Disusun Oleh :
Kelompok 3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022/2023
DAFTAR ISI
Halaman
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
A. Definisi ................................................................................................................... 2
B. Etiologi ................................................................................................................... 2
C. Epidemiologi .......................................................................................................... 3
D. Mekanisme ............................................................................................................ 3
G. Diagnosis ............................................................................................................... 5
I. Tatalaksana ........................................................................................................... 6
K. Prognosis ............................................................................................................... 7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Etiologi
Salah satu faktor risiko tingginya kejadian enterobiasis dapat
disebabkan karena anak-anak yang sering menghabiskan waktu mereka di luar
rumah untuk bermain ataupun berkerumun dengan anak lainnya, melakukan
kontak langsung dengan air dan tanah yang memiliki potensi untuk terinfeksi
cacing Enterobiosis vermicularis penyebab penyakit enterobiasis (Dahal, 2015).
Selanjutnya menurut Odigwe (2015) seseorang yang memiliki personal hygiene
yang baik merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi
dirinya dari berbagai serangan penyakit salah satunya adalah penyakit
enterobiasis.
2
3
C. Epidemiologi
Enterobius vermicularis merupakan salah satu penyebab cacingan pada
manusia terutama pada anak-anak. Menurut Kemenkes, prevalensi kecacingan
di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan
penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi
cacingan bervariasi antara 2,5%-62% (Kemenkes, 2017). Enterobius
vermicularis merupakan salah satu penyebab cacingan pada manusia terutama
pada anak-anak. Infeksi akibat cacing Enterobius vermicularis terjadi di seluruh
dunia terutama wilayah tropis dan negara berkembang.
D. Mekanisme
Infeksi cacing ini terjadi apabila menelan telur matang. Bila telur matang
tertelan, maka telur akan menetas di usus halus yang selanjutnya larva akan
bermigrasi ke daerah anus (sekum, caecum). Di daerah anus (sekum, caecum)
larva akan hidup sampai dewasa lalu melakukan perkawinan dan cacing betina
bertelur di daerah anus pada malam hari sehingga menyebabkan rasa gatal.
Secara tidak sadar, anus akan digaruk yang menyebabkan kuku tangan
terinfeksi oleh cacing ini (Novianti, 2018). Infeksi oleh Enterobius vermicularis
pada manusia dapat disebabkan oleh 3 (tiga) cara, yaitu peroral, perinhalasi
dan retrograde infection. Peroral atau tertelannya telur cacing secara tanpa
sengaja dapat melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tangan
yang tertempel oleh telur cacing akibat tidak mencuci tangan sebelum makan.
Telur cacing yang mengontaminasi makanan tersebut dapat hidup selama 13
hari dalam suasana lembab dan suhu ruangan. Infeksi melalui perinhalan atau
menghirup telur cacing dapat terjadi akibat telur yang menempel pada tempat
tidur, selimut maupun perabotan rumah dan debu akibat kurang menjaga
4
E. Gejala Klinis
Beberapa gejala karena infeksi cacing Enterobius vermicularis yaitu
kurang nafsu makan, berat badan turun, dan insomnia. Migrasi dari cacing
menyebabkan reaksi alergi di sekitar anus dan pada malam hari menyebabkan
gatal nokturnal (pruritus ani) (Padoli, 2016).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
Enterobiasis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu telur dalam feses dan
swab per-anal. Perianal swab test merupakan pemeriksaan gold standard untuk
mendapatkan kriteria infeksi cacing Enterobius vermicularis (Sumanto, 2014).
Pemeriksaan feses dengan cara apusan langsung saline untuk mendeteksi
telur merupakan metode yang menghasilkan hasil kasus positif sekitar 5%,
karena telur sering menempel pada perianal (Mulyowati, 2018).
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan melihat anus anak pada
malam hari dan menemukan cacing dewasa yang sedang keluar untuk bertelur
(Lubis, Pasaribu and Lubis, 2016):
1. Pemeriksaan anal swab (penempelan plester di perianal pada pagi hari
sebelum anak buang air besar dan membersihkan anus): telur cacing
2. Pemeriksaan feses : cacing dewasa
3. Pemeriksaan rectal toucher (RT) dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel pemeriksaan.
G. Diagnosis
H. Diagnosis Banding
Menurut (Wolfram, 2021) berikut merupakan diagnosis banding dari
Enterobiasis:
Appendicitis Imaging
Ascariasis
Cervicitis
Giardiasis
Pediatric Contact Dermatitis
I. Tatalaksana
Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan cacing kremi adalah
mebendazole, pyrantel pamoate, atau albendazole. Salah satu dari obat ini
diberikan dalam satu dosis pada awal pemberian, dan kemudian dosis tunggal
lain dari obat yang sama diberikan dua minggu kemudian. Pyrantel pamoate
tersedia tanpa resep. Obat ini tidak begitu baik dalam membunuh telur cacing
kremi. Oleh karena itu, dosis kedua adalah untuk mencegah infeksi ulang
cacing dewasa yang menetas dari telur yang tidak dibunuh pada pengobatan
pertama. Praktisi kesehatan dan orang tua harus mempertimbangkan risiko
kesehatan dan manfaat obat ini untuk pasien di bawah usia 2 tahun. Infeksi
berulang harus diobati dengan metode yang sama seperti infeksi pertama. Di
lingkungan rumah di mana lebih dari satu anggota keluarga atau orang
serumah yang terinfeksi, direkomendasikan agar semua diterapi pada waktu
yang sama (CDC, 2016).
7
K. Prognosis
Prognosis infeksi cacing kremi / Enterobiasis sangat baik. Pasien
dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter guna untuk memfollow up penyakit
setelah menyelesaikan perawatan untuk memastikan tidak ada infeksi ulang.
Apabila gejala kambuh maka pemeriksaan dan pengobatan harus dimulai
kembali (Rawla & Sharma, 2021).
DAFTAR PUSTAKA
8
9
Sekolah Dasar Negri Pajang I’, Biomedika, 10(2), pp. 52–57. Available at:
https://doi.org/10.31001/biomedika.v10i2.275.
Odigwe, O. 2015. Good Personal hygiene: A Flight Againstbthe Spread of Infectious
Disease. MOJ Public Health, 2(2)
Padoli. (2016). Mikrobiologi Dan Parasitologi Keperawatan. Jakarta : Pusdik SDM
Kesehatan. Hal. 96-99. Akses pada :
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/Mikrobiol
ogi-dan-Parasitologi-Komprehensif.pdf
Sumanto, D. (2014) ‘Efisiensi Dan Efektifitas Periplaswab Dalam Pemeriksaan
Enterobiasis’, Jurnal keperawatan, 7(1), pp. 8–24.
Soedarto. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 219
Wolfram W. and Afuwape.L.O. Enterobiasis (Pinworm Infestation). [Updated: Nov 23,
2021]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/997814-
overview