metoksil
Kadar

Kadar
Pengendapan

Berat

(mg)
(%)

(%)

(%)

(%)
No.

(%)
(Waktu,
Konsentrasi)

1 14 jam, 75% 17,20 7,80 4,90 862,07 7,63 63,71


2 14 jam, 85% 18,92 9,45 4,31 645,57 7,35 69,02
3 14 jam, 95% 18,60 6,50 4,98 643,04 8,12 73,45
4 16 jam, 75% 16,44 8,70 4,00 657,89 8,06 72,51
5 16 jam, 85% 18,40 7,48 4,72 681,33 8,01 71,30
6 16 jam, 95% 19,92 4,55 3,36 649,35 9,73 82,37
7 18 jam, 75% 19,72 6,98 4,51 746,27 7,50 66,18
8 18 jam, 85% 22,32 6,50 4,19 555,56 8,06 77,44
9 18 jam, 95% 22,44 4,00 3,98 623,46 10,01 85,04
10 20 jam, 75% 20,48 5,65 5,54 694,44 8,68 74,62
11 20 jam, 85% 20,92 4,76 3,85 543,48 10,54 92,22
12 20 jam, 95% 22,40 6,54 2,34 510,20 10,79 95,74

L1.2 DATA SPEKTRUM FTIR PEKTIN HASIL EKSTRAKSI


Adapun data hasil spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi sebagai berikut:
Tabel L1.2 Data Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi
Area
No. Gugus Senyawa
(bilangan gelombang (cm-1)
1 3444,73 -OH Hidroksil
2 2923,45 C-H Alkil
3 1629,80 -C=O Karbonil
4 1327,78 –CH3 Metoksil
5 1267,77 C-O Alkohol, ester
6 1110,27 -O- Eter

52
Universitas Sumatera Utara
L1.3 DATA HASIL PENGENTALAN KARET
Adapun data hasil pengujian pengentalan karet sebagai berikut :
Tabel L1.3 Data Hasil Pengentalan Karet
Perlakuan Waktu
Run Pektin : Karet Pengentalan
(gr/ml) (detik)
1 1:25 3316
2 2:25 2493
3 3:25 1704
4 4:25 1275
5 5:25 547

53
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 2
PERHITUNGAN

L2.1 KARAKTERISTIK PEKTIN HASIL EKSTRAKSI


L2.1.1 Perhitungan Persen Rendemen (Yield)
Contoh perhitungan yield pektin hasil ektraksi pada Run 1 dengan perlakuan
waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
Berat sampel (Bi) 25 gram
Hasil pektin (P) 4,3 gram
P (3.1)
Yield (%) = x 100%
Bi
4,3
= x 100%
25
= 17,2%
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.1:
Tabel L2.1 Hasil Perhitungan Yield Pektin Hasil Ekstraksi

Perlakuan Berat Hasil


Yield
Run Pengendapan Sampel (Bi) Pektin (P)
%
(Waktu, Konsentrasi) (gr) (gr)
1 14 jam, 75% 25 4,30 17,20
2 14 jam, 85% 25 4,73 18,92
3 14 jam, 95% 25 4,65 18,60
4 16 jam, 75% 25 4,11 16,44
5 16 jam, 85% 25 4,60 18,40
6 16 jam, 95% 25 4,98 19,92
7 18 jam, 75% 25 4,93 19,72
8 18 jam, 85% 25 5,58 22,32
9 18 jam, 95% 25 5,61 22,44
10 20 jam, 75% 25 5,12 20,48
11 20 jam, 85% 25 5,23 20,92
12 20 jam, 95% 25 5,60 22,40

L2.1.2 Perhitungan Kadar Air


Contoh perhitungan kadar air pektin hasil ektraksi pada Run 1 dengan
perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.

54
Universitas Sumatera Utara
Berat Awal (wa) = 0,205 gram
Berat Akhir (wb) = 0,189 gram
wa -wb
% Kadar Air = x 100% (3.2)
wa

0,205 - 0,189
= x 100%
0,205
= 7,80 %
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.2 :
Tabel L2.2 Hasil Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi

Perlakuan Berat Berat Kadar


Run Pengendapan Awal (wa) Akhir (wb) Air
(Waktu, Konsentrasi) (gr) (gr) (%)
1 14 jam, 75% 0,205 0,189 7,80
2 14 jam, 85% 0,201 0,182 9,45
3 14 jam, 95% 0,200 0,187 6,50
4 16 jam, 75% 0,230 0,210 8,70
5 16 jam, 85% 0,214 0,198 7,48
6 16 jam, 95% 0,220 0,210 4,55
7 18 jam, 75% 0,215 0,200 6,98
8 18 jam, 85% 0,200 0,187 6,50
9 18 jam, 95% 0,200 0,192 4,00
10 20 jam, 75% 0,230 0,217 5,65
11 20 jam, 85% 0,210 0,200 4,76
12 20 jam, 95% 0,214 0,200 6,54

