“Kegagalan” Konstituante
Konstituante adalah lembaga negara
Indonesia yang ditugaskan untuk
membentuk Undang – Undang Dasar
baru atau Konstitusi baru untuk
menggantikan UUDS 1950. Pembentukan
UUD baru ini diamanatkan dalam pasal
134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa
“Konstituante (lembaga pembuat UUD)
bersama-sama pemerintah selekas-
lekasnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini”.
Kegagalan Konstituante dalam
menyusun UUD yang baru terjadi karena
sering terjadi perpecahan pendapat
antara anggota Konstituante. Terlebih,
konstituante terpecah ke dalam dua
kelompok besar yang saling bertentangan,
yaitu kelompok Islam dan kelompok
Nasionalis. Kelompok Islam menghendaki
dasar Negara Islam. Sedangkan kelompok
nasionalis menghendaki dasar Negara
Pancasila.
Karena adanya perpecahan dan
ketidakstabilan politik seperti yang
disebutkan di atas, Presiden Soekarno
beranggapan bahwa Sistem Demokrasi
Liberal tidak cocok untuk dilaksanakan di
Indonesia, sehingga pada tanggal 21
Februari 1957, Presiden Soekarno
mengemukakan konsepnya yang terkenal
dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya
antara lain (1) Sistem Demokrasi Liberal
akan diganti dengan Demokrasi
Terpimpin, (2) Akan dibentuk “Kabinet
Gotong Royong” yang menteri-menterinya
terdiri atas orang –orang dari empat
partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI),
(3) Pembentukan Dewan Nasional yang
terdiri atas golongan-golongan fungsional
dalam masyarakat.
3. Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin adalah sebuah
sistem demokrasi di mana seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada
pemimpin negara, kala itu Presiden
Soekarno. Demokrasi terpimpin muncul
seiring keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan Tap MPRS Nomor
VIII/MPRS/1959.
Dapat diduga bahwa dengan sistem
seperti ini kedudukan Soekarno sebagai
Presiden jauh lebih kuat dari sistim
parlementer sebelumnya, karena
kekuasaan eksekutif dan legislatif
dipusatkan di tangan Presiden. Untuk
meyakinkan agar sistem demokrasi
Terpimpin bisa diterima, Soekarno selalu
mengatakan bahwa sistem demokrasi
parlementer yang berlaku saat itu
menjadi penyebab utama kerawanan
politik.
Di masa Demokrasi Terpimpin
terdapat tiga kekuatan politik utama,
yakni Sukarno, TNI, dan PKI.
1. Unsur pertama adalah Presiden RI
sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Perdana Menteri,
Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden
seumur hidup, yakni Ir. Sukarno yang
akrab dipanggil Bung Karno. Anggota
Kabinet Dwikora masuk dalam unsur
kekuatan ini.
2. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu,
Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) yang
cenderung sejalan dengan Presiden dan
Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris
Nasution) yang lebih keras terhadap
pemerintah. Soeharto awalnya termasuk
dalam Kubu Nasution, walaupun kelak
mendirikan kubu sendiri. Di satu sisi
terdapat pula kubu perwira revolusioner
yang memiliki kedekatan dengan PKI dan
Sukarno. Kubu ini berada di dua sisi.
3. Unsur PKI berkekuatan sekitar tiga
juta anggota, Ini didukung oleh sekitar 17
juta anggota organisasi-organisasi
onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan
Gerwani. Dengan jumlah itu PKI
merupakan partai komunis terbesar
ketiga di dunia setelah RRT dan Uni
Soviet.
2. Pemberontakan DI/TII
Berawal dari hasil perjanjian
Renville, sesuai dengan perjanjian
Renville, maka TNI harus meninggalkan
daerah-daerah yang dikuasai Belanda.
Sementara itu laskar Hisbullah dan
Sabilillah di bawah pengaruh
Kartosuwirjo tidak bersedia pindah atau
meninggalkan Jawa Barat, bahkan
mereka membentuk Tentara Islam
Indonesia (TII). Bersama dengan TII,
kemudian Kartosuwirjo menyatakan
pembentukan Darul Islam pada Agustus
1949.
DII/TII dengan leluasa melakukan
gerakannya dengan merusak dan
membakar rumah penduduk,
membongkar jalan kereta api, serta
menyiksa dan merampas harta benda
yang dimiliki oleh penduduk di daerah
tersebut. Kemudian ketika pasukan
Siliwangi kembali ke Jawa Barat,
Kartosuwirjo tidak mau mengakui TNI,
kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu
artinya Kartosuwirjo tidak mengakui
pemerintah RI di Jawa Barat.
Pemerintah mengerahkan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus
kelompok ini. Pada tahun 1960 para
pasukan Siliwangi bekerja sama dengan
rakyat untuk melakukan operasi
“Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk
menumpas kelompok DI/TII tersebut.
Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan para
pengawalnya di tangkap oleh pasukan
Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang
berlangsung di Gunung Geber, Majalaya,
Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah
Angkatan Darat menyatakan bahwa
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
dijatuhi hukuman mati, dan setelah
Sekarmadji meninggal, pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.
3. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil atau
disebut APRA merupakan pemberontakan
yang paling awal terjadi setelah Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda
sebagai Negara RIS. Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) di pimpinan oleh
Kapten Raymond Westerling dan didalangi
oleh golongan kolonialis Belanda.
Landasan yang mendorong gerakan APRA
adalah kepercayaan rakyat Indonesia
akan datangnya Ratu Adil. Westerling
memahami bahwa sebagian rakyat
Indonesia yang telah lama menderita
karena penjajahan, baik oleh Belanda
atau Jepang, mendambakan datangnya
suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari
1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah
sebuah ultimatum. Westerling menuntut
agar Pemerintah RIS menghargai negara-
negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan.
Gerakan tersebut dapat digagalkan
dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga
menjadi anggota Kabinet RIS sebagai
Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II
dapat segera ditangkap, sedangkan
Westerling sempat melarikan diri ke luar
negeri pada 22 Februari 1950 dengan
menumpang pesawat Catalina milik
Angkatan Laut Belanda. Dengan
kaburnya Wasterling, maka gerakannya
pun jadi bubar.
5. Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS)
adalah daerah yang diproklamasikan
merdeka pada 25 April 1950 dengan
maksud untuk memisahkan diri dari
Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik
Indonesia Serikat). Namun oleh
Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai
pemberontakan.
Pemberontakan RMS yang didalangi
oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah
Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya
Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai
Timur Besar terlebih dahulu melakukan
propaganda terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk memisahkan
wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI.
Cara yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu, dengan mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh Dr.
Leimena. Namun, misi yang diajukan
tersebut ditolak oleh Soumokil. Karena
upaya perdamaian yang diajukan oleh
pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer
untuk membersihkan gerakan RMS
dengan mengerahkan pasukan Gerakan
Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin
oleh seorang kolonel bernama A.E
Kawilarang, Dengan jatuhnya pasukan
RMS yang berada di daerah Ambon, maka
hal ini membuat perlawanan yang
dilakukan oleh pasukan RMS dapat
ditaklukkan.
6. Pemberontakan PRRI-Permesta
Terjadi ketidakpuasan dari beberapa
daerah yang berada di wilayah Sumatra
dan Sulawesi terhadap alokasi biaya
pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah
dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan
masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu
terbentuknya dewan militer daerah yaitu
Dewan Banteng yang berada di daerah
Sumatera Barat pada tanggal 20
Desember 1956. Dewan ini diprakarsai
oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan
Panglima Divisi IX Banteng) bersama
dengan ratusan perwira aktif dan para
pensiunan yang berasal dari Komando
Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan
tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein
yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB
diangkat menjadi ketua Dewan Banteng.
PRRI membentuk sebuah
Pemerintahan dengan anggota
kabinetnya. Pada saat pembangunan
Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI
memperoleh dukungan dari PERMESTA
dan rakyat setempat. Pada tanggal 2
Maret 1957, di Makassar yang berada di
wilayah timur Negara Indonesia terjadi
sebuah acara proklamasi Piagam
Perjuangan Republik Indonesia
(PERMESTA) yang diproklamasikan oleh
Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual.
Pada hari berikutnya, PERMESTA
mendukung kelompok PRRI dan pada
akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu
disebut PRRI/PERMESTA.
Untuk melancarkan penumpasan
terhadap Pemberontakan tersebut,
pemerintah membentuk sebuah pasukan
Operasi Militer yang operasinya disebut
Operasi Merdeka pada bulan April 1958
dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol
Rukminto Hendradiningrat. Organisasi
PERMESTA diduga mendapatkan bantuan
dari tentara asing, dan bukti dari bantuan
tersebut adalah jatuhnya pesawat yang
dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang
Warga negara Amerika) yang tertembak
jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei
1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad
Husein menyerahkan diri, dan pada
pertengahan tahun 1961, para tokoh-
tokoh yang bergabung dalam gerakan
PERMESTA juga menyerahkan diri.
7. Pemberontakan G30S/PKI
Peristiwa G30S merupakan puncak
kemelut politik, dari pertikaian kekuatan-
kekuatan politik yang bersumber pada
pertentangan (konflik) ideologi yang telah
berlangsung sebelumnya. Ideologi menjadi
sumber konflik, mengingat dalam sejarah
kepartaian di Indonesia, partai tumbuh
dan berkembang berdasarkan pada
ideologi tertentu. Di penghujung
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tiga
kekuatan politik hadir dipentas
perpolitikan Indonesia. Tiga kekuatan
tersebut adalah Soekarno sebagai sosok
yang memegang kekuasaan, Militer-TNI
AD sebagai penjaga kedaulatan negara
yang sekaligus memiliki peran sosial-
politik, dan PKI sebagai kekuatan politik
yang memiliki basis masa cukup kuat dan
sebagai satu-satunya kekuatan politik
yang mampu mengimbangi kekuatan
militer.
Puncaknya terjadi pada malam 30
September 1965. Terjadi penculikan para
jendral. Dari peristiwa tersebut membuat
ketujuh jendral tersebut meninggal dunia.
Setelah peristiwa puncak tersebut,
muncul berbagai pandangan dan saling
melempar tanggung jawab mengenai
siapa dalang dibalik peristiwa kejam
tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah
hari – hari tersebut. PKI yang dianggap
sebagai pihak yang bertanggung jawab
mendapat tekanan yang luar biasa.
Namun demikian Presiden Soekarno tetap
menghimbau rakyat untuk tetap bersatu
dan tidak termakan fitnah.
Himbauan Presiden Soekarno sudah
tidak lagi mampu untuk menenangkan
gejolak masyarakat yang pada masa itu
tersulut emosi oleh peristiwa tersebut.
Terjadi sebuah perpecahan di
masyarakat, PKI dianggap sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab.
Masyarakat secara leluasa menuntut
dibubarkannya PKI, tuntutan tersebut
yang sering dikenal dengan Tritura.
Bubarkan PKI, Perombakan kabinet
Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Soekarno mengeluarkan surat
perintah guna pengamanan
Pemerintahan, yang sampai saat ini
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR). Surat Perintah
Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan
kepada Mayjend Soeharto selaku
panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta
pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00
waktu setempat yang dibawa oleh
Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono.