Anda di halaman 1dari 11

ENTEROBIASIS

TROPICAL MEDICINE SYSTEM

Disusun Oleh :
Kelompok 3

Ketua Kelompok : Ni Luh Sri Antari Putri 19700003


Sekretaris : Farizah El Husna 19700107
Penanggung Jawab Kasus : Ni Luh Sri Antari Putri 19700003
Farizah El Husna 19700107
Anggota Kelompok : Ni Putu Ayu Yusita Dewi 19700019
Kadek Putra Pradnyana 19700028
Ni Luh Narita Vijayanti 19700044
Ni Putu Manik Suryaningsih 19700058
Maulina Syafakamila 19700070
Reza Austin Soelistijanto 19700083
Devi Ma’ariful Akliyah 19700094
Betari Putri Sonic 19700101
Putu Gede Apito Ruswinata 19700121
Lia Nur Fuadah 19700132
Mohammad Reynaldy Nor 19700143

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022/2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang....................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 2

A. Definisi ................................................................................................................... 2

B. Etiologi ................................................................................................................... 2

C. Epidemiologi .......................................................................................................... 3

D. Mekanisme ............................................................................................................ 3

E. Gejala Klinis ........................................................................................................... 5

F. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................... 5

G. Diagnosis ............................................................................................................... 5

H. Differensial Diagnosis ............................................................................................ 6

I. Tatalaksana ........................................................................................................... 6

J. Komunikasi Informasi Edukasi .............................................................................. 7

K. Prognosis ............................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing


Enterobiosis vermicularis atau Oxyuris vermicularis yang terutama menyerang
anak-anak, dimana cacing Enterobiosis vermicularis tumbuh dan berkembang
di dalam usus. Penyakit ini ditemukan kosmopolit dan tersebar luas di seluruh
dunia baik di negara maju maupun negara berkembang dan Indonesia
merupakan negara berkembang yang terdapat kejadian enterobiasis menjadi
salah satu penyebab kecacingan yang paling sering menyerang pada anak–
anak. Cacing Enterobiosis vermicularis ini tidak hanya tersebar pada daerah
yang memiliki iklim tropis saja melainkan juga terdapat pada daerah yang
beriklim dingin. Prevalensi enterobiasis cenderung lebih tinggi pada anak usia
6-8 tahun dan masih menjadi masalah kesehatan yang penting pada anak-
anak usia sekolah dasar (Al-Shadood, 2015).
Penelitian yang dilakukan di Taiwan, Thailand, Malaysia, Sri Lanka,
Venezuela, Korea dan Cina melaporkan insidensi enterobiasis mencapai 0,62%
38,8%, 40,4%, 38%, 19,4%, 18,5% dan 10,2% pada anak sekolah dasar
dengan insidensi pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan. Prevelansi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat
tinggi yaitu sebesar 60%-80%. Hasil survei kecacingan pada siswa sekolah
dasar di Indonesia tahun 2013 di 175 kabupaten/kota menunjukkan bahwa
angka kecacingan tertinggi yakni 85,9% dengan rata- rata prevalensi 28,12%
(Celiksoz, 2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Nama lain Enterobius vermicularis adalah Oxyuris vermicularis yang


dikenal sebagai cacing keremi, cacing jarum (pinworm), atau seatworm
kelompok Soil Transmitted Helmints (STH). Infeksi cacing ini disebut oxyuriasis
atau enterobiasis yang tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis
maupun subtropis. Infeksi Enterobius vermicularis lebih banyak dijumpai di
daerah beriklim dingin karena orang jarang mandi dan tidak sering berganti
pakaian dalam. Penularan melalui mulut, kemudian pernapasan, dan yang
terakhir terjadinya retrofeksi. Enterobius vermicularis dewasa hidup di dalam
sekum dan sekitar apendiks usus manusia yang merupakan satu-satunya
hospes definitif cacing ini. Cacing betina akan mengadakan migrasi ke daerah
sekitar anus (perianal) untuk meletakkan telurnya di daerah tersebut (Soedarto,
2011).

Enterobius vermicularis/Oxyuris vermikularis (cacing kremi) manusia


adalah satu-satunya host dan penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis
(Padoli, 2016).

B. Etiologi
Salah satu faktor risiko tingginya kejadian enterobiasis dapat
disebabkan karena anak-anak yang sering menghabiskan waktu mereka di luar
rumah untuk bermain ataupun berkerumun dengan anak lainnya, melakukan
kontak langsung dengan air dan tanah yang memiliki potensi untuk terinfeksi
cacing Enterobiosis vermicularis penyebab penyakit enterobiasis (Dahal, 2015).
Selanjutnya menurut Odigwe (2015) seseorang yang memiliki personal hygiene
yang baik merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi
dirinya dari berbagai serangan penyakit salah satunya adalah penyakit
enterobiasis.

2
3

Sumber : CDC (2017)

C. Epidemiologi
Enterobius vermicularis merupakan salah satu penyebab cacingan pada
manusia terutama pada anak-anak. Menurut Kemenkes, prevalensi kecacingan
di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan
penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi
cacingan bervariasi antara 2,5%-62% (Kemenkes, 2017). Enterobius
vermicularis merupakan salah satu penyebab cacingan pada manusia terutama
pada anak-anak. Infeksi akibat cacing Enterobius vermicularis terjadi di seluruh
dunia terutama wilayah tropis dan negara berkembang.

D. Mekanisme
Infeksi cacing ini terjadi apabila menelan telur matang. Bila telur matang
tertelan, maka telur akan menetas di usus halus yang selanjutnya larva akan
bermigrasi ke daerah anus (sekum, caecum). Di daerah anus (sekum, caecum)
larva akan hidup sampai dewasa lalu melakukan perkawinan dan cacing betina
bertelur di daerah anus pada malam hari sehingga menyebabkan rasa gatal.
Secara tidak sadar, anus akan digaruk yang menyebabkan kuku tangan
terinfeksi oleh cacing ini (Novianti, 2018). Infeksi oleh Enterobius vermicularis
pada manusia dapat disebabkan oleh 3 (tiga) cara, yaitu peroral, perinhalasi
dan retrograde infection. Peroral atau tertelannya telur cacing secara tanpa
sengaja dapat melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tangan
yang tertempel oleh telur cacing akibat tidak mencuci tangan sebelum makan.
Telur cacing yang mengontaminasi makanan tersebut dapat hidup selama 13
hari dalam suasana lembab dan suhu ruangan. Infeksi melalui perinhalan atau
menghirup telur cacing dapat terjadi akibat telur yang menempel pada tempat
tidur, selimut maupun perabotan rumah dan debu akibat kurang menjaga
4

kebersihan tangan dan kuku penderita. Retrograde infection merupakan infeksi


yang diakibatkan telur cacing Enterobius vermicularis menetas di daerah sekitar
anus dan dapat bermigrasi ke usus besar melalui anus. (Pusarawati, Ideham,
Kusmartisnawati et al. 2009)
Infeksi pada anak-anak dapat ditemukan gejala seperti pruritus ani,
keresahan atau gelisah, hilangnya nafsu makan, insomnia, mudah marah (Li,
Zhou, Li et al. 2015) nocturnal enuresis, mimpi buruk, gemeretak pada gigi,
diare, gatal pada vulva, selulitis yang kambuh-kambuh dan endometritis
(Afrakhteh, Marhaba, Mahdavi. 2015). Gatal pada daerah sekitar anus terutama
pada malam hari yang selanjutnya menimbulkan ekskoriasi dan infeksi
bakterial. Gejala lain yang dapat menyertai infeksi Enterobius vermicularis
adalah rasa sakit pada abdomen dan perasaan menjadi sensitif (Pusarawati,
Ideham, Kusmartisnawati et al. 2009).

Sumber : CDC (2017)


5

E. Gejala Klinis
Beberapa gejala karena infeksi cacing Enterobius vermicularis yaitu
kurang nafsu makan, berat badan turun, dan insomnia. Migrasi dari cacing
menyebabkan reaksi alergi di sekitar anus dan pada malam hari menyebabkan
gatal nokturnal (pruritus ani) (Padoli, 2016).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
Enterobiasis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu telur dalam feses dan
swab per-anal. Perianal swab test merupakan pemeriksaan gold standard untuk
mendapatkan kriteria infeksi cacing Enterobius vermicularis (Sumanto, 2014).
Pemeriksaan feses dengan cara apusan langsung saline untuk mendeteksi
telur merupakan metode yang menghasilkan hasil kasus positif sekitar 5%,
karena telur sering menempel pada perianal (Mulyowati, 2018).
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan melihat anus anak pada
malam hari dan menemukan cacing dewasa yang sedang keluar untuk bertelur
(Lubis, Pasaribu and Lubis, 2016):
1. Pemeriksaan anal swab (penempelan plester di perianal pada pagi hari
sebelum anak buang air besar dan membersihkan anus): telur cacing
2. Pemeriksaan feses : cacing dewasa
3. Pemeriksaan rectal toucher (RT) dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel pemeriksaan.

G. Diagnosis

Anak-anak yang mengalami gatal-gatal malam hari menjelang pagi di


sekitar anus, apalagi jika disertai enuresis, mungkin ia menderita enterobiasis.
Untuk menetapkan diagnosis pasti, telur cacing atau cacing dewasa harus
dapat ditemukan.

Anal swab. Hapusan anus ini yaitu menempelkan selotape transparan di


daerah sekitar anus penderita memudahkan ditemukannya telur cacing. Anal
swab dilakukan segera sesudah bangun tidur pagi hari, sebelum mandi dan
sebelum buang air besar. Dengan memeriksa selotape yang ditetesi toluen
6

dibawah mikroskop akan memudahkan ditemukannya telur cacing (Soedarto,


2011).

Cacing dewasa juga dapat ditemukan di daerah perianal, atau selama


pemeriksaan anorektal atau vagina. Pada kasus infeksi ektopik, telur dapat
terlihat pada urin atau pada apusan Papanicolaou servikovaginal (CDC, 2019)

H. Diagnosis Banding
Menurut (Wolfram, 2021) berikut merupakan diagnosis banding dari
Enterobiasis:
 Appendicitis Imaging
 Ascariasis
 Cervicitis
 Giardiasis
 Pediatric Contact Dermatitis

I. Tatalaksana
Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan cacing kremi adalah
mebendazole, pyrantel pamoate, atau albendazole. Salah satu dari obat ini
diberikan dalam satu dosis pada awal pemberian, dan kemudian dosis tunggal
lain dari obat yang sama diberikan dua minggu kemudian. Pyrantel pamoate
tersedia tanpa resep. Obat ini tidak begitu baik dalam membunuh telur cacing
kremi. Oleh karena itu, dosis kedua adalah untuk mencegah infeksi ulang
cacing dewasa yang menetas dari telur yang tidak dibunuh pada pengobatan
pertama. Praktisi kesehatan dan orang tua harus mempertimbangkan risiko
kesehatan dan manfaat obat ini untuk pasien di bawah usia 2 tahun. Infeksi
berulang harus diobati dengan metode yang sama seperti infeksi pertama. Di
lingkungan rumah di mana lebih dari satu anggota keluarga atau orang
serumah yang terinfeksi, direkomendasikan agar semua diterapi pada waktu
yang sama (CDC, 2016).
7

J. Komunikasi Informasi Edukasi


KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) untuk pencegahan dan
pengendalian Enterobiasis bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Ideham and Pusarawati, 2020).
 Memperbaiki higine perorangan seperti mencuci tangan pakai sabun
setelah buang air besar dan sebelum makan.
 Anak-anak yang menderita enterobiasis sebaiknya pada waktu tidur diberi
pakaian yang rapat yang terbuat dari bahan non porous.
 Mensterilkan alat-alat tidur, sprei, sarung bantal dan pakaian tidur dengan
merendam dalam air mendidih supaya. telur cacing yang ada mati.
 Memotong kuku anak sependek mungkin dan mencuci serta mengelap
tangan mereka beberapa kali terutama sebelum makan.
 Membersihkan toilet secara teratur, supaya telur yang menempel dapat.
hilang.
 Pengobatan penderita/sumber infeksi.
 Pada suatu keluarga, di mana salah seorang anggota keluarga menderita
enterobiasis, sebaiknya seluruh keluarga diperiksa.

K. Prognosis
Prognosis infeksi cacing kremi / Enterobiasis sangat baik. Pasien
dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter guna untuk memfollow up penyakit
setelah menyelesaikan perawatan untuk memastikan tidak ada infeksi ulang.
Apabila gejala kambuh maka pemeriksaan dan pengobatan harus dimulai
kembali (Rawla & Sharma, 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Al-Shadood, H. A. S. 2015. Study the Association Between Enterobius vermicularis


Infection and Enuresis Among Children in Al-Najaf City. AL Qadisiyah Journal
of Vet. Med. Sci, 14(1): 1
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. Parasites- Enterobius
Vermicularis.
Celiksoz, A. A., Mehmet D, Serpil O. A., Yasemin, A., Ahmet. 2010. Effects of
Enterobiasis on Primary School Children. African Journal of Microbiology
Research, 4(8): 634-639
CDC (2016) Enterobiasis (also known as Pinworm Infection), cdc.gov. Available at:
https://www.cdc.gov/parasites/pinworm/treatment.html.
Centers for Disease Control and Prevention. Global Health, Division of Parasitic
Diseases and Malaria. Enterobiasis. [Updated: August 5, 2019]. Available from:
https://www.cdc.gov/dpdx/enterobiasis/
Dahal, T., Maharjan, M. 2015. Pinworm (Enterobius vermicularis) Infection in Children
of Barbhanjyang VDC Tanahun District Nepal. Journal of Institute of Science
and Technology, 20(2): 18-21
Djarismawati, Mardiana. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib
belajar pelayanan gerakan terpaddu pengentasi kemiskinan daerah kumuh di
wilayah DKI Jakarta. J Ek ologi Kesehatan. 2008;7(2):769- 74
Ideham, B. and Pusarawati, S. (2020) Helmintologi kedokteran. Airlangga University
Press.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat data dan informasi profil kesehatan
kesehatan Indonesia tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.2012
Lalangpuling, I.E., Pinontoan, S.P. and Masa, J.V., 2022, July. GAMBARAN PHBS
DAN IDENTIFIKASI TELUR CACING ENTEROBIUS VERMICULARIS PADA
BALITA DI DESA WORI KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA
UTARA. In E-PROSIDING Seminar Nasional 2022 ISBN: 978.623. 93457.1. 6
(Vol. 1, No. 02, pp. 544-557).
Lubis, S.M., Pasaribu, S. and Lubis, C.P. (2016) ‘Enterobiasis pada Anak’, Sari
Mulyowati, T. (2018) ‘Gambaran Infeksi Enterobiasis, Ascariasis, Trichuriasis, dan
Infeksi Hookworm, pada Murid Sekolah Dasar 03 Plumbon Karanganyar dan

8
9

Sekolah Dasar Negri Pajang I’, Biomedika, 10(2), pp. 52–57. Available at:
https://doi.org/10.31001/biomedika.v10i2.275.
Odigwe, O. 2015. Good Personal hygiene: A Flight Againstbthe Spread of Infectious
Disease. MOJ Public Health, 2(2)
Padoli. (2016). Mikrobiologi Dan Parasitologi Keperawatan. Jakarta : Pusdik SDM
Kesehatan. Hal. 96-99. Akses pada :
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/Mikrobiol
ogi-dan-Parasitologi-Komprehensif.pdf
Sumanto, D. (2014) ‘Efisiensi Dan Efektifitas Periplaswab Dalam Pemeriksaan
Enterobiasis’, Jurnal keperawatan, 7(1), pp. 8–24.
Soedarto. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 219
Wolfram W. and Afuwape.L.O. Enterobiasis (Pinworm Infestation). [Updated: Nov 23,
2021]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/997814-
overview

Anda mungkin juga menyukai