Anda di halaman 1dari 23

LK 0.

1: Lembar Kerja Belajar Mandiri

Judul Modul Indonesia Masa Demokrasi


Liberal dan Demokrasi Terpimpin
Judul Kegiatan Belajar (KB) Kegiatan Belajar 1:
Kembali Ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Kegiatan Belajar 2:
Indonesia Masa Demokrasi
Liberal
Kegiatan Belajar 3:
Indonesia Masa Demokrasi
Terpimpin
Kegiatan Belajar 4:
Ancaman Disintegrasi Bangsa
Dan Usaha Penyelesaiannya
No Butir Refleksi Respon/Jawaban
1 Garis besar materi yang Kembali Ke Negara Kesatuan
dipelajari 1. Dari Konferensi Meja Bundar ke
Republik Indonesia Serikat
Konferensi Meja Bundar
diselenggarakan di kota Den Haag,
Belanda. Waktu pelaksanaannya
diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949
sampai 2 November 1949.
Ada beberapa tujuan diadakannya
Konferensi Meja Bundar ini antara lain
adalah :
1.Mengakhiri perselisihan antara
Indonesia dan Belanda dengan cara
melaksanakan perjanjian-perjanjian yang
sudah dibuat antara Republik Indonesia
dengan Belanda, khususnya mengenai
pembentukan Negara Indonesia Serikat
(RIS).
2. Dengan tercapainya kesepakatan Meja
Bundar, maka Indonesia telah diakui
sebagai negara yang berdaulat penuh oleh
Belanda, walaupun tanpa Irian Barat.
Penyerahan kedaulatan Belanda
terhadap Indonesia akhirnya disahkan
pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan
diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini
maka Indonesia berubah bentuk
negaranya berubah menjadi negara
serikat yakni Republik Indonesia Serikat
(RIS). Penyerahan kedaulatan menandai
pengakuan Belanda atas berdirinya
Republik Indonesia Serikat dan
wilayahnya mencakup semua bekas
wilayah jajahan HindiaBelanda secara
formal kecuali wilayah Irian Barat. Irian
barat diserahkan oleh Belanda setahun
kemudian.

2. Republik Indonesia Serikat sebagai


Transisi
Ide tentang negara yang bersatu
dalam sebuah visi kebangsaan setidaknya
bisa dimanifestasikan pada 1949. Lebih
tepatnya pada tanggal 27 Desember. Pada
tanggal itu, banyak negeri berkumpul dan
bersatu untuk membentuk sebuah negara
yang amat besar, yang bernama Republik
Indonesia Serikat.
Pada tanggal 20 Desember, kabinet
RIS terbentuk dengan Mohammad Hatta
sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini
terdiri atas 13 menteri dan tiga menteri
Negara, 11 orang diantaranya adalah
Republiken. Tokoh-tokoh terkemuka yang
duduk dalam kabinet ini antara lain dari
pihak Republik Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, Ir, Djuanda, Mr. Wilopo, Prof.
Dr. Supomo, dr. Leimena, Arnold
Mononutu, Ir, Herling Laoh, sedangkan
dari BFO adalah Sultan Hamid II dan Ide
Anak Agung Gde Agung.
Sistem pemerintahan federal sesuai
dengan KMB ternyata tidak berumur
panjang. Pengakuan kedaulatan yang
dilakukan pada tanggal 27 Desember
1949, itu justru mendorong gerakan
persatuan yang bukan saja muncul di
kalangan elit Indonesia, tetapi juga di
kalangan masyarakat bawah sendiri.
Gerakan ini menghendaki diubahnya
bentuk federalis menjadi bentuk negara
kesatuan.

3. UU Federal No. 7 Tahun 1950


Pemerintah RIS kemudian
merancang sebuah undang-undang yang
berfungsi menjadi jalan agar rancangan
konstitsusi yang baru dapat secara legal
dan resmi berlaku di Indonesia
menggantikan Konstitusi RIS.
Dengan jalan itu, tidak perlu
mengubah bentuk negara, tetapi cukup
mengganti konstitusi atau undang-
undang dasarnya, karena dalam undang-
undang dasar yang baru dicantumkan
pasal tentang bentuk negara. Untuk itu
kemudian dikeluarkan sebuah Undang-
Undang Federal No 7 tahun 1950, nama
lengkap ialah Undang-Undang tentang
perubahan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara.
Undang-Undang Federal No 7 itu
ditandangani oleh Presiden RIS Soekarno
dan Menteri Kehakiman RIS Prof.
Soepomo pada tanggal 15 Agustus 1950.
Dengan demikian saat undang-undang
federal tersebut resmi berlaku, otomatis
secara remi dan legal mulai diberlakukan
pula UUD S negara kesatuan atau yang
dikenal sebagai UUD S 1950
menggantikan Konstitusi RIS.

4. Dari RIS ke Republik Indonesia


Berikut faktor-faktor yang
melatarbelakangi pembubaran RIS:
a. Tidak sesuainya negara Republik
Indonesia Serikat dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat dengan tujuan
awal dan cita-cita proklamsi negara
Republik Indonesia pada tahun 1945.
b. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak
puas dengan hasil Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang melahirkan negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) sehingga
menyebabkan banyaknya demonstrasi
menuntut bergabung kedalam bagian dari
Republik Indonesia.
c. Bentuk negara federal merupakan
bentukan Belanda dibawah pimpinan Van
Mook sehingga orang yang menyetujui
bentuk negaara ini berarti setuju dengan
kembalinya kekuasaan Belanda di
Indonesia.
d. Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah
sistem pemerintahan dari kolonial
Belanda yang tidak menginginkan
kekuasaan dan pengaruhnya hilang
begitu saja dari Indonesia setelah
berkuasa lama.
e. Tidak hanya memecah belah persatuan
dan kesatuan RI namun RIS juga
menimbulkan masalah sosial, ekonomi,
dan politik yang mempengaruhi rakyat
Indonesia.
f. Pemerintah tidak berpihak kepada
rakyat namun lebih berpihak kepada
Belanda yang jelas-jelas hanya akan
menguasai kembali RI.
g. Pendukung unitarisme adalah anggota
kabinet sehingga menimbulkan gerakan
untuk membubarkan bentuk negara
federal dan mengembalikanya ke bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

Indonesia Masa Demokrasi Liberal


1. Sistem Pemerintahan Parlementer
UU Federal yang memuat naskah
UUDS 1950 adalah UU No. 56 1950 dan
mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
1950.
Dari ketentuan yang telah
ditetapkan dapat ditunjukkan bahwa
negara RI berbentuk Kesatuan.
Selanjutnya bentuk kesatuan ini akan
berasaskan desentralisasi. Ini
menunjukkan bahwa negara akan dibagi-
bagi menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
Negara kesatuan RI, sebagaimana
Republik Indonesia Serikat (RIS), adalah
menganut sistem pemerintahan Kabinet
Parlementer. Ketentuannya dapat dilihat
pada pasal 45 ayat (1) yang mengariskan
“Presiden ialah Kepala Negara”, begitu
juga pasal 83 UUDS 1950, menerangkan:
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak
dapat diganggu gugat.
2. Menteri-menteri bertanggung jawab
atas seluruh kebijaksanaan
Pemerintahan, baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri.

2. Kehidupan Politik Era Demokrasi


Liberal
Pada masa demokrasi liberal dalam
Indonesia, susunan kabinet yang
menjalankan roda pemerintahan
Indonesia, adalah sebagai berikut :
a. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21
Maret 1951)
Program pokok dari Kabinet Natsir
adalah a). Menggiatkan usaha keamanan
dan ketenteraman, b). Mencapai
konsolidasi dan menyempurnakan
susunan pemerintahan, c).
Menyempurnakan organisasi Angkatan
Perang, d). Mengembangkan dan
memperkuat ekonomi rakyat, e).
Memperjuangkan penyelesaian masalah
Irian Barat.
b. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3
April 1952)
Program pokok Kabinet Sukiman
adalah (1) Menjamin keamanan dan
ketenteraman, (2) Mengusahakan
kemakmuran rakyat dan memperbaharui
hukum agraria agar sesuai dengan
kepentingan petani, (3) Mempercepat
persiapan pemilihan umum, (4)
Menjalankan politik luar negeri secara
bebas aktif serta memasukkan Irian Barat
ke dalam wilayah RI secepatnya, dan (5)
Di bidang hukum, menyiapkan undang –
undang tentang pengakuan serikat
buruh, perjanjian kerja sama, penetapan
upah minimum, dan penyelesaian
pertikaian buruh.
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni
1953)
Program pokok dari Kabinet Wilopo
di dalam negeri adalah Menyelenggarakan
pemilihan umum (konstituante, DPR, dan
DPRD, Meningkatkan kemakmuran
rakyat, dan Meningkatkan pendidikan
rakyat, dan pemulihan keamanan.
Sedangkan untuk program luar ngeri
Kabinet Wilopo berfokus pada
Penyelesaian masalah hubungan
Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian
Barat ke pangkuan Indonesia, hingga
menjalankan politik luar negeri yang
bebas-aktif.
d. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli
1953 – 12 Agustus 1955)
Program pokok dari Kabinet Ali
Sastroamidjojo I adalah Meningkatkan
keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu, Pembebasan
Irian Barat secepatnya, Pelaksanaan
politik bebas-aktif dan peninjauan
kembali persetujuan KMB., Penyelesaian
Pertikaian politik. Kabinet Ali I memiliki
beberapa program kerja yang hampir
seluruhnya berhasil dilaksanakan seperti
mempersiapkan Pemilihan Umum untuk
memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September
1955, Menyelenggarakan Konferensi Asia-
Afrika tahun 1955, Konferensi Asia-Afrika
I ini disenggarakan di Bandung pada
tanggal 18-24 April 1955.

e. Kabinet Burhanuddin Harahap (12


Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Hasil atau prestasi yang berhasil
dicapai oleh Kabinet Burhanuddin
Harahap yaitu menyelenggarakan pemilu
pertama yang demokratis pada 29
September 1955 (memilih anggota DPR)
dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Terdapat 70 partai politik
yang mendaftar tetapi hanya 27 partai
yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai
politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan
PKI.
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret
1956 – 4 Maret 1957)
Program pokok kabinet ini disebut
Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, seperti
(a) Perjuangan pengembalian Irian Barat
(b) Pembentukan daerah-daerah otonomi
dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD (c) Mengusahakan
perbaikan nasib kaum buruh dan
pegawai (d) Menyehatkan perimbangan
keuangan negara (e) Mewujudkan
perubahan ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional berdasarkan
kepentingan rakyat.
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli
1959)
Program Kabinet Djuanda disebut
Panca Karya sehingga sering juga disebut
sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu
Membentuk Dewan Nasional, Normalisasi
keadaan Republik Indonesia,
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan
KMB, Perjuangan pengembalian Irian
Jaya, Mempergiat/mempercepat proses
Pembangunan.
h. Partai-Partai Besar Era Demokrasi
Liberal
1) Masyumi
Masyumi didirikan pada tanggal 7
November 1945 di Yogyakarta, melalui
sebuah kongres yang dihadiri tidak
kurang dari lima ratus organisasi sosial
keagamaan, yang mewakili semua
organisasi Islam yang ada. Hasil Kongres
memutuskan, mendirikan majelis syuro
pusat bagi umat Islam Indonesia, yang
secara resmi bernama Masyumi.

2) Partai Nasional Indonesia (PNI)


Perlu dicatat, PNI baru ini bukan
kelanjutan PNI yang didirikan Soekarno
pada tahun 1926, PNI ini terbentuk
melalui penggabungan (fusi) dari
beberapa partai yang memiliki asas dan
tujuan sama. Fusi tersebut menyepakati
berdirinya partai politik baru yang diberi
nama Partai Nasional Indonesia (PNI)
pada tanggal 29 Januari 1946 di Kediri,
yang diketuai oleh Mangoensarkoro.
3) Partai Sosialis Indonesia
Partai Sosialis Indonesia merupakan
pecahan (sempalan) dari partai Sosialis.
Diawali dengan adanya perbedaan paham
di kalangan Dewan Partai Sosialis,
tentang sikap, pendirian, visi, dan corak
melanjutkan perjuangan untuk
menyelamatkan dan menyelesaikan
revolusi nasional. Kelompok Syahrir,
mencabut keanggotaannya dan
menyatakan keluar dari Partai Sosialis.
Kemudian langkah berikutnya menyusun
atau mendirikan partai baru yang diberi
nama Partai Sosialis Indonesia, yang
secara resmi disahkan pada tanggal 9
September 1946.
4) Nahdlatul Ulama (NU)
Pada awalnya sebagai ormas Islam
yang bergerak di bidang sosial-
keagamaan dan pendidikan (Jam’iyyah),
didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari
1926 oleh KH Hasyim Asy’ari, dengan
nama Nahdlatul Ulama (NU) yang
diartikan sebagai Kebangkitan Ulama.
NU didirikan dengan tujuan membendung
usaha-usaha pembaharuan dalam Islam,
dengan mempertahankan ajaran
tradisional, selain sebagai forum
komunikasi antara berbagai pusat
pendidikan tradisional di Jawa. Kelahiran
NU merupakan reaksi atas gerakan
modernisasi Islam di Indonesia yang
dipelopori oleh kelompok
Muhammadiyah. Berbeda dengan
Muhammadiyah yang cenderung lebih
konsisten, tidak pernah mengubah
bentuknya sebagai organisasi keagamaan.
Sebaliknya, NU beberapa kali mengubah
bentuknya, dari organisasi keagamaan
berubah menjadi partai politik, dan pada
masa Orde Baru kembali ke khittah
sebagai organisasi keagamaan.
5) Partai Komunis Indonesia (PKI)
Sejarah PKI tidak bisa dilepaskan
dari Indische Social Democratissche
Vereeniging (ISDV) atau (Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda), yang didirikan
pada tahun 1914 oleh Henk Sneevliet.
Selanjutnya pada Kongres ISDV pada
bulan Mei tahun 1920, nama ISDV
diubah menjadi Perserikatan Komunis
Hindia (PKH), dengan Semaun sebagai
ketuanya. Perlu dicatat di sini PKH
merupakan partai pertama di Asia, yang
menjadi bagian dari Komunis
International. Kemudian pada tahun 1924
nama PKH diubah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).

3. Pemilihan Umum 1955


Pemilihan umum adalah salah satu
syarat agar sistem pemerintahan yang
demokratis berfungsi. Pemilihan umum
tercantum sebagai salah satu program
dari kabinet parlementer RI pada waktu
itu.
Persiapan pemilu dirintis oleh
kabinet Ali Sastroamidjojo I. pemerintah
membentuk panitia pemilu pada bulan
Mei 1954. Panitia tersebut merencanakan
pelaksanaan pemilu dalam dua tahap.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu
terlaksana sesuai dengan rencana semasa
kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilihan umum pertama kali di
Indonesia untuk memilih para anggota
DPR dan Konstituante yang diadakan
pada tanggal 29 September 1955 untuk
pemilihan anggota DPR dan 15 Desember
1955 untuk memilih anggota
Konstituante.
Empat partai besar secara berturut-
turut memenangkan kursi: Partai
Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%),
Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul
Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai
Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).

4. Kehidupan Ekonomi dan Penuntasan


Masalah Ekonomi Era Demokrasi Liberal
Kehidupan ekonomi Indonesia
hingga tahun 1959 belum berhasil
dengan baik dan tantangan yang
menghadangnya cukup berat. Upaya
pemerintah untuk memperbaiki kondisi
ekonomi adalah sebagai berikut:
a. Gunting Syafruddin
Akibat dari perang kemerdekaan
selama 5 tahun perekonomian di
Indonesia terbengkalai dan kacau
sehingga Menteri Keuangan Indonesia
Syafruddin Prawiranegara mengeluarkan
kebijakan sanering atau pengguntingan
uang dengan tujuan menyehatkan
keuangan negara.
b. Sistem ekonomi gerakan benteng
Sistem ekonomi gerakan benteng
merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur
ekonomi kolonial menjadi struktur
ekonomi nasional yang dilakukan pada
masa Kabinet Natsir dan direncanakan
oleh Sumitro Joyohadikusumo (Menteri
Perdagangan).
c. Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada akhir tahun 1951, pemerintah
Indonesia melakukan nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.
d. Sistem Ekonomi Ali Baba
Pada pemerintahan Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (Agustus 1954-Agustus
1955), Menteri Perekonomian Mr. Iskaq
Tjokroadisurjo memprakarsai sistem
ekonomi yang dikenal dengan nama
sistem Ali Baba. Sistem ini merupakan
bentuk kerja sama ekonomi antara
pengusaha pribumi yang diidentikkan
dengan Ali dan pengusaha non-pribumi
(khususnya Cina) yang diidentikkan
dengan Baba.
e. Devaluasi mata uang rupiah
Dalam usaha memperbaiki kondisi
ekonomi, pada tanggal 24 Agustus 1959,
pemerintah mendevaluasi mata uang Rp
1.000 dan Rp 5.00 menjadi Rp 100 dan
Rp 50.
f. Mengeluarkan deklarasi ekonomi
Deklarasi ekonomi (dekon)
dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 1963.
Pemerintah menganggap bahwa untuk
menanggulangi kesulitan ekonomi, satu-
satunya jalan adalah dengan sistem
ekonomi terpimpin.
g. Rencana pembangunan lima tahun
(RPLT)
Pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Tugas biro ini
merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional.
h. Musyawarah nasional pembangunan
Masa kabinet Djuanda terjadi
ketegangan hubungan antara pusat dan
daerah. Masalah tersebut untuk
sementara waktu dapat teratasi dengan
Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap).

5. Bidang Pertahanan dan Keamanan


a. Peristiwa 17 Oktober 1952
Akibat peristiwa 17 Oktober ini AD
mengalami perpecahan yang memerlukan
waktu beberapa tahun untuk
mengatasinya. KSAP Jenderal Mayor T.B
Simatupang diberhentikan dan jabatan
KSAP (kepala staf angkatan perang)
dihapuskan, sedangkan KSAD (kepala
staf angkatan darat) Kolonel A.H.Nasution
mengajukan permintaan berhenti, sebagai
pertanggungjawaban atas terjadinya
peristiwa tersebut. Ia digantikan oleh
Kolonel Bambang Sugeng. Pemerintah
pada tanggal 22 November 1952
mengeluarkan keterangan bahwa pada
tanggal 17 Oktober tidak terjadi coup
atau percobaan coup.
b. Masalah Intern Angkatan Darat
Peristiwa yang hampir serupa
dengan yang terjadi di Angkatan Darat
pada tanggal 27 Juni 1955 terjadi pula di
Angkatan Udara. Di pangkalan Udara
Cililitan (Halim Perdanakusuma) pada
tanggal 14 Desember 1955 terjadi
keributan menjelang dilantiknya wakil
kepala staf angkatan udara Komodor
Muda Hubertus Suyono. Tidak lama
sebelum Komodor Suyono dilantik, secara
tiba-tiba 25 orang prajurit dari pasukan
kehormatan pembawa panji-panji AU
bersama-sama maju serta berteriak,
“tidak setuju”.
c. Gangguan keamanan
Kembalinya ke Negara Kesatuan juga
berdampak pada sebagian tokoh dari
negara bagian ingin tetap
mempertahankan sebagai sebuah negara
yang berdiri sendiri dengan cara
mengadakan pemberontakan-
pemberontakan. Sehingga hal ini menjadi
gangguan dan ancaman keamanan dalam
negeri. Adapun pemberontakan-
pemberontakan itu antara lain: a)
Pemberontakan APRA; b) Pemberontakan
Andi Aziz; c) Pemberontakan RMS; dan d)
Pemberontakan DI/TII.
6. Akhir Era Demokrasi Liberal di
Indonesia
Kekacauan politik yang timbul
karena pertikaian partai politik di
Parlemen menyebabkan sering jatuh
bangunnya kabinet sehingga
menghambat pembangunan. Hal ini
diperparah dengan Dewan Konstituante
yang mengalami kebuntuan dalam
menyusun konstitusi baru, sehingga
Negara Indonesia tidak memiliki pijakan
hukum yang mantap.
Kegagalan konstituante disebabkan
karena masing-masing partai hanya
mengejar kepentingan partainya saja
tanpa mengutamakan kepentingan negara
dan Bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Masalah utama yang
dihadapi konstituante adalah tentang
penetapan dasar negara.
Dalam situasi dan kondisi seperti
itu, beberapa partai politik mengajukan
usul kepada Presiden Soekarno agar
mengambil kebijakan untuk mengatasi
kemelut politik. Oleh karena itu pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit yang berisi sebagai
berikut; a) Pembubaran Konstituante; b)
Berlakunya kembali UUD 1945; c) Tidak
berlakunya UUDS 1950; dan d)
Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS
1950, maka secara otomatis sistem
pemerintahan Demokrasi Liberal tidak
berlaku lagi di Indonesia dan mulainya
sistem Presidensial dengan Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno.

“Kegagalan” Konstituante
Konstituante adalah lembaga negara
Indonesia yang ditugaskan untuk
membentuk Undang – Undang Dasar
baru atau Konstitusi baru untuk
menggantikan UUDS 1950. Pembentukan
UUD baru ini diamanatkan dalam pasal
134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa
“Konstituante (lembaga pembuat UUD)
bersama-sama pemerintah selekas-
lekasnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini”.
Kegagalan Konstituante dalam
menyusun UUD yang baru terjadi karena
sering terjadi perpecahan pendapat
antara anggota Konstituante. Terlebih,
konstituante terpecah ke dalam dua
kelompok besar yang saling bertentangan,
yaitu kelompok Islam dan kelompok
Nasionalis. Kelompok Islam menghendaki
dasar Negara Islam. Sedangkan kelompok
nasionalis menghendaki dasar Negara
Pancasila.
Karena adanya perpecahan dan
ketidakstabilan politik seperti yang
disebutkan di atas, Presiden Soekarno
beranggapan bahwa Sistem Demokrasi
Liberal tidak cocok untuk dilaksanakan di
Indonesia, sehingga pada tanggal 21
Februari 1957, Presiden Soekarno
mengemukakan konsepnya yang terkenal
dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya
antara lain (1) Sistem Demokrasi Liberal
akan diganti dengan Demokrasi
Terpimpin, (2) Akan dibentuk “Kabinet
Gotong Royong” yang menteri-menterinya
terdiri atas orang –orang dari empat
partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI),
(3) Pembentukan Dewan Nasional yang
terdiri atas golongan-golongan fungsional
dalam masyarakat.

2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Inti dari Dekrit presiden 5 Juli 1959
tersebut antara lain Menetapkan
pembubaran Konstituante; hal ini terjadi
karena konstituante dianggap gagal
dalam merumuskan UUD yang baru dan
setelah pemungutan suara tanggal 2 Juni
1959, konstituante tidak lagi bersidang
atau membubarkan diri, Memberlakukan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya
UUDS 1950. Hal ini sejalan dengan cita-
cita awal berdirinya Negara Indonesia
yang tercantum dalam Piagam Jakarta,
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam
waktu sesingkat-singkatnya.
Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit yang diumumkan dalam upacara
resmi di Istana Merdeka pada hari Minggu
5 Juli 1959 pukul 17.00 waktu Jawa.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 mendapat
dukungan dari masyarakat.

3. Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin adalah sebuah
sistem demokrasi di mana seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada
pemimpin negara, kala itu Presiden
Soekarno. Demokrasi terpimpin muncul
seiring keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan Tap MPRS Nomor
VIII/MPRS/1959.
Dapat diduga bahwa dengan sistem
seperti ini kedudukan Soekarno sebagai
Presiden jauh lebih kuat dari sistim
parlementer sebelumnya, karena
kekuasaan eksekutif dan legislatif
dipusatkan di tangan Presiden. Untuk
meyakinkan agar sistem demokrasi
Terpimpin bisa diterima, Soekarno selalu
mengatakan bahwa sistem demokrasi
parlementer yang berlaku saat itu
menjadi penyebab utama kerawanan
politik.
Di masa Demokrasi Terpimpin
terdapat tiga kekuatan politik utama,
yakni Sukarno, TNI, dan PKI.
1. Unsur pertama adalah Presiden RI
sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Perdana Menteri,
Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden
seumur hidup, yakni Ir. Sukarno yang
akrab dipanggil Bung Karno. Anggota
Kabinet Dwikora masuk dalam unsur
kekuatan ini.
2. Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu,
Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) yang
cenderung sejalan dengan Presiden dan
Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris
Nasution) yang lebih keras terhadap
pemerintah. Soeharto awalnya termasuk
dalam Kubu Nasution, walaupun kelak
mendirikan kubu sendiri. Di satu sisi
terdapat pula kubu perwira revolusioner
yang memiliki kedekatan dengan PKI dan
Sukarno. Kubu ini berada di dua sisi.
3. Unsur PKI berkekuatan sekitar tiga
juta anggota, Ini didukung oleh sekitar 17
juta anggota organisasi-organisasi
onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan
Gerwani. Dengan jumlah itu PKI
merupakan partai komunis terbesar
ketiga di dunia setelah RRT dan Uni
Soviet.

4. Kehidupan Pers Masa Demokrasi


Terpimpin
Pada tahun 1960 merupakan awal
mulai penerapan Manipolisasi media
massa sebagai usaha untuk
menyeragamkan pemberitaan yang
mendukung kebijaksanaan pemerintah.
Tindakan yang dilakukan pertama kali
oleh pemerintah adalah mengeluarkan
peringatan yang dilakukan oleh Menteri
Muda Penerangan R. Maladi yang
menyatakan bahwa langkah-langkah
tegas akan dilakukan terhadap surat-
surat kabar, majalah-majalah, dan kantor
berita yang tidak menaati peraturan-
peraturan yang diperlukan dalam usaha
penerbitan pers nasional.
Penekanan terhadap kebebasan pers
tersebut berdasarkan peraturan Peperti
No 10/1960. Peraturan Peperti No
10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal
12 Oktober 1960 mewajibkan bagi para
penerbit media massa untuk
mendaftarkan kembali medianya kepada
pemerintah melalui Peperti. Pada
dasarnya peraturan tersebut membuat
seluruh media massa harus
memberitakan tentang semangat revolusi
pada masa Demokrasi Terpimpin yang
didasarkan pada Manipol USDEK.
Kebijakan - kebijakan otoriter
Demokrasi Terpimpin terhadap bidang
pers benar-benar mematikan kreativitas
para wartawan dan pimpinan surat kabar
yang kritis dan idealis. Tidak sedikit dari
mereka yang pada akhirnya harus
berurusan dengan penegak hukum
karena keberanian tulisan mereka dalam
mengkritik pemerintah. Kebanyakan
kasus penangkapan-penangkapan
terhadap wartawan pada tahun 1963
tanpa melalui prosedur hukum yang
berlaku. Wartawan dan pemimpin surat
kabar yang ditangkap pada masa itu
dikenakan tuduhan sebagai penghasut,
melakukan permusuhan dan penghinaan
kepada penguasa.

5. Pembebasan Irian Barat


Pada tanggal 4 Desember 1950
diadakan konferensi Uni Indonesia
Belanda. Dalam konferensi itu Indonesia
mengusulkan agar Belanda menyerahkan
Irian Barat secara de jure. Namun ditolak
oleh Belanda. Lalu pada bulan Desember
1951 diadakan perundingan bilateral
antara Indonesia dan Belanda.
Perundingan ini membahas pembatalan
uni dan masuknya Irian Barat ke wilayah
NKRI, namun gagal. Bulan September
1952, Indonesia mengirim nota politik
tentang perundingan Indonesia Belanda
mengenai Irian Barat, namun kembali
gagal.
Karena terus mengalami kegagalan
dan tidak ada itikad baik dari Belanda
untuk menyelesaikannya, maka
pemerintah Indonesia mengambil jalan
konfrontasi. Sejak tahun 1957 Indonesia
melancarkan aksi konfrontasi dalam
upaya pembebasan Irian Barat. Jalan
konfrontasi yang pertama ditempuh
adalah konfrontasi bidang ekonomi.
Selain melalui konfrontasi ekonomi,
pemerintah RI juga melakukan
konfrontasi politik.
Untuk meningkatkan perjuangan,
Dewan Pertahanan Nasional merumuskan
Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang
dibacakan Presiden Soekarno tanggal 19
Desember 1961 di Yogyakarta. Sebagai
tindak lanjut dari Trikora, pemerintah
mengambil langkah-langkah berikut.
a. Gagalkan pembentukan Negara Boneka
Papua buatan Belanda Kolonial.
b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian
Barat Tanah Air Indonesia.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum
guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan Tanah Air Bangsa.
Akhirnya pada tanggal 15 Agustus
1962, Belanda bersedia berunding dengan
Indonesia. Perundingan itu menghasilkan
kesepakatan yang diberi nama Perjanjian
New York. Sebagai tindak lanjut dari
Persetujuan New York, Sekjen PBB
menunjuk Rolsz Bennet dari Guatemala
sebagai Gubernur UNTEA merangkap
wakil Sekjen PBB di Irian Barat. Berdasar
Persetujuan New York tahun 1962, di
Irian Barat diselenggarakan “act of free
choice” atau Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA). Dewan Musyawarah Pepera
dengan suara bulat memutuskan bahwa
Irian Barat tetap merupakan bagian dari
Republik Indonesia.

6. Konfrontasi Indonesia Malaysia


Pada periode terpimpin dimana
Soekarno yang menjadi presidennya,
Indonesia banyak mengalami pasang
surut politik dalam dan luar negrinya.
Presiden Soekarno pada saat itu
merupakan salah satu orang yang
menentang keras Imperialisme barat yang
salah satu bentuknya adalah pada era
konfrontasi, yaitu ketika Indonesia
menentang pembentukan Federasi
Malaysia.
Pada kenyataan - kenyataannya
bahwa Malaysia merupakan suatu negara
ciptaan neokolonialisme, membuat
Soekarno mengeluarkan pernyataan pada
pidato kenegaraan di istana negara pada
tanggal 11 Juli 1963 yaitu, ”genyang
Malaysia”. Salah satu masalah yang
sangat mendasari adanya konfrontasi ini
adalah perseteruan mengenai nasib
penduduk wilayah-wilayah Kalimantan
tentang kesediaan mereka untuk masuk
dalam Malaysia.
Sebetulnya dari pihak Malaysia dan
Indonesia sendiri sudah mengupayakan
untuk merendam ketegangan antar
keduanya, kedua negara ini sempat
melakukan kegiatan diplomasi melalui
perundingan pada tanggal 7 Juni 1963.
Rencana tersebut dinamakan
”Malphilindo” yang menghasilkan
persetujuan ”Manila”. Isi pokok dari
perjanjian tersebut adalah, sebelum
Malaysia berdiri dilakukan usaha untuk
mengetahui kesediaan penduduk-
penduduk di wilayah-wilayah Kalimantan
apakah mereka ingin menjadi anggota
federasi di Malaysia. Tetapi usaha
tersebut gagal.
Konfrontasi menjadi politik Indonesia yang
tetap, dan juga disertai pernyataan-
pernyataan ”Ganyang Malaysia” yang terus
berkumandang. Sebagai lanjutan terhadap
Konfrontasi Malaysia, Soekarno menyatakan
bahwa “Malaysia Do Not Exist Legally For
Us”, yang artinya adalah Malaysia menurut
hukum Indonesia tidak ada, karena
Malaysia adalah alat dari Imperialisme, dan
Indonesia menentang Imperialisme yang
dilakukan Negara Barat.

Ancaman Disintegrasi Bangsa Dan Usaha


Penyelesaiannya
Pemberontakan PKI di Madiun
Latar belakang pemberontakan PKI
Madiun, berawal dari jatuhnya Kabinet
Amir Syarifudin. Sebagai Perdana Menteri
yang mewakili Indonesia dalam perjanjian
Renville. Sejak penandatanganan
perjanjian Renville, Amir Syarifudin tidak
lagi mendapat dukungan dalam kabinet.
Selanjutnya dibentuk Kabinet baru
dengan Mohammad Hatta sebagai
Perdana Menteri. Pembentukan kabinet
baru tidak disetujui oleh Amir Syarifudin
dengan kelompok sayap kiri lainnya, yang
kemudian bergabung dalam FDR.
Sementara itu Muso seorang tokoh
komunis dalam sidang Politibiro PKI pada
tanggal 13 Agustus 1948, menawarkan
sebuah gagasan yang dikenal dengan
nama jalan baru untuk Republik
Indonesia.
Muso juga memosisikan diri sebagai
oposisi pemerintah, dengan melakukan
kritik atau pernyataaan yang tidak
menguntungkan, bahkan membahayakan
strategi diplomasi Indonesia melawan
Belanda yang pada waktu itu ditengahi
oleh Amerika Serikat (AS). Pernyataan-
pernyataan Muso lebih menunjukkan
keberpihakannya pada Uni Soviet,
sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet
adalah dua Negara berseteru dalam
Perang Dingin, Puncak dari upaya yang
dilakukan oleh PKI adalah melakukan
pemberontakan Senjata pada tanggal 18
September 1948 di Kota Madiun.
Bersamaan dengan itu pula
diproklamasikan berdirinya “Republik
Soviet Indonesia” dan dibentuknya
pemerintahan baru.
Upaya yang dilakukan pemerintah
dalam meredam aksi yang dilakukan PKI
adalah dengan melakukan diplomasi
dengan pimpinan PKI Muso. Namun
demikian upaya diplomasi menemukan
jalan bantu. Pemberontakan PKI Madiun
akhirnya dapat ditumpas oleh pasukan
Divisi Siliwangi. Pemberontakan PKI
Madiun dapat dipadamkan dan pemimpin
pemberontakan Muso tewas tertembak,
sementara Amir Syarifudin ditangkap dan
jatuhi hukuman mati.

2. Pemberontakan DI/TII
Berawal dari hasil perjanjian
Renville, sesuai dengan perjanjian
Renville, maka TNI harus meninggalkan
daerah-daerah yang dikuasai Belanda.
Sementara itu laskar Hisbullah dan
Sabilillah di bawah pengaruh
Kartosuwirjo tidak bersedia pindah atau
meninggalkan Jawa Barat, bahkan
mereka membentuk Tentara Islam
Indonesia (TII). Bersama dengan TII,
kemudian Kartosuwirjo menyatakan
pembentukan Darul Islam pada Agustus
1949.
DII/TII dengan leluasa melakukan
gerakannya dengan merusak dan
membakar rumah penduduk,
membongkar jalan kereta api, serta
menyiksa dan merampas harta benda
yang dimiliki oleh penduduk di daerah
tersebut. Kemudian ketika pasukan
Siliwangi kembali ke Jawa Barat,
Kartosuwirjo tidak mau mengakui TNI,
kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu
artinya Kartosuwirjo tidak mengakui
pemerintah RI di Jawa Barat.
Pemerintah mengerahkan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus
kelompok ini. Pada tahun 1960 para
pasukan Siliwangi bekerja sama dengan
rakyat untuk melakukan operasi
“Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk
menumpas kelompok DI/TII tersebut.
Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan para
pengawalnya di tangkap oleh pasukan
Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang
berlangsung di Gunung Geber, Majalaya,
Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah
Angkatan Darat menyatakan bahwa
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
dijatuhi hukuman mati, dan setelah
Sekarmadji meninggal, pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil atau
disebut APRA merupakan pemberontakan
yang paling awal terjadi setelah Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda
sebagai Negara RIS. Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) di pimpinan oleh
Kapten Raymond Westerling dan didalangi
oleh golongan kolonialis Belanda.
Landasan yang mendorong gerakan APRA
adalah kepercayaan rakyat Indonesia
akan datangnya Ratu Adil. Westerling
memahami bahwa sebagian rakyat
Indonesia yang telah lama menderita
karena penjajahan, baik oleh Belanda
atau Jepang, mendambakan datangnya
suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari
1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah
sebuah ultimatum. Westerling menuntut
agar Pemerintah RIS menghargai negara-
negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta Pemerintah RIS harus
mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan.
Gerakan tersebut dapat digagalkan
dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga
menjadi anggota Kabinet RIS sebagai
Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II
dapat segera ditangkap, sedangkan
Westerling sempat melarikan diri ke luar
negeri pada 22 Februari 1950 dengan
menumpang pesawat Catalina milik
Angkatan Laut Belanda. Dengan
kaburnya Wasterling, maka gerakannya
pun jadi bubar.

4. Pemberontakan Andi Azis


Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa latar belakang
pemberontakan Andi Azis adalah : (a)
Menuntut bahwa keamanan di Negara
Indonesia Timur hanya merupakan
tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
(b) Menentang campur tangan pasukan
APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) terhadap konflik di
Sulawesi Selatan. (c) Mempertahankan
berdirinya Negara Indonesia Timur.
Pada tanggal 5 April 1950, anggota
pasukan Andi Azis menyerang markas
Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
bertempat di Makassar, dan mereka pun
berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol
Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan
Andi Azis. Akhirnya, Ir. P.D Diapri
(Perdana Menteri NIT) mengundurkan diri
karena tidak setuju dengan apa yang
sudah dilakukan oleh Andi Azis.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-
KNIL meminta untuk berunding ketika
menyadari bahwa kedudukannya sudah
tidak menguntungkan lagi untuk
berperang dan melawan serangan dari
lawan. Perundingan tersebut akhirnya
dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang
dari pihak RI dan Mayor Jendral
Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil
perundingan kedua belah pihak pun
setuju untuk menghentikan baku tembak
yang menyebabkan terjadinya kegaduhan
di daerah Makassar tersebut, dan dalam
waktu dua hari pasukan KNIL harus
meninggalkan Makassar.

5. Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS)
adalah daerah yang diproklamasikan
merdeka pada 25 April 1950 dengan
maksud untuk memisahkan diri dari
Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik
Indonesia Serikat). Namun oleh
Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai
pemberontakan.
Pemberontakan RMS yang didalangi
oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil
bertujuan untuk melepaskan wilayah
Maluku dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebelum diproklamasikannya
Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai
Timur Besar terlebih dahulu melakukan
propaganda terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk memisahkan
wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI.
Cara yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu, dengan mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh Dr.
Leimena. Namun, misi yang diajukan
tersebut ditolak oleh Soumokil. Karena
upaya perdamaian yang diajukan oleh
pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer
untuk membersihkan gerakan RMS
dengan mengerahkan pasukan Gerakan
Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin
oleh seorang kolonel bernama A.E
Kawilarang, Dengan jatuhnya pasukan
RMS yang berada di daerah Ambon, maka
hal ini membuat perlawanan yang
dilakukan oleh pasukan RMS dapat
ditaklukkan.

6. Pemberontakan PRRI-Permesta
Terjadi ketidakpuasan dari beberapa
daerah yang berada di wilayah Sumatra
dan Sulawesi terhadap alokasi biaya
pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah
dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan
masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu
terbentuknya dewan militer daerah yaitu
Dewan Banteng yang berada di daerah
Sumatera Barat pada tanggal 20
Desember 1956. Dewan ini diprakarsai
oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan
Panglima Divisi IX Banteng) bersama
dengan ratusan perwira aktif dan para
pensiunan yang berasal dari Komando
Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan
tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein
yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB
diangkat menjadi ketua Dewan Banteng.
PRRI membentuk sebuah
Pemerintahan dengan anggota
kabinetnya. Pada saat pembangunan
Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI
memperoleh dukungan dari PERMESTA
dan rakyat setempat. Pada tanggal 2
Maret 1957, di Makassar yang berada di
wilayah timur Negara Indonesia terjadi
sebuah acara proklamasi Piagam
Perjuangan Republik Indonesia
(PERMESTA) yang diproklamasikan oleh
Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual.
Pada hari berikutnya, PERMESTA
mendukung kelompok PRRI dan pada
akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu
disebut PRRI/PERMESTA.
Untuk melancarkan penumpasan
terhadap Pemberontakan tersebut,
pemerintah membentuk sebuah pasukan
Operasi Militer yang operasinya disebut
Operasi Merdeka pada bulan April 1958
dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol
Rukminto Hendradiningrat. Organisasi
PERMESTA diduga mendapatkan bantuan
dari tentara asing, dan bukti dari bantuan
tersebut adalah jatuhnya pesawat yang
dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang
Warga negara Amerika) yang tertembak
jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei
1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad
Husein menyerahkan diri, dan pada
pertengahan tahun 1961, para tokoh-
tokoh yang bergabung dalam gerakan
PERMESTA juga menyerahkan diri.

7. Pemberontakan G30S/PKI
Peristiwa G30S merupakan puncak
kemelut politik, dari pertikaian kekuatan-
kekuatan politik yang bersumber pada
pertentangan (konflik) ideologi yang telah
berlangsung sebelumnya. Ideologi menjadi
sumber konflik, mengingat dalam sejarah
kepartaian di Indonesia, partai tumbuh
dan berkembang berdasarkan pada
ideologi tertentu. Di penghujung
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tiga
kekuatan politik hadir dipentas
perpolitikan Indonesia. Tiga kekuatan
tersebut adalah Soekarno sebagai sosok
yang memegang kekuasaan, Militer-TNI
AD sebagai penjaga kedaulatan negara
yang sekaligus memiliki peran sosial-
politik, dan PKI sebagai kekuatan politik
yang memiliki basis masa cukup kuat dan
sebagai satu-satunya kekuatan politik
yang mampu mengimbangi kekuatan
militer.
Puncaknya terjadi pada malam 30
September 1965. Terjadi penculikan para
jendral. Dari peristiwa tersebut membuat
ketujuh jendral tersebut meninggal dunia.
Setelah peristiwa puncak tersebut,
muncul berbagai pandangan dan saling
melempar tanggung jawab mengenai
siapa dalang dibalik peristiwa kejam
tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah
hari – hari tersebut. PKI yang dianggap
sebagai pihak yang bertanggung jawab
mendapat tekanan yang luar biasa.
Namun demikian Presiden Soekarno tetap
menghimbau rakyat untuk tetap bersatu
dan tidak termakan fitnah.
Himbauan Presiden Soekarno sudah
tidak lagi mampu untuk menenangkan
gejolak masyarakat yang pada masa itu
tersulut emosi oleh peristiwa tersebut.
Terjadi sebuah perpecahan di
masyarakat, PKI dianggap sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab.
Masyarakat secara leluasa menuntut
dibubarkannya PKI, tuntutan tersebut
yang sering dikenal dengan Tritura.
Bubarkan PKI, Perombakan kabinet
Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Soekarno mengeluarkan surat
perintah guna pengamanan
Pemerintahan, yang sampai saat ini
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR). Surat Perintah
Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan
kepada Mayjend Soeharto selaku
panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta
pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00
waktu setempat yang dibawa oleh
Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono.

2 Daftar materi yang sulit 1. Pemberontakan PRRI-Permesta


dipahami di modul ini 2. Konfrontasi Indonesia Malaysia
3 Daftar materi yang sering 1. Republik Indonesia Serikat sebagai
mengalami miskonsepsi Transisi
2. Pemberontakan G30S/PKI

Anda mungkin juga menyukai