Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA”

DOSEN PENGAMPU : SRI RAHMAH DEWI SARAGIH, S.Pd, M.Pd

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4 :

 CECYLIA ANANTA SIMAMORA (21051055)


 RAYHAN FARINA (21051051)
 KHENI SETIA (21051047)
 LAURENTINA SITOMPUL (21051064)

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ASAHAN

T.A 2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-
Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Strategi Pembelajaran Matematika yang
berjudul “Delivering The Instruction Effectively” sebagai tugas mata kuliah Strategi
Pembelajaran Matematika.

Ada pun isi dari makalah ini adalah Delivering the instruction effectively, Specifying
instructional strategies, Selecting or designing instructional materials, Evaluating instruction.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan tugas ini masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca terutama kepada Ibu Sri Rahma Dewi Saragih, M.Pd selaku Dosen
mata kuliah strategi pembelajaran demi penulisan yang dapat menjadi lebih baik lagi di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akhir kata
Penyusun ucapkan terima kasih.

Kisaran, 29 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................1
1.3 Tujuan .....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................2

2.1 Menyampaikan Instruksi Secara Efektif ................................................................. 2


2.2 Menentukan Strategi Instruksional..........................................................................6
2.3 Memilih atau Merancang Bahan Ajar......................................................................10
2.4 Mengevaluasi Instruksi............................................................................................12

BAB III PENUTUP ............................................................................................................15

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................15

3.2 Saran ........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................16


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran di dalam kelas harus berlangsung dengan efektif agar tujuan
pembelajaran tercapai melalui terwujudnya komunikasi efektif. Sering kali, guru belum
dapat membangun komunikasi efektif tersebut karena guru tidak mampu mengelola kelas
dengan baik melalui penyampaian informasi yang tepat dan sesuai karakteristik
perkembangan siswa, sehingga banyak siswa yang kurang serius dan disiplin dalam
belajar. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai penyampaian
informasi yang tepat dalam membangun komunikasi efektif kepada siswa.

1.2 Rumusan Masalah


- Bagaimana cara Menyampaikan Instruksi Secara Efektif ?
- Bagaimana cara menentukan Strategi Instruksional?
- Bagaimana cara Memilih atau Merancang Bahan Ajar?
- Bagaimana cara Mengevaluasi Instruksi?

1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui cara Menyampaikan Instruksi Secara Efektif
- Untuk mengetahui cara menentukan Strategi Instruksional
- Untuk mengetahui cara Memilih atau Merancang Bahan Ajar
- Untuk mengetahui cara Mengevaluasi Instruksi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Menyampaikan Instruksi Secara Efektif

Manusia diciptakan dengan keinginan atau motif untuk berbagi atau mengkomunikasikan
informasi dengan orang lain. Kemampuan berkomunikasi yang Tuhan berikan digunakan
untuk memuji Tuhan melalui tindakan dan perkataan dalam kehidupan sehari-hari.

Penentu bermakna dan tercapainya tujuan pembelajaran ini adalah dengan menciptakan
proses pembelajaran efektif yang diwujudkan melalui interaksi atau hubungan timbal balik
guru dan siswa di kelas. Salah satu faktor terciptanya proses pembelajaran yang efektif ini
terletak pada kemampuan guru dalam melakukan perencanaan pembelajaran, kemampuan
dalam penyampaian materi yang terstruktur dengan metode yang sesuai, pengelolaan kelas,
serta motivasi untuk belajar-mengajar (Susanto, 2016). Inti dari kegiatan pembelajaran
adalah komunikasi yang diwujudkan dalam penyampaian informasi berupa materi atau
instruksi serta umpan balik dari guru dan siswa sehingga terbentuk interaksi yang intens
antara guru, siswa, dan sumber belajar lainnya (Inah, 2015).

Komunikasi yang tejadi dengan baik ini akan mewujudkan pembelajaran yang efektif dan
aktif. Hal ini terlihat dari peranan siswa di dalam kelas berupa respons atau perubahan sikap
menjadi lebih baik. Oleh karena itu guru perlu membekali diri dalam menyampaikan
informasi baik materi, tanggapan, ataupun instruksi, dan memperlengkapi siswa untuk
mampu menyampaikan ide atau pendapat mereka (Malawi & Kadarwati, 2017).

Permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh guru khususnya pada jenjang Sekolah
Dasar, yaitu kadang guru kesulitan untuk menentukan cara penyampaian pembelajaran yang
sesuai dengan perkembangan anak. Hal ini membuat minat anak untuk belajar semakin
berkurang. Kenyataan yang terjadi banyak menunjukkan bahwa strategi komunikasi guru
dan siswa cenderung memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengalaman guru
dalam mengajar, wawasan guru akan teori serta praktik komunikasi efektif masih sangat
kurang, dan guru belum terampil dalam menerapkan model komunikasi yang tepat kepada
siswa (Abidin, 2017). Akibatnya, guru kesulitan dalam mengelola kelas dan membimbing
siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Hal ini ditandai dengan kondisi kelas yang
bising, siswa kurang disiplin dalam mengikuti aturan kelas dan tidak terlalu serius dalam
proses pembelajaran.

Banyak siswa yang masih gagal mencapai hasil belajar yang diharapkan pada setiap
pertemuan. Hal ini terjadi karena siswa tidak merespon informasi yang seharusnya
disampaikan guru di kelas. Akibatnya, guru kesulitan mengelola kelas dan memberikan
materi dan petunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif sebagai ekspresi
praktik pembelajaran yang efektif di dalam kelas belum tercapai. Salah satu penyebabnya
adalah guru tidak memiliki wawasan yang komprehensif untuk memberikan informasi yang
cukup untuk membangun komunikasi yang efektif di dalam kelas sesuai dengan kepribadian
dan perkembangan siswa.
Sebagai calon guru profesional adalah sebuah keharusan untuk mengenal setiap pribadi
yang ada di kelas, sehingga bisa menerapkan cara yang tepat dalam berkomunikasi. Adanya
komunikasi ini dapat membantu guru dalam memfasilitasi dan menuntun peserta didik untuk
mencapai tujuan pembelajaran melalui pengajaran yang terjadi di dalam kelas. Hal – hal
yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan intruksi atau informasi di dalam kelas :
a. Pengelolaan Kelas

Pengelolaan kelas terbentuk dari kata pengelolaan dan kelas. Menurut Djabidi (2017)
pengelolaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati dengan adanya
bantuan orang lain, sedangkan kelas merupakan suatu kelompok yang melakukan kegiatan
pembelajaran secara bersama sesuai tujuan yang disepakati di kelas. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Djamarah dan Zain (2013) menyatakan bahwa pengelolaan kelas merupakan usaha
yang dilakukan secara sadar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Mujahidin (2017)
mengemukakan bahwa pengelolaan kelas secara sempit berarti merancang ruang belajar serta
media pembelajaran yang mendukung terwujudnya suasana kelas yang nyaman untuk belajar,
sedangkan pengelolaan kelas dalam arti luas, yaitu penataan peralatan, sumber daya dan
sumber belajar yang mendukung terciptanya kelas yang kondusif dan efesien untuk belajar.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa pengelolaan kelas merupakan


upaya guru untuk mengatur atau menata ruang kelas, serta elemen pendukung terlaksananya
pembelajaran termasuk peserta didik sehingga tercipta kelas yang kondusif dan efektif untuk
belajar yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Menurut Harsanto (2011) terdapat
empat tipe kelas yang biasanya dihadapi oleh guru, yaitu kelas yang selalu ribut atau gaduh,
kelas yang termasuk kategori gaduh, kelas yang disiplin, dan kelas ideal yang memungkinkan
proses pembelajaran berjalan dengan lancar.

Usaha guru dalam pengelolaan kelas tentunya tidak selalu berjalan mulus, banyak
kendala atau masalah yang guru harus hadapi dalam mengelola kelas. Masalah dalam
pengelolaan kelas tersebut diantaranya adalah masalah dalam memperbaiki perilaku negatif
siswa, menjaga kelangsungan proses pembelajaran agar tetap sesuai dengan perencanaan, dan
masalah dalam mempertahankan perhatian siswa atau kelompok selama proses pembelajaran
(Evertson & Emmer, 2011). Selain itu, siswa sering tidak mau mengikuti aturan, dan
kebingungan muncul dari siswa yang terus-menerus mengobrol, usil dengan siswa lain, dan
bahkan kurang disiplin.

Masalah yang muncul dalam pengelolaan kelas ini akan mudah ditangani oleh guru
jika guru dapat menguasai prinsip dalam mengelola kelas. Prinsip tersebut yaitu hangat dan
antusias dalam proses pembelajaran, penggunaan kata atau cara kerja yang menantang minat
anak untuk belajar, penggunaan pendukung pembelajaran yang bervariasi, keluwesan guru
menerapkan berbagai strategi sesuai kondisi kelas, pengajaran guru yang menekankan poin
penting pada hal positif, dan guru menjadi role model dalam menanamkan disiplin pada siswa
(Djamarah & Zain, 2013). Dalam mengelola kelas guru juga berusaha melakukan pendekatan
dengan cara membangun suasana yang harmonis, dan menjalin relasi yang baik, serta guru
juga berusaha mendengarkan kritik, saran, dan pendapat siswa sehingga tercipta pembelajaran
yang efektif (Saifuddin, 2018).
b. Pentingnya Penyampaian Informasi yang Tepat dalam Proses Pembelajaran

Informasi yang baik adalah informasi yang memiliki kualitas atau mutu. Mc Leod
dalam Azizah, Mirfani, dan Suryadi (2019) menyebutkan bahwa informasi yang bermutu
ditentukan oleh kesesuaian dengan fakta, tepat waktu, relevan dalam pengambilan keputusan,
serta menggambarkan masalah atau solusi secara utuh dan lengkap. Penyampaian informasi
erat kaitannnya dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Pembelajaran merupakan proses
interaksi guru, siswa, dan sumber belajar dengan guru berperan dalam membantu siswa
sehingga dapat belajar dengan baik.

Oleh karena itu, belajar mencakup proses belajar mengajar yang menciptakan interaksi
di dalam kelas untuk perubahan perilaku dan pengetahuan yang lebih baik. Salah satunya
datang dari guru yang menyampaikan informasi. Besarnya peran transfer informasi dalam
proses pembelajaran menunjukkan bahwa transfer informasi merupakan faktor penting dalam
keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Pada umumnya
kegiatan guru dalam proses pembelajaran adalah mengajar dan mengelola pembelajaran.
Penyampaian informasi pada kegiatan tersebut meliputi menjelaskan materi, memberikan
petunjuk atau intruksi tentang kegiatan pembelajaran, memberikan tugas, memberikan
teguran, memberikan prosedur dan aturan pembelajaran. Ada banyak hal yang perlu
diperhatikan dalam menyampaikan informasi kepada siswa.

c. Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran

Praktik komunikasi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari termasuk dalam
proses pembelajaran. Komunikasi berasal dari bahasa Latin “cum” yang bermakna bersama
dan “umus” yang bermakna satu, yang kemudian terbentuk kata “Communio” dalam bahasa
Inggris berarti kebersamaan yang diwujudkan melalui kata kerja “Communicare” yang berarti
menyampaikan sesuatu kepada orang lain (Kusumawati, 2016). Oktarina dan Abdullah (2017)
menjelaskan bahwa komunikasi adalah aktivitas manusia dalam memahami pesan yang
disampaikan seseorang sebagai komunikator kepada lawan bicaranya yang disebut
komunikan.

