Anda di halaman 1dari 23

ETIKA REKAYASA

Dosen : M. Sabarudin Nasir

TANGGUNG JAWAB PROFESIONAL


DAN OTORITAS MAJIKAN

Clean Air Act tahun 1970 mensyaratkan bahwa produsen mobil harus melakukan tes
ketahanan 50 000 mil pada mesin-mesin baru hanya dengan satu tune-up saja. Hasil-hasil
uji emisinya harus dilaporkan kepada Environmental Protection Agen- cy (EPA), yang
menentukan apakah mesin itu sudah memenuhi standar polusi yang berlaku. Pada bulan
Mei 1972, manajer-manajer top di Ford Motor Company berharap cemas menantikan
pernyataan lolos uji dari pemerintah atas hasil uji mesin untuk mobil Ford yang akan
diluncurkan tahun 1973. Mereka punya segudang alasan untuk yakin atas hasil yang
telah mereka kirimkan ke EPA, yang didasarkan atas uji yang dilakukan oleh karyawan-
karyawan mereka sendiri. Satu-satunya masalah mereka tinggal soal memenuhi jadwal
produksi yang ketat bila persetujuan EPA telah diterima.
Namun toh keyakinan mereka akhirnya hancur berkeping-keping ketika ke mudian
presiden Ford Lee Iacocca menerima sepucuk memo dari seorang spesialis di divisi
komputer. Spesialis komputer itu telah menelaah rekaman komputer dari uji-uji yang
telah dilakukan untuk melihat ulang efektivitas divisinya dalam mendukung
pengembangan mesin. Memonya mengidentifikasikan sejumlah ketidakteraturan dalam
rekaman pengujian, yang menunjukkan bahwa adanya penanganan yang tidak valid dan
hal ini tidak diberitahukan kepada EPA. Memo ini juga menyatakan bahwa ketika
spesialis itu mencari penjelasan dari ketidakteraturan divisi mesin, ia justru didesak
untuk membakar saja pita-pita rekaman komputer dan melupakan persoalan itu.
Penelitian intensif oleh pihak manajemen atas masalah ini dengan cepat memperkuat
informasi yang ada dalam memo itu. Jelaslah bahwa empat karyawan "penyelia teknis"
yang melakukan pengujian awal telah memerintahkan atau terlibat dalam lebih dari 300
tindak pelaksanaan pengujian mesin yang tidak sah. Busi dan jarum-jarum berulang-kali
diganti, karburator dibersihkan, dan waktu pembakaran berkali-kali disetel ulang.
Penyetelan ini menurunkan tingkat polutan yang dikeluarkan.
Dalam waktu 3 hari, Iacocca mengungkapkan kepada para pejabat EPA segala yang
diketahuinya tentang pengujian itu dan akhirnya menarik kembali permohonan sertifikat
dari EPA untuk empat tipe utama mesin Ford. Kendati sudah bekerjasama sepenuhnya
dengan para penyelidik EPA, perusahaan itu didenda $7 juta untuk tindak pidana dan
sejumlah perkara perdata karena telah melakukan pengujian yang tidak semestinya dan
memberikan laporan palsu kepada pemerintah. Oleh karena besarnya rekor denda yang
dicapai, Ford terpaksa menanggung

1
publikasi yang merusakkan citranya di artikel-artikel halaman depan surat kabar (misalnya,
New York Times dan Los Angeles Times, 14 Februari, 1973). Perusahaan itu juga terluka oleh
biaya pengujian ulang yang harus dilakukannya serta oleh tertundanya jadwal produksi
(Wall Street Journal, 25 Mei dan 31 Mei, 1972).
Loyalitas yang Salah Arah?
Tak satu pun hal tertulis tentang skandal Ford yang menerangkan apa yang memotivasi para
penyelia Ford serta insinyur dan teknisi lain yang terlibat. Barangkali sekadar masalah
kepentingan pribadi—keinginan untuk membuat diri sendiri tampak bagus dengan
memastikan mesin-mesin mereka berhasil melewati tes kualifikasi. Tapi mungkin juga
bahwa mereka melakukannya karena mereka merasa karyawan yang loyal. Ford telah
terlambat dalam mendapatkan persetujuan pemerintah selama beberapa tahun sebelumnya,
dan barangkali orang- orang itu percaya—betapa pun tidak tepatnya tindakan mereka—
bahwa mereka melayani kepentingan terbaik perusahaan dengan menghindarkan kesulitan-
kesulitan sedemikian pada tahun ini. Barangkali pula beberapa di antara mereka sekadar
mengikuti perintah atasan merusakkan mesin itu. Apa pun yang terjadi, bukan pihak
manajemen saja yang patut dipersalahkan: kendati biaya menjadi membubung tinggi, tak
seorang pun yang terlibat dalam pelaksanaan pengujian itu yang dipecat dan keempat
penyelia itu hanya dipindahkan ke jabatan lain.
Kasus ini mengangkat ke permukaan tiga hal tentang hubungan antara tanggung jawab
profesional dan loyalitas pada perusahaan atau majikan. Pertama, bertindak atas komitmen
profesional kepada publik dapat merupakan jalan yang lebih efektif untuk mengabdi
perusahaan ketimbang sekadar kerelaan untuk melakukan segala sesuatu yang dianggap
baik bagi perusahaan itu. Ford akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari para
rekayasawan yang terlibat dan mengikuti standar-standar profesional ketimbang yang
diperolehnya dari loyalitas yang salah arah yang diperlihatkan oleh para karyawan.
Kedua, dari contoh di atas menjadi jelas bahwa loyalitas kepada perusahaan atau para
pemiliknya yang sekarang tidak boleh disamakan dengan sekadar mematuhi atas langsung.
Akan merupakan loyalitas yang lebih besar kepada Ford tindakan orang yang konsisten
dengan kepedulian manajemen yang lebih tinggi, ketimbang yang konsisten dengan sasaran
atasan langsung.
Ketiga, kasus ini mengilustrasikan betapa seorang rekayasawan bisa sekaligus
melaksanakan kewajiban kepada majikan dan kepada publik yang lebih saling mendukung
ketimbang saling bertentangan. Maka, tidak perlu ada pertentangan antara status moral
sebagai karyawan dan sebagai profesional. Dalam kenyataan, kewajiban kepada publik dan
kepada majikan kerap menuju pada arah yang sama.
Kendatipun demikian, telah kita lihat pula dari kasus-kasus lain yang telah kita telaah
bahwa kewajiban kepada majikan dan kepada publik tidak selalu beriringan secara

2
langsung. Kadangkala seorang rekayasawan yang berusaha melindungi publik justru
ditindas oleh manajemen puncak karena alasan finansial. Sebagai contoh, pada kasus DC-10,
direktur rekayasa produk diberitahu oleh pihak manajemen puncak bahwa mendesain ulang
sebuah lantai kabin dan pintu kargo yang tidak aman akan membutuhkan biaya yang terlalu
mahal. Pada kesempatan lain, terjadi perbedaan pendapat dalam hal-hal teknis, dan para
rekayasawan diminta untuk tidak memaksakan pendapat mereka sendiri lebih jauh. Ini kita
lihat diilustrasikan dalam kasus pesawat ulang alik Challenger.
Hubungan antara menjadi seorang rekayasawan yang bertanggung jawab, dengan
kewajiban-kewajiban kepada publik, dan menjadi karyawan yang loyal memang tidak
sederhana. Kita akan meneropongnya, pertama dari arah profesionalisme, kemudian dari
studi atas otoritas majikan, dan akhirnya dengan mendiskusikan keempat topik: konflik
kepentingan, konfidensialitas, unionisme, dan kejahatan white-collar.

PROFESIONALISME
Siapakah profesional itu? Bila kita jawab bahwa seorang profesional adalah anggota dari
suatu profesi, lantas apa profesi itu, dan bagaimana orang bisa menjadi anggotanya? Sasaran
pertama dalam membahas pertanyaan-pertanyaan ini adalah memahami mengapa ada
begitu banyak ketidaksepakatan tentang bagaimana harus menjawabnya. Sasaran kedua
adalah merumuskan suatu konsepsi profesionalisme yang kompatibel dengan pandangan
bahwa rekayasawan yang dipekerjakan juga merupakan profesional yang memiliki
kewajiban kepada majikan sekaligus kepada masyarakat.
Profesi
Dalam salah satu maknanya, kata "profesi" digunakan sebagai sinonim untuk kata
"pekerjaan" atau "jabatan", dan menjadi seorang profesional pada sesuatu aktivitas sekadar
berarti mencari penghidupan melalui kegiatan itu. Maka kita sebut-sebut pemain tenis atau
sepakbola profesional yang dilawankan dengan pemain amatir yang tidak mendapatkan
penghasilan dari olahraga ini. Kita juga bicara tentang pekerja sanitasi profesional, sopir
taksi profesional, bartender profesional, bahkan tentara bayaran atau pembunuh profesional.
Tapi masih ada makna lain kata itu yang menyingkirkan contoh-contoh di atas. "Profesi",
dalam makna yang baru ini, hanya dapat diterapkan kepada beberapa jabatan tertentu yang
memenuhi sejumlah kriteria. Secara umum, kriteria ini mencakup pembatasan sebagai
berikut:
1 Pekerjaan ini melibatkan penggunaan ketrampilan, penilaian, dan kearifan yang canggih
yang tidak sepenuhnya rutin atau dapat digantikan dengan mekanisasi.
2 Persiapan supaya dapat terlibat dalam pekerjaan ini membutuhkan pendidikan formal
yang ekstensif, termasuk studi-studi teknis dalam pengetahuan sistematis yang kurang
lebih sama luasnya dengan studi-studi kemanusiaan. Secara umum juga dibutuhkan

3
usaha untuk mengaktualkan pengetahuan pengetahuan.
3 Organisasi-organisasi khusus yang mengatur para anggota profesi yang bersangkutan
diizinkan oleh publik untuk memainkan peranan yang besar dalam menetapkan standar-
standar penerimaan ke dalam profesi tersebut, menyusun kode etik, memberlakukan
standar perilaku, dan mewakili profesi itu di hadapan publik dan pemerintah.
4 Kedudukan itu mengabdi suatu aspek penting bagi kebaikan masyarakat, seperti yang
ditunjukkan dalam kode etik. (Misalnya, obat-obat ditujukan untuk menjaga kesehatan,
hukum untuk melindung hak-hak hukum publik, dan kerekayasaan untuk memajukan
kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat dalam kaitannya dengan
teknologi.)
Ada banyak debat tentang kedudukan mana yang memenuhi kriteria ini. Profesi-profesi
tradisional seperti di bidang kesehatan, hukum, pengajaran, dan agama disebut-sebut
sebagai paradigma atau contoh-contoh yang benar-benar jelas. Demikian pula profesi-profesi
seperti kerekayasaan dan administrasi bisnis yang akhir-akhir ini kian mencuat. Pekerjaan
sanitasi, menjadi sopir taksi, dan bermain basket tidak masuk hitungan karena tidak
diperlukan pendidikan lanjut. Muncul perbedaan pendapat dalam hal jabatan-jabatan yang
membutuhkan pelatihan formal menengah: periklanan, perumahan, kosmetikologi, dan
beberapa pekerjaan dalam teknologi komputer serta kesehatan.
Kriteria Keanggotaan
Perbedaan pendapat lebih lanjut muncul tentang bagaimana seseorang dapat atau
seharusnya menjadi anggota suatu profesi yang diterima. Perselisihan itu muncul dalam
kaitannya dengan kerekayasaan. Masing-masing butir berikut ini diusulkan sebagai kriteria
untuk menjadi seorang engineer atau "professional engineer" di Amerika Serikat:
1 Memperoleh gelar bakaloreat (setara dengan S-l di Indonesia, Pen.) dalam kerekayasaan
pada suatu sekolah yang diakui oleh Accreditation Board for Engineering and
Technology. (Bila ini berlaku surut, tentunya kita harus mencoret nama Leonardo da
Vinci dan Thomas Edison.)
2 Melakukan pekerjaan yang umum dikenal sebagai yang dilakukan oleh para
rekayasawan. (Ini tentu saja mencoret begitu banyak rekayasawan yang menjabat
manajer full-time, dan mencoret pula mereka yang melakukan pekerjaan rekayasawan
tetapi tidak punya gelar kerekayasaan.)
3 Secara resmi terdaftar dan memperoleh lisensi sebagai seorang "Professional Engineer"
("P.E"). Kata terdaftar berarti mencakup (a) lulus Engineer-in-Training Examination atau
Professional Engineer Associate Examination selama tingkat senior 1 dalam pendidikan
kerekayasaan, (b) bekerja selama 4 sampai 5 tahun pada tingkatan kerekayasaan yang
bertanggung jawab, (c) lulus ujian profesional, (d) membayar iuran pendaftaran yang
disyaratkan. (Aturan ini mencoret sejumlah besar orang yang memiliki gelar bakaloreat,

4
magister, maupun doktoral di bidang kerekayasaan yang tak terdaftar, di mana banyak
dari mereka bekerja di bidang pendidikan atau industri manufaktur yang membebaskan
mereka dari kewajiban mendaftarkan diri.)
4 Bertindak dengan cara-cara yang secara moral bertanggung jawab pada saat
mempraktekkan kerekayasaan. (Ini mencoret para penjahat, betapa pun kreatifnya
mereka dalam mempraktekkan kerekayasaan.)
Kata "profesi" dan "profesional" telah mendapatkan konotasi positif dan kata- kata itu
membawa status yang sangat diimpikan baik sebagai kedudukan maupun individu.
Paling tidak, konotasi ini berasal dari pentingnya serta sulitnya mendapatkan
keterampilan dan pengetahuan profesional publik. Karena faktor-faktor inilah, para
profesional dipandang layak untuk mendapat bayaran, prestise yang tinggi, serta
keuntungan-keuntungan sosial lainnya. Status sosial kerapkali diperkuat oleh gelar,
semacam Doktor atau Reverend (untuk konteks Indonesia, Kiai -Pen.). Dalam hal ini,
beberapa rekayasawan di Amerika Serikat, di mana kerekayasaan sering tidak dianggap
sejajar dengan jabatan kesehatan atau keagamaan, sangat mendambakan pengakuan
terbuka yang didapatkan oleh rekan-rekan mereka di sejumlah negara.
Definisi Persuasif
Orang dapat memilih salah satu kriteria yang disebutkan di atas tentang apa yang
membuat orang menjadi rekayasawan serta mengklaim, dengan mengasumsikan suatu
perspektif nilai khusus, bahwa itulah satu-satunya definisi yang tepat. Maka, makna
kognitif biasa yang agak longgar (kriteria pembatas) dapat diubah dengan membuatnya
lebih persis dan sempit sekaligus mempertahankan makna emotifnya yang biasa
(konotasi positif). Lantas orang dapat memberikan apa yang disebut definisi persuasif
atas terminologi "perekayasa professional": yakni yang digunakan untuk mendukung
suatu perspektif nilai tertentu (Stevenson, 1938; Cogan, 1955, 105).
Seperti diharapkan, definisi-definisi persuasif sedemikian kerap muncul dalam
perselisihan tentang nilai-nilai, dan sama sekali tidak ada yang perlu disebut tidak patut.
Hanya saja, definisi itu harus dimengerti menurut tujuannya: yakni sebagai teknik untuk
mengubah sikap, yang pada dirinya sendiri bukan berarti argumen. Definisi itu harus
lebih ditelaah dengan kritis, ketimbang sekadar secara pasif dibiarkan mempengaruhi
kita dalam bentuk- tersamar sebagai "kebenaran menurut definisi". Sebab, definisi-
definisi itu pada dasarnya tidaklah seperti definisi segitiga sebagai bentuk bidang tiga
sisi, atau bujangan sebagai laki-laki dewasa yang belum menikah.
Misalnya saja, bila seorang psikolog mendefinisikan inteligensi sekadar sebagai apa
yang diungkapkan oleh tes-tes psikologis, tentunya kita harus hati-hati dengan
kemungkinan implikasi untuk memandang teknik-teknik pengujian psikologis dewasa
ini terlalu penting. Satu lagi, bila kedokteran didefinisikan sebagai

5
ilmu pengetahuan tentang kesehatan, dan bila kesehatan didefinisikan sebagai
"keadaan fisik, mental, dan sosial yang seutuhnya baik" (seperti didefinisikan oleh World
Health Organization), kita perlu waspada terhadap bagaimana definisi ini dapat
mendorong harapan berlebihan tentang apa yang dapat dilakukan oleh dokter dan
teknik-teknik medis.
Demikian pula, kita perlu siap menaksir implikasi menerima suatu definisi persuasif
tertentu tentang perekayasa profesional. Sikap dan perspektif nilai yang tertanam dalam
definisi demikian yang menyangkut sifat-sifat yang diharapkan ada pada para
rekayasawan profesional serta seberapa baiknya identifikasi sifat- sifat itu tentunya perlu
ditelaah secara kritis. Misalnya, mereka yang berusaha membatasi terminologi
"profesional" hanya untuk rekayasawan yang secara resmi terdaftar akan memandang
pembatasan itu sebagai cara untuk menjamin dipenuhinya kualifikasi yang ketat yang
akan memaksimumkan keuntungan bagi masyarakat. Tapi, mereka yang menentang
definisi ini mungkin saja berpendapat bahwa ini hanya menambah birokrasi saja dan
sama sekali bukan cara penilaian kualifikasi kerekayasaan yang efektif.
Profesionalisme sebagai Kemerdekaan
Ada satu jenis definisi persuasif dari rekayasawan profesional yang punya sig-
nifikansi khusus bagi maksud-maksud kita dewasa ini. Definisi itu secara langsung
mengkaitkan profesionalisme dengan kemerdekaan dan kebebasan dari paksaan. Salah
satu versinya diberikan oleh Robert L. Whitelaw dalam sebuah esei berjudul, "The
Professional Status of the American Engineer: A Bill of Rights". Whitelaw dengan tajam
mempertentangkan sikap tunduk secara birokratis kepada majikan dengan kemerdekaan
yarg dilihatnya sebagai hal yang inheren dalam profesionalisme. Dalam kenyataan, ia
menegaskan bahwa profesionalisme dan status karyawan secara logis tidak sesuai satu
dengan yang lain: " ... sejauh individu lebih dilihat sebagai seorang karyawan ketimbang
sebagai seorang seniman bebas, selama itu pula sama sekali tidak ada status profesional"
(Whitelaw, 1975, 37-38).
Dalam pandangan Whitelaw, hanya rekayasawan konsultan sajalah yang memenuhi
kualifikasi sebagai profesional. Massa rekayawasan yang bekerja sebagai karyawan
dalam birokrasi perusahaan atau pemerintahan tidak akan menjadi profesional sampai
mereka dilindungi oleh suatu undang-undang hak rekayasawan yang menjamin
kebebasan yang telah dinikmati oleh para rekayasawan yang bekerja sendiri. Contoh
hak-hak ini adalah "hak untuk menolak aktivitas tidak etis tanpa prasangka atau
hilangnya kontrak" dan "hak kebebasan dari pengawasan, manipulasi psikologis, dan
teknik-teknik evaluasi jabatan lainnya".
Menurut definisi Whitelaw, orang tidak menjadi rekayasawan profesional bila ia
hanya bertindak atas dasar perintah majikan dalam hal-hal yang menyangkut kebaikan
masyarakat. Menjadi seorang profesional melibatkan kebebasan bertindak menurut
penilaiannya sendiri tentang jalan manakah yang harus ditempuh. Jelaslah bahwa
Whitelaw bereaksi keras terhadap apa yang dipandangnya sebagai dominasi berlebihan
atas para rekayasawan oleh otoritas pihak manajemen. Kendati mungkin saja sejumlah
keprihatinannya itu sah, dan mungkin saja definisinya sekadar sebuah instrumen retoris
yang hebat, toh kita harus mempertanyakan apakah definisinya mengungkapkan
pendirian yang terlalu ekstrem.

Profesionalisme sebagai Pelayanan terhadap Majikan


Tipe definisi persuasif sebaliknya memperlakukan pengabdian yang loyal kepada
majikan (atau klien, dalam kasus rekayasawan konsultan) sebagai jantung pro-
fesionalisme dalam kerekayasaan. Pandangan sedemikian tersirat dalam esei Sa- muel
Florman yang dibicarakan secara luas, "Moral Blueprints". Florman berpendapat bahwa
"pada hakikatnya, profesional itu harus mengabdi" (Florman, 1978, 32). Lebih daripada
sekadar "menyaring pekerjaan sehari-hari melalui saringan kepekaan etis", sebagaimana
yang dikemukakan Florman, para profesional memikul tugas memenuhi harapan klien
dan majikan mereka. Seharusnya yang mengekang para profesional adalah hukum dan
peraturan pemerintah, dan tidak cuma mau menuruti nurani saja.
Tulisan Florman itu dimaksudkan untuk menyerang pasal dalam kode etik
Engineers' Council for Professional Development yang lama yang menyatakan
"Rekayasawan hendaknya mengutamakan keselamatan, kesehatan, kesejahteraan publik
dalam melaksanakan tugas-tugas profesional mereka." Jawabannya adalah,
"Rekayasawan berkewajiban membawa serta integritas dan kompetensi ke dalam apa
pun yang dikerjakannya. Tapi rekayasawan tidak boleh diharuskan menanggung
kesejahteraan tertinggi umat manusia" (Florman, 1978, 32).
Cukup adil bila Florman dianggap mengungkapkan pandangan pihak manajemen
atas profesionalisme kerekayasaan. Dan banyak rekayasawan yang menyetujui definisi
ini. Namun, di sini sekali lagi kita harus bertanya apakah konsep tentang kewajiban
profesional ini berat sebelah.
Pandangan Tengah
Kami juga mau mengemukakan, kendati tidak berusaha membelanya secara terinci,
"definisi persuasif” kami tentang profesionalisme dalam kerekayasaan. Dalam pasal ini,
perhatian kami yang terutama adalah menekankan bahwa definisi- definisi sedemikian
pada umumnya akan berupa perkembangan dari perspektif seseorang atas kewajiban
moral rekayasawan. Maka dari itu, dalam diskusi tentang pokok ini, perhatian

7
hendaknya lebih difokuskan pada kewajiban itu sendiri ketimbang pada bagaimana
kewajiban itu terpantul dalam kriteria yang disertakan orang pada saat mendefinisikan
terminologi perekayasa professional.
Pandangan kami tentang kewajiban rekayasawan terletak di antara kedua ekstrem
yang diwakili oleh Florman dan Whitelaw. Bagi kami, rekayasawan berstatus karyawan
memiliki kewajiban-kewajiban moral utama kepada majikan maupun masyarakat, dan
menurut kami tidak tepatlah memegang salah satu kewajiban itu sebagai esensi
profesionalisme. Definisi yang lebih bermanfaat memungkinkan kita berbicara secara
langsung tentang para profesional yang menerima gaji (kontra Whitelaw), dan juga
memungkinkan kita menolak pandangan bahwa pada hakikatnya kewajiban profesional
adalah melayani majikan dalam batas-batas hukum (kontra Florman).
Maka, kami lebih condong memandang bahwa rekayasawan yang profesional harus
memenuhi kriteria umum: (1) Mencapai standar prestasi dalam pendidikan, kemampuan
bekerja, maupun kreativitas dalam kerekayasaan yang membedakan mereka dari teknisi
dan teknolog kerekayasaan. (Kami sadar pula bahwa untuk kepentingan hukum dan
pendidikan, wujud standar itu harus dibuat lebih jelas dan eksplisit.) (2) Mau menerima
tanggung jawab moral, paling tidak yang paling dasariah, terhadap masyarakat,
maupun terhadap majikan, klien, kolega, dan bawahan, sebagai bagian dari kewajiban
profesional mereka. Kriteria terakhir ini memberikan dimensi moral pada terminologi
"profesionalisme" yang konsisten dengan fakta bahwa "perilaku yang tidak profesional"
kerap digunakan sebagai sinonim dari "perilaku yang tidak etis". Namun ini tidak
membuat asumsi tentang kewajiban macam manakah yang paling sentral bagi
kerekayasaan—suatu masalah yang perlu diperdebatkan secara bebas adalah tentang
bagaimana mendefinisikan apa yang dimaksudkannya dengan perekayasa profesional
itu.
Kewajiban kepada Masyarakat sebagai Yang Tertinggi
Saat ini, marilah kita kesampingkan dahulu masalah-masalah yang muncul pada saat
kita berusaha mendefinisikan profesionalisme dan langsung beralih pada hubungan di
antara dua kewajiban kepada masyarakat dan kepada majikan. Haruskah kita sepakat
bahwa kewajiban melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat
adalah yang tertinggi, seperti yang dinyatakan kode- kode etik mutakhir?
Dalam pandangan kami, ya, sejauh "yang tertinggi" dimengerti dalam arti
percakapannya yaitu "yang paling penting dalam urutan, atau yang layak mendapat
tekanan utama". Kami membuat penilaian ini dengan latar belakang realitas yang
mencolok mata: Kebanyakan majikan memiliki kekuasaan sangat besar dibandingkan
dengan rekayasawan yang mereka pekerjakan. Mereka berkuasa memecat atau

8
mengenakan sanksi negatif lainnya terhadap orang-orang yang tidak berhasil memenuhi
kewajiban mereka terhadap majikan. Dan dewasa ini, rekayasawan relatif hanya punya
sedikit sekali pilihan lain bila majikan tidak mendukung usaha-usaha mereka untuk
memenuhi kewajiban mereka terhadap masyarakat. Dari sinilah bila "yang tertinggi"
berarti "yang layak mendapatkan tekanan utama dalam benak para rekayasawan,
organisasi kerekayasaan, serta komunitas yang lebih luas," tentunya kewajiban kepada
masyarakat layak dipandang sebagai yang tertinggi.
Namun demikian, "yang tertinggi" dapat juga ditafsirkan dalam makna filosofis
teknis yang berarti bahwa bilamana terjadi konflik antara kewajiban kepada masyarakat
dan kepada majikan (sehingga menimbulkan dilema moral), kewajiban kepada
masyarakat harus selalu diutamakan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa, bila
kedua kewajiban prima-facie ini berkonflik, kewajiban orang yang terutama—apa yang
seharusnya dilakukannya, segala hal yang harus dipertimbangkan—selalu harus
memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat. Kami curiga, barangkali makna teknis
"yang tertinggi" inilah yang ada dalam benak para penyusun kode etik. Dalam hal mana
pun, bagi kami rasanya pandangan itu tetap meragukan bila ditarik sampai ekstrem.
Simaklah kasus berikut ini: Suatu kelompok desain mengembangkan sirkuit elektronik
baru untuk digunakan pada radio jam yang akan menambah umur rata-rata dari 5
menjadi 7 tahun dengan peningkatan biaya manufaktur hanya sebesar 1%. Setelah
menyampaikan argumen-argumen mereka di hadapan manajemen puncak, toh akhirnya
pihak manajemen menolak proposal itu karena biayanya tidak efektif. Apakah kewajiban
kelompok itu terhadap masyarakat lebih berat dibanding petunjuk atasan untuk tidak
melanjutkan pekerjaan atas sirkuit itu?
Dalam kasus ini, mengatakan bahwa rekayasawan harus menggolongkan ke-
wajibannya sebagai karyawan ke dalam kewajiban kepada masyarakat tentu me-
rongrong otoritas sah dari majikan. Tentu saja kewajiban kepada masyarakat harus
mengatasi kewajiban kepada majikan dalam kasus-kasus yang mempertaruhkan
kepentingan umum: pada umumnya bila ada ancaman serius terhadap hayat hidup
orang banyak, menyangkut korupsi keuangan yang serius, atau ada kemungkinan
menimbulkan kerugian ekonomis yang serius pula. Banyak peristiwa penyebarluasan
kesalahan atas dasar alasan yang tepat termasuk dalam kategori ini, seperti yang akan
kami kemukakan dalam Bab 6. Tapi ini tidak berarti bahwa prioritas pertama selalu
kebaikan masyarakat manakala kebaikan itu secara moral berkonflik dengan kebaikan
majikan.
Singkatnya, rekayasawan harus menimbang-nimbang kewajiban mereka terhadap
masyarakat, majikan, rekan sejawat, serta sesama mereka bila terjadi konflik di antara

9
kewajiban-kewajiban itu. Membuat urutan prioritas yang sederhana dan dapat berlaku
tanpa pengecualian tidak selalu mungkin dilakukan.
OTORITAS MAJIKAN
Rekayasawan yang dibayar mempunyai kewajiban untuk menghormati otoritas sah
majikannya. Tapi, bagaimanakah sifat otoritas itu? Sejauh mana otoritas itu harus diterima
sebagai otoritas sah secara moral oleh para profesional yang dibayar itu?
Untuk menyambut pertanyaan-pertanyaan ini kita akan mulai dengan suatu diskusi
tentang bagaimana dan mengapa dalam institusi terdapat otoritas. Kemudian akan ditarik
beberapa pembedaan yang memperjelas mengapa otoritas demikian tidak secara otomatis
sama dengan otoritas moral.
Tujuan Institusi
Para rekayasawan sebenarnya bekerja dalam segala macam bentuk organisasi modern.
Organisasi-organisasi ini sangat bervariasi dalam tujuan-tujuan khusus yang diciptakan dan
mau dicapai. Ada dua tipe yakni (1) organisasi pelayanan, dan (2) organisasi bisnis, atau
organisasi yang mencari keuntungan (Drucker, 1973, 131).
Tujuan utama organisasi pelayanan adalah menyediakan pelayanan terpilih bagi
masyarakat atau bagi organisasi lain di mana organisasi itu menjadi anggotanya. Universitas
menyediakan pendidikan, rumah sakit menyediakan perawatan kesehatan, sistem
pengadilan melayani kebutuhan hukum, organisasi profesi melayani para profesional,
demikian pula halnya dengan organisasi-organisasi keagamaan, militer, dan pemerintahan,
serta "monopoli-monopoli alami" seperti perusahaan telepon dan fasilitas umum. Mereka
bekerja di bawah kendala ekonomis berupa anggaran yang dialokasikan oleh instansi-
instansi pengawas pemerintah atau atas dasar pendapatan dari layanan yang mereka
sediakan.
Institusi-institusi bisnis, atau pencari laba, dibentuk pertama-tama untuk memperoleh
penghasilan. Kriteria tentang kinerjanya, menurut sebagian pihak, adalah keuntungan
sebanyak-banyaknya (Friedman, 1979, 192) sedang oleh sebagian pihak lain adalah
pengembalian modal yang masuk akal. Bagaimanapun juga, menurut sejumlah pengamat
lain, salah satu kriterianya juga meliputi kontribusi sosial. Sebagai sarana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan utama yakni memperoleh penghasilan, institusi bisnis tentu saja
harus menyediakan produk atau layanan yang akan dibeli pelanggan. Lagipula, bisnis harus
melakukannya dalam pagar-pagar yang membatasi kebaikan publik yang ditetapkan oleh
pemerintah yang menganugerahi usaha niaga itu piagam-piagam yang memungkinkan
mereka bekerja. Maka, rincian yang lebih lengkap dari tujuan institusi pencari laba itu adalah
menciptakan keuntungan dengan menyediakan produk atau layanan yang berguna bagi
masyarakat.

10
Organisasi pelayanan maupun bisnis mungkin juga memiliki tujuan-tujuan sekunder.
Untuk mencapai tujuan primer, pada umumnya mereka memasang tujuan survival dan
mempertahankan kebebasan mereka sampai tingkat tertentu, terhadap kontrol dari luar
(Galbraith, 1971, 170). Dalam prakteknya, tujuan kedua ini sering berarti peraturan ekstensif
pemerintah yang membatasi.
Otoritas Institusional
Untuk mencapai tujuan institusional, diciptakanlah aturan-aturan organisasional. Secara
tipikal, aturan-aturan ini mengaitkan kewajiban khusus dengan posisi-posisi dalam
organisasi tersebut. Aturan ini juga memungkinkan orang untuk memberikan tugas kepada
orang lain. Dengan demikian, kewajiban institusional adalah tugas yang diberikan dalam
organisasi, baik apakah penugasan itu dinyatakan secara spesifik dan langsung maupun
tidak oleh peraturan yang ada. Tugas-tugas manajerial, misalnya, mungkin berupa
pengalokasian uang atau sumber-sumber lainnya, untuk membuat keputusan kebijakan atau
rekomendasi, atau untuk mengawasi proyek-proyek dan memberikan petunjuk kepada
bawahan dalam topik-topik tertentu.
Kebutuhan akan hubungan otoritas untuk memenuhi tujuan organisasional telah jelas.
Keputusan harus terbentuk dalam situasi di mana jika setiap orang dibiarkan melaksanakan
keleluasaan individualnya tanpa kekangan akan menciptakan kekacauan. Lagipula, garis-
garis otoritas yang jelas akan memberikan sarana untuk menemukan dan menentukan
wilayah-wilayah tanggung jawab serta keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban
individual.
Untuk memungkinkan orang-orang pemegang posisi manajerial memenuhi tugas
institusional mereka, peraturan juga memberi mereka otoritas yang dipra- syaratkan. Ini
disebut otoritas institusional, karena otoritas ini didapatkan, digunakan, dan didefinisikan
dalam institusi. Otoritas ini dapat didefinisikan sebagai hak institusional yang diberikan
kepada seseorang untuk menggunakan kekuasaan yang bersumber dari institusi tersebut
(Pichler, 1974, 428).
Hak (otoritas) dan kewajiban institusional dalam banyak hal hanyalah sisi-sisi yang
berbeda dari satu keping uang yang sama, dan berkaitan dengan aktivitas dan fungsi-fungsi
yang persis sama. Project engineer, misalnya, memiliki kewajiban institusional untuk
menjamin bahwa proyek-proyek yang diawasinya berhasil diselesaikan, dan project engineer
itu diberi hak dan otoritas yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tersebut. Jelaslah pula
bahwa hak-hak ini melibatkan sejumlah kebebasan atau keleluasaan tertentu: Bagi sebuah
institusi, memberikan tugas tapi mengingkari kebebasan dari campur tangan untuk
melaksanakan tugas itu, sama saja dengan senjata makan tuan.
Otoritas Institusional versus Otoritas Keahlian

11
Memberikan otoritas kepada orang-orang dengan kualifikasi terbaik demi tujuan institusi
dalam suatu kapasitas tertentu jelas akan menguntungkan institusi itu sendiri. Tapi dalam
prakteknya, tidak selalu terjadi titik temu yang sempurna antara otoritas yang diberikan dan
kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakannya. Dalam semua institusi besar
terdapatlah inkompetensi. Dan ada benarnya juga ucapan sinis bahwa dalam birokrasi
orang-orang cenderung menaikkan tingkat inkompetensi mereka sendiri.
Maka otoritas institusional tidak boleh disamakan dengan otoritas keahlian. Otoritas
keahlian adalah penguasaan pengetahuan, keterampilan, atau kompetensi istimewa untuk
melakukan suatu tugas atau memberikan nasihat yang tepat. Dalam arti ini, dokter
merupakan otoritas (yang berwenang) dalam bidang kesehatan, dan insinyur sipil
merupakan otoritas dalam hal struktur dan transportasi. Salah satu kompetensi kunci bagi
manajemen adalah kemampuan kepemimpinan, yang mempunyai jenis otoritas keahliannya
sendiri yang disebut sebagai "otoritas kepemimpinan": keahlian untuk secara efektif
mengarahkan orang-orang lain (Barnard, 1968, 173).
Para rekayasawan mungkin juga memiliki otoritas keahlian dalam hal-hal di mana
mereka tidak mempunyai atau hanya sedikit mempunyai otoritas institusional untuk
mengambil keputusan. Otoritas insititusionalnya barangkali tidak lebih daripada sekadar
hak memberikan analisis tentang berbagai kemungkinan untuk melaksanakan sesuatu tugas
teknis kepada pihak manajemen, dan selebihnya mereka harus mematuhi petunjuk
manajemen tentang pilihan mana yang harus diambil.
Otoritas versus Kekuasaan
Otoritas institusional juga harus dibedakan dari kekuasaan. Otoritas institusional secara
tipikal sudah dengan sendirinya mendapatkan jatah sumber daya yang dibutuhkan untuk
merampungkan tugas. Namun orang-orang yang tak berguna mungkin saja menggunakan
kekuasaan yang mungkin digunakan oleh posisi mereka. Seorang manajer, misalnya, yang
tidak punya keterampilan kepemimpinan mungkin saja tidak mampu memberi inspirasi dan
dorongan kepada para karyawan untuk menghasilkan sesuatu menurut yang dikehendaki
oleh institusi, sebagaimana seorang konduktor tidak mampu memimpin orkestranya.
Sebaliknya, orang-orang yang efektivitasnya sangat istimewa mungkin mendapatkan
kekuasaan atau pengaruh yang besar-kekuasaan yang melampaui otoritas yang terekat
dengan posisi yang mereka pegang. Para pemimpin karismatis sering memiliki pengaruh
sampai di luar wilayah otoritasnya. Dan rekayasawan yang sangat terhormat karena bukti
integritasnya memiliki kekuasaan dalam suatu organisasi yang melampaui hak-hak eksplisit
institusionalnya.
Otoritas dan Strategi Manajerial
Seperti telah kita perhatikan, otoritas institusional kerap memberi seseorang hak prerogatif

12
untuk mengeluarkan perintah dalam suatu wilayah tertentu dan untuk mengharapkan agar
perintah itu dilaksanakan. Tetapi, menyamakan me-manage orang-orang dengan
mengeluarkan perintah-perintah dan kemudian berdiri di atas otoritas seseorang dalam
menuntut kepatuhan tanpa pertanyaan tentu akan menjadi sebuah salah pengertian yang
serius (McGregor, 1960).
M e-manage orang-orang berarti membimbing dan mengintegrasikan pekerjaan mereka,
dan ada berbagai macam pendekatan atau strategi umum untuk melakukannya. Salah
satunya adalah dengan menyatakan otoritas secara langsung atas seorang bawahan: "Akulah
yang berwenang—patuhilah atau kupecat kau." Tapi bila pendekatan ini kerap digemakan,
dalam bisnis tentu akan dipandang negatif sebagai penyalahgunaan otoritas secara
sewenang-wenang. Strategi lain mencakup campuran kental antara persuasi dan argumen
rasional. Beberapa orang menekankan pembuatan keputusan timbal balik, atau pengambilan
keputusan berdasarkan konsultasi sepenuhnya dengan para bawahan.
Pendekatan dengan konsensus barangkali memang lebih lambat, tapi lebih efektif dan
bijaksana dalam jangka panjangnya. Dan dalam menghadapi para profesional yang dibayar,
ini lebih daripada sekadar bijaksana. Pendekatan kaku yang otoriter dapat dengan mudah
membawa kepada ambruknya integritas moral di antara para karyawan, dan mengakibatkan
melemahnya kewajiban yang dirasakan baik terhadap majikan maupun terhadap
masyarakat.

Otoritas yang Dibenarkan secara Moral


Pembedaan di muka menyibakkan jalan untuk membuat dua pengamatan. Pertama, seorang
majikan mungkin saja mempunyai otoritas institusional untuk mengarahkan para
insinyurnya guna melakukan sesuatu yang secara moral tidak benar. Kedua, para
rekayasawan mungkin mempunyai kewajiban institusional untuk mematuhi petunjuk yang
secara moral tidak dibenarkan dan yang menurut kewajiban moralnya, dengan
mempertimbangkan segala sesuatunya, ia harus tidak mematuhinya.
Kalau mau diulang: Otoritas institusional adalah hak institusional untuk menggunakan
suatu bentuk kekuasaan, dan hak ini benar-benar sekadar kebebasan yang dikatakan dimiliki
oleh peraturan institusi tersebut. Kewajiban institusional adalah kewajiban yang dirincikan
oleh peraturan institusi, baik secara langsung terikat dengan jabatan dan kedudukan atau
secara tidak langsung didelegasikan oleh seorang atasan (yang pada gilirannya menurunkan
otoritas sedemikian dari peraturan-peraturan institusi). Hak-hak dan kewajiban ini dapat
ditetapkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan institusi. Tapi tidak lantas berarti hak ke-
wajiban moral, atau hak dan kewajiban institusional yang dibenarkan secara moral.
Sebelum menyimpulkan bahwa suatu tindakan khusus dalam pelaksanaan otoritas

13
institusional dibenarkan secara moral, kita perlu mengetahui (1) apakah tujuan
institusionalnya sendiri secara moral diizinkan atau diharapkan dan (2) apakah tindakan itu
memperkosa kewajiban-kewajiban moral yang dasariah.
Beberapa rekayasawan memang melaksanakan beberapa kewajiban moral untuk
memenuhi kewajiban institusional mereka pada saat mereka menyatakan mau menerima
pekerjaan—tapi hanya sejauh pemenuhan kewajiban institusional itu diizinkan secara moral.
Kontrak kerja dapat dipandang sebagai janji timbal balik yang disyaratkan secara moral.
Janji-janji untuk bertindak secara amoral tidak valid atau secara otomatis dikalahkan oleh
pertimbangan moral. Hubungan antara hak dan kewajiban moral dan kewajiban institusional
memang kompleks. Di sini kita hanya sedikit menelaah lebih lanjut. Harap diingat bahwa
dalam bab-bab di muka kita telah membedakan antara hak-hak moral manusia umum
dengan hak-hak moral khusus. Jelaslah bahwa hak-hak asasi manusia tidak dapat disamakan
dengan hak-hak institusional. Menurut definisinya, hak-hak asasi manusia (seperti hak atas
kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan) dimiliki karena menjadi seorang manusia
dan bukan karena menjadi anggota sebuah institusi.
Walaupun demikian, beberapa hak dan kewajiban institusional dapat disamakan dengan
beberapa hak dan kewajiban khusus—yakni, hak dan kewajiban yang secara moral
dibenarkan. Misalnya, melalui kesepakatan kerja, karyawan mendapatkan kewajiban
institusional khusus untuk melindungi informasi kepemilikan, dan majikan mendapatkan
hak institusional untuk meminta agar para karyawan melakukannya. Dan sejauh secara
moral dibenarkan, baik karena salah satu argumen yang ditarik dari kontrak kerja itu sendiri
atau karena suatu sebab lainnya, pertimbangan-pertimbangan independen, hak dan
kewajiban institusional juga menjadi h^k dan kewajiban moral.

Menerima dan Mematuhi Otoritas


Marilah kita sekarang mengalihkan perspektif dari otoritas majikan ke pengakuan otoritas
itu oleh karyawan mereka. Karyawan mengakui otoritas majikan bila kebanyakan kali
mereka menerima bimbingan dan mematuhi petunjuk yang diberikan oleh majikan yang
bersangkutan dengan wilayah aktivitas yang tercakup oleh otoritas institusional majikan
tersebut. Toh ada beberapa kekecualian, karena mungkin saja dalam kasus-kasus tertentu
dapat saja orang mengakui otoritas orang lain tapi tidak mematuhi perintahnya atas dasar
moral. Tapi pokok per hatian kita sekarang adalah mendapatkan gagasan yang lebih terang
tentang apa yang harus dan tidak boleh dilibatkan oleh penerimaan otoritas.
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Administrative Behavior, Herbert Simon
menyatakan: "Seorang bawahan dikatakan menerima otoritas bilamana ia mengizinkan
perilakunya dibimbing oleh keputusan seorang atasan, tanpa secara independen menelaah

14
manfaat dari keputusan itu" (Simon, 1976). Secara umum, hubungan-hubungan otoritas
adalah "segala situasi di mana anjuran diterima tanpa wawasan atau pertimbangan kritis"
(Simon, 1976, 128). Sekali lagi, "karakteristik yang membedakan otoritas dari jenis-jenis
pengaruh lainnya adalah ... bahwa seorang bawahan menunda kemampuan kritisnya untuk
memilih di antara alternatif-alternatif yang ada dan menggunakan kriterium formal
penerimaan su- atu perintah atau signal sebagai landasan pilihannya" (Simon, 1976, 127).
Dalam pandangan Simon, penalaran bawahan dalam peran mereka sebagai bawahan
sebagian besar diarahkan pada antisipasi akan perintah dengan bertanya kepada diri sendiri
bagaimanakah kira-kira perilaku yang diharapkan atasan mereka dalam situasi tertentu.
Simon mencatat bahwa setiap karyawan memiliki batas-batas dalam hal "zona
penerimaan" di mana mereka mau menerima otoritas majikan mereka. Tapi dalam zona itu,
seorang "individual, yang tidak mengaktifkan kemampuan kritisnya sendiri, membiarkan
keputusan orang lain yang disampaikan kepadanya untuk membimbing pilihannya sendiri"
(Simon, 1976, 151).
Simon memberi gambaran yang sangat baik tentang apa yang dilibatkan kepatuhan itu.
Tapi, keterbatasan dari gambaran ini juga harus diingat. Pada umumnya karyawan
cenderung tidak mempermasalahkan setiap insiden yang moralitasnya dipertanyakan.
Kadangkala karena kelambanan moral. Dan pada kesempatan lain, karena keengganan
kalau-kalau nantinya cuma menambah beban keluhan, kerelaan memberikan peluang
tertentu kepada majikan mereka., atau bahkan karena keinginan menyelamatkan argumen
dan risiko kemungkinan kehilangan pekerjaan akibat pelanggaran yang paling serius.
Kendati kepatuhan otomatis yang ada dalam "zona penerimaan" atas otoritas majikan ini
dapat dipahami, ada juga risikonya, yakni membuat orang buta dan tidak memikirkan lagi
soal-soal moral. Lantas permasalahan yang muncul adalah bahwa batas-batas toleransi itu
dapat dengan mudah diperluas dan dibenarkan dengan dalih yang seolah-olah bila dituntut
oleh standar yang memang sudah selayaknya. Maka, ukuran "zona penerimaan" seseorang
dapat menjadi ukuran kurangnya integritas moral individu tersebut. Untuk menghindari
problem ini, karyawan harus bersikap reflektif terhadap sejauh mana pembenaran "zona
penerimaan" mereka pada otoritas majikan. Maka, dari satu sisi mereka tidak pernah boleh
menggantungkan telaah sikap kritis mereka atas perintah majikan seperti yang dilukiskan
Simon.
Maka dari itu, dari arah lain kita telah mencapai kesimpulan yang sama dalam bagian
terakhir ini: Sebagai profesional, rekayasawan mempunyai kewajiban untuk menerima
otoritas institusional majikan. Tapi ini bukan kewajiban mematuhi secara membabi buta.
Otonomi profesional menghendaki agar orang melakukan penilaian independen, kendatipun
tidak berarti memandang rendah petunjuk yang sah. Tugas moral dasariah rekayasawan

15
yang dibayar adalah di satu pihak tanggap atas kewajiban mereka mematuhi majikan dan di
pihak lain melindungi dan melayani masyarakat dan klien. Dalam banyak hal sebenarnya
tidak ada konflik antara keduanya. Tapi bila, kadangkala, benar-benar terjadi konflik, konflik
itu harus diselesaikan dengan menerapkan penilaian moral yang otonom.
Loyalitas
Marilah kita sekarang kembali sejenak kepada topik loyalitas pada perusahaan dan majikan,
sebuah topik yang disinggung-singgung dalam hubungannya dengan kasus Ford pada awal
bab ini. Kata "loyalitas" mengandaikan sesuatu yang lebih daripada sekadar pengakuan dan
penerimaan akan otoritas majikan. Kata ini menyiratkan, paling tidak dalam bahasa lumrah,
melakukannya karena motif- motif tertentu. Orang yang membenci majikan dan perusahaan
dan yang patuh dengan ogah-ogahan dan rasa dendam tidak dianggap loyal. Seorang yang
loyal paling tidak memperlihatkan bentuk kepedulian yang tulus dalam melayani ke-
pentingan mereka yang diloyalinya.
Sebenarnya ada dua konsep loyalitas yang berbeda. Menurut konsep pertama, bersikap
loyal dan setia berarti berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban moralnya kepada seseorang
atau organisasi, dan melakukannya dengan keikhlasan, dengan sikap pengabdian dan
keterikatan serta identifikasi pribadi (Ladd, 1967, 98). Dalam makna ini loyalitas secara
inheren merupakan hal yang baik. Memang, ini sebuah keutamaan moral.
Menurut konsep kedua, kontrasnya, loyalitas tidak secara otomatis merupakan hal yang
baik. Di sini, bersikap loyal dan setia berarti mengabdi dan patuh atau dengan penuh
semangat bersikap mendukung alasan, orang, atau organisasi tertentu, tapi tanpa perlu
karena (dan tidak pula dengan sesuatu cara dibatasi oleh) kewajiban moral. Dalam arti ini,
orang yang loyal berusaha mendukung kepentingan apa pun atau siapa pun yang mereka
loyali, dan orang itu melakukannya bukan karena perhatian yang tulus. Tapi apakah baik
atau wajib bersikap loyal dengan cara seperti ini tentu banyak tergantung pada orang,
organisasi, atau alasan khusus yang menjadi sasaran loyalitas itu, dan tergantung pada
situasi di mana loyalitas itu dilaksanakan. Ada kewajiban moral untuk tidak bertindak loyal
dalam situasi-situasi di mana dapat terjadi pemerkosaan atas kewajiban-kewajiban moral
yang penting (Baron, 1984).
Dari sini, loyalitas kepada majikan dalam arti kedua ini dapat disalaharahkan dalam dua
cara: (1) atas dasar suatu kesalahan tentang apa yang dipandang baik bagi perusahaannya
(seperti pada kasus Ford Motor yang membuka bab ini), dan (2) lewat kegagalan untuk
menjadi sejalan dengan kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain.
Bila sejumlah kode etik menyatakan bahwa hendaknya rekayasawan loyal terhadap
majikan, atau bahwa mereka hendaknya bertindak sebagai "pelaku atau orang kepercayaan
yang setia" bagi majikan atau klien, pada umumnya kata itu dimaksudkan dalam arti

16
moralnya, sebagai dianjurkan oleh subjudul di bawah himbauan untuk menjadi pelaku dan
orang kepercayaan yang setia. Secara tipikal, subjudul-subjudul sedemikian mendaftar
kewajiban-kewajiban moral khusus: menghindari konflik kepentingan, memberi informasi
kepada majikan tentang kemungkinan konflik kepentingan, melindungi informasi
konfidensial, jujur dalam membuat penaksiran, dan mengakui kekeliruan yang dibuat, dan
sebagainya.
Namun penting diingat kemungkinan adanya ambiguitas dalam membicarakan loyalitas.
Panggilan loyalitas kepada perusahaan dimaksudkan lebih daripada sekadar panggilan
untuk memenuhi kewajiban moral pribadi, dan mungkin saja panggilan ini melibatkan
makna konsep loyalitas kedua. Ini dapat berupa dorongan identifikasi emosional dengan,
dan komitmen pribadi terhadap, kebaikan perusahaan yang tak terucapkan. Mendorong
loyalitas kepada seorang majikan bahkan dapat berarti merekomendasikan kepatuhan dan
pengabdian tanpa tanya kepada majikan itu.
Loyalitas dan kesetiaan dalam arti kedua ini dapat sangat bernilai dalam menciptakan
iklim kepedulian dan komitmen timbal balik terhadap tujuan bersama antara para anggota
dan organisasinya. Loyalitas sedemikian dapat menambahkan suatu dimensi personal dan
manusiawi pada lingkungan kerja, maupun sebagai bantuan untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi tersebut. Namun, dalam beberapa situasi, loyalitas juga mengandung potensi
untuk membuat karyawan menyepelekan kewajiban moral yang lebih luas. Sebab, loyalitas
dapat mendorong sikap tidak kritis, sehingga apa yang baik bagi perusahaannya otomatis
baik bagi masyarakat.

KONFLIK KEPENTINGAN
Rekayasawan diharapkan menghindari konflik kepentingan dan melindungi informasi
konfidensial. Secara tradisional, kedua kewajiban ini diberi tempat istimewa dalam kode-
kode etik kerekayasaan, dalam pernyataan kebijakan manajemen, dan dalam hukum.
Memang, selain kewajiban mengikuti petunjuk yang sah, barangkali kedua kewajiban itulah
yang merupakan aspek-aspek loyalitas kepada majikan dan perusahaan yang paling
ditekankan. Bagian ini akan memfokuskan diri pada konflik-konflik kepentingan, sedangkan
pasal mendatang tentang konfiden- sialitas.
Definisi
Dalam arti luas, konflik kepentingan terjadi bilamana orang-orang atau kelompok- kelompok
memiliki kepentingan yang bila dikejar akan membuat mereka tidak dapat memenuhi paling
tidak satu dari kewajiban-kewajiban mereka. Di sini kita memfokuskan diri pada kewajiban
karyawan untuk melayani kepentingan majikan dan perusahaan. Maka, kita akan
mengartikan "konflik kepentingan karyawan" sebagai segala situasi di mana karyawan

17
memiliki kepentingan yang bila dikejar mungkin akan membuat mereka tidak dapat
memenuhi kewajiban mereka untuk melayani kepentingan majikan atau perusahan.
Kadangkala kepentingan demikian mencakup melayani peran profesional lain- katakan,
sebagai konsultan bagi perusahaan pesaing. Tapi kadang pula lebih berupa kepentingan
pribadi, seperti melakukan investasi pribadi yang besarnya lumayan dalam perusahaan
pesaing.
Kepentingan-kepentingan sampingan pada umumnya dipahami sebagai ancaman
terhadap pemenuhan kewajiban yang berkaitan dengan majikan dalam satu cara utama:
Kepentingan itu memiliki potensi membengkokkan penilaian dari paling tidak beberapa
orang yang merasa dirinya ada dalam situasi sedemikian. Maka, definisi alternatif dari
konflik kepentingan karyawan adalah sebagai berikut: Situasi di mana karyawan
mempunyai kepentingan sampingan yang cukup substansial sehingga secara potensial dapat
mempengaruhi penilaian independen mereka, atau penilaian independen orang tipikal
dalam situasi mereka, dalam melayani kepentingan perusahaan. Kualifikasi tentang "orang
tipikal" cukup penting. Mungkin saja ada bukti konklusif bahwa orang yang sebenarnya
terlibat tidak pernah membiarkan suatu kepentingan sampingan mempengaruhi penilaian
mereka. Tapi mereka masih dapat dikatakan ada dalam situasi konflik kepentingan juga.
Ada dalam situasi demikian tidak berarti sekadar berhadap-hadapan dengan
kepentingan-kepentingan yang saling berkonflik (Margolis, 1979, 361). Seorang mahasiswa,
misalnya, mungkin saja memiliki kepentingan untuk menjadi yang terbaik dalam empat
ujian akhir. Tapi ia yakin bahwa hanya tersedia waktu yang cukup untuk mempelajari tiga
matakuliah, dan ia terpaksa memilih salah satu yang mau dikalahkannya. Atau, seorang
investor benar-benar berhasrat menanam modal dalam dua macam saham, tapi ia hanya
punya dana yang cukup untuk satu investasi saja. Dalam kasus ini, "kepentingan-
kepentingan yang berkonflik" berarti seseorang mempunyai dua atau lebih keinginan yang
tidak semuanya dapat dipenuhi dalam situasi tersebut. Tapi tidak ada anjuran bahwa
mengejar semua kepentingan itu secara moral salah atau problematis. Sebaliknya, dalam
konflik kepentingan, kerap kali secara fisik atau ekonomis mungkin saja mengejar semua
kepentingan yang ada dalam konflik itu, tetapi secara moral persoalan tentang apakah orang
memang harus bertindak demikian akan menjadi problematis.
Konflik kepentingan harus dibedakan dari dilema moral, meskipun dalam sejumlah
situasi keduanya dapat saja terlibat. Dilema moral terjadi bila dua atau lebih kewajiban, hak,
atau cita-cita moral berkonflik dan tidak semua dapat dipenuhi. Sebaliknya, mungkin sering
terjadi bahwa seorang karyawan terperangkap dalam konflik kepentingan untuk mengejar
kewajiban terhadap majikan dan kepentingan sampingan.Beberapa Contoh
Ada berbagai macam situasi yang dapat menciptakan konflik kepentingan bagi karyawan.

18
Salah satunya yang telah disebutkan adalah memiliki kepentingan dalam bisnis pesaing. Ini
dapat berarti benar-benar bekerja bagi pesaing itu sebagai karyawan atau konsultan. Atau
berupa pemilikan sebagian atau saham yang cukup besar dalam bisnis pesaing.
Variasi dari tipe situasi ini adalah bila para rekayasawan bersiap-siap meninggalkan
korporasi untuk membentuk bisnis saingan mereka sendiri. Ini jelas menjadi konflik
kepentingan bila mereka membujuk para pelanggan menjauhi majikan mereka yang
sekarang sedangkan pada saat ini mereka masih bekerja untuk majikan itu.
Kategori penting kedua melibatkan penggunaan informasi "dalam" untuk memperoleh
keuntungan atau memulai kesempatan bisnis bagi diri sendiri, keluarga sendiri, atau teman-
teman sendiri. Maka, misalnya, bisa saja rekayasawan mem- beritahu teman-teman mereka
tentang rencana korporasi mereka untuk melakukan merger yang akan sangat menaikkan
nilai saham perusahaan lain. Dengan berbuat demikian, mereka memberi teman-teman itu
suatu batas investasi yang menjanjikan pengembalian yang tinggi. Secara umum,
penggunaan segala rahasia perusahaan oleh karyawan demi perolehan pribadi dianggap
mengancam kepentingan perusahaan yang diandaikan dilayani oleh karyawan yang
bersangkutan, dan dari sebab itu menjadi sebuah konflik kepentingan.
Variasi tipikal ketiga terjadi bila karyawan mendapat keuntungan dari keterlibatan
pribadi dengan pemasok, subkontraktor, atau pelanggan. Contoh yang jelas adalah
menerima suap yang secara langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi penilaian. Suap
bisa dalam bentuk uang tunai, hadiah, pinjaman, layanan, wisata, atau hiburan. Contoh jelas
lainnya adalah bekerja bagi subkontraktor atau pemasok yang berhubungan dengan
korporasinya. Konflik kepentingan juga terjadi bila orang memiliki saham yang substansial
atau investasi lainnya dalam perusahaan dengan mana perusahaannya sedang melakukan
bisnis.
Kadang kala sulit menentukan kapan persisnya terjadi konflik kepentingan. Apakah
memiliki sejumlah saham dalam perusahaan, yang dengan perusahaan itu kadang orang
punya urusan, akan berarti konflik kepentingan? Dan bagaimana soal traktiran makan siang
oleh para penjual pada acara sales presentation? Atau fulpen, bolpoin, atau minum-minum
gratis dari para salesperson? Bagaimana dengan hadiah yang diyakini lebih karena
persahabatan ketimbang sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi penilaian?
Garis besar yang digunakan pada pasal-pasal etika fundamental dari Accredita- tion
Board for Engineering and Technology (ABET) terasa memberikan sikap yang tegas terhadap
"kemurahan hati" seperti itu: "Rekayasawan hendaknya tidak meminta ataupun menerima,
langsung atau tidak langsung, dari kontraktor, agen- agen, atau pihak-pihak lain yang
berurusan dengan klien atau majikan mereka dalam kaitannya dengan pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab mereka" (Pasal 4-e). Namun rata-rata majikan tentu menganggap

19
posisi ini berlebihan. Pada umumnya kebijakan perusahaan melarang segala pemberian yang
mempunyai nilai lebih ketimbang "nominal"-nya, atau yang memiliki potensi realistis untuk
menyebabkan pembiasan dalam hal penilaian. Sebagiannya, kriteria khusus untuk nilai
"nominal" adalah apa yang secara luas dan terbuka diterima sebagai praktek bisnis normal.
Untuk sebagian, ini ditentukan oleh kepekaan si orang yang bersangkutan tentang apa yang
mungkin akan mempengaruhi penilaiannya. Dan untuk sebagian pula, ini harus ditimbang-
timbang menurut bagaimana nanti persepsi (atau mispersepsi) orang lain terhadap
pemberian itu. Perusahaan-perusahaan juga secara tipikal memformulasikan kebijakan-
kebijakan yang menyatakan pemberian salesperson manakah yang dapat dianggap
nonnominal: misalnya, barang yang harganya lebih dari $10, atau sejumlah barang yang
kalau ditotal harganya melebihi $30 per tahun.
Status Moral Konflik Kepentingan
Masih ada banyak contoh konflik kepentingan lain yang dapat kita sebutkan. Misalnya,
mengambil tenaga luar tambahan-ngobyek-dalam situasi-situasi di mana tindakan ini dapat
merusakkan kinerja pekerjaan (Reed, 1970, 19-23). Dan ada kasus-kasus yang melibatkan
informasi konfidensial, yang akan didiskusikan dalam bagian mendatang. Konflik
kepentingan dapat muncul dalam begitu banyak cara, dan dengan berbagai macam tingkat
kepelikannya. Tapi marilah kita sekarang bertanya: Apa sih salahnya karyawan mengalami
konflik kepentingan?
Bagian terbesar jawaban itu sudah jelas dari definisi kita: Konflik kepentingan karyawan
terjadi bila karyawan mempunyai kepentingan-kepentingan yang bila dikejar dapat
membuat mereka tidak dapat memenuhi kewajiban melayani kepentingan perusahaan di
mana mereka bekerja. Konflik kepentingan demikian harus dihindari karena dapat
menimbulkan ancaman yang membuat orang tak dapat sepenuhnya memenuhi kewajiban-
kewajibannya.
Namun, masih ada banyak yang perlu dikatakan. Mengapa sekadar ancaman tentang
mungkin timbulnya kerugian segera divonis salah? Bagaimana kalau ternyata dari upaya-
upaya yang mengakibatkan konflik kepentingan itu pada akhirnya justru dihasilkan suatu
akibat baik yang cukup berarti?
Dalam kenyataan, menimbulkan konflik kepentingan tidak selalu tidak etis! Dalam
praktek memang ada sejumlah konflik yang tak terhindarkan, atau bahkan dapat diterima.
Sebuah ilustrasi tentang ini adalah bagaimana pemerintah mengizinkan para karyawan
pabrik pesawat terbang, seperti Boeing atau McDonnell Douglas, bekerja sebagai inspektur
pemerintah untuk Federal Aviation Agency (FAA). FAA ditugasi mengatur pembuat
pesawat terbang dan melakukan inspeksi kualitas dan keselamatan yang objektif atas
pesawat yang dibuat. Tentu saja peran ganda sebagai inspektur pemerintah dan karyawan

20
pembuat pesawat terbang yang diinspeksi dapat mengakibatkan konflik kepentingan dan
penilaian yang bias. Tapi dengan penyaringan yang seksama atas calon-calon inspektur, ke-
cenderungan terjadinya bias semacam itu dianggap berlebihan menurut keperluan praktis
inspeksi pesawat terbang. Pilihan yang tersedia adalah memperbanyak jumlah pekerja
pemerintah nonindustri (yang berarti menambah beban wajib pajak) atau tidak mengadakan
inspeksi pemerintah sama sekali (dengan risiko keselamatan umum).
Bilamana konflik kepentingan tak terhindarkan atau masih masuk akal, karyawan
masih tetap diwajibkan memberi tahu majikan serta mendapatkan persetujuan. Ini
mengandaikan jawaban yang lebih penuh terhadap mengapa konflik-konflik
kepentingan pada umumnya dicegah: Kewajiban profesional kepada majikan (1) sangat
penting dalam hal bahwa dalam kebanyakan kasus kewajiban itu mengatasi segala daya
tarik terhadap kepentingan pribadi atas pekerjaan dan (2) dengan mudah terancam oleh
kepentingan pribadi (dengan kodrat manusiawi) dengan cara tertentu yang memerlukan
perlindungan ekstra kuat untuk menjamin bahwa kewajiban itu dipenuhi oleh
karyawan.
Sebagai butir terakhir, harus kita perhatikan pula bahwa terlihatnya pencarian
keuntungan pribadi dengan mengorbankan atasan pun dianggap tidak etis karena
terjadinya tindakan yang salah dapat merugikan perusahaan sama besarnya dengan
setiap bias yang dapat dihasilkan dari praktek sedemikian. Misalnya, menggunakan
informasi "dari dalam" untuk mendapatkan keuntungan pribadi bagi diri sendiri atau
keluarga sendiri mungkin tidak secara langsung melukai perusahaan —memang
sebenarnya ini hanya secara langsung merugikan mereka yang karenanya kehilangan
kesempatan yang adil untuk berkompetisi mendapatkan keuntungan itu. Tapi bila
aktivitas demikian diketahui umum, citra perusahaan itu dalam masyarakat dapat
ternoda—suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap majikan.
Pertanyaan untuk Studi
1 "Fakta: Insinyur Doe bekerja sebagai karyawan tetap pada sebuah pabrik pembuat
perkakas pemancar radio sebagai seorang sales representative. Selain itu, Doe juga
melakukan pelayanan konsultasi teknik terhadap organisasi-organisasi dalam bidang
radio, termasuk analisis atas problem teknis yang mereka alami dan, bila dikehendaki,
rekomendasi atas beberapa perkakas pemancar radio tertentu yang dibutuhkan.
Laporan teknis Doe kepada klien- kliennya disiapkan dalam bentuk yang sesuai untuk
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh badan pemerintah yang memegang
yurisdiksi atas fasilitas-fasilitas pemancar radio. Dalam beberapa kasus, laporan teknis
Doe merekomendasikan penggunaan perkakas pemancar yang diproduksi oleh ma-
jikannya." "Pertanyaan: Secara etis, bolehkah Doe memberikan pelayanan konsultasi

21
seperti di atas?" (NSPE Opinions of the Board of Ethical Revierv, Kasus No. 75.10).
2 "Henry berada dalam posisi yang dapat mempengaruhi pemilihan supplier untuk
perkakas dalam volume besar yang dibeli perusahaannya setiap tahunnya.
Sekitar Natal, biasanya ia mendapat sejumlah "hadiah" kecil dari beberapa salesman,
mulai dari bolpoin yang tidak mahal sampai sebotol minuman mahal. Tapi, tahun ini
seorang salesman mengiriminya sebuah tas mahal yang dicap dengan inisial Henry"
(Kohn and Hughson, 1980, 104). Apakah Henry sebaiknya menerima pemberian itu?
Apakah sebaiknya ia melakukan serangkaian tindakan lebih lanjut?
3 "Andaikan Anda seorang insinyur yang berkongsi dengan Richard Jones. Pada tanggal
10 Mei, Anda jual saham Anda kepada Jones, dan sehari kemudian Anda ditunjuk
sebagai direktur pekerjaan umum daerah Anda. Beberapa hari kemudian (dan ini
sangat mengejutkan Anda), Jones menjual mantan perusahaan Anda itu kepada
Octopus Enterprises, Inc., dan ia menjadi seorang pejabat dalam perusahaan itu.
Sekarang tanggal 20 Mei. Anda sudah menimbang-nimbang dan akhirnya
memutuskan memberikan kontrak kerekayasaan yang penting kepada Octopus.
Apakah Anda keliru kalau melakukannya?" (Wells, Jones, Davis, 1986, 44;
berdasarkan pada NSPE Opinions of the Board of Ethical Review, Kasus No. 77.9).
Bandingkan dan kontraskan kasus ini dengan kasus Spiro Agnew yang dipaparkan
dalam permulaan Bab 2.
4 Bacalah studi kasus pada permulaan Bab 2. Apakah Brown and Root Corporation
terjebak dalam konflik kepentingan karena menjadi desainer asli jalan itu dan
sekaligus pengawas pembangunannya? Bila ya, apakah konflik itu dapat diizinkan?

KONFIDENSIALITAS
Ada banyak contoh tentang kegagalan dalam hal melindungi informasi konfiden- sial
yang termasuk dalam konflik kepentingan. Meskipun demikian, pentingnya melindungi
informasi demikian merupakan kewajiban tersendiri bagi rekayasawan dan merupakan
hal vang penting. Memang, memegang kepercayaan adalah salah satu kewajiban
profesional yang paling sentral dan paling luas diakui. Pembela harus menjaga
kerahasiaan informasi yang dikatakan sebagai konfidensial oleh kliennya, dokter dan
konselor harus menyimpan informasi konfidensial pasien mereka, demikian pula
rekayasawan yang menjadi karyawan harus menjaga informasi istimewa tentang
perusahaan mereka serta kepercayaan klien mereka.
Definisi
Informasi macam manakah yang harus dijaga konfidensialitasnya oleh rekayasawan?
Sebenarnya, di sini terlibat dua pertanyaan. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah

22
"informasi konfidensial"? Kedua, persisnya bagaimana kita dapat mengidentifikasikan
data manakah yang harus dijaga kerahasiaannya?
Pertanyaan pertama lebih mudah dijawab. Informasi konfidensial adalah informasi yang
prima facie harus dijaga kerahasiaannya. "Menjaga kerahasiaan" merupakan ungkapan
yang relasional. Selalu saja ada alasan untuk bertanya, "Rahasia menurut siapa?" Dalam
kasus beberapa organisasi pemerintahan, seperti FBI dan CIA, telah dikembangkan
sistem-sistem yang sangat rumit untuk mengklasifikasikan informasi yang
mengidentifikasikan individu atau kelompok-kelompok manakah yang mendapatkan
akses terhadap informasi apa. Dalam badan-badan pemerintahan lain serta perusahaan-
perusahaan swasta, rekayasawan serta karyawan lain biasanya diharapkan menjaga
informasi yang diberi label "konfidensial" dari orang-orang yang tak berhak baik di
dalam maupun di luar organisasi tersebut.
Pertanyaan kedua, yang menyangkut kriteria identifikasi informasi manakah yang
harus diperlakukan sebagai konfidensial, agak sedikit lebih sulit dijawab. Salah satu
kriteria yang dinyatakan dalam kode etik Accrediting Board for Engi- neering and
Technology adalah: "Rekayasawan hendaknya memperlakukan informasi yang sampai
kepada mereka dalam alur tugas mereka sebagai konfidensial" (Pasal 4-i). Tapi ini terlalu
luas. Sebagian informasi yang didapatkan dalam rangka tugas sudah menjadi barang
rutin dan diketahui secara luas. Misalnya, informasi tentang fasilitas-fasilitas perusahaan
yang baru atau rencana-rencana yang telah diketahui setiap orang. Atau sementara
bekerja pada sebuah proyek, seorang rekayasawan menjadi terbiasa dengan proses-proses
teknis yang diketahui secara umum dalam industri tersebut.
Kriteria lain untuk menentukan informasi mana yang konfidensial adalah informasi
yang bila diketahui umum akan merugikan perusahaan atau klien bersangkutan. Namun
selalu ada pertanyaan tentang informasi seperti apa yang akan menimbulkan akibat
seperti itu. Untuk memberikan jawaban yang tepat orang membutuhkan bakat menjadi
dukun ramal.
Kebanyakan dunia usaha secara diam-diam mengambil kriteria lain: Informasi
konfidensial adalah segala informasi yang ingin dirahasiakan oleh majikan supaya dapat
secara efektif bersaing dengan rival-rival bisnisnya. Seringkali ini dipahami sebagai segala
data tentang bisnis perusahaan tersebut atau proses-proses teknis yang belum diketahui
umum. Meskipun agak kabur, kriteria ini jelas menunjuk majikan sebagai sumber
keputusan utama untuk menentukan informasi manakah yang harus diperlakukan
sebagai hal yang konfidensial. Kriteria inilah yang akan kita ambil.

23

Anda mungkin juga menyukai