L2.1.3 Perhitungan Kadar Abu


Contoh perhitungan kadar abu pektin hasil ektraksi pada Run 1 dengan
perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
Berat cawan kosong (W1) = 26,20 gram
Berat pektin (W2-W1) = 0,245 gram
Berat abu (W3-W1) = 0,012 gram
W3  W1
% Kadar abu  x 100% (3.3)
W2  W1
0,012
= x 100% = 4,90 %
0,245

55
Universitas Sumatera Utara
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.3 :
Tabel L2.3 Hasil Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi
Perlakuan
Berat Berat Kadar
Pengendapan
Run Awal (w2-w1) Akhir (w3-w1) Abu
(Waktu,
(gr) (gr) (%)
Konsentrasi)
1 14 jam, 75% 0,245 0,012 4,90
2 14 jam, 85% 0,232 0,010 4,31
3 14 jam, 95% 0,241 0,012 4,98
4 16 jam, 75% 0,225 0,009 4,00
5 16 jam, 85% 0,233 0,011 4,72
6 16 jam, 95% 0,298 0,010 3,36
7 18 jam, 75% 0,244 0,011 4,51
8 18 jam, 85% 0,215 0,009 4,19
9 18 jam, 95% 0,251 0,010 3,98
10 20 jam, 75% 0,271 0,015 5,54
11 20 jam, 85% 0,208 0,008 3,85
12 20 jam, 95% 0,214 0,005 2,34

L2.1.4 Perhitungan Berat Ekivalen


Contoh perhitungan berat ekivalen pektin hasil ektraksi pada Run 1 dengan
perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
Berat sampel pektin = 500 mg
Volume NaOH = 5,8 ml
Konsentrasi NaOH = 0,1 N
Berat pektin (mg)
Berat Ekivalen (mg)  (3.4)
ml NaOH x N NaOH

500
=
5,8 x 0,1
= 862,07 mg
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.4 :

56
Universitas Sumatera Utara
Tabel L2.4 Hasil Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi

Perlakuan Berat Volume Konsentrasi Berat


Run Pengendapan Pektin NaOH NaOH Ekivalen
(Waktu, Konsentrasi) (mg) (ml) (N) (mg)
1 14 jam, 75% 500 5,8 0,1 862,07
2 14 jam, 85% 510 7,9 0,1 645,57
3 14 jam, 95% 508 7,9 0,1 643,04
4 16 jam, 75% 500 7,6 0,1 657,89
5 16 jam, 85% 511 7,5 0,1 681,33
6 16 jam, 95% 500 7,7 0,1 649,35
7 18 jam, 75% 500 6,7 0,1 746,27
8 18 jam, 85% 500 9,0 0,1 555,56
9 18 jam, 95% 505 8,1 0,1 623,46
10 20 jam, 75% 500 7,2 0,1 694,44
11 20 jam, 85% 500 9,2 0,1 543,48
12 20 jam, 95% 500 9,8 0,1 510,20

L2.1.5 Perhitungan Kadar Metoksil


Contoh perhitungan kadar metoksil pektin hasil ektraksi pada Run 1 dengan
perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
Berat sampel pektin = 500 mg
Volume NaOH = 5,8 ml
Konsentrasi NaOH = 0,1 N
ml NaOH x 31 x N NaOH
Kadar Metoksil (%)  x 100% (3.5)
Berat Pektin (mg)
12,3 x 31 x 0,1
= x100%
500
= 7,63%
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.5 :
Tabel L2.5 Hasil Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi

Perlakuan Berat Volume Konsentrasi Kadar


Run Pengendapan Pektin NaOH NaOH Metoksil
(Waktu, Konsentrasi) (mg) (ml) (N) (%)
1 14 jam, 75% 500 12,3 0,1 7,63
2 14 jam, 85% 510 12,1 0,1 7,35
3 14 jam, 95% 508 13,3 0,1 8,12
4 16 jam, 75% 500 13,0 0,1 8,06

57
Universitas Sumatera Utara
5 16 jam, 85% 511 13,2 0,1 8,01
6 16 jam, 95% 500 15,7 0,1 9,73
7 18 jam, 75% 500 12,1 0,1 7,50
8 18 jam, 85% 500 13,0 0,1 8,06
9 18 jam, 95% 505 16,3 0,1 10,01
10 20 jam, 75% 500 14,0 0,1 8,68
11 20 jam, 85% 500 17,0 0,1 10,54
12 20 jam, 95% 500 17,4 0,1 10,79

L2.1.6 Perhitungan Kadar Galakturonat


Contoh perhitungan kadar galakturonat pektin hasil ektraksi pada Run 1
dengan perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
Berat sampel pektin = 500 mg
Volume NaOH berat ekivalen (z) = 5,8 ml
Volume NaOH kadar metoksil (y) = 0,1 N
176 x 0,1z x 100% 176 x 0,1y x 100%
Kadar Galakturonat (%)   (3.6)
Berat Sampel (mg) Berat Sampel (mg)
176 x 0,1 x 5,8 x 100% 176 x 0,1 x 12,3 x 100%
= +
500 500
= 63,71%
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.6 :
Tabel L2.6 Hasil Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin Hasil Ekstraksi
Perlakuan
Berat Volume Volume Kadar
Pengendapan
Run Pektin NaOH z NaOH y Galakturonat
(Waktu,
(mg) (ml) (ml) (%)
Konsentrasi)
1 14 jam, 75% 500 5,8 12,3 63,71
2 14 jam, 85% 510 7,9 12,1 69,02
3 14 jam, 95% 508 7,9 13,3 73,45
4 16 jam, 75% 500 7,6 13,0 72,51
5 16 jam, 85% 511 7,5 13,2 71,30
6 16 jam, 95% 500 7,7 15,7 82,37
7 18 jam, 75% 500 6,7 12,1 66,18
8 18 jam, 85% 500 9,0 13,0 77,44
9 18 jam, 95% 505 8,1 16,3 85,04
10 20 jam, 75% 500 7,2 14,0 74,62
11 20 jam, 85% 500 9,2 17,0 92,22
12 20 jam, 95% 500 9,8 17,4 95,74

58
Universitas Sumatera Utara
L2.1.7 Perhitungan Derajat Esterifikasi
Contoh perhitungan derajat esterifikasi pektin hasil ektraksi pada Run 1
dengan perlakuan waktu pengendapan 14 jam dan konsentrasi etanol 75%.
% metoksil = 7,63 %
% galakturonat = 63,71 %
176 x % metoksil
Derajat Esterifikasi (%)  x 100% (3.7)
31 x % galakturon at

176 x 7,63 %
 x 100%
31 x 63,71 %

= 67,96 %
Hasil perhitungan pada run berikutnya merupakan analog dengan perhitungan
di atas yang disajikan pada tabel L2.7 :
Tabel L2.7 Hasil Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi
Perlakuan
Kadar Kadar Derajat
Pengendapan
Run Metoksil Galakturonat Esterifikasi
(Waktu,
(%) (%) (%)
Konsentrasi)
1 14 jam, 75% 7,63 63,71 67,96
2 14 jam, 85% 7,35 69,02 60,50
3 14 jam, 95% 8,12 73,45 62,74
4 16 jam, 75% 8,06 72,51 63,11
5 16 jam, 85% 8,01 71,30 63,77
6 16 jam, 95% 9,73 82,37 67,09
7 18 jam, 75% 7,50 66,18 64,36
8 18 jam, 85% 8,06 77,44 59,09
9 18 jam, 95% 10,01 85,04 66,80
10 20 jam, 75% 8,68 74,62 66,04
11 20 jam, 85% 10,54 92,22 64,89
12 20 jam, 95% 10,79 95,74 63,97

59
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 3
FLOWCHART PENELITIAN

L3.1 FLOWCHART EKSTRAKSI PEKTIN DARI KULIT JERUK (CITRUS


SINENSIS)

Mulai

Serbuk kulit jeruk dimasukkan ke dalam


erlenmeyer 2000 ml sebanyak 25 gram

Pelarut H2SO4 0,050 N ditambahkan


sebanyak 500 ml

Campuran dipanaskan di dalam alat


ultrasonik yang diisi air pada suhu 70oC
selama 30 menit

Disaring dan didinginkan

Filtrat diendapkan menggunakan etanol (75%;


85%; 95%) dengan perbandingan volume 1:1

Didiamkan dengan variasi waktu


14; 16; 18 dan 20 jam

Endapan disaring Ya

Endapan pektin dicuci dengan etanol 96%

Tidak
Apakah sudah
bebas asam?
Ya

Endapan dikeringkan dalam oven pada temperature 50 oC


hingga berat konstan

B
A

60
Universitas Sumatera Utara
A B

Gel pektin ditimbang dan dicatat beratnya

Apakah masih ada


variasi lain?

Tidak
Selesai
Gambar L3.1 Flowchart Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk (Citrus sinensis)

61
Universitas Sumatera Utara
L3.2 FLOWCHART PENENTUAN KADAR AIR

Mulai

Sampel pektin ditimbang sebanyak 0,2 gram dan


dimaukkan ke dalam cawan porselen kosong (Wa)

Sampel dikeringkan dalam oven pada


temperature 100oC selama 3 jam

Didinginkan dalam desikator

Cawan porselen dengan residu ditimbang (Wb) sampai


berat konstan

Kadar air dihitung

Selesai
Gambar L3.2 Flowchart Penentuan Kadar Air

62
Universitas Sumatera Utara
L3.3 FLOWCHART PENENTUAN KADAR ABU

Mulai

Cawan porselin dikeringkan dalam furnace


pada suhu 600 oC

Cawan porselen kosong yang telah


didinginkan dalam desikator ditimbang (W1)

Sampel pektin ditimbang sebanyak 0,2 gram

Cawan yang berisi sampel ditimbang (W2)

Cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam


furnace pada suhu 600oC selama 3 jam

Didinginkan dalam desikator

Cawan yang berisikan abu ditimbang sampai


beratnya konstan (W3)

Dihitung kadar abu

Selesai

Gambar L3.3 Flowchart Penentuan Kadar Abu

63
Universitas Sumatera Utara
L3.4 FLOWCHART PENENTUAN BERAT EKIVALEN

Mulai

Pektin ditimbang sebanyak 0,5 gram

Pektin dibasahi dengan etanol


sebanyak 5 ml

Pektin basah dilarutkan dalam 100 ml


aquadest yang ditambahkan 1 gram
NaCl

Campuran ditambahkan 3 tetes


indikator phenolphtalein

Campuran dititrasi dengan


NaOH 0,1N
Tidak

Apakah terbentuk
warna merah rosa?
Ya

NaOH yang dipakai dicatat volumenya

Berat ekivalen dihitung

Selesai

Gambar L3.4 Flowchart Penentuan Berat Ekivalen

64
Universitas Sumatera Utara
L3.5 FLOWCHART PENENTUAN KADAR METOKSIL DAN KADAR
GALAKTURONAT

Mulai

Larutan netral dari penentuan berat


ekivalen ditambahkan 25 ml
NaOH 0,25 N

Larutan didiamkan selama 30 menit

HCl 0,25N ditambahkan sebanyak 25 ml

Indikator phenolphtalein
ditambahkan 3 tetes

Larutan dititrasi dengan NaOH 0,1 N

Tidak
Apakah terbentuk
warna merah rosa?

Ya
NaOH yang dipakai dicatat volumenya

Kadar metoksil dan kadar asam galakturonat dihitung

Selesai

Gambar L3.5 Flowchart Penentuan Kadar Metoksil dan Kadar Asam Galakturonat

65
Universitas Sumatera Utara
L3.6 FLOWCHART PENGENTALAN KARET

Mulai

Getah karet disiapkan sebanyak 5 ml

Pektin dicampur dengan


getah karet dengan rasio (gr/ml)
1:25; 2:25; 3:25; 4:25 dan 5:25

Waktu mulai dihitung

Waktu dicatat setelah terjadi pengentalan

Ya
Apakah masih ada
variasi lain?
Tidak

Selesai
Gambar L3.6 Flowchart Pengentalan Karet

66
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 4
DOKUMENTASI PENELITIAN

L4.1 PERSIAPAN BAHAN BAKU

Gambar L4.1 Kulit Jeruk

Gambar L4.2 Pengeringan Kulit Jeruk

Gambar L4.3 Penghalusan Kulit Jeruk

67
Universitas Sumatera Utara
L4.2 PROSES PRODUKSI PEKTIN

Gambar L4.4 Ekstraksi Pektin

Gambar L4.5 Filtrat Pektin

Gambar L4.6 Pengendapan Pektin

68
Universitas Sumatera Utara
Gambar L4.7 Pencucian Endapan Pektin

Gambar L4.8 Endapan Pektin Basah

Gambar L4.9 Pektin Kering

69
Universitas Sumatera Utara
Gambar L4.10 Penghalusan Pektin

L4.3 APLIKASI PEKTIN

Gambar L4.11 Lateks

Gambar L4.12 Gumpalan Karet

70
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai