Anda di halaman 1dari 31

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Disampaikan dalam

Webinar Dalam Rangka Dies Natalis Ke-39 Universitas PGRI Semarang dan Menyambut Hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-75

Selasa, 4 Agustus 2020

Oleh:

A.Y. Soegeng Ysh.

Dosen PGSD Universitas PGRI Semarang

Abstrak

Tidak diajarkannya Pancasila sejak era Orde Reformasi telah menimbulkan degrasadi moral serius, maka
perlu dipelajari kembali. Mempelajari Pancasila sebagai sistem filsafat mencakupi aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi Pancasila mencakupi pokok-pokok pikiran Notonagoro dan
Drijarkara; epistemologinya mencakupi proses perumusan Pancasila dasar negara sebagai tanggapan
terhadap janji kemerdekaan dari pemerintah pendudukan Jepang; semnetara aksiologinya mencakupi:
dasar pikiran aktualisasi filsafat Pancasila, fungsi Pancasila, Pancasila sebagai filsafat sosial, Pancasila
sebagai filsafat bangsa, Pancasila sebagai dasar filsafat negara, Pancasila sebagai sumber tertib huklum,
eka Pancasila, konsepsi politis, sumber otentik, dan asal mula Pancasila dasar filsafat negara.

Kata kunci: filsafat, Pancasila, ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Prolog
Sejak masa Orde Reformasi (1998) Pancasila tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Nilai-nilai Pancasila
telah terlupakan oleh generasi tua, sementara generasi muda tidak pernah tahu tentang nilai-nilai
Pancasila. Sebagai akibatnya, bangsa Indonesia terancam degradasi moral serius, ditengarai dengan
adanya korupsi besar-besaran dan masif di kalangan pejabat; sikap radikal-teorisme, intoleran, eksklusif,
eksoteris, egois; pembunuhan, tindak kekerasan seksual; dan tawuran antar pemuda/pelajar. Sementara
itu ideologi dari luar: liberalisme, sosialisme, dan ateisme mengancam nilai-nilai Pancasila. Untuk itu
perlu dipelajari kembali nilai-nilai Pancasila berikut ini.

Pancasila sebagai sistem filsafat memenuhi tiga aspek: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ontologi
adalah ilmu tentang “ada”, terkait dengan “ada”-nya Pancasila atau hakikat keberadaannya yang
memberi jawab terhadap pertanyaan “apa” (what). Epistemologi adalah ilmu tentang “cara berada”,
terkait dengan bagaimana cara Pancasila berada, yang memberi jawab terhadap pertanyaan
“bagaimana” (how). Aksiologi adalah ilmu tentang penerapan, aplikasi, manfaat atau kegunaan, terkait
dengan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memberi jawab atas
pertanyaan “untuk apa” (for what). Ketiga aspek tersebut dijelaskan lebih lanjut berikut ini.

B. Ontologi Pancasila

1. Pokok-pokok Pikiran Notonagoro

a. Pancasila adat-budaya, Pancasila religi, dan Pancasila negara

Tentang ontologi Pancasila penelitian Notonagoro menyebutkan adanya Pancasila dalam triprakara atau
tiga hal. Tiga hal itu adalah: adat-budaya, religi, dan negara. Berikut ini rinciannya.

Prakara pertama, adalah Pancasila adat-budaya, yaitu nilai-nilai Pancasila yang ada, hidup dan
berkembang, dalam sosio-budaya bangsa Indonesia. Sesungguhnya, bahwa Pancasila berada dalam
wujudnya sebagai nilai-nilai yang diyakini sebagai baik dan benar dan karenanya dilaksanakan dalam
kehidupan sosial-budaya setiap unsur bangsa Indonesia. Sesuai dengan sifat sosio-budaya bangsa yang
bhinneka, maka nilai-nilai Pancasila dalam bentuk dan konsepnya yang berbeda-beda menjadi inti sosio-
budaya bangsa. Secara populer sering disebutkan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia
sendiri, walaupun mendapatkan aspirasi dari luar, yaitu Tiga Dasar (San Min Chu-i) dari Dr. Sun Yat-sen
(Cina) dan Declaration of Independence dari Amerika.
Prakara kedua, adalah Pancasila religi, yaitu nilai-nilai Pancasila yang terkandung, hidup dan
berkembang, dalam kepercayaan dan agama-agama di IndonesiaKembali sesuai dengan karakteristik
bangsa Indonesia yang bhinneka, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki keyakinan atau kepercayaan
dan agama yang berbeda-beda. Sesungguhnyalah bahwa religi tidak identik dengan agama. Religi
merupan inti atau jiwa dari kepercayaan dan agama-agama. Di dalam setiap kepercayaan dan agama-
agama di Indonesia terdapat nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian Pancasila dapat menjadi alat
pemersatu bangsa.

Prakara ketiga, yaitu Pancasila negara, dalam hal mana nilai-nilai Pancasila telah diangkat ke permukaan
secara nasional, dirumuskan secara sistemik dan sistematis, dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945
sebagai dasar negara, selanjutnya dikembangkan sebagai filsafat.

Materi Pancasila, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, digali dari kehidupan asli bangsa
Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut hidup dan terpelihara dalam sepanjang sejarah bangsa; ada di
dalam tradisi, adat dan kebiasaan serta budaya bangsa. Nilai-nilai itu berkedudukan sebagai cita-cita dan
pandangan hidup bangsa dan akhirnya diangkat menjadi dasar negara. Oleh karena itu Notonagoro
mengatakan bangsa Indonesia “ber-Pancasila dalam triprakara”, yaitu: (1) Pancasila adat-budaya (nilai-
nilai dalam adat–kebudayaan), (2) Pancasila religi (nilai-nilai dalam hidup keagamaan), (3) Pancasila
negara (tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia).

Nilai-nilai Pancasila telah berkembang dari pandangan hidup atau ideologi dalam kawasan keyakinan
menjadi filsafat dalam kawasan ilmu pengetahuan. Filsafat Pancasila telah berkembang dari filsafat
noneksplisit (implisit) menjadi filsafat yang eksplisit.

b. Pancasila sebagai satu kesatuan bulat utuh

Pancasila adalah filsafat, maka sistematika Pancasila bersifat mutlak, bersifat hakiki, tertib urutannya
tidak boleh diubah, sekalipun hanya redaksinya. Setiap sila adalah prinsip azasi, masing-masing
berkedudukan azasi pula. Sistematika azasi filsafat Pancasila bersifat hierarkhis-piramidal, artinya tata
urutannya tetap, sila yang satu merupakan basis dari sila yang lain, sila yang terdahulu menjadi basis sila
yang kemudian, sementara sila yang kemudian merupakan pengkhususan dari sila yang mendahuluinya.
Brikut ini gambar ilustrasinya.
Ketuhanan
Kemanusiaan

Persatuan

Kerakyatan

Keadilan sosial

Pincasila sebagai satu kesatuan bulat utuh antara sila-silanya berarti bahwa: (1) bagian-bagiannya tidak
saling bertentangan, (2) keseluruhannya menyusun sesuatu hal yang baru (gestal), bukan sekedar
kumpulan atau jumlah dari unsur-unsurnya. (3) tiap bagian merupakan bagian yang mutlak, artinya
hilangnya satu bagian menyebabkan hilang halnya; bagian yang terlepas dari halnya kehilangan
kedudukan dan fungsinya, (4) di dalam setiap sila tersimpul sila-sila yang lain.

Hakikat Pancasila merupakan satu kesatuan bulat utuh juga berarti: tiap sila merupakan bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan sila yang lain. Tiap-tiap sila saling membatasi dan sekaligus
memperkaya/melengkapi serta menjiwai. Tanpa menjadi kesatuan dengan yang lain, masing-masing sila
kehilangan maknanya. Tanpa kesatuan bulat utuh keseluruhan silanya, bukan Pancasila dasar negara
Republik Indonesia.

Kesatuan bulat utuh itu merupakan ciri khusus, yang unik, hanya ada di Indonesia. Itulah sebabnya
Pancasila dapat disebut sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa ciri khusus atau sifat khas itu tidak
dapat disebut dengan kepribadian. Tiap-tiap sila sebagai aspek yang terpisah dari yang lain dapat
ditemukan pula di tempat, negara atau bangsa lain, tetapi sebagai komponen dalam satu sistem bulat
utuh hanya ada di Indonesia. Contoh penjelasannya: Ketuhanan harus berkemanusiaan, berpersatuan,
berkerakyatan dan berkeadilan sosial; demikian seterusnya. Berketuhanan yang tidak berkemanusiaan,
bukanlah ketuhanan dalam makna Pancasila. Misalnya paham ketuhanan yang dianut oleh
kelompokteroris, walaupun ”disahkan” oleh ajaran agamanya. Ketuhanan yang tidak berpersatuan, juga
bukan ketuhanan dalam makna Pancasila, karena bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dalam
Pancasila (Perhatikan makna sila-sila dalam Pancasila pada Bab lain!). Misalnya, orang beragama yang
tidak bersikap toleran terhadap agama lain. Perhatikan ilustrasi berikut ini.
I Ketuhanan

II Kemanusiaan

III Persatuan

IV Kerakyatan

V Keadilan sosial

Ada kesan bahwa negara kita mempunyai lima sila dasar atau dasarnya ada lima. Hal itu tidak benar.
Pancasila adalah satu dasar yang susunannya tidak tunggal melainkan majemuk tunggal, pancatunggal,
yang juga disebut Eka Pancasila.

Dalam hal Pancasila yang penting adalah kenyataan dalam obyektifnya, bukan apa orang menyebutnya;
sebab orang dapat menyebut dengan istilah berbeda-beda untuk obyek yang sama. Untuk menyebutkan
apa yang sesungguhnya Pancasila itu, harus/diperlukan orang yang benar-benar ahli dalam hal itu dan
diperlukan penelitian ilmiah. Berikut ini berbagai sebutan tentang Pancasila.

Paling sedikit ada delapan sebutan untuk Pancasila, yaitu: (1) Jiwa bangsa Indonesia, (2) kepribadian
bangsa Indonesia, (3) Pandangan hidup bangsa Indonesia, (4) Dasar negara Republik Indonesia, (5)
Sumber tertib hukum negara Republik Indonesia, (6) perjanjian luhur bangsa Indonesia, (7) cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia, (8) alat pemersatu bangsa Indonesia. Dari berbagai sebutan itu dapat
dirangkum ke dalam dua kategori.

1) Pertama, Pancasila sebagai dasar Negara, yang bersifat mengikat, mempunyai sanksi hukum.

2) Kedua, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bersifat mengikat tetapi tidak mempunyai sanksi
hukum
Dengan berbagai sebutan di atas, ada segi positif dan negatifnya. Aspek positif: dapat diterima dalam
berbagai bidang kehidupan. Aspek negarif: sering mengaburkan pengertian pokoknya.

Pancasila merupakan inti isi persamaan yang terdapat dalam adat-istiadat, kebudayaan (Pancasila
budaya) dan agama-agama (Pancasila religi) bangsa Indonesia, yang kemudian juga terdapat dalam
kehidupan menegara, menjadi dasar negara (Pancasila Negara).

c. Hakikat inti isi Pancasila

. Notonagoro mengkategorikan inti-isi Pancasila sebagai umum universal, umum kompromi, umum
abstrak, dan khusus konkret. Umum universal, artinya bahwa nilai-nilai Pancasila berlaku secara umum
di seluruh dunia. Secara terpisah satu dari yang lain, sila-sila dalam Pancasila itu juga ada di antara
bangsa-bangsa atau negara-negara lain, dan berlaku secara universal (mendunia). Umum kompromi,
artinya nilai-nilai Pancasila itu berlaku mengikat secara umum, bersama-sama sebagai hasil dari
kompromi atau kesepakatan. Umum abstrak, artinya nilai-nilai Pancasila itu bersifat abstrak atau
spekulatif. Umum konkret, artinya bahwa nilai-nilai Pancasila itu dihayati dan diamalkan sesuai
pemahaman masing-masing pihak.

Selanjutnya Notonagoro memberikan arti inti sila-sila dalam Pancasila dengan menggunakan kata-
kata: ”sifat-sifat, keadaan-keadaan yang sesuai dengan hakikat” sebagai berikut. Ketuhanan adalah
sifat-sifat, keadaan-keadaan yang sesuai dengan hakikat Tuhan. Kemanusiaan adalah sifat-sifat,
keadaan-keadaan yang sesuai dengan hakikat manusia. Persatuan adalah sifat-sifat, keadaan-keadaan
yang sesuai dengan hakikat satu. Kerakyatan adalah sifat-sifat, keadaan-keadaan yang sesuai dengan
hakikat rakyat. Keadilan sosial adalah sifat-sifat, keadaan-keadaan yang sesuai dengan hakikat adil.

d. Pokok pikiran lain yang relevan dengan ontologi Pancasila

Selain hal-hal yang telahdipaparkan di atas Notonagoro juga menyebut bahwa Ir. Soekarno adalah
”pencipta Pancasila”. Hal ini langsung ditolak oleh Soekarno sendiri, dengan alasan apabila Pancasila
ciptaan Soekarno maka keberadaannya akan tergantung pada Soekarno, bila Soekarno telah tidak
berkuasa atau tidak ada, Pancasila akan diabaikan. Orang lain tidak merasa handarbeni (memiliki), maka
juga tidak akan mempertahankan keberadaannya. Olehkarena itu Soekarno tidak mau disebut sebagai
pencipta Pancasila, melainkan hanya sebagai ”penggali” Pancasila.

Masih menurut Notonagoro, Pancasila ”bukan konsepsi politis”. Ada pendapat sementara orang
bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia hanyalah konsepsi politis, karena adanya Pancasila diciptakan
untuk kepentingan politis semata, yaitu demi persatuan bangsa melawan penjajahan. Tanpa persatuan
bangsa Indonesia tidak akan mampu melawan penjajahan, dan tanpa Pancasila bangsa Indonesia tidak
dapat bersatu. Itulah sebabnya maka dimunculkan Pancasila sebagai konsepsi politis. Pendapat tersebut
tidak benar dan berbahaya, karena bila Pancasila hanya konsepsi politis, dibentuk demi kpentingan
politis semata, ketika kekuasaan negara dipegang oleh kelompok atau golongan tertentu yang secara
politis tidak menghendaki Pancasila, maka Pancasila akan secara sah dapat diganti. Oleh karena itu
penelitian Notonegoro menegaskan bahwa Pancasila bukan konsepsi politis, melainkan juga konsepsi
filosofis; artinya merupakan hasil pemikiran yang mendalam, dalam waktu yang relatif lama, dan
dilakukan oleh para ahli yang kompeten.

Bagi bangsa Indonesia Pancasila sudah final, tidak perlu dipikir-pikir lagi, dan tidak dapat diubah
atau diganti, hanya perlu untuk dihayati dan diamalkan, sebagai suatu keharusan atau bersifat imperatif.
Pancasila telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak mungkin dapat diubah, karena
mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara. Adapun tentang rumusan Pancasila
yang pernah dimasukkan dalam UUD 1949 dan UUD Sementara1950, oleh Notonagoro dijelaskan
sebagai: (1) tidak bersifat perubahan, (2) hanya pengutamaan, pertimbangan taktis, dan psikologis, (3)
sebagai penegasan atau keluasan, dan (4) hanya soal istilah belaka. Akhirnya ditegaskan bahwa
Pembukaan UUD 1945 adalah sumber otentik rumusan Pancasila, hukum dasar negara tertinggi dan
bersifat mutlak, dan merupakan Declaration of Independence bagi bangsa Indonesia.

2. Pokok-pokok Pikiran Drijarkara

a. Ada bersama dengan cinta kasih

Drijarkara menjelaskan keberadaan Pancasila berpangkal dari kodrat manusia mengikuti aliran
eksistensiali dari Heidegger. Pancasila inheren (lekat) pada eksistensi (keberadaan) manusia sebagai
manusia (kodrat manusia, quo talis). Pancasila merupakan konsekuensi dari ada bersama manusia
dengan cinta kasih. Ada bersama manusia dalam kaitannya dengan Tuhan, menimbulkan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ada bersama manusia dengan orang lain atau sesamanya, menimbulkan sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada bersama manusia dalam kaitannya dengan masyarakat,
menimbulkan sila Persatuan Indonesia (Kebangsaan). Ada bersama manusia dalam kaitannya dengan
hak azasi, menimbulkan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
ermusyawaratan/perwakilan. Ada bersama manusia dalam kaitannya dengan syarat hidup,
menimbulkan sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Pemerasan Pancasila

Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), timbul pernyataan bahwa Pancasila
tidak perlu diperas-peras. Pemerasan Pancasila memang timbul pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno (Orde Lama). Tetapi sebagai kajian ilmiah tidak ada salahnya diungkap kembali tentang logika
pemerasan Pancasila, sebagaimana juga diungkapkan oleh Drijarkara.

Telah disebut bahwa ada bersama itu dengan cinta kasih. Drijarkara menempatkan cinta kasih
sebagai inti dari Pancasila. Pancasila dapat diperas menjadi Dwisila, yaitu cinta kepada tuhan, sebagai
manifestasi dari sila pertama Pancasila, dan cinta kepada sesama, sebagai manifestasi keempat sila yang
lain. Dwisila dapat diperas menjadi Ekasila, yaitu cinta kasih sebagai hukum kodrat. Sebagai penjelasan
dapat dibuat bagan sebagai berikut.

Ketuhanan Cinta Tuhan Cinta

Kemanusiaan kasih

Persatuan Cinta sebagai

Kerakyatan sesama hukum

Keadilan sosial kodrat

Pancasila Dwisila Ekasila


Sebagai pembanding, berikut ini pemerasan menurut pola pikir Ir. Soekarno dan Mohammad
Hatta.

Ir. Soekarno, dalam pidato Lahirnya Pancasila, menawarkan bentuk pemerasan Pancasila menjadi
Trisila dan Ekasila. Trisila mencakupi: Ketuhanan (sila Ketuhanan), Sosio-Nasionalisme (gabungan sila
Kemanusiaan dan Persatuan), dan Sosio-Demokrasi (penggabungan dari sila Kerakyatan dan Keadilan
Sosial). Ekasila versi Soekarno adalah Gotong Royong. Berikut ini bagan ilustrasinya.

Ketuhanan Ketuhanan

Kemanusiaan

Persatuan Sosio-nasionalisme Gotong Royong

Kerakyatan

Keadilan sosial Sosio-demokrasi

Pancasila Trisila Ekasila

Sesungguhnya Mohammad Hatta tidak secara formal melakukan pemerasan Pancasila, tetapi
untuk menanggapi pemerasan yang telah ada tersebut diajukan konsep pemerasan Pancasila menjadi
Ekasila saja. Kalau harus diperas-peras, maka Pancasila itu hanya menjadi satu, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, karena Tuhan adalah sumber dari segalanya. Maka pemerasan Hatta dapat digambarkan
sebagai berikut.

Ketuhanan
Kemanusiaan Ketuhanan

Persatuan Yang Maha Esa

Kerakyatan

Keadilan sosial

Pancasila Ekasila

c. Prinsip-prinsip Pancasila

Drijarkara menjelaskan bahwa Pancasila merupakan prinsip-prinsip sekaligus tujuan. Pancasila


terbentuk melalui proses idealisasi dan ideifiksi nilai-nilai yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia itu diabstrakkan dan dijadikan
suatu cita-cita.

Pancasila dapat dikembalikan kepada dan atau mencakup tiga macam jenis soal hidup pokok dari
manusia (termasuk manusia Indonesia).

1) Terhadap diri sendiri, termasuk hubungannya dengan benda, tersimpul dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab.

2) Terhadap sesama manusia, yang mengenai benda, terutama dalam hubungannya dengan lingkungan
kenegaraan, tersimpul di dalam sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3) Terhadap asal mula segala sesuatu, tersimpul di dalam sila Ketuhanan Maha Esa.
Seperti halnya Notonagoro, Drijarkara juga menjelaskan tentang struktur prinsip-prinsip
dasaryang hirarkhis-piramidal. Sistematika atau urutan prinsip-prinsip dasar tersebut bersifat tetap,
tidak dapat diubah atau ditukar. Sila yang terdahulu menjadi basis sila berikutnya. Sila yang berikut
merupakan konkretisasi atau pengkhususan dari sila sebelumnya. Bagian-bagiannya tidak saling
bertentangan. Tiap bagian mutlak adanya, sehingga hilang satu menjadikan hilang makna
keseluruhannya. Tiap sila saling membatasi dan sekaligus melengkapi. Setiap sila tersimpul dalam sila
yang lain. Sila pertama menjadi sumber seluruh sila yang lain, dan sila terakhir menjadi tujuan sila-sila
sebelumnya. Tujuan negara adalah keadilan sosial (sila kelima) yang terus menuju kepada Tuhan (sila
pertama).

d. Pancasila dan religi

Sebagaimana telah disebut, bahwa religi adalah jiwa atau semangat dari agama. Religi tidaklah
sama dengan agama. Agama memang berbeda-beda, tetapi religinya sama. Religi merupakan bentuk
penyerahan total manusia kepada Tuhan.

Dalam kaitannya dengan negara, negara Pancasila bukanlah negara agama melainkan negara
bertuhan. Negara Pancasila adalah negara sekuler (keduniawiaan) tetapi bukan sekularisme atau negara
profan yang sama sekali memisahkan diri dari hal-hal yang rohani. Negara Pancasila jelas bukan negara
ateis, yang menentang adanya Tuhan.

C. Epistemologi Pancasila

Tentang cara bagaimana Pancasila berada, secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Pengantar

Apa yang disebut dengan filsafat Pancasila masih dalam proses pertumbuhan. Filsafat Pancasila belum
merupakan ajaran secara tertulis dari seorang filsof. Filsafat Pancasila masih berupa tata nilai (value
system) dan tata masyarakat(social system) yang terkadung di dalam sosio-budaya bangsa Indonesia,
terpelihara dalam sepanjang sejarah. Filsafat Pancasila masih terpendam sebagai potensi dalam proses
menjadi aktual.

Dardji Darmodihardjo mengatakan bahwa filsafat Pancasila adalah hasil berpikir yang sedalam-dalamnya
dari bangsa Indonesia, yang oleh bangsa Indonesia dianggap, dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu
(kenyataan, nilai-nilai, norma-norma) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan
paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Notonagoro mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil
pemikiran yang mendalam, mendasar, secara cermat dan sistematis oleh para ahli dan dalam waktu
yang lama.

Menurut Mohammad Yamin Pancasila itu benar-benar merupakan suatu sistematika filsafat karena
masing-masing sila-nya (prinsip azasi, idea azasi) kait-mengkait, merupakan unified view atau kesatuan
pandangan yang menyeluruh. Oleh Ruslan Abdulgani Pancasila disebut all balanced composition, sebab
di dalamnya tercakup filsafat hidup dan cita-cita luhur bangsa Indonesia tentang hubungan (a) manusia
dengan Tuhan, (b) manusia dengan sesamanya, (c) manusia dengan tanah air-nya, dan (d) manusia
dengan harta bendanya.

Janji Jepang dan upaya Indonesia

Tentang lahirnya Pancasila bagi bangsa Indonesia secara historis dapat dikatakan merupakan dorongan
dari Pemerintah Pendudukan Jepang yang ditanggapi dengan upaya para tokoh perjuangan untuk
merumuskan dasar negara Pancasila. Sejak semula, Pancasila dirumuskan untuk dijadikan dasar negara.
Hal itu dapat ditelusuri dari (a) Pidato 29 Mei 1945 oleh KRT Widyodiningrat, I.P. Suroso dan
Mohammad Yamin, (b) Pidato 31 Mei 1945 oleh Mr. Soepomo, (c) Pidato 1 Juni 1945 oleh Ir. Soekarno,
(d) Munculnya Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, dan (e) Disahkan Pembukaan UUD 1945, 18 Agustus 1945.
Keseluruhan proses tersebut merupakan cara atau metode adanya Pancasila bagi bangsa Indonesia,
yang memenuhi aspek epistemologi dari uraian Pancasila sebagai sistem filsafat.

Sikap kooperatif dari Pemerintah Pendudkan Jepang ditunjukkan dalam janji untuk memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia 24 Agustus 1945. Unntuk itu kepada para pemimpin bangsa
Indonesia diminta memikirkan tentang dasar-dasar Indonesia merdeka. Maka dibentuklah suatu badan
yang disebut Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BUPKI) yang kemudian
akan berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kedua badan tersebut bertugas
untuk mempersiapkan dasar negara Indonesia merdeka, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
3. Proses perumusan Pancasila dan UUD 1945

Sebagai realisasi janji Pemerintah Pendudukan Jepang, tanggal 28 April 1945 dibentuk BPUPKI. Badan
tersebut diketuai oleh Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Widyodiningrat; maka juga disebut Komisi
Rajiman, yang dalam bahasa Jepangnya Dokuritzu Zyunbi Coosakai. Sebagai Wakil Ketua ada dua orang,
yaitu R.P. Soeroso dan Ichibangase (orang Jepang). Badan ini beranggotakan 61 orang yang dilantik oleh
Pemerintah Pendudukan Jepang 28 Mei 1945. BPUPKI menyelenggarakan dua kali Sidang Lengkap, yaitu:
29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan 10 hingga 16 Juli 1945. Berikut ini paparnnya.

a. Sidang Lengkap Pertama BPUPKI: 29 Mei – 1 Juni 1945

Pada Sidang Lengkap petama dibirakan tentang dasar negara Indonesia merdeka, berturut-turut
oleh Mohammad Yamin (29 Mei 1945), Mr. Soepomo (31 Mei 1945), dan Ir. Soekarno (1 Juni 1945). Dari
ketiga pembicara tersebut dihasilkan rumusan dasar negara yang berbeda.

Mohammad Yamin menyampaikan dua buah rumusan dasar negara. Satu, rumusan dasar negara
yang disampaikan secara lisan, dan yang kedua disampaikan secara terulis. Yang disampaikan secara
lisan adalah sebagai berikut:

Peri Kebangsaan

Peri Kemanusiaan

Peri Ketuhanan

Peri Kerakyatan, Permusyawaratan, Perwakilan, Kebijaksanaan

Kesejahteraan Rakyat, Keadilan Sosial


Kemudian diserahkan rumusan yang tertulis:

Ketuhanan Yang Maha Esa

Kebangsaan Persatuan Indonesia

Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan /perwakilan

Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Rumusan dasar negara yang diajukan oleh Mr. Soepomo kurang jelas. Ia mengajukan tiga hal,
yaitu (1) Persauan Negara, Negara Serikat, Persekutuan Negara, (2) Hubungan antara negara dan
Agama, dan (3) Republik atau Monarkhi. Ia sendiri setuju dengan negara nasional, menolak negara
feodal, kepala negara adalah pemimpin negara dari rakyat seluruhnya, negara bersifat kekeluargaan.

Ir. Soekarno, dalam pidato 1 juni 1945, mengajukan rumusan dasar negara sebagai berikut:

Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme

Peri Kemanusiaan atau Internasionalisme

Mufakat, Perwakilan, Permusyawaratan


Kesejahteraan Sosial atau Keadilan Sosial

Ketuhanan yang berkebudayaan, atau

Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, atau

Ketuhanan Yang Maha Esa

Dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa, Ir. Soekarno menamakan dasar negara yang
dirumuskannya itu: Pancasila. Pidato 1 Juni 1945 tanpa teks tertulis itu kemudian (1947) ditulis dan
diterbitkan dengan nama “Lahirnya Pancasila”, sehingga 1 Juni dinyatakan sebagai “Hari Lahirnya
Pancasila” yang setiap tahun dirayakan selama masa Pemerintah Orde Lama. Hal itu kemudian ditinjau
kembali pada masa Pemerintah Orde Baru dan dinyatakan Pancasila tidak pernah lahir, dan
menimbulkan polemik. Polemik tersebut diawali dengan tulisan Nugroho Notosusanto (Universitas
Indonesia), kemudian ditangapi oleh Ruben Nalenan (UNTAG Jakarta), dan G. Moedjanto (Sanata
Dharma Yogyakarta). Tentang perayaan Hari Lahir Pancasila pernah dibuat mengambang, tidak jelas
atau tidak secara tegas dilarang atau dianjurkan; sekarang telah dapat diperingati lagi.

b. Panitia Kecil Sembilan Orang

Sebelum diselenggarakan Sidang Lengkap Kedua BPUPKI, lebih dulu dibentuk Panitia Kecil yang
terdiri dari sembilan orang. Panitia Kecil Sembilan Orang itu bertugas menyusun Rancangan Pembukaan
Hukum Dasar (Rancangan Preambule Hukum Dasar). Panitia Kecil Sembilan Orang menghasilkan
rumusan Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter), 22 Juni
1945. Adapun teks selengkapanya sebagai berikut.

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidpan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam
suatu hukum dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan
Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagisluruh rakyat
Indonesia.

Jakarta, 22 juni 1945

Ir. Soekarno

Drs. Mohammad Hatta

Mr. A.A. Maranis

Abikusno Tjokrosujoso

Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim

Mr. Achmad Subardjo

Wachid Hasjim

Mr. Muhammad Yamin

Dari teks Piagam Jakarta tersebut dapat disimpulkan adanya rumusan dasar negara,
yaitu:Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

Kemanusiaan yang adil dan beradab

Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Jakarta tersebut disahkan oleh Sidang Lengkap Kedua BPUPKI, 16 Juli 1945, sebagai
Rancangan Pembukaan UUD yang diajukan dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), 18 Agustus 1945.

c. Sidang Lengkap Kedua BPUPKI: 11 – 16 Juli 1945

Sidang ini membicarakan Rancangan Hukum Dasar. Untuk itu dibentuk beberapa panitia sebagai
berikut.
1) Panitia Perancang Undang-Undang Dasar

Panitia ini diketuai oleh Ir. Soekarno, maka juga disebut Komisi Soekarno. Panitia ini terdiri dari 19
orang. Selanjutnya panitia ini membentuk Panitia Kecil Tujuh Orang, yang diketuai oleh Mr. Soepomo.
Tujuh orang anggota tersebut ialah: Mr. Soepomo, Wongsonegoro, Soebardjo, A.A. Maranis, Singgih,
Haji Agus Salim, dan Soekiman.

2) Panitia Pembela Tanah Air

Panitia ini diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso.

3) Panitia Keuangan dan Ekonomi

Panitia ini diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.

Tanggal 11 – 13 juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar berhasil menyusun Rancangan
UUD, yang berisi: (1) Pernyataan Indonesia Merdeka, (2) Pembukaan UUD,dan (3) UUD yang terdiri atas
42 pasal. Tanggal 14 Juli 1945, Rancangan UUD tersebut diajukan dalam Sidang Lengkap Kedua BPUPKI.

Tanggal 15 – 16 Juli 1945, BPUPKI menyelenggarakan sidang-sidangnya untuk mendapatkan


kesepakatan tentang Usulan Rancangan UUD. Dalam sidang tersebut disepakati Piagam Jakarta
diusulkan sebagai Rancangan Pembukaan UUD, yang akan dimintakan pengesahan dalam Sidang PPKI,
18 Agustus 1945.

d. Pengesahan Pembukaan UUD 1945

Piagam Jakarta yangdisepakati diusulkan menjadi Pembukaan UUD 1945 ternyata tidak
memperoleh kesepakatan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945.
Setelah melalui perdebatan yang cukup melelahkan dan menegangkan bahkan mengawatirkan
terjadinya perpecahan bangsa akhirnya dengan jiwa luhur segenap unsur bangsa ditetapkan Pembukaan
UUD 1945 dengan rumusan Pancasila sebagaimana yang disahkan sebagai dasar negara yang sekarang.
Dengan masuknya rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, maka Pancasila telah menjadi dasar
negara, menjadi sumber tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum, yang pembicaraannya
telah memasuki kawasan aksiologi filsafat Pancasila.

Pancasila adalah filsafat, maka (1) Pancasila memiliki kebenaran filsafat, (2) Pancasila menjadi obyek
peneltian filsafat, (3 kebenaran filsafat tidak lagi dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, dan (4)
Pancasila merupakan jenis filsafat baru di dunia, pada abad ke-20.

D. Aksiologi Pancasila

1. Dasar pikiran aktualisasi filsafat Pancasila

Ada beberapa alasan mengapa filsafat Pancasila perlu ada. Beberapa alasan itu dapat dibedakan ke
dalam orientasi atau wawasan kepada masa lampau dan masa kini serta orientasi kepada masa depan.
Berikut ini uraian masing-masing.

a. Orientasi kepada masa lampau dan terjadinya penyimpangan

Orientasi kepada masa lampau berarti melihat perkembangan Pancasila dalam sejarah bangsa
Indonesia, utamanya sejak dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara sebagai tuntutan Proklamasi
Kemerdekaan. Sejarah bangsa Indonesia pada dasarnya juga sejarah Pancasila itu sendiri.

Dari sejarah bangsa Indonesia kita yakin bahwa Pancasila dapat menjadi ukuran tentang
tercapai atau tidaknya tujuan dari Proklamasi Kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan
makmurberdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tujuan dari Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya dapat
dicapai dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Sejarah telah membuktikan bahwa
sejauh bangsa Indonesia mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan baik, maka terjadilah ketenangan,
ketenteraman, kedamaian, dan kesejahteraan yang menuju kepada keadilan dan kemakmuran.
Sebaliknya, sejauh nilai-nilai Pancasila tidak dihayati dan diamalkan dengan baik, sejauh itu pula timbul
kekacauan, yang mengarah kepada perpecahan dan kehancuran, dan itulah yang sedang terjadi. Belajar
dari sejarah itulah muncul pemikiran bagaimana menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai milik bangsa
yang diyakini kebenarannya dan akhirnya dipatuhi. Untuk itu perlu mempelajari berbagai penyimpangan
Pancasila dan sebab-sebabnya.

1) Penyimpangan Pancasila

Penyimpangan Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia dapat dikategorikan ke dalam: pengurangan,
penambahan, dan penggantian serta pengaburan. Berikut ini penjelasan rincinya.

a) Pengurangan

Pancasila dirumuskan sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini, karena sebagai alat pemersatu, dapat
dibuang setelah cita-cita bersatu terwujud. Komentar semacam ini bersumber dari orang-orang komunis
(PKI = Partai Komunis Indonesia). Hal ini dikategorikan ke dalam pengurangan karena bersifat
mengurangi peran Pancasila. Memang tidak salah bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa,
tanpa Pancasila barangkali bangsa Indonesia belum mencapai persatuan seperti yang ada sekarang.
Selain itu kelahiran Pancasila, oleh para pendiri Negara Republik Indonesia ini memang juga
dimaksudkan untuk membuat persatuan di antara kelompok atau golongan yang ada pada saat itu.
Namun demikian peran Pancasila bukan hanya sebagai alat pemersatu. Mereka (PKI) lupa bahwa
Pancasila juga berperan sebagai dasar negara yang tidak mungkin dapat dibuang. Kalau dasar negara
dibuang, Negara itu sendiri akan runtuh, dan bila alat pemersatu dibuang kesatuan dan persatuan itu
akan berantakan.

Perlu dicatat bahwa PKI menerima Pancasila sebagai taktik perjuangan. Sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab diterima sebagai internasionalisme yang tidak mengakui nasionalisme atau kebangsaan.
Mereka menerima kebebasan beragama dalam arti bebas tidak beragama, atau bebas berpropaganda
anti agama.

b) Penambahan

Pancasila disamakan dengan Nasakom (Nasional, agama dan Komunis). Dalam hal ini terjadi
penambahan, yaitu unsur kom (Komunis) yang sebenarnya di luar Pancasila.
Perlu diperhatikan bahwa di dalam Pancasila tidak mungkin ada Komunis. Pancasila menjamin hidup
berketuhanan, sedang komunis anti Tuhan. Keduanya tidak mungkin hidup bersama dalam arti yang
sebenarnya; bila hal itu terjadi sifatnya hanya sementara dan tidak mendasar; hanya sebagai taktik,
bukan startegi.

c) Penggantian dan pengaburan

Penyimpangan dalam hal ini bersifat mengganti (substitusi) terhadap pengertian nilai-nilai dan sila-sila
Pancasila dengan maksud untuk menguburkan atau membuat tidak jelas. Contoh-contohnya adalah:
Pancasila is Nasakom (Pancasila adalah Nasakom), Keadilan sosial adalah masyarakat tanpa hak milik,
Kemanusiaan is Internasionalisme, Kebebasan agama adalah bebas anti agama/tidak beragama, orang
komunis juga “berkeyakinan”, yaitu yakin bahwa Tuhan tidak ada.

Berbagai jenis penyimpangan tersebut di atas. (pengurangan, penambahan dan penggantian) dapat
dikategorikan sebagai penyimpangan prinsipial, kategoritematis. Di samping itu juga terjadi
penyimpangan faktual bersifat praktis dan kontradiktif, kategori operatif, yaitu dalam bentuk
pelanggaran atau penentangan, seperti pemberontakan dan lain-lain.

2) Sebab-sebab terjadinya penyimpangan

Dari jenis-jenis pernyimpangan yang telah dibicarakan di atas, dapat ditarik simpulan mengapa timbul
penyimpangan dan dengan demikian juga dapat ditentukan bagaimana cara mengatasinya.
Penyimpangan terhadap Pancasila dapat timbul karena kurang pengertian dan keinginan yang jahat.

a) Untuk penyimpangan yang timbul karena kurang pengertian dapat diatasi dengan memberikan
pengertian yang jelas. Dalam hal ini tampak pentingnya mempelajari Pancasila. Di samping diajarkan di
sekolah-sekolah (termasuk di perguruan tinggi), juga diadakan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila). Ketika saat ini Pancasila tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi, perlu dipikirkan kembali. Kalau penataran P-4 tidak diinginkan lagi; perlu dipikirkan
penguatan eksistensi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

b) Penyimpangan yang timbul karena keinginan yang jahat dapat berupa lain-lain pengurangan,
penambahan, penggantian, pengaburan, pemalsuan idealisme; disebabkan oleh pendirian dan
pandangan politik. Untuk itu diperlukan suatu kewaspadaan. Dalam hal ini diperlukan kaum intelektual
Pancasila yang berani bicara dan ambil peranan. Dengan demikian pendidikan Pancasila menjadi
penting. Perlu dicatat bahwa peyimpangan dapat timbul pada diri setiap penduduk dan warga negara,
baik dari rakyat maupun pemerintah. Tidak satu orang atau kelompok dan juga golongan yang boleh
merasa paling berhak dan bertanggung jawab, serta merasa lebih dari yang lain. Pancasila bukan suatu
yang otomatis ada pada mereka yaitu mengakuinya, melainkan perlu diupayakan atau diperjuangkan
adanya dalam bentuk pengalaman kongkret dan dirasakan oleh sesama warga Negara.b. Orientasi masa
kini

1) Realitas material, menurut isi dan keluasannya, tata nilai dan tata masyarakat dalam sosio-budaya
bangsa ideologi mengandung nilai-nilai filsafat. Nilai-nilai itu belum dirumuskan sebagai filsafat,
melainkan sebagai sikap hidup masyarakat; untuk dalam bahasa Jerman kita kenal sebagai
Weltanschauung merupakan filsafat pada tahap awal atau sering mendahului timbulnya filsafat,
tepatnya yang kemudian dapat dirumuskan sebagai filsafat dari para pendukungnya.

2) Realita fungsional-praktis, nilai-nilai Pancasila yang disebut sebagai nilai-nilai dasar, tersebut telah
menjadi tata nilai dalam sosio-budaya sepanjang sejarah.

3) Realita formal, secara yuridis-konstitusional nilai-nilai Pancasila kini, sejak bangsa Indonesia
mendirikan negara merdeka, telah dijadikan dasar negara, dasar kerohanian negara, sebagai sumber
tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum tercantum di dalam Pembukaan. Baik realita
material, realita fungsional-praktis maupun realita formal, ketiga-tiganya mewujudkan das Sein, yaitu
kenyataan yang ada, sedang yang merupakan das Sollen-nya atau yang diharapkan adalah :

4) Secara harapan, wajar bahwa bangsa Indonesia menghendaki nilai-nilai tersebut di atas menjadi
sistem filsafatnya, karena memiliki sifat-sifat: fundamental, universal, spiritual, komprensif dan metafisis
(hakiki).

c. Orientasi ke masa depan

Kelangsungan hidup bangsa dan negara memerlukan ketahanan nasional dan ketahanan nasional
memerlukan adanya filsafat Pancasila. Hal ini telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia bahwa hanya dengan berpegang pada nilai-nilai dasar Pancasila bangsa Indonesia berhasil
mendirikan negara merdeka dan mempertahankannya dari berbagai ancaman, baik dari luar (usaha-
usaha kembalinya penjajah Belanda, gerakan suvervisi), maupun rongrongan dari dalam (perpecahan,
pemberontakan, gerakan separatisme atau pemisahan, unitarisme atau federasi, feodalisme, paham
kedaerahan dan lain-lain). Ancaman tersebut memuncak dengan adanya G.30 S/PKI, pada saat mana
nilai-nilai Pancasila berkobar dengan seindah-indahnya, sehingga berhasil menggagalkan gerakan
tersebut dan dengan demikian Pancasila dinyatakan sebagai ”sakti”, dan 1 Oktober dinyatakan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila.

Selain itu dirasakan perlunya pewarisan nilai-nilai Pancasila sebagai sistem filsafat. Sudah sewajarnya
kalau generasi tua yang telah mengalami dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai yang terbaik dan
benar berniat untuk mewariskan kepada generasi penerusnya. Apa bila tidak demikian maka generasi
tua itu akan dikecam sebagai tidak konsekuen, tidak konsisten dan pantas digugat oleh generasi
penerusnya. Pewarisan nilai-nilai itu akan menjadi kokoh apabila terumus sebagai filsafat.

2. Fungsi Pancasila

Dari beberapa pengertian tentang Pancasila tersebut di atas dapat disimpulkan adanya beberapa fungsi
Pancasila sebagai berikut ini.

a. Secara yuridis ketatanegaraan atau yuridis konstitusional; Pancasila berfungsi sebagai dasar negara
dan sumber tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum.

b. Secara sosiologis Pancasila berfungsi sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya.

c. Secara etis Pancasila berfungsi sebagai pengatur tingkah laku pribadi.

d. Secara filosofis (philosophical way of thinking; philosophical system). Pancasila berfungsi


sebagai cara-cara mencari kebenaran.
3. Pancasila sebagai filsafat sosial

Pancasila di samping sebagai filsafat individual juga menjadi filsafat sosial. Pancasila sebagai
filsafat individual artinya bahwa setiap individu, warga negara Indonesia mengakui nilai-nilai
dasar Pancasila sebagai nilai-nilai untuk diyakini di dalam hidupnya, menjadi landasan sikap dan
tingkah lakunya. Pancasila sebagai filsafat sosial berarti bahwa nilai-nilai dasar Pancasila menjadi
landasan bersikap dan bertingkah laku bersama sebagai masyarakat, bangsa dan negara. Itu
berarti bahwa masyarakat, bangsa dan negara Indonesia adalah masyarakat, bangsa dan negara
yang Pancasilais.

Yang disebut masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang setiap warganya telah bersikap
dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini berarti: nilai-nilai Pancasila telah
menyatu dalam kepribadian setiap warga masyarakat. Untuk itu diperlukan kesadaran normatif.
Menurut kualitasnya, kesadaran normatif memiliki tingkat-tingkat sebagai berikut:

a. Kesadaran formal

Kesadaran yang timbul karena dipaksakan melalui hukum formal (UUD) dengan sanksi yang
mengikat. Kesadaran ini timbul dengan motivasi, yaitu : loyalitas atau disiplin dan untuk
menghindari sanksi. Tingkat kesadaran ini juga disebut tingkat habitual atau tradisional

b. Kesadaran informal

Kesadaran informal timbul karena pengakuan terhadap kebenaran dan kebaikan nilai-nilai
(superioritas nilai-nilai). Tingkat ini juga disebut tingkat rasional atau analisis: penalaran yang
kritis.

c. Kesadran moral-etis

Kesadaran yang timbul karena cinta kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pengakuan/keyakinan terhadap perintah-perintahNya. Tingkat ini juga disebut tingkat insan
kamil/supernatural, merupakan tingkat tertinggi kesadaran.

4. Pancasila sebagai filsafat bangsa

Dengan dicantumkannya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila terbentuklah kawasan
filsafat dan religi, artinya Pancasila mengandung watak filosofis dan beraspek religius. Maka
pembahasan yang tepat bagi Pancasila adalah secara integral antara analisis ilmiah, filosofis dan
religius. Kebenaran filsafat pada Pancasila tidak meragukan. Maka eksistensi Pancasila sebagai
filsafat bangsa Indonesia tidak dipersoalkan.

Dalam Memorandum DPR GR telah diterima baik dengan ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 ditegaskan bahwa: sumber tertib hukum RI adalah pandangan hidup, kesadaran
serta cita-cita hukum dan cita-cita moral, yang meliputi suasana mengenai kemerdekaan
individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional serta
mondial, cita-cita politik mengenai kehidupan kemasyarakatan serta keagamaan sebagai
pengejawantahan dari budi hati nurani manusia.Pancasila merupakan kepribadian bangsa
Indonesia dan digali dari bumi Indonesia sendiri. Hal itu berarti bahwa: (1) prinsip-prinsip azasi
yang terkandung di dalam Pancasila telah menjadi keyakinan bangsa Indonesia sejak dulu kala,
telah tersimpan di dalam lubuk sejarah Indonesia sebagai Pancasila religi dan Pancasila budaya,
(2) Pancasila telah digunakan sebagai petunjuk dalam praktik hidup sehari-hari, maka Pancasila
adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, (3) Pancasila dihasilkan dari pemikiran dan penelaahan
yang sedalam-dalamnya terhadap sikap mental atau tingkah laku yang khas bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai filsafat hidup juga sering disebut sebagai (1) pandangan hidup,
libensnchauung, livens beschouwing, (2) pandangan dunia, weltasnchauung,
wereldbeschouwing, (3) pedoman hidup, petunjuk hidup, jalan hidupatau way of life.

Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia artinya bahwa Pancasila itu merupakan usaha
pemikiran bangsa Indonesia untuk mencari hasil usaha pemikiran bangsa Indonesia untuk
mencari kebenaran yang kemudian dianggap sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh. Usaha
pemikiran itu dilakukan secara mendasar, sistematis dan radikal.

5. Pancasila sebagai dasar filsafat negara

a. Kedudukan Pancasila dalam Pembukaan

Dengan dimasukkannya rumusan Pancasila di dalam Pembukaan, maka Pancasila sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia, dan membawa konsekuensi: (1) sebagai sumber dari segala
sumber hukum, (2) sebagai sumber tata-urutan peraturan perundangan Republik Indonesia, (3)
sebagai sumber kekuasaan dalam negara Republik Indonesia, dan (4) sebagai sumber hukum
formal yang lain. Fungsi Pancasila bagi bangsa/negara Republik Indonesia adalah sebagai
landasan idiil atau ideologi nasional, yang harus ditaati oleh pemerintah dan rakyat serta
seluruh lapisan masyarakat.

Pancasila kemudian diberikan status tegas dalam Pembukaan, alenia keempat, hal ini membawa
konsekuensi dalam bidang hukum negara, yaitu bahwa Pancasila berstatus sebagai dasar negara
Republik Indonesia yang diterima dan mengikat seluruh bangsa/warga negara Indonesia.
Dengan demikian: (1) Prinsip-prinsip azasi dalam Pancasila merupakan dasar hukum, dasar
moral, kaidah fundamental, bagi perikehidupan menegara dan memasyarakat dari pusat hingga
ke daerah-daerah. (2) Semua peraturan perundangan yang dikeluarkan negara harus
bersumber/dijiwai oleh filsafat Pancasila. Isi dan tujuannya tidak boleh bertentangan dengan
filsafat Pancasila, (3) Pancasila sebagai sumber tertib hukum/sumber segala sumber hukum yang
mencakup: Proklamasi, Dekret Presiden, UUD 1945, dan Supersemar.

Berdasar Seminar Hukum Pertama: Pokok Kaidah Negara yang fundamental mempunyai dua
macam kedudukan terhadap tertib hukum Indonesia, yaitu: (1) sebagai dasarnya; karena
Pembukaan memberi faktor-faktor mutlak bagi adanya Tertib Hukum tersebut, (2) sebagai
ketentuan hukum yang tertinggi.
Pancasila mempunyai hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi sebagai Pokok Kaidah negara yang
fundamental; yang menjilmakan diri sebagai kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia,
atau negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

b. Norma dasar dalam Pembukaan

Pembukaan dan Pancasila mengandung azas-azas dasar, norma-norma, nilai-nilai dasar sebagai
berikut:

1) Tersimpul dalam alenia pertama:

a) Bahwa segala bangsa berhak untuk merdeka

b) Adanya kesadaran akan kenyataan hukum kodrat

c) Dasar perikemanusiaan

d) Adanya kesadaran akan kenyataan hukum etis

e) Dasar perikeadilan

f) Adanya kesadaran akan kenyataan hukum filosofis

g) Atas dasar perikemanusiaan dan perikeadilan2) Tersimpul dalam alenia kedua

a) Wajib menjaga agar RI tetap merdeka, baik ke dalam maupun ke luar

b) Wajib menjaga terpeliharanya RI sebagai negara kebangsaan yang utuh

c) Wajib melaksanakan cita-cita hukum, yang keadilan dan perdamaian dalam mengadakan
hukum positif

d) Wajib merealisasi kemakmuran bersama

3) Tersimpul dalam alenia ketiga

a) Menyadari bahwa segala hal yang terjadi merupakan kehendak Tuhan

b) Adanya kesadaran terhadap hukum Tuhan

4) Tersimpul dalam alinea keempat


a) Adanya tujuan pembentukan pemerintah negara Indonesia

b) Adanya ketentuan tentang UUD negara Indonesia

c) Adanya ketentuan bentuk Negara Republik

d) Adanya dasar kerohanian negara, yang Pancasila.

6. Pancasila sebagai sumber tertib hukum

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum berarti semua
sumber hukum formal, yaitu: Undang-undang, kebiasaaan, perjanjian, Yurisprodensi, Hakim dan
Ilmu Pengetahuan Hukum, bersumber pada Pancasila. Notonagoro mengatakan bahwa berkat
tercantumnya Pancasila di dalam Pembukaan, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara; hal ini
mengandung konsekuensi bahwa secara formal Pancasila sebagai norma hukum dasar positif,
obyektif dan subyektif, adalah mutlak, tidak dapat diubah dengan jalan hukum. Secara material
juga mutlak tidak dapat diubah karena kehidupan kemasyarakatan, kebudayaan, kefilsafatan,
kesusilaan, keagamaan merupakan sumber hukum positif, yang unsur-unsurnya telah ada dan
hidup sepanjang masa; di samping bersifat kenegaraan juga mempunyai sifar kebudayaan
(kultural) dan sifat keagamaan (religius).

Pancasila merupakan sumber kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia, dengan skema
susunan kekuasaan sebagai berikut:

JIWA DAN PANDANGAN HIDUP BANGSA PANCASILA


DPA
UUD 1945
MA
BPK
DPR
PRESIDEN
MPR
PEMBUKAAN UUD 1945
Skema Kekuasaan Negara Sebelum Amandemen

JIWA DAN PANDANGAN HIDUP BANGSA PANCASILA


PEMBUKAAN UUD 1945
UUD 1945
BPK
MPR (DPR + DPD)
PRESIDEN WAPRES
KEK. KEHAKIMAN (MK-MA-KY)Skema Kekuasaan Negara Setelah Amandemen
Pancasila sebagai dasar filsafat negara tidak dapat dipengaruhi oleh segala perbedaan dan
perubahan. Yang termasuk perbedaan antara lain: perbedaan keagamaan, kesukuan, kewarga
negaraan dan golongan. Termasuk perubahan antara lain: perubahan keadaan, perubahan
tempat, perubahan waktu, perubahan susunan rakyat, antar warga dan lain sebagainya.

7. Eka Pancasila

Ada kesan bahwa negara kita mempunyai lima sila dasar. Hal itu tidak benar. Pancasila adalah
satu dasar yang susunannya tidak tunggal melainkan majemuk tunggal, yang juga disebut Eka
Pancasila.

Dalam hal Pancasila yang penting adalah kenyataan dalam obyektifnya, bukan apa orang
menyebutnya; sebab orang dapat menyebut dengan istilah berbeda-beda untuk obyek yang
sama. Untuk menyebutkan apa yang sesungguhnya Pancasila itu, harus/diperlukan orang yang
benar-benar ahli dalam hal itu dan diperlukan penelitian ilmiah.

Bukan konsepsi politis


Pancasila bukan konsepsi politis walaupun juga mengandung sifat politis. Pada hakikatnya
Pancasila adalah suatu azas pandangan dunia, azas pandangan hidup, buah hasil perenungan
jiwa yang mendalam, penelaahan cipta yang teratur dan seksama di atas basis pengetahuan dan
pengalaman hidup yang luas. Oleh karenanya untuk sampai kepada pengertian Pancasila perlu
belajar dan mengalami banyak hal: ilmu, teori, filsafat, Negara, hukum, masyarakat, dunia,
manusia, pendidikan, adat istiadat, kebudayaan dan keagamaan.

Pancasila adalah asas: persatuan, asas damai, asas kerjasama dan hidup bersama dari bangsa
Indonesia yang warga negara, sebagai manusia, mempunyai pembawaan kesamaan dan
perbedaan. Dalam hal Pancasila seharusnya kita mementingkan kesamaan dan kesatuan,
menjauhkan dari perbedaan dan pertentangan yang memang ada di antara kita. Hal seperti itu
terjadi ketika kita memproklamasikan kemerdekaan, yang disebut gotong-royong, secara
kekeluargaan: satu buat lain, satu buat semua, semua buat satu dan semua buat semua.

Bangsa Indonesia ber-Pancasila dalam triprakara, yang saling memperkuat dan saling
mengembangkan, yaitu: (a) ber-Pancasila dalam adat-istiadat dan kebudayaan, disebut Pancasila
budaya, (b) ber-Pancasila dalam agama-agama, disebut Pancasila religius, (c) ber-Pancasila
dalam Negara, disebut Pancasila dasar Negara.9. Pembukaan UUD 1945 sumber otentik
Pancasila

Pancasila yang terdapat dalam Mukaddimah Konstitusi RIS dan UUD Sementara (1950) bukan
dasar filsafat atau bukan dasar kerohanian negara kita, melainkan hanya penjilmaan
daripadanya; hanya merupakan dasar organisasi, susunan dan penyelenggaraan negara.
Pancasila dasar filsafat negara terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, dahulu, sekarang dan
untuk seterusnya, terkait erat dengan kelangsungan hidup negara proklamasi terlepas dari UUD
1945 itu sendiri. Pancasila dasar filsafat negara baru ada dengan adanya Pembukaan UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 adalah hukum dasar negara kita yang tertinggi, yang mutlak, disebut
Declaration of Independence of Indonesia.

10. Asal mula Pancasila Dasar Filsafat Negara dalam Pembukaan UUD 1945

a. Causa materialis atau bahan dari Pancasila adalah Bangsa Indonesia, terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan (Pancasila budaya) dan agama-agama (Pancasila religi).

b. Causa formalis atau asal mula bentuk (bangun) dan causa finalis atau asal mula tujuan dari
Pancasila adalah Bung Karno yang kemudian bersama-sama Bung Hatta sebagai Pembentuk
Negara.

c. Causa sambungan atau asal mula sambungan dari Pancasila dasar filsafat negara adalah
Panitia Kecil Sembilan Orang dan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) masing-masing yang menyusun rancangan UUD 1945 dan yang
menerimanya dengan perubahan.

d. Causa effisien atau asal mula karya Pancasila dasar filsafat negara adalah Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesi (PPKI) yang menetapkan Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara
menjadi dasar filsafat negara. Dalam fungsinya menetapkan Pembukaan UUD 1945 PPKI
ditunjuk dan dipimpin oleh Pembentuk Negara. Sesungguhnya Pembentuk Negara yang
bertindak menentukan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara; maka
Pembentuk Negara adalah causa effisiensi dari Pancasila dalam arti yang sesungguhnya.E.
Penutup

Selain yang telah dipaparkan di atas, aspek aksiologi filsafat Pancasila dapat terwujud dalam
perannya sebagai sistem nilai, termasuk paradigma etika dalam IPTEKS. Pancasila sebagai sistem
nilai dapat dibicarakan tersendiri. Sebagai penutup berikut ini dibuat skema perkembangan
Pancasila dari nilai-nilai menjadi filsafat sebagai rangkuman.

Perkembangan Pancasila dari Nilai-nilai Ke Filsafat

PANCASILA SEBA- DESA NUSANTARA DIGALI DAN DIKAJI DAN

GAI NILAI-NILAI: SEBAGAI SUMBER DIRUMUSKAN KEMBANGKAN

Yang bersifat: NILAI PANCASILA


Baik Sebagai:
Indah * Kepribadian * Dasar Negara *Filsafat Pancasila
Berharga * Pandangan hidup (Konsepsi Politis) (Konsepsi
Bermanfaat * Ideologi Filosofis)
Menarik * Falsafah
Diinginkan * Way of life
* Weltanchauung

(Kawasan Kepercayaan) Kawasan ilmu

= Pancasila adat-budaya = Pancasila negara

= Pancasila religi

MENGIKAT SECARA MENGIKAT SECARA MENGIKAT MENGIKAT

MORAL SOSIAL SECARA HUKUM SECARA

(POLITIK) ILMIAH

(KEBENARAN)

= Pancasila sebagai = Pancasila sebagai = Pancasila sebagai Pancasila


sebagai

moral/etika moral sosial atau moral politik filsafat

individual kelompok

= Ideologi pemersatu = Ideologi bangsa =Ideologi terbuka

= Ideologi negara

= Ideologi pemba-

ngunan

= Filsafat noneksplisit = Filsafat sistematis = Filsafat kreatif

(implisit)

Bersifat: Bersifat: Bersifat:


Khusus konkret Umum kolektif Umum universal

(Perilaku individu) (Dalam bermasyarakat / (Pergaulan global)

bernegara)

Anda mungkin juga menyukai