Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL PRAKTIKUM ILMU HAMA TUMBUHAN

PREFERENSI Sitophilus oryzae TERHADAP BEBERAPA

KUALITAS BERAS

OLEH :

NAMA : Zhahirah Zahara

NIM : 2010251036

KELOMPOK : 1 (satu)

KELAS : IHT PROTEKSI B

ASISTEN : 1. Yolma Hendra (1710252017)


2. M. Dzikri Dzulfahmi (1810251008)

DOSEN PENJAB : 1. Prof. Dr. Ir. Trizelia, M.Si

2. Dr. Ir. Arneti, MS

PROGRAM STUDI PROTEKSI


TANAMAN

FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS

i
ANDALAS PADANG
2021

i
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan nikmat sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
akhir praktikum ilmu hama tumbuhan yang berjudul "Preferensi Sitophilus
oryzae terhadap beberapa kualitas beras” ini dengan baik.

Proposal ini yang di buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas


praktikum Laboratorium Ilmu Hama Tumbuhan. Laporan akhir praktikum ini
saya selesaikan dengan baik karena bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu saya sampaikan terima kasih atas waktu, tenaga dan
pikirannya yang telah diberikan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan akhir


praktikum ini, saya menyadari bahwa hasil laporan akhir praktikum ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga saya selaku penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Akhir kata semoga laporan akhir praktikum ini dapat memberikan manfaat
untuk pembaca sekalian.

Padang, 20 September 2021

Zhahirah Zahara

i
DAFTAR ISI

Cover....................................................................................................

Kata Pengantar .................................................................................. ii

Daftar Isi.............................................................................................. iii

BAB 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................. 3

C. Tujuan.................................................................................. 3

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Faktor yang Mempengaruhi Serangga............................. 5

B. Sitophilus oryzae................................................................ 6

BAB III Metodologi

A. Waktu dan tempat ............................................................. 12

B. Alat dan Bahan .................................................................. 12

C. Cara Kerja........................................................................... 12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil................................................................................... 14

B. Pembahasan..................................................................... 17

i
BAB V PENUTUPAN

A. Saranl................................................................................ 25

B. Kesimpulanl...................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 27

LAMPIRAN ........................................................................................ 31

v
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia dan dunia.


Kebutuhan beras di Indonesia sepanjang tahun mengalami peningkatan seiring
dengan pertambahan pen-duduk. Peningkatan jumlah penduduk terus berlangsung
secara signifikan sehingga peningkatan kebutuhan beras juga terus terjadi. Beras
tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan
nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan.
Daya saing padi terhadap beberapa komoditas lain cenderung turun, namun upaya
pengembangan dan peningkatan produksi padi nasional mutlak diperlukan
dengan sasaran utama pencapaian swasembada beras, peningkatan pendapatan,
dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai sasaran tersebut banyak kendala yang
ditemui, salah satu diantaranya adalah faktor penanganan pascapanen yang tidak
tepat. Proses penyimpanan beras merupakan salah satu mata rantai pascapanen
yang sangat penting.

Indonesia sebagai salah satu negara yang paling padat penduduknya dan
merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya menggunakan
beras sebagai bahan makanan pokok. Dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia maka kebutuhan akan beras juga akan terus meningkata,
sehingga perlu adanya usaha peningkatan produksi pertanian untuk mencapai
swasembada beras nasional, selain peningkatan produksi beras, juga harus
diimbangi dengan penanganan pasca panen yang baik, salah satunya adalah
penyimpanan hasil panen. Penyimpanan hasil panen juga merupakan mata rantai
yang sangat penting untuk mencapai tujuan swasembada beras nasional karena
apabila penyimpanan hasil panen tidak ditangani dengan baik maka hasil
pertanian berupa biji-bijian dan hasil lainnya akan mengalami kerusakan selama
penyimpanan dan kerusakan tersebut dapat berupa kerusakan fisik, kimia,
biologi, mikrobiologis maupun

1
kerusakan yang lainnya sehingga dapat menyebabkan turunnya mutu hasil
pertanian. Salah satu kerusakan selama penyimpanan adalah disebabkan adanya
serangan oleh hama gudang seperti tikus, jamur, serangga dan hewan lainnya,
diantara hama gudang tersebut yang paling banyak menyebabkan kerusakan
adalah serangga. Salah satu serangga ham yang menyebabkan kerusakan bahan
pangan adalah Sitophilus oryzae.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dari sejak benih,


pembibitan, pemanenan, hingga di gudang penyimpanan selalu tidak luput dari
gangguan hama, patogen, gulma, atau karena faktor-faktor lingkungan yang
tidak sesuai. Salah satu masalah penyimpanan gabah adalah serangga hama
gudang. Di Amerika serikat yang kualitas penyimpanan yang modern, nilai
kerugian yang ditimbulkan oleh hama gudang mencapai lima milyar dolar AS
per tahun. Di Asian Tenggara yang beriklim tropis dan lembab, kerusakan
pascapanen padi diperkirakan mencapai 30 % , 5-15 % disebabkan oleh hama
gudang.

Dalam masa penyimpanan ini perubahan atau kerusakan pada beras


sering timbul. Kerusakan beras di tingkat penyimpanan umumnya disebabkan
oleh serangan hama-hama gudang, seperti serangga, tungau, tikus, burung, dan
kapang. Serangga menyebabkan kerusakan bahan pangan terbesar, berupa
penurunan kualitas dan kuantitas beras yang disimpan. Hal ini disebabkan
serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak yang cepat,
mudah menyebar dan dapat mengundang pertumbuhan kapang dan jamur.

Beberapa jenis serangga hama pascapanen yang menyerang beras di


Indonesia yaitu Sitophilus oryzae, S. zeamais, Corcyra cephalonica, Plodia
interpunctella, Ephestia elutella, Cryptolestes ferrugineus, Oryzaephilus
surinamensis (Anggara & Sudarmaji, 2008), dan T. castaneum (Wiranata et al.,
2013; Prabawadi et al. 2015). Hama kumbang bubuk beras (Sitophilus oryzae L.)
tergolong sebagai hama primer yang mampu menyerang biji utuh. Serangga
dewasa dan larva Sitophilus

2
oryzae merusak biji-bijian dengan memakan karbohidrat dalam butiran biji
sehingga terjadi penurunan susut berat pangan dan kontaminasi produk,
mengurangi viabilitas benih, menurunkan nilai pasar, dan mengurangi nilai gizi
(Ashamo, 2006).

Kerusakan yang disebabkan oleh Sitophilus oryzae berkisar antara 1020%


dari keseluruhan produksi (Phillips & Throne, 2010).Kerusakan beras dapat
terus meningkat jika tidak dilakukan tindakan pemeriksaan terhadap beras
sebelum disimpan seperti pemeriksan kadar air, karakteristik beras, dan populasi
awal serangga hama pada beras. Keberadaan populasi awal dari serangga hama
dapat menyebabkan peningkatan kerusakan beras dari sisi kuantitas dan
kualitasnya selama penyimanan. Kerugian akibat serangga hama pascapanen
dapat dipengaruhi oleh kepadatan populasi serangga hama pascapanen yang
berasosiasi dengan bahan pangan di penyimpanan (Tefera et al., 2011). Namun,
informasi tentang hubungan antara kepadatan populasi serangga hama
pascapanen dengan infestasi serangga hama pascapanen seperti Sitophilus
oryzae terhadap pertumbuhan populasi serangga hama pascapanen dan
karakteristik kehilangan bobot dari bahan pangan masih sedikit. Penelitian
tentang hubungan kuantitas beras dengan perkembangan Sitophilus oryzae perlu
dilakukan untuk dapat mengetahui cara penyimpanan beras yang baik agar
meminimalisir perkembangan Sitophilus oryzae.

B. Rumusan Masalah

1. Apa faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga?

2. Bagaimana metamorfosis, stadia, habitat, morfologi, reproduksi, gejala


serangan, dan tingkat kerusakan pada Sitophilus oryzae?

C. Tujuan

1. Mengetahui factor yang mempengaruhi kehidupan serangga,

3
2. Mengetahui bagaimana metamorfosis, stadia, habitat, morfologi,
reproduksi, gejala serangan dan tingkat kerusakan dari Sitophilus oryzae.

4
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

A. Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Serangga

Kemampuan berkembang biak (reproductive potensial) akan menentukan


tinggi rendahnya, populasi hama. Apabila di telusuri lebih lanjut,
kemampuan berkembang biak itu bergantung kepada kecepatan
berkembang biak (rate of multiplication) dan perbandingan sex ratio
serangga hama. Kemudian kecepatan berkembang biak ditentukan oleh
keperidian (fecundity) dan jangka waktu perkembangan (Rohmani, 2013).

Kompetisi dalam hal makanan biasanva terjadi karena populasi makanan


saat itu berkurang, sedangkan populasi serangga stabil atau bahkan
meningkat. Akibatnya akan bekerja faktor yang bersifat density dependent,
yang berkaitan dengan suplai makanan tersebut, terjadinya penurunan
populasi serangga karena meningkatnya mortalitas (Kasmiran, 2011).

Kelembaban udara mempengaruhi kehidupan serangga


langsung atau tidak langsung. Serangga yang hidup di lingkungan
yang kering mempunyai cara tersendiri untuk mengenfisienkan
penggunaan air seperti menyerap kembali air yang terdapat pada
feces yang akan dibuang dan menggunakan kembali air metabolik
tersebut, contohnya serangga rayap (Rohmani, 2013).

Angin dapat berpengaruh secara langsung terhadap


kelembaban dan proses penguapan badan serangga dan juga
berperan besar dalam

5
penyebaran suatu serangga dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik
memiliki ukuran sayap besar maupun yang kecil, dapat membawa beberapa ratus
meter di udara bahkan ribuan kilometer. Angin mempengaruhi mobilitas
serangga. Serangga kecil mobilitasnya dipengaruhi oleh angin, artinya serangga
yang demikian dapat terbawa sejauh mungkin oleh gerakan angin (Rohmani,
2013).

B. Sitophilus oryzae

Sitophilus memiliki metamorfosis sempurna dengan 4 tahap yang berbeda


yang dimulai dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong) hingga menjadi imago
(kutu dewasa). Imago Sitophilus sp. berwarna hitam, hitam kecoklatan dan coklat.
Kumbang betina bertelur sepanjang stadium dewasa. Setiap imago dewasa betina
mampu bertelur 300-400 butir. Imago betina meletakkan telurnya pada tiap
butiran beras yang telah dilubanginya terlebih dahulu. Telur Sitophilus
diletakkan satu per satu dalam lubang yang dibuat oleh kumbang betina pada
beras yang diserangnya, selanjutnya lubang gerekan tersebut ditutup dengan
tepung sisa-sisa gerekan tersebut. Telur dilindungi oleh lapisan lilin/gelatine
hasil sekresi kutu betina. Stadium telur berlangsung sekitar 7 hari, telur berwarna
putih dan panjangnya kira-kira 0,5 mm. Perkembangan optimum

6
terjadi pada temperatur 25-30°C dengan kemebaban relatif 70% (Ameilia dkk.,
2015).

Stadia perkembangan telur S. oryzae L. menurut Akhter et al. (2017) adalah


selama ± 5.7 hari. Telur di letakkan pada beras dengan cara melubangi beras dengan
menggunakan rostrum dari induk atau imago S. oryzae L.. Panjang telur S. oryzae L.
sekitar 0.36 mm (Devi et al., 2017). Normalnya, S. oryzae L. betina akan menyimpan satu
telur dalam satu butir beras, akan tetapi ada juga yang menyimpan 2 telur dalam satu butir
beras (Swamy et al., 2014). Harapan hidup bagi telur lebih tinggi daripada larva dan pupa
menurut Manueke et al. (2012), yaitu dengan nilai ex
= 1.65. Hal tersebut dikarenakan pada saat stadium telur, telur masih berada di dalam
beras dan masih dilindungi oleh cangkang telur, sehingga belum terkena kontaminasi
dari lingkungan luar.

Hasil penelitian Singh (2017) menunjukkan bahwa stadium larva S. oryzae L.


berlangsung selama ± 21-27 hari. Terdapat 4 tahap dalam stadium ini yaitu larva instar
pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Masing-masing instar memiliki ukuran yang
berbeda-beda. Pada instar pertama, panjangnya sekitar 0.84 mm (± 5 hari), instar kedua
1.04 mm (± 5.7 hari), instar ketiga 1.12 mm (± 6.5 hari), dan instar keempat 1.86 mm (±7
hari) (Devi et al., 2017). Pada larva instar pertama, setelah penetasan larva bertahan
hidup dengan memakan pati yang terdapat pada butir beras. Terdapat peningkatan pada
instar kedua, yaitu larva terlihat lebih bulat dan berisi. Instar ketiga, ukuran larva
meningkat nyata daripada instar pertama dan kedua, larva tetap berada dalam biji beras
dengan posisi melengkung. Larva instar keempat kurang lebih sama dengan instar ketiga,
hanya ukurannya yang berbeda. Larva pada tahap ini cukup aktif, tetapi masih berada di
dalam biji dengan posisi melengkung (Swamy et al., 2014). Larva sangat rentan terhadap
lingkungan luar, karena sudah tidak terlindungi oleh cangkang seperti pada tahap telur.
Karena sudah beraktivitas mencari makan, maka larva juga rentan terkena serangan dari
musuh alaminya ataupun karena faktor iklim (Manueke et al,.2015).

Menurut Naik et al. (2016), stadium pupa berlangsung selama ±7 hari. Tahap
pupa sudah mengalami perombakan pada tubuh (perubahan fiisiologis), seperti
pembentukan organ-organ tubuh yang lengkap sebagai serangga, sehingga

7
membutuhkan energi yang besar (Manueke et a,,.2012). Hasan et al. (2017)
menjelaskan, tidak ada larva yang bisa berubah menjadi pupa pada suhu ekstrim. Jadi,
hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan dibatasi pada kedua suhu ekstrim (dingin dan
panas), sementara perkembangan maksimum terjadi pada suhu 35°C.

Awal memasuki masa dewasa, warna S. oryzae L. cenderung coklat kemerahan.


Semakin dewasa, warnanya semakin hitam. Imago jantan mempunyai rostrum yang
pendek, tebal, dan kuat, sedangkan pada betina lebih panjang, halus ramping, lebih
bersinar, dan sedikit melengkung (Swamy et al., 2014). Panjang imago jantan ± 3 mm
dengan lebar ± 0.92 mm, sedangkan panjang imago betina ±
3.37 mm dan lebar 1.01 mm (Devi et al., 2017). Pada kutu beras, antara imago jantan dan
betina lebih besar imago betina. Tanpa adanya makanan, S. oryzae L. betina mampu
bertahan hidup selama 8 sampai 16 hari, sedangkan imago jantan hanya dapat bertahan
hidup selama 6 sampai 11 hari. Jika terdapat makanan, S. oryzae L. betina dapat bertahan
hidup selama 86 sampai 122 hari, sedangkan imago jantan dapat bertahan hidup selama 72
sampai 117 hari (Swamy et al., 2014).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yasin (2009), Sitophilus oryzae dianggap
lebih cocok berkembang biak pada media sorgum dibandingkan pada beras dan jagung
karena pengaruh kandungan nutrisi yang lebih besar. Sedangkan hasil penelitian Subedi et
al., (2009) menunjukkan bahwa perkembangan S. oryzae lebih baik pada pakan beras
dibandingkan pada pakan gandum, jagung, dan barley.

Berdasarkan lanjutan hasil pembahasan penelitian dari dua pendapat tersebut


(Yasin, 2009 dan Subedi, dkk, 2009) didapat bahwa serangga S. oryzae tidak dapat
berkembang pada pakan kacang tanah, kacang hijau dan kedelai. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat mortalitas imago pada kacang tanah, kacang hijau dan kedelai lebih tinggi
dibandingkaan mortalitas imago pada pakan beras, gandum dan jagung, bahkan mencapai
mortalitas 100%. Mortalitas imago tersebut mengakibatkan tidak munculnya imago
baru sehingga pakan tidak mengalami penurunan berat akibat infestasi S. oryzae.
Lopulalan (2010) menjelaskan ketika serangga betina akan meletakkan telurnya pada
media yang tidak sesuai maka serangga tersebut akan menahan proses bertelurnya pada
media tersebut.

8
Morfologi dan biologi Sitophilus oryzae imago muda berwarna coklat merah dan umur
tua berwarna hitam. Pada kedua sayap depannya terdapat 4 bintik kuning kemerah-merahan
(masing-masing sayar terdapat 2 bintik). Kumbang ini mempunyai moncong panjang, warna
cokelat kehitaman dan kadang-kadang ada 4 bercak kemerahan pada elytranya, umur dapat
mencapai 5 bulan. Jika akan bertelur, kumbang betina membuat liang kecil dengan
moncongnya sedalam kurang lebih 1 mm. Kumbang betina menggerek buturan beras
dengan moncongnya dan meletakkan sebutir telur lalu lubang itu ditutup dengan sekresi
yang keras. Masa kovulasi relatif lebih lama dibandingkan dengan hama gudang lainnya
(Surtikanti, 2004).

Telur berbentuk lonjong diletakkan satu per satu di dalam liang yang ditutupi dengan
sisa gerekan, berwarna putih dengan panjang ± 0,5. Tiap imago memproduksi telur
selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur 300 – 400 butir. Fase telur 5-7 hari, setelah
menetas larvanya tidak berkaki, gemuk berwarna putih, berukuran ± 3 mm, menggerek
beras dan juga memakannya serta sebagai tempat tinggal dan berkembang di dalamnya
sampai menjadi pupa (Azwana dan Marjun, 2009). Fase larva 13-15 hari dan merupakan
tingkat hidup yang paling aktif. Bila akan berpupa, larva terakhir akan membuat rongga
dalam butiran. Setelah mengalami fase pupa selama 4-7 hari, keluarlah kumbang muda dari
beras. Setelah 2-5 hari kemudian serangga dewasa yang berada dalam butiran beras keluar
untuk mengadakan perkawinan. Daur hidup dari telur sampai dewasa 28 – 29 hari.
Perkembangan optimum terjadi pada temperatur 30°C dan kelembaban relatif 70%.
Serangan daur hidup dari telur sampai dewasa 28 – 29 hari (Azwana dan Marjun, 2009).

Serangan lanjut akan menyebabkan bagian dalam bulir beras berubah menjadi
bubuk dan menyisakan bagian pericarp. Kumar (2017) menjelaskan bahwa serangan S. oryzae
dapat menyebabkan kerusakan parah pada bulir dan hanya akan menyisakan pericarp bulir,
sementara sisa massa dari bulir beras akan habis dimakan. Kerusakan beras dari dalam
bulir disebabkan oleh aktivitas makan larva yang berada di dalam bulir beras terserang.

Serangan pada bulir beras putih varietas IR64 dan Rojolele menunjukkan

9
gejala yang lebih jelas dan mudah dibedakan dengan bulir beras yang tidak terserang.
Gejala ini berupa terdapatnya alur berwarna putih susu pada bulir yang berwarna putih
bening. Alur ini lama kelamaan akan semakin besar dan mengubah warna keseluruhan
bulir beras dari putih bening menjadi putih susu. Booroto et al. (2017) menjelaskan bahwa
gejala putih mengapur disertai dengan keberadaan alur putih tak beraturan pada bulir
beras disebabkan oleh aktivitas gerekan larva S. oryzae yang berada didalam bulir
beras. Gejala serangan S. oryzae pada varietas padi merah dan hitam dapat dilihat
dari keberadaan lubang di permukaan bulir beras terserang.

Sitophilus oryzae hidup di tumpukan bahan pangan, seperti beras, jagung


dan gandum. Kutu ini berkembang biak sangat cepat. Berdasarkan penelitian, kutu
betina dapat bertelur 2 - 6 butir setiap harinya. Untuk menyimpan telurnya,
kutubetina melubangi bulir beras dengan rahangnya. Satu lubang hanya untuk satu
butir telur.Kutu beras dapat hidup selama beberapa bulan. Selama hidup, kutu betina
mampu menghasilkan sekitar 400 butir telur. Telur akan menetas menjadi larva
setelah 3 hari. Larva akan hidup pada lubang beras selama 18 hari. Setelah itu akan
menjadi pupa selama 5 hari, lalu bermetamorfosis menjadi kutu (Rahman, 2007 ).

Hama kutu beras ini memiliki sayap depan (elitron) yang keras, tebal
dan merupakan penutup bagi sayap belakang dan tubuhnya. Sitophilus
oryzae ukuran dewasa berwarna coklat tua, dengan bentuk tubuh yang
langsing dan agak pipih. Bentuk kepala yang bebas menyerupai segitiga
dan kadang memanjang ke depan atau ke bawah sehingga berubah menjadi
moncong. Tipe alat mulutnya yaitu penggigit dan pengunyah. Pada bagian
pronotumnya terdapat enam pasang gerigi yang menyerupai gigi gergaji
(Kartasapoetra, 2011).

Kutu Sitophilus oryzae merpakan hama primer pada beras.


Kerusakan yang terjadi pada bahan simpan biji beras dapat berupa
kerusakan kuantitatif seperti penurunan berat bahan, dan mengakibatkan
kerusakan kualitatif seperti perubahan warna, kontaminasi kotoran, bau
tidak enak dan penurunan kandungan gizi. Akibat dari serangan kutu beras

1
menyebabkan butir-butir beras menjadi berlubang kecil-kecil. Sehingga
mengakibatkan beras menjadi mudah pecah dan remuk menjadi tepung
(Kartasapoetra, 2011).

Kerusakan yang diakibatkan oleh kumbang bubuk beras dapat tinggi


pada keadaan tertentu sehingga kualitas beras menurun. Biji-bijan hancur
dan berdebu, dalam waktu yang cukup singkat serangan hama dapat
mengakibatkan perkembangan jamur, sehingga produk beras rusak total,
bau apek yang tidak enak dan tidak dapat dikomsumsi (Parinduri, 2010).

1
BAB III METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Praktikum Ilmu Hama Tumbuhan mengenai Preferensi Sitophilus


oryzaeterhadap Beberapa Kualitas Beras yang dilaksanakan setiap hari
Jum'at pada pukul 09.20 - 11.00 WIB dan bertempat di rumah masing-
masing tepatnya di Komp. Palapa Saiyo, Kab. Padang Pariaman.

B. Alat dan Bahan

Alat yang di gunakan antara lain, gelas tembus pandang dan kain kasa.
Sedangkan, bahan yang digunakan antara lain Sitophilusoryzae sebanyak 150
ekor , beras utuh, beras patah dan tepung beras.

C. Cara Kerja

Perlakuan:

A. Beras utuh

B. Beras patah

C. Tepung beras

Cara kerja

100g beras dimasukkan sesuai perlakuan dalam gelas tembus pandang (3


perlakuan x 5 ulangan = 15 gelas). Pada setiap gelas dimasukkan Sitophilus
oryzae dewasa sebanyak 10 ekor. Gelas kemudian yang ditutupi dengan
kain kassa, disusun secara acak. Diamati 1 X 1 minggu sebanyak tiga kali.
Pengamatan dapat dilakukan dengan memperhatikan pertambahan atau

1
pengurangan populasi (natalitas dan mortalitas) dimana serangga hidup
atau serangga mati.

1
Dengan menggunakan rumus :

Mortalitas = (∑mati /10 ekor) x 100%

Kemudian tingkat kerusakan beras dengan memisahkan beras sehat dan


beras rusak, dapat menggunakan rumus :

Kerusakan beras = (beras rusak(g) / 100g) x 100%

1
BAB IV HASIL DAN
PEMBAHASAN

A. Hasil

Pengamatan perkembangan Sitophilus oryzae pada perlakuan :

Tabel 1.1 Tepung Beras

Minggu ke-1

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 9 1 10 % 90 % -
2 10 0 0% 100% -
3 10 0 0% 100% -
4 10 0 0% 100% -
5 10 0 0% 100% -

Minggu ke-2

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 9 1 10 90 % -
%
2 10 0 0% 100 % -
3 10 0 0% 100 % -
4 10 0 0% 100 % -
5 8 2 20% 80 % -

Minggu ke-3

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 9 1 10 % 90 % -
2 10 0 0% 100 % -
3 10 0 0% 100 % -
4 10 0 0% 100 % -
5 8 2 20% 80 % -

1
Tabel 1.2 Beras Utuh

Minggu ke-1

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 9 1 10 % 90 2 %
%
2 9 1 10 % 90 2%
%
3 7 3 30 % 70 3%
%
4 9 1 10 % 90 4%
%
5 9 1 10 % 90 2%
%

Minggu ke-2

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 7 3 30 % 70 % 15
%
2 6 4 40 % 60 % 14
%
3 6 4 40 % 60 % 13
%
4 8 2 20 % 80 % 17
%
5 9 1 10% 90 % 22
%

Minggu ke-3

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 6 4 40 % 60 45 %
%
2 3 7 70 % 30 48 %
%
3 5 5 50 % 50 50 %
%
4 7 3 30 % 70 50 %
1
%
5 7 3 30 % 70 51 %
%

1
Tabel 1.3 Beras Patah

Minggu ke-1

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 9 1 10 % 90 % 10
%
2 10 0 0% 100% 8%
3 10 0 0% 100% 8%
4 10 0 0% 100% 6%
5 9 1 10 % 90% 8%

Minggu ke-2

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 7 3 30 % 70 % 11 %
2 7 3 30 % 70 % 13 %
3 9 1 10 % 90 % 10 %
4 8 2 20 % 80 % 11 %
5 7 3 30 % 70 % 11 %

Minggu ke-3

Jumlah Mortalitas
Ulangan H M MM MH KB
1 5 5 50 % 50 % 55 %
2 3 7 70 % 30 % 53 %
3 6 4 40 % 60 % 58 %
4 6 4 40 % 60 % 55 %
5 5 5 50 % 50 % 58 %

1
B. Pembahasan

Pada pengamatan perkembangan Sitophilus oryzae ada 3 perlakuan


yaitu pada tepung beras, beras utuh, dan beras patah diamati 1 kali
seminggu selama 3 Minggu. Dimana setiap perlakuan masing-masing ada 5
ulangan. Setiap ulangan diamati dalam gelas bening atau kotak gelas
mineral berisi 10 Sitophilus oryzae.

Pertama, pada tabel 1.1 perlakuan tepung beras Minggu pertama.


Terdiri dari 5 ulangan (ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama
seminggu didapat perubahan hasil data ulangan 1 yaitu Sitophilus oryzae
mati 1 ekor, hidup 9 ekor, mortalitas mati 10%, mortalitas hidup 90% dan
tidak ada kerusakan beras, dikarenakan perlakuan dalam bentuk tepung
beras. Selain ulangan 1 belum ada perubahan data sama sekali atau bisa
disimpulkan ulangan 2 sampai 5 Sitophilus oryzae memiliki mortalitas hidup
masih 100%.

Pada perlakuan tepung beras Minggu kedua. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama dua minggu didapat
perubahan hasil data ulangan 5 yaitu Sitophilus oryzae mati 2 ekor, hidup 8
ekor, mortalitas mati 20%, mortalitas hidup 80% dan tidak ada kerusakan
beras, dikarenakan perlakuan dalam bentuk tepung beras. Selain ulangan 5
belum ada perubahan hasil data. Pada ulangan 1 Minggu pertama dan
minggu kedua ini mortalitas hidup Sitophilus oryzae masih sama yaitu 90%
atau tidak ada Sitophilus oryzae yg mati pada ulangan 1 Minggu kedua ini.

Pada perlakuan tepung beras Minggu ketiga. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama tiga minggu tidak ada
perubahan hasil data. Data Minggu kedua masih sama dengan Minggu
ketiga ini. Dengan hasil data ulangan 1 Sitophilus oryzae masih tetap hidup
9 ekor, mortalitas hidup 90%, artinya belum ada Sitophilus oryzae yang mati
pada Minggu ketiga ini serta ulangan 5 masih tetap hidup 8 ekor dengan
mortalitas hidup 80% dan tidak ada kerusakan beras, dikarenakan

1
perlakuan dalam bentuk tepung beras. Selain ulangan 1 dan 5 belum ada
perubahan hasil data atau bisa disimpulkan mortalitas hidup untuk ulangan
2 sampai 4 masih 100%.

Kedua, pada tabel 1.2 perlakuan beras utuh Minggu pertama. Terdiri dari
5 ulangan (ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama satu minggu
didapat perubahan hasil tiap-tiap data ulangan 1, 2, 4, dan 5 sama yaitu
Sitophilus oryzae mati 1 ekor, hidup 9 ekor. Pada ulangan 3 Sitophilus
oryzae mati 3 ekor, hidup 7 ekor. Mortalitas mati pada ulangan 1, 2, 4, dan 5
sebesar 10% dan mortalitas hidup 90%. Sedangkan mortalitas mati pada
ulangan 3 sebesar 30% dengan mortalitas hidup sebesar 70%. Untuk
kerusakan beras utuh pada ulangan 1,2, dan 5 sama yaitu 2%. Kerusakan
beras pada ulangan 3 dan 4 masing-masing berbeda yaitu 3% dan 4%.
Dapat disimpulkan kerusakan beras terbesar pada Minggu pertama terjadi
pada ulangan 4, disusul ulangan 3, lalu selebihnya sama.

Pada perlakuan beras utuh Minggu kedua. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama dua minggu didapat
perubahan hasil data perbandingan dan pedoman dari Minggu pertama,
ulangan 1 Sitophilus oryzae mati 2 ekor, hidup 7 ekor. Pada ulangan 2 dan 3
masing-masing Sitophilus oryzae mati 3 dan 1 ekor, hidup sama-sama 6
ekor. Ulangan 4 mati 1 ekor, ulangan 5 tidak ada yang mati atau jumlah
Sitophilus oryzae pada ulangan ini masih sama dengan Minggu pertama.
Untuk Sitophilus oryzae yang hidup pada ulangan 4 dan 5 masing-masing 8
dan masih tetap 9 ekor.

Mortalitas mati pada ulangan 1, 4, dan 5 masing-masing 30%, 20%, dan


10% atau tidak ada Sitophilus oryzae yang mati pada ulangan 5 Minggu
kedua ini. Untuk mortalitas mati ulangan 2 dan 3 sama-sama sebesar 40%.
Mortalitas hidup pada ulangan 1, 4, dan 5 masing-masing
70%, 80%, dan 90%. Untuk mortalitas hidup pada ulangan 2 dan 3 sama-
sama sebesar 60%. Dengan kerusakan beras yang dialami ulangan 1,2,3,4

2
dan 5 masing-masing sebesar 15%, 14%, 13%, 17%, dan 22%.

2
Pada Minggu kedua ini semua kerusakan beras terlihat besar
perubahannya dari data Minggu pertama. Dimana kerusakan beras terbesar
terjadi pada ulangan 5 yaitu 22%, sedangkan ulangan 5 pada Minggu
pertama hanya sebesar 2%. Dapat disimpulkan bahwa kerusakan beras
terbesar terjadi pada ulangan 5 disusul ulangan 4, 1, 2, dan 3.

Pada perlakuan beras utuh Minggu ketiga. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama tiga minggu didapat
perubahan hasil data perbandingan dan pedoman dari Minggu kedua,
ulangan 1, 2, dan 3 Sitophilus oryzae masing-masing mati 1, 3, dan 1 ekor.
Ulangan 4 dan 5 masing-masing mati 1 dan 2 ekor. Sitophilus oryzae yang
hidup pada ulangan 1, 2, dan 3 masing-masing berjumlah 6, 3, dan 5 ekor,
serta ulangan 4 dan 5 Sitophilus oryzae yang hidup sama-sama berjumlah 7
ekor.

Mortalitas mati pada ulangan 1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 40%,


70%, dan 50%. Untuk mortalitas mati pada ulangan 4 dan 5 sama-sama
sebesar 30%. Sedangkan mortalitas hidup pada ulangan 1, 2, dan 3 masing
-masing sebesar 60%, 30%, dan 50% serta pada ulangan 4 dan 5 sama-
sama sebesar 70%.

Pada Minggu ketiga semua kerusakan beras terlihat lebih besar


perubahannya dari data Minggu pertama dan kedua dibanding Minggu
ketiga ini. Dimana kerusakan beras terbesar terjadi pada ulangan 5 yaitu
51%., sebelumnya ulangan 5 pada Minggu kedua sebesar 22% dan ulangan
5 pada Minggu pertama sebesar 2%. Dapat disimpulkan bahwa kerusakan
beras terbesar terjadi pada ulangan 5 disusul ulangan 4 dan 3, 2 , lalu 1.

Ketiga, pada tabel 1.3 perlakuan beras patah Minggu pertama. Terdiri
dari 5 ulangan (ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama satu minggu
didapat perubahan hasil tiap-tiap data ulangan 1 dan 5 sama yaitu
Sitophilus oryzae mati 1 ekor dan serta hidup sama-sama 9 ekor. Untuk
ulangan 2, 3, dan 4 sama yaitu tidak ada Sitophilus oryzae yang mati serta

2
hidup sama-sama masih 10 ekor.

2
Untuk mortalitas mati pada ulangan 1 dan 5 sama yaitu sebesar 10%
dan mortalitas hidup 90%. Sedangkan mortalitas mati pada ulangan 2, 3,
dan 4 yaitu 0% serta mortalitas hidup masih 100% artinya belum ada
Sitophilus oryzae yang mati pada beberapa ulangan ini. Untuk kerusakan
beras patah pada ulangan 1 dan 4 masing-masing yaitu 10% dan 6%.
Kerusakan beras pada ulangan 2, 3, dan 5 sama yaitu sebesar 8%. Dapat
disimpulkan kerusakan beras terbesar pada Minggu pertama ini terjadi pada
ulangan 1, disusul ulangan 2, 3, dan 5, lalu ulangan 4.

Pada perlakuan beras patah Minggu kedua. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama dua minggu didapat
perubahan hasil data perbandingan dan pedoman dari Minggu pertama,
ulangan 1, 4, dan 5 Sitophilus oryzae mati 2 ekor, ulangan 2 mati 3 ekor,
serta ulangan 3 mati 1 ekor. Untuk Sitophilus oryzae yang hidup pada
ulangan 1, 2, dan 5 yaitu sama-sama berjumlah 7 ekor, ulangan 3 dan 4
masing-masing berjumlah 9 dan 8 ekor.

Untuk mortalitas mati pada ulangan 1, 2, dan 5 sama-sama sebesar


30%, serta pada ulangan 3 dan 4 masing-masing sebesar 10% dan 20%
Untuk mortalitas hidup pada ulangan 1 dan 4 sama yaitu sebesar 80%.
Mortalitas hidup pada ulangan 1, 2, dan 5 sama yaitu sebesar 70% serta
pada ulangan 3 dan 4 sebesar 90% dan 80%. Dengan kerusakan beras
yang dialami ulangan 1, 4, dan 5 sama yaitu sebesar 11% serta pada
ulangan 2 dan 3 tingkat kerusakan beras masing-masing sebesar 13% dan
10%.

Pada Minggu kedua ini semua kerusakan beras terlihat jelas


perubahannya dari data Minggu pertama. Dimana kerusakan beras terbesar
terjadi pada ulangan 2 yaitu 13%, disusul ulangan 1, 4, 5 sebesar
11%, terakhir ulangan 3 sebesar 10%.

Pada perlakuan beras patah Minggu ketiga. Terdiri dari 5 ulangan


(ulangan 1-5) dimana setelah perlakuan selama tiga minggu didapat

2
perubahan hasil data perbandingan dan pedoman dari Minggu kedua,

2
ulangan 1, 4, dan 5 Sitophilus oryzae sama-sama mati 2 ekor. Ulangan 2 dan
3 masing-masing mati 4 dan 3 ekor. Sitophilus oryzae yang hidup pada
ulangan 1 dan 5 sama-sama berjumlah 5 ekor, ulangan 2 hidup 3 ekor, serta
pada ulangan 3 dan 4 sama-sama hidup 6 ekor.

Mortalitas mati pada ulangan 1 dan 5 sebesar 50%, pada ulangan 2


sebesar 70% serta mortalitas mati pada ulangan 3 dan 4 sama-sama
sebesar 40%. Sedangkan mortalitas hidup pada ulangan 1 dan 5 sebesar
50%, pada ulangan 2 sebesar 30% serta mortalitas hidup pada ulangan 3
dan 4 sama-sama sebesar 60%.

Pada Minggu ketiga semua kerusakan beras terlihat lebih besar


perubahannya dari data Minggu pertama dan kedua dibanding Minggu
ketiga ini. Dimana kerusakan beras terbesar terjadi pada ulangan 3 yaitu
58%, sebelumnya pada Minggu kedua sebesar 10%, dan Minggu pertama
8%. Walaupun ulangan 5 pada Minggu ketiga ini kerusakan beras juga 58%
tetapi pada Minggu sebelumnya sebesar 11% terbesar kerusakannya
setelah ulangan 3, disusul ulangan 1, 4, dan 2.

Untuk tabel 1.1 perlakuan tepung beras, pengamatan data dari Minggu
pertama hingga Minggu ketiga didapat kesimpulan secara nyata bahwa
tidak ada kerusakan beras yang terjadi dan sedikitnya kematian terhadap
Sitophilus oryzae. Seharusnya pada perlakuan tepung beras Sitophilus
oryzae mortalitasnya paling tinggi. Menurut sebuah literatur, pada perlakuan
pengamatan terhadap S. oryzae lebih menyukai butiran utuh dan kasar
namun sangat berbeda nyata dengan perlakuan P6 (tepung ketan
hitam:10,00), P8 (tepung jagung:10,00), P4 (tepung ketan putih:8,33), P2
(tepung beras:8,33) yang teksturnya lebih halus. S. oryzae tidak menyukai
tekstur yang halus pada tepung, karena imago tidak dapat merayap untuk
meletakkan telurnya, maka dari itu S. oryzae tidak dapat berkembang baik
pada tekstur halus. Marbun dan Pangestiningsih (1991) menyatakan S.
oryzae lebih menyukai biji yang kasar dan tidak dapat berkembang biak

2
pada bahan makanan yang berbentuk tepung. S.oryzae tidak akan
meletakkan telur pada material yang halus karena imago tidak

2
dapat merayap dan akan mati di tempat tersebut. Selain itu pada perlakuan
ini banyak Sitophilus oryzae yang hidup, padahal seharusnya Sitophilus
oryzae mengambil nutrisi dari butir beras sedangan perlakuan ini
menggunakan tepung beras dan tipe mulutnya mengigit mengunyah.

Tetapi pada pengamatan perkembangan Sitophilus oryzae dengan


perlakuan tepung beras yang dilakukan berbanding terbalik terhadap
literatur penelitian yang ada. Menurut analisis kelompok pengamat, hal ini
disebabkan karena perlakuan Sitophilus oryzae dengan tepung beras
diletakan pada suatu wadah yang tertutup, kedap udara, serta
menyebabkan tepung beras dalam keadaan lembab. Maka dari sanalah
Sitophilus oryzae mengambil nutrisi. Akhirnya tingkat ketahanan hidup
Sitophilus oryzae menjadi tinggi karena kelembaban dan suhu suatu wadah
peletakan pengamatan perkembangan Sitophilus oryzae sesuai dengan
kekuatan daya tubuh yang dibutuhkan Sitophilus oryzae.

Untuk tabel 1.2 perlakuan beras utuh, pengamatan data dari Minggu
pertama hingga Minggu ketiga didapat kesimpulan secara nyata bahwa
semakin lama dilakukan pengamatan terlihat kerusakan beras utuh
semakin besar. Begitu juga mortalitas mati pada Sitophilus oryzae terhadap
perlakuan beras utuh sehingga mortalitas hidup untuk Sitophilus oryzae
sudah pasti menurun. Sesuai dengan inti bahasan seorang peneliti Marbun
dan Pangestiningsih (1991) S. oryzae lebih menyukai butiran utuh dan
kasar. Selain itu menurut Prasad et al. (2015) mengemukakan bahwa
Sitophilus spp. lebih menyukai biji yang besar untuk oviposisi. Biji yang
besar cenderung disukai atau mengandung lebih banyak dari satu telur
dibandingkan biji yang lebih kecil.

Seharusnya pada perlakuan beras utuh, perkembangan dan


pertumbuhan Sitophilus oryzae lebih mendukung sesuai dengan literatur
dari Marbun dan Pangestiningsih (1991) serta Prasad et al. (2015). Hal ini
berbanding terbalik dengan perlakuan karena jumlah berat beras yang

2
diamati tidak banyak dan besarnya tingkat kerusakan beras membuat
Sitophilus oryzae kekurangan tempat untuk berkembang biak dan tidak

2
mendapatkan nutrisi-nutrisi beras untuk keberlangsungan hidupnya. Selain itu
terjadi karena kondisi perlakuan praktikum pengamatan dimana letak kotak
perlakuan pengamatan diluar ruangan yang terpapar sinar matahari dan
menyebabkan beras kering serta mengakibatkan hilangnya nutrisi dari
beras. Menggunakan penutup gelas yang terlalu tebal atau 2 lapis
mengakibatkan tidak masuknya oksigen.

Untuk tabel 1.3 perlakuan beras patah, pengamatan data dari Minggu
pertama hingga Minggu ketiga didapat kesimpulan secara nyata bahwa
semakin lama dilakukan pengamatan terlihat kerusakan beras patah
semakin besar. Begitu juga mortalitas mati pada Sitophilus oryzae terhadap
perlakuan beras patah, sehingga mortalitas hidup untuk Sitophilus oryzae
sudah pasti menurun. Sesuai dengan inti bahasan seorang peneliti Marbun
dan Pangestiningsih (1991) S. oryzae lebih menyukai butiran utuh dan
kasar. Selain itu menurut Prasad et al. (2015) mengemukakan bahwa
Sitophilus spp. lebih menyukai biji yang besar untuk oviposisi. Biji yang
besar cenderung disukai atau mengandung lebih banyak dari satu telur
dibandingkan biji yang lebih kecil.

Pada perlakuan beras patah, perkembangan dan pertumbuhan


Sitophilus oryzae sesuai dengan kebalikan literatur dari Marbun dan
Pangestiningsih (1991) serta Prasad et al. (2015). Jumlah berat beras yang
diamati tidak banyak dan besarnya tingkat kerusakan beras membuat
Sitophilus oryzae kekurangan tempat untuk berkembang biak dan tidak
mendapatkan nutrisi-nutrisi beras untuk keberlangsungan hidupnya. Selain
itu, terjadi karena kondisi perlakuan praktikum pengamatan dimana letak
kotak perlakuan pengamatan diluar ruangan yang terpapar sinar matahari
dan menyebabkan beras kering serta mengakibatkan hilangnya nutrisi dari
beras.

Ada beberapa faktor yang mendukung pertumbuhan Sitophilus oryzae


seperti suhu minimum 10°C, besar dari suhu 35°C Sitophilus oryzae tidak

3
bertelur, serta suhu efektif 26-29°C. Untuk kelembaban Sitophillus oryzae
70% suhu 18°C lama hidup bisa hingga 100 hari, kelembaban 89% 18°C:

3
lama hidup bisa hingga 90 hari. Dengan adanya udara yang lembab
sehingga meningkatkan kadar air pada beras akan sangat menguntungkan
bagi Sitophilus oryzae dalam mengambil nutrisi dan berkembang biak pada
beras yang ditempatinya. Jika syarat untuk keberlangsungan hidup
Sitophilus oryzae tidak terpenuhi maka akan terjadi sebaliknya.

Menurut Tarumingkeng (1992) dan Price (1976), terdapat beberapa


faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan serangga yang
memiliki pengaruh langsung pada populasi serangga. Faktor-faktor
pembatas terdiri dari dua kelompok yaitu density dependent factor dan
density independent factor atau ada yang mengelompokkannya menjadi
external factor dan internal factor. Fekunditas, mortalitas dan rasio kelamin
termasuk dalam kelompok internal factor.

3
BAB V PENUTUPAN

A. Saran

Saran saya sebaiknya untuk pelaksanaan praktikum berikutnya bisa


dilakukan secara offline dan bersungguh-sungguh dalam pelaksanaannya.
Sehingga bisa mencapai tujuan praktikum yang memuaskan.

B. Kesimpulan

Untuk tingkat kerusakan beras pada perlakuan tepung beras tidak ada.
Mortalitas Sitophilus oryzae pada perlakuan tepung beras seharusnya tinggi
karena Sitophilus oryzae tidak bisa berkembang biak atau meletakkan telur
dan melanjutkan keberlangsungan hidupnya dalam tepung beras. Tetapi
karena ada faktor pendukung lingkungan seperti suhu dan kelembaban
udara membuat kadar air dalam tepung beras sedikit meningkat, sehingga
Sitophilus oryzae bisa mengambil sedikit nutrisi pada tepung beras untuk
keberlangsungan hidupnya

Untuk tingkat kerusakan beras pada perlakuan beras utuhterbilang


tinggi hingga mencapai 51%. MortalitasSitophilus oryzae pada perlakuan
beras utuh seharusnya rendah karena dimensi beras utuh sangat
mendukung berkembangbiak atau meletakkan telur dan melanjutkan
keberlangsungan hidupnya dalam berasutuh.Tetapi karena ada faktor
lingkungan seperti suhu tinggi dan kelembaban udara rendah membuat
kadar air dalam beras utuh menurun, beras menjadi kering, sehingga
Sitophilus oryzae tidak bisa mengambil nutrisi pada beras utuh untuk
keberlangsungan hidupnya.

Untuk tingkat kerusakan beras pada perlakuan beras patah terbilang

tinggi hingga mencapai 58%. Mortalitas Sitophilus oryzae pada perlakuan

beras utuh seharusnya tinggi karena dimensi beras patah sangat tidak

mendukung perkembangbiakan atau meletakkan telur dan melanjutkan

3
keberlangsungan hidupnya dalam beras yang patah. Tetapi karena ada

faktor pendukung lingkungan seperti suhu rendah dan kelembaban udara

3
tinggi membuat kadar air dalam beras patah sedikit meningkat, beras

menjadi lembab, sehingga Sitophilus oryzae bisa mengambil nutrisi pada

beras patah untuk keberlangsungan hidupnya.

3
DAFTAR PUSTAKA

Akhter M., S. Sultana, T. Akter, dan S. Begum. 2017. Oviposition Preference


and Development of Rice Weevil, Sitophilus oryzae (Lin.) (Coleoptera:
Curculionidae) In Different Stored Grains. Bangladesh J. Zool, 45 (2):
131-138.

Ameilia Z.S, Maryani C.T, Pinde dan Lumongga. 2015. Pengendalian


Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae) dan
Triboliumcastaneum (Coleoptera: Tenebrionidae) dengan Beberapa
Serbuk Biji sebagai Insektisida Botani Ramah Lingkungan. Universitas
Sumatra Utara. Medan.Hal: 27-39.

Anggara AW & Sudarmaji. 2008. Hama Pascapanen padi dan


pengendaliannyahlm. 441472. dalam Darajat AA, Setyono A, Makarim
AK, & Hasanuddin A. (Editor). Padi: inovasi Teknologi Produksi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Jakarta. LIPI Press.

Ashamo MO. 2006. Relative susceptibility of some local and elite rice
varieties to the rice weevil, Sitophilus oryzae L. (Coleoptera:
Curculionidae). Journal of Food, Agriculture & Environment 4(1):
249252.

Azwana dan Marjun. 2009. Efektivitas Insektisida Botani Daun Babadotan


(Ageratum conyzoides) terhadap Larva Sitophilus oryzae (Coleoptera
: Curculionidae) di Laboratorium Agrobio. Volume 1 Nomor 2 ISSN :
2085 –1995.

Booroto, L. A., Goo, N., & Noya, S. H. 2017. Populasi imago Sitophilus oryzae
L. (Coleoptera: Curculionidae) pada beberapa jenis beras asal Desa
Waimital. Kecamatan Kairatu. J Budidaya Pertanian 13(1): 36- 41.

Devi S.R., A. Thomas, K.B. Rebijith, dan Ramamurthy. 2017. Biology,


Morphology and Molecular Characterization of Sitophilus oryzae and
Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae). Journal of Stored
3
Research, 73: 135-141.

Hasan M., A. Aslam, M. Jafir, M.W. Javed, M. Shehzad, M.Z. Chaudhary, dan
M. Aftab. 2017. Effect of temperature and relative humidity on
development of Sitophilus oryzae L. (coleoptera: curculionidae).
Journal of Enthomology and Zoology Studies, 5 (6): 85-90.

Kartasapoetra, A.G. 2011.Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. Rineka


Cipta. Vol: 2. Jakarta. HPT Vol 2 No 4. Universitas Brawijaya, Malang.
Skripsi:77-78ss.

Kasmiran, A. 2011.Pengaruh Lama Fermentasi Jerami Padi dengan


Mikroorganisme Lokal terhadap Kandungan Bahan Kering, Bahan
Organik, Dan Abu. Lentera 11(1)48-52.

Kumar, R. (2017). Insect pests of stored grain: biology, behavior, and


management strategies. Apple Academic Press Inc. Oakville.

Lopulalan. C. 2010. Analisa Ketahanan Beberapa Varietas Padi Terhadap


Serangan Hama Gudang (Sitophilus zeamais Motschulsky). Jurnal
Budidaya Pertanian 1. (6): pp 11-16.

Manueke, J. 1993. Kajian Pertumbuhan Populasi Sitophilus oryzae dan


Tribolium castaneum dan Kerusakan yang Ditimbulkan pada Tiga
Varietas Beras. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Manueke J, M Tulung, dan J.M.E. Mamahit. 2015. Biologi Sitophilus oryzae


Dan Sitophilus zeamais (Coleoptera; Curculionidae) Pada Beras Dan
Jagung Pipilan. Eugenia 21(1): 27-29.

Manueke J., M. Tulung, J. Pelealu, O.R. Pinontoan, dan F.J. Paat. 2012.
Tabel Hidup Sitophilus oryzae (Coleoptera; Curculionidae) Pada Beras.
Eugenia, 18 (1): 5-7.

Marbun, C.U., dan Yuswani P. 1991. Ketahanan Beberapa Jenis Beras


3
Simpan Terhadap Hama Bubuk Beras Sitophylus oryzae (Coleoptera,

3
Curculionidae). Di Gudang, Fakultas Pertanian USU, Medan.

Naik R.H., S. Mohankumar, S.O. Naik, M.S. Pallavi, M.R. Srinivasan, dan S.
Chandrasekaran. 2016. Influence of food sources on developmental
period of Rhyzopertha dominica, Tribolium castaneum and Sitophilus
oryzae. Indian Journal of Plant Protection, 44 (1): 63-68.

Parinduri, M.A. 2010. Uji Efektivitas Beberapa Rimpang Zingiberaceae


Terhadap Pengendalian Kumbang logong (S. oryzae L.)(Sitophylus
oryzae L.) (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium. Skripsi.
Departemen IlmuHama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Phillips TW & Throne JE. 2010. Bio-rational approaches to managing stored


product. Annual Review of Entomologyvol 55: 375397.

Prabawadi AA, Astuti LP, & Rachmawati R. 2015. Keanekaragaman


Arthropoda di gudang beras. Jurnal HPT 3(2): 76–82.

Prasad, G.S., Babu, K.S., Sreedhar, M., Padmaja, P.G., Subbarayudu, B.,
Kalaisekar, A., Patil, J.V. (2015). Resistance in sorghum to Sitophilus
oryzae (L.) and its association with grain parameters. Phytoparasitica,
43: 391–399

Rahman, et.al. 2007. Ethanolic Extract Of Melgota (Nacaranga Postulata)


For Repelent Insectisidal Activity Against Rice Weevil (Sitophilus
Oryzae). Arf J. Biotechnology, Vol 6(4), pp.379-38.

Rohmani, Y.D. 2013. Faktor Pembatas. Jurnal Faktor Pembatas(2)1 :1-6.

Singh Braj Kishor Prasad. 2017. Study on the Life Cycle of Sitophilus oryzae
on Rice Cultivar Pusa 2-21 in Laboratory Condition. International
Journal of Education & Applied Sciences Research, 4 (2): 37-42.

Subedi, S. Y. D. GC, R. B. Thapa dan J. P. Rijal. 2009. Rice Weevil (Sitophilus


oryzae L.) Host preference of selected stored grains In
3
chitwan Nepal. J. Inst. Agric. Anim. Sci. 30: pp 151-158.

Surtikanti. 2004. Kumbang Bubuk Sitophilus zeamais M. (Coleoptera:


Curculionidae) dan Strategi Pengendaliannya. Jurnal Litbang
Pertanian. 23 (4): 222 - 228.

Swamy K.C.N., G.P. Mutthuraju, E. Jagadesh, dan G.T. Thirumalaraju. 2014.


Biology of Sitophilus oryzae (L.) (Coleoptera: Curculionidae) on Stored
Maize Grains. Current Biotica, 8 (1): 78-81.

Tarumingkeng, R. C. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga.


Pusat Antar Universitas-Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.

Tefera T, Mugo S, & Likhayo P. 2011. Effects of insect population density


and storage time on grain damage and weight loss in maize due to the
maize weevil Sitophilus zeamais and the larger grain borer
Prostephanus truncates. African Journal of Agricultural Research
6(10): 2249–2254.

Wiranata RA, Himawan T, & Astuti LP. 2013. Identifikasi arthropoda hama
dan musuh alami pada gudang beras Perum BULOG dan gudang
gabah mitra kerja di Kabupaten Jember. Jurnal HPT1(2): 5257.

Yasin, M. 2009. Kemampuan Akses Makan Serangga Hama Kumbang


Bubuk dan Faktor Fisiokimia yang Mempengaruhi. Prosiding Seminar
Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. pp 400-409.

4
LAMPIRAN

Pencarian Sitophilus oryzae :

Minggu pertama :

1. Tepung beras

2. Beras Utuh

4
3. Beras patah

4
Minggu kedua:

1. Tepung beras

2. Beras utuh

3. Beras patah

4
Minggu ketiga :

1. Tepung beras

2. Berasutuh

3. Beras patah

Anda mungkin juga menyukai