Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FARMAKOTERAPI III KANKER SERVIKS

KELOMPOK III
NAMA NIM
Ai Noviani D1A210087
Annisa Harlya Gumay D1A210116
Astin Putri Utami D1A210109
Ayu Wandira D1A210168
Iis Yuliani D1A210146
Reski Khaerunnisa D1A210102
Tia Tamara D1A210211
Yolan Puspa Sari D1A210029

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS AL-GHIFARI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan hidahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Farmakoterapi Kanker Serviks”. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi III
Prodi S1 Farmasi Universitas Al-Ghifari Bandung. Dalam penulisan makalah ini banyak
kendala yang dihadapi oleh penulis, namun itu dapat diatasi melalui bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena ini penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua
pihak yang selalu setia mendampingi dan memberikan sumbangan pemikiran serta saran
dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan Makalah ini penyusun menyadari masih adanya banyak
kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun
harapkan. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bandung, 28 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Daftar isi……………………………………………………………………………………….ii
Latar Belakang………………………………………………………………………………...1
Pengertian……………………………………………………………………………………...3
Patofisiologi……………………………………………………………………………………
6
Etiologi…...……………………………………………………………………………………7
Manifestasi Klinik/gejala……………………………………………………………………...8
Faktor Resiko………………………………………………………………………………….8
Algoritma Terapi Yang Diberikan…………………………………………………………...10
Tatalaksana Terapi Rasional………………………………………………………………....13
Contoh Studi Kasus Mengandung Evaluasi Penggunaaan Obat……………………………..15
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel-sel abnormal atau proliferasi sel-sel
yangtidak dapat diatur. Tingkat poliferasi antara sel kanker berbeda beda antara satu
dengan yang lainnya. Perbedaan sel kanker dengan sel normal terletak pada sifat sel
kanker yang tidak pernah berhenti membelah. Kanker merupakan suatu kegagalan
morfogenesis normal dan dan kegagalan difrensiasi normal, artinya pertumbuhan
kanker tidak dapat dikendalikan dan tidak pernah memperoleh struktur normal serta
fungsi khas jaringan tempat sel kanker tumbuh. Menurut Guyton, Arthur C. ,Kanker
merupakan suatu penyakityang menyerang proses dasar kehidupan sel, yang hampir
semuanya menambah genom sel (komplemen genetik total sel) serta mengakibatkan
pertumbuhan liar dan penyebaran sel kanker.
Penyebab perubahan genom ini adalah mutase(perubahan) salah satu gen atau
lebih; atau mutasi sebagian besar segmen utas DNA yang mengandung banyak gen;
atau pada beberapa keadaan penambahan atau pengurangan sebagian besar segmen
kromosom. Setiap kanker mulai dengan sebuah sel. Kejadian apapun yang
mengalihkan sebuah selnormal menjadi sebuah sebuah sel kanker. Sel kanker tidak
menyerang massa sel, maskipun pada stadium akhir kanker, badan dapat mengandung
berbiliun sel kanker dan semuanya itu adalah keturunan sebuah sel pendahulunya.
Jadi semua sel kanker metastis maupun pada tumor merupakan sebuah klon.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang Farmakoterapi Kanker
Serviks. Kanker serviks adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher rahim,
yaitu area bagian bawah Rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Pada
tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker merupakan problem kesehatan yang
sangat serius karena jumlah penderitanya meningkat sekitar 20% per tahun. Kanker
serviks (mulut Rahim) adalah penyakit pembunuh wanita nomor satu di dunia. Di
seluruh dunia, kasus kanker serviks ini sudah dialami oleh 0,1 juta wanita. Data yang
didapat dari Badan Kesehatan Dunia(WHO) diketahui terdapat 493.243 jiwa per-
tahun penderita kanker serviks baru dengan angka kematian sebanyak 273.505 jiwa
per-tahun. Sampai saat ini kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan
perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematian
akibat kanker serviks yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut,
keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah,keterbatasan sumber
daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi dan derajat pendidikan
ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kanker serviks?
2. Bagaimana Patofisiologi kanker serviks?
3. Bagaimana Etiologi kanker serviks?
4. Bagaimana Manifestasi Klinik/gejala kanker serviks?

