Anda di halaman 1dari 18

Diagnosis Multiaksial Aksis I - Aksis V

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Kesehatan Mental Anak dan remaja
Dosen Pengampu : RR. Dwi Astuti, S.Psi.,M.Si, Psikolog

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3 (KELAS C):

Nur Yanti (201960113) Dimas Tegar Aldian Y. (201960151)


Niswatun Musfiroh (201960116) Anita Dewi Nurfitri (201960153)
Mufidatun Nisa (201960121) M Abdul Huda (201960155)
Cantika Yukhoirun N. (201960129) Catharine Nabila (201960157)
Bagus Pradana (201960134) Min Yatul Rahma (202060054)
Windy Aulia (201960140) Sabrina Dea Raharjo (202060065)
Eva Muzdalifah (201960144) Alda Risma (202060072)
Nidaan Khofiyya (201960149)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2021
BAB II
PEMBAHASAN

A. Diagnosis Multiaksial Aksis I


F00-F09 ( Gangguan Mental Organik (+ Simtomatik )
F10-F19 ( Gangguan Mental & Perilaku Akibat Pengguanaan Zat Psikoaktif )
F20-F29 ( Skizofrenia, Gangguan Skizotipaldan Gangguan Waham)
F30-F39 ( Gangguan Suasana Perasaan )
F40-F48 ( Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stress )
Gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan terkait stress dikelompokkan
menjadi satu dengan alasan bahwa dalam sejarahnya ada hubungan dengan perkembangan
konsep neurosis dan berbagai kemungkinan penyebab psikologis (Muslim, 2013).
1. GANGGUAN NEUROTIK
Gangguan neurosis diklasifikasikan sebagai kecemasan hampir sepanjang abad ke-19.
Istilah neurosis diambil dari akar kata yang berarti „suatu kondisi abnormal atau sakit
dari sistem saraf‟ dan ditemukan oleh Cullen (Nevid, dkk, 2005) pada abad ke-18.
Neurosis dilihat sebagai suatu penyakit pada sistem saraf. Kemudian berganti dengan
pengertian dari Freud pada abad ke-20. Freud mengatakan bahwa tingkah laku neurotik
terjadi karena adanya ancaman bahwa ide-ide pembangkit kecemasan yang tidak dapat
diterima akan muncul ke dalam alam sadar. Semua gangguan ini mencerminkan usaha
ego untuk mempertahankan dirinya sendiri melawan kecemasan.
kecemasan (Anxiety) adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang
ditandai oleh rasa ketakutan dan gejala fisik yang menegangkan serta tidak diinginkan.
Berikut ini dijelaskan ciri-ciri kecemasan (Nevid, dkk 2005):
Ciri-ciri fisik gangguan kecemasan yakni Kegelisahan, kegugupan, angan atau anggota
tubuh bergetar, banyak berkeringat, telapak tangan berkeringat , pening, mulut atau
kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernapas, bernapas pendek, jantung
berdebar keras, suara yang bergetar, anggota tubuh menjadi dingin, leher atau
punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, sakit perut atau mual,
sering buang air kecil, wajah terasa memerah.
TIPE-TIPE GANGGUAN KECEMASAN
Gangguan Anxietas Fobik
Axsietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (di luar individu itu
sendiri) ang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan . kondisi lain dari
(individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan
ketakutan akan perubahan bentuk badan (dismorfofobia). Sebagai akibatnya objek atau
situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam. Secara subjektif,
fisiologis dan tampilan perilaku, anxietas fobik tidak berbeda dari anxietas yang lain
dan dapat dala bentuk yang ringan sapai ang berat (serangan panic).
Anxietas fobik sering kali bebarengan (coexist) dengan depresi. Suatu episode
depresif seringkali memperb,,,uruk keadaan anxietas fobik yang sudah ada sebelumnya.
Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya afek
depresif seringkali menertai berbagai fobia khususnya agoraphobia.
Jenis-jenis Axietas Fobik yakni agoraphobia, fobia social, dan fobia khas (terisolasi)
a. Agoraphobia
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan agorafobia sebagai berikut
(Maslim, 2013)
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan menifstasi
primer dari axietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain misalnya waham
atau pikiran obsesif.
2) Axietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dala hubungan dengan)
setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang/keramaian, tempat umum,
bepergian keluar rumah atau bepergian sendiri; dan
3) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan suatu gejala yang menonjol
(penderita menjadi “house bound”)
b. Fobia social
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan fobia social sebagai
berikut (Maslim, 2013)
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
menifstasi primer dari axietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
misalnya waham atau pikiran obsesif.
2) Axietas yang timbul harus mendominasi atau terbatas pada situasi social
tertentu (outside the family circle); dan
3) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan suatu gejala yang
menonjol (penderita menjadi “house bound”).
c. Fobia Khas (Terisolasi)
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan fobia khas (terisolasi)
sebagai berikut (Maslim, 2013).
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
menifstasi primer dari axietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
misalnya waham atau pikiran obsesif.
2) Axietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly
specific situation); dan
3) Situasi fobik tersebut sedappat mungkin dihindarinya.
d. Fobia Spesifik
Kriteria diagnosis DSM V :
1) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu
(terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah).
2) Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan
tiba-tiba.
3) Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan ketakutan
atau kecemasan yang kuat.
4) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya sebenarnya yang
ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan pada konteks kultur sosial.
5) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya
berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan
klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting
lainnya.
7) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan mental
lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan penghindaran terhadap situasi
dibantu dengan gejala seperti panik atau gejala ketidakmampuan lainnya
(seperti pada agorafobia); objek atau situasi yang berkaitan dengan obsesi
(seperti pada gangguan obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti
pada gangguan stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang
seseorang (seperti pada gangguan kecemasan pemisahan); atau pada situasi
sosial (seperti pada gangguan kecemasan sosial).
Gangguan Panik
Ciri-ciri diagnostik PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan panik
sebagai berikut (Maslim, 2013):
1) Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis gangguan utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40,-)
2) Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas
berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa sekitar satu bulan:
 Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
 Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations)
 Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di
antara serangan-serangan panik (tetapi umumnya dapat terjadi juga “anxietas
antisipatorik,” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang
tidak diharapkan akan terjadi.
DSM-5 menunjukkan kriteria dianostik dari gangguan panik sebagai berikut
(Maslim, 2013):

1) Serangan panik tidak terduga berulang. Serangan panik adalah sebuah gelombang
ketakutan yang sangat kuat akan ketidaknyamanan intens yang akan mencapai
puncaknya dalam hitungan menit, selama 4 menit (atau lebih). Gejala-gejala yang
terjadi: a. Jantung berdetak lebih cepat b. Berkeringat c. Gemetaran d. Sensasi
sesak nafas atau rasa tercekik e. Perasaan tersedak f. Terasa nyeri di dada dan
tidak nyaman g. Mual atau sakit perut h. Perasaan pusing atau pingsan i.
Menggigil atau sensasi panas j. Sensasi geli k. Perasaan tidak sadar l. Takut
kehilangan kontrol atau “menjadi gila” m. Takut mati
2) Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari satu atau
kedua hal berikut: a. Khawatir tentang panik tambahan atau konsekuensinya
(Seperti, kehilangan kontrol, mengalami serangan jantung, “menjadi gila”) b.
Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan tersebut
(contohnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan panik, seperti
menghindari latihan atau siatuasi yang tidak biasa.

Gangguan Cemas Menyeluruh

Pedoman diagnostik untuk gangguan kecemasan menyeluruh menurut PPDGJ-III (F41.1)


(Maslim, 2013).

1) Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung


hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
free floating atau mengambang).
2) Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut: a) Kecemasan
(khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai). c)
Over-aktivitas otonomi (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar,
sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb).
3) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
4) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnyadepresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan anxietas
menyeluruh, selama haltersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresi (F32), gankap dari episodedepresi (F32), gangguan anxietas fobik (F40),
gangguan panik (F41.0), gangguan obsesif-kompulsif (F42).

Kriteria Diagnostik menurut DSM-V (300.02), sebagai berikut:

1) Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari,
sepanjang hari, terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau
kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah).
2) Individu sulit untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran.
3) Kecemasan diasosiasikan dengan 6 gejala berikut ini (dengan sekurang-kurangnya
beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir),
yaitu kegelisahan, mudah lelah, sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong,
iritabilitas, ketegangan otot, dan gangguan tidur (sulit tidur, tidur gelisah atau tidak
memuaskan).
4) Kecemasan, kekhwatiran, atau gejala fisik menyebabkan distress atau
terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
5) Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada fisiologis (memakai
obat-obatan) atau kondisi medis lainnya (seperti hipertiroid).
6) Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lainnya (seperti
kecemasan dalam gangguan panik atau evaluasi negatif pada gangguan kecemasan
sosial atau sosial fobia, kontaminasi atau obsesi lainnya pada gangguan obsesif-
kompulsif, mengingat kejadian traumatik pada gangguan stress pasca traumatik,
pertambahan berat badan pada anorexia nervosa, komplin fisik pada gangguan
gejala somatik atau delusi pada gangguan schizophreniaor).

Gangguan Campuran Axietas dan Depresi


PPDGJ III menunjukkan pedoman dianostik dari gangguan panik sebagai berikut
(Maslim, 2013):

1) Terdapat gejala-gejala axietas maupun depresi dimana masing-masing tidak


menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menunjukkan diagnosis
tersendiri. Untuk axietas beberapa gejala. Beberapa gejala otnomik harus ditemukan
walauun tidak terus menerus disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
2) Bila ditemukan axietas berat disertai depresi yang lebih ringan maka harus
dipertimbangkan gangguan axietas lainnya atau gangguan axietas fobik.
3) Bila ditemukann sindrom depresi dan axietas yang cukup berat untuk menegakkan
masing-masing diagnosis maka diagnosis tersebut harus dikemukakan dan diagnosis
gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena suatu hal ang dapat di
kemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
4) Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan yang jelas maka
harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.

Gangguan Obsesif Kompulsif

Obsesif adalah pikiran, ide, atau dorongan yang intrusive dan berulang yang berada di luar
kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Obsesi dapat menjadi sangat kuat dan
persisten sehingga dapat menganggu kehidupan sehari-hari dan menimbulkan distress serta
kecemasan yang signifikan. Kompulsif terjadi sebagai jawaban terhadap pikiran obsesif dan
muncul dengan cukup sering serta kuat sehingga menganggu kehidupan sehari-hari atau
menyebabkan distress yang signifikan.

Adapun kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif berdasarkan PPDGJ III (Maslim,
2013) sebagai berikut:

1) Gejala yang timbul merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu


aktivitas penderita.
2) Gejala-gejala obsesif mencakup hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan .
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan merupkan hal yang memberi
kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari anxietas).
d. Gagasan atau impuls tersebut merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan.
e. Ada kaitan antara gejala obsesif-kompulsif dengan depresi. Penderita OCD
seringkali juga menunjukkan gejala depresif begitupun sebaliknya.

Gangguan Stres Akut dan Gangguan Stres Pasca Trauma

Ciri-ciri diagnostik PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari Gangguan Stres Akut dan
Gangguan Stres Pasca Trauma sebagai berikut (Maslim, 2013):

Gangguan stres akut adalah suatu reaksi yang diperkirakan dari seseorang yang mengalami
suatu trauma yang sangat berat, saat ini individu membutuhkan jumlah dan jenis stres yang
berbeda untuk menimbulkan gangguan tersebut. Gangguan stress akut secara khas akan
menghilang setelah 1 hingga 2 minggu (apabila berlanjut), tetapi jika gangguan berlangsung
lebih dari sebulan, diagnosis perlu diubah menjadi gangguan stres pasca trauma.

1) Harus ada kaitan waktu yang jelas antara terjadinya pengalaman stres yang luar
biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya beberapa menit atau
segera setelah kejadian.
2) Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah, selain gejala
permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze). Semua hal berikut dapat terlihat
depresi, ansietas, kemarahan , kecewa, overaktif dan penarikan diri. Akan
tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya
untuk waktu yang lama.
b) Pada kasus yang dapat dialhkan dari lingkup stressornya, gejala-gejala dapat
menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam)dalam hal dimana stres
menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan gejala –gejala biasanya baru
mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hapir menghilang setelah 3 hari.
3) Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
4) Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan
dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
DSM V Kriteria Diagnostik:

1) Paparan terhadap kematian yang sebenarnya, cedera serius, atau pelanggaran


seksual yang serius dalam satu (atau lebih) hal berikut:
a. Langsung mengalami peristiwa traumatis.
b. Menyaksikan, secara langsung, kejadian traumatik, seperti yang terjadi pada
orang lain.
c. Belajar bahwa kejadian tersebut terjadi pada anggota keluarga dekat atau
teman dekat.
d. Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrem terhadap rincian kejadian
traumatis yang tidak menyenangkan (misalnya, responden pertama yang
mengumpulkan jenazah manusia, petugas polisi berulang kali terpapar dengan
rincian penganiayaan anak).
2) Kehadiran sembilan (atau lebih) dari gejala berikut dari salah satu dari lima kategori
gangguan, disosiasi mood negatif, penghindaran, dan gairah, diawali atau
diperburuk setelah peristiwa traumatis terjadi.
Gejala Intrusi (gangguan)
a. Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari kejadian traumatis.
b. Mimpi buruk yang menyengat dimana konten dan / atau pengaruhnya
terhadap mimpi berhubungan dengan kejadian tersebut.
c. Reaksi disosiatif (mis, flashback) di mana individu merasa atau bertindak
seolah-olah peristiwa traumatis berulang (reaksi semacam itu dapat terjadi
pada suatu kontinum, dengan ekspresi paling ekstrem adalah hilangnya
kesadaran akan lingkungan yang ada sekarang).
d. Intensor tekanan psikologis yang berkepanjangan atau reaksi fisiologis yang
ditandai sebagai respons terhadap isyarat eksternal eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek kejadian traumatis.
Mood Negatif:
a. Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif
(eginabilitas untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau cinta perasaan)
Gejala disosiatif:
b. Perasaan yang berubah tentang lingkungan seseorang atau diri sendiri (mis,
melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain, sedang dalam keadaan
linglung melambat).
c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis (biasanya
karena amnesia disosiatif dan tidak pada faktor lain seperti cedera kepala,
alkohol, atau obat-obatan terlarang).
Gejala Menghindar
a. Upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan
tentang atau terkait erat dengan kejadian traumatis.
b. Upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, percakapan,
aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan pikiran kenangan yang
menyedihkan, atau perasaan tentang atau terkait erat dengan kejadian
traumatis.
Gejala Gangguan
a. Gangguan tidur (misalnya, sulit jatuh atau tertidur, tidur nyenyak).
b. Perilaku yang tidak enak dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa
provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap objek.
Hipervigilance Permasalahan dengan konsentrasi
c. Respon mengejutkan berlebihan.
Durasi gangguan (gejala pada Kriteria B) adalah 3 hari sampai bulan setelah terpapar
trauma. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau penurunan signifikan secara
klinis di area kerja sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya. Gangguan ini tidak
disebabkan oleh efek fisiologis zat (misalnya obat atau alkohol) atau medical lainnya.
Injeksi otot ringan dan tidak lebih baik dijelaskan oleh kelainan psikotik singkat
Stres Pasca Trauma
Menurut PPDGJ (F43.1) dalam Muslim (2013) menyebutkan diagnosis stress pasca trauma
sebagai berikut
1) Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatis berat (masa laten berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan , jarang melampaui 6 bulan),
2) Kemungkinan diagnosa masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan onset gangguan melebihi 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
3) Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didaoatkan bayang-bayang atau mimpi
–mimpi dari kejadian traumatik secara berulang-ulang kembali (flashback).
4) Gangguan otonomil, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis, tetapi tidak khas.
5) Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah bencana, diklasifikasikan dalam katagori F 62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung setelah kejadian katas trofi.

2. SKIZOFRENIA
Skizofrenia Paranoid
Pedoman Diagnostik
 Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia.
 Sebagai tambahan :
a) halusinasi dan / atau waham harus menonjol;suara-suara halusinasi
yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing);
b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control) dipengaruhi (delusion of influence) atau
passivity (delusion of passivity) dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas;
- gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik, secara relative tidak nyata / tidak menonjol
Diagnosis banding :
- Epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan
- Keadaan paranoid involusional (F22.8)
- Paranoia
Skizofrenia Hebefrenik
Pedoman Diagnostik (Muslim, 2013)
 Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia.
 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
 Kepribadian pre-morbid menunjukkan cirri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
manerisme, ada kecenderungan untuk menyendiri (solitary), dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri
(self absorbed smiling) atau oleh sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerlisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondriakal dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases)
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
1. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose) adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.
Skizofrenia katatonik
Pedoman Diagnostik

 Memenuhi criteria umum untuk diagnosis skizofrenia.


 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas) atau mutisme (tidak berbicara); gaduh-gelisah (tampak
jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan yang tidak dipengaruhi oleh
stimuli eksternal).
b. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
c. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah yang
berlawanan).
d. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
untuk menggerakkan tubuhnya).
e. fleksibilitas cerea / “waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar, dan.
f. gejala-gejala lain seperti, command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
 Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostic untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolic atau alcohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada
gangguan afektif.

Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)

Pedoman Diagnostik.

 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.


 Tidak memenuhi criteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, heberfrenik, atau
katatonik;
 Tidak memenuhi criteria untuk diagnosis skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.

Depresi Pasca-skizofrenia

Pedoman Diagnostik.

 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :


a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi criteria umum skizofrenia)
selama 12 bulan terakhir ini;
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
criteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode
depresif (F32.) bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol diagnosis harus tetap
salah satu dari sub tipe skizofrenia yang sesuai dengan (F20.0-F20.3)

Skizofrenia residual

Pedoman Diagnostik

 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
a. gejala negative dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi
non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi
suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja social yang buruk;.
b. sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi criteria untuk diagnosis skizofrenia.
 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu 1 tahun, dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal)
dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
a. tidak terdapat demensia atau penyakit / gangguan otak organic lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative
tersebut

Skizofrenia Simpleks

Pedoman Diagnostik

 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung


pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala negative yang khas dari skizofrenia residual (lihat F20.5 diatas) tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara social.
 Gangguan ini kurang jelas psikotiknya dibandingkan sub tipe skizofrenia lainnya.

1. F50-F59 ( Gangguan Perilaku Akibat Gangguan Fisiologis/Fisik )


2. F62-F68 ( Perubahan Kepribadian Akibat Non-Organik, Gangguan Impuls dan Seks )

Anda mungkin juga menyukai