Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FAKTOR PATOLOGIS DAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI


BIOAVIBILITAS

DISUSUN OLEH:

1. FINA ENJELINA (202002223)


2. GREFIANA (202002224)
3. HANI OKTARIYANA (202002225)
4. HESTI VERONIKA (202002226)
5. HESTY NABILA IVANA (202002227)
6. IIN PARLENA (202002228)
7. INDRIYANI (202002229)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ADILA
DI KOTA BANDARLAMPUNG
TAHUN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah
ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan
sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Faktor
Patologis Dan Lingkungan Yang Mempengaruhi Bioavibilitas” yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari penyusun maupun yang datang dari
luar. Namun dengan penuh kesadaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk
saran dan kritiknya. Terima Kasih

Bandar Lampung, 31 Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4


1.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 4
1.2. Tujuan .................................................................................................................. 4
1.3. Rumusan Masalah ................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6


2.1. Definisi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi ......................................................... 6
2.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Bioavailabilitas ........................................... 9
2.3. Bioavailabilitas dan disolusi in vitro ................................................................... 12
2.4. Obat ..................................................................................................................... 13

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 14

3.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 14


3.2. Kritik dan Saran .................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu obat
generik dan obat bermerk dagang. Obat generik merupakan obat jadi yang dipasarkan
dengan nama umum (nama generik) bahan aktifnya sedangkan obat bermerk dagang
merupakan obat jadi yang dipasarkan dengan nama dagang yang dipakai oleh
masing-masing produsen (Anonim, 2000).
Setiap produsen pasti melakukan promosi untuk masing-masing produknya
sehingga harga obat bermerk dagang umumnya lebih mahal daripada obat generik
(Anonim, 2000). Fenomena yang sering terjadi adalah dokter jarang meresepkan obat
generik yang harganya lebih murah, sedangkan pasien cenderung untuk memilih obat
bermerk dagang dengan anggapan bahwa harga yang lebih mahal akan memberikan
efek terapeutik yang lebih baik.
Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang, harus terjamin
keamanan dan khasiatnya. Hal tersebut dapat diuji secara farmakokinetika dan
farmakodinamika. Pendekatan farmakokinetika membicarakan tentang nasib obat
tersebut di dalam tubuh, meliputi proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi sedangkan pendekatan farmakodinamika membicarakan tentang efek yang
ditimbulkan obat tersebut di dalam tubuh. Selama ini, kebanyakan pasien dan tenaga
kesehatan memandang obat hanya dari sisi farmakodinamika tanpa mengetahui sisi
farmakokinetikanya. Padahal farmakokinetika suatu obat juga penting untuk
diketahui sebab proses farmakokinetika berpengaruh terhadap keseluruhan aksi obat,
termasuk efek terapeutik yang dihasilkan.

1.2. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini, penulis memiliki tujuan agar mahasiswa/i dapat
memahami serta menguasai materi tentang faktor patologis serta lingkungan yang
mempengaruhi bioavibilitas.

4
1.3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis menemukan beberapa masalah yaitu tentang
Menjelaskan serta mendefinisikan tentang faktor-faktor patologis dan lingkungan
yang mempengaruhi bioavibilitas.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi


Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan zat
aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat
diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin
(Anonim, 2004b).
Terdapat dua macam bioavailabilitas, yaitu bioavailabilitas absolut dan
bioavailabilitas relatif. Bioavailabilitas absolut merupakan perbandingan
bioavailabilitas obat yang diberikan secara ekstravaskular terhadap bioavailabilitas
obat yang diberikan secara intravaskular, sedangkan bioavailabilitas relatif
merupakan perbandingan bioavailabilitas produk obat terhadap pembanding (selain
intravaskular) (Anonim, 2004b).
Istilah ekivalensi atau kesetaraan digunakan dalam perbandingan suatu produk
obat dengan produk obat lainnya. Ada beberapa istilah ekivalensi menurut
Malinowski (2000).
a. Ekivalensi kimia.
Jika dua atau lebih bentuk sediaan mengandung obat seperti yang tertera pada
etiket.
b. Ekivalensi klinik.
Jika obat yang sama dalam dua atau lebih bentuk sediaan memberikan efek in
vivo yang identik, yang dapat dilihat dari respon farmakologi atau kontrol
terhadap gejala atau penyakit.
c. Ekivalensi terapeutik.
Ekivalensi terapeutik berarti bahwa dua merk obat diharapkan menghasilkan
efek klinik yang sama.
d. Bioekivalensi.
Jika obat dalam dua atau lebih bentuk sediaan yang sejenis mencapai sirkulasi
sistemik dengan jumlah dan kecepatan yang relatif sama.
e. Ekivalensi farmasetik.
6
Jika dua produk obat mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan
dan kekuatan yang sama.

Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih


produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama dikatakan
bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama (Chereson, 1999).
Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi Badan POM RI, dua produk obat disebut
bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan
alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan
menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik
dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi
farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah dan bentuk
sediaan yang sama. Dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester,
dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
Studi bioavailabilitas digunakan untuk menunjukkan efek sifat fisika kimia
komponen obat dan bentuk sediaan terhadap farmakokinetika obat. Studi
bioekivalensi digunakan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dengan zat aktif
yang sama dari berbagai produk obat. Apabila produk obat tersebut bioekivalen
maka efikasi dan profil keamanan produk-produk obat tersebut dapat dianggap sama
dan dapat digantikan satu dengan yang lain (Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005).
Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada
reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang
penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi biasanya
tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi bioavailabilitas
melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin. Hal ini
berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada dalam
kesetimbangan dinamis dengan obat di dalam darah (Chereson, 1999).
Obat dalam bentuk sediaan padat yang ditujukan untuk penggunaan sistemik
umumnya mengalami absorpsi melalui suatu rangkaian proses, yaitu disintegrasi
produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media aqueous, dan
absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik (Shargel et al., 2005).
7
Di dalam proses tersebut, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan
oleh tahap yang paling lambat. Tahap yang paling lambat di dalam rangkaian proses
kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step).

Bentuk sediaan disintegrasi deagregasi


Granul Partikel kecil
padat
Disolusi obat
Disolusi Obat Disolusi Obat

Larutan obat
Absorbsi

Obat dalam darah

Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat (Malinowski, 2000)

Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan biasanya

merupakan tahap yang paling lambat sehingga menjadi penentu kecepatan terhadap

bioavailabilitas obat (Shargel et al., 2005).

Studi bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui

maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu produk obat untuk

dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat tersebut aman dan efektif

sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi

seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian

(Shargel et al., 2005).

Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA

menghendaki studi bioavailabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan

bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Akibat perkembangan studi

bioavailabilitas dan bioekivalensi, maka diperlukan suatu kepastian bahwa produk

8
generik bioekivalen terhadap produk dagang sehingga produk generik tidak perlu

diragukan lagi jika diresepkan oleh dokter (Chereson, 1999).

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas

Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang

diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek

terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai berikut.

a. Rute dan cara pemberian.

Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal,

hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa obat

yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan dalam

jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai sirkulasi

sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga mengalami first-

pass effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan diabsorpsi (Wagner,

1975).

b. Dosis dan aturan dosis.

Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam darah

dapat berada dalam jendela terapi (Wagner, 1975).

c. Efek bentuk sediaan

Bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi laju dan jumlah obat yang

mencapai sirkulasi sistemik.

d. Faktor fisiologis

1) Waktu transit obat.

Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak obat yang

9
diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan intestinal

(Proudfoot, 1990).

2) Laju pengosongan lambung.

Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus. Penurunan

laju pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi obat dan

menunda waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga penting untuk

obat yang mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama obat berada di

lambung, maka semakin banyak obat yang terdegradasi sehingga

bioavailabilitasnya akan menurun. Adanya makanan akan menurunkan laju

pengosongan lambung sehingga absorpsi obat akan tertunda (Proudfoot,

1990).

3) Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi.

Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena adanya

vili dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan diabsorpsi secara

maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan intestinal bukan

merupakan kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat asam lemah/basa

lemah. Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus besar relatif kecil

karena tidak memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot, 1990).

4) Laju aliran darah.

Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang penting

untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja.

Di dalam usus terdapat pembuluh-pembuluh darah mesentrika. Obat

dilepaskan ke hati melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju ke

sirkulasi sistemik. Jika laju aliran darah mesentrika menurun, maka

10
bioavailabilitas obat juga akan menurun (Shargel et al., 2005).

5) Nilai pH cairan pada saluran pencernaan.

Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH lambung 1-

3,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH usus besar 8.

Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak terion akan

diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada

saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain) dapat

menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat

mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990).

6) Aktivitas enzimatik.

Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi sistemik

biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan termetabolisme

sebelum mencapai sirkulasi sistemik. First pass effect menyebabkan

penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990).

7) Mukus dan glycocalyx.

Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan mukus,

dan glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah bagian yang

menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi mikrovili dan

tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990).

8) Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan.

Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa mekanisme,

di antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu sekresi asam

dan enzim pada saluran pencernaan, berkompetisi dengan obat dalam

hal absorpsi, membentuk kompleks dengan obat, meningkatkan viskositas

11
pada saluran pencernaan (Proudfoot, 1990).

9) Lain-lain: konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan

antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam

empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas

membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas

buffer, tonisitas (Wagner, 1975).

1.

2.

2.1.

2.2.

2.3. Bioavailabilitas dan disolusi in vitro

Disolusi adalah proses di mana bahan obat padat larut dalam pelarut. Uji

disolusi dapat menentukan bioavailabilitas suatu obat jika terdapat korelasi yang baik

antara uji in vitro dan in vivo. Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah

hubungan antara karakteristik biologi obat (efek farmakodinamika atau konsentrasi

obat dalam plasma) dan karakteristik fisika kimia produk obat (Shargel et al., 2005).

Korelasi in vitro dan in vivo ini penting untuk diketahui agar dalam

menentukan bioavailabilitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu

dengan uji in vivo. Selama ini, uji bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu

yang lama, biaya yang relatif tinggi, serta terdapat beberapa masalah dalam

pemberian obat kepada subjek uji sehat/pasien (Chereson, 1999).

Parameter uji in vitro yang paling dekat hubungannya dengan bioavailabilitas

adalah laju disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat diabsorpsi jika sudah

12
dalam bentuk larutan sehingga kecepatan obat untuk larut dari bentuk sediaannya

(laju disolusi) akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat yang terabsorpsi

(Chereson, 1999).

2.4. Obat

Menurut S. P. Menkes R. I. No. 193/Keb/VII/71, obat adalah suatu bahan atau

paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah,

mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,

atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan

atau bagian badan manusia (Lestari, Rahayu, Rya, Suhardjono, Maisunah, Soewarni,

dkk., 2002).

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik adalah

nama obat berdasarkan International Nonproprietary Name (I.N.N.) yang ditetapkan

WHO. Nama generik berlaku di negara manapun dan boleh diproduksi oleh setiap

industri, sedangkan obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar

atau nama pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari

pabrik yang memproduksinya. Nama dagang adalah nama khas yang dilindungi

hukum yaitu merk terdaftar atau Proprietary Name (Lestari dkk., 2002).

13
14
BAB III
PENUTUP

3.
3.1. Kesimpulan
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan zat aktif
dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat
diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Terdapat dua macam bioavailabilitas, yaitu bioavailabilitas absolut dan
bioavailabilitas relatif. Bioavailabilitas absolut merupakan perbandingan
bioavailabilitas obat yang diberikan secara ekstravaskular terhadap bioavailabilitas
obat yang diberikan secara intravaskular, sedangkan bioavailabilitas relatif
merupakan perbandingan bioavailabilitas produk obat terhadap pembanding (selain
intravaskular).

3.2. Kritik dan Saran


Dengan tersusunya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca maupun
penulis. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan, karena penulis sadar
bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata kesempurnaan dan sangat
mengharapkan kritik dan saran itu dari pembaca untuk penulisan makalah
selanjutnya yang lebih baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 6, 37, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 649, 650, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2000, IONI: Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 2, Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2001a, Professional’s Handbook of Drug Therapy for Pain, 40, Springhouse
Corporation, Springhouse

Anonim, 2001b, The Merck Index, 13th Edition, 10, Merck & Co.Inc., Whitehouse Station,
New Jersey

Anonim, 2004a, A to Z Drug Facts, 5th Edition, 7-8, Facts and Comparisons, Missouri

Anonim, 2004b, Pedoman Uji Bioekivalensi, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2005a, Drug Information for The Health Care Professional, Volume I, 25th Edition,
10, Thomson MICROMEDEX, USA

Anonim, 2005b, The Official Compendia of Standards 2005: The United States
Pharmacopeia 28 - The National Formulary 23, 2411-2412, 2745, United States
Pharmacopeia Convention Inc., USA

16

Anda mungkin juga menyukai