1
5. Bagaimana Faktor Resiko Kanker Serviks ?
6. Bagaimana Algoritma Terapi Yang Diberikan?
7. Bagaimana Tatalaksana Terapi Rasional?
8. Bagaimana Contoh Studi Kasus Mengandung Evaluasi Penggunaaan Obat?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui pengertian kanker serviks
2. Untuk Mengetahui Patofisiologi kanker serviks
3. Untuk Mengetahui Etiologi kanker serviks
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinik/gejala kanker serviks
5. Untuk Mengetahui Faktor Resiko Kanker Serviks
6. Untuk Mengetahui Algoritma Terapi Yang Diberikan
7. Untuk Mengetahui Tatalaksana Terapi Rasional
8. Untuk Mengetahui Contoh Studi Kasus Mengandung Evaluasi Penggunaaan Obat

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim atau
serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak
vagina. Kanker serviks merupakan gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan
kelompok penyakit yang dimanifestasikan dengan gagalnya untuk mengontrol
proliferasi dan maturasi sel pada jaringan serviks. Kanker serviks biasanya menyerang
wanita berusia 35 - 55 tahun, 90% dari kanker serviks berasal dari sel kelenjar
penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim. Dari beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli penulis dapat menyimpulkan bahwa
kanker serviks adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang terdapat pada organ
reproduksi wanita yaitu serviks atau bagian terendah dari rahim yang menempel pada
puncak vagina.
Stadium Karsinoma Kanker Serviks

Tahapan
No. Proses
(Stadium)

1. Kanker insitu, kanker terbatas pada lapisan


Tahap O
epitel, tidak terdapat bukti invasi.

2. Karsinoma yang benar – benar berada dalam


Tahap I serviks. Proses terbatas pada serviks
walaupun ada perluasan ke korpus uteri.

3. Karsinoma mikroinvasif, bila membrane


basalis sudah rusak dan sel tumor sudah
Tahap Ia memasuki stoma lebih dari 1 mm, sel tumor
tidak terdapat pada pembuluh limfa atau
pembuluh darah.

4. Secara klinis sudah diduga adanya tumor


Tahap Ib yang histologik menunjukkan invasi serviks
uteri.

5. Kanker vagina, lesi telah menyebar diluar


Tahap II
serviks hingga mengenai vagina (bukan

3
sepertiga bagian bawah) atau area para
servikal pada salah satu sisi atau kedua sisi

6. Penyebaran hanya perluasan vagina,


Tahap IIa parametrium masih bebas dari infiltrate
tumor.

7. Penyebaran ke parametrium, uni atau


Tahap IIb bilateral tetapi belum sampai pada dinding
panggul.

8. Kanker mengenai sepertiga bagian bawah


vagina atau telah meluas kesalah satu atau
kedua dinding panggul. Penyakit modus
Tahap III
limfa yang teraba tidak merata pada dinding
panggul. Urogram IV menunjukkan salah
satu kedua ureter tersumbat oleh tumor

9. Penyebaran sampai pada sepertiga bagian


Tahap IIIa disertai distal vagina, sedang ke parametrium
tidak dipersoalkan.

10. Penyebaran sudah sampai pada dinding


panggul, tidak ditemukan daerah bebas
infiltrasi antara tumor dengan dinding
Tahap IIIb
panggul (frozen pelvic) atau proses pada
tingkatan klinik I dan II , tetapi sudah ada
gangguan faal ginjal.

11. Proses keganasan telah keluar dari panggul


kecil dan melibatkan mukosa rektum atau
Tahap IV kantong kemih (dibuktikan secara histologik)
atau telah terjadi metastasis keluar panggul
atau ketempat – tempat yang jauh.

12. Tahap IVa Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau

4
sudah menginfiltrasi mukosa rektum dan
kantong kemih.

13. Tahap IVb Telah terjadi penyebaran jauh (parah).

B. Patofisiologi
Kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe
onkogenik (yang berpotensi menyebabkan kanker). Telah terbukati virus HPV telah
menginfeksi dan menyebabkan kanker serviks dengan prevalensi di dunia sebesar
99,7%.
Infeksi HPV terjadi setelah wanita melakukan hubungan seksual. Sudah
banyak virus HPV ini menyerang wanita dengan prevalensi 80% dari wanita yang
terinfeksi sebelum usia 50 tahun. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang timbul, oleh
karena itu banyak wanita yang tidak menyadarinya dan menimbulkan kerusakan
lapisan lendir menjadi prakanker.
Perkembangan dari infeksi HPV onkogenik akan mejadi kanker serviks jika
infeksi ini menetap di beberapa sel yang terdapat di serviks (sel epitel pipih atau
lonjong di zona transformasi serviks). Sel-sel ini sangat rentan terhadap infeksi HPV,
dan jika sel ini telah terinfeksi maka ia akan berkembang melampui batas wajar atau
abnormal dan akan mengubah susunan sel di dalam serviks.
Perkembangan sel abnormal pada epitel serviks dapat berkembang menjadi
prakanker yang disebut Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN). Jika memperhatikan
infeksi HPV onkogenik ini secara persisten, maka akan ditemukan tiga pola utama
pada prakanker dimulai dengan infeksi pada sel serta perkembangan sel-sel abnormal

5
hingga dapat berlanjut menjadi intraepithelial neoplasia dan pada akhirnya menjadi
kanker serviks. Dari serviks HPV sampai terjadinya kanker ini memerlukan waktu
cukup lama, sekitar 20 tahun. Tahapan perkembangan sel-sel abnormal hingga
menjadi kanker serviks adalah, sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016). :
● Cervical Intraepithelial Neoplasia I (CIN I). Dalam tahap ini, terjadi perubahan
yaitu sel yang terinfeksi HPV onkogenik akan membuat partikel-partikel virus
baru.
● Cervical Intraepithelial Neoplasia II (CIN II). Dalam tahap ini, sel-sel semakin
menunjukan gejala abnormal prakanker.
● Cervical Intraepithelial Neoplasia III (CIN III). Dalam tahap ini, lapisan
permukaan serviks dipenuhi dengan sel-sel abnormal dan semakin menjadi
abnormal.
● Infeksi persisten dengan HPV onkogenik dapat berkembang atau menunjukan
kehadiran lesi prakanker, seperti CIN I, CIN II, CIN III dan Carcinoma In Situ
(CIS)
● Kanker serviks yang semakin invasive yang berkembang dari CIN III.

D. Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah Human Papilloma Virus (HPV). Lebih
dari 90% kanker leher rahim adalah jenis skuamosa yang mengandung DNA virus
Human Papilloma Virus (HPV) dan 50% kanker servik berhubungan dengan Human
Papilloma Virus tipe 16. Virus HPV dapat menyebar melalui hubungan seksual
terutama pada hubungan seksual yang tidak aman. Virus HPV menyerang selaput
pada mulut dan kerongkongan serta anus dan akan menyebabkan terbentunya sel-sel
pra-kanker dalam jangka waktu yang panjang (Ridayani, 2016).
Tipe HPV genital terdapat 40 jenis, 15 tipe diantaranya bersifat onkogenik.
Lebih dari 70% kanker serviks didominasi oleh HPV subtype 16 dan 18. Pada kondisi
awal, infeksi HPV bersifat sementara, dimana virus tidak menyebabkan neoplasia
serviks. Namun bilamana infeksi HPVnya terjadi secara persisten, maka dapat
berkembang menjadi CIN bahkan kanker serviks, dimana proses ini dapat terjadi
dalam waktu sekitar 15 tahun, walaupun sebagian kasus melaporkan dapat terjadi
lebih cepat (HOGI, 2018).
Virus HPV akan menempel pada reseptor permukaan sel dengan perantara
virus attachment yang tersebar pada permukaan virus. HPV yang menempel pada
reseptor permukaan sel akan melakukan penetrasi, adanya luka mempermudah virus
memasuki sel. Virus masuk dan mengeluarkan genom setelah itu kapsid dihancurkan.
Setelah virus masuk ke dalam inti sel, virus melakukan transkripsi dengan DNA-nya
berubah menjadi MRNA (Yanti, 2013).
Mekanisme terjadinya kanker serviks berhubungan dengan siklus sel yang
diekspresikan oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan
E7. Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linier dan terpotong
diantara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dengan DNA manusia

6
menyebabkan gen E2 tidak berfungsi sehingga akan merangsang E6 berikatan dengan
p53 dan E7 berikatan dengan pRb (Yanti, 2013).
Ikatan antara protein E6 dan gen p53 akan menyebabkan p53 tidak berfungsi
sebagai gen supresi tumor yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan menghentikan
siklus sel di fase G1 dengan tujuan penghentian siklus sel yaitu agar sel dapat
memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S. Mekanisme kerja p53 adalah
dengan menghambat kompleks cdk-cyclin yang akan merangsang sel memasuki fase
selanjutnya jika E6 berikatan dengan p53 maka sel terus bekerja sehingga sel akan
terus membelah dan menjadi abnormal (Yanti, 2013).
Protein retinoblastoma (pRb) dan gen lain yang menyerupai pRb (p130 dan
p107) berfungsi mengkontrol ekspresi sel yang diperantarai oleh E2F. Ikatan pRb
dengan E2F akan menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1, jika pRb
berikatan dengan protein E7 dari HPV maka E2F tidak terikat sehingga 10
menstimulasi proliferasi sel yang melebihi batas normal sehingga sel tersebut menjadi
sel karsinoma (Yanti, 2013).
E. Manifestasi Klinis/Gejala
Seseorang yang terkena HPV (Human Papilloma Virus) tidak lantas demam
seperti terkena virus influenza. masa inkubasi untuk perkembangan gejala klinis
infeksi HPV sangat bervariasi. Kutil akan timbul beberapa bulan setelah terinfeksi
HPV, efek dari virus HPV akan terasa setelah berdiam diri pada serviks selama 10-20
tahun. Gejala fisik serangan penyakit ini secara umum hanya dapat dirasakan oleh
penderita usia lanjut. berikut gejala umum yang sering muncul dan dialami oleh
penderita kanker serviks stadium lanjut :
a. keputihan tidak normal atau berlebih
b. munculnya rasa sakit dan pendarahan saat berhubungan intim (contact bleeding)
c. pendarahan diluar siklus menstruasi
d. penurunan berat badan drastis
e. apabila kanker sudah menyebar ke panggul, maka pasien akan menderita keluhan
nyeri panggul
f. serta dijumpai juga hambatan dalam berkemih dan pembesaran ginjal
F. Faktor Resiko
1. Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker
serviks meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan.aktivitas seksual
yang dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun,juga dapat dijadikan
sebagai faktor resiko terjadinya kanker serviks. Hal ini diduga ada
hubungannya dengan belum matangnya daerah transformasi pada usia tersebut
bila sering terekspos. Frekuensi hubungan seksual juga berpengaruh pada
lebih tingginya resiko pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih
tua.
2. Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan.
Semakin sering melahirkan,maka semakin besar resiko terjangkit kanker

7
serviks. Penelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara risiko
dengan multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV.
3. Merokok
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara merokok
dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel confounding
seperti pola hubungan seksual. Penemuan lain memperlihatkan ditemukannya
bahan karsinogenik spesifik dari tembakau yang dapat dijumpai dalam lendir
dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak
DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan
transformasi keganasan.
4. Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun
1983 mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks dipengaruhi
oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan
bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada pengguna
kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10
tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi oral.
Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk menyimpulkan
bahwa aktivitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan
hal tersebut.
WHO mereview berbagai penelitian yang menghubungkan
penggunaan kontrasepsi oral dengan risiko terjadinya kanker serviks,
menyimpulkan bahwa sulit untuk menginterpretasikan hubungan tersebut
mengingat bahwa lama penggunaan kontrasepsi oral berinteraksi dengan
faktor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam mempengaruhi resiko
kanker serviks.
Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaan smear
serviks,sehingga displasia dan karsinoma in situ tampak lebih frekuen pada
kelompok tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks
karena adanya bias dan faktor confounding.
5. Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu
seperti betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungan dengan
peningkatan resiko terhadap displasia ringan dan sedang. Namun sampai saat
ini tidak ada indikasi bahwa perbaikan defisiensi gizi tersebut akan
menurunkan resiko.
6. Sosial ekonomi
Studi secara deskriptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang
kuat antara kejadian kanker serviks dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa
infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat pendidikan dan

8
pendapatan rendah. Faktor defisiensi nutrisi, multiparitas dan kebersihan
genitalia juga diduga berhubungan dengan masalah tersebut.
7. Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi
bahan yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata
memberi resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya
kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi
pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan
ganda selain istri juga merupakan faktor risiko yang lain.
G. Tata Laksana
1. Tata Laksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi prakanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan
kesehatan, kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas, dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and
treatprogram, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan
yang sudah terlatih. Pada skrining dengan tes Papsmear, temuan hasil abnormal
direkomendasikanuntuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi.
Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone
(LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil
elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan
tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasilsetelah dilakukan kolposkopi:
● Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL), dilakukan LEEP dan
observasi 1 tahun.
● High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL), dilakukanLEEP dan
observasi 6 bulan.

Berbagai Metode Terapi Lesi Prakanker Serviks:


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain krioterapi dengan N2O dan
CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan untuk
destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang
kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.
● Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode
pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit
(teknik Freeze thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme:
a. sel‐sel mengalami dehidrasi dan mengkerut;

9
b.konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu;
c.syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; dan
d.status umum sistem mikrovaskular.
● Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loopdiathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona
transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.
● Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif
jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas.

● Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan
intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di
bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan
dan lama penyinaran.
1. Tata Laksana Kanker Serviks Invasif
a. Stadium 0 / KIS (Karsinoma In Situ)
1) Konisasi (Cold knife conization):
2) bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih
memerlukan fertilitas;
3) Bila tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi;
4) Bila fertlitas tidak diperlukan histerektomi total;
5) Bila hasil konisasi ternyata invasive, terapi sesuai tata laksana kanker
invasif.
b. Stadium IA1 (LVSI negatif)
1) Konisasi (Cold knife conization) bila free margin (terapi adekuat)
apabila fertilitas dipertahankan (Tingkat Evidens B)
2) Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan.
c. Stadium IA1 (LVSI positif)
1) Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila
fertilitas dipertahankan.
2) Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi

10
medik dapat dilakukan Brakhiterapi.
d. Stadium IA2, IB1, IIA1
Pilihan:
1) Operatif
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik. (Tingkat evidens
1 / Rekomendasi A). Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila
terdapat faktor risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium,
batas sayatan tidak bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI dan
faktor risiko lainnya. Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila
metastasis KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor/closed
margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakhiterapi.

2) Non Operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi) dan Kemoradiasi (Radiasi : EBRT
dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi).
e. Stadium IB2 dan IIA2
Pilihan:
1) Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2) Neoajuvan Kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuknmengecilkan massa
tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
f. Stadium IIB
Pilihan :
1) Kemoradiasi (Rekomendasi A);
2) Radiasi (Rekomendasi B);
3) Neoajuvan Kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4) Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian).
g. Stadium IIIA-IIIB
1) Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2) Radiasi (Rekomendasi B)
h. Stadium IIIB dengan CKD
1) Nefrostomi/Hemodialisa bila diperlukan;
2) Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin; atau
3) Radiasi
i. Stadium IVA tanpa CKD

11
Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasikan terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan dengan Kemoradiasi Paliatif atau
Radiasi Paliatif.
j. Stadium IVA dengan CKD dan IVB
1) Paliatif;
2) Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif/radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.

2. Prinsip Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tata laksana kanker
serviks. Radioterapi dalam tata laksana kanker serviks dapat diberikan sebagai terapi
kuratif definitif, ajuvan post operasi, dan paliatif.

3. Dukungan Nutrisi
Tindakan pembedahan, radioterapi dan kemoterapi pada pasien kanker serviks dapat
meningkatkan stres metabolisme, sehingga dapat menyebabkan penurunan asupan dan
risiko malnutrisi pada pasien. Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 40% pasien
kanker ginekologi mengalami malnutrisi dan kaheksia ditemukan sekitar 50-80%
pasien kanker. Dengan demikian, pasien perlu mendapat tata laksana nutrisi adekuat,
dimulai dari skrining, penentuan diagnosis, serta tata laksana umum dan khusus.
Apabila pasien dapat melewati serangkaian terapi dan dinyatakan bebas kanker, maka
para penyintas tetap perlu mendapatkan edukasi dan terapi gizi untuk mencegah
rekurensi serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

I. Tata Laksana Terapi Rasional

Outcome : Pengobatan dan pencegahan kanker serviks

Tujuan : Membunuh sel kanker dan pemulihan kembali penderita kanker serviks

Sasaran : Gejala, penyebab dan pertumbuhan sel kanker serviks

a. Terapi Non-Farmakologi Kanker Serviks

Penatalaksanaan non-farmakologi untuk kanker serviks sebagai berikut:

1. Menunda hubungan seksual sampai usia diatas remaja

2. Batasi jumlah pasangan serta tolak berhubungan seksual dengan yang mempunyai
banyak pasangan dan dengan orang terinfeksi genital warts .

3. Hubungan seksual yang aman. Kondom tidak memproteksi infeksi HPV

12
4. Hentikan merokok

5. Rajin mebersikan daerah kewanitaan dan jangan Menaburi bedak pada vagina
(Abidin,2007).

Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada stadium kanker serviks saat
didiagnosis. Dikenal beberapa dalam tata laksana kanker serviks antara lain:

1. Tindakan bedah

2. Radioterapi

3. Kemoterapi

4. Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada peningkatan kualitas
hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang mengandung nutrisi, pengontrol
sakit (pain control).

b. Terapi Farmakologi Kanker Serviks

Stadium pra kanker hingga 1A biasanya diobati dengan histerektomi. Bila


pasien masih ingin memiliki anak, metode LEEP atau cone biopsy dapat menjadi
pilihan. Kanker serviks stadium lanjut (IIB-IVA) dapat diobati dengan radioterapi dan
kemoterapi berbasis cisplatin. Pada stadium sangat lanjut (IVB), digunakan kemoterapi
dengan kombinasi obat, misalnya hycamtin dan cisplatin.

1. Rekomendasi pengobatan untuk stadium awal penyakit :Stadium IA1: pengobatan


dengan operasi atau terapi radiasi.
2. Rekomendasi pengobatan stadium IA2 :Pengobatan dengan histerektomi radikal atau
trachelectomy radikal dengan diseksi kelenjar getah bening panggul, Pilihan alternatif
termasuk brachytherapy dengan atau tanpa terapi radiasi panggul.
3. Rekomendasi pengobatan stadium IB dan IIA : Pasien dengan stadium IB atau IIA
penyakit dapat diobati dengan pembedahan (trachelectomy radikal, limfadenektomi
panggul, histerektomi radikal ditambah diseksi kelenjar getah bening bilateral
panggul), radioterapi panggul atau kemoradiasi. Jika kelenjar getah bening yang
positif, maka histerektomi tidak dianjurkan, melainkan pasien harus menerima
kemoradiasi. Pasien dengan stadium IB atau IIA juga dapat diberikan radioterapi
panggul dan brachytherapy bersamaan dengan atau tanpa kemoterapi berbasis
cisplatin.
Kemoradiasi Terapi: cisplatin 40 mg/m2 (maksimum 70 mg) IV sekali dalam seminggu
plus terapi radiasi 1,8-2 Gy per fraksi (minimal 4 siklus; maksimum 6 siklus); beberapa

13
lembaga menambahkan 5-fluorouracil (5-FU) 500 mg/m2 IV pada hari 2-5 dan 5d
terakhir dari terapi untuk cisplatin.
4. Rekomendasi pengobatan untuk penyakit stadium lanjut : Pengobatan rekomendasi
untuk penyakit lanjut termasuk kemoradiasi bersamaan dan brachytherapy.
Kemoradiasi terapi: cisplatin 40 mg/m2 (maksimum 70 mg) IV sekali dalam
seminggu plus terapi radiasi 1,8-2 Gy per fraksi (minimal 4 siklus; maksimum 6
siklus); beberapa lembaga menambahkan 5-fluorouracil (5-FU) 500 mg/m2 IV pada
hari 2-5 dan 5d terakhir dari terapi untuk cisplatin.
5. Rekomendasi pengobatan metastatik
Pengobatan dengan cisplatin, dianjurkan dengan terapi radiasi. Terapi sistemik untuk
stadium IV berulang atau penyakit metastasis
a. Paclitaxel 135 mg/m2 IV lebih dari 24 jam (dosis pada 175 mg/m2 IV selama
3h juga diterima) ditambah cisplatin 50 mg/m2 IV; setiap 3wk atau
b. topotecan 0,75 mg/m2 IV (atau 0,6 mg/m2 IV jika terapi radiasi sebelumnya)
pada hari 1-3 ditambah cisplatin 50 mg/m2 IV; setiap 3wk atau
c. Paclitaxel 175 mg/m2 IV selama 3 jam pada hari 1; setiap 21d
6. Terapi lini kedua untuk stadium IV berulang atau penyakit metastasis
Nasional Comprehensive Cancer Network (NCCN) merekomendasikan agen seperti
bevacizumab, docetaxel, gemcitabine, ifosfamid, 5-FU, mitomycin, irinotecan, dan
topotecan.

H. Contoh Studi Kasus Mengandung Evaluasi Penggunaan Obat

Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif dan tidak aman yang lebih
dikenal dengan istilah tidak rasional saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam
pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa kriteria penggunaan obat yang tidak rasional
dalam kontek biomedis. Penggunaan obat tidak rasional jika pemilihan obat tidak
tepat, indikasi tidak jelas, regimen obat (mencakup dosis, cara pemberian, frekuensi
pemberian) tidak tepat, pemberian obat tidak disertai informasi yang tepat pada pasien

14
serta adanya ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan sitostatika pada pasien
kanker serviks. Untuk kriteria yang berhubungan dengan pemberian informasi yang
tepat serta kepatuhan pasien tidak dapat dilakukan karena tidak bisa berhadapan
langsung dengan pasien yang bersangkutan. Penelitian ini menggunakan data
retrospektif dimana data yang dianalisis adalah data yang telah terjadi sehingga
kriteria yang dapat dilakukan evaluasinya adalah tepat indikasi, tepat penderita, tepat
obat dan tepat regimen.
Dalam penatalaksanaan kanker serviks, beberapa cara yang dapat dilakukan
yaitu pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Terapi yang diberikan ditentukan
berdasarkan stadium dari kanker. Apabila kanker berada pada stadium dini atau belum
terjadi metastase masih bisa dilakukan pembedahan dan atau radioterapi. Untuk
kanker yang berada pada stadium lanjut biasanya diberikan kemoterapi. Kemoterapi
adalah suatu metode terapi menggunakan obat yang disebut dengan sitostatika yang
bertujuan untuk membunuh sel kanker. Kemoterapi diberikan untuk meringankan
pasien akibat gejala kanker dan cara pemberianpun bervariasi seperti melalui
intravena, intramuskular ataupun peroral. Dalam pelaksanaannya yang harus
diperhatikan yaitu jenis sitostatika yang akan digunakan, regimen dosis, cara
pemberian dan jadwal pemberian.
Hasil analisis terhadap ketepatan indikasi, penderita, obat, dosis, frekuensi dan
rute pemberian obat kanker serviks berdasarkan rekapitulasi data yang telah dilakukan
diketahui bahwa tidak ada penggunaan obat kanker serviks yang tidak tepat indikasi,
tidak tepat penderita, tidak tepat obat dan tidak tepat rute pemberian.Masalah
ketidaktepatan yang ditemukan adalah tidak tepat dosis 1,01%, tidak tepat frekuensi
4,04% dan data yang tidak lengkap 11,11%.

Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat 11 pasien yang memiliki data tidak
lengkap, dimana tinggi badan tidak tertulis yang akan berpengaruh pada perhitungan
dosis yang akan diberikan. Tidak tercantumnya tinggi badan pasien bisa disebabkan
oleh faktor seperti pasien pernah dirawat sebelumnya sehingga data pertama tersebut
yang digunakan. Faktor lainnya yaitu tenaga medis mempunyai anggapan/ sudah bisa
memperkirakan tinggi badan pasien berdasarkan pengalamannya. Kurangnya
pengetahuan serta orientasi dari tenaga kesehatan, kurangnya komunikasi antara
tenaga medis maupun dengan pasien dapat menyebabkan irasional dalam terapi.

15
Pada kategori tepat dosis, ditemukan ketidaktepatan dosis sebesar 1,01%.
Ketidaktepatan terjadi pada satu pasien karena pemberian sisplatin yang tidak tepat.
Penggunaan klinis sisplatin yaitu untuk karsinoma ovarium, serviks, kandung kemih,
bronkus, prostat, karsinoma di daerah kepala dan leher yang pemberiannya bersama
paklitaksel, siklofosfamid atau doksorubisin. Pada penggunaannya dosis sisplatin
sesuai standar atau protokol adalah 50-70 mg/m2 untuk sekali pemberian atau 20
mg/m2 /hari untuk 5 hari dan dapat diulang setelah 3-4 minggu. Pada kasus ini pasien
diberikan dosis 70 mg selama 5 hari, dimana dosis tersebut seharusnya sebagai dosis
tunggal atau hanya untuk satu hari dengan sekali pemberian.
Pada analisis ketepatan frekuensi, ditemukan ketidaktepatan pada empat
pasien dengan persentase 4,04%. Dua pasien pada pemberian kombinasi paklitaksel
dan sisplatin serta dua pasien yang diberikan sisplatin tunggal. Ketidaktepatan
frekuensi pemberian kombinasi paklitaksel dan sisplatin karena pada pasien
pemberian paklitaksel seharusnya adalah selama 3 hari tapi hanya diberikan selama 1
hari. Pada kasus lainnya, pemberian sisplatin yang seharusnya hanya sekali pemberian
tapi diberikan selama 3 hari. Frekuensi pemberian kemoterapi tergantung pada
berbagai faktor. Dokter akan membuat rencana pengobatan yang sesuai berdasarkan
pada jenis kanker, stadium, faktor kesehatan, jenis obat kemoterapi yang diberikan
dan metode pengobatan lain yang digunakan (Solimando, 2003).Pada penatalaksanaan
kanker serviks, pemberian kemoterapi umumnya diberikan setiap minggu atau setiap
tiga minggu sekali. Jika pemberian dengan metode setiap 3 minggu maka akan
diberikan sebanyak 6 siklus. Pada beberapa kasus, kemoterapi tidak bisa dilakukan
secara lengkap sebanyak 6 siklus, sehingga dokter terkadang harus memilih alternatif
pengobatan lain (Solimando, 2003 ; Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai evaluasi penggunaan sitostatika
pada pasien kanker serviks rawat inap yang meliputi tepat obat, tepat indikasi dan
tepat dosis maka dapat disimpulkan bahwa masalah ketidaktepatan yang ditemukan
adalah tidak tepat dosis 1,01%, tidak tepat frekuensi 4,04% dan data yang tidak
lengkap 11,11%. Untuk kategori tepat obat, tepat indikasi dan tepat pasien diperoleh
persentase masing-masingnya 100%.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dewi RS, Susanty A, Fahleni. Evaluasi Penggunaan Sitostatika pada Pasien Kanker
Serviks di Instalasi Rawat Inap. 2000;1–8. Available from:
http://ejournal.stifar-riau.ac.id/index.php/jpfi/article/view/446/22

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Komite Nasional Penanggulangan


Kanker: Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks.

Rasjidi, Imam, Dr. 2010. Kanker Pada Wanita. PT.Gramedia: Jakarta

17
18

Anda mungkin juga menyukai