Dalam lingkungan pendidikan proses komunikasi ini merupakan proses pembelajaran.


Naim (2017, hal. 123) mengatakan “proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses
penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu ke penerima
pesan”. Oleh karena itu, komunikasi pembelajaran merupakan proses interaktif di mana pesan
dikirim dari seorang guru ke siswa dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
mengubah perilaku siswa.

Dalam proses pembelajaran guru menyampaikan informasi yang dituangkan ke dalam


bentuk komunikasi secara verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal sering disebut sebagai
komunikasi yang dilakukan dengan lisan maupun tertulis menggunakan bahasa sehingga
dapat dipahami dengan mudah. Komunikasi nonverbal dapat dipahami berdasarkan kata
penyusunnya yaitu, “non” yang berarti tidak, dan verbal atau kata sehingga merupakan
komunikasi tanpa kata.

Komunikasi verbal dan nonverbal memiliki perbedaan namun saling melengkapi


dalam praktiknya. Pesan yang disampaikan melalui komunikasi verbal lebih eksplisit
sedangkan nonverbal tersirat. Komunikasi verbal menghasilkan pesan yang lebih terstruktur,
sehingga komunikasi verbal diolah di otak kiri dan pesan nonverbal diolah di otak kanan.
Perbedaan ini membuat komunikasi lebih efektif karena keduanya dapat diterapkan
bersamaan. Dalam proses pembelajaran guru disarankan untuk merancang penyampaian
informasi berdasarkan beberapa prinsip. Prinsip tersebut adalah persiapan mental dan
motivasi bagi siswa, strategi untuk menarik perhatian siswa, melibatkan siswa secara aktif,
mengulang kembali materi sebelumnya, umpan balik guru atas kinerja siswa, dan konsep
pelajaran yang relevan (Majid, 2016).

Menurut Hugo Aries Suprapto (2017) komunikasi efektif adalah komunikasi yang
mengandung pesan yang mudah dipahami sehingga mendorong komunikan untuk memberi
umpan balik serta mengubah sikap pihak yang terlibat. Oleh karena itu, komunikasi efektif
adalah penyampaian pesan oleh komunikator yang menghasilkan kesepahaman dengan
komunikan berupa respons yang sesuai. Komunikasi yang dilakukan tidak selamanya
berlangsung dengan efektif khususnya dalam pembelajaran karena adanya kegagalan. Sanjaya
(2012) menyebutkan faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut yaitu, kemampuan
komunikator dalam menyampaikan informasi seperti cara menjelaskan, intonasi atau
penekanan suara, diksi, majas, sikap atau pendapat komunikator terhadap lawan bicara dan
sebaliknya, perbedaan penguasaan materi antara komunikator dan komunikan, serta latar
belakang komunikan dalam segi ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki perbedaan nilai
dan norma. Pemilihan kata dalam mengajar patut diperhatikan karena jika tidak sesuai dengan
penguasaan materi siswa maka akan membuat siswa gagal paham.

Komunikasi yang efektif dapat diwujudkan dengan melakukan beberapa syarat. Syarat
yang harus dilakukan terutama untuk komunikator tersebut adalah dengan membangun
suasana yang sesuai, bahasa yang digunakan jelas dan mudah dimengerti, informasinya
menarik minat dan memberi kesan penting sehingga dibutuhkan oleh komunikan, dan
membuat komunikan merasa dihargai (Hidayat, 2018). Suasana yang hendak diwujudkan
tersebut tentunya adalah suasana yang kondusif disertai dengan penerapan strategi dan metode
pembelajaran yang mendukung terwujudnya komunikasi efektif, misalnya strategi
pembelajaran interaktif dengan metode yang melibatkan siswa secara aktif seperti metode
diskusi, kerja kelompok atau tanya jawab (Majid, 2016).

Dalam melakukan komunikasi dengan orang lain terutama dalam kegiatan


pembelajaran perlu dibangun relasi yang baik utamanya guru dan siswa. Komunikasi ini harus
dilandasakan pada sikap yang mendukun. g tercapainya komunikasi yang efektif. Naim (2017,
hal. 46) merangkum hukum komunikasi efektif dengan singkatan “REACH” yang bermakna
meraih dan merupakan kepanjangan Respect, Empathy, Audiable, Clarity, Humble.

d. Karakteristik Perkembangan Siswa

Guru yang memahami kondisi psikologi serta perkembangan siswa akan mudah
menerapkan cara yang menarik minat anak dalam belajar serta menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhan anak (Jahja, 2015). Perkembangan anak yang berbeda-beda ini
memengaruhi baik dan buruknya proses pembelajaran di kelas. Hal ini disebabkan oleh faktor
yang muncul dari dalam maupun dari luar diri anak. Faktor dari dalam diri anak yaitu,
kesehatan, tingkat inteligensi, minat serta motivasi anak dalam belajar, dan faktor dari luar
diri anak dipengaruhi oleh keadaan keluarga, lingkungan dan kualitas sekolah, lingkungan
tempat tinggalnya beserta masyarakat sekitar (Djaali, 2015). Syah (2010) menjelaskan bahwa
karakter siswa dalam menghadapi proses pembelajaran bergantung pada mata pelajaran yang
sedang dipelajari dan sikap guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu
mempersiapkan diri dengan baik karena memengaruhi minat dan motivasi anak.

2.2 Menentukan Strategi Instruksional

Dalam konteks pembelajaran, desain intruksional dapat diartikan sebagai proses


sistematis pemecahan masalah pembelajaran melalui perencanaan materi pembelajaran dan
kegiatan yang akan dilakukan, perencanaan sumber belajar yang tersedia, dan perencanaan
penilaian keberhasilan. Dengan kata lain, desain insruksional membantu para pendidik dan
pendesain instruksional menciptakan atau merancang pembelajaran yang sesuai dengan tujuan
instruksional, efektif dan efisien. Sehingga dalam prosesnya akan tercipta proses komunikasi
dan pembelajaran yang aktif dan interaktif di antara pendidik dan peserta didik.

Ada beberapa asumsi dasar yang dikemukakan oleh Gagne, Wager, Golas, dan Keller
dalam desain instruksional. Beberapa asumsi dasar itu di antaranya, pertama, desain
instruksional dimaksudkan untuk membantu individu belajar lebih dari sekedar melaksanakan
proses pengajaran. Asumsi dasar ini menyatakan pentingnya desain instruksional untuk
membantu peserta didik dalam proses dan hasil belajar. Kedua, Desain adalah proses
interaktif dengan melibatkan peserta didik. Asumsi ini menjelaskan bahwa desain
instruksional menganut prinsip learner-centered atau berorientasi pada peserta didik sehingga
peserta didik ikut terlibat dalam proses desain instruksional. Ketiga, desain intruksional itu
sendiri adalah suatu proses yang terdiri dari sejumlah sub proses, mulai dari perumusan tujuan
sampai evaluasi terhadap program atau produk instruksional. Asumsi ini mengingatkan setiap
orang yang terlibat dalam desain instruksional bahwa yang berbentuk sebagai suatu sistem
bukan hanya pelaksanaan kegiatan instruksional tetapi juga proses desain instruksional yang
mendahuluinya.

Gagne dan Briggs menyatakan pembelajaran adalah a set of events which affect learners
in such a way that learning is facilitated. Pembelajaran adalah suatu rangkaian peristiwa yang
mempengaruhi peserta didik atau pembelajar sedemikian rupa sehingga perubahan perilaku
yang disebut hasil belajar terfasilitasi. Dalam konteks desain instruksional, pembelajaran
bukanlah perintah atau instruksi, tetapi seperti yang telah dinyatakan oleh Gagne di atas. Hal
ini mengakibatkan adanya penolakan terhadap istilah tujuan instruksional, kegiatan
instruksional, strategi instruksional, media instruksional, bahan instruksional dan lain
sebagainya.

Menggunakan teknologi intruksional untuk meningkatkan mutu pendidikan tidaklah


mudah, tetapi tidak terlalu rumit untuk dikuasai oleh guru dan pengelola program pendidikan
jika ada keinginan yang cukup untuk meningkatkan profesionalismenya. Teknologi
instruksional dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang ditarik dari teori psikologi terutama
teori belajar dan hasil-hasil penelitian dalam kegiatan instruksional. Prinsip-prinsip yang
digunakan dalam pengembangan instruksional menurut Filbeck dapat dikelompokkan menjadi
dua belas macam, yaitu:

1. Prinsip pertama. Respons-respons baru (new responses) diulang sebagai akibat dari
respons tersebut. Bila respons itu berakibat menyenangkan, peserta didik cenderung untuk
mengulang respons tersebut karena ingin memelihara akibat yang menyenangkan. Bila akibat
respons itu kurang menyenangkan, peserta didik cenderung mencari jalan yang dapat
mengurangi rasa tidak menyenangkan, peserta didik cenderung mencari jalan yang dapat
mengurangi rasa tidak menyenangkan tersebut dengan cara menghindari respons yang sama
atau melakukan perilaku lain. Salah satu impikasinya dalam kegiatan instruksional adalah
perlunya pemberian umpan balik positif atau pujian dengan segera atas keberhasilan atau
respons yang benar dari peserta didik. Pada babak permulaan umpan balik yang positif
tersebut harus sering kali diberikan, tetapi tahap berikutnya dapat diberikan lebih jarang
secara random. Dalam proses pengembangan instruksional, prinsi ini diterapkan pula dalam
bentuk pemberian latihan (exercise) dan tes untuk dikerjakan peserta didik serta pemberian
umpan balik segera terhadap hasilnya.

2. Prinsip kedua. Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respons, tetapi juga di
bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda yang terdapat dalam lingkungan peserta didik.
Kondisi atau tanda-tanda tersebut berbentuk tulisan, gambar, komunikasi verbal, keteladan
guru, atau perilaku sesama peserta didik. Implikasinya prinsip kedua ini pada teknologi
instruksional adalah perlunya menyatakan tujuan instruksional secara jelas kepada peserta
didik sebelum pelajaran dimulai agar peserta didik bersedia belajar lebih giat. Tujuan
instruksional itu berisi pengetahuan, keterampilan atau setiap perilaku yang akan dapat
dilakukan peserta didik setelah menyelesaikan pelajaran. Implikasi lainnya adalah
penggunaan berbagai metode dan media agar dapat mendorong keaktifan peserta didik dalam
proses belajarnya.

3. Prinsip ketiga. Perilaku yang ditimbulkan oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau
berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan pemberian akibat yang menyenangkan.
Karena itu pengetahuan dan keterampilan baru yang telah dikuasai harus sering dimunculkan
dan diberi akibat yang menyenangkan agar keterampilan baru itu selalu digunakan.
Implikasinya adalah pemberian isi pelajaran yang berguna pada peserta didik dalam dunia
kehidupan serta pemberian umpan balik berupa imbalan dan penghargaan terhadap
keberhasilan peserta didik.

4. Prinsip keempat. Belajar yang berbentuk respons terhadap tanda-tanda yang terbatas
akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula. implikasinya yaitu pemberian kegiatan
belajar yang melibatkan tanda-tanda atau kondisi yang mirip dengan kondisi dunia nyata,
yaitu lingkungan hidup peserta didik di luar ruangan kelas.

5. Prinsip kelima. Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah dasar untuk


belajar sesuatu yang kompleks seperti pemecahan masalah. Uraian materi pelajaran perlu
diperjelas dengan contoh yang positif dan negatif. Untuk menjelaskan bilangan genap,
misalnya, guru perlu memberikan contoh bilangan genap dan contoh bilangan ganjil.

6. Prinsip keenam. Status mental peserta didik untuk menghadapi pelajaran akan
memengaruhi perhatian dan ketekunannya selama proses belajar. Implikasinya adalah
pentingnya menarik perhatian peserta didik agar dapat mempelajari isi pelajaran dengan baik.
Misalnya, memulai proses pembelajaran dengan memberi petunjuk tentang prosedur yang
harus diikuti atau kegiatan yang harus dilakukan peserta didik agar ia mencapai tujuan
instruksional.

7. Prinsip ketujuh. Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-langkah kecil dan
disertai umpan balik untuk menyelesaikan setiap langkah akan membantu sebagian besar
peserta didik. Implikasinya penggunaan buku teks terprogram .

8. Prinsip kedelapan. Kebutuhan memcah materi belajar yang kompleks menjadi


kegiatan-kegiatan kecil akan dapat dikurangi bila materi belajar dapat diwujudkan dalam satu
model. Implikasinya berupa penggunaan media dan metode instruksional yang dapat
menggambarkan materi yang kompleks kepada peserta didik seperti: model, realia (benda
sebenarnya), film, program televisi, program video, drama, dan demonstrasi.

9. Prinsip kesembilan. Keterampilan tingkat tinggi seperti keterampilan memecahkan


masalah adalah perilaku kompleks yang terbentuk dari komposisi keterampilan dasar yang
lebih sederhana. Implikasinya yaitu tujuan instruksional umum harus dirumuskan dalam
bentuk hasil belajar yang operasional agar dapat dianalisis menjadi tujuan-tujuan yang lebih
khusu.

10. Prinsip kesepuluh. Belajar cenderung cepat dan efisien serta menyenangkan bila
peserta didik diberi informasi bahwa ia menjadi lebih mampu dalam keterampilan
memecahkan masalah. Ia cenderung belajar lebih cepat bila diberi informasi tentang kualitas
penampilannya dan bagaimana cara meningkatkannya lebih baik.

11. Prinsip kesebelas. Perkembangan dan kecepatan belajar peserta didik bervariasi, ada
yang maju dengan cepat, ada yang lebih lambat. Di samping itu, perkembangan dan kecepatan
belajar seorang peserta didik tidak stabil dari suatu hari ke hari yang lain dan tidak sama dari
satu mata pelajaran ke mata pelajaran yang lain. Variasi kecepatan belajar itu tidak selalu
dapat diramalkan. Hasil tes intelegensi, gaya kognitif, dan minat atau sikap untuk belajar tidak
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap variasi tersebut. Namun, variasi penguasaan
terhadap pelajaran yang terdahulu mempunyai hubungan yang lebih berarti terhadap variasi
tersebut. Implikasinya peserta didik medapat kesempatan maju menurut kecepatan masing-
masing.

12. Prinsip kedua belas. Dengan persiapan, peserta didik dapat mengembangkan
kemampuan mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan umpan balik
bagi dirinya untuk membuat respons yang benar. Pemberian kemungkinan bagi peserta didik
untuk memilih waktu, cara, dan sumber-sumber lain, di samping yang telah ditetapkan dalam
sistem instruksional agar dapat membuat dirinya mencapai tujuan instruksional.

Dari kedua belas prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa desain instruksional adalah
hal yang kompleks namun perlu untuk diterapkan demi tercapainya pembelajaran yang efektif
dan efisien. Impilakasi dari masing-masing aliran psikologi dan prinsipprinsip dalam
pengembangan instruksional tersebut dapat diterapkan dalam pembelajaran skala luas,
misalnya dalam satu program studi atau dalam skala sempit yaitu, pembelajaran yang hanya
terjadi dalam satu pertemuan dengan durasi waktu 90 menit, pada setiap jenjang pendidikan,
setiap jenis pendidikan, pada pendidikan tatap muka atau jarak jauh.

a. Urutan Kegiatan Instruksional


Urutan kegiatan instruksional terdiri atas:
1) Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dari kegiatan instruksional yang
sesungguhnya. Dick, Carey, and Carey (2009) menyebutnya preinstructional
activities, dan modul Universitas Terbuka menggunakan istila pengantar atau
kadang-kadang disebut pendahuluan. Kegiatan awal tersebut dimaksudkan untuk
mempersiapkan peserta didik agar secara mental siap mempelajari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap baru. Fungsi subkomponen “Pendahuluan” ini akan
tercermin dalam ketiga langkah, yaitu penjelasan singkat tentang isi pelajaran,
penjelasan relevansi isi pelajaran baru, dan penjelasan tentang tujuan
instruksional.
2) Penyajian
Penyajian adalah subkomponen yang sering ditafsirkan secara awam sebagai
pengajaran yang sesungguhnya karena merupakan inti kegiatan pembelajaran. Di
dalamnya terkandung tiga pengertian pokok, yaitu uraian, contoh dan noncontoh,
latihan, tes formatif, rangkuman dan glosarium. Seluruh subkomponen penyajian
dapat diulang kembali sesuai kebutuhan untuk menyajikan isi pembelajaran yang
lain namun masih termasuk dalam satu kelompok isi pembelajaran yang mengacu
pada satu tujuan instruksional dan dikemas dalam satu strategi instruksional.
3) Penutup
Penutup adalah subkomponen terakhir dalam urutan kegiatan instruksional.
Terdiri dari dua langkah, yaitu: umpan balik dan tindak lanjut. Umpan balik
adalah kegiatan memberitahukan hasil tes formatif agar peserta didik mendapat
kepastian tentang hasil belajarnya. Tindak lanjut adalah kegiatan yang dilakukan
peserta didik setelah melakukan tes formatif dan mendapatkan umpan balik.

b. Garis Besar Isi


Garis besar isi biasa disebut pokok bahasan dan subpokok bahasan atau topik dan
subtopik. Setiap pokok bahasan atau subpokok bahasan menunjukkan ruang lingkup
isi pembelajaran yang didasarkan pada tujuan instruksional.
c. Metode Instruksional
Metode instruksional berfungsi sebagai cara dalam menyajikan (menguraikan,
memberi contoh, dan memberi latihan) isi atau materi instruksional kepada peserta
didik untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa contoh metode instruksional, yaitu
metode ceramah (lecture), demonstrasi, penampilan, diskusi, studi mandiri, metode
kegiatan instruksional terprogram, latihan dengan teman, sumbang pendapat atau
sumbang saran, studi kasus, dan lain sebagainya.
d. Media dan Alat Instruksional
Media digunakan dalam kegiatan instruksional karena berbagai kemampuannya, di
antaranya memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak tampak, menyajikan benda
atau peristiwa yang terletak jauh dari peserta didik ke hadapan peserta didik,
menyajikan peristiwa yang kompleks, rumit, berlangsung dengan sangat cepat atau
sangat lambat menjadi lebih sistematis dan sederhana, dan lain sebagainya. Media
yang digunakan dalam kegiatan instruksional beraneka ragam. Dalam era modern,
khususnya dua puluh tahun terakhir, tampil multimedia yang serba digital. Bentuk
multimedia semakin menjadi lebih kecil seperti USB, portable seperti laptop, mobile
seperti PDA, fleksibel, real-time, dan semakin banyak yang menyajikan sumber
belajar terbuka (open educational resources (OER))
e. Waktu
Komponen terakhir dalam strategi isntruksional adalah alokasi waktu, yaitu
penentuan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh pengajar dan peserta
didik untuk menyelesaikan setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Waktu
untuk peserta didik adalah jumlah waktu yang digunakan dalam pertemuan dengan
pengajar ditambah dengan waktu yang digunakan untuk belajar mandiri dan
melaksanakan tugas yang diberikan pengajar untuk diselesaaikan di luar pertemuan
dengan pengajar. Jumlah jam pengajar ini menentukan bobot satuan kredit semester
(SKS) suatu mata kuliah atau mata pelajaran.

Penyusunan strategi instruksional haruslah didasarkan pada tujuan instruksional yang


akan dicapai sebagai kriteria utama. Di samping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula
atas pertimbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin dihadapi pengembang instruksional
atau pengajar seperti waktu, biaya, dan fasilitas. Tidak ada strategi yang tepat untuk
mencapai semua tujuan. Urutan kegiatan isntruksional pada penyajian, misalnya, belum
tentu selalu UCL (Uraian, Contoh, dan Latihan) mungkin dapat berbentuk CUL. Sedangkan
urutan kegiatan instruksional pada Pendahuluan yang tersusun DRT (Deskripsi singkat,
Relevansi dan TIK), dan penutup yang terdiri dari TUT (Tes Formatif, Umpan Balik, dan
Tindak Lanjut) tampaknya tidak perlu mengalami perubahan. Setiap urutan kegiatan, selalu
diikuti pemilihan metode, media dan alat, serta penentuan waktu untuk mencapai tujuan
instruksional.

Dalam pembicaraan tentang model-model pengembangan instruksional beberapa kali


disinggung tentang karakteristik siswa yang perlu diperhatikan pada waktu akan diadakan
perancangan dan pengembangan suatu program atau sistem instruksional. Karakteristik
tersebut mencakup faktor-faktor yang jelas akan mempengaruhi proses belajar siswa.
Sebagian dari faktor-faktor ini merupakan sesuatu yang telah tetap sifatnya dan tidak dapat
berubah seperrti misalnya kemampuan siswa, umurnya dan kebudayaannya. Dalam hal ini
maka pendidik dan pendesain pembelajaran perlu mempertimbangkan karakteristik siswa
dalam menyusun dan mengembangkan strategi instruksional. Adapun faktor-faktor lain,
seperti motivasi, perhatian, persepsi, ingatan, retensi, lupa dan transfer belajar merupakan
faktor yang bisa dimanipulasi oleh pendidik dan pendesain pembelajaran sehingga proses
pembelajaran bisa berjalan dan efektif dan efisien.

2.3 Memilih atau Merancang Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan oleh guru dan siswa di sekolah merupakan salah satu hal yang
perlu ditingkatkan dan dikembangkan selama proses belajar mengajar. Bahan ajar adalah
seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta
lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar (Eliza, 2013). Melalui bahan
ajar, memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan sistematis
sehingga secara garis besar mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu,
dengan harapan akan dapat memperbaiki mutu atau kualitas proses pembelajaran dan kualitas
pendidikan.

Memilih dan mengembangkan bahan ajar, sangat bergantung pada tujuan pembnelajaran.
Pengembangan bahan ajar berkaitan dengan dua aspek mendasar yakni skup dan sequence
bahan ajar (keluasan/ ruang-lingkup bahan ajar dan tahapan-tahapan hierarkhis bahan ajar).
Skop atau ruang-lingkup bahan ajar berkaitan dengan keluasan bahan ajar yang dipandang
relevan untuk mengantarkan peserta didik mencapai tujuan, dan sequence abahan ajar
menyangkut tahapan-tahapan struktural bahan ajar dengan pertimbangan kapan bahan ajar
perlu didahulukan atau diakhirkan untuk dipelajari siswa.

Pengembangan sequence bahan ajar terdapat beberapa model yakni;

1. Sequence logis; yakni pengembangan bahan ajar dimulai dari yang mudah menuju
yang kompleks, dari bagian-bagian menuju keseluruhan

2. Sequence psikologis yakni; pengembangan bahan ajar kebalikan dari nomor 1 di


atas.

3. Sequence historis; pengembangan bahan ajar sesuai dengan fenomena-fenomena


kesejarahan, yuang bergerak maju dari fenomena awal meunju berikutnya.

4. Sequence kronologis; pengembangan bahan ajar sesuai dengan krponologis


kejadiannya secara berurutan, hamper sama dengan sequence historis tapi bukan
kesejarahan.

5. Sequence kausal; yakni pengembangan bahan ajar didasarkan pada kasus- atau
fenomena tertentu yang dipandang sebagai penyebab perlu dipelajari lebih dahulu
sebelum sesuatu yang dianggap sebagai akibat.

6. Sequence spiral; yakni pengembangan pembelajaran sesuai dengan sesuatu atau


fakta tertentu yang sangat berdekatan dengan siswa, kemudian dikembangkan
menuju kepada yang lebih luas dan lebih tinggi.

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan ajar atau materi
pembelajaran, yaitu:

1. Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan atau


ada kaitan atau ada hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan
kompetensi dasar.

2. Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai
siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi
empat macam.

3. Prinsip Kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam
membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh
terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak.
2.4 Mengevaluasi Instruksi

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang penilaian, kita akan membahas tiga istilah
yang sering membingungkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pengajaran, evaluasi,
penilaian dan pengetesan. Penilaian adalah proses pengumpulan informasi untuk menentukan
sejauh mana tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan tercapai. Informasi itu dapat berupa
pendapat guru, orang tua, kualitas buku, hasil penilaian, dan sikap siswa. Alat evaluasi dapat
berupa tes, kuesioner, wawancara, dan observasi. Penilaian merupakan semua metode yang
digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan, kemampuan, pemahaman,
sikap, dan motivasi siswa yang di antaranya dapat dilakukan melalui tes, penilaian diri, baik
secara formal maupun informal. Pengetesan merupakan salah satu prosedur yang dapat
digunakan untuk menilai unjuk kerja siswa. Tes dapat bersifat obyektif atau subyektif. Tes
juga merupakan sebuah metode untuk mengukur kemampuan seseorang, pengetahuan atau
kinerjanya pada ranah tertentu.

Namun untuk kemudahan, dalam tulisan ini istilah penilaian akan digunakan untuk
merujuk baik kepada evaluasi, penilaian, ataupun pengetesan. Penilaian tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan pengajaran. Jika dalam pengajaran kita memiliki elemen siswa
sebagai input, pembelajaran di sekolah dan kelas sebagai proses, dan kompetensi lulusan
sebagai hasil, kegiatan penilaian terjadi baik pada awal, proses, maupun pada akhir
pembelajaran. Pada awal pembelajaran, penilaian dilakukan untuk menentukan kemampuan
awal siswa (diagnostic) atau penempatan (placement) siswa pada kelompok belajar tertentu.
Pada saat pembelajaran berlangsung, kegiatan penilaian dilakukan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan hasilnya digunakan sebagai
feedback atas kegiatan pembelajaran yang dilakukan (formative). Setelah kegiatan
pembelajaran pada periode tertentu selesai dilakukan, misalnya pada akhir semester, penilaian
dilakukan untuk mengukur ketercapaian keseluruhan tujuan kurikulum yang telah ditetapkan
pada jenjang pendidikan tertentu (summative) dan hasilnya digunakan sebagai laporan kepada
siswa tentang hasil belajarnya, kepada guru, orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah
sebagai wujud akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

Ada beberapa prinsip penilaian yang penting untuk diketahui, yaitu kepraktisan
(practicality), keterandalan (reliability), validitas (validity), dan keotentikan (authenticity).
Sebuah tes dikatakan praktis apabila tes itu biaya penyelenggaraannya tidak terlalu mahal,
tidak menyita waktu terlalu lama, mudah dilaksanakan, dan penyekorannya tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama. Yang dimaksud dengan reliable adalah konsisten dan
dapat diandalkan. Jika anda memberi tes yang sama pada siswa yang sama atau
mengorelasikan dua buah perangkat tes yang paralel, dan hasilnya relatif sama, tes itu
dikatakan terandal. Reliabilitas dapat mencakupi reliabilitas antarpenilai dan reliabilitas
pelaksanaan. Reliabilitas antarpenilai akan terjadi apabila hasil penilaian yang dilakukan oleh
beberapa penilai relatif sama. Misalnya, jika kita memberi skor esei seorang siswa 70,
sedangkan sejawat kita memberi skor 72, kedua penilai itu dapat dikatakan memberikan hasil
penilaian yang reliable. Reliabilitas dalam pelaksanaan penilaian terjadi apabila instrumen tes
yang digunakan dalam situasi apapun hasilnya relatif sama. Reliabilitas dalam pelaksanaan ini
dapat terganggu oleh adanya kegaduhan, variasi hasil foto kopi, pencahayaan, dan faktor-
faktor sejenis lainnya.
Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama
menggunakan teknik belah dua (split-half method), tes paralel, dan pengetesan ulang. Dalam
teknik belah dua kita memiliki satu set alat tes, misalnya berisi 50 butir soal pilihan ganda.
Kita pisahkan butir genap dan butir ganjil, kemudian keduanya dianggap sebagai dua
perangkat tes yang pararel dan kita korelasikan kedua belahan itu menggunakan Pearson
Product Moment. Bila korelasinya signifikan, tes itu reliable. Teknik tes pararel dilakukan
bila kita mempunyai dua set soal yang bertujuan mengukur hasil belajar yang sama. Setelah
diujicobakan, skor kedua set soal itu dikorelasikan dan bila hasilnya signifikan, kedua set soal
itu reliable. Teknik terakhir dilakukan bila kita hanya mempunyai satu set soal yang
diujicobakan sebanyak dua kali kepada dua kelompok yang tingkat kemampuannya dianggap
sama. Bila hasil korelasinya signifikan, tes itu reliable.

Ada beberapa cara untuk meningkatkan reliabilitas soal. Pertama, kita harus membuat
soal yang mampu membedakan siswa yang kurang pandai dan yang pandai. Artinya, kita
harus membuat soal yang kemungkinan bisa dijawab dengan benar oleh siswa pandai, tetapi
tidak oleh siswa yang kurang pandai. Carake dua adalah dengan tidak terlalu banyak memberi
kebebasan kepada peserta tes. Cara ketiga adalah dengan memberi perintah yang jelas dan
mudah difahami peserta tes. Tidak boleh terjadi peserta tes menjawab salah karena
perintahnya tidak jelas. Cara keempat adalah dengan memastikan soal yang diberikan dapat
dibaca dengan baik oleh peserta tes. Cetakan atau ilustrasi yang kurang jelas harus dihindari.
Cara kelima adalah dengan membuat peserta tes mengenal format dan teknis tes. Cara lainnya
adalah dengan memberi suasana tes yang nyaman dan tak mengganggu konsentrasi, membuat
soal yang sebisa mungkin obyektif, memberi kunci jawaban yang rinci bagi para penilai
terutama untuk menilai tes berbentuk essay selain melatih terlebih dahulu para penilai
tersebut.

Validitas adalah sejauh mana kesimpulan yang kita peroleh dari tes yang kita lakukan
tepat dan bermakna sesuai dengan tujuan penilaian yang diinginkan. Dengan kata lain tes
yang dibuat harus mampu mengukur aspek yang ingin diukur. Ada beberapa jenis validitas
yang sering dibicarakan dalam teori penilaian. Yang pertama adalah validitas isi. Sebuah tes
dikatakan memiliki validitas isi bila isi tes disusun oleh butir-butir tes yang merepresentasikan
kompetensi atau kemampuan siswa. Validitas yang kedua berkaitan dengan kriteria tertentu
yang ditetapkan. Artinya, sebuah tes dikatakan valid jika hasil yang diperoleh sejalan dengan
hasil tes yang diperoleh oleh penilaian lain yang independen dan andal. Validitas jenis ini
terdiri dari concurrent validity dan predictive validity. Yang pertama terjadi ketika tes yang
divalidasi dan tes yang digunakan sebagai kriteria diteskan secara bersamaan dan hasilnya
memiliki korelasi yang tinggi. Predictive validity merupakan kemampuan sebuah tes
memprediksi kemampuan peserta tes di masa yang akan datang.

Validitas yang keempat adalah validitas perwajahan (face validity). Bila tes yang kita
kembangkan memiliki validitas perwajahan, peserta tes akan melihat tes itu fair, relevan, dan
bermanfaat dalam meningkatkan kompetensi siswanya. Dengan kata lain, bagi peserta dan
pelaksana tes, tes itu kelihatan bonafid, berwibawa, mengukur keterampilan yang
diperuntukannya, tidak ada kesalahan ketik, ilustrasi, kasetnya jernih, kemasannya dan tata
letaknya menarik.
Prinsip tes yang baik keempat adalah keotentikan (authenticity), yaitu tingkat kesejalanan
antara ciri-ciri sebuah tes bahasa dengan fitur-fitur tugastugas yang diberikan kepada siswa.
Dengan kata lain, bahan atau tugas yang diteskan harus mencerminkan kenyataan yang akan
dihadapi dalam kondisi nyata di lapangan. Agar keotentikan meningkat, bahasa yang
digunakan harus sealamiah mungkin, butir soal yang dibuat harus kontekstual, topik yang
dipilih harus menarik bagi siswa, butis soal dikelompokan secara tematis, dan tugas yang
diberikan harus merupakan tugas yang banyak ditemukan dalam dunia nyata.

Selain keempat prinsip di atas, validitas tes juga mencakupi validitias konsekuensial.
Artinya, dampak tes bagi peserta tes, guru, sekolah, pemerintah dan masyarakat harus
dipertimbangkan. Dampak yang ditimbulkan tes dikenal dengan nama washback (dampak
balik), yaitu dampak tes terhadap pembelajaran, terutama persiapan menjelang tes. Prinsip
penilaian lainnya adalah terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu
komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Penilaian juga harus terbuka.
Artinya, prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat
diketahui oleh pihak yang berkepentingan baik siswa, guru, pemerintah maupun masyarakat.
Penilaian harus menyeluruh dan berkesinambungan, yaitu bahwa penilaian oleh pendidik
mencakupi semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang
sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. Penilaian juga harus
sistematis, yaitu dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah
baku. Penilaian harus beracuan kriteria,yaitu penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian
kompetensi yang ditetapkan. Terakhir, penilaian harus akuntabel, yaitu dapat
dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Inti dari kegiatan pembelajaran adalah komunikasi yang diwujudkan dalam


penyampaian informasi berupa materi atau instruksi serta umpan balik dari guru dan siswa
sehingga terbentuk interaksi yang intens antara guru, siswa, dan sumber belajar lainnya.
Selain itu, penentuan strategi pembelajaran juga tidak kalah pentinga dalam pembelajaran.
Melalui bahan ajar, memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut
dan sistematis sehingga secara garis besar mampu menguasai semua kompetensi secara utuh
dan terpadu, dengan harapan akan dapat memperbaiki mutu atau kualitas proses pembelajaran
dan kualitas pendidikan. Guru yang kompeten akan lebih mampu memciptakan lingkungan
belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya, sehingga hasil belajar siswa
berada pada tingkat optimal. Salah satu peran guru dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai evaluator.

b. Saran

Sebagai seorang calon guru sudah sepantasnya bagi kita untuk terus memperbaiki dan
mengembangkan skill dalam penyampaian intruksi kepada peserta didik, pemilihan strategi
serta bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran guna meningkatkan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai