Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN
ACARA III RESPIRASI

Disusun oleh :
Nama : Bima Surya Pratama
NIM : 20104070001
Kelompok :1

Program Studi Pendidikan Biologi


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2022
I. Tujuan Percobaan
a. Membuktikan proses pernafasan menghasilkan CO2.
b. Mengetahui pengaruh jenis, massa ikan, dan perubahan suhu terhadap aktivitas
respirasi ikan.
II. Dasar Teori

Respirasi adalah pengambilan oksigen molekuler O2 dari lingkungan dan


pembuangan karbondioksida CO2 ke lingkungan. Hewan membutuhkan suplai
oksigen secara terus menerus untuk melakukan respirasi seluler sehingga mampu
mengubah molekul dari bahan bakar yang diperoleh dari makanan menjadi bekerja.
Hal ini diimbangi pembuangan karbondioksida, produk buangan respirasi seluler
(Campbell, 2004).

Mekanisme respirasi terjadi melalui dua fase, yaitu fase eksteral dan fase
internal. Fase eksternal merupakan fase pertukaran gas yang terjadi pada darah
dengan lingkungannya. Fase ini biasanya terjadi pada insang ikan . sedangkan fase
internal merupakan proses pertukaran gas antara darah dan sel-sel atau jaringan di
dalam tubuh (Weichert, 1959).

Oksigen merupakan unsur penting bagi kelangsungan hidup organisme.


Oksigen dibutuhkan untuk proses oksidasi bahan-bahan makanan dalam tubuh
hewan agar dihasilkan energi untuk aktivitas hidupnya. Energi berupa ATP yang
prosesnya disebut metabolisme aerobik. Pengambilan oksigen untuk metabolisme
dan pengeluaan CO2 sebagai sampah metabolik dilakukan dengan mekanisme yang
menggunakan sistem respiratori (Kimball,1992).

Laju metabolisme adalah jumlah jumlah total energi yang diproduksi dan
dipakai oleh tubuh per satuan waktu (Seeley, 2002). Laju metabolisme berkaitan
erat dengan respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari
molekul makanan yang bergantung pada adanya oksigen. Laju metabolisme
biasanya diperkirakan dengan mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi
makhluk hidup per satuan waktu. Hal ini memungkinkan karena oksidasi dari bahan
makanan memerlukan oksigen (dalam jumlah yang diketahui) untuk menghasilkan
energi yang dapat diketahui jumlahnya juga. Akan tetapi, laju metabolisme
biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju konsumsi oksigen (Tobin, 2005).
Konsumsi oksigen pada tiap organisme berbeda-beda. Tergantung pada
aktivitas, jenis kelamin, ukuran tubuh, temperature (suhu), dan hormon. Faktor lain
yang menyebabkan perbedaan konsumsi oksigen terlarut adalah nutrisi dan usia.
Misalnya, semakin besar bobot ikan maka semakin banyak pula konsumsi
oksigennya. Begitu juga sebaliknya, semakin banyak konsumsi oksigen semakin
besar laju metabolismenya.

Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen


menurut Lagler (1977) adalah sebagai berikut :

1) Intensitas dari metabolisme oksidatif dalam sel,


2) Kecepatan pertukaran yang mengontrol perpindahan air disekitar insang yang
berdifusi melewatinya,
3) Faktor internal yaitu kecepatan sirkulasi darah dan volume darah yang dibawa
menuju insang,
4) Afinitas oksigen dari haemoglobin.

Di samping itu, suhu memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap laju
konsumsi oksigen, terutama pada hewan poikiloterm. Semakin tinggi temperatur
maka semakin sedikit O2 terlarut dan bertambah besar konsumsi oksigen.
Pengaruh temperatur ini terjadi karena kenaikan temperatur akan menaikkan
metabolisme. Pada hewan poikiloterm, metabolisme dipengaruhi oleh perubahan
suhu lingkungan. Suhu yang rendah mengakibatkan metabolisme turun.
Metabolisme akan meningkat pada suhu lingkungan yang meningkat (Fujaya,
1999).

III. Metode
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah gelas beker 600 mL, gelas
beker 250 mL, termometer, timbangan, counter, pH stick meter.
Bahan yang dibutuhkan adalah air panas, es batu, dan ikan.
B. Cara Kerja
Pertama-tama, disiapkan terlebih dahulu dua gelas beker 600 ml.
Masing-masing gelas diberi label A dan B. Pada masing-masing gelas, diisi air
sebanyak 150 ml. Suhu serta pH air dihitung dan dicatat. Setelah itu, dua ikan
yang memiliki ukuran tubuh relatif sama dimasukkan ke dalam masing-masing
gelas beker. Gelas beker A berisikan ikan kontrol, dan gelas beker B berisikan
ikan perlakakuan.
Selama satu menit, dihitung gerakan buka tutup operkulum ikan di
masing-masing gelas beker. Perhitungan diulangi sebanyak enam kali, dan
dihitung jumlah buka tutup operkulum rata-ratanya per menit. Kemudian
ditambahkan air panas ke dalam gelas beker B, sehingga suhu air naik 2˚C dari
suhu awal. Disamakan volume air di gelas A dan B. Dihitung lagi jumlah buka
tutup operkulum per satuan menit selama enam kali ulangan. Hasil rata-rata
enam kali ulangan dicatat. Diukur juga pH air dengan pH stick meter. Langkah
di atas diulangi dengan kenaikan suhu 4˚C dan 6˚C dari suhu air kran semula.
Selanjutnya ulangi langkah 1 sampai 9 untuk penurunan suhu 2˚C, 4˚C, dan 6˚C
setelah suhu air dikembalikan pada keadaan awal.
Langkah terakhir, hasil data yang diperoleh dari perlakuan kenaikan dan
penurunan suhu dicatat dalam tabel data. Dibuat juga grafik perbandingan
pengaruh suhu dan pH, dengan buka tutup operkulum.
IV. Hasil dan Pembahasan
Hasil
Tabel 1. Jumlah gerakan mulut/operkulum dalam perlakuan suhu

Jumlah gerakan mulut/operkulum per menit pH Keterangan


Perlakuan Ulangan aktivitas
ikan
1 2 3 4 5 6 x̄

Kontrol A 54 80 120 136 138 153 113,5 7 Agresif


Suhu awal Suhu 28˚C
(28˚C) Kontrol B 49 88 97 140 166 188 121,3 7 Agresif
Suhu 28˚C
Kenaikan Kontrol A 143 138 149 105 149 150 129 7 Sangat
2˚C dari Suhu 28˚C agresif
suhu awal Kontrol B 140 144 140 140 127 137 138 7 Sangat
Suhu 30˚C agresif
Kenaikan Kontrol A 118 130 135 145 154 129 135,16 6 Tenang
4˚C dari Suhu 28˚C
suhu awal Kontrol B 178 181 364 192 199 192 217,67 6 Tenang
Suhu 32˚C
Kenaikan Kontrol A 134 151 138 141 167 143 145,7 6 Tenang
6˚C dari Suhu 28˚C
suhu awal Kontrol B 166 171 179 197 203 207 187,17 6 Tenang
Suhu 34˚C
Penurunan Kontrol A 145 133 146 168 146 158 149,3 6 Tenang
2˚C dari Suhu 28˚C
suhu awal Kontrol B 206 215 217 200 212 219 211,5 6 Stress
Suhu 26˚C
Penurunan Kontrol A 143 166 163 170 149 168 158,83 6 Tenang
4˚C dari Suhu 28˚C
suhu awal Kontrol B 151 134 123 113 105 102 121,3 6 Tenang
Suhu 24˚C
Penurunan Kontrol A 167 168 188 161 172 153 168,16 6 Tenang
6˚C dari Suhu 28˚C
suhu awal Kontrol B 109 126 131 129 123 133 125,16 6 Tenang
Suhu 22˚C
Pembahasan

Pada praktikum percobaan respirasi kali ini menggunakan ikan sebagai hewan uji.
Pemilihan ikan sebagai hewan uji ini karena yang ingin diketahui adalah pengaruh suhu pada
respirasi. Suhu akan sangat berpengaruh pada aktivitas respirasi yang dilakukan oleh hewan.
Terlebih lagi pada hewan poikiloterm. Ikan merupakan salah kelompok hewan poikiloterm,
yang fisiologinya terdiri atas proses osmoregulasi, sistem respirasi, perncernaan, saraf,
endokrin, reporduksi, dan sistem sirkulasi (Fujaya, 1999).

Usaha untuk mengatahui jumlah konsumsi oksigen, yang menandakan laju


metabolisme pada ikan, dilihat dari aktivitas buka tutup operkulum. Dimana buka tutup
operkulum itu menandakan bahwa ikan sedang melakukan konsumsi oksigen. Sama seperti
manusia yang sedang bernafas. Perlakuan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu
adalah dengan merubah suhu air secara berkala sebanyak 2⁰C setiap perlakuan. Ada dua
perlakuan pengubahan suhu yang dilakukan, yaitu penaikan suhu air dan penurunan suhu air.

Grafik 1. Hubungan kenaikan suhu dengan gerakan operkulum

Hubungan Kenaikan Suhu Dengan Gerakaran


Operkulum
250 217
187
200
138
150 121

100
50 28˚C 30˚C 32˚C 34˚C
0
1 2 3 4

Jumlah gerakan operkulum Suhu

Dari percobaan yang telah dilakukan pada peningkatan suhu air, diperoleh data bahwa
intensitas buka tutup operkulum pada ikan meningkat setiap penambahan suhu. Intensitas buka
tutup operkulum semakin banyak dari ikan yang dijadikan kontrol. Pada penambahan suhu 2⁰C
misalnya, jumlah rata-rata operkulum meningkat menjadi 138, dari ikan yang dijadikan
kontrol yang jumlah buka tutup operkulumnya sebanyak 129. Begitu pula pada peningkatan
suhu yang terjadi berikutnya. Hal ini menandakan bahwa kenaikan suhu berbanding lurus
dengan peningkatan jumlah buka tutup operkulum yang berarti usaha ikan untuk memperoleh
oksigen juga meningkat.
Grafik 2. Hubungan penurunan suhu dengan gerakan operkulum

Hubungan Penurunan Suhu Dengan Gerakan


Operkulum
250 211
200
150 121 121 125

100
50
28˚C 26˚C 24˚C 22˚C
0
1 2 3 4

Jumlah gerakan operkulum Suhu

Sedangkan pada percobaan penurunan suhu, yang terjadi seharusnya adalah sebaliknya.
Setiap penurunan suhu pada 2⁰C, terjadi pula penurunan jumlah buka tutup operkulum pada
ikan yang menunjukan bahwa laju konsumsi semakin menurun seiring dengan penuruna suhu
air. Namun pada hasil percobaan kali ini ada beberapa faktor yang membuat tidak sesuainya
dengan teori. Hal ini mungkin disebabkan oleh : 1). Intensitas dari metabolisme oksidatif dalam
sel; 2). Kecepatan pertukaran yang mengontrol perpindahan air disekitar insang yang berdifusi
melewatinya; 3). Faktor internal yaitu kecepatan sirkulasi darah dan volume darah yang dibawa
menuju insang; 4) Afinitas oksigen dari haemoglobin.

Dari data penambahan dan penurunan suhu yang dilakukan pada percobaan kali ini,
diperoleh sebuah asumsi bahwa laju konsumsi pada ikan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu air. Hasil percobaan ini sesuai dengan teori, yang mengatakan bahwa
peningkatan suhu air mengakibatkan meningkatnya laju metabolisme, yang ditandai dengan
meningkatnya intensitas laju konsumsi okesigen. Setiap peningkatan suhu sebesar 10⁰C, akan
menyebabkan laju konsumsi oksigen sebesar 2-3 kali lipat. Akan tetapi, peningkatan suhu
mengakibatkan menurunnya kadar oksigen di air, sehingga terkadang oksigen yang tersedia
tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen ikan yang tengah mengalami peningkatan
laju metabolisme (Effendi, 2003). Namun terdapat ketidaksesuaian dengan teori pada saat
penurunan suhu yang seharusnya laju konsumsi oksigen akan berkurang seiring dengan
penurunan suhu air. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang telah disebutkan diatas.

Selain dilihat pengaruh suhu terhadap laju konsumsi oksigen ikan, pada praktikum kali
ini juga diamati perubahan pH air yang diakibatkan oleh setiap perlakuan perubahan suhu yang
dilakukan. Ada dua indikator yang yang dijadikan acuan untuk mengamati perubahan pH air,
yaitu pengukuran pH air di awal sebelum dilakukan perlakuan dan pH air di akhir setelah
dilakukan perlakuan.

Grafik 3. Hubungan pH dengan gerakan operkulum

Hubungan pH Air Dengan Gerakan Operkulum


160 151
Gerakan operkulum

150
140
126
130
120
5,8 6 6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2
pH Air

Gerakan operkulum Linear (Gerakan operkulum)

Pada percobaan penambahan suhu air, diperoleh data pH air akan menurun setelah
dilakukan perlakuan. Pengukuran pH air awal adalah 7. Berkurang menjadi 6 setelah suhu
air dinaikkan 6⁰C. Sedangkan pada percobaan penurunan suhu, yang terjadi adalah
pH air yang sebelumnya 7 berkurang menjadi 6 setelah suhu air berkurang 6⁰C. Ini artinya,
peningkatan atau penurunan suhu air menurunkan pH air.

pH di air mempengaruhi kualitas hidup ikan. Kisaran pH air yang ada pada percobaan
yang dilakukan masih pada taraf dimana ikan dapat hidup dengan baik. Ikan akan dapat hidup
dan berkembang dengan baik pada kondisi pH air berada dalam kisaran 6,5-9,0. Pada pH <6,5,
ketahanan tubuh ikan akat terganggu. Sedangkan pH >9,0 akan berpengaruh pada pertumbuhan
ikan (Anonym, 2009)
V. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal


terkait pengaruh suhu terhadap respirasi pada ikan :

1. Suhu pada air berpengaruh pada sistem respirasi, terlebih lagi pada hewan
kelompok poikiloterm seperti ikan. Peningkatan suhu air berbanding lurus
dengan peningkatan laju metabolisme pada ikan. Hal ini ditandai dengan
peningkatan intensitas konsumsi oksigen ikan. Sedangkan pada percobaan kali
ini untuk pengaruh penurunan suhu terhadap buka-tutup operkulum tidak sesuai
teori yang seharusnya laju konsumsi oksigen akan berkurang seiring dengan
penurunan suhu air. Hal ini karena beberapa faktor yang telah disebutkan diatas.
2. Peningkatan suhu pada air juga berpengaruh pada suhu air. Bertambah atau
berkurangnya suhu air, mengakibatkan menurun pH air. Ikan akan dapat hidup
dengan baik di kisaran pH air 6,5-9.
VI. Daftar Pustaka

Anonym. 2009. Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. Program Alih Jenjang DIV
Bidang Akuakultur SITH, ITB, Bandung. Diunggah di
https://www.academia.edu/4540069/Teknologi_Pengelolaan_Kualitas_
Air pada Sabtu, 29 Oktober 2022.

Campbell, N.A, J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Effendi dan Hefni, 2003, Telaah Kualitas Air, Kanisius : Yogyakarta

Fujaya, Y. 1999. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta.

Kimball JW. 1992. Biologi Umum. Jakarta: Erlangga.

Lagler, K.F., et al.. 1977. Ichthyology. Jhon Willey and Sons. Inc, New York-
London.

Tobin, A.J. 2005. Asking About Life. Canada: Thomson Brooks/Cole.

Weichert and K. Charles. 1959. Elements of Chordate Anatomy. Mc Grow Hill :


New York.
Lampiran

Grafik 1. Hubungan kenaikan suhu dengan gerakan operkulum

Hubungan Kenaikan Suhu Dengan Gerakaran


Operkulum
250 217
187
200
138
150 121

100
50 28˚C 30˚C 32˚C 34˚C
0
1 2 3 4

Jumlah gerakan operkulum Suhu

Grafik 2. Hubungan penurunan suhu dengan gerakan operkulum

Hubungan Penurunan Suhu Dengan Gerakan


Operkulum
250 211
200
150 121 121 125

100
50
28˚C 26˚C 24˚C 22˚C
0
1 2 3 4

Jumlah gerakan operkulum Suhu

Grafik 3. Hubungan pH dengan gerakan operkulum

Hubungan pH Air Dengan Gerakan Operkulum


160 151
Gerakan operkulum

150
140
126
130
120
5,8 6 6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2
pH Air

Gerakan operkulum Linear (Gerakan operkulum)

Anda mungkin juga menyukai