Ajaran ini merupakan persoalan mendasar yang harus diyakini seorang muslim
sebelum ajaran-ajaran lainnya. Ibarat tali kekang, akidah mengendalikan seorang
muslim agar tidak berjalan tanpa arah yang jelas.
Kenapa akidah ini menjadi hal yang perlu dimiliki dan dipegang teguh, karena
alam ini ada pemiliknya di dunia dan akhirat. Dengannya akan mengarahkan
seorang muslim menuju satu tujuan yang dicita-citakan menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Demikian antara lain disampaikan Tgk Tarmizi M Daud M.Ag (Wakil Ketua PB
Persatuan Dayah Inshafuddin ) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan
Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda
Aceh, Rabu (22/11) malam.
“Aqidah itu adalah komitmen awal kita kepada Allah sebelum melangkah kepada
syariat Islam. Syariat itu tidak akan jalan dengan baik jika aqidah muslim lemah.
Tidak ma u berjuang untuk kepentingan agamanya karena aqidah bermasalah,” ujar
Tgk Tarmizi.
Dengan memiliki akidah yang kuat dan tidak mudah goyah, juga akan membuat
seorang muslim terus merasakan dirinya setiap saat berada dalam pengawasan
Allah SWT. Selalu mencegah dirinya untuk berbuat kemaksiatan yang dimurkai
Allah dan senantiasa menjalankan segala perintahnya.
Seseorang muslim juga meyakini setiap amal perbuatannya akan selalu dicatat oleh
Allah melalui malaikat-Nya, yang akan diperlihatkan segala catatan tersebut di hari
akhirat kelak. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah dalam Surat Al-Isra’ Ayat 13
yang artinya, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya
(sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada
hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.
“Muslim itu akan meyakini semua catatan amal baik dan buruk yang dikerjakan itu
masuk dalam buku catatan malaikat dengan adanya aqidah yang kuat. Sehinga ia
merasa diawasi dan setiap yang dikerjakan akan berurusan dengn Allah, bukan
karena takut dengan pengawasan Wilayah Hisbah (WH ),” ungkapnya.
Imam Al-Ghazali membagi akhlak ke dalam dua syarat, yakni stabilitas dan
spontanitas. Adapun stabilitas akhlak merupakan karakter yang memungkinkan
pelakunya melakukan perbuatan baik yang konsisten, permanen, serta
berkelanjutan. Sedangkan akhlak yang sifatnya spontan hadir di saat muncul
kesempatan dan juga dilakukan tanpa paksaan.
Menurut beliau, orang yang berakhlak setidaknya dapat mengendalikan empat hal
yang cukup sulit dikendalikan di berbagai aspek hidup, antara lain nafsu, amarah,
pengetahuan, dan keadilan. Dengan demikian, akhlak bukanlah hanya mengatur
laku kata, namun juga laku sikap.
Terdapat suatu kisah yang menarik tentang akhlak dari seorang bocah
penggembala domba. Suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghampiri
seorang anak yang tengah menggembala domba milik majikannya.
Untuk menguji kejujuran anak tersebut, Umar bin Abdul Aziz bertanya: “Nak,
maukah kau jual dombamu satu kepadaku?”. Si anak lantas menjawab: “Domba-
domba ini bukan milikku, tapi milik majikanku”.
Umar tidak berhenti dan terus merayu anak tersebut untuk menjualnya, beliau
berkata: “Tapi kalau kaujual satu untukku, majikanmu tidak akan tahu,”. Lalu anak
itu menjawab: “Majikanku memang tidak tahu, tapi Allah selalu tahu. Dan aku tak
mau mengecewakan Tuhanku”.
Jika disandingkan dengan hadis Rasulullah SAW, sikap si anak tadi pun sekiranya
dapat menggambarkan apa itu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad pernah
berkata: “Kebaikan adalah apa-apa yang kamu lakukan membuat hatimu tenang.
Sedangkan kejahatan adalah bilamana hal-hal yang kamu lakukan membuat
hatimu gelisah”.
Akhlak merupakan sifat yang tertanam kuat dalam diri seseorang kemudian
menjelma menjadi suatu perbuatan tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran
yang berlarut larut. Jika perbuatan itu baik maka disebut akhlak terpuji, dan jika
perbuatan itu buruk maka di sebut akhlak tercela.
Penanaman akhlak sejak dini pada anak akan membantunya dalam bersosialisasi
dengan lingkungannya, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Anak
akan terbiasa berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai agama. Penanaman nilai-
nilai dan materi akhlak ini harus disertai pula dengan memberi penanaman akan
manfaat dan kegunaan anak dalam berperilaku akhlak, sehingga anak mengerti dan
paham atas apa yang mereka kerjakan dan ucapkan.
Metode riyadah (latihan dan pembiasan) ialah teknik pembelajaran kepada peserta
didik dengan dikerjakan secara berulang-ulang. Pembiasaan akan memberikan
manfaat yang mendalam bagi peserta didik, anak akan lebih terbiasa berperilaku
dengan nila-nilai akhlak karena pembiasaan berperan sebagai efek latihan terus
menerus. Metode pembiasaan ini telah diterapkan oleh Rasulullah saw dalam
melakukan sesuatu dengan membiasakan dasar-dasar tata krama pada anak-anak,
seperti etika makan dan minum, berdoa sebelum dan sesudah bangun tidur. Beliau
juga membiasakan anak-anak melaksanakan kewajiban shalat, sejak usia tujuh
tahun agar di usia dewasa kelak, mereka terbiasa dan mudah melaksanakannya.
Metode Mauidhah (nasihat) ialah sajian bahasan tentang kebenaran dan kebajikan
dengan maksud mengajak orang yang diberi nasihat untuk menjauhkan diri dari
bahaya dan membimbingnya ke jalan yang bahagia dan berguna baginya.
Pemberian nasihat dan peringatan hendaknya dengan cara yang mampu menyentuh
kalbu serta mampu menggugah peserta didik untuk mengamalkannya. Berkaitan
dengan pelaksanaan pendidikan akhlak pada anak, maka kata-kata yang bagus
(nasehat) hendaknya selalu diperdengarkan di telinga anak-anak, sehingga apa
yang didengarnya tersebut masuk dalam hati yang selanjutnya tergerak untuk
mempraktikkannya dalam kehidupan.
Itulah empat macam metode yang dapat diterapkan dalam mendidik dan
menanamkan akhlak pada anak di tengah maju dan pesatnya teknologi informasi
dan komunikasi, sehingga anak tetap memiliki akhlak yang mulia di samping
kecakapan dalam berteknologi dalam memperkaya asupan nustrisi pengetahuan.