Buku Kumpul Jurnal Ulumul Quran
Buku Kumpul Jurnal Ulumul Quran
net/publication/362167038
CITATIONS READS
0 72
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Fakhri Putra Tanoto on 21 July 2022.
Jurnal 1: Pengertian Ulumul Qur’an Sejarah dan Perkembangan Studi Ilmu Al-Qur’an
Jurnal 2: Sejarah Perkembangan Tafsir dan Sejarah Metodologi Tafsir
Jurnal 3: Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Jurnal 4: Sejarah Penyimpangan Tafsir dan Macam-Macamnya
Jurnal 5: Ilmu Tartib Suwar I
Jurnal 6: Ilmu Tartib Suwar II
Jurnal 7: Fawatih Suwar
Jurnal 8: Ilmu Munasabah
Jurnal 9: Al-Qur’an dalam Tujuh Huruf dan Pendapat Para Ulama
Jurnal 10: Al-Qur’an Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Diskursus Seputar Para Ulama
Jurnal 11: Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an
Jurnal 12: Amtsal Al-Qur’an
Jurnal 13: Aqsam Dalam Al-Qur’an dan Macam serta Unsurnya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai pengertian Ulumul
Qur’an, sejarah dan perkembangan studi ilmu Al-Qur’an. Metode penelitian ini
bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta
studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Ulumul Qur’an
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Az-
Zarqani, serta menerangkan sejarah mulai dari ruang lingkup dan pokok bahasan.
Penelitian ini memiliki signifikasi untuk pengembangan diskursus Ilmu Al-Qur’an,
mengingat diskursus mengenai Ulumul Qur’an sangatlah banyak. Kesimpulan pada
penelitian ini adalah kajian tentang Ulumul Qur’an memiliki peran penting dalam
memahami Al-Qur’an secara sistematis dan komprehensif.
ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the meaning of Ulumul Qur'an, the history and
development of the study of Qur'anic science. This research method is qualitative by using
descriptive method through theoretical analysis and literature study. The results of this study
conclude that Ulumul Qur'an is a science that discusses the Qur'an as explained by Az-
Zarqani, and explains the history of the scope and subject matter. This research has significance
for the development of the Qur'anic Science discourse, considering that the discourse on the
Ulumul Qur'an has a lot of lightening. The conclusion of this research is the study of Ulumul
Qur'an has an important role in understanding the Qur'an systematically and
comprehensively.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.1 Penelitian kualitatif
dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa
deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang
dapat diamati.2 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi kepustakaan.
Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg menjadiikan teori
sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang diteliti. Analisis teori
digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian dikonstruksikan menjadi
deskripsi yang argumentatif.3 Studi kepustakaan dipakai untuk memperkaya literatur
penelitian, agar kemudia dapat ditarik sebuah kesimpulan.
1
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre-
Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
2
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
3
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
dengan standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’I bi haqiqatih“ (mengetahui
dengan sebenarnya).4
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari bahasa Arab قرآن- قرأ – يقرأyang merupakan
isim mashdar yaitu artinya bacaan. Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa
walaupun kata Al-Qur’an adalah mashdar (bacaan), namun Al-Qur’an bermakna
maf’ul (yang dibaca). Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang didalamnya terkandung
bacaan dan isi yang menarik untuk dijadikan studi sehingga melahirkan berbagai
macam pengetahuan diantaranya adalah Ulumul Qur’an.
Gabungan kata ‘Ulum dengan kata Al-Qur’an memperlihatkan adanya
penjelasan tentang jenis-jenis ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Al-
Qur’an; ilmu yang bersangkutan dengan pembelaan tentang keberadaan Al-Qur’an
dan permasalahannya; berkenaan dengan proses hukum yang terkandung di
dalamnya; berkenaan dengan penjelasan bentuk mufradat dan lafal Al-Qur’an.
Abdurrahman mengemukakan bahwa Ulumul Qur’an mempunyai arti yaitu
sebagai idlofi dan istilah. Secara idlofi kata “Ulum” di-idlofahkan kepada Qur’an. Maka,
mempunyai pengertian yang sangat luas sekali, yaitu segala ilmu yang relevansinya
dengan Al-Qur’an.5 Pengertian Ulumul Qur’an secara istilah memiliki definisi yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada fokus masing-masing keilmuan dari para ahli.
Secara istilah para ulama telah merumuskan beberapa definisi Ulumul Qur’an ini.
1. Menurut Az-Zarqani
Pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi
turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya,
penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh mansukhnya, dan penolakan
terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan
lain sebagainya.6
2. Menurut Manna’ al-Qaththan
Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya,
pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-
ayat Makiyah dan Madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih dan
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.7
3. Menurut Ali ash-Shabuni
Pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan kitab yang mulia ini dari
segi turunnya, pengumpulannya, penertibannya, pembukuannya, mengetahui
sebab turunnya. Makiyah dan Madaniyahnya, nasikh mansukhnya, muhkam
4
Acep Hermawan, ’Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), 1-2.
5
U. Abdurrahman, Ulum Al-Quran I (Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1995), 1.
6
Az-Zarqani dan Abd Al-adhim, Manahil Al-Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’An (Beirut: Dar Al-Fikr, 2013), 23.
7
Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An (Riyad: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973), 15-16.
dan mutasyabihnya dan lain-lain pembahasan yang berkaitan dengan Al-
Qur’an.8
Dari definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa Ulumul Qur’an merupakan
gabungan dari sejumlah pembahasan ilmu-ilmu yang pada mulanya berdiri sendiri.
Pembahasan ilmu-ilmu ini mempunyai hubungan yang erat dengan Al-Qur’an, baik
dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia. Oleh karena itu
dapatlah dikatakan bahwa Ulumul Qur’an ini mempunyai ruang lingkup
pembahasan yang sangat luas.
Secara istilah pengertian Ulumul Qur’an lebih menekankan pada ilmu-ilmu
yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi
Qur’aniyah atau segi hidayah dan i’jaznya. Dengan demikian Ulumul Qur’an
menekankan pada konteks Diniyah dan hal-hal yang terkandung dalam kitab suci
tersebut.
8
Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, At-Tibyah Fi ‘Ulumil Qur’An (Beirut: ’Alimul Kutub, 1985), 8.
9
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 3.
10
Rosihon Anwar, Ulum AL-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
11
Azyumardi Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), 41.
12
Anwar, Ulum AL-Qur’an.
belum ada kebutuhan untuk menulis buku-buku tentang ilmu Al-Qur’an. Ada
beberapa alasan mengapa para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad tidak
menulis apa yang mereka terima dari nabi, yang berkenaan dengan ilmu-ilmu Al-
Qur’an, diantaranya adalah:
a. Para sahabat nabi, sebagaimana umumnya orang-orang Arab ketika itu,
memiliki daya hafal yang sangat kuat. apa yang mereka terima dari nabi
mereka simpan dalam ingatan mereka, dan mereka mampu
mengungkapkannya kembali segera ketika dibutuhkan.
b. Sebagian besar sahabat nabi adalah orang-orang yang buta aksara.
c. Alat tulis menulis ketika itu tidak mudah didapat.
d. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Rasulullah Saw sendiri melarang
sahabatnya menulis sesuatu yang bukan Al-Qur’an. dalam hal ini Nabi
Muhammad bersabda: “ Janganlah kalian menulis sesuatu tentang diriku.
Siapa yang sudah menulis tentang diriku, bukan Al-Qur’an, andalah
menghapusnya. Tidak ada salahnya kalian membicarakan diriku. namun
siapa yang dengan sengaja berbicara bohong tentang diriku, maka dia akan
menempati tempatnya di dalam neraka” (HR. Muslim). Larangan ini timbul
karena kekhawatiran akan tercampurnya Al-Qur’an dengan hal-hal lain yang
bukan Al-Qur’an.13
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq, naskah naskah Al-Qur’an yang
ditulis para sekretaris Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dikumpulkan menjadi satu
dan disimpan. baru pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, naskah itu
dikeluarkan untuk ditulis ulang dan disusun kembali. naskah Al-Qur’an yang baru
ditulis ulang itu kemudian dijadikan sebagai naskah standar (induk), yang
kemudian dikenal sebagai Al Mushaf Al Utsmani. dalam hal ini, Usman telah
meletakkan dasar ilmu rasm Al Quran (ilmu tentang bentuk tulisan Al-Qur’an)
atau ‘ilm al-Rasm al-Utsmani (Ilmu tentang bentuk tulisan yang disetujui Usman),
suatu cabang Ulumul quran dari segi bentuk tulisannya.
Penulisan naskah standar dan pengirimannya ke daerah-daerah itu tu
dilakukan atas usul Hudzaifah ibn Yaman yang melihat perselisihan antara
penduduk Syam dan Irak dalam hal bacaan Al-Qur’an. perbedaan bacaan Al-
Qur’an merupakan embrio dari ilmu Qiro’ah, yaitu ilmu yang membahas aliran-
aliran dalam melafadzkan Al-Qur’an. Di samping itu, untuk memelihara ke
lurusan bahasa Al-Qur’an, Ali bin Abi Thalib menginstruksikan kepada Abu Al
Aswad Ad-Du’ali (w. 69 H/688 M) Untuk menyusun tata bahasa Arab sesuai
dengan naskah Al-Qur’an. dengan instruksi itu Ali bin Abi Tholib sebenarnya
mendorong munculnya nya Ilmu I'rab Al-Qur’an, suatu cabang Ulumul Quran
yang mengkaji Al-Qur’an dari segi tata bahasanya.14
Rosihon Anwar menyebutkan, para perintis ‘Ulum Al-Qur’an pada abad I atau
sebelum koodifikasi adalah sebagai berikut:
13
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an.
14
Ibid, 43.
a. Dari kalangan sahabat: Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah Bin Masud, Zaid
bin Tsabit, Ubay Bin ka'ab, Abu Musa Al Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.
b. Dari kalangan tabiin: Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, ikrimah, qatadah,
Hasan Al bashri, Said bin Zubair, Alqamah bin Qais, dan Zaid bin Aslam.
c. Dari kalangan tabiut tabiin: Malik bin Anas.15
Mereka semua berjasa meletakkan dan mengembangkan dasar ilmu-ilmu yang
menjadi bagian dari kajian Ulumul Qur’an. ilmu-ilmu itu adalah ilmu Asbabun
Nuzul ( ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an), ilmu Al Makki wal
Madani ( ilmu tentang pengelompokan surah-surah Al-Qur’an ke dalam surah-
surah atau ayat-ayat Makiyah yang turun setelah hijrah atau ketika Nabi tinggal di
Mekkah dan surah-surah atau ayat-ayat Madaniyah yang turun setelah Nabi hijrah
ke Madinah.)16
2. Fase Kodifikasi
Pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an juga ilmu-ilmu lainnya belum
dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya yang sudah
dikodifikasikan saat itu hanyalah Al-Qur’an. Fenomena itu terus berlangsung
sampai ketika Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad Ad-Du’ali untuk
menulis ilmu nahwu. Perintah Ali inilah yang membuka gerbang pengodifikasian
ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengodifikasian itu semakin marak dan meluas
ketika Islam berada di tengah pemerintahan Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiah
pada periode-periode awal pemerintahannya.17
a. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad II H
Zaman kodifikasi tercatat pada abad 2 Hijriyah, Pada masa itu mulai pula
dibukukan hadis dengan bab-bab yang beraneka ragam, termasuk pula yang
berkaitan dengan tafsir, Sebagian ulama mengumpulkan riwayat dari
Rasulullah tentang Tafsir Al-Qur’an, sahabat maupun tabi’in. Di antara mereka
yang terkenal ialah Yazid bin Harun as-Sulma, (w.117H), Syu’bah bin al-Hujjaj
(w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), dan
Abdurrazzaq bin Himam (w. 211 H). Mereka semua adalah imam-imam hadits,
pengumpulan tafsir mereka merupakan pengumpulan tafsir dari berbagai bab.
Sayangnya, tafsir-tafsir yang mereka tulis tidak dapat kita temukan.18
Menyusul setelah mereka adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H/923 M).
Kitab tafsir karya al-Thabari dikenal sebagai kitab tafsir pertama yang paling
bermutu, karena di samping memuat hadis-hadis tafsir, pendapat-pendapat
tafsir para sahabat dan tabi’in, juga memuat kajian i’rab (tata bahasa) Al-
Qur’an.19
15
Anwar, Ulum AL-Qur’an, 19.
16
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an, 44.
17
Anwar, Ulum AL-Qur’an.
18
Salahuddin Hamid, Studi Ulumul Qur’an (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2002), 26-30.
19
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an.
b. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad III H
Pada abad ke-3 hijriah. Selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama menyusun
pula beberapa ilmu Al-Qur’an, di antaranya:
1) ‘Ali bin al-Madini (w. 234 H), gurunya Imam al-Bukhari, yang menyusun
ilmu Asbab an-Nuzul.
2) Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam (w. 224 H) yang menyusun Ilmu Nasikh wa
al-Mansukh, Ilmu Qira’at dan Fadha’il Al-Qur’an.
3) Muhammad bin Ayyub adh-Dhuraits (w. 294 H) yang menyusun Ilmu
Makki wa al-Madani.
4) Muhammad bin Khalaf al-Marzuban (w. 309 H) yang menyusun kitab Al-
Hawi fi ‘Ulum Al-Qur’an.20
c. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad IV H
Pada abad ke-4 mulai disusun ilmu Gharib Al-Qur’an dan beberapa kitab
‘Ulum Al-Qur’an dengan memakai istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Di antgara ulama
yang menyusun ialah:
1) Abu Bakar as-Sijistani yang menyusun kitab Gharib Al-Qur’an.
2) Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim yang menyusun kitab ‘Ajaib ‘Ulum Al-
Qur’an.
3) Abu al-Hasan al-Sya’ari yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
4) Abu Muhammad al-Qassab Muhammad bin Ali al-Khurki yang menyusun
kitab Nukat Al-Qur’an ad-Dallah ‘ala Bayan fi Anwa’ al-‘Ulum wa al-Ahkam al-
Munbi’ah ‘an Ikhtilaf al-Anam.
5) Muhammad bin Ali al-Adfawi yang menyusun kitab Al-Istighna fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
d. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad V H
Pada abad ke-5 mulai disusun ilmu I’rab Al-Qur’an dalam satu kitab. Di
antara ulama yang berjasa dalam pengembangan ‘Ulum Al-Qur’an pada masa
ini adalah:
1) ‘Ali bin Ibrahim bi Sa’id al-Hufi. Selain mempelopori penyusunan I’rab Al-
Qur’an, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
2) Abu Amr ad-Dani yang menyusun kitab At-Taisir fi Qira’at as-Sab’i dan kitab
Al-Muhkam fi an-Naqth.
e. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VI H
Pada abad ke-6 di samping terdapat ulama yang meneruskan
pengembangan ‘Ulum Al-Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun
Ilmu Mubhamat Al-Qur’an, di antaranya adalah:
1) Abu al-Qasim bin ‘Abdurrahman as-Suhaili yang menyusun kitab Mubhamat
Al-Qur’an. Kitab ini menjelaskan maksud kata-kata Al-Qur’an yang “tidak
jelas” apa atau siapa yang dimaksudkan.
20
Anwar, Ulum AL-Qur’an, 20.
2) Ibn al-jauzi yang menyusun kitab Funun al-Afnan fi ‘Ajaib Al-Qur’an dan
kitab Al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
f. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VII H
Pada abad ke-7 ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai
tersusunnya Ilmu Majaz Al-Qur’an dan Ilmu Qira’at. Di antara ulama yang besar
perhatiannya terhadap ilmu-ilmu ini adalah:
1) Alamuddin as-Sakhawi. Kitabnya mengenai Ilmu Qira’at dinamai Hidayat al-
Murtab fi Mutasyabih.
2) Ibn ‘Abd as-Salam yang terkenal dengan nama Al-‘Izz yang memelopori
penulisan Ilmu majaz Al-Qur’an dalam satu kitab.
3) Abu Syamah yang menyusun kitab Al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Qur’an
Tata’allaq bi Al-Qur’an al-‘Aziz.
g. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VIII H
Pada abad ke-8 muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru
tentang Al-Qur’an, sedangkan penulisan kitab-kitab Ulum Al-Qur’an terus
berjalan. Di antara mereka adalah:
1) Ibn Abi al-Isba’ yang menyusun Bada’i Al-Qur’an, suatu ilmu yang
membahas macam-macam bad’i (keindahan bahasa dan kandungan dalam
Al-Qur’an).
2) Ibn al-Qayyim yang menyusun Ilmu Aqsam Al-Qur’an, suatu ilmu yang
membahas sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3) Najmuddin ath-Thufi yang menyusun Ilmu Hujaj Al-Qur’an atau Ilmu Jadal
Al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas bukti-bukti atau argumentasi-
argumentasi yang dipakai Al-Qur’an untuk menetapkan sesuatu.
4) Abu al-Hasan al-Mawardi, yang menyusun Ilmu Amtsal Al-Qur’an, suatu
ilmu yang membahas perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam
Al-Qur’an.
5) Badruddin az-Zarkasyi yang menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
6) Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah al-Harrani yang menyusun kitab Ushul al-
Tafsir.
h. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad IX dan X H
Pada abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 makin banyak karangan yang
ditulis ulama tentang ’Ulum Al-Qur’an. Pada masa ini, perkembangan ‘Ulum Al-
Qur’an mencapai kesempurnaannya. Di antara uilama pada masa ini ialah:
1) Jalaluddin al-Bulqini yang menyusun kitab Mawaqi’ al-‘Ulum min Mawaqi’ al-
Nujum. Al-Bulqini dipandang Asy-Syuyuthi sebagai ulama yang
mempelopori penyusunan kitab ‘Ulum Al-Qur’an yang lengkap.
2) Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji yang menyusun kitab At-Taisir fi
Qawa’id at-Tafsir.
3) Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi, yang menyusun
kitab Ath-Tahbir fi ‘Ulum at-Tafsir. Penyusunan kitab ini selesai pada tahun
872 H dan merupakan kitab ‘Ulum Al-Qur’an yang paling lengkap karena
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an.
i. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad XIV H
Setelah memasuki abad ke-14 bangkitlah kembali perhatian ulama dalam
penyusunan kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi.
Kebangkitan ini di antaranya dipicu oleh kegiatan ilmiah di Universitas Al-
Azhar Mesir, terutama ketika universitas ini membuka jurusan-jurusan bidang
studi yang menjadikan tafsir dan hadis sebagai salah satu jurusannya.
Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama
abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Pengembangan itu di
antaranya berupa penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa ‘Ajam. Pada
abad ini perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an diwarnai oleh usaha-usaha
menebarkan keraguan di seputar Al-Qur’an yang dilakukan oleh kalangan
orientalis atau oleh orang Islam sendiri yang dipengaruhi orientalis.
21
Jalaludin As-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), 18.
e. Meringankan bacaan hamzah
f. Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idhgam)
4. Persoalan kata-kata Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut 6 hal:
a. Kata-kata Al-Qur’an yang asing (gharib)
b. Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya (mu’rob)
c. Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa (homonym)
d. Padanan kata-kata Al-Qur’an (sinonim)
e. Isti’arah
f. Penyerupaan (tasybih)
5. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
Persoalan ini menyangkut 15 hal:
a. Makan umum (‘am) yang tetap dalam keumumannya
b. Makan umum (‘am) yang dimaksudkan makna khusus
c. Makan umum (‘am) yang maknanya dikhususkan sunnah
d. Nash
e. Makna lahir
f. Makna global (mujmal)
g. Makan yang diperinci (mufashshal)
h. Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq)
i. Makan yang dapat di pahami dari konteks pembicaraan (mafhum)
j. Nash yang petunjukknya tidak melahirkan keraguan (muhkam)
k. Nash yang musykil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya
(mutasyabih)
l. Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada
kata itu sendiri (musykil)
m. Ayat yang menghapus dan dihapus (nasikh-mansukh)
n. Yang didahulukan (muqaddam)
o. Yang diakhirkan (mu’akhakhar)
6. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-
Qur’an
Persoalan ini menyangkut 6 hal:
a. Berpisah (fashl)
b. Bersambung (washl)
c. Uraian singkat (i’jaz)
d. Uraian panjang (ithnab)
e. Uraian seimbang (muSawah)
f. Pendek (qashr)
Sedangkan pokok bahasan dalam Ulumul Qur’an menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag., yaitu:22
a. Ilmu adab tilawat Al-Qur’an
b. Ilmu tajwid
c. Ilmu mawathin an-nuzul
d. Ilmu tawarikh an-nuzul
e. Ilmu asbab an-nuzul
f. Ilmu qira’at
g. Ilmu gharib Al-Qur’an
h. Ilmu i’rab Al-Qur’an
i. Ilmu wujuh wa an-nazha’ir
j. Ilmu ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
k. Ilmu nasikh wa al-mansukh
l. Ilmu bada>’i Al-Qur’an
m. Ilmu i’jaz Al-Qur’an
n. Ilmu tanasub ayat Al-Qur’an
o. Ilmu aqsam Al-Qur’an
p. Ilmu amtsal Al-Qur’an
q. Ilmu jadal Al-Qur’an
22
Rosihon Anwar, ‘Ulum Al-Quran Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 16-
17.
memelihara keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian, kita dapat
menetapkan bahwa Ali adalah peletak batu pertama bagi ilmu i’rab Al-Qur’an.23
Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum Al-Qur’an tidak lahir
sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum
Al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Islam. Istilah ini
baru muncul pada abad ke-3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini
lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke-5. Karena ulumul Qur’an
dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru muncul dalam
karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (wafat tahun 340), yang berjudul al-Burhan fi Ulum
Al-Qur’an (Al Zarqaniy :35).24
Maka pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah tokoh yang membahas
ulum Al-Qur’an dengan merangkum cabang-cabang ‘ulum Al-Qur’an dalam karya-
karya mereka. Dan kitab-kitab mereka inilah yang sebenarnya disebut kitab ‘ulum
Al-Qur’an. tokoh-tokoh yang dimaksud:
1. Ali ibn Ibrahim ibn Sa’id al-Hofiy (wafat tahun430 H) karyanya : al-Burhan fi
‘Ulum Al-Qur’an.
2. Ibn al-Jauziy (wafat tahun 597 H), karyanya: Funun al-Afinan fi Aja’ib ‘Ulum
dan al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
3. Abu Syamah (wafat tahun 665 H), karyanya: al-Mursyid al-Wajiz fi Ma
Yata’allaq bi alQur’an al-Aziz.
4. Badr al-Din al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) karyanya : al-Burhan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
5. Jalal al-Din al-Sayuti (wafat tahun 911 H). karyanya: al-Tahbir fi ‘Ulum al-
Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
6. Tahir al-Juzairi, al-Tibyan fiy ‘Ulum Al-Qur’an.
7. Muhammad Ali Salamah, Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
8. Muhammadi Abd al-Azim al-Zarqaniy, karyanya :Manahil irfan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
9. Ahmad Ali, Karyanya: Muzakkarah ‘Ulum Al-Qur’an.
10. Subhi Salim, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an.
11. Manna al-Qattan, karyanya : Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an.
12. Ahmad Muhammad Ali Daud, karyanya: ‘Ulum Al-Qur’an wa al-Hadis.
13. Abu Bakar Ismail, Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an.
23
Prof. Dr. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Semarang: Pustaka Rizky Putra,
2009), 4.
24
Wahyudi W dan Saifulloh S, “Ulum Al-Qur’an, Sejarah Dan Perkembangannya,” Jurnal Sosial
Humaniora 1 (2013): 7.
14. Muhammad Ali al-Sabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
Masih banyak tokoh dan kitab yang membahas tentang ‘ulum Al-Qur’an.
Namun tokoh-tokoh yang telah disebutkan inilah yang lebih dikenal, dan buku-
buku mereka menjadi rujukan bagi penulis dan peneliti tentang ‘ulum Al-Qur’an
saat ini. Di antara mereka yang paling terkenal adalah al-Sayuti dengan kitabnya
al-Itqan. Kitab ini terdiri atas dua juz, dan membahas 80 jenis ‘ulum Al-Qur’an .
begitu pula al-Zarkasyi yang lebih dahulu dari al-Sayuti, dalam kitabnya al-Burhan
fiy Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari 4 jilid beliau membahas 47 jenis ‘ulum Al-
Qur’an.
4. KESIMPULAN
Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dua kata,
yaitu ulum dan Al-Qur’an. Kata ‘ulum secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata
ilmu, yang berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman. Ilmu merupakan bentuk mashdar
yang artinya pengetahuan dan pemahaman. Maksud dari pengetahuan ini sesuai
dengan makna dasarnya, yaitu “al-fahmu wa al-idrak“ (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian pengertiannya dikembangkan pada berbagai masalah yang beragam
dengan standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’I bi haqiqatih“ (mengetahui
dengan sebenarnya). Manna’ al-Qaththan, salah satu ulama menjelaskan pengertian
tentang Ulumul Qur’an yaitu ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab
turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang
ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih dan
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.
Menurut Rosihon Anwar, sejarah dan perkembangan ulumul qur’an dibagi ke
dalam dua fase, yaitu fase sebelum kodifikasi dan fase kodifikasi. Pada fase sebelum
koodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah merupakan benih yang
kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan
kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Terlebih lagi di antara mereka ada kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain,
sebelum benar-benar dapat memahami dan mengamalkan ayat yang sedang
dipelajarinya. Sedangkan pada fase koodifikasi terdapat beberapa perkembangan
yang dimula dari abad ke-2 sampai dengan ke-14.
Berikut beberapa tokoh yang membahas ulum Al-Qur’an dengan
merangkum cabang-cabang ‘ulum Al-Qur’an dalam karya-karya mereka. Dan
kitab-kitab mereka inilah yang sebenarnya disebut kitab ‘ulum Al-Qur’an. tokoh-
tokoh yang dimaksud:
1. Ali ibn Ibrahim ibn Sa’id al-Hofiy (wafat tahun430 H) karyanya : al-
Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
2. Ibn al-Jauziy (wafat tahun 597 H), karyanya: Funun al-Afinan fi Aja’ib
‘Ulum dan al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
3. Abu Syamah (wafat tahun 665 H), karyanya: al-Mursyid al-Wajiz fi Ma
Yata’allaq bi alQur’an al-Aziz.
4. Badr al-Din al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) karyanya : al-Burhan fi ‘Ulum
Al-Qur’an.
5. Jalal al-Din al-Sayuti (wafat tahun 911 H). karyanya: al-Tahbir fi ‘Ulum al-
Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna. Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyad: Mansyurat al-Ashr al-
Hadits, 1973.
———. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Anwar, Rosihon. ‘Ulum Al-Qur’an Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007.
———. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
As-Suyuti, Jalaludin. Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr, 1979.
Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali. At-Tibyah Fi ‘Ulumil Qur’An. Beirut: ’Alimul Kutub,
1985.
Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. Teungku M. Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka
Rizky Putra, 2009.
Az-Zarqani dan Abd Al-adhim. Manahil Al-Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-
Fikr, 2013.
Azra, Azyumardi. Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Hermawan, Acep. ’Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
S, Wahyudi W dan Saifulloh. “Ulum Al-Qur’an, Sejarah Dan Perkembangannya.”
Jurnal Sosial Humaniora 1 (2013): 7.
Salahuddin Hamid. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2002.
U. Abdurrahman. Ulum Al-Qur’an I. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung
Djati, 1995.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DAN
SEJARAH METODOLOGI TAFSIR
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas tentang sejarah perkembangan tafsir dan
sejarah metodologi tafsir. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif, serta menggunakan teknik analisis data yaitu
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini
menyimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi seluruh
umat, Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus
memahami maksud daripada ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan
penafsiran terhadap ayat-ayatnya untuk memberikan penjelasan mengenai
maksudnya supaya dapat difahami dan diamalkan. Karena fungsinya yang sangat
strategis itu, maka Al Qur’an haruslah di fahami secara tepat dan benar. Dan upaya
untuk memahami al Quran dikenal dengan istilah tafsir.
ABSTRACT
This study aims to discuss the history of the development of interpretation and the history of
the methodology of interpretation. This research method is qualitative by using descriptive
methods, and using data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and
drawing conclusions. The results of this study conclude that the Qur'an is a guide and guidance
for all people. To make the Qur'an a guide, one must first understand the verses of the Qur'an.
Therefore, it is necessary to carry out the verses to provide an explanation of the intent so that
they can be understood and practiced. Because its function is very strategic, the Qur'an must
be understood correctly and correctly. And the effort to understand the Qur'an is known as the
interpretation.
25
Wahidmurni. Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. (Malang. 2017), H. 1.
ketentuan yang masih global dalam nash Al-Qur’an. Tugas tersebut dapat dilihat dari
ketentuan surat al-Nahl Ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
Upaya dan bentuk penjelasan Rasulullah Muhammad Saw melalui sunah dan
hadistnya terkait ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan penjelasan sebagai landasan
awal dalam perkembangan ilmu tafsir. Ilmu tafsir memiliki area kajian yang
menyeluruh dan luas meliputi semua aspek kehidupan. Menurut Muhibudin
mengutip Suyuti menjelaskan bahwa tafsir memuat tiga hal utama sekaligus.26
Pertama, tafsir sebagai sebuah proses penjelasan yang dilakukan oleh penafsir dalam
hubungannya yang langsung dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, tafsir sebagai
proses historis yang membahas tentang pergerakan tafsir sesuai dengan sejarahnya
yang panjang. Ketiga, pembahasan metode (manhaj) para ahli tafsir (mufasirin) sesuai
dengan pemikirian dan pemahaman mereka sesuai dengan karaktersitiknya. Melalui
tiga muatan ilmu tafsir tersebut akan tergambar aliran dan mazhab penafsiran yang
khas dalam setiap perkembangan zaman.
Secara global, kajian tafsir menurut Muhammad Husain al-Dhahabi dalam
Mubibudin menjeslakan 3 (tiga) periodisasi sejarah tafsir.27 Periode pertama, masa
Nabi Muhammad Sawdan sahabat. a.w. Nabi Muhammad menyampaikan,
menerangkan dan menjelaskan isi Al-Qur’an kepada para sahabatnya. Periode kedua,
masa Tabiin yaitu para mufasir setelah generasi sahabat Nabi. Para tabiin menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Nabi dan pendapat para sahabat seraya
mengembangkan pendekatan penafsiran sendiri melalui jalan ijtihad. Pada masa
tabiin, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri tetapi bagian
dari kajian Hadis. Periode ketiga, masa akhir pemerintahan Pemerintahan Umayyah
dan awal masa Pemerintahan Abbasiyah. Kajian tafsir pada periode ini mamasuki
zaman kodifikasi dan mulai menampilkan berbagai aliran tafsir yang berbeda-beda.
Dalam konteks keindonsiaan, perkembangan penafsiran Al-Qur‟an di
Indonesia tentu berbeda dengan periode awal Rasullah dan Para Sahabat, Para Tabiin,
dan Masa Pemerintahan Muawiyah dan Abbasiyah. Perbedaan tersebut terutama di
sebabkan berbedanya latar belakan budaya dan bahasa. Proses penafsiran Al-Qur‟an
untuk bangsa Indonesia harus melalui penerjemahan kedalam bahasa Indonesia
terlebih dahulu bahkan dalam Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, dll). Selanjutnya,
diberikan penafsiran yang luas dan rinci dari setiap huruf, ayat, dan kalimat, bahkan
surat dalam Al Quran. Sehingga tafsir Al-Qur‟an di Indonesia melalui proses yang
lebih lama jika di bandingkan dengan yang berlaku di Jazirah Arab (Timur
Tengah) sebagai tempat dan Bahasa asalnya.
Perkembangan ilmu tafsir Al-Qur’an di Indonesia dapat dibagi menjadi
beberapa 4 (empat) periodisasi yaitu: periode klasik, periode pertengahan, periode
26
Muhibudin Muhibudin, “Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Al-Qur’an,” Al-Risalah 11, no. 1 (2019):
1–21, https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i1.553.
27
Muhibudin.
pramodern, dan periode modern hingga sekarang. Dinamika periode keempat
menjadi perkembagan tafsir Al-Qur‟an yang memiliki ciri-ciri tafsir khas Indonesia.28
Berikut uraian periodisasi tafsir di Indonesia. Pertama, periode klasik berlaku sejak
permulaan Islam sampai ke Indonesia, sekitar abad ke-1 H, dan ke-2 H, dan
berlangsung sampai abad ke-10 H (VII- XV M). Periode penafsiran berlangsung
selama kurun waktu kurang lebih sembilan abad sebagai cikal bakal bagi
perkembangan tafsir yang masih bersifat umum. Umat Islam Indonesia pada waktu
itu belum menjadi suatu komunitas muslim yang utuh sebagai “periode Islamisasi”
bangsa Indonesia. Kedua, Periode Tengah berlangsung dari Abad XVI-XVII M. Pada
masa ini lebih berkembang dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena tidak didasarkan pada kekuatan ingatan semata sebagaimana periode klasik,
dan sudah mempunyai buku pegangan dari ahli tafsir yang kompeten dan
professional. Berpijak pada kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-
Qur‟an di Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode tengah ini. Pada periode
ini ialah membaca dan memahami tafsir tertulis yang datang dari Timur Tengah,
seperti kitab tafsir Al Jalalain yang dibacakan kepada murid-murid lalu diterjemahkan
kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya). Berdasarkan hal
tersebut, tafsir Al-Qur‟an.
Pada tahap berikutnya adalah Periode Pramodern yang berlangsung dari Abad
XIX M. Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama-ulama yang menulis dalam berbagai
disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol adalah karya yang
terkait mistik ilmu atau ilmu taSawuf. Sejumlah ulama local yang bereputasi antara
lain: Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al- Banjari, Abd Wahhab Bugis,
Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.
Selanjutnya, Periode Modern yang terjadi pada Abad XX M. Mulai tahun 1920-an,
terdapat terjemahan Al-Qur‟an dalam bentuk perjuz, bahkan seluruh isi Al-Qur‟an
mulai bermunculan. Perkembangan penerjemahan Al-Qur‟an semakin kondisif
setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir al-Furqon misalnya adalah tafsir pertama
yang di terbitkan pada tahun 1928, untuk beberaopa bagian dan dan akhirnya tulisan
tafsir al-Furqonsecara keseluruhan 30 juz dapat di terbitkan pada tahun 1956.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamat Al-
Qur’anul Karim (1938). Mahmud Aziz menyusun sebuah tafsir dengan judul Tafsir
Qur’an Bahasa Indonesia (1942). Proses terjemahan semakin baju pasca kemerdekan
RI pada tahun 1945 yaitu munculnya beberapa terjemahan seperti Al-Qur‟an dan
terjemahannya yang didukung oleh Menteri Agama pada tahun 1955, dan dicetak
ulang di Kuala Lumpur tahun 1969, kemudian . Pada tahun 1955 di Medan dan dicetak
ulang di Kuala Lumpur pada tahun 1969, di terbitkan sebuah tafsir dengan judul Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim disusun oleh A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan
Abdurrahim Haitami. Tidak kalah pentingnya adalah tafsir yang menggunakan
28
Anggi Wahyu Wahyu Ari, “Sejarah Tafsir Nusantara,” Jurnal Studi Agama 3, no. 2 (2020): 113–27,
https://doi.org/10.19109/jsa.v3i2.5131.
bahasa daerah oleh KH. Muhammad Ramli denganal-Kitab al-Mubin, yang
diterbitkan pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Tafsir bahasa Jawa oleh KH.
Bisyri Mustafa Rembang dengan tafsir al-Ibriz pada tahun 1950.29 Dalam
perkembangan berikutnya muncuyl tafsir AL Azhar karya Buya Hamka di tahun
1970-an, lalu Tafsir al Misbah karya Quraish Shihab di tahun 1990-an.
3.2 Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Al qur’an melalui salah satu ayatnya menegaskan fungsinya sebagai hudan
(Petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan penjelasan terhadap petunjuk itu, dan
sebagai al Furqon (pembeda antara yang haq dan bathil)30. Untuk menjadikan Al-
Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami maksud daripada
ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayatnya
untuk memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat difahami dan
diamalkan. Karena fungsinya yang sangat Strategis itu, maka Al Qur’an haruslah di
fahami secara tepat dan benar. Dan upaya untuk memahami al quran dikenal dengan
istilah tafsir 31. Akan tetapi pada hakikatnya yang mengetahui kepastian makna dari
pada teks Al-Qur’an tersebut, tidak dapat di fahami secara mutlaq dan pasti kecuali
oleh pemilik teks tersebut32. Jadi upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an bukanlah usaha
yang mudah, mengingat kerumitan persoalan yang di kandung dari Al-Qur’an itu
sendiri.
A. Tafsir Pada Masa Nabi Dan Sahabat
Dalam catatan sejarah penafsiran al quran, telah tumbuh dan berkembang,
sejak masa masa awal pertumbuhan dan perkembangan islam, hal ini di dukung oleh
adanya fakta sejarah yang nabi pernah melakukan nya. Yaitu ketika para sahabat tidak
memahami maksud dan kandungan dari satu ayat, mereka menanyakan nya kepada
nabi, dan Nabi Muhammad pun menjelaskan isi kandungan daripada ayat yang
ditanyakan tersebut. Dan pada posisi ini Nabi Muhammad SAW adalah selaku
Mubayyin33. Dalam lintas perjalanan waktu, penafsiran Al-Qur’an tidak pernah
berhenti dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW, bahkan bisa dikatakan
semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika
masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi awal mencurahkan
perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat. Perhatian utama mereka
tertuju pada Alquran sebagai sumber ajaran Islam. Maka upaya-upaya penafsiran
terus dilakukan dalam menafsirkan Al Quran. pada masa sahabat pegangan utama
29
Wahyu Ari.
30
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009) QS. 2 (Al-Baqarah): 185.
31
Tafsir sering di definisikan sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia, Lihat Muhamad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al Mufassirun,
(Mesir. Dar Al Kutub al-Hadist, 1961), h.59.
32
Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Wahyu dalam kehidupan masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1993), h.75
33
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009) QS. 16 (An-Nahl) : 44.
mereka adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam.
Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir, sebagaimana mereka tidak
menulis dan tidak mendewankan hadis secara resmi karena dikhawatirkan
tercampurnya antara Alquran dengan tafsir yang ditulis. Sumber tafsir di masa
Sahabat adalah penjelasan atau tafsir yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam yakni tafsir dengan dasar dan nukilan dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Mengenai penafsiran dengan kemampuan ijtihad para sahabat
berbeda pendapat, sebagian sahabat seperti Abu Bakar Siddiq dan Umar ibn Khattab
dalam menafsirkan Alquran hanya berpedoman kepada riwayat, dan tidak mau
mempergunakan ijtihad. sebagian yang lain seperti Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas di
samping menafsirkan ayat Dengan hadis yang diterima dari nabi atau dari sesamanya,
mereka juga menafsirkan Alquran dengan ijtihad yang dipadukan dengan keterangan
asbabun nuzul kekuatan bahasa dan sastra Arab, keterangan kisah-kisah lama dari
ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa
Tafsir pada masa sahabat terbagi kedalam 2 bagian :
1. Tafsir Al-Ma’Tsur (Penafsiran dengan Al-Qur’an dan Hadist) merupakan salah
satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual
Islam. Diantara kitab Tafsir yang di susun dengan metode ini adalah Jami’ al-Bayan
fi Tafsir Al-Qur’an buah karya Ibn Jarir al-Thabari dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzhim
oleh Ibnu Katsir
2. Penafsiran dengan Ra’yu (pendapat) sahabat dengan Ijtihad dan penalaran34 Tafsir
bi al-Ra’yu muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan
tafsir al-Ma’tsur.
Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran
Alquran dengan metode al-Rayu’. Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum
terdiri atas dua aspek intelektual dan moral. Dari segi intelektualitas seorang penafsir
diharuskan benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan untuk penafsiran ini, pengetahuan-pengetahuan tersebut mulai dari ilmu
bahasa Arab yang mencakup gramatika dan sastra, ilmu Ushuluddin, hukum, hadits
dan ilmu-ilmu Alquran lainnya. Penafsir yang menggunakan metode rayu’ juga
dituntut harus memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan
bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan
kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu. diantara kitab-kitab tafsir yang
mengikuti metode ini adalah Mafatih Al Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Al Anwar
at-Tanzil wa Asrar al Ta’wil karya Al Bhaidha.
Semua sahabat sepakat mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan
penafsiran Al-Qur’an dengan Hadis. Bahkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Sedangkan mengenai penafsiran Al-
Qur’an dengan ra’yu dan penafsiran Al-Qur’an dengan keterangan dari ahlu kitab
(Israiliyyah), tidaklah semua sahabat menyepakatinya
34
Muhammad husain al-Zahabi, op.cit, h.255
Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling terkemuka dalam bidang
tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu: 1) Abu Bakar al-Siddīq (573 – 634 M), 2)
‘Umar bin al-Khaţţāb 9584 – 644 M), 3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M), 4) ‘Ali bin Abī
Ţālib (600 – 661 M), 5) ‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M), 6) ‘Abdullah bin Mas’ūd (w.
625 M), 7) Ubay bin Ka’ab (w. 642 M), 8) Zaid bin Śābit (611 – 655), 9) Abu Mūsā al-
Asy‘arī dan 10) ‘Abdullah bin Zubair.35 Empat orang pertama dari sahabat-sahabat
tersebut pernah menjadi khalifah. Akan tetapi, di antara keempat khalifah ini yang
paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Ali bin Abī Ţālib. Mengapa demikian?
Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi Muhammad Saw, dia menantu
Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya. Sedangkan
sahabat yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin ‘Abbās,
‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat ini
adalah Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat yang
terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak dengan tafsir
sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik, ‘Abdullah
bin Dīnār, Jābir bin ‘Abdullah dan ‘Aisyah.36
B. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Tabi‘In
Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya generasi
sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang belajar dan menerima
langsung riwayat dari sahabat. Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah
murid- murid Ibnu ‘Abbas, murid-murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubay bin
Ka‘ab. Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar, ‘Aţā’ bin
Abī Rayāh, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, Ţāwūs. Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud
yang termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq bin al-Ajda‘, al-Aswad bin Yazid,
Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan Qatādah. Adapun
murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid bin Aslam, Abu al-’Āliyah
dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī. Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw
yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan
pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga menafsirkan Al-Qur’an
dengan ijtihadnya. Dengan demikian sumber penafsiran pada masa tabi`in meliputi :
1. Penafsiran dengan Al-Qur’an.
2. Penafsiran dengan Hadis.
3. Penafsiran dengan pendapat sahabat.
4. Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri.
5. Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan
isrāiliyyah. 37
Pada periode tabiin, sudah mulai muncul pemalsuan-pemalsuan dalam bidang
tafsir, hal ini disebabkan. Pertama, fanatisme madzhab. Setiap golongan merupaya
mendukung madzhabnya dengan berbagai cara hingga menafsirkan ayat-ayat Al-
35
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta: Departemen Agama RI,
2008), h. 47- 48.
36
Ibid., h.48
37
Departemen Agama RI, loc.cit.
Qur’an sesui dengan ideologi mereka, serta menguatkan eksistensi madzhab mereka.
Kedua, aliran politik. Banyak sekali hadis-hadis palsu terkait penafsiran ayat yang
disandarkan kepada Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Karena mereka memandang
bahwa keduanya adalah orang-orang dekat Nabi Saw. Ketiga, adanya semangat
musuh-musuh Islam, mereka adalah kaum Zindiq, mereka masuk Islam hanya untuk
merusak Islam dari dalam.38
C. Periode Pengkodifikasian Tafsir.
Periode ini dimulai degan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan
berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra’ (w. 207 H)
dengan kitabnya yang berjudul Ma’a>ni alQur’an. Tafsir mulai dibukukan pada masa
akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada
awal permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan
mengumpulkan hadis-hadis tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat.
Sehingga tafsir masih kumpul dengan hadis. Mereka menyusun tafsir dengan
menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat
dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab Hadis. Di antara ulama
yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyan ibn Uyainah (198 H),
Waki’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjaj (160 H), Abdul Razaq ibn Hamam (211
H). Pada fase pembukuan setelahnya, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-
kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis
sesuai dengan tartib mushaf. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah
(w. 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh ibn
Hiban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).39
Pada masa kodifikasi ini tafsir dilalui beberapa fase;
1. tafsir diambil dengan cara periwayatan. Sahabat meriwayatkan dari Nabi,
tabi’in meriwayatkan dari sahabat, atau sesama mereka meriwayatkan satu
sama lain.
2. Dimulainya budaya penulisan hadis, bab tafsir masuk dalam salah satu dari
bab-bab Hadis.
3. Antara hadis dan tafsir terpisah antara satu sama lainnya. Tafsir mulai ditulis
dan diurutkan sesui urutan mushaf seperti yang dilakukan Ibn Majah (237 H),
Ibn Jarir at-Tabari (w. 310), Abu Bakar al-Murdawaih (w. 410 H) dan lainnya.40
Pada masa abad kedua hijriyah muncul berbagai madzhab tafsir, baik berupa corak
kefiqihan ataupun aqidah. Dan setiap imam dari madzhab tersebut tak jarang
mempunyai tafsir sebagai pegangan atau acuan dari madzhabnya. Tapi sayang
diantara ulama tersebut sebagian karangannya tak bisa sampai kepada kita, maka
susah melacak hasil karangannya kecuali dengan merujuk pada kitab-kitab turast
tentang para mufassir tersebut. Di antara ulama pada periode ini adalah:
38
Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 25.
39
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hlm. 340-341
40
M. Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 65.
1. Muhammad ibn Idris (Imam Syafi’i (w. 204 H) peletak madzhab Syafi’i, beliau
sempat menulis tentang tafsir dalam kitab Ma’ani Al-Qur’an,
2. Muhammad ibn al-Mustanir berguru pada ulama Basrah utamannya pada
imam as-Sibawaih (kitab tafsirnya bernama Ma’ani Al-Qur’an fi at-Tafsir),
3. Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ad Dulaimi yang dikenal dengan al-Farra’ (w.
207 H) sebagian ulama mengatakan bahwa al-Farra’ merupakan ulama pertama
yang berhasil menafsirkan semua ayat Al-Qur’an berdasarkan urutan mushaf,
4. Abdurrazzaq ibn Hammam as-Sun’ani al-Humairi, selain sebagai seorang
muhaddis beliau juga dikenal seorang mufassir (w. 211 H) dan lain
sebagainya.41
Sedangkan pada abad ketiga hijriyyah telah banyak ulama ulama yang
menyusun tafsir, tapi banyak dari tafsir tersebut tidak sampai kepada kita diantaranya
adalah tafsir karangan Ahmad ibn Farh ibn Jibril al-Bagdadi, Ali ibn Musa ibn Yazid
al-Qami (imamnya madzhab Hanafiyyah pada zamannya) dan lainnya. Sedangkan
tafsir yang paling monumental pada abad ini adalah tafsir karangan imam at-Tabhari
yang dianggap sebagai tafsir pertama yang terbesar yang menggunakan metode tafsir
bi al-ma’tsur.42
3.3 Ilmu Tafsir Dan Kelompok Mufasir
A. Ilmu Tafsir
Secara etimologi (bahasa) kata tafsir berarti menjelaskan, menyingkapi, dan
menampakkan atau menerangkan makna terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun
bentuk kata tafsir jika diperhatikan merupakan bentuk kata taf’il dari kata al-fasr (
)الفسرyang berarti al-bayan wa al-kasyf “penjelasan dan penyingkapan”.
Secara terminologi (istilah) tafsir merupakan sebuah rangkaian penjelasan dari
pembicaraan atau teks Al-Qur’an, atau bisa dikatakan bahwa tafsir sebagai
penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para
mufasir untuk mendapatkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Secara spesifik ilmu tafsir ialah sebagai alat, teknik, atau metode
mengenai penjelasan terhadap Al-Qur’an supaya berada dalam koridor penafsiran
yang benar dan baik, karena hal itulah disebut ilmu tafsir.43 Pengertian tafsir ini
cukup banyak yang memberikan definisinya, diantaranya menurut:
1) Abu Hayyan Fii Al-Bahru Al-Muhith
علم يبحث عن كيفية النطق أبلفاظ القرآن ومدلو ال هتا وأحكا مها االفرادية والرتكيبية ومعاهنا اليت حتمل عليها حالة الرتكيب وتتمات
لذلك
Ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an, madlulnya,
hukum-hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat, dan makna-
maknanya yang terkandung dalam tarkib, serta segala yang terkait dengan itu.
41
Ibid. Hlm.67
42
Ibid, Hal.68
43
Wely Dozan, Muhammad Turmuzi, Sejarah Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Teori, Aplikasi, Dan
Model Penafsiran), (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020), 2.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa:
a. Tafsir itu adalah ilmu yang membahas bagaimana mengucapkan lafadz Al-
Qur’an ()كيفية النطق أبلفاظ. Ilmu tafsir ini mencakup juga ilmu qiraat yang begitu
banyak riwayatnya serta berbeda-beda cara pengucapannya. Dan perbedaan
ilmu qiraat itu memang pada bagian tertentu, bisa melahirkan makna dan
hukum.
b. Membahas madlulnya ()ومدلوالهتا. Yang dimaksud dengan madlul disini adalah
ilmu bahasa Arab yang membentuk tiap lafadz tersebut.
c. Membahas hukum-hukumnya secara tunggal dan dalam untaian kalimat
()وأحكا مها االفرادية والرتكيبية. Maksudnya hukum dari tiap lafadz itu, baik ketika tunggal
alias berdiri sendiri ataupun ketika berada dalam suatu kalimat. Dan ini
terkait dengan ilmu sharaf, ilmu i’rabi, ilmu bayan, dan ilmu badi’.
d. Membahas makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib ( ومعاهنا اليت حتمل عليها
)حالة الرتكيب. Maksudnya terkait juga dengan hakikat dan majaz.
e. Membahas dengan hal-hal yang terkait ()وتتمات لذلك, termasuk di dalamnya
ilmu nasakh mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya.44
2) Az-Zarkashi Al-Burhan Fii Ulum Al-Qur’an
Az-Zarkashi di dalam kitabnya Al-Burhan Fii Ulum Al-Qur’an mendefinisikan
tafsir sebagai:
. التفسر علم يعرف به فهم كتاب هللا املنزل على نبيه حممد صلعم وبيان معانية واستخراج احكامه وحكمه
Tafsir adalah ilmu untuk mengenal kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum
serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa:
a. Pertama mengenal sosok Al-Qur’an dengan segala sosok dan profilnya.
b. Mendapatkan penjelasan makna dari tiap-tiap ayat.
c. Menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
d. Menemukan hikmah-hikmahnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa tafsir adalah hasil
usaha manusia atau ilmu yang memuat pembahasan mengenai penjelasan terhadap
makna ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman tersebut bertujuan untuk penjelasan,
memahami ayat-ayat yang belum jelas maksudnya menjadi jelas, yang samar
menjadi terang dan yang sulit dipahami menjadi mudah.
B. Kelompok Mufassir
1. Pengelompokkan Berdasarkan Waktu
Beberapa pakar sejarah tafsir Al-Qur'an menggunakan pendekatan
historis-periodik sekaligus pendekatan filosofis konseptual dalam
menguraikan perkembangan tafsir. Pendekatan historis-periodik efektif
menggambarkan fenomena perkembangan tafsir masa awal dan pertengahan.
44
Ahmad Sarwat, Ilmu Tafsir: Sebuah Pengantar, (Lentera Islam, 2020), 14.
Adapun pemetaan fenomena dunia tafsir Al-Qur'an di era kontempo rer lebih
tepat diurai dengan pendekatan corak konseptual. Di era kontemporer ini,
seluruh corak tafsir baik dari masa awal dan pertengahan memuara: hadir dan
eksis bersama sama di gelanggang panggung ilmu keislaman kontemporer.
Berakhirnya masa tafsir awal dan pertengahan, tidak menandakan
berakhirnya model corak tafsir yang muncul di masa masa awal dan
pertengahan. Bersama model-model tafsir ter kini, corak dan model tafsir awal
dan pertengahan tetap eksis di panggung keilmuan Islam.
Periodisasi sejarah peradaban Islam dibagi tiga babak: klasik (650-1250
M), pertengahan (1250-1800 M), dan modern (sejak 1800 M). Periode klasik
dibagi dua: pertama, dari 650-1000 M sebagai masa kemunculan,
pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam awal. Kedua, dari 1000-
1250 M yang disebut zaman disintegrasi saat kekuasaan daulah Abbasiah
melemah dan eksis hanya sebagai kekuatan simbolik. Pada masa ini, berdiri
banyak kerajaan kecil Islam yang otonom.
Periode pertengahan juga dibagi tiga: pertama, dari tahun 1250 hingga
1500 M yang disebut zaman kemunduran yang ditandai oleh serangan-
serangan Jengis Khan dan keturunan nya dari Mongolia. Pada 1491/1492 M,
kekuasaan terpenting terakhir Muslim Spanyol di Granada jatuh ke tangan
penguasa Katolik Raja Ferdinand II setelah selama 8 abad (sejak 94 H/712 M)
menguasai Spanyol. Pada tahun 1609 M/1017 H. Islam lenyap sepenuhnya
dari tanah Andalusia. Kedua, dari tahun 1500 hingga tahun 1700 M. Pada
masa ini dapat disebut masa kejayaan Islam yang ke-2 yang diwakili oleh
kekuasaan imperium Turki Utsmani di Barat, Safawi di Persia, dan Moghul di
India. Ketiga, dari tahun 1700 M hingga tahun 1800 M, yaitu. masa
kemunduran ketiga kerajaan tersebut yang akhirnya ditandai pendudukan
Napoleon Bonaparte dari Perancis ke tanah Mesir.
Setelah masa tahun 1800 M, sejarah peradaban Islam memasuki babak
baru modern. Pada babak baru modern. Pada babak baru modern sejarah
peradaban Islam ini, dinamika peradaban Islam jauh lebih kompleks dari
babak-babak sebelumnya terutama pada saat konsep politik negara-bangsa
menjadi fenomena bangsa-bangsa dunia.
Secara umum, periodisasi tafsir Al-Qur'an dibagi ke dalam tiga kluster:
klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pembabakan tafsir ke dalam tiga
kluster ini untuk memudahkan penandaan meskipun fenomena pada masing-
masing babak tidak sederhana. Memudahkan karena sederhana dalam
menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan tafsir meskipun
sesungguhnya waktu dan realitas tidak sesederhana pembagian awal, tengah,
dan akhir atau kontemporer. Namun untuk sementara memadai sebagai
bahan kajian awal. Periodisasi tersebut, yaitu:
a. Klasik, yaitu pada abad 1-2 H/7-8 M di masa Nabi, sahabat, dan tabi'in.
Pada era ini, tafsir Al-Qur'an bersifat formatif (pembentukan) dan secara
epistemik bersifat teosentris (al-'aql al-lahutanil al-'aql al-bayani), bernalar
quasi-kritis (ada ruang kritis tetapi kebenarannya diikat pada oto ritas
tertentu, yaitu Nabi, Sahabat, dan Tabi'in; semacam "seakan-akan kritis").
Periode awal ini dikenal dengan istilah "generasi salaf."
b. Pertengahan, yaitu pada pada abad ke-2 hingga 3 H sampai abad ke-13 H
(9-19 M) yang berlangsung pasca gene rasi tabi'in atau periode Tabi' al-
tabi'in saat tafsir mulai di bukukan ('ushür al-tadwin/masa-masa
kodifikasi tafsir). Masa kodifikasi tafsir tidak dapat dilepaskan dari
tahapan sejarah kodifikasi Hadis. Setidaknya permulaan masa ini dapat
ditandai pada saat pemerintahan raja Umayyah yang saleh, yaitu 'Umar
bin 'Abd al-Aziz yang memerintah pada 99-101 H yang tercatat merintis
kodifikasi resmi Ha dis Nabi. Tafsir Al-Qur'an pada era ini, cenderung
bersifat afirmatif (penguatan dan penegasan paham), konservatif
(pelestarian paham), sektarian (terkungkung dalam suatu paham
tertentu), dan ideologis (mengusung paham ter tentu).
c. Kontemporer, yaitu pada abad ke-20 di mana era pertengahan
disimpulkan berakhir. Tafsir Al-Qur'an pada era ini menyadari
kekurangan-kekurangan tertentu dari tafsir era sebelumnya yang dinilai
tidak kompatibel de ngan kebutuhan dan perkembangan zaman. Oleh
karena itu, fenomena tafsir pada era kontemporer bersifat kritis reformatif
(pembentukan kembali) terhadap metode dan pendekatan penafsiran Al-
Qur'an era pertengahan.45
Menurut Abdullah Saeed, sarjana muslim dari Universitas Melbourne
Australia ini membagi pembabakan tafsir Al-Qur’an ke dalam dua masa,
yaitu:
a. Masa Klasik (Early Period)
Pada masa ini ada banyak varian tafsir (Quranic exege sis), yaitu tafsir Sunni
(sunni exegesis), tafsir Syi'ah (shi'i exegesis), tafsir Khawarij (khariji exegesis),
tafsir teologis. (theological exegesis), tafsir hukum (legal exegesis), tafsir sufi
(mystical exegesis), dan tafsir falsafi (philoshopical exegesis).
b. Masa Modern (Modern Period)
Pada periode ini, Saeed menyebut: tafsir modernis (mo dernist exegesis),
tafsir ilmiah (scientific exegesis), tafsir sosio-politik (socio-political exegesis),
tafsir tematik (themat ic exegesis), dan tafsir kontekstual (contextualist
exegesis).
2. Pengelompokkan Berdasarkan Metode dan Corak Penafsiran
Pandangan teoritis ummat manusia terhadap Al-Qur'an melahirkan
berbagai upaya bagi para kalangan akademisi untuk terus melakukan kajian-
kajian, yang melahirkan berbagai pola pendekatan pemahaman kalam Allah
sehingga menghadirkan pola pandang yang berbeda dari waktu kewaktu. Al-
qur'an dipahami dari waktu ke waktu sesuai dengan realita social dan kondisi
berbeda dengan situasi sebelumnya, sehingga melahirkan keragaman pola
45
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, (Jakarta: Kencana, 2019), 9.
pendekatan maupun corak hasil dari sebuah pemikiran dan metode
pendekatan secara keilmuan sehingga mampu melahirkan tatanan-tanan baru
dalam dinamika pembaruan keilmuan.
Metode adalah suatu jalan dalam kaitan ini cara ilmiah untuk dapat
memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Berbagai
metode terlahir untuk melakukan kajian-kajian ilmiah Al-Qur'an dan
diajarkan berbagai cara agar melahirkan dinamisasi dalam mehami ayat-ayat
Allah. Mengenai dengan masalah penafsiran Al-Qur'an para Intelektual
muslim telah menawarkan dan melahirkan berbagai cara atau metode
interpretasi dari sejak awal hingga kemunculan disiplin era kontemporer.
Telah hadir ragam metode penafsiran Al-Qur'an, terdapat empat cara yang
popular dalam pendekatan penafsiran Al-Qur'an, yaitu Tahlili, Ijmali,
Muqarran Dan Maudhu’i. 46
a. Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili merupakan upaya dalam menafsirkan al-Qur'an
melalui metode mengkaji ayat al-Qur'an dari berbagai sisi dan makna
dengan mengkaji ayat per ayat dan surat demi surat tentu dengan merujuk
pada mushaf Usmani. Metode ini musfasir megunakan metode penjelasan
makna-makna ayat struktur kalimat, Asbab an Nuzulnya, serta merujuk
pada keterangan sahabat atau tabi'in. Dalam mertode tafsir tahlili terdapat
beberapa corak tafsir yaitu, Tafsir Bi Al-Ma'tsur, Tafsir Bi Al-Ro'yi, Tafsir
Sufi, Tafsir Figh, Tafsir Falsafi, Tafsir Ilmi, Tafsir Adaby Dan Ijtima'.
1) Tafsir Bi Al-Ma'tsur
Tafsir Bi Al-Ma'tsur merupakan tafsir yang bersumber pada ayat Al
Qur'an itu sendiri, atau di nukil dari Nabi Muhammad Saw, sahabat,
maupun dari tabi'in. Contohnya, kitab tafsir Jami' al-Bayan fi Tafsir al-
Qur'an karya Ibn jarir al Thabari.
2) Tafsir Bi Al-Ra'yi
Tafsir Bi Al-Ra'yi yaitu tafsir yang menggunakan ijtihad setelah
memahami berbagai disiplin ilmu. Contohnya, kitab tafsir Mafatih al
Ghaib, karya Fakhr al-Razi.
3) Tafsir Shufi
Tafsir Shufi yaitu tafsir yang menggunakan analisis sufistik berdasarkan
isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya.
Contohnya, kitab tafsir Haqa'iq alQur'an, karya al-Sulami.
4) Tafsir Fikih
Tafsir Fikih yaitu tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum.
Contohnya, Rawai'u al-Bayan fi Tafsiri ayat al-Ahkam, karya
Muhammad Ali ash Shabuni.
5) Tafsir Falsafi
46
Andi Malaka, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi Islam, Vol.
1, No. 2, (2021) : 145
Tafsir Falsafi yaitu tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu ilmu
filsafat. Contohnya, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi.
6) Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi yaitu penafsiran yang menggali kandungan al-Qur'an
berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Contohnya, Al-Qur'an wa al-ilm al-
Hadits karya Abd al-Razzaq Nawfal.
7) Tafsir Adabi Al-Ijtimai
Tafsir Adabi Al-Ijtimai yaitu tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat
al-Qur'an dari segi ketelitian redaksinya kemudian menyusun
kandungan ayat dengan tujuan utama memaparkan tujuan al-Qur'an.
contohnya, tafsir al Manar karya Rasyid Ridha.
b. Metode Tafsir Ijmali
Metode Tafsir Ijmali ialah merupakan metode menafsirkan al-Qur'an
dengan pola pengungkapan makna ayat secara ringkas dan global lansung
pada substansi penjelasan dan tidak berbelit-belit. penafsir memaparkan
arti serta makna ayat dengan singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti
tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.
c. Metode Tafsir Muqarran
Metode Tafsir Muqarran merupakan sebuah upaya menafsirkan al-
Qur'an dengan metode mengutip sejumlah ayat al-Qur'an membacanya
dan mengemukakan penafsiran para ulama Tafsir terhadap ayat-ayat
tersebut menyuguhkn/menyajikan serta melakukan analisa perbandingan
pendapat dari beberapa ulama mufasir dan menganalisa dari sudut
pandang dari masing-masing dalam menafsirkan al Qur'an. Perbedaan ini
dibagi ke dalam tiga hal: Perbandingan antar ayat, perbandingan ayat al-
Qur'an dengan hadits, dan perbandingan penafsiran antar mufassir. Karya
tulis tafsir perbandingan antar ayat diantaranya Durrah al Tanzil wa
ghurrah al-Ta'wil karya al-Iskafi. Dan karya tulis tafsir yang menggunakan
perbandingan antar mufassir ialah al Jami' li ahkam al Qur'an¹2 karya al
Qurthubi. Tafsir Durrat al-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (Mutiara al-Qur'an
dan Kesejukan al-Takwil) karya al-Khatib al-Iskafi.
d. Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i merupakan metode tafsir tematik merupakan
upaya menafsirkan al-Qur'an dengan cara menghimpun secara
menyeluruh mengenai ayat al Qur'an yang membahas tentang sebuah
permasalahan dalam satu tema tertentu sehingga hanya mengarah pada
kajian walau pun turunannya berbeda, menyebar berbagai surat dalam Al-
Qur'an yang berbeda Asbab Nuzulnya serta waktu turunnya ayat. Bila
dilakukan sebuah analisa yang lebih tajam dari beberapa konteks
metodologinya maka pemetaan yang dilakukan Al-Farwani dapat
memberikan sebuat gambaran yang baru dibandingkan dengan sebuah
pemetaan konvensional yang suguhkan oleh ulama era abad ke-9 H hingga
abad ke-13 H, (Para era konvensional, pemetaan etodologi ini dibagi
menjadi tiga bentuk: al-tafsir bi al-matsur, al-tafsir bi al-ra'yi, dan tafsir al-
isyari). Al-Farmawani tidak mengambarkan Dalam hal ini al-Farmawi
tidak memberikan pemetaan yang gambling antara wilayah metode dan
pendekatan tafsir serta teknik penulisan tafsir.47
47
Andi Malaka, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi Islam, Vol.
1, No. 2, (2021) : 147
penafsiran atau menggunakan metode tafsir yang sudah disepakati dan ditetapkan
oleh para ahli tafsir.48
1. Macam-Macam Metode Tafsir
Dari beberapa penafsiran al-Qurân yang berkembang dikalangan ahli tafsir,
para ulama menyimpulkan bahwa ada empat macam metode yang digunakan oleh
para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an antara lain:
a. Metode Tahlili
Metode Tahlili ialah metode yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya Sesuai urutan
bacaan yang terdapat dalam mushaf Utsmani. Muhammad Baqir As-Shadr
menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti
tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau disebut tafsir parsial.
Metode tafsir tahlili ini adalah tafsir paling tua dibanding metode tafsir yang
lainnya. tafsir ini berasal sejak masa para sahabat nabi, sejak zaman klasik dan
zaman pertengahan. pada mulanya tafsir tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat
saja, kadangkala mencakup penjelasan mengenai kosakatanya. dalam
perkembangan selanjutnya para ahli tafsir merasakan kebutuhan Untuk
menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an.
Pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat hijriyah atau abad 10 M, ahli-
ahli tafsir seperti İbnu Majah, At-Thabari mulai mengkaji keseluruhan isi al-Qurân
dan membuat model-model paling maju dari tafsir dengan model sepeti ini. Dalam
melakukan penafsiran, para mufassir nemberikan perhatian sepenuhnya kepada
semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan sehingga menghasilkan
makna yang benar dari setiap bagian al-Qurân.
Dalam menafsirkan ayat para mufassir biasanya melakukan sebagai berikut :
1) Mengemukakan korelasi (munasabah) antara ayat satu dengan ayat lainnya
maupun antara surat dengan surat lainnya, baik sebelum atau sesudahnya.
Misalnya dalam menafsirkan awal surat Ali Imran. Apabila mufassir menulİs
tafsirnya utuh seluruh mushaf. mulai dari surat al-Fatihah dstnya, maka ketika
ia mulai menafsirkan surat Ali Imran ia akan menjelaskan hubungan dengan
surat al-Baqarah. Pembahasan semacam ini akan menarik apabila mengandung
pengertian yang belum pernah dibahas orang.
2) Menjelaskan şebab-sebab turunnya ayat.
3) Menganalisi mufradat (koşakata) dan lafadnya dari sudut pandang linguistik.
Atau dengan memberikan penjelasan tentang arti kata yang terkandung di
dalam ayat yang ditafsirkan.
4) Memaparkan kandungan ayat şecara umum dan maksudnya.
48
M.Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pt. Nusantara Lestari Ceriapratama, ),
H. 327.
5) Menerangkan unsur-unsur kesastraan seperti kefasihan, kejelasan (bayan) dan
mukjizatnya bila dianggap perlu, terutama apabila ayat-ayat ditafsirkan itu
mengandung keindahan sastra (balagah).
6) Menjelaskan hal-hal yang bisa diistinbatkan dari ayat tersebut yang berkaitan
dengan hukum fiqh, tauhid, akhlaq atau hal lainnya.
Dari penjelasan di ataş terlihat bahwa penafsiran al-Qurun dengan metode
tahlili adalah penafsiran yang sangaı luas dan menyeluruh, Melalui penafsiran ini
ayat Al-Qur’an nampak mempunyai wawasan dan jangkauan yang sangat luas.
penafsiran dalam bentuk ini bisa dilakukan dari berbagai segi yang ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu. Segala sesuatu Yang dianggap perlu oleh seoang mufassir
tahllli selalu diuraikannya. Sehingga al-Qurân dapat dipahami dari berbagai sudut
keilmuan. Dianta kitab-kitab tafsir Yang menggunakan metode ini ialah : Kitab
Tafsir karya Fachruddin Raza dan Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari.
Sebagai sebuah metode yang luas, maka corak-corak penafsiran Yang
menggunakan metode tahlili juga banyak. Para ułama kemudian membagi corak
penafsiran metode tahlili ini kepada tujuh macam! : l . Tafsir bil Matsur. 2. Tafsir
bil Răyi. 3. Tafsir Fiqh. 4. Tafsir Sufi. 5. Tafsir al-Falsafi 6. Tafsir Ilmi. 7.Tafsir Adabi
Ijtimăie.
b. Metode Ijmali
Metode Ijmali ialah metode penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurăn dengan
cara singkat. Padat dan global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna
ayat-ayat al-Qurăn secara global, sistimatikanya mengikuti urutan surah-surah al-
Qurăn, sehingga makna maknanya dapat saling berhubungan.
Dałam menyajikan makna-makna kalimat atau ayat, mufassir mengambil
ungkapan yang diambil dari al-Qurăn sendiri, dengan menambahkan kata atau
kalimat penghubung sehingga memberi kemudahan kepada pembaca untuk
memahaminya.
Dałam penafsirkan ayat-ayat al-Qurăn para mufassir menggunakan lafal
bahasa yang mirip bahkan sama dengan al-Qurăn. sehingga pembaca merasakan
bahwa uraian yang disajikan mufassir tidak jauh dari bahasa dan lafal al-Qurăn
sehingga jelas dan dapat dengan mudah difahami.
Dałam menafsirkan ayat al-Qurăn dengan metode ijmali ini para mufassir ini
juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sabab nuzuł atau peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadiš-Hadiś yang
berhubungan dengannya.
Keistimewaan metode ini antara lain ialah : Mufassir meafsirkan ayat-ayat al-
Qurân apa adanya tanpa harus rnenghubungkan kepada hal-hal lain di luar
keagungan arti ayat tersebut. Uraian penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurăn
mudah difahami dan dimengerti, tidak bertele-tele dan tidak berbelit-belit.49
Sedangkan kelemahan metode ini: Penafsiran ayat-ayat a1-Qurân sempit dan
49
Ibid
terbatas. Rahasia-rahasia dan hikmah yang terkandung di dalam ayat tidak
terungkap banyak. Pembahasan terhadap pokok-pokok masalah tidak tuntas
Kitab tafsir yang disusun dengan metode ijmali: Tafsir al-Qurân ul karim. karya
Muhammad Farid wajdi. seorang mufassir kontemporer asal Mesir. Kitab al- Wasith,
karya Team Majmaul Buhuts al-Islamiyah. Tafsir al Jalalain, karya Jalaluddin
Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli. Contoh penafsiran dengan metode ini dapat kita
lihat dalam tafsir Jalalain
c. Metode Muqarran
Metode Muqarran ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan
perbandingan antara satu dengan lainnya. Misalnya. seperti filsafat, hukum dan
sebagainya.
d. Metode Maudlui
Metode Maudlui suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan topik-topik
al-Qurăn. Metode tematik yang memilih persoalan-persoalan sosial politik. sosial
ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian tetapi kemudian
berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer. Maka Ibnu Qayyim menulis At-
Tibyan fie aqsamil Qurăn. Abu Ubaidah menulis Majazul Qurăn Ar-Raghib al-
lsfahany mengarang kitab Mufradaatul Qurăn. Abul Hasan Al-Wahidi mengarang
Asbabun Nuzul, Abu Jăfar an-Nuhas mengarang An-Nasikh wal Mansukh, Rasyid
Ridha, dengan Al-WahyuI-Muhammadie dan Qurais Syihab, Wawasan al-Qurăn.50
B. Sejarah Ahli-Ahli Tafsir Sunni
1. Sejarah Pengarang-pengarang Tafsir Sunni
a. Ibnu Jarir ath-Thabary
Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabary.
Dilahirkan di Thabrastan pada tahun 224 H./839 M., dan meninggal di Baghdad
tahun 310 H./932 M. Seorang ahli tarikh yang terkemuka, raja ahli tafsir, seorang
imam yang mempunyai madzhab sendiri. Banyak karangan-karangannya yang
berharga Di antaranya, kitab tafsirya Jama' al-Bayn yang sangat terkenal,
rujukan segala ulama tafsir. Tafsirnya itu mencerminkan keluasan ilmunya dm
ketinggian penyelidikannya. Beliau terpandang sebagai salah seorang imam
mujtahid tidak ber-taqlid kepada orang lain. Bahkan perah madzhabnya diikuti
oleh sebagian umat Islam.51
b. Abu Muslim al-Ashfahany
Nama lengkapnya Abu Muslim Muhammad ibn Bahar. Beliau lahir
pada tahun 254 H., dan meninggal pada 322 H. Seorang pembesar negara di
Ashfahan, termasuk golongan penulis yang ulung. amat pandai dalam urusan
tafsir dan dalam berbagai-bagai ilmu. Di antara kitabhya ialah Jami' at-Ta'wil
yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir beliau ini amat baik susunanny. amat baik pen-
tahqiq-kannya dan bagus uraiannya. Mereka yang telah mempelajari tafsir Ar-
50
Teunku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, (
Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 236.
51
Teunku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, (
Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 237.
Razy, tentu telah dapat mengumpulkan sebagian besar dari pendapat Abu
Muslim yang telah dipindahkan Ar-Razy itu.52
c. Ibnu Mundzir
Nama Iengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Ibrahim ibn al-Mundzir an-
Naisabury. Meninggal pada tahun 309 H./921 M. di Makkah. Seorang mujtahid
yang menghafal hadits dan terhitung seorang yang amat bagus karangannya.
Di antara hasil karyanya ialah Al-Mansuthî dalam bidang fiqh, IkhtiIaf al-Ulama,
Al-ljma' dan Al-lsyraf alaa Masahid Ahl al-Ilmi.
d. Az-Zajjaj
Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim ibn Sary ibn Sahal. Lahir di Baghdad
pada tahun 241 H./855 M., dan meninggal pada tahun 30H/923 M. Seorang
pujangga nahwu dan lughah. Beliau mempunyai beberapa buah karangan yang
berharga, di antaranya ma’an di Al-Qur’an dan Khulq al-Insan.
e. Al-Wahidy
Nama lengkapnya Ali ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Matawih.
Terkenal dengan nama Al-Wahidy. Meninggal di Naisabur pada tahun 427
H./1076 M. Seorang ahli tafsir dan kesusasteraan. Beliau mengarang tiga buah
buku tafsir yaitu Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz.
f. Abu Hayyan
Nama lengkapnya Muhammad ibn Yusuf ibn Ali Hayyan al-Andalusy
an-Nahwy. lahir di Ghamathah pda tahun 654 H./1256 M.dan kemudian
berpindah ke Mesir dan menetap di sana sampai ia meninggal dunia pada
tahun 745 H./1344 M. Seorang ulama besar di dalam hadits, sejarah dan bahasa.
Banyak karangannya, di antaranya Al-Bahr al-Muhith.
g. Ats-Tsa'aliby
Nama lengkapnya Abu Manshur Abd al-Malik ibn Muhammad ibn
Isma'il ats-Tsa'aliby. Iahir pada tahun 350 H./961 M., meninggal pada tahun 429
H./1037 M. Seorang imam lugah dan adab. Di antar kitabnya Fiqh al-Lughah dan
Al-Jawahir al-Hisan.
h. Al-Qurthuby
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Faraj Al-
Qurthuby, seorang pengarang tafsir terkenal yang banyak Diambil
pendapatnya oleh ahli-ahli tafsir sesudahnya. di antara yang mengambil
pendapatnya ialah Abu Bakr Yahya Ibn Tammam Ibn Muhammad Al-Azdy al-
Qurtuby, seorang yang amat Alim dalam urusan qira’at, hadits dan lughah.
i. Al-Fakhr ar-Razy
Nama lengkapnya, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Al-Husain
Fakhruddin ar-Razy. I.ahir pada tahun 544 H./1210 M. Seorang imam ahli tafsir,
pujangga agarna yang terkenal paling besar di masyarakat. Beliau berbangsa
Quraisy. Asalnya dari Tabrastan. Lahir di Riai, karena itu dinamai Ar-Razy. Ia
banyak melawat ke beberapa negeri. Karangannya amat banyak. Di antaranya
52
Ibid
sebuah tafsir delapan jilid tebalnya Di masa hidupnya kitab-kitabnya telah
menjadi kajian umum.
j. Az-Zamakhsyary
Nama lengkapnya Mahmud ibn Umar ibn Muhammad al-Khawarizmy
az-Zamakhsyary. Lahir pada tahun 467 H./1075 M., pada tahun 538 H.,/1143 M.
Seorang ahli agama, tafsir, lughah dan adab yang sangat terkemuka, khususnya
dalam urusan kesusasteraan bahasa Arab. Dilahirkan di Zamakhsyari. Setelah
dewasa beliau perg ke Makkah dan berkediaman di sana beberapa lama
masanya. Karena itu beliau diberi gelar Jarullah. Banyak sekali kitab-kitab
agama yang beliau karang di antaranya Al-Kasysyaf, sebuah tafsir yang sangat
perlu dipelajari mereka yang hendak mengetahui kepelikan dan keindahan
susunan bahasa al-Quŕan. Dalam soal kepercayaan, beliau menganut
Mu'tazlah. Beliau sangat keras membantah pendapat taSawuf.53
53
Muhammad Ali Shomali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I, November
2012), H. 45.
mendengarkan bacaan-bacaan ini dengan penuh keseriusan. Sekelompok dari
sahabat beliau seperti Abdullah bin Mas'ud dan Ubai bin Ka'ab membacakan
seluruh teks Al-Qur’an di hadapan Rasulullah Saw bahkan hingga beberapa kali.
c. Syaikh Muhammad bin Hasan Thusi (w. 460 HQ) yang terkenal dengan sebutan
Syaikh Al-Thaif dalam kitab tafsirnya yang bernama Al-Tibyan menulis: "Berbicara
mengenai penambahan pengurangan Al-Qur’an tidak ada dasarnya, pada ijmak'
adalah penafian penambahan ...54
d. Syaikh Thabarsi (w. 548 atau 538 HQ) dalam tafsir terkenalnya Majma' al-Bayân,
menuliskan: "Dalam kaitannya dengan penambahan sesuatu pada Al-Qur’an,
ijmak' menyatakan kebatilannya, dan dalam kaitannya dengan pengurangan Al-
Qur’an, sebagian dari Syi'ah dan sekelompok dari Hasyawiyah Ahlusunnah
meriwayatkan bahwa Al-Qur’an berada dalam ancaman perubahan dan
pengurangan, sementara itu, akidah shahih di mazhab kami (Tasyayyu') bertolak
belakang dengan itu.
e. Sapyicl bin Thusi (w. 6641-10 dalam kitabnya Sa'd al-Su'ûd, menulis:
"Sesungguhnya Imamiyah meyakini bahwa dalam al- Quran tidak terdapat
sedikitpun perubahan dan tidak terjadi bentuk penyimpangan yang manapun.
f. Allamah Hilli (w. 664 HQ) dalam kitab Adjwibah al-Masâil al-Mfahnâwiyyh,
menuliskan demikian: "Yang benar adalah bahwa tidak ada satupun bentuk
penambahan atau pengurangan dalam Al-Qur’an, dan saya berlindung kepada
Allah dari perkataan yang menyatakan adanya penyimpangan dalam Al-Qur’an,
karena masalah ini bisa menyebabkan munculnya keraguan dalam mukjizat
kemutawatiran Rasul Saw.55
4. KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi seluruh umat, Untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami
maksud daripada ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran
terhadap ayat-ayatnya untuk memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya
dapat difahami dan diamalkan. Karena fungsinya yang sangat strategis itu, maka Al
Qur’an haruslah di fahami secara tepat dan benar. Dan upaya untuk memahami al
Quran dikenal dengan istilah tafsir. Tafsir merupakan sebuah rangkaian penjelasan
dari pembicaraan atau teks Al-Qur’an, atau bisa dikatakan bahwa tafsir sebagai
penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para
mufasir untuk mendapatkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
54
Muhammad Ali Shomali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I, November
2012), H. 46.
55
Ibid
Affani, Syukron, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, (Jakarta: Kencana,
2019), 9.
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 340-341
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2009) QS. 2 (Al-Baqarah): 185.
Ari, Anggi Wahyu, “Sejarah Tafsir Nusantara,” Jurnal Studi Agama 3, no. 2 (2020): 113–
27, https://doi.org/10.19109/jsa.v3i2.5131.
Ash-Shiddieqy, Teunku Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir, ( Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 236.
Az-Zahabi, M. Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 65.
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008), h. 47- 48.
Dozan, Wely, Muhammad Turmuzi, Sejarah Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Teori, Aplikasi,
Dan Model Penafsiran), (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020), 2.
Hamid, Muhammad Shalahuddin, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pt. Nusantara
Lestari Ceriapratama, ), H. 327.
Malaka, Andi, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi
Islam, Vol. 1, No. 2, (2021) : 145
Muhibudin, Muhibudin, “Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Al-Qur’an,” Al-
Risalah 11, no. 1 (2019): 1–21, https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i1.553.
Sarwat, Ahmad, Ilmu Tafsir: Sebuah Pengantar, (Lentera Islam, 2020), 14.
Shihab, Quraish, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Wahyu dalam kehidupan
masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993), h.75
Shomali, Muhammad Ali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I,
November 2012), H. 45.
Wahidmurni. Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. (Malang. 2017), H. 1.
SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PADA
MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi
Saw sampai sekarang. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif disini penulis mendeskripsikan secara lengkap sejarah pemeliharaan Al-Qur’an
pada masa Nabi Saw dan pasca sahabat sampai sekarang. Hasil dari penelitian ini adalah Al-
Qur'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah Al-Qur'an yang telah diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW tanpa adanya perubahan. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah Saw lebih banyak mengandalkan kemampuan hafalan, sedangkan penulisannya
hanya sedikit seperti pada pelepah kurma, tulang belulang dan batu-batuan, hal ini karena
pada masa tersebut belum dikenal kertas seperti sekarang ini, disamping juga karena
banyaknya umat Islam yang buta huruf. Adapun pada masa khalifah Abu Bakar,
pemeliharaan Al-Qur’an telah dilakukan dengan pengumpulan dalam satu Mushaf, yang
kemudian diperbanyak pada masa khalifah Usman bin Affan.
ABSTRACT
This study aims to determine the history of the maintenance of the Qur'an during the time of the Prophet
until now. This research method is qualitative using a descriptive method, here the author describes in
full the history of the maintenance of the Qur'an during the Prophet's time and after the Companions
until now. The result of this research is that the Qur'an that is in our hands today is the Qur'an which
was revealed to the Prophet Muhammad SAW without any changes. The maintenance of the Qur'an at
the time of the Prophet Muhammad relied more on memorization skills, while the writing was only a
little like on date palm stems, bones and rocks, this was because at that time paper was not yet known
as it is today, as well as because of the large number of people. Illiterate Islam. As for the caliphate of
Abu Bakr, the maintenance of the Qur'an was carried out by collecting it in one manuscript, which was
then reproduced during the caliphate of Usman bin Affan.
merupakan kitab asli dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan
zaman. Al-Qur’an turun kepada Nabi Saw, tidak sekaligus akan tetapi secara
sampai masa sekarang. la dibaca hampir oleh setiap Muslim sejak dulu hingga
Al-Qur 'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah Al-Qur'an yang
telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tanpa adanya perubahan, karena
keberadaan Al-Qur’an yang demikian ini berkaitan dengan sifat dan cirinya, yang
tetap sebagaimana keadaannya dahulu. Setiap Muslim harus percaya bahwa apa
yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Qur'an sekarang ini tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw, didengar dan
Pada zaman sekarang Al-Qur'an dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh
penghafal baru yang jumlahnya semakin bertambah. Ini semua adalah salah satu
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Strauss dan Corbin
dalam Pupu Saeful Rahmat secara umum penelitian kualitatif dapat digunakan
aktivitas sosial, tingkah laku dan lain-lain. Biasanya penelitian ini digunakan
untuk memahami dan menemukan apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang
macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-
Adapun data sekunder yang didapatkan yaitu bersumber jurnal, artikel dan
teknis analisis data dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
Dalam sirah nabawiyah, diceritakan bahwa ketika Nabi Saw turun dari
Gua Hira dan pulang menemui Khadijah, beliau sama sekali tidak membawa
apapun di tangannya, entah itu kulit atau batu atau media apapun yang
nasrawi, bernama Waraqah bin Naufal, tentang keadaan yang menimpa diri
suaminya.
ayat Al-Qur’an, pastilah benda itu juga akan dibawa serta dan ditunjukkan
56Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009): 2.
57
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam penelitian
pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no. 1, (2020): 43.
58
Sandu Siyoto, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015): 68.
kepada sang pendeta. Ini sebuah bukti bahwa wahyu yang turun pada waktu
itu memang jelas bukan dalam bentuk tulisan, melainkan hanya dalam wujud
paling terkenal yaitu Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan, Ubay bin Kaab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Saad, Hanzhalah
dari semuanya memang Zaid bin Tsabit. Sahabat yang lain juga kerap
Islam bangsa Arab adalah merupakan bangsa yang buta huruf dan amat
sedikit di antara mereka yang mengenal tulis - baca , mereka belum mengenal
Perkataan al-Waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti kertas,
di masa tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata al-
Qirthos yang artinya kertas oleh mereka hanyalah dipakaikan untuk benda-
bebatuan yang tipis. Jadi, media penulisan yang digunakan saat itu adalah,
sebagai berikut:61
59
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 15-16
60
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 21-11
61
Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 287.
Gambar 3.1: Kulit Binatang
sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang dapat ditulisi dan pula Nabi
surat, artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun
Rasulullah Saw menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka
dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga
atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan
Qur'an dan tidak tercampur adukkan, dengan yang hanya Al-Qur'an betul-
dibaca pada setiap shalat. Dengan jalan demikian itu maka banyaklah para
macam oleh ribuan manusia dan banyak yang mampu menghafal Al-Qur'an
secara keseluruhan .
Nabi Muhammad Saw, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,
diturunkan untuk beliau secara khusus. Di antara para penulis itu ialah : Ali
bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan
Muawiyah bin Abi Shofyan, pada masa itu oleh Malaikat Jibril diadakan
ulangan (repetisi) sekali dalam satu tahun, diwaktu ulangan Nabi disuruh
62Hadis diriwayatkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud), hal. 8 dan Ahmad hal. 1.
63Mana' Al Qattan, mabahits Fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh, tt,), 25.
kepadanya, di tahun beliau wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril sebanyak
dua kali. Nabi sendiri pun sering mengadakan ulangan di hadapan para
secara baik dan Nabi telah menjalani cara yang amat praktis di dalam
Qur’an dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan
berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an bisa dibukukan
dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama proses turunnya
mansukh.64
imannya, terutama orang yang tinggal di Yaman. Banyak dari mereka yang
serta pengikutnya dan orang yang mengaku dirinya Nabi, perang itu di kenal
64 Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), 18.
65 Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 288.
Perang Yamamah terjadi di tahun kesebelas hijriyah bertepatan dengan
tahun 632 Masehi. Perang ini dipicu oleh gerakan murtad masal yang
korban yang jatuh cukup banyak. Namun mereka adalah para penghafal Al-
Qur’an (qurra') yang secara sukarela ikut dalam perang melawan orang-orang
dari kalangan sahabat gugur. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri
Umar bin Khatab (yang kemudian menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah
kedua), Umar merasa cemas apabila semakin bertambah lagi penghafal Al-
awalnya Abu Bakar menolak karena hal ini tidak dilakukan oleh Rasulullah
Saw, umar tidak putus asa membujuk Abu Bakar dan kemudian Allah SWT
Kemudian Abu Bakar meminta Zaid Bin Tsabit dan berkata kepadanya
diceritakannya segala pembicaraan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar
dan Abu Bakar Berkata: “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang
aku percaya sepenuhnya dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang
selelu diperintah oleh Rasulullah, oleh karena itu kumpulkanlah ayat-ayat Al-
Qur’an”.
66
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 37.
Muhammad Ichan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
67
Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, Vol. 14, no. 1 (2012): 4.
Akan tetapi Zaid menolak kemudian ia mengungkapkan bahwa " Demi
Allah ini adalah pekerjaan yang berat bagiku, seandainya aku diperintahkan
untuk memindahkan bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada
berkata kepada Abu Bakar dan Umar, " Mengapa kalian melakukan sesuatu
yang tidak diperbuat oleh Nabi ?”, Abu Bakar menjawab: Demi Allah ini
untuk mengumpulkan Al-Qur'an itu sehingga hal yang demikian itu dapat
dari daun pelepah kurma, kulit binatang, bebatuan dan lain sejenisnya dan
terjadi setelah Nabi Saw wafat, yaitu di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-
Shiddiq dan Utsman bin Affan. Penulisan Al-Qur’an di masa kenabian itu
meski sudah dilakukan, namun belum lagi disusun sebagaimana urutan surat
dan ayat yang kita kenal di dalam mushaf sekarang. Para sahabat penulis
wahyu, baik yang resmi diangkat oleh Nabi Saw ataupun yang
turun sekaligus. Urutan turunnya pun juga tidak sebagaimana urutan yang
kita kenal di mushaf sekarang ini. Para ulama mengenal dua istilah yang
berlawanan, yaitu tartib nuzuli yaitu urutan turun dan tartib mushafi yaitu
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur’an itu Zaid bin Tsabit bekerja sangat
teliti sekalipun beliau sendiri hafal Al-Qur’an seluruhnya, akan tetapi untuk
68
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 35-36
maka ia memandang perlu mencocokkan hafalan dan catatan para sahabat
Qur’an dalam satu mushaf dengan urutan-urutan yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah Saw. Kemudian Zaid bin Tsabit menyerahkan kepada Abu Bakar
sebagai khalifah saat itu, lalu dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab selama
dipindahkan ke rumah Hafsah, beliau adalah putri Umar dan juga istri
demikian, artinya telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap diatas
kelihatanlah kaum muslimin pada waktu itu telah terpencar hingga ke Mesir,
Syiria, Irak, Persia dan Afrika dan kemana dan dimanapun mereka tinggal
memerintah sejak Umar bin Khattab wafat yang berkuasa selama 10 tahun.
Masa kekhalifahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama, yaitu 12
tahun lamanya sejak dari tahun 644 hingga 655. Pada masa Beliau ini
sebenarnya ada dua hal yang dilakukan, yaitu: pertama, terkait dengan
69 Kalimatul Ulya dan Saidah, “Rijalul Qur’an: Membincang Sejarah Para Penulis Wahyu”,
Vol. 1 no. 1 (2017): 55.
70 Muslimis, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 290.
penggunaan huruf teks Al-Qur’an yang distandarisasi dikenal dengan istilah
Kedua hal itu awalnya dipicu sesuatu yang sebenarnya agak kebetulan
saja, namun memang merupakan hal yang pasti terjadi. Perang Armenia
Azerbaijan, awalnya dimulai dari perseterusan dua kubu umat Islam, ketika
antaranya dari Kufah dan Damaskus . Kedua dua pasukan bertemu, muncul
beragam antara satu kabilah dan kabilah lain, baik dari segi intonasi, bunyi
tersendiri, dan lebih tinggi daripada bahasa dan dialek yang lain, antara lain,
perniagaan.
Quraisy kepada seorang rasul yang Quraisy pula, agar dapat menjinakkan
memahaminya.
Dalil Diturunkannya Al-Qur’an dalam Tujuh Huruf Hadits dari Ibnu
هللا عليه و سلم :أقرأىن جربيل على حرف فراجعته فل هم أزل أستزيده و يزيدىن
قال رسول هللا صلى ه
)lainnya
مسعت هشام بن حكيم يقرأ سورة الفرقا هن ىف حياة رسول هللا صلى هللا عليه و سل هم ،فاستمعت
أساوره ىف الصالة ،فانتظرته حىت سلم ،هث لببته بردائه قلت :من أقرأك هذه السورة ،قا هل :أقرأ نيها
اي رسول هللا ،إىن مسعت هذا يقرأ سورة الفرقا هن على حروفه مل تقرئنيها ،هو أنت أقرأتىن سورة
الفرقا هن ،فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سل هم :أرسله اي عمر ،اقرأ اي هشام ،فقرأ هذه القراءة
هللا عليه هو سلم :هكذا أنزلت ،هث قال رسول هللا صلى هللا
الىت مسعته يقرأها ،قال رسول هللا صلى ه
” عليه و سل هم ه”ه:إ هن هذا القرآ هن انزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسرمنه
saja aku serang dia dalam shalat, namun aku berusaha menunggu dengan
sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku
bertanya, “Siapa yang mengajari bacaan surat ini?” Hisyam menjawab, “yang
membacakan kepadaku surat yang kau baca tadi (tetapi tidak seperti
Mas'ud, salah satu shahabat Nabi Saw yang senior dan amat mendalam ilmu
dari Ubay bin Ka'ab, salah seorang shahabat Nabi SAW juga yang mana
yang berbeda dan asing di telinga mereka, sangat mudah sekali mereka
di tangan mereka yang tidak lengkap ilmunya bisa saja menjadi masalah
Melihat gelagat yang kurang baik itu, salah seorang sahabat nabi yaitu
Armenia. Aku melihat penduduk Syam membaca qiraah Ubay bin Ka'ab.
Abdullah bin Mas'ud kemudian datang dan membaca yang tidak pernah
sebuah proyek besar dengan nilai yang amat strategis. Intinya bagaimana
mengakui secara resmi berbagai macam qiraat yang sumbernya semua dari
Rasulullah Saw, meski berbeda- beda kata-katanya. Apa yang dibaca oleh
Abdullah bin Mas'ud tidak ditolak bahkan sebaliknya justru diresmikan dan
standar.
Dan apa yang dibaca oleh Ubay bin Ka'ab meski berbeda qiraatnya
dengan bacaan Abdullah bin Mas'ud juga diakui secara resmi dan diabadikan
kedua pasukan yang awalnya jadi sumber masalah segera berakhir, karena
mereka akhirnya paham bahwa kedua qiraat yang berbeda itu ternyata sama
- sama qiraat yang resmi , mutawatir dan bersumber dari Nabi Saw juga.
Kahalifah Abu Bakar untuk disalin. Oleh karena itu Usman bin Affan
Zaid bin Tsabit sebagai Ketua dan Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash,
71
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 42.
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin
lembaran- lembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi
supaya:
yang telah dibukukan dinamai dengan "Al Mushhaf" dan oleh panitia ditulis
Bashrah dan Kuffah dan yang satu buah di Madinah untuk Khalifah Usman
bin Affan sendiri, dan inilah yang dinamai dengan Musfhaf Al Imam.
itu dan membakarnya, dan dengan demikian mushhaf yang ditulis pada
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an, oleh karena itu banyak para sahabat yang
khalifah sendiri.
Muhammad Ichsan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
72
Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, Vol. 14, no. 1 (2012): 6.
Di Indonesia sudah merupakan hal yang menjadi kebiasaan diadakan
kanak sampai pada tingkatan dewasa, mulai dari tingkat kelurahan sampai
Jami'atul Quito' tidak asing lagi di Indonesia yang berusaha dalam bidang ini.
maupun yang didatangkan dari luar negeri Pemerintah RI. Cq. Departemen
mentashhih Al-Qur'an yang akan dicetak dan akan diedarkan yang dinamai
berukuran 1x2 meter yang telah ditulis tangan oleh penulis dari Indonesia
sendiri yang dimulai dari tanggal 28 Juni 1948/17 Ramadlian 1367 dan selesai
untuk menjaga kesucian dan kemurnian Al- Qur'an juga dimaksudkan untuk
Qur'an Al-Karim hingga sampai kepada kita semua sekarang dengan tidak
ada perubahan sedikitpun dari apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam pada itu, Al-Qur'an dihafalkan oleh
jutaan umat Islam, ini adalah salah satu isyarat bahwa Allah senantiasa
menjaga Al Qur'an dan dengan ini terbuktilah penjagaan Allah terhadap Al-
Qur’an.73
otomatis.74
4. KESIMPULAN
seperti pada pelepah kurma, tulang belulang dan batu-batuan, hal ini karena
pada masa tersebut belum dikenal kertas seperti sekarang ini, disamping juga
karena banyaknya umat Islam yang buta huruf. Adapun pada masa khalifah
dalam satu Mushaf, yang kemudian diperbanyak pada masa khalifah Usman
bin Affan. Kalifah Usman membuat kepanitiaan, tugas panitia ini ialah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Al-Qattan, Mana', mabahits Fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh, tt,).
Drajat, Amroeni, Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Kencana,
2017,
74 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2017), 40
Hadis diriwayatkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud), hal. 8 dan Ahmad hal. 1.
Ichan, Muhammad, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, vol. 14, no. 1 (2012).
Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, vol 25, no 2 (2014).
Rahmat, Pupu Saeful, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. (2009).
Sari, Milya dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam
penelitian pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6,
no. 1, (2020).
Sarwat, Ahmad, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp.
ABSTRAK
ABSTRACT
Tafsir is a way to understand the Qur'an. Its existence is a must because the verses
contained in the Qur'an are very general, so they are not easy to understand. However,
even though interpretation is the only way to understand the Qur'an, it does not mean
that it is free from deviation. This deviation can result in a person getting further away
from understanding the true meaning of the Qur'an. Therefore, various factors and
causes of deviations in interpretation need to be detected and then studied so that
deviations from the interpretation of the Qur'an can be avoided. Some of the factors
that cause deviations in interpretation are the subjectivity of commentators, errors in
determining methods or rules, shallowness in the sciences of tools, shallow
knowledge of the material in the description (talk) of the verse, not paying attention
to context, and not paying attention to who the speaker is and to whom the speaker is
addressed.
1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an secara teks memang tidak mengalami perubahan, ia tidak lekang
oleh waktu, namun proses penafsiran atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks
ruang dan waktu manusia. Al-Qur’an bukan kitab yang tertutup; Ia adalah kitab
terbuka yang selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi
dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Dalam
sejarahnya, telah diajukan beberapa metode tafsir sebagai jalan untuk membedah
makna terdalam dari Al-Qur’an. Walaupun telah didapati adanya penyimpangan
tafsir lantaran tidak lagi dilakukan sesuai dengan garis-garis yang sudah ditetapkan
yaitu metodologi penafsiran Al-Qur’an yang sudah disepakati sebagai langkah awal
bagi setiap penafsir baik dalam penguasaan bahasa, memahami sejarah
diturunkannya Al-Qur’an, ilmu-ilmu penopang yang berkaitan dengannya serta
setiap penafsir harus memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat.
2. METODE
75
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Alfabeta, 2014), 22
76
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan IPA”,
Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 43
77 77
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan IPA”,
Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 444
3. HASIL PEMBAHASAN
78
79
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 105-106
Secara terminologis, al-Kilabi mengatakan, tafsir sebagai uraian yang
menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki dengan nash, isyarat atau tujuannya. Sementara itu al-Jajari dalam
al-Taujih menyatakan tafsir pada hakikatnya merupakan penjelasan lafadz
yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dzilalah lafdzikata
80
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: PT Temprint, 1996), h. 175.
81
Hasby Ashiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 122
82
Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby, Qawa‟id at-Tarjih „Inda al-Mufassir: Dirasah Nazhariyyah Tahtbiqiyyah,
(Riyadh: Dar al-Qashim, 1996), juz 1, h. 29.
al-fiqh; mengetahui tentang ilmu keagamaan; mengetahui ilmu-ilmu yang
bakal menjadi pembahasan dalam tafsir.83
Sedangkan Manna Khalil Qhathtan menjelaskan syarat-syarat bagi
seseorang yang hendak menjadi Mufassir , yaitu sebagai berikut:
1. Aqidah yang benar, aqidah akan memberi efek bagi seseorang yang
membuat sebuah karya tafsir. Ketika aqidah seseorang tidak benar
maka akan menyesatkan umat. Tafsir yang ia buat ditujukan hanya
untuk kepentingan kelompoknya saja.
2. Membuang hawa nafsu, hawa nafsu juga menjadikan seseorang akan
mementingkan mazhabnya sendiri. Sebagaimana tafsir-tafsir dari
kalangan Syiah Rafidzah dan Mu‟tazilah.
3. Mendahulukan tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an, satu ayat dengan ayat
lainnya saling berkaitan, oleh sebab itu menafsirkan Al-Qur’an harus
mengutamakan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an lainnya.
4. Menafsirkan dengan Sunnah Ketika di dalam Al-Qur’an tidak
ditemukan penafsiran bagi ayat lain, maka digunakanlah Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Hal itu sebab apa yang diucapkan Nabi ialah Al-
Qur’an itu sendiri (Al-Qur’an nathiq). Sebagaimana Imam Syafi‟I juga
menyatakan bahwa apa-apa yang difaham dri Nabi adalah penafsiran
Al-Qur’an.
5. Menafsirkan dengan Qaul Sahabat, jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah
tidak menemukan, maka selanjutnya menafsirkan dengan ungkapan
para sahabat. Sebab mereka mengetahui kehidupan nabi dan juga
memiliki ilmu yang tidak dapat diragukan.
6. Menafsirkan dengan Qaul tabi’n dan tabi’it tabi’in ketika tidak
ditemukan isyarat dari qaul sahabat, maka langkah selanjutnya adalah
menafsirkan dengan pernyataan-pernyataan dari tabi‟it tabi‟in, seperti
Imam Mujahid Ibn Jubair, Sa‟id Ibn Jubair dan Ikrimah yang merupakan
budak Ibn Abbas.
7. Menafsirkan dengan perangkat kebahasaan karena Al-Qur’an
merupakan bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab bagi seorang
Mufasir adalah suatu keharusan. Imam Mujahid, menyatakan bahwa
tidaklah diperbolehkan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, yaitu untu menafsirkan al-Quarn, sedang ia tidak menguasai
bahasa Arab.
83
M. Quraih Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera, 2007), h. 79
8. Memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, ilmu-ilmu
tersebut seperti ilmu-ilmu tafsir, ilmu tauhid dan ilmu-ilmu qira’at.
Dengan begitu seorang Mufasir tidak akan menyelewengkan wujud
Allah dengan sifat-sifat yang melekat padanya. Ia pun dengan ilmu-
ilmu tafsir akan melakukan proses penafsirannya sesuai dengan kaidah-
kaidah tafsir yang benar.
9. Pemahaman yang kuat, melalui pemahaman agama yang kuat,
khususnya terkait ilmu-ilmu agama, akan menjadikan seorang Mufassir
mampu untu membandingkan dan menganalisa pendapat-pendapat
lain dari dirinya.84
84
Manna Khalil Qhaththan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Maktabah Wahbiyyah, t.th), h.321-323.
Jika kita mengatakan Syadzdza Arrajulu artinya adalah seseorang
menyendiri dari teman-temannya.Sedangkan secara istilah ulama berbeda
pendapat, di antaranya sebagai berikut:
85 Said Agil Husain Munawwar, Ijaz al-Quran dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 28.
A. Definisi Penyimpangan Tafsir
يم و َن ال صم ََل ةَ َويُ ْؤتُو َن ِ ِاَّلل ورس ولُه وا لمذِ ين آم نُوا ا لمذ
ُ ين يُق
َ َ َ َ ُ ُ َ َ ُم إِ مَّنَا َولِيُّ ُك ُم
َراكِ عُ و َن ال مزَك ا ةَ َو ُه ْم
90
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 2008), h. 552.
91 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, h. 27.
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah). (Q.S Al-Maidah 5: 55)
92
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, h. 56.
ialah manakala Al-Qur’an dijadikan sebagai buku ilmu pengetahuan yang
dijadikan sebagai justifikasi kebenaran empirik ilmu-ilmu alam. Karena Al-
Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang mandiri yang manusia dapat
mengembangkannya. Dalam artian, tidak mencocok-cocokan semaunya
pembaca Al-Qur’an. Perihal ini, Ad-Dzahabi menjelaskan bahwa salah satu
dari tafsir ilmi yang diklaim sebagai menyimpang, ialah Tafsir Tanthawi
Jauhari, ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah Ayat 61:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan)
dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu
minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka
mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian
itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.". (QS. Al-
Baqarah 2:61)
93
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, hal. 89
Modernasi dalam Islam merupakan suatu keharusan jika Islam tidak
ingin dianggap sebagai agama yang out to date. Akan tetapi tidak berarti
kemudian menciptakan bentuk-bentuk penafsiran yang tidak sesuai prosedur
dan proposional. Perihal ini sebagaiaman salah satu penafsiran Tanthawi
Jauhari ketika menafsirkan QS. Al-Anbiya Ayat 81:
Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang
tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya.
Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.
94
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, hal. 99.
ِ َْولَقَ ْد ذَ َرأْ ََن ِِلَ َه نممَ َك ثِْيًا ِم َن ا ِْلِنِ َو ْاْلِ ن
ۖس
Artinya: Sungguh kami akan isi neraka Jahannam banyak dari golongan Jin
dan Manusia.................
4. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn lahir pada tahun 1971 M dan dia adalah
anggota dan team pengajar di Universitas Damascus dan Profesor di bidang Tafsīr wa
‘Ulūm al-Qur’ān pada Fakultas al-‘Ulūm al-Islāmiyyah di Universitas Yālū.
‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn, Tamyīz al-Dakhīl fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm,
Fakultas
Khalid ibn ‘Uthmān al-Sibt, Qawā’id al-Tafsīr Jam’an wa Dirāsatan, juz 1 (Tanpa
Negara, Dār al-‘Affān, Tanpa tahun)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 2008)
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, Umar. 2003. Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai pengertian Ilmu Tartib
Suwar I (Ayat), ayat pertama dan terakhir turun, jumlah ayat Al-Qur’an dan sebab
perbedaan penghitungan dan dikursus seputar sistematika penyusunan ayat dan
argumentasinya. penelitian ini menggunakan metode library research yaitu dengan
cara menelaah kitab-kitab serta buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan
tulisan ini. Metode yang digunakan adalah metode deduktif yang mengambil semua
data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa Tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada
dalam mushaf yang beredar antara kita adalah tauqifi, berdasarkan pendapat Al-
Imam Al-Sayuti: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para
sahabat itu menunjukan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi.
ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the meaning of Tartib Suwar I (verse), the first and
last verses that were revealed, the number of verses of the Qur'an and the reasons for the
differences in the calculations and the discourse around the systematics of the compilation of
verses and their arguments. This study uses the library research method, namely by examining
books and books that are related to the discussion of this paper. The method used is a deductive
method which takes all general data to a specific conclusion. The results of this study conclude
that the order of the verses of the Qur'an as contained in the manuscripts circulating among
us is tauqifi, based on the opinion of Al-Imam Al-Sayuti: "The reading of the suras by the
Prophet. in front of the friends it shows that the order or arrangement of the verses is tauqifi.
Regarding the number of verses in the Qur'an, scholars disagree. However, what has been
agreed on the number of verses of the Qur'an is not less than 6000 verses. And what is disputed
is the excess of 6000 verses.
95
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019, 62
Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuat surah dari Al-
Qur’an. Tertib maupun urutan ayat-ayat ini adalah Tauqifi dari Rasulullah Saw.
(ketentuan dari Rasulullah Saw. atas petunjuk dari Allah melalui malaikat jibril).96
Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya az-
Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubair dalam Munasabahnya
mengatakan: “Tartib ayat-ayat didalam surah-surah itu berdasarkan Tauqifi dari
Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin”. As-suyuti
pun memastikan hal tersebut, ia berkata “ijma dan nas-nas yang yang serupa
menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.”97 Jibril
menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukan kepadanya tempat
di mana ayat-ayat itu harus diletakan dalam surah atau ayat-ayat yang turun
sebelumnya. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu
untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka:
“Letakkanlah ayat-ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut
sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.98
Usman bin Affan berhenti kketika mengumpulkan Al-Qur’an pada tempat
setiap ayat dari sebuah surah dalam Al-Qur’an dan sekalipun ayat tersebut telah
dimansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukan bahwa penulisan ayat
dengan tertib seperti ini adalah tauqifi. Pada sisi lain Jibril senantiasa mengulangi dan
memeriksa Al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap
tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua
kali. Dan pengulangan Jibril yang terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf
yang beredar antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Imam Al-Sayuti telah
menyebutkan hadits-hadits yang berkenaan dengan surah tertentu mengemukakan:
“Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para sahabat itu
menunjukan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para
sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dari yang mereka
dengar dari bacaan Nabi Saw. maka sampailah tertib ayat tersebut kepada tingkat
mutawatir.
3.2 Ayat Pertama dan Terakhir Turun
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan agung, dapat mengubah
perjalanan hidup manusia, menghubungkan langit dan bumi, dan dunia dan akhirat.
Pengetahuan terhadap ayat Al-Qur’an yang diturunkan pertama dan terakhir kalinya
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Petahuan terhadap Nasikh wa Al-Mansukh, yakni ketika ada dua ayat yang lebih
mengenai suatu objek tertentu, sedangkan hukum salah satunya berbeda dengan
yang lainnya dan tidak dapat dikompromikan maka kita dapat mengetahui bahwa
ayat yang datang terakhir dapat me-nasakh hukum atau ayat yang datang
sebelumnya.
96
Mardan, Al-Qur’an sebuah Pengantar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010),75
97
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2002), 205
98
Mardan, Al-Qur’an sebuah Pengantar, 76
b. Pengetahuan terhadap sejarah peletakan hukum islam. Umpamanya, apabila kita
mengetahui bahwa ayat-ayat yang mengenai kewajiban shalat diturunkan di
Mekah sebelum hijrah, ayat-ayat mengenai kewajiban zakat, dan lainnya hingga
kita mampu mengurutnya atau menyistemasinya secara hukum sehingga kita
dapat mengatakan bahwa kewajiban yang pertama kali di syariatkan adalah shalat.
c. Pengetahuan terhadap tahapan-tahapan dalam peletakan hukum sehingga
mengantarkan umat kepada hikmah (kebijakan) Allah SWT. Yang tinggi menurut
Islam.
Berkenaan dengan pembahasan ini, ayat-ayat yang pertama dan terakhir turun
kadang-kadang bersifat muthlaq jika ditinjau dari Al-Qur’an secara keseluruhan dan
kadang bersifat muqayyad apabila ditinjau dari segi objek atau materi tertentu, seperti
ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan mengenai jihad.99
3. Ayat yang Pertama Kali Turun
a. Pendapat yang paling shahih terkait ayat yang pertama turun adalah firman
Allah dalam surah Al-Alaq ayat 1-5
سانَ َما لَ ْم َي ْعلَ ْم
َ اْل ْن َ ) الَّذِي3( ) ا ْق َرأْ َو َربُّكَ ْاْل َ ْك َر ُم2( ق
َ )4( علَّ َم ِب ْالقَلَ ِم
ِ ْ علَّ َم ٍ َعل ِ ْ َا ْق َرأْ ِباس ِْم َر ِبكَ الَّذِي َخلَقَ َخلَق
َ اْل ْن
َ سانَ مِ ْن
5()
“bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal adalah. Bacalah, dan Tuhanmulebih pemurah.
Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Pendapat ini merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua
syaikh ahli hadits yaitu Imam Bukhri dan Muslim. dari Aisyah RA. berkata :
“Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Saw. adalah mimpi yang
benar diwaktu tidur. Beliau melihat mimpi itu datangnya bagaikan terangnya
pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk
beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian
beliau kembali ke Khadijah RA, maka Khadijah membekali beliau seperti bekal
terdahulu. Lalu, di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu
seorang malaikat, yang berkata kepada nabi, “Bacalah!” Rasulullah
menceritakan, maka akupun menjawab, “aku tidak bisa membeca”. Malaikat
tersebut memelukku hingga aku merasa sangat amat payah. Lalu aku
dilepaskan dan dia berkata lagi, “Bacalah!” Maka akupun menjawab, “aku
tidak bisa membaca”. Lalu ia merangkulku yang kedua kali sampai aku
kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata “Bacalah!”, aku
menjawab “aku tidak bisa membaca”, maka dia merangkulku yang
ketigakalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, “bacalah
dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan....” sampai dengan
“apa yang tidak diketahuinya”.
99
Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Studi Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung; Penerbit
Pustaka Setia, 2002), 203-204
b. Berdasaran hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadits bahwa yang
pertama turun adalah firman Allah: Ya ayuuhal Muddatstir. Dari Abu Salamah
bin Abdurrahman: dia berkata: “Aku telah bertanya kepada jabir bin Abdullah;
yang manakah diantara Al-Qur’an itu yang turun pertama kali? Dia menjawab:
Ya ayyuhal mudassir. Aku bertanya lagi: ataukah iqra bismirabbika? Dia
menjawab: ‘aku katakan kepadamu yang dikatakan Rasulullah Saw. kepada
kami:
“sesungguhnya aku berdiam di gua hira. Amak ketika habis masa diamku, aku turun
lalu aku telusuri lembah. Aku lihat kemuka, belakang, kanan dan kiri. Lalu aku melihat
kelangit, tiba-tiba aku melihat jibril yng amat menakutkan . maka aku pulang ke
khadijah . Khadijah meminta mereka untuk menyelimuti aku, maka merekapun
menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Wahai orang yang berselimut; bangkitlah,
lalu berilah peringatan.”
Mengenai hadits tersebut dapatlah dijelaskan bahwa surah Al-
Muddatsirlah yang turun secara penuh sebelum surah iqra selesai diturunkan,
karena yang turun pertama itu adalah surah iqra’ hanya permulaan saja.
Orang-orang yang memegangi pendapat pertama berpendapat bahwa
“sesengguhnya ayat yaa Ayyuha al-muddatsir adalah ayat yang pertama kali
turun setelah masa keterputusan wahyu, sedangkan ayat iqra’ adalah ayat
yang pertama kali diturunkan secara muthlaq.”
c. Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun adalah surah fatihah. Dalam
hal ini yang dimaksudkan adalah surah yang diturunkan pertama kali secara
lengkap. Az-Zamashsyari dalam kitabnya Al-Kasf menyandarkan pendapat ini
pada mayoritas Al-Mufassirin. Akan tetapi, Al-Hafidz Ibnu Hajar menolak
pendapat tersebut. menurutnya, pendapat tersebut hanya dipegang oleh
sebagian minoritas. Pendapat ini dipegang pula oleh Al-Ustadz Imam Syeikh
Muhammad Abduh ketika menafsirkan surat Al-Fatihah.maka jelasnya, surat
Al-Fatihah termasuk diantara surat-surat yang diturunkan di awal-awal
waktu, sebagaiman yang difahami oleh para penertib surat-surat Al-Qur’an
berdasarkan masa turunnya.
d. Disebutkan bahwa yang pertama kali turun adalah bismillahirrahmanirrahim,
karena basmallah turun mendahului setiap surah.
4. Ayat yang Terakhir Turun
Dalam pembahasan ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama diantaranya:
a. Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba.
Ini berdasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Abu Khairi dari Ibn Abbas,
yang mengatakan: “Ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat mengenai riba.”
Yang dimaksudkan adalah firman Allah:
ِِ ِ اَّللَ َوذَ ُروا َما بَِقي ِم َن
َ الرَِب إِ ْن ُكْن تُ ْم ُم ْؤمن
ني ين َآمنُوا اتم ُقوا م ِم
َ ََيأَيُّ َها الذ
َ
“wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jangan
tinggalkanlah sisa riba – yang belum dipungut-.” (Al-Baqarah [2]: 278)
b. Dikatakan bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan ialah firman Allah:
ت َو ُه ْم َال يُظْلَ ُمو َن
ْ َس َما َك َسب َواتم ُقوا يَ ْوًما تُ ْر َجعُو َن فِ ِيه إِ ََل م
ٍ اَّللِ ُثُم تُ َو مَّف ُك ُّل نَ ْف
“Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada
waktu itu kamu samua kembali kepada Allah...” (Al-Baqarah [2]:281)
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, dari Ibn
Abbas dan Sa’id bin Jubair: “Ayat Qur’an yang terakhir turun adalah: Dan
peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah” (Al-Baqarah [2]: 281)
c. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat tentang hutang:
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id Al-Musayyab: “Telah sampai
kepadanya bahwa Ayat Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai
utang.” Yaitu ayat:
ِ ِم
َ ين َآمنُوا إِذَا تَ َدايَْن تُ ْم ب َديْ ٍن إِ ََل أ
.....َُج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه َ ََيأَيُّ َها الذ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya” (Al-Baqarah [2]: 282).
Ketiga riwayat diatas dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat
tersebut diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam Mushaf. Ayat
mengenai riba, ayat pelihara dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari, dan
ayat mengenai utang, karena ayat-ayat tersebut masih satu kisah. Setiap perawi
mengkhabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagian yang
terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian ketiga ayat tersebut
tidak saling bertentangan.
d. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat mengenai kalalah
yang berhubungan dengan masalah warisan. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib ia berkata: “ayat yang terakhir turun ialah”:
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalala, katakanlah : ‘Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah’ (An-Nisa’ [4]: 176)
e. Ayat yang terakhir turun adalah Firman Allah:
....اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة
ك قُ ِل م
َ َيَ ْستَ ْفتُون
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri
Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ini adalah surah yang diturunkan
terakhir kali, karena mengisyaratkan wafatnya Nabi Saw.
f. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa yang terakhir turun adalah surat Al-
Maidah. Ini berdasarkan pada riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Aisyah
ra. surat itu merupakan surat yang terakhir kali turun dalam masalah halal dan
hara, sehingga tak satupun hukum yang dihapus didalamnya.
g. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat:
ٍ ض ُك ْم ِم ْن بَ ْع
....ض ِ ِ ِ
ُ يع َع َم َل َعام ٍل مْن ُك ْم م ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى بَ ْع ِ
ُ اب ََلُْم َرَُّبُْم أَِّن َال أُض
َ استَ َج
ْ َف
“Maka Tuhanmu mmeperkennkan permohonan mereka, kata Allah; aku tidak
akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.” (Q.S Ali Imran: 195)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui
Mujaghid, dari Ummu Salamah, dia berkata, ‘Ayat yang terakhir kali turun
adalah ayat, “Maka tuhan memperkenankan permohonan mereka, sesungguhnya aku
tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaummu....”
h. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan lainnya dri Ibnu Abbas
berkata , “Ayat ini adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dihapus
oleh apapun.” ayat yang terakhir turun ialah:
ِ ِ ضب م ِ ِ ِ ِ ِ
ً َع مد لَهُ َع َذ ًاِب َعظ
يما َ اَّللُ َعلَْيه َولَ َعنَهُ َوأ َ ََوَم ْن يَ ْقتُ ْل ُم ْؤمنًا ُمتَ َعم ًدا فَ َجَز ُاؤهُ َج َهن ُمم َخال ًدا ف َيها َوغ
“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah neraka jahannam, dia kekal didalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuk serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (Q.S
An-Nisa: 93)
i. Pendapat berdasaran riwayat Muslim dan Ibnu Abbas, yang menyebutkan
bahwa ayat yang terakhir turun adalah:
اَّللِ َوالْ َفْت ُح ْ َإِذَا َجاءَ ن
ص ُر م
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”(Q.S An-Nashr: 1)
Semua pendapat itu tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing
hanya ijtihad dan dugaan.Mungkin pula bahwa masing-masing
merekamemberitahukan apa yang yang terakhir di dengarnya dari Rasulullah
Saw. atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa
yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau
dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti pendapat
yang telah dikemukakan. Adapun ayat sebagai berikut::
اْل ْس ََل َم ِدينًا
ِْ يت لَ ُكم ِ ِ
ُ ُ ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِيت َوَرض
ِ
ُ ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم
ُ الْيَ ْوَم أَ ْك َم ْل
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi Agama
bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Secara teks menunjukan penyempurnakan kewajiban dan hukum. Juga
telah diisyaratkan di atas, riwayatmengenai turunnya ayat riba’, hutang-
piutang, kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga dari surat Al-Maidah.
Maka dari itu para ulama menyatakan kesempurnaan agama didalam ayat
ini.100
3.3 Jumlah Ayat Al-Qur’an dan Sebab Perhitungan
Pembahasan Mengenai jumlah ayat dalam Al-Qur’an, para ulama berselisih
pendapat. Namun, yang telah disepakati tentang bilangan ayat Al-Qur’an tidak
kurang dari 6000 ayat. Dan yang diperselisihkan adalah kelebihan dari 6000 ayat.
Menurut ulama Madinah, jumlah ayat Al-Qur’an sebanyak 6.210, menurut ahli
100
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, (Jakarta: 2006),
82-87
Bashrah sebanyak 6.204, menurut Ahli Syam sebanyak 6.226, menurut ahli Kufah
sebanyak 6.217, dan menurut Ibnu Abbas adalah 6.616.101
Sebelumnya, disebutkan bahwa hitungan ulama Makkah dinisbatkan kepada
Abdullah Ibnu Katsir, salah satu tujuh Imam. Sedang hitungan Madinah terdiri dari
dua macam. Hitungan Madinah yang pertama tidak dinisbatkan pada satu tokohpun.
Ulama kuffah hanya meriwayatkan dari ulama Madinah secara mursal, dan tidak
menyebut satu tokohpun. Mereka tetap menggunakannya, meskipun mereka
memiliki hitungan tersendiri. Sedangkan hitungan yang kedua dinisbatkan kepada
Abu Ja’far Ibn Yazid Ibn Al-Qa’qa’, satu diantara sepuluh imam, dan Syaibah Ibn
Nisbah. Yang meriwayatkannya dari keduanya adalah Ismail ibn Ja’far ibn Abi Katsir
Al-Anshariy melalui Sulaiman Ibn Jimaz.
Adalah salah bila orang menisbatkan hitungan madinah pertama kepada
kepada Abu Ja’far dan Syaibah, dan hitungan madinah terakhir kepada Ismail ibn
Ja’far. Tampaknya kesalahan itu disebabkan apa yang disebutkan didalam sebagian
buku, bahwa Nafi’ meriwayatkan dari keduanya hitungan Madinah yang pertama,
dan bahwa Abu Amr menyodorkan hitungan itu kepda Abu Ja’far. Periwayatan Nafi’
dari keduanya tidak serta merta menunjukan bahwa hitungan pertama dinisbatkan
kepada keduanya. Adapun penisbatan hitungan terakhir pada keduanya tidaklah
bisa diragukan lagi. 102
Adapun sebab perbedaan perhitungan jumlah ayat Al-Qur’an adalah:
1. Sebagian ulama memandang fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat)
Sebagai ayat, akan tetapi sebagian yang lain tidak menghitungnya sebagai
ayat.
2. Bacaan yang diwakafkam oleh Nabi, ada yang menganggapnya sebagai tanda
berakhirnya suatu ayat, sementara yang lain tidak memandang sebagai akhir
ayat (fashilah)
Dalam kaitan dengan perhitungan dan perincian ayat dari tiap-tiap surat yang ada
dalam Al-Qur’an itu dapat dibedakan ke dalam tiga bagian yaitu:
a. Kelompok surat-surat yang diperselisihkan tentang jumlah ayatnya, baik
secara keseluruhan maupun rinciannya. Jumlah surat yang digolongkan
kedalam kelompok ini sebanyak 40 surat, di antaranya surat Yusuf [12] 111
ayat, Al-Hijr [15] 99 ayat, Al-Jumu’ah [62] 11 ayat, dan Al-A’diyat [100] 11 ayat.
b. Kelompok surat-surat yang jumlah keseluruhan ayatnya disepakati, tetapi
perinciannya secara detil diperselisihkan. Kelompok ini sebanyak empat surat,
yakni surat-surat: Al-Qashash [28] 88 ayat, Al-Ankabut [29] 69 ayat, dan Al-
Ashr [103] 3 ayat.
c. Kelompok surat-surat yang jumlah ayatnya diperselisihkan baik mengenai
jumlah keseluruhannya maupun tentang perinciannya. Jumlah suratnya
sebanyak 70 surat. Contoh: surat Al-Baqarah [2], ada yang mengatakan 285
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), 72
101
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya
102
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), 72
103
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya
104
“Letakkan ayat ini di surat yang disebut anu dan anu”, atau:
: كنت جالسا عند رسول هللا ﷺ إذ شخص ببصره ُث صوَبو ُث قال:عن عثمان بن أيب العاص قال
أتين جِبيل فأمرّن أن أضع هذه اآلية هذا املوضوع من هذه السورة
)) إَل آخرها90-( إن هللا أيمر ِبلعدل واْلحسان وإيتاء ذي القرىب (النحل
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا: قلت لعثمان:عن ابن زبْي قال
من مكانه, ال أغْي شي, َي ابن أخي: فلم تكتبها أو تدعها؟ قال, ) قد نسختها اآلية اْلخرى234-(البقرة
)(رواه البخاري
“Dari Ibnu Zubair berkata: Aku berkata kepada Utsman: bahwa ayat (al-Baqarah-
234) ayat ini telah terhapus hukumnya, apakah tetap kau tulis atau engkau hapus?
Ia menjawab: wahai keponakanku, aku sama sekali tidak merubah sesuatu ayatpun
dari tempatnya.”
Maka Utsman kemudian menulis dan mengumpulkan ayat dalam surat Al-
Qur’an yang telah ditunjuk oleh Rasulullah, meskipun hukumnya telah terhapus
(mansukh) ia tetap tidak merubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat
dengan sistimatika ini sangat berhati-hati dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah.
Dan telah diriwayatkan secara tertib pula tentang bacaan Rasulullah dalam
banyak surat denga tertib ayat-ayatnya dalam shalat, atau dalam khutbah jum’at,
seperti surat al-Baqarah dan al-Imran serta an-Nisa, dan benar bahwasannya beliau
membaca “al-A’raf” dalam shalat maghrib dan beliau membaca “alif lamm
miim...”sajdah”, dan “hal ata ‘alal insan”ad-Dahr” pada waktu shalat jum’at. Dan
beliau membaca surat Qaf dalam khutbah, dan membaca surat Jum’ah dan
Munafiqun dalam shalat jum’at.
Maka dengan ini penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf yang kita
baca saat ini tidak ada pertentangan dan perbedaan. Imam suyuthi berkata setelah
menyebutkan Hadits tentang surat-surat yang khusus: ”Bacaan Rasulullah yang
disaksikan oleh para sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat tersebut,
dan para sahabat tidak menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari apa yang
mereka dengar dari Rasulullah maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan
tertib menurut riwayat umum (tawatur).
4. KESIMPULAN
Tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar antara
kita adalah taiqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Imam Al-Sayuti telah menyebutkan
hadits-hadits yang berkenaan dengan surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan
surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para sahabat itu menunjukan
bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan
menyusunnya dengan tertib yang berbeda dari yang mereka dengar dari bacaan Nabi
Saw. maka sampailah tertib ayat tersebut kepada tingkat mutawatir.
Mengenai jumlah ayat dalam Al-Qur’an, para ulama berselisih pendapat.
Namun, yang telah disepakati tentang bilangan ayat Al-Qur’an tidak kurang dari 6000
ayat. Dan yang diperselisihkan adalah kelebihan dari 6000 ayat.
Sebab adanya perbedaan itu adalah bahwa Nabi Saw. membaca waqaf ujung-
ujung ayat untuk memberikan pengertian kepada sahabat. Kemudian setelah mereka
tahu, beliau membaca washal, demi memperoleh pengertian yang utuh. Sehingga
sebagian sahabat mengira bahwa apa yang dibaca waqaf oleh Nabi Saw.
Penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf yang kita baca saat ini tidak
ada pertentangan dan perbedaan. Imam suyuthi berkata setelah menyebutkan Hadits
tentang surat-surat yang khusus:” Bacaan Rasulullah yang disaksikan oleh para
sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat tersebut, dan para sahabat tidak
menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari apa yang mereka dengar dari
Rasulullah maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan tertib menurut riwayat
umum (tawatur).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syahbah, Syeikh Muhammad. “Studi Al-Qur’an Al-Karim.” (Bandung; Penerbit
Pustaka Setia, 2002.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. “Studi Ilmu-ilmu Qur’an.” Jakarta: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 2002.
Al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim. “Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an.”
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Mardan. “Al-Qur’an sebuah Pengantar.” Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010.
Suma, Muhammad Amin. “Ulumul Qur’an.” Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019.
ILMU TARTIB SUWAR II
NAMA DAN MACAM-MACAM SURAT
ABSTRAK
Ilmu tartib as-Suwar adalah ilmu yang membahas bagaimana tartib surat-surat Al-Qur’an
disusun. Apakah susunan surat-surat itu berdasarkan ketentuan dari Nabi Muhammad Saw.
atau usaha orang lain dalam hal ini para Sahabat. Tertib urutan surat dalam Al-Qur’an
sebagaiman mushaf sekarang ini, disusun tidak berdasarkan kronologis turunnya. Hal ini
jelas di ketahui oleh seluruh umat Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
muncul berbagai pertanyaan yang mempersoalkan tentang bagaimana sesungguhnya
penyusunan surat-surat itu sampai menjadi seperti yang sekarang ini. Penelitian ini
menggunakan library research yaitu dengan cara membaca dan menelaah kitab-kitab serta
buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini. Metode yang digunakan
Metode deduktif yang mengambil atau mengambarkan semua data data yang bersifat umum
menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
ABSTRACT
Tartib as-Suwar is a science that discusses how the arrangement of the letters of the Qur'an
are arranged. Is the arrangement of the letters based on the provisions of the Prophet
Muhammad or the efforts of others in this case the Companions. The orderly order of the
letters in the Qur'an as in today's manuscripts, is arranged not in chronological order. This is
clearly known by all Muslims. Therefore, it is not surprising that various questions arise
regarding how the actual arrangement of the letters came to be what they are today.
This study uses library research, namely by reading and studying books and books that are
related to the discussion of this paper. The method used is a deductive method that takes or
describes all data of a general nature to a specific conclusion.
105
Isnaini, “Bab 1 Sistematika Surat Al-Qur’an Dalam Mushaf Antara Tauqifi Dan
Ijtihad” (Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1998)., 1
2. METODE
Penelitian ini menggunakan library research yaitu dengan cara membaca dan menelaah
kitab-kitab serta buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini.
Metode yang digunakan Metode deduktif yang mengambil atau mengambarkan
semua data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
106
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset, 2011)., 91
107
Fatirawahidah, “Sistematika Ayat Dan Surah Al-Qur’an,” Jurnal Al-Munzir Vol 9
(2016): 135.
108
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an
(Bandung: Humaniora, 2011).,35
dari lafadh “as-artu” ( )أسأرةyang berarti “afdholtu” ()أفضلت, yaitu dari kata As-Su’ru
adalah minuman yang tersisa dalam sebuah bejana. Jadi surat ini seakan-akan ia
adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Qur’an.
109
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2006)., 279
110
Liliek & Syaiful Hidayat channa, Ulumul Qur’an Dan Pembelajarannya (Surabaya:
Kopertais IV Press, 2010)., 234
111
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 3
serta menjadi tanda permulaan dan penghabisan untuk setiap bagian tertentu dari Al-
Qur’an.
Penamaan setiap surat dalam Al-Qur’an yang semuanya tepat dan akurat,
penamaan setiap surat dalam Al-Qur’an juga sangat tepat dengan isi kandungan yang
terdapat di dalam surat-surat itu sendiri. Ambillah sebagai contoh surat pertama Al-
Qur’an yang dinamakan Al-Fatihah (pembukaan/pendahuluan). Surat ini memang
merupakan surat pembukaan, yang berfungsi sebagai pengantar de dalam isi
kandungan Al-Qur’an yang lebih luas. Demikian pula dengan surat Al-Baqarah yang
berarti sapi, yang di dalamnya banyak dikemukakan ihwal pemotongan sapi bagi
kaum Bani Israil yang terlalu banyak pertanyaan itu. Dan begitu seterusnya.112
1. Al-Fatihah (Pembukaan) surat ini memiliki sejumlah nama atau julukan yang
setidak-tidaknya ada dua belas nama menurut al-Qurthubi (w. 671 H). nama-
nama tersebut adalah ash-Shalat (shalat), al-Hamd (pujian), Fatihah al-Kitab
(pembukaan al-Kitab), Umm al-Kitab (induk al-Kitab), al-Matsani atau al-Sab’a al-
Matsani (yang diulang-ulang atau tujuh ayat yang diulang-ulang), Al-Qur’an al-
Azhim (Al-Qur’an yang agung), asy-Syifa (obat penawar), ar-Ruqyah (pengobatan
dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, terutama pembacaan surat al-Fatihah),
al-Asas (dasar atau pondasi), al-Wafiyah (yang utuh menyeluruh atau yang
sempurna), dan al-Kafiyah (yang mencukupi).
2. Al-Baqarah (Sapi Betina). Sebutan lain untuk surat Al-Baqarah ialah Fustath Al-
Qur’an (puncak Al-Qur’an).
112
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2019), 61-62.
113
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 36
114
Izzan.....,41
3. Ali Imran (keluarga Imran) yang diambil dari pembahasan tiga generasi dari
keluarga Imran, yakni Imran dan istrinya, Siti Maryam, serta Isa Ibn Maryam.
4. An-Nisa (Wanita-Wanita). Juga, digelari sebagai surat an-Nisa’ al-Kubra (wanita
yang besar), sebagai imbangan bagi surat ath-Thalaq yang digelari sebagai surat
an-Nisa as-Sughra (wanita yang kecil).
5. Al-Maidah (Hidangan), dilatarbelakangi oleh permohonan al-hawariyyun yang
memohon kepada Isa ibn Maryam untuk memohonkan hidangan kepada Allah.
6. Al-An’am (Binatang Ternak)
7. Al-A’raf (Tempat Tertinggi), salah satu nama bukit yang terletak di antara
Jannah dan an-Nar.
8. Al-Anfal (Rampasan Perang), termasuk di dalamnya kisah Perang Badar.
9. At-Taubah (Pengampunan), dijuluki pula dengan al-Bara-ah (berlepas diri atau
pembebasan diri), al-Qital (surat peperangan), dan al-Badr (perang badar).
10. Yunus (Nabi Yunus). Di dalamnya memuat kisah beberapa Nabi, seperti Nabi
Nuh dan Nabi Musa.
11. Hud (Nabi Hud).
12. Yusuf (Nabi Yusuf).
13. Ar-Ra’d (Guruh atau Guntur).
14. Ibrahim (Nabi Ibrahim). Nabi yang mendapat gelar uswatun hasanah, shiddiqan
nabiyyan, al-hanif, dan aba’ al-anbiya.
15. Al-Hijr (Bukit), nama sebuah gunung yang didiami kaum Tsamud, terletak di
antara Madinah dan Siria (Syam).
16. An-Nahl (Lebah), yang memiliki julukan surat an-Ni’am (berbagai nikmat yang
telah dianugerahkan Allah).
17. Al-Isra’ (Perjalanan Malam Nabi Muhammad Saw. Dari Masjidil Haram di
Makkah ke Masjidil al-Aqsa di Palestina), disebut juga surat Bani Israil dan
Subhana (Mahasuci).
18. Al-Kahfi (Goa), yang juga lazim disebut surat Ashhab al-Kahfi (para penghuni
gua), salah satu kisah di dalam surat selain kisah pertemuan antara Nabi Musa
dan seorang alim.
19. Maryam (Maryam, Ibunda Nabi Isa ibn Maryam) yang juga disebut surat Kaf-
Ha-Ya-‘Ain-Shad.
20. Thaha (Thaha), salah satu nama bagi Nabi Muhammad Saw.
21. Al-Anbiya (Nabi-Nabi) yang berisi kisah beberapa Nabi yang pernah diutus
Allah.
22. Al-Hajj (Haji).
23. Al-Mu’minun (Orang-orang yang beriman).
24. An-Nur (Surat Cahaya).
25. Al-Furqan (Pembeda atau yang membedakan).
26. Ast-Syu’ara (Para Penyair).
27. An-Naml (Semut).
28. Al-Qashash (Kisah-kisah atau cerita-cerita), yang juga digelari sebagai surat
Musa.
29. Al-Ankabut (Laba-laba).
30. Ar-Rum (Bangsa Rumawi).
31. Luqman (Luqman), salah seorang yang diberi hikmah sangat tinggi dari sisi
Allah.
32. As-Sajadah (Sujud), yang biasa dijuluki surat al-Mudhaji (Ranjang-ranjang).
33. Al-Ahzab (Kelompok yang bersekutu atau menyusun konspirasi).
34. Saba’ (Kaum Saba).
35. Fathir (Pencipta), juga dinamakan surat al-Malaikat (Para Malaikat).
36. Ya-Sin (Ya-Sin), yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai surat al-Qalb Al-
Qur’an (Hati atau Jantung Al-Qur’an), ad-Dafi’ah (Motivator atau pemberi
dorongan), al-Qadhiyah (kematian), dan al-Ma’ammah (Yang Memimpin atau
Kepala).
37. Ash-Saffat (yang Bershaf-shaf).
38. Shad (Shad), yang juga dijuluki surat Dawud (Surat Dawud).
39. Az-Zumar (Rombongan), yang juga disebut surat al-Ghuraf (Kamar-kamar).
40. Al-Mukmin (Orang Beriman), dijuluki sebagai surat Ghafir (Maha pengampun
atau Maha Penerima Taubat) dan Dzi al-Thawl (Yang Mempunyai Karunia).
41. Fushshilat (Yang Dijelaskan atau Yang Dirincikan). Dinamakan juga surat as-
Sajdah (sujud), Ha-Mim as-Sajdah , dan al-Mashabih (Lampu-lampu).
42. Asy-Syu’ara (Musyawarah), yang juga disebut surat Ha-Mim ‘Ain Sin Qaf dan Ha
Mim Sin Qaf.
43. Az-Zukhruf (Perhiasan).
44. Ad-Dukhan (Kabut).
45. Al-Jatsiah (Yang Berlutut).
46. Al-Ahqaf (Butiran-butiran Pasir).
47. Muhammad (Nabi Muhammad Saw.) dinamai juga surat al-Qital (Peperangan)
dan al-Ladzina Kafaru (Orang-orang Kafir).
48. Al-Fath (Kemenangan).
49. Al-Hujurat (Kamar-kamar).
50. Qaf (Qaf), dijuluki juga surat al-Basiqat (Pohon Kurma yang tinggi tinggi).
51. Adz-Dzariat (Angin yang Menerangkan).
52. At-Thur (Bukit Sina).
53. An-Najm (Bintang).
54. Al-Qamar (Bulan), disebut juga surat Iqtarabat (Hampir Tiba).
55. Ar-Rahman (Allah yang Maha Pemurah).
56. Al-Waqi’ah (Hari Kiamat).
57. Al-Hadid (Besi).
58. Al-Mujadillah (Wanita yang Mengajukan Protes).
59. Al-Hasyr (Pengusiran), disebut juga surat an-Nadhir (Yang Sangat Elok).
60. Al-Mumtahanah (Wanita yang Diuji).
61. Ash-Shaf (Barisan yang Berbaris Rapi).
62. Al-Jumu’ah (Hari Jum’at).
63. Al-Munafiqun (Orang-orang Munafiq).
64. At-Thagabun (Hari Penampakan Kesalahan-kesalahan).
65. Ath-Thalaq (Thalak atau Perceraian), dijuluki juga surat an-Nisa as-Sughra
(Wanita Kecil).
66. At-Tahrim (Pengharaman), disebut juga surat an-Nabiy (Nai Saw).
67. Al-Mulk (Kerajaan), disebut juga surat al-Waqiyah (Yang Melindungi), al-
Munjiyah (Penyelamat), dan al-Mujadilah (Pembatahan atau Perdebatan).
68. Al-Qalam (Kalam, Pena, Alat Tulis), disebut juga surat Nun.
69. Al-Haqqah (Hari Kiamat).
70. Al-Ma’arij (Tempat-tempat naik atau tangga) juga dijuluki surat Sa-ala Sa’-ilun
(Pertanyaan orang yang bertanya).
71. Nuh (Nabi Nuh).
72. Jin (Jin) juga disebut surat Qul Uhiya (Katakan aku diberi wahyu).
73. Al-Muzammil (orang yang berselimut).
74. Al-Mudatstsir (Orang yang berkemul).
75. Al-Qiyamah (Hari Kiamat).
76. Al-Insan (Manusia), juga disebut surat al-amsyaj (yang bercampur) dan ad-Dahr
(Waktu atau masa).
77. Al-Mursalat (Malaikat yang diutus).
78. An-Naba’ (Berita Benar).
79. An-Naziat (Malaikat-malaikat yang mencabut).
80. Abasa (Orang yang Bermuka Masam), jiga disebut surat al-‘Ama (Orang buta)
dan as-Safar (Bepergian).
81. At-Takwir (Penggulungan Langit).
82. Al-Infithar (Yang Terbelah).
83. Al-Muthaffifin (Orang-orang yang Curang), ath-Thafif (Kecurangan).
84. Al-Insyiqaq (Yang Terbelah).
85. Al-uruj (Gusuran Binatang).
86. Ath-Thariq (Yang Datang Pada Malam Hari).
87. Al-‘Ala (Yang Paling Tinggi).
88. Al-Ghasyiyah (Hari Pembalasan).
89. Al-Fajr (Fajar).
90. Al-Balad (Negeri).
91. Asy-Syams (Matahari).
92. Al-Lail (Malam).
93. Adl-Dluha (Waktu Dluha atau Waktu Matahari naik Sepenggal).
94. Al-Insyirah atau Alam Nasyrah (Melapangkan Dada).
95. At-Tin (Buah Tin).
96. Al-Alaq (Segumpal Darah), disebut juga al-Qalam (Kalam) dan Iqra’ (Bacalah).
97. Al-Qadr (Malam Kemuliaan).
98. Al-Bayyinah (Bukti Kebenaran).
99. Az-Zalzalah (Kegoncangan).
100. Al-Adiyat (Kuda Perang yang Berlari Kencang).
101. Al-Qari’ah (Hari Kiamat).
102. At-Takatsur (Bermegah-megah).
103. Al-Ashr (Waktu atau Masa).
104. Al-Humazah (Pengumpat).
105. Al-Fil (Gajah).
106. Al-Quraisy (Suku Quraisy).
107. Al-Ma’un (Barang-barang Berharga), disebut juga surat ad-Din (Agama).
108. Al-Kautsar (Nikmat yang Teramat Banyak), disebut juga surat an-Nahr
(Berkurban).
109. Al-Kafirun (Orang-orang Kafir), juga disebut surat al-Ma’abidah (Tempat-tempat
ibadah), al-Muqasyarah (Yang Membebaskan).
110. An-Nashr (Pertolongan).
111. Al-Lahab (Gejolak Api), juga disebut surat Abi Lahab, Tabbat, dan al-Masad (Tali
Serabut).
112. Al-Ikhlas (Memurnikan Kemahaesaan Allah), juga disebut surat Qul-Huwallah,
al-Ma’rifat, (Mengenali Allah), al-Jamal (Yang Sangat Indah), at-Tawhid (Tauhid),
an-Nur (Cahaya), al-Muawidzah (Yang Melindungi), al-Mani’ah (Yang Mencegah
dari Fitnah Kubur), al-Baraah (Yang Membebaskan dari Kemusyrikan), dan an-
Najat (Keselamatan).
113. Al-Falaq (Waktu Subuh).
114. An-Nas (Manusia).
115
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 35
2. Berdasarkan tempat turunnya (I’tibar makan annuzul). Yang diturunkan
dimakkah dan sekitarnya (seperti Mina, Arafah dan Hudaibah) disebut
makiyah dan yang diturnkan di Madaniyah dan sekitarnya (seperti Uhud,
Quba dan Sai) dinamai Madaniyah.
3. Berdasarkan sasaran pembicaraan (I’tibar Almukhatab). Yang ditujukan untuk
penduduk Mekkah dinamai Makkiyah dan yang ditujukan ke penduduk
Madinah disebut Madaniyah. Begitu juga yang ditujukan kepada semua
manusia (dengan lafaz yaa ayuuhannas) dinamai makkiyah dan yang ditujukan
kepada orang yang beriman saja (dengan lafadz Yaa Ayyuhal ladzina amanuu)
disebut Madaniyah.116
Ibnu Al-A’rabi dalam kitabnya yang berjudul An-Naasikh wa Al-Qur’an,
sesungguhnya ada yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyah. Ada yang
diwahyukan sewaktu Rasulullah Saw dalam perjalanan, ada pula yang diwahyukan
ketika beliau tidak sedang dalam safar (perjalanan). Ada yang diturunkan pada
malam hari, ada yang diturunkan pada siang hari. Ada yang diwahyukan ketika
beliau dilangit dan bumi, serta ada pula yang diwahyukan di bawah tanah, yaitu
tatkala beliau Saw sedang berada dalam goa.
Dan perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama terdapat tiga istilah dalam
pembagian Makkiyah atau Madaniyah:117
Pertama, (ini yang paling mashur), sesungguhnya yang disebut dengan
Makiyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah dan yang disebut
Madaniyah yaitu wahyu yang turun setelah hijrah, meskipun turunnya itu di Mekah
maupun di Madinah, apakah itu pada tahun penaklukan kota Mekah (Fathu Mekkah)
atau pada tahun-tahun terakhir Rasulullah Saw di saat haji wada’, atau ketika beliau
sedang dalam salah satu perjalanan dari sekian banyak perjalanan beliau, ataukah
sedang tidak dalam perjalanan.
Diriwayatkan oleh Utsman bin Saad Ar-Razi dengan sanad Ar-Razi dengan
sanad yang disambung kepada Yahya bin Sallam, ia berkata: surat atau ayat yang
diturunkan di Mekkah atau yang diturunkan dalam perjalanan menuju Madinah
sebelum Rasulullah Saw sampai di Madinah, maka wahyu tersebut termasuk
Makkiyah, adapun surat atau ayat yang turun kepada Nabi Saw ketika beliau sedang
dalam perjalanan tapi setiba beliau di Madinah maka dikategorikan Madaniyah. Dan
ada ungkapan yang lembut dan bijaksana yang diambil landasan darinya, yaitu:
“bahwa wahyu yang turun sewaktu beliau dalam perjalanan hijrah ke Madinah, maka
wahyu tersebut termasuk Makkiyah secara istilah”.
Kedua, bahwa yang dinamakan dengan Makkiyah adalah wahyu yang turun
di Mekkah meskipun turunnya itu setelah hijrah, dan yang disebut Madaniyah adalah
yang turun di Madinah, maka atas dasar inilah terdapat suatu keputusan dan
ketetapan yang seimbang dan bijaksana bahwasanya: wahyu yang turun ketika Nabi
116
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, III (Yogyakarta, 2014).,111
117
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2006)., 279
Saw sedang dalam perjalanan atau bepergian, tidak termasuk dalam kategori
Makkiyah ataupun Madaniyah, berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Ath-
Thabrani dalam kitabnya Al-Kabir dari jalan Al-Walid bin Muslim, dari Ufair bin
Ma’dan dari Ibnu Amir dari Abu Umamah ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Al-
Qur’an itu diturunkan pada tiga tempat makkah, Madinah dan Syam”.
Al-Walid berkata: yang dimaksud dengan “Syam” adalah Baitul Maqdis. Dan
Syaikh Imaduddin bin Ibnu Katsir berkata: penafsiran “Syam” yang lebih baik dalam
hadis di atas adalah “Tabuk”.
As-Suyuthi berkata: dan yang termasuk kategori Makkiyah adalah yang
diturunkan di pelosok atau sudut-sudut kota Mekkah seperti Mina, Arafah, dan
Hudaibiyah.
Sedangkan Madaniyah, adalah ayat-ayat yang diturunkan di pelosok atau
sudut-sudut kota Madinah, seperti yang diturunkan di Badar, Uhud dan lainnya.
Ketiga, bahwa yang disebut dengan Makkiyah itu adalah wahyu yang khusus
diturunkan untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya. Adapun Madaniyah yaitu
wahyu yang khusus diturunkan untuk penduduk Madinah.
Definisi di atas merupakan suatu pemikiran yang muncul dari benak beberapa
ulama sebagai pemahaman dari ucapan Abdullah bin Mas’ud ra yang akan
disebutkan:
Al-Qadhi Abu Bakar ra dalam salah satu kitab karangannya yang berjudul “Al-
Intishar” berkata: sesungguhnya pengertian atau pemahaman tentang Makkiyah atau
Madaniyah itu kembali kepada hafalan para sahabat dan tabiin (orang yang hidup
satu masa dengan sahabat atau mengetahui para pembesar sahabat), dan sama sekali
bukan merupakan sabda Nabi Saw, karena beliau pun semasa hidupnya tidak pernah
memerintahkan untuk mencatat atau membukukan perbedaan antara Makkiyah dan
Madaniyah, apalagi Allah Swt tidak menganggap dan menjadikan ilmu tersebut
sebagai suatu fardhu atau kewajian bagi setiap hambanya-Nya untuk
mengetahuinya. Meskipun ilmu ini juga menjadi kewajiban bagi sebagian ulama
untuk mengetahui dan memahami secara detail tentang tarikh atau sejarah nasikh dan
mansukh. Dan kadang-kadang ilmu ini bisa dimengerti dan dipahami meski tanpa
adanya nash dan sabda Rasulullah Saw. Demikian ucapan dari Al-Qadhi Abu Bakar.
Untuk mengetahui dan menentukan ayat-ayat atau surat-surat Makkiyah dan
Madaniyah para ulama bersandar pada dua cara utama. Manhaj sima’i naqli (metode
pendengaran seperti apa adanya) dan Manhaj qiyasi ijtihadi (menganalogikan dan
ijtihad).118
1. Cara sima’I naqli: didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup
pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi’in yang
menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa
apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan
Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama. Penjelasan tentang
118
Bahruddin, Ulumul Qur’an Prinsip-prinsip dalam Pengajian Ilmu Tafsir Al-Qur’an (Serang:
Penerbit A-Empat, 2020), 42.
penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma’tsur. Kitab
asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Al-Qur’an.
2. Cara qiyasi ijtihadi: didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam
surat Makki terdapat suatu ayat yang mengandung peristiwa Madani, maka
dapat dikatakan ayat itu Madani dan sebaliknya. Bila dalam satu surat terdapat
ciri-ciri Makki. Juga sebaliknya, inilah yang disebut qiyasi ijtihadi.
3.3.1 Kriteria Surat-Surat Makkiyah dan Surat-Surat Madaniyyah
3.3.1.1 Surat-Surat Makkiyah
Para ulama merumuskan kriterianya sebagai berikut:
119
Ilyas.
120
Ilyas.
Qur’an secara lebih utuh. Manfaat terpenting dalam mengetahui surat/ayat Makiyah
dan surat/ayat Madaniyah antara lain ialah:121
a. Dapat memberikan pertolongan dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama
ketika menggunakan metode tafsir maudhu’i (tematik). Mengetahui tempat
atau periode penurunan ayat-ayat Al-Qur’an, sangat membantu siapapun
yang hendak memahami ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya dengan tafsir
yang benar dan baik.
b. Dengan ilmu Makkiy dan Madaniy, kita dapat mengetahui sejarah hukum
Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara umum. Dengan
demikian, kita dapat meningkatkan keyakinan akan penyebaran Islam
termasuk di dalamnya hukum Islam yang sangat bijaksana dalam
mendidik manusia baik secara perorangan maupun kolektif.
c. Dengan ilmu Makkiy dan Madaniy, seseorang dapat mengetahui sejarah
perjalanan Nabi dari celah-celah ayat Al-Qur’an. Penurunan wahyu Al-
Qur’an yang demikian rapi, teratur dan dilakukan secara bertahap namun
juga tuntas dapat dijadikan landasan bagi napak tilas lika liku perjalanan
sejarah dakwah dan perjuangan Nai Muhammad Saw. Beserta keluarga
dan para sahabatnya.
d. Dengan ilmu-ilmu Makkiy dan Madaniy, umat Islam dapat meningkatkan
keyakinan akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian Al-Qur’an,
mengingat besarnya perhatian umat Islam sejak di awal-awal
penurunannya sampai perkembangan berikutnya, dan sejak dari masalah-
masalah besar sampai dengan sekecil-kecilnya yang berhubungan dengan
Al-Qur’an mereka bahas dengan tidak henti-hentinya.
e. Dengan mempelajari ilmu Makki dan Madani, seseorang dapat meresapi
gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah
menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri.
Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling
khusus dalam Ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makkiyah dan
Madaniyah dalam Al-Qur’an pun memberikan kepada orang yang
mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan
Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran
dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan
penuh kebijaksanaan.
3.4 Diskursus Seputar Sistematika Penyusunan Surat
Secara umum umat Islam telah bersepakat bahwa dalam hal penetapan tata
letak susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur`ân bersifat tauqîfî yakni, berdasarkan
perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw., karena ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa Rasul-lah yang menetapkan langsung tempat masing-masing
ayat dan surat. Masa Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an secara keseluruhan sudah
ditulis oleh para sahabat, hanya saja belum tersusun rapi sebagaimana Al-Qur’an
121
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 80.
sekarang ini. Banyak faktor yang melatar belakangi kenapa pada saat itu nabi tidak
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Antara lain, Al-Qur’an pada waktu
itu masih dalam masa pembentukan (proses), dan ada juga ayat yang turun
belakangan berfungsi sebagai nasikh (penghapus) hukum atau bacaan ayat
sebelumnya, sehingga menjadi salah satu kesulitan tersendiri jikalau Al-Qur’an
dibukukan dalam bentuk mushaf seperti halnya Al-Qur’an yang kita ketahui
sekarang ini.122
Ada tiga pendapat ulama tentang susunan surat yang terdapat dalam Al-
Qur’an, yaitu:
1. Tauqifi
Pandangan ini menyatakan bahwa susunan surat-surat dalam mushaf utsmani
merupakan ketetapan langsung dari Rasulullah Saw. (tauqifi).123 Pendapat ini
didasarkan pada beberapa riwayat yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah-lah yang
menetapkan langsung susunan masing-masing ayat dan surat. dimana Rasulullah
meminta kepada beberapa sahabat tertentu ketika turun wahyu al-Qur`ân, untuk
mencatatnya dan menyuruhnya untuk menempatkan surat atau ayat tersebut sesuai
dengan petunjuk Nabi dan atas bimbingan Jibril.
" "طرأ علي حزب من القرآن فأردت أال أخرج حىت أقضيه:فقال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
حنزبه ثَلث سور ومخس سور: كيف حتزبون القرآن؟ قالوا:فسألنا أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قلنا
وسبع سور وتسع سور وإحدى عشرة سورة وثَلث عشرة وحزب املفصل من ق حىت خنتم
Artinya: Rasulullah bersabda pada kami, “Telah turun kepadaku hizb (bagian)
Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai.” (Aus bin Hudzaifah)
berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah ﷺ, ‘Bagaimana kalian
membagi pengelompokan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya
menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas
surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir’.” (HR Ahmad)
Ibnu al-Hashr mengatakan bahwa susunan surat-surat dan ayat-ayat Al-
Qur’an adalah berdasarkan wahyu. Rasulullah Saw. yang memberi petunjuk
meletakkan ayat-ayat yang turun pada tempatnya. Susunan surat-surat Al-Qur’an
diriwayatkan dengan mutawatir. Para sahabat sudah sepakat dengan susunan
tersebut dalam mushaf utsmani. Apabila ada susunan surat-surat itu berdasarkan
ijtihad, tentu susunan surat-surat dalam mushaf pribadi mereka berbeda dengan
mushaf usmani dan akan mempertahankannya. Namun sebaliknya, mereka
122
Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surat Di Dalam Al- Qur;An,” Cendekia
Jurnal Studi Keislaman 2 (2016): 211.
123
Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumul Qur’an, Jilid 1 (Kairo: Dar at-Turats, 1984).,
269-270
menyesuaikan susunan mushaf dengan susunan mushaf utsmani dan bersedia
menyerahkan mushaf pribadi mereka kepada utsman untuk dibakar.124
2. Ijtihadi
Pendapat ini menyatakan bahwa seluruh susunan surat dalam mushaf al-
Qur`ân adalah bersifat ijtihâdi (hasil ijtihad sahabat) dan bukan tauqîfî125. Pendapat ini
berpedoman pada fenomena perbedaan penulisan dan urutan mushaf di masa
sahabat. Banyak mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani.
Misalnya, Mushaf Ubayya bin Ka’ab dimulai dengan surat al-Fatiha, al-Baqarah, an-
Nisa’, Ali Imran kemudian Al-An’am. Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan al-
Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran dan seterusnya. Mushaf Ali bin Abi Thalib disusun
berdasarkan berdasarkan kronologi turunnya surat (tartîb nuzûli) dimulai dengan
Iqra’, al-Mudatsir, Qaf, al-Muzammil, al-Lahab, at-takwir dan seterusnya. Banyak
mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani. Misalnya, Mushaf
Ubayya bin Ka’ab dimulai dengan surat al-Fatiha, al-Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran
kemudian Al-An’am. Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan al-Baqarah, an-Nisa’, Ali
Imran dan seterusnya. Mushaf Ali bin Abi Thalib disusun berdasarkan berdasarkan
kronologi turunnya surat (tartîb nuzûli) dimulai dengan Iqra’, al-Mudatsir, Qaf, al-
Muzammil, al-Lahab, at-takwir dan seterusnya.
Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin ‘Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu
Muhammad al-Qurasyi:
Artinya: “Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surat Sab’u at-
Thiwal (tujuh surat yang panjang), kemudian Utsman menjadikan surat al-
Anfal dan at-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan
keduanya dengan basmalah.
Artinya: “Aku mengatakan pada Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan
surat al-Anfal yang mana ia tergolong surat al-Matsâni dengan surat al-
Barâ`ah (at-Taubah) sedangkan ia dari golongan surat al-Mi`un, kemudian
124
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an, Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Arabiyah, 1996)., 347-348
125
Jalaludin As-Suyuthi, Al Itsqan Fi Ulumul Qur’an, Jilid I (Beirut: Resalah
Publishers, 2008).,178
engkau meletakan keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.” Kemudian Utsman
menjawab: “Pernah turun beberapa surat Al-Qur’an kepada Rasulullah,
dan Beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat
yang menulis Al-Qur’an dan mengatakan, “Letakanlah ayat-ayat ini dalam
surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu.” “Dan surat al-Anfal
termasuk dari surat-surat awal yang turun di Madinah, adapun at-Taubah
termasuk yang terakhir turunnya. Kisah yang terdapat dalam surat al-
Anfal mirip dengan yang ada di at-Taubah, maka aku mengira surat al-
Anfal bagian dari at-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, dan belum
menerangkan pada kami hal tadi, karena itulah aku gabung keduanya, dan
tidak aku tuliskan Basmalah di antara keduanya, serta aku letakan
keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.”
Jika seandainya urutan tersebut adalah tauqîfî, niscaya tidak akan terjadi
perbedaan susunan mushaf di kalangan sahabat, karena generasi inilah generasi yang
langsung menyaksikan dan mengetahui dinamika kehidupan Nabi Muhammad Saw.
126
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an..., 349
127
Manna’ Qattan, “Mabahith Fi Ulum Al-Qur’an” (Kairo: Maktabah Wahabiyah,
2000)., 144
128
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an....,349
menjadi satu kesatuan yang padu. Hal ini semakin menegaskan Al-Qur’an sebagai
kitab yang tak terbantahkan dari sisi manapun.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistematika penulisan
yang ada pada mushaf usmani adalah hasil yang sepakati oleh para sahabat. Namun
demikian, penulis cenderung terhadap pendapat ke tiga yakni susunan Al-Qur’an
sebagiannya berjadasarkan tauqifi dan sebagian lagi berdasarkan ijtihadi. Hal ini
berdasarkan riawayat Ibnu Abbas pada pendapat kedua dan hadis riwayat Imam
Ahmad.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaludin. Al Itsqan Fi Ulumul Qur’an. Jilid I. Beirut: Resalah Publishers,
2008.
As-Suyuthi, Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur’an Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2006.
Az- Zarqani. Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an. Jilid 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-
Arabiyah, 1996.
Az-Zarkasyi. Al-Burhan Fi Ulumul Qur’an. Jilid 1. Kairo: Dar at-Turats, 1984.
Bahruddin. Ulumul Qur’an Prinsip-prinsip dalam Pengajian Ilmu Tafsir Al-Qur’an. Serang:
Penerbit A-Empat, 2020.
channa, Liliek & Syaiful Hidayat. Ulumul Qur’an Dan Pembelajarannya. Surabaya:
Kopertais IV Press, 2010.
Fatirawahidah. “Sistematika Ayat Dan Surah Al-Qur’an.” Jurnal Al-Munzir Vol 9
(2016): 135.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an, Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 2011.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an. III. Yogyakarta, 2014.
Isnaini. “Bab 1 Sistematika Surat Al-Qur’an Dalam Mushaf Antara Tauqifi Dan
Ijtihad.” Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1998.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an.
Bandung: Humaniora, 2011.
M, Ansharuddin. “Sistematika Susunan Surat Di Dalam Al- Qur;An.” Cendekia Jurnal
Studi Keislaman 2 (2016): 211.
Manna’ Qattan. “Mabahith Fi Ulum Al-Qur’an.” Kairo: Maktabah Wahabiyah, 2000.
FAWATIH SUWAR
,1 Ahmad Muzaeni,
2
Mughni Azizzah,3Satori
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(muzaenia01gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(mughniazizzah@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(satorisafa@yahoo.com)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai Fawatih Suwar Metode
penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis
teori serta studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa fawatih suwar berarti
pembukaan-pembukaan surah, karena posisinya berada di awal surah-surah dalam Al-
Qur’an. Pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an adalah kajian terhadap kata-kata pembuka
dan kata-kata penutup Al-Qur’an. Surah-surah Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah,
ternyata diawali dengan beberpa macam pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan
berbagai macam penutup (khawatim Al-Suwar). Adapun hikmah mempelajari fawatih as-
suwar itu secara pokok adalah supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita
terhadap kebenaran ayatayat Allah Swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.
Keyword : Fawatih, Suwar
ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally about Fawatih Suwar. This research method is
qualitative using descriptive methods through theoretical analysis and literature study. The
result of this research is that fawatih suwar means the opening of the surah, because its
position is at the beginning of the surahs in the Al-Qur’an. The proof of the miracles of the
Qur'an is the study of the opening and closing words of the Qur'an. The Surahs of the Qur'an,
which consist of 114 suras, actually begin with several openings (Fawatih Al-Suwar) and end
with various closings (Khwatim Al-Suwar). As for the wisdom of studying fatih as-suwar, the
main thing is to increase our faith and our belief in the truth of Allah's verses. And be a guide
in our lives.
Keyword: Fatih, Suwar
1. PENDAHULUAN
Studi atas Al-Qur’an telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana
tempo dulu, termasuk para sahabat pada zaman Rasuullah SAW. Hal itu tidak
lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing, Al-
Qur’an adalah lautan ilmu yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dari
berbagai sisi. Bahkan orientalis pun tidak ketinggalan untuk mengetahui rahasia di
Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah, ternyata diawali dengan beberpa macam
(khawatim Al-Suwar). Pembuka dan penutup ini memiliki maksud dan tujuan
tertentu yang semuanya akan berimplikasi pada pengungkapan isi suatu surah.
2. METODE
deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang
dapat diamati.130 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi
kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg
menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang
diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian
dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik sebuah
kesimpulan.
129
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan,” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
130
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
131
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, (2007) : 325–44.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Istilah “fawati” adalah jamak dari kata fatih yang secara lughawi berarti
pembuka, sedangkan "surah" adalah jamak dari kata "surah" sebagai sebutan dari
sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang diberi nama tertentu. Jadi "Fawatih Suwar
Jika pembukaan surat itu diawali dengan huruf-huruf hijayah, maka huruf
muqattha'ah). Sebab, posisinya yang memang berdiri sendiri dan tidak bergabung
surat dalam Al-Qur'an memiliki karakter dan kategori tersendiri. Semua bentuk
"Fawatih Suwar" ini memberi pesan tertentu yang hanya bisa dipahami oleh
surah Al-Qur’an, seperti Ibnu Abi al-Asba yang menulis sebuah kitab tentang bab
kesempurnaan Tuhan.
132
Rusydie Anwar, S.Thi , Pengantar Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits Teori Dan Metodologi,
(Yogyakarta 2015): 125
133
Acep Hermawan, Ulumul Quran Ilmu untuk memahami wahyu , (Bandung, Pt Remaja
rosdakarya, cetakan ketiga, Desember 2016), : 118.
134
Ahmad, Miftah al-Sa'adah wa Misbah al-Siyadah, (Kairo : Dar al-Kutub al-Haditsah) : 520
c. Dengan menggunakan kata seru (ahrufun nida)
pembukaan terhadap kitab nya dengan 10 macam bentuk dan tidak ada satu
surah pun yang keluar dari 10 macam pembukaan itu. Pernyataan ini dikuatkan
dibuka dengan الحمد هللyang terdapat pada 5 surah yaitu : al-Fatihah, al-
tasbih yang terdapat pada 7 surah yaitu al-Isra, al-A’la, al-Hadid, al-Hasyr,
dengan memakai 14 huruf tanpa diulang yaitu م, ل, ك, ق, ع, ط, ص, س, ر, ح,ا
Al-Qur’an disusun dalam 14 rangkaian yang terdiri atas kelompok berikut ini
pada tiga surah yaitu ( صSurah Shad), ( قsurah Qaf), dan ( نsurah al-
Qalam)
2) Kelompok yang terdiri atas 2 huruf, terdapat pada 9 surah yaitu ( حمsurah
dan Syu’araa).
4) Kelompok yang terdiri atas 4 huruf, terdapat pada 2 surah yakni المر
5) Kelompok yang terdiri atas 5 huruf, terdapat pada dua surah yakni كهيعص
Nida ini ada tiga macam, terdapat pada 9 surah, yakni sebagai berikut:
2) Nida untuk Nabi dengan term يا أيها المدثرpada Surah al- Nida untuk Nabi
4) Nida untuk orang-orang beriman dengan term يا أيها الذين امنوpada surah
5) Nida untuk orang-orang secara umum dengan term يا أيها الناسpada Surah
Kalimat ini terdapat pada 11 surah, yaitu surah at-Ttaubah, al-Nur, al-
Kalimat ini ini terdapat pada 12 surah yaitu: al-Anfal, an-Nahl, al-Qamar,
dua macam dan digunakan dalam 7 surah yaitu surah at-Takwir, al-Infitar,
Berdasarkan penelitian para ahli ada sekitar 6 kata kerja perintah yang
menjadi pembukaan surah-surah Alquran sama yaitu pada Surah al-Alaq, Jin,
positif, pertanyaan dalam bentuk ini digunakan pada 4 surah yaitu surah
negatif, yang hanya terdapat pada dua surah yaitu surah al-insyirah dan
al-Fil.
Pembukaan dengan doa ini terdapat pada tiga surah, yaitu Surah al-
Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam Quran surat Quraisy.
Kelompok ini, banyak dianut oleh para ulama salaf, ketika menghadapi huruf-
huruf yang demikian, mereka lebih bersikap hati-hati. Kelompok ini dianggap
sebagai kelompok yang tidak memiliki solusi yang jelas dan bahkan tidak
mengajukan solusi apapun mengenai makna fawatih suwar ini. Hal ini
surat Al-Qur’an itu sudah dikehendaki Allah sejak zaman Azali, dan berfungsi
Ta’wilnya kecuali hanya Allah semata. Diantara para ulama yang berpendapat
demikian adalah Ali bin Abi Thalib yang mengatakan: “Sesungguhnya setiap
Kitab suci mempunyai keistimewaan (Safwah), dan keistimewaan kitab suci ini adalah
berikut: “Setiap kitab suci mempunyai rahasia,dan rahasia kitab Al-Qur’an adalah
ahli hadis yang mengetengahkan sebuah riwayat yang datangnya dari Ibn
135
Al-Suyuthiy, Al-Itqan, Ulumul Quran, II/TT: 106
(fawatih suwar) merupakan ilmu yang tertutup dan mengandung rahasia yang
Allah SWT dan bisa dipahami oleh manusia terutama oleh orang-orang yang
mendalami pengetahuan-Nya. Hal ini didasarkan pada Surat Ali Imran ayat 7
ِ الر
pula, namun dengan mewaqofkan ayat pada اس خُ ونَ ِِف ا لْعِ لْ ِم َّ و.
َ Mereka yang
memilih pendapat ini banyak sekali, tetapi masing-masing memiliki pendirian
sendiri-sendiri, ada yang dekat kepada kebenaran, dan ada pula yang jauh. Di
Allah. Setiap huruf dapat menunjuk pada lebih dari sebuah nama atau
menta’wilkan huruf alif lam Mim dengan Ana Allah A’lam (Aku Tuhan
Yang Maha Mengetahui); huruf alif lam shad dengan Ana Allah Afdhal
(Aku Tuhan yang Lebih Baik); dan huruf alif lam ra’ dengan Ana Allah
berarti ‘Alim (Maha Mengetahui), dan Sad berarti Sadiq (Maha Benar).
diantaranya: المberarti Ana Allah A’lam yang berarti hanya aku yang
136
Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002): 269.
paling tahu kemudian ا ٓلمصyang berarti A’lamu wa Afs ilu yaitu hanya
pula dari Ibnu Abbas bahwa makna كهيعصyaitu Kaf dari kata Karim
adalah Hakim yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang
berarti yang maha mengetahui, dan Sad yaitu Sadiq yang berarti yang
sementara ulama, dengan kalimat nas karim, qat’i lahu sir (teks mulia
perit bibir bagian dalam maka dari itu Alif, Lam, Mim merupakan
dibaca tanpa bantuan pengajar. Karena pada surat al-Fiil huruf Alif
a. Sebagai tanbih (peringatan) dan dapat memberikan perhatian baik bagi nabi,
b. Sebagai motivasi untuk selalu mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Dengan cara beriman dan beramal shaleh dan menambah
keyakinan kita bahwa Al-Qur’an itu adalah benar-benar kalam Allah SWT.
muslimin yang masih lemah imannya karena sangat mudah terpengaruh oleh
buatan Nabi Muhammad SAW. Dengan mengkaji Fawatih suwar kita akan
merasakan terhadap keindahan Bahasa Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT.
137
Shofaussamawati, “Konsep FawaAs-Suwar Imam al-maragi Dalam Tafsir Al-Maragi”
Hermeneuitik 9. No 2. 2015 : 276-278
138
Angkoso Buonouge, Ilmu Fawatih Suwar, ( Jakarta: Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al –
Qur’an, 2017) : 11-12
pemahaman ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa
datang dalam bentuk tersusun dari beberapa huruf, bahkan ada yang hanya
satu huruf tunggal, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang
disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini, surat al-Fatihah dapat
4. KESIMPULAN
Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah, ternyata diawali dengan beberpa macam
139
Haki Akmal Labib, “Kajian Ayat Fawatih al-Suwar dalam Al-Qur,an”, Dosen prodi Al
Ahwal Al Syakhsiyah STAI Al Muhammad Cepu, 15-17
pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai macam penutup
pokok adalah supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita terhadap
kebenaran ayatayat Allah Swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qur’an.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa pengertian dan macam-macam
ilmu munasabah dalam Al-Qur’an dan bagaimana diskursus seputar pendapat ulama
diskursus seputar pendapat ulama tentang ilmu munasabah. Hasil dari penelitian ini
adalah Dari uraian di atas jelaslah bahwa memperhatikan kaitan antara surat yang
satu dengan surat lainnya atau antara ayat yang satu dengan ayat lainnya (sebelum
dan sesudahnya) sangat penting, agar penafsiran yang dilakukan tidak menghasilkan
ABSTRACT
This study aims to find out what the meaning and types of munasabah are in the
Qur'an and how the discourse revolves around the opinions of scholars about the science of
munasabah. This research method is qualitative using a descriptive method. Here the author
describes in full what the meaning and kinds of munasabah science are in the Qur'an and how
the discourse surrounds the opinions of scholars about the science of munasabah. The results
of this study are From the description above it is clear that paying attention to the relationship
between one letter and another or between one verse and another (before and after) is very
important, so that the interpretation carried out does not produce partial conclusions.
yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai
kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada
memandang AlQur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.
Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah
khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami,
sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum Al-
Qur’an.
yang berisi berbagai petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan dan Al-Qur’an
ayat juga bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Susunan
dengan ayat yang lain dan antara surah satu dengan surah yang lain.
Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat atau ayat dengan
surat atau ayat lain, ini merupakan bagian dari Ulum Al-Qur’an.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Strauss dan Corbin
dan buku-buku ilmuan yang berkaitan dengan apa pengertian dan macam-
pendapat ulama tentang ilmu munasabah 142. Dan teknis analisis data dengan
3. Ilmu al-Munasabah
140Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009): 2.
141Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam penelitian
pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no. 1, (2020): 43.
142 Sandu Siyoto, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015):
68.
dengan al-Muqarabatu yang berarti mendekatkan dan juga al-Musyakalab
bahkan ketersambungan tersebut tidak hanya terjadi dalam satu surat saja,
akan tetapi antara satu surat dengan surat lain, sehingga menghasilkan
makna yang dapat dipahami oleh akal. Oleh karenanya dalam mempelajari
Ulum Al-Qur’an.
gubahan suatu bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah
143 Endad Musaddad, “Munasabah dalam Al-Qur’an”, Jurnal al-Qalam, vol 22 no. 3, (2005):
410.
144 M. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008),
144.
145 As-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, (Beirut: Al-Maktabah As-Saqafiyyah,
ttp), 108.
manakala rangkaian susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea
itu, mengingat keseluruhan Al-Qur’an yang terdiri atas 30 juz, 114 surat,
hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, itu seperti ditegaskan al-
Qurthubi (w. 671 H) laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
seperti ini, maka akan terasa lebih mudah memahami munasabah Al-
Qur’an. Bukan saja dari segi kata demi kata, bagian demi bagian dan ayat
demi ayat, melainkan juga antara surat demi surat dalam mana antara surat
yang satu dengan surat yang lain benar-benar memiliki hubungan yang
sangat erat.
kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Qur’an baik surat
munâsabah dalam tujuh point yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
Ungkapan itu berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
ل َوَهل تَ ْك ُف ُرْونه
ني اَذْ ُك ْرُك ْهم َوا ْش ُك ُرْوا ْه
فَاذْ ُكهُرْو ْه
mengingkari nikmatKu”
hal. 83
surat Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan.
dan kandungan.147
يه
َ ْ م َهن ا ْْلٰهل
ۗ
ي
ان بَْ َه ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه َّهل فَارضه َّوَهل بك ه
ْر َع َو ه ي لَّنَا َما ه َهي ۗه قَ َه
ك يُبَ ّ ْه
عُ لَنَا َربَّ َه
قَالُوا ْاد ه
ٰذل َه
ك ۗه فَافْ َعلُ ْوا َما تُ ْؤَم ُرْو َهن
ۤ
ص ْفَرا هءُ فَاق هع لَّ ْوَُّنَا تَ ُس هر ال ٰنّظريْ َهن
َ ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه
ي لَّنَا َما لَ ْوَُّنَا ۗه قَ َه
ك يُبَ ّ ْه
عُ لَنَا َربَّ َه
قَالُوا ْاد ه
ۤ ۗ
ي لَّنَا َما ه َهي ا َّهن الْبَ َقَهر تَ ٰشبَهَ َعلَْي نَها َوا َّهني ا ْهن َشا هءَ ّٰه
اللُ لَ ُم ْههتَ ُد ْو َهن ك يُبَ ّ ْه
عُ لَنَا َربَّ َه
قَالُوا ْاد ه
ث ُم َسلَّ َمةه َّلشيَهةَ فْي َها ۗه قَالُوا الْٰ َنه ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه َّهل ذَلُْوله تُث ْهريُ ْالَْر َه
ض َوَهل تَ ْسقى ا ْْلَْر َه قَ َه
147 Rosihon anwar, “Ulum Al-Quran” (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm. 86
148 Acep Hermawan, “Ulumul Quran” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) hal. 126
67. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu."
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan
adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan
itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak
Al-Hadid ayat 4:
استَ ٰوى َعلَى الْ َع ْرشه يَ ْعلَ ُهم َما يَل ُهج ىفه
ْ َّف ستَّةه اََّايمه ُهث
ض ْه
الس ٰم ٰوته َو ْالَْر َه ُه َهو الَّذ ْه
َّ ي َهخلَ َهق
ۗ ۗ ۤ
ج فْي َهها َوُه َهو َم َع ُك ْهم اَيْ َهن َما ُكْن تُ ْمه
الس َماءه َوَما يَ ْع ُر ُه
َّ ج مْن َها َوَما يَْنزُهل م َهنْالَْرضه َوَما ََيُْر ُه
ۗ
َو ّٰه
اللُ ِبَا تَ ْع َهملُ ْو َهن بَص ْريه
yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dia bersdama
kamu dimana saja kamu berada dan Allah maha melihat apa yang
Nashrudin baidan, “Wawasan baru ilmu tafsir” (Yogjakarta: pustaka pelajar, 2005) hal.
149
194
Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar),
yang wajib kita imani sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-
terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar
(penegasan).
apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat
يه
َ ْ ب الْٰهعلَم اَ ْْلَ ْم ُهد ّٰه, الرحْيمه
لل َر ّه َّ محنه
ٰ ْ الر ب ْسمه ّٰه
َّ الل
Artinya : “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs
Alfatihah 1-2)
menggunakan pola tafsir apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu
satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak
(langsung).
bagi Allah.150
disampingnya
mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha
150 Rosihon anwar, “Ulum Al-Quran” (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 90
151 Ibid, hal. 92
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin
ini terletak dari sisi kesamaan kondisi yaitu segala yang ada baik
keduanya.
الس ٰم ٰوته َوَما ىفه ْالَْرضه َوُه َهو الْ َعزيْ ُهز ا ْْلَكْي ُهم َسبَّ َهح ّٰه
َّ لل َما ىفه
Artinya: “Telah bertasybih kepada Allah apa yang ada dilangit dan
bumi. Dan dialah yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al
Hasyr : 1)
ۤ
الس ٰم ٰوته ص ّوُهر لَهُ ْالَ ْمسَا هءُ ا ْْلُ ْس ٰ ۗه
َّ ىن يُ َسبّ ُهح لَهٗ َما ىفه َ ئ الْ ُم ُه َهو ّٰه
اللُ ا ْْلَال ُهق الْبَار ُه
kepadanya apa yang dilangit dan bumi, dan dialah yang Maha
الس ٰم ٰوته َو ْالَْرضه َوُه َهو الْ َعزيْ ُهز ا ْْلَكْي ُهم َسبَّ َهح ّٰه
َّ لل َما ىفه
154 Abdul Djalal, “Ulumul Quran” (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hal. 162
3.3 Relevansi Ilmu Munasabah dengan Studi Al-Qur’an
dalam Al-Qur’an.
155
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), h. 84.
Sekaitan munasabah, susunan Al-Qur’an berdasarkan tartib kitabi
sebagai berikut:
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
156
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi “Ulum Al-Quran, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988), jilid l, h.41.
2. Dapat mengetahui korelasi antar bagian Al-Qur’an, baik
Qur’an.157
sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah,17 yaitu saat
(w.794 H) dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuti (w.
911 H).
157
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur’an: dalam tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. 11.
Ilmu al-Munasabah (tentang keterkaitan antara satu surat/ayat
dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari ‘Ulum Al-Qur’an. Ilmu ini
dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsir “alQur’an yufassiru ba’duhu
ba’dan”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka
memahami Al-Qur’an harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam
di dalam Al-Qur’an.
Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tawqifi dari Nabi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadi Abu Bakar, Abu
berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihadi. Para sahabat setelah
tawqifi. Pendapat kedua didukung oleh Malik, al-Qadi Abu Bakar dan Ibn
Ja‘far bin Zubayr dalam kitab Tartib al-Suwar Al-Qur’an, Shaykh Burhan al-
School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah
menafsirkan Al-Qur’an. Disertasi ini ditulis oleh Salwa M.S. El-Awa yang
Dan konteks serta struktur Al-Qur’an agar dapat dibaca ulang dan
dan lainlain.
wahyu.
berdasarkan ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abu Zayd, wakil dari
mushaf sebagai tawqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai
dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfuz.
dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari
I‘jaz.
aliran:
pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat,
kesatuan.
tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan atau menganggap
diberi hikmah secara tawqifi, hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah. 2)
perlu adanya munasabah Al-Qur’an atau bisa jadi kalau pendapat yang
di atas.
surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh adanya hubungan makna yang
muncul. Misalnya, yang satu ‘am dan yang lainnya khas. Hubungan itu bisa
akibat, ‘illat dan ma‘lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.
Selain itu, Ahmad Ata’ dalam pengantar buku Asrar Tartib Al-Qur’an
4. KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelaslah bahwa memperhatikan kaitan antara surat yang
satu dengan surat lainnya atau antara ayat yang satu dengan ayat lainnya
Susunan ayat dan surat dalam Al-Qur'an adalah tauqifi, yakni atas
untuk menyingkap rahasia dibalik susunan surat atau ayat tersebut. Dari
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Ilmiah. Jilid l, 1998.
Balai Pustaka.
Ichwan, M. Nor, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008.
2005.
Nashrudin, baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogjakarta: pustaka pelajar, 2005.
Rahmat, Pupu Saeful, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009).
penelitian pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA
6, no. 1, (2020).
2015.
AL-QUR’AN DALAM TUJUH HURUF DAN PENDAPAT
ULAMA TENTANG TUJUH HURUF
ABSTRAK
Jurnal ini membahas tentang Al-Qur’an dalam tujuh huruf, hadits-hadits tentang
Al-Qur’an dalam tujuh huruf, pendapat ulama tentang makna tujuh huruf, serta
antara qiraat tujuh dan tujuh huruf.
ABSTRACT
This journal discusses the Shia Madhhab, the background of the birth of Shia, sects, im
ortant issues, and the conce t of marja'iyah in Shia. The definition of Shia in language is a
follower and suporter. While the meaning of the famous Shia is the fanatical followers of
Sayyidina Ali bin Abi Talib, so they think that Ali is the cali h of the best friends of the
other com anions, and is the chosen cali h of the prohet Muhammad s.a.w.
1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan
tuntunan komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an diturunkan di
tengah-tengah bangsa Arab. Dimana bangsa arab mempunyai lahjah (dialek) yang
beragam antara satu kabilah dengan kabilah yang lainnya, baik dari segi intonasi,
bunyi maupun hurufnya, namun bahasa quraisy mempunyai kelebihan dan
keistimewaan tersendiri, ia lebih unggul dari pada bahasa dan dialek yang
lainnya. Oleh karena itu, wajarlah apabila Al-Qur'an pertama diturunkan adalah
dalam bahasa Quraisy kepada seorang Rasul yang Quraisy pula, sebagaimana
ditegaskan dalam salah satu firman-Nya surat Asy-Syuaraa’ 192-195 yang
berbunyi :
Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam (192), Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) (193), Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan (194), Dengan bahasa Arab yang jelas (195).
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian library research yaitu dengan membaca
dan menelaah kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan
tulisan ini. metode yang digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan
mengambil semua data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang
bersifat khusus.
Ahruf Sab’ah terdiri dari dua kata. Ahruf dalam bahasa Indonesia diartikan
dengan kata huruf. Sementara dalam bahasa Arab harf adalah lafadz musytarak
(mempunyai banyak arti). Sedangkan kata Sab’u dalam bahasa Arab berarti
bilangan tujuh atau tidak terbatas. Maka ahruf sab’ah dapat diartikan dengan
tujuh bahasa, tujuh Ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk. Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna tujuh huruf.
Menurut sebagian ulama, tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab yang ada. Artinya bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara
keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa arab. Dengan demikian,
secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut, namun bukan
berarti setiap kata boleh dibaca dengan setiap bahasa, tetapi tujuh bahasa itu
tersebar dalam Al-Qur’an.
Konteks bahasa umum ketika disebut kata huruf, ungkapan ini akan dapat
langsung dipahami maknanya, akan tetapi ketika kata huruf dihubungkan
158
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), 98
159
Ibnu Manzhur, op.cit, J.3,128
dengan Al-Qur’an akan muncul banyak pendapat dalam memahaminya.
Perbedaan ini disebabkan karena tidak adanya informasi yang tegas dari Nabi
yang menjelaskan makna dan bentuk-bentuk huruf ini.
1. sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa arab yang memiliki
satu makna. Akan tetapi para ulama ini tidak sepakat menetapkan
bahasa mana saja yang termasuk ke dalam tujuh huruf ini, sebagian
menyatakan bahwa bahasa yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail,
Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. misalnya beberapa kata
seperti اسرع, عجل, اقبلmemiliki satu makna yang sama.
2. sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang
digunakan dalam menurunkan Al-Qur’an, namun tidak digunakan
sekaligus pada satu kata, dengan pengertian bahwa semua bahasa Al-
Qur’an mencakup ketujuh bahasa ini pada posisi yang berbeda-beda,
yaitu : bahasa Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan
Yaman
3. Sab’ah ahruf adalah tujuh bentuk اوجة, yaitu amr, nahy, halal, haram, jadal,
qashash dan matsal, atau ada juga memahami tujuh bentuk dari segi amr,
nahy, halal, haram, muhkan, mutasyabih dan amtsal;
4. Sab’ah ahruf adalah Tujuh cara pembacaan yang terjadi perbedaan;
a. Perbedaan dalam bentuk Isim (mufrad, mutsanna, jama’)
b. Perbedaan dalam bentuk fiil (madhi’, mudhari’ atau amr)
c. Perbedaan dalam bentuk i’rab (rafa’, nasab, jer, atau jazm)
d. Perbedaan dalam bentuk naqish (kurang) dan ziyadah (tambah)
e. Perbedaan dalam bentuk taqdim dan ta’khir
f. Perbedaan dalam bentuk Tabdil
g. Perbedaan dalam bentuk dialek (lahjah)
5. sab’ah ahruf tidak berarti angka tujuh, namun hanya merupakan simbol
saja yang menunjukkan kesempurnaan menurut kebiasaan arab dan
6. Sab’ah ahruf adalah qiraah sab’ah.
160
Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo : Maktabah Wahbah, t.th), 150-
154
tepat dan punya kelemahan, jika dikonfrontasikan kepada hadis-hadis tentang
sab’ah ahruf. Pada klasifikasi pertama hadis-hadis sab’ah ahruf dijelaskan bahwa
telah terjadi perbedaan bacaan antara Umar bin Khathab dengan Hisyam bin
hakim pada bacaan yang sama yaitu pada surat al-Furqan, demikian juga
informasi pada hadis Ubay bin Kaab yang menjelaskan terlah terjadinya
perbedaan bacaan para shahabat pada surat yang sama yang kemudian mereka
konfirmasikan kepada nabi. Klasifikasi pertama ini menolak pemahaman
pendapat pertama, kedua dan juga ketiga.
Menurut Nashruddin Baidan, pendapat pertama yang dianut mayoritas
ulama, bukanlah makna yang tepat, karena Umar bin Khathab dan Hisyam bin
hakim berasal dari suku yang sama yaitu suku Quraisy.161 Maka tidak mungkin
mereka bertikai pada bacaan yang sama jika berasal dari satu suku yang memiliki
bahasa yang sama. Maka pemaknaan sab’ah ahruf dengan makna 7 dialek
dianggap tidak tepat.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa sab’ah ahruf adalah bahasa-
bahasa arab yang tercakup dalam Al-Qur’an, dinilai oleh Manna’ al-Qathan
sebagai makna yang tidak tepat, bahasa Al-Qur’an mencakup lebih dari 7 bahasa,
selain itu Umar dan Hisyam berbeda pada bacaan yang sama bukan pada bacaan
yang berbeda, mustahil Umar mengingkari bahasa yang dipakai oleh Hisyam jika
yang dibacanya ayat yang berbeda162
Pendapat ketiga, juga dibantah oleh Manna’ al-Qathan, bahwa yang
dimaksud 7 huruf pada hadis adalah satu kata yang dapat dibaca dengan 7 versi,
maka tidak mungkin satu kata dinyatakan halal dan haram, nahy dan amar
sekaligus163 Bahkan dari redaksi hadis dijelaskan bahwa nabi membenarkan
seluruh bacaan dari para shahabat yang datang untuk mengklarifikasikan bacaan
mereka meskipun bacaan mereka berbeda.
Pada pendapat keempat, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh hal yang terdapat ikhtilaf di dalamnya164 dibantah oleh
Manna’ Qathan dengan alasan bahwa contoh ikhtilaf yang ditampilkan hanya
berasal dari qiraat ahad bukan qiraat mutawatir. Ulama pun telah sepakat bahwa
apa pun yang berkaitan dengan Al-Qur’an haruslah diriwayatkan secara
mutawatir, selain itu ikhtilaf yang dimaksud hanya mengacu pada bentuk kata
atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan pada makna dan
lafaz165
161
Nashruddin Baidan, op.cit, 99
162
Manna’ Khalil al-Qathan, op.cit., 155
163
Ibid.
164
Nashruddin Baidan, op.cit, 100
165
Manna’ al-Qathan, op.cit., 157
Pada pendapat yang kelima yang memaknai tujuh pada hadis
menunjukkan symbol, bukan arti secara harfiah, tidak sesuai dengan klasifikasi
kedua dari hadis sab’ah ahruf ( فلم ازل استريده حتى انتهي الى سبعة احرف،)اقراني جبريل على حرف
yang secara tegas menunjukkan yang dimaksud adalah bilangan tujuh dengan
makna sebenarnya.
Pendapat yang keenam pun, yang berpendapat bahwa sab’ah ahruf adalah
qiraah sab’ah, tidak luput dari kritikan yang menyatakan bahwa qiraat yang 7
dengan tujuh imam Qura, baru popular di dunia Islam pada akhir abad II H, yang
dipelopori oleh Mujahid, sedangkan 7 huruf yang dimaksud pada hadis, langsung
diajarkan oleh Rasul.166 Perbedaan pemaknaan terhadap sab’ah ahruf tersebut
menunjukkan bahwa secara tekstual makna sab’ah ahruf masih belum disepakati
serta munculnya sanggahan pada masing-masing pendapat menjadikan makna
sab’ah ahruf tetap menjadi sesuatu yang belum dapat dipahami secara pasti.
ني َح مىت بَلَ َغ ستة أو ِ ْ َ َعلَى َحرف:ال َ استَ ِزْدهُ ف َق
ْ يل
ٍ َي حممد اقْ رأ الْ ُقرآ َن علَى حر:ال
ِ ِ َ فَ َق.ف ِ ِ
ْ ُ ال مي َكائ َْ َ ْ َ َ َيل ق ُ أن ج ِْب
ِ ٍ اب بِر ْمحٍَة أَو آيةَ ر ْمحٍَة بِ َع َذ
ٍ ِ ٍ ٍ ٍ سب عةَ أَحر
ال
َ ك تَ َع
َ اب َْحن َو قَ ْول َ َ ْ َ ُك ُُ َُّلَا َشاف َكاف َما ََلْ ََتْت ْم آيَةَ َع َذ:ال َ ف فَ َق ُ ْ َ َْ
ِ
َس ِر ْع َو ْعج ْل ْ َوأَقْبِ ْل َوَهلُ مم َوا ْذ َه
ْ ب َوأ
”Sesungguhnya Jibril berkata:”Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an
dalam satu huruf.” Maka Mikail berkata:”Mintalah tambahan
huruf.” Maka Jibril berkata:”Dalam dua huruf.” Dan Jibril terus menerus
menambahkannya sampai dalam enam atau tujuh huruf. Lalu ia
mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai, selama ayat
adzab (ayat yang menceritakan tentang siksa) tidak ditutup dengan ayat
rahmat (ayat yang menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat
rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti
166
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 95-96
ucapanmu:ْ تَعَا َل, أ َ ْقبِ ْْل, ب
ْْ ا ْذ َه, ع
ْْ أَس ِْر, dan ( ”ع ِْج ْْلHR Imam Ahmad)
أت على رسول هللا صلى هللا عليه ُ لقد قر: فقال،فغْي عليه
قرأ رجل عند عمر بن اخلطاب رضي هللا عنه م
أَل تقرئين آية كذا، َي رسول هللا: فقال، فاختصما عند النيب صلى هللا عليه وسلم: قال.علي ِ وسلم فلم
يغْي م
: قال، فعرف النيب صلى هللا عليه وسلم ذلك ِف وجهه،عمر شيء
َ فوقع ِف صدر: بلى! قال:وكذا؟ قال
ًَتعل رمحة م
ْ ما َل، إن القرآن كله صواب،عمر
ُ َي: ُث قال-قاَلا ثَل ًث- شيطاَن
ً ابع ْد
َ :فضرب صدره وقال
َ
.ًعذاِب أو عذاِب رمحة
ً
”Ada seorang laki-laki yang membaca Al-Qur’an di sisi ‘Umar bin al-Khaththab,
lalu hal itu membuat ‘Umar marah, lalu orang itu berkata:”Aku telah
membacanya di sisi Rasulullah , namun beliau tidak memarahiku.” Perawi hadits
berkata:”Lalu keduanya berselisih pendapat di hadapan Nabi s.a.w, Maka orang
itu berkata:”Wahai Rasulullah bukankah anda membacakan kepadaku ayat ini
dan ini?” Beliau bersabda:”Ya benar” Perawi berkata: ”Maka dalam diri ‘Umar
ada sesuatu yang mengganjal (ketika mendengar jawaban Nabi), maka
Nabi mengetahui hal itu dari wajahnya. Lalu beliau menepuk dada ‘Umar dan
bersabda:”Jauhilah setan” Beliau mengulanginya tiga kali. Kemudian beliau juga
berkata:”Wahai ‘Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat
rahmat tidak dijadikan ayat adzab, dan ayat adzab tidak dijadikan
rahmat.” (Tafsir ath-Thabari)
تلقميتها من رسول: فقال هذا، أن رجلني اختلفا ِف آية من القرآن:أن أِب ُجهيم اْلنصاري أخِبه
رسول
َ فسأال، تلقميتها من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: وقال اآلخر.هللا صلى هللا عليه وسلم
إن القرآن أنزل على سبعة: فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم،هللا صلى هللا عليه وسلم عنها
كفر ِ
ٌ فإ َن املراء فيه، فَل ْتَ َارْوا ِف القرآن،أحرف
”Abu Juhaim al-Anshari telah mengabarkan kepadaku, bahwa ada dua orang laki-
laki berselisih mengenai satu ayat di dalam Al Qur'an. Salah satu dari keduanya
berkata:"Sesungguhya saya telah menerima langsung dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam." Sedangkan yang lain berkata:"Saya juga menerimanya
langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Lalu keduanya
menanyakan hal itu kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun
bersabda:"Sesungguhnya Al-Qur`an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka
janganlah Al-Qur'an itu diperdebatkan dan diperselisihan. Karena perdebatan
mengenai ayat Al-Qur'an itu merupakan kekufuran."(HR. Ahmad dalam al-
Musnad, Ath-Thabari dalam Tafsirnya)
167
Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 162-167.
Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono) Selasa, 01 Nopember 11.
168
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fii Ulum Al- Qur’an, Jil.
I (Beirut: Dar al-Fikr), 41
169
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018, 168
Al-Dimyathi mengemukakan bahwa qiraat merupakan satu ilmu untuk
mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun
yang diikhtilafkan oleh para imam qiraat seperti hafs, itsbat, takhrik, taskin, fashl,
washl, ibdal, dan lain-lain. beberapa unsur qiraat yang dapat difahami yaitu:
1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang
dilakukan oleh salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang
dilakukan dengan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat yang
bersambung kepada nabi dan bersifat tauqify bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qiraat menyangkut persoalan lughat, hadzf, i’rab,
isbat, fashl dan washl.
Dengan demikian jelas adanya bahwa tidaklah benar anggapan orang
awam bahwa Qiraat (macam-macam bacaan) Al-Qur’an itu diciptakan oleh nabi
Muhammad s.a.w, para sahabat ataupun para ulama dan tabiin yang dipengaruhi
oleh dialek bahasa kabilah-kabilah Arab. Dan jelas pula bahwa macam-macam
bacaan Al-Qur’an itu sudah ada sejak Al-Qur’an diturunkan, dimana pada
awalnya diturunkan dengan lughat Quraisy dan selanjutnya dilanjutkan dengan
sab’atu ahruf.170
Qiraat tujuh dan Tujuh huruf memiliki perbedaan masing-masing, namun
keduanya memiliki kaitan yang erat. Istilah sab’ah ahruf telah ada sejak Al-Qur’an
diturunkan, dan qiraat sab’ah adalah istilah yang sering muncul berkaitan dengan
bacaan para Imam dalam melafazkan bacaan Al-Qur’an. Secara lahir, Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, ia diturunkan ditengah-tengah kehidupan bangsa
Arab yang merupakan komunitas dari berbagai suku yang tersebar disepanjang
jazirah Arab. Setiap suku memiliki format dialek dan lahjah yang berbeda. Namun
demikian, setiap suku telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama
dalam berkomunikasi, jadi saat khalifah Utsman bin Affan melakukan
pengumpulan Al-Qur’an salah satu syaratnya adalah harus disesuaikan dengan
bahasa Quraisy.
Di sisi lain, perbedaan dialek ini menjadi sebab yang melahirkan
bermacam-macam bacaan dalam melafadzkan Al-Qur’an. Dengan demikian
dapat difahami bahwa adanya bermacam-macam qiraat dalam membaca Al-
Qur’an disebabkan karena bermacam-macam dialek. Keberagaman ini adalah
sesuatu yang bersifat alami dan tidak dapat dihindari karena memang setiap
bangsa dan suku mempunyai lahjah yang berbeda.
Dengan adanya perbedaan dialek dinegara arab, Rasulullah memberi
ummatnya kemudahan untuk memahami Al-Qur’an. Ini tercermin ketika Jibril
170
Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016), 3
membawa perintah kepada Nabi untuk membacakan Al-Qur’an kepada
ummatnya dengan satu huruf. Nabi dengan memohon ampun kepada Allah,
melalui malaikat Jibril meminta agar hurufnya ditambah.171 Setelah itu, hurufnya
ditambah hingga tujuh huruf. Dalam beberapa hadits dijelaskan:
قال رسول اَّلل صلى اَّلل عليه وسلم أقرأَن جِبيل على حروف فرامجعته فلم أزل أستزيده ويزيدّن حىت
.أنتهى اَل سبعة احرف
"قال رسول اَّلل صلى اَّلل عليه وسلم "ان هذا القران انزل على سبعة احرف فا قرءو وال حرج ولكن ال
171
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018, 170
Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Merekalah yang menjadi
sumber acuan bacaan Al-Qur’an bagi sebagian besar sahabat dan tabiin.
Kemudaian qiraat dijadikan sebagai satu sumber ilmu pengetahuan pada
masa tabiin seratus tahun pertama hijriah, ini dikarenakan segolongan masyarakat
telah mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan Al-Qur’an karena keadaan
memerlukannya. Akhirnya jadilah Imam-imam qiraat yang menjadi sumber
acuan. Namun dalam perkembangannya, qiraat menghadapi masalah yang perlu
ditangani secara serius karena adanya hadits nabi yang menerangkan bahwa “Al-
Qur’an diturunkan dengan beberapa wajah bacaan (sab’atu ahruf), maka banyak
bermunculan versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah
s.a.w.
Dalam hal ini para ulama ahli qur’an cepat dan tanggap untuk menjaga
kemurnian Al-Qur’an, jangan sampai rusak karena bacaan yang mata rantai
sebenarnya tidak sampai kepada rasulullah s.a.w. maka pada akhir abad ke-2
Hijriyah para ulama mulai meneliti, menseleksi, dan menguji kebenaran qiraat
yang dikatakan sebagai bacaan Al-Qur’an dengan memakai kaidah dan kriteria
yang telah disepakati oleh para imam qiraat.172 Suatu bacaan baru dianggap sah
apabila memenuhi 3 syarat yaitu:
a. Mempunyai sanad yang mutawattir, diterima dari guru terpercaya, tidak
cacat, dan mata rantai sanadnya bersambung kepada rasulullah.
b. Harus cocok dengan rasm utsmani
c. Harus cocok dengan tata bahasa Arab.
Dengan pengujian yang dilakukan para pakar qiraat dengan kaidah yang telah
ditentukan, maka qiraat jika ditijau dari sanadnya terbagi menjadi enam tingkatan
yaitu: Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syaz, Mudraj, Maudhu’. Setelah melewati
penelitian dan pengujian terhadap qiraat Al-Qur’an yang banyak beredar, ternyata
yang memenuhi syarat mutawatir menurut kesepakatan ulama Al-Qur’an ada
tujuh (sab’) bacaan yang dikuasai dan dipopulerkan oleh tujuh Imam qiraat. Inilah
yang kemudian dikenal dengan qirat Sab’ah.173
KESIMPULAN
Perbedaan pendapat tentang makna sab’ah ahruf tidak hanya terletak pada
segi tata bahasa, tulisan atau bacaannya saja dan tidak sampai merubah makna
yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Pendapat yang paling kuat di antara
pendapat-pendapat itu semua adalah pendapat pertama, bahwasanya yang
172
Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fii Ulumil Qur’an, 170-174
173
Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016), 5
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa
Arab dalam satu makna.
Ahruf Sab’ah dan qiraat sab’ah memiliki makna yang berbeda, namun
kedua istilah tersebut saling berkaitan. Karena pemahaman terhadap istilah ahruf
sab’ah tersebut sebagai akibat munculnya bermacam-macam bacaan. Macam-
macam bacan para imam Qurra’ tersebut muncul setelah masa tabiin yang
bersumber pada sahabat. Namun setelah dilakukan penelitian dengan syarat-
syarat tertentu, maka hanya tujuh qiraat yang dianggap mutawatir yang sekarang
dikenal dengan qiraat Sab’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan Manna’. Mabahits Fii Ulumil Qur’an
al-Zarkasyi Badr al-Din Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan Fii Ulum Al- Qur’an, Jil. I
(Beirut: Dar al-Fikr)
Fathoni Ahmad. Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018
Baidan Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)
AL-QUR'AN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN DAN DISKURSUS
SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENAFSIRAN ILMIAH
(almadaniadha@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(fakhriputra12@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(nisahalwati2@gmail.com)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai epistemologi Al-
Qur’an sebagai ilmu pengetahuan dan pendapat para ulama mengenai
pandangannya dalam penafsiran ilmiah. Metode penelitian ini bersifat kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi
kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan ilmu pengetahuan
merupakan isi pokok kandungan kitab suci Al-Qur’an dan terdapat perbedaan
pendapat ulama mengenai penafsiran ilmiah. Penelitian ini memiliki signifikasi
untuk pengembangan diskursus ilmu literatur Ulumul Qur’an. Kesimpulan pada
penelitian ini adalah tujuan ilmu pengetahuan dan agama adalah satu ialah
menciptakan kebahagiaan jasmani dan ruhani manusia, sebagaimana tercantum
dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the epistemology of the Qur'an as a science and
the opinions of scholars regarding their views in science. This research method is
qualitative by using descriptive method through theoretical analysis and literature study.
The results of this study conclude that knowledge is the main content of the holy book of
the Qur'an and the difference of opinion of scholars regarding scientific matters. This
research has significance for the development of the discourse of Ulumul Qur'an literature.
The conclusion of this study is that the purpose of science and religion is one to create
human physical and spiritual happiness, as stated in the verses of the Qur'an.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.174 Penelitian
kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data
berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku
manusia yang dapat diamati.175 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan
studi kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg
menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang
diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian
dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.176 Studi kepustakaan
174
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,”
Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
175
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
176
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik
sebuah kesimpulan.
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ilmu keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam
Al-Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode
tertentu baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan
yang mempelajari sifat-sifat nama dan bilangan menurut tanggapan manusia
dikenal dengan ilmu eksakta, sedangkan ilmu pengetahuan yang menyelidiki
kehidupan manusia termasuk kehidupan rohaninya disebut ilmu sosial.
Jadi ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kata ‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk
dari segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains. Di dalam Al-
Qur’am semua sudah diatur, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum
minallah), sesama manusia (hablum minannas), alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu empiris, ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu umum dan
sebagainya.
177
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Qur’an yang pertama kali mengenai pentingnya ilmu pengetahuan, yakni QS. Al-
‘Alaq: 1-5.
الم ِذى َعلم َم. ك الْألَ ْكَرُم ِ ِاِقْ رأْ بِس ِم رب
َ ُّ اقْ َرأْ َوَرب. َخلَ َق الْ ِإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق. ك المذى َخلَ َق َ َ ْ َ
ِْ َعلمم. ِِبلْ َقلَِم
اْلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم َ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya”.
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melinkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”. (QS Ali Imran [3]: 18).
Ayat ini jelas memberikan bukti bahwa hanya orang yang berilmu
pengetahuan dan memiliki pemahaman sajalah yang mampu melihat hakikat
yang ada di balik struktur materi dari alam semesta ini. Hanya mereka yang
memiliki kemampuan untuk menyaksikan kekuasaan. Al-Haqq, Zat yang
mengendalikan dan mengatur seluruh kehidupan semesta raya. Dialah yang Haqq
(Riil), sedangkan segala sesuatu yang lain hanyalah bayangan-bayangan yang
akan berlalu. Mereka yang tidak mampu melihat kebenaran hakiki ini di dalam
alam semesta akan kehilangan rasa keadilan dan kekuatan pemahaman yang telah
Allah anuggerahkan kepada mereka.178
Artinya: “Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang”. (QS. Ibrahim [14]: 33).
Jelaslah bahwa seluruh ciptaan atau makhluk yang berada di atas bumi
telah disiapkan untuk melayani kebutuhan manusia. Hukum Tuhan yang berlaku
di dalam alam semesta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya. Al-
Qur’an juga memerikan gambaran yang sempurna tentang alam, materi, serta apa
yang melampaui alam materi itu dengan cara yang ilmiah dan rasional sehingga
menarik perhatian, baik orang yang berilmu pengetahuan maupun orang awam.
178
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam
Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 28.
Al-Qur’an memberikan dorongan kuat kepada kaum Mukmin untuk
bekerja keras dalam meraih kekayaan material dan sekaligus menuntun mereka
untuk menyelidiki hukum-hukum dan pengetahuan tentangnya untuk
memperoleh manfaat darinya. Al-Qur’an juga mewajibkan mereka untuk
menyelidiki setiap aspek dari material alam semesta, mengungkap dan menyikap
tabir rahasianya, mengambil manfaat daripadanya, serta menggunakannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
179
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam
Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 31.
Katakanlah, "Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang
orang yang beriman" (QS Fushshilat [41]: 44).
Seorang ulama menyikapi Al-Qur’an sebagai penawar dan petunjuk
dengan mengatakan, "Sesungguhnya kitabullah yang agung (Al-Qur’an)
merupakan obat penyakit stres, penenteram jiwa, obat penyakit hati, dan
cahaya bagi segala kegelapan. Bahkan, ia juga penangkal segala duka,
pencipta kehidupan sejahtera yang tak akan tergoyahkan sepanjang masa
oleh berbagai syak wasangka, dan tidak akan tergeser oleh badai
kebingungan.
Memang benar Al-Qur’an adalah syifa' (penawar). Sebuah penelitian di
Florida membuktikan, terjadi perubahan fisiologis yang besar, baik bagi
orang yang bisa berbahasa Arab atau yang tidak, setelah mendengar bacaan
Al-Qur’an. Perubahan itu adalah penurunan depresi, kesedihan, penyakit,
bahkan perolehan ketenangan.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Al-Qur’an berpengaruh hingga
97% dalam memberikan ketenangan dan penyembuhan penyakit.
Subhanallah.
Bagi seorang mukmin, Al-Qur’an adalah bacaan yang mulia.
Membacanya berarti berzikir atau mengingat Allah, dan mengingat Allah
akan membuat hati dan jiwa tenang.
Mengenai jiwa dan hati yang tenang, penelitian Effa Naila Hady dan
Ratna Djuwita (dalam Hanna Djumhana Bastaman, 1996) menyatakan
bahwa zikir kepada Allah memiliki efek menenangkan.180
B. Biologi
‘Alaq (Segumpal Darah)
Makna firman Allah, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS
Al'Alaq [96]: 1-2).
Mahasuci Allah yang berkehendak mencipta apa yang dikehen daki-
Nya. Allah yang berkehendak mencipta tahapan-tahapan yang harus dilalui
manusia ketika berada di rahim ibunda. Dan Allah yang menginformasikan
semua itu kepada manusia melalui kalam-Nya.
180
H. Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Berikut ilustrasi dalam Al-Qur’an mengenai 'alaq atau segumpal darah.
Dr. Keith Moore, Ketua Jurusan Anatomi di University of Toronto, Kanada,
sekaligus pakar dalam bidang embriologi (ilmu yang membahas tentang
pembuahan dan perkembangan janin) dimintai pendapat mengenai
informasi yang terdapat dalam Al Quran berkaitan dengan bidang
embriologi tersebut. Dia berkata bahwa sebagian besar informasi tentang
embriologi yang disebutkan Al-Qur’an sangat sesuai dengan penemuan-
penemuan modern dalam dunia embriologi.
Dalam Surah Al-'Alaq (96) 1-2, 'alaq maknanya bisa segumpal darah, bisa
juga bermakna sesuatu yang melekat menyerupai lintah.
Dalam konferensi kedokteran ke-7 di Damman, Arab Saudi, pada 1981,
Dr. Moore berkata, "Sangat menyenangkan bagi saya untuk membantu
menjelaskan pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur’an tentang terbentuknya
janin manusia. Jelas bagi saya bahwa pernyataan-pernyataan ini telah turun
kepada Nabi Muhammad dari Tuhan atau Allah karena sebagian besar ilmu
ini belum ditemukan sampai beberapa abad kemudian. Ini membuktikan
kepada saya bahwa Muhammad adalah seorang utusan Allah."
Dokter lain pun memberi komentar sama, bahwa apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an dan hadis sejalan dengan penemuan ilmiah modern.
Dokter itu adalan Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua Jurusan Obstetri dan
Genekologi di Fakultas Kedokteran, Baylor College, Houston, A.S. Beliau
menyatakan, "Hadis-hadis, perkataan Muhammad, ini tidak ditemui dalam
dasar-dasar pengetahuan ilmiah yang sudah ada pada masa penyusunannya
sekalipun (abad ke-7). Berikutnya bahwa bukan hanya tidak ada
pertentangan antara ilmu genetika dengan agama (Islam), tetapi lebih jauh,
agama (Islam) bisa membimbing sains dengan menambahkan wahyu
kepada sebagian cara ilmiah tradisional. Ada pernyataan-pernyataan dalam
Al-Qur’an yang baru beberapa abad kemudian terbukti valid, yang
memperkuat bahwa ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an berasal dari
Allah.
C. Fisika
Air Laut Yang Asin
Makna firman Allah: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir
(ber dampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi
pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak
tembus” (QS Al-Furqân [25]: 53).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Allah Mahakuasa atas tiap-
tiap sesuatu. Kehendak-Nyalah segala sesuatu yang terjadi di bumi ini, yang
menjadi bukti kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.
Pada ayat tersebut, Allah berfirman bahwa Dia menciptakan air di bumi
ini dalam rasa yang berlainan. Kedua rasa tersebut diidentikkan pada dua
perairan, yaitu perairan darat dan laut.
Kalau boleh seorang manusia bertanya, mengapa Allah menciptakan
laut itu asin (pahit)? Apa jawabannya? Wallahu a'lam. Allah Yang Mahatahu.
Dialah yang mengilhamkan kepada manusia pengetahuan yang ada di alam
semesta. Tetapi sedikit jawaban bisa diberikan manusia mengenai adanya air
laut yang berasa asin dan pahit ini.
Yang sedikit itu adalah bahwa apa jadinya jika laut diciptakan berasa
manis sebagai wujud adanya senyawa gula di dalamnya?, senyawa gula di
laut akan mengundang bakteri pengurai, bakteri pembusuk, atau
semacamnya. Jika itu terjadi, rusaklah dunia. Lautan lebih luas daripada
daratan, jika di mana-mana ada pembusukan dan perusakan, apa jadinya
dunia?
Allah menciptakan laut itu asin. Asin (atau garam) bisa mengawet kan
ikan, mengawetkan makanan. Makanan yang asin lebih awet daripada
makanan yang manis. Air garam (air laut yang asin) lebih bisa mengawetkan
daripada jika air laut itu manis.
Salah satu kemahapemurahan Allah ada pada persenyawaan garam
yang terjadi di laut. Garam dapur (NaCl) atau garam-garam dengan rumus
kimia yang lain terbentuk karena zat-zat penyusunnya yang sangat reaktif.
Zat-zat yang sangat reaktif ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan dalam
bentuk tunggal di lautan, bisa merusak isi dunia.
Maka, Allah dengan segala kemahapemurahan-Nya, jika kemu dian zat
reaktif ini disenyawakan dengan zat reaktif yang lain, yaitu pada garam
dapur (NaCl: natrium klorida). NaCl atau garam dapur ini berasal dari air
laut yang diuapkan. NaCl aman untuk dikonsumsi. Namun, garam dapur
ini (NaCl) terdiri dari dua unsur yang sangat reaktif. Na, atau natrium dari
NaCl adalah logam kuat yang memiliki sifat basa yang kuat, bisa merusak
kayu, kertas, dan badan manusia. Sedang Cl, atau klor dalam keadaan biasa,
di alam bebas berwujud gas. Unsur ini bisa membunuh manusia jika paru-
paru manusia
menghirupnya, bisa meracuni darah dan membuat manusia
meninggal.181 Dengan segala kepemurahan Allah, unsur-unsur reaktif
tersebut membentuk satu senyawa, NaCl (natrium klorida), yang kita kenal
dengan garam dapur.
D. Geografi
Adanya Pembatas Dua Laut
Makna firman Allah, Dia membiarkan dua laut mengalir yang
(kemudian) keduanya bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing (QS Al-Rahmân [55]: 19-20).
Dalam catatan kaki Surah Al-Rahmân (55) ayat 19-20 disebutkan bahwa
di an tara ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa là yabghiyân (lihat teks
Al-Qur’an), bermakna 'masing-masingnya tidak meng hendaki. Dengan
demikian, maksud ayat 19-20 ini ialah bahwa ada dua laut yang tercerai
karena dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidak diperlukan.
Pada akhirnya, tanah genting itu dibuang (digali untuk keperluan lalu
lintas), maka bertemulah dua lautan itu, seperti Terusan Suez dan Terusan
Panama.
Sementara dalam Jelajah Alam Bersama Al-Qur’an diterangkan, kata
barzakh mempunyai arti 'suatu pembatas atau partisi (zona pemisah). Arti
pembatas ini tidak bersifat fisik (seperti adanya tanah genting).
Pada kata lain ada kata maraja, secara kiasan artinya 'mereka keduanya
bertemu dan saling bercampur satu sama lain.
181
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, Lho.... GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa, Allah,
Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
Ada dua arti kata berlawanan dari surah ini, barzakh dengan maraja.
Lalu, bagaimana para ahli tafsir menjelaskan adanya kata yang berlawanan
dalam surah ini?
Beberapa dekade kemudian penelitian membuktikan kebenaran firman
Allah dalam Surah Al-Rahman (55) ayat 19-20. Pada titik temu dua jenis
lautan, ada pembatas di antara keduanya. Pembatas itu membagi kedua laut
tersebut sehingga masing-masing mempunyai temperatur, kadar garam, dan
kepadatan yang berbeda. Terdapat lapisan pembatas air yang tak kasatmata
di antara kedua laut, sehingga air dari satu laut melalui laut lainnya berbeda.
Tetapi, saat air dari satu lautan memasuki lautan yang lainnya, ia akan
kehilangan karakteristik yang menjadikannya berbeda dan menjadi
homogen (bersatu/berbaur) dengan air laut yang lain. Di satu pihak,
pembatas ini bertindak sebagai area transisi.
E. Sosiologi
Allah Menciptakan makhluk-Nya Yang Berpasang-pasangan
Makna dari firman Allah, Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-
pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah) (QS Al-Dzâriyât [51]: 49).
Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang
pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
sendiri maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS Ya' Sin [36]: 36)
Mahasuci Allah yang menciptakan makhluk dan apa yang ada di bumi
ini secara berpasangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan,
ada matahari ada rembulan. Benda yang paling kecil sekalipun, benda yang
lebih kecil daripada atom pun, diciptakan Allah berpasangan.
Allah menciptakan atom, benda terkecil di dunia, memiliki inti. Pada inti
atom terdapat suatu benda yang superkecil. Benda ini me miliki muatan,
positif dan negatif. Benda itu dinamakan para ahli dengan proton (benda
yang bermuatan positif) dan elektron (benda yang bermuatan negatif).
Ini adalah pasangan terkecil di dunia (yang diketahui saat ini). Jika
muatan positif dan negatf dipasangkan, akan meng hasilkan sesuatu yang
berguna, yaitu aliran listrik. Listrik bisa digunakan untuk penerangan,
pemanas, dan sebagainya. Inilah dunia. Allah menakdirkan ada takaran di
bumi ini menjadikannya berpasangan.
F. Makanan dan Minuman
Hikmah Makan dan Minum Tidak Berlebihan
Dalam Al-Qur’an Allah menitahkan yang maknanya,:” Wahai anak cucu
Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan
dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan “(QS Al-A'raf [7]: 31).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Allah menitahkan manusia
untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum. Memang benar, manusia
tidak butuh berlebihan dalam makan dan minum. Banyak dampak negatif
dari kebanyakan makan. Berikut adalah hikmah makan tidak berlebihan.
Para peneliti membuat sebuah simpulan bahwa sebanyak dua pertiga
penyakit degeneratif (penurunan fungsi organ tubuh atau faali tubuh yang
akan menimbulkan penyakit-pen.) disebabkan faktor makanan.182
Apa itu penyakit degeneratif?, penyakit degeneratif adalah penyakit
karena penurunan fungsi jaringan dan alat tubuh karena proses-proses
kehidupan. Bersifat progresif dalam jangka waktu tertentu ke arah negatif
untuk kesehatan seseorang. Dampak akhirnya adalah menderita penyakit ini
(degeneratif).
Contoh penyakit degeneratif adalah tekanan darah tinggi, jantung
koroner, kolesterol tinggi, gagal ginjal, diabetes melitus, dan sebagainya.
Penyakit-penyakit ini, di samping karena obat-obatan, racun, alkohol,
stres, lingkungan hidup yang jauh dari standar kesehatan, dan sebagainya,
dapat disebabkan makan dan minum yang berlebih. Dua pertiga penderita
penyakit degeneratif, disebabkan makan dan minum yang berlebihan.
Dalam salah satu seni pengobatan alami disebutkan bahwa makan dan
minum yang berlebihan adalah sebab terganggunya fungsi sistem
pencernaan. Terganggunya sistem pencernaan, khususnya usus karena
terlalu banyak zat sisa yang menempel di dinding usus, akan menjadi
masalah serius untuk keseluruhan kesehatannya di ke mudian hari.
Apabila usus kotor, dinding usus pun akan menyerap zat-zat kotor
(racun) tersebut. Racun ini akan memasuki darah, dan darah yang
M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir dan
182
Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya Pra Widya Pangan dan Gizi
VI”, Semarang, November 1997.
mengandung racun akan meracuni seluruh tubuh, dan mem buat kerusakan
di sistem jaringan dan organ tubuh. Jadilah penyakit, penyakit degeneratif.
Itu sebabnya puasa sangat bermanfaat untuk orang-orang yang
bermasalah dengan sistem pencernaan. Ketika puasa, organ pencernaan
istirahat total. Ketika puasa, kotoran juga bisa dikeluarkan meski tidak
seluruh kotoran yang menempel di dinding usus bisa bersih seketika itu.
Pembersihan usus butuh waktu dan pengobatan serius.
Mekanisme usus yang kotor adalah sebagai berikut. Makan berlebihan
atau makan terlalu sering (makan tidak dalam kondisi lapar atau menuruti
nafsu saja) akan menyebabkan pencernaan, khususnya usus, menjadi tidak
efektif bekerja. Salah satu bentuk ke tidakefektifan usus bekerja karena
adanya kotoran di usus yang tidak bisa dikeluarkan. Kotoran ini menempel
di dinding-dinding usus, lengket di sana.
Padahal kita mengambil sari makanan dari usus setelah melalui
pencernaan makanan. Ketika terjadi penyerapan sari makanan oleh jonjot-
jonjot usus, tidak melulu sari makanan yang ikut ke aliran darah dari usus.
Tetapi juga zat yang berasal dari kotoran, yang lengket di usus. Substansi
apa yang berada dalam kotoran yang lengket di usus? Tak lain dan tidak
bukan adalah sejenis radikal bebas (racun). Sari makanan yang sudah
didomplengi radikal bebas ini akan menuju ke hati untuk dibersihkan
racunnya. Lalu, mengalir ke seluruh tubuh.
Sari makanan diserap di usus halus. Sementara di usus besar ter jadi
penyerapan cairan, pun cairan yang berasal dari usus besar ini bisa
tercampuri radikal bebas. Dalam kondisi radikal bebas yang sedikit, ada
kemungkinan tubuh masih bisa menoleransinya. Jika jumlahnya banyak
serta setiap waktu ada, bagaimana tubuh bisa menoleransi? Hati, organ
untuk detoksifikasi (membersihkan racun), bisa terkena dampaknya terlebih
dahulu. Organ atau jaringan lain pun bisa terkena dampaknya terlebih
dahulu. Pembuluh darah, misalnya.
Pola makan yang secukupnya dan sederhana menghindarkan manusia
dari penyakit-penyakit ini. Puasa juga. Dengan makan secukupnya, sistem
pencernaan di tubuh malah akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Tidak ada
racun yang akan memasuki aliran darah dan mengganggu sistem dalam
tubuh.
G. Atronomi
Bukti Ilmiah Terbelahnya Bulan
Maha Kuasa Allah jika Allah berkehendak, tidak ada yang dapat
menghalanginya termasuk peristiwa terbelahnya bulan, agar menjadi
pelajaran manusia untuk ber iman dan semakin menambah iman un tuk
orang-orang yang telah beriman.
Rasulullah pernah didustakan kaum musyrikin Makkah. Mereka
meminta bukti bahwa Nabi Muhammad benar-benar nabi dan rasul. Lalu,
beliau. memberi jawaban dengan membelah bulan melalui tangannya
dengan seizin Allah. Setelah itu, turun firman Allah, Saat (Hari Kiamat)
semakin dekat, bulan pun terbelah. Dan jika mereka (orang orang musyrik)
melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, "(ini adalah)
sihir yang terus-menerus" (QS Al-Qamar [54]: 1-2).
Bukti ilmiah tentang terbelahnya bulan oleh tangan Rasul Muhammad
ada dalam kisah berikut. Di sebuah seminar di Falkutas Kedokteran, Cardiff
University, Wales, Inggris, pada tahun 2000-an, hadir Dr. Zaglul Al-Najjar'.
Pada kesempatan tanya jawab, berdiri seorang laki-laki berkebangsaan
Inggris meminta izin untuk bicara. la memperkenalkan diri sebagai David
M. Pidcock, seorang Muslim dan pemimpin sebuah organisasi Islam di
negaranya.
la bercerita bahwa suatu waktu ia tengah intens mempelajari agama-
agama di dunia. la mendapat pinjaman Al-Qur’an dari saha batnya, seorang
Muslim. Pidcock mempelajari Al-Qur’an. Ia membuka QS Al-Qamar (54): 1-
2. la langsung menutup Al-Qur’an, tidak percaya, karena di situ disebutkan
tentang terbelahnya bulan.
Takdir Allah menjadikannya menemukan hidayah. Hidayah memang
akan dianugerahkan untuk orang-orang yang benar-benar mencarinya.
Pidcock adalah seorang pencari kebenaran. Selang beberapa waktu, ia
menonton siaran BBC. Seorang penyiar tengah mewawancarai tiga astronom
Amerika Serikat tentang aktivitas pen daratan manusia ke bulan, saat itu,
1978.
Sang penyiar mengkritik kebijakan mendaratkan manusia ke bu lan itu.
Menurutnya, kebijakan itu adalah bentuk penghamburan da na karena
memakan biaya sekitar 100 juta dolar AS. Bukankah jika diberikan untuk
jutaan orang yang kelaparan akan jauh lebih berfaedah.
Para ilmuwan astronomi itu membela diri. Mereka mengatakan ada
fakta ilmiah yang mereka dapatkan di bulan. Jika perjalanan ke luar angkasa
itu dibiayai dengan biaya berkali-kali lipat dari biaya yang mereka keluarkan
agar manusia yakin dengan apa yang mereka temukan, lalu menerima fakta
itu, tak seorang pun yang akan keberatan dengan biayanya.
Sang penyiar sontak bertanya, "Fakta apa itu?" Para ilmuwan itu
menjawab bahwa pada masa lalu, bulan pernah terbelah, kemudian melekat
lagi. Bekas-bekas yang menunjukkan fakta ini sangat terlihat di permukaan
bulan sampai ke dalam perut bulan.
Di hadapan peserta seminar, Pidcock berkata, "Begitu men dengar itu,
saya langsung melompat dari kursi yang saya duduki di depan televisi dan
berkata dalam hati bahwa sebuah mukjizat telah terjadi pada Muhammad
1.400 tahun yang lalu. Al-Qur’an telah menyebutkannya dengan perincian
yang begitu mengagumkan. Ini pasti agama yang benar." Ia pun memeluk
Islam.
Di samping tercatat dalam peristiwa terbelahnya bulan. juga terdapat
dalam sejarah India dan Cina Kuno.
H. Sejarah
Kebenaran Sejarah Ummat Nabi Luth
Makna firman Allah :”Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik
Makkah) telah melalui sebuah negeri (Sodom) yang (dulu) dijatuhi hujan
yang buruk (hujan batu). Tidakkah mereka menyaksikannya? Bahkan,
mereka itu sebenarnya tidak mengharapkan Hari Kebangkitan” (QS Al-
Furqan [25]:40). “Maka ketika keputusan Kami datang, Kami
menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka dengan
batu dan tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh
Tuhanmu. Dan siksaan itu tiada jauh dari orang yang zalim.” (QS Hûd [11]:
82-83).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Apakah ayat tersebut
turun setelah eksplo rasi tentang adanya kaum Nabi Luth? Tidak. Belum ada
eksplorasi tentang kuburan kaum Luth ketika Al-Qur’an diturunkan. Seperti
yang kita tahu, Nabi Luth dan kaumnya hidup jauh sebelum masa
Rasulullah dilahirkan. Yang berarti Al-Qur’an diturunkan setelah adanya
peristiwa pemusnahan kaum ingkar, yaitu kaum Luth. Ketika peradabannya
terkubur dalam timbunan tanah sehingga tidak diketahui manusia.
Sementara Al-Qur’an diturunkan kepada masyarakat Arab waktu itu yang
belum mengenal peradaban ilmu sejarah bangsa-bangsa yang dimusnahkan
Allah. Belum tahu apa dan bagaimana kaum Luth. Sejarah kaum ini
diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bukan berasal
dari manusia (Nabi Muhammad), tetapi dari Allah ta’ala. Apa yang
dipaparkan dalam Al-Qur’an adalah benar adanya.
Bencana yang terjadi di Kota Sodom, tempat Nabi Luth tinggal, karena
manusia menginjak-injak hukum Allah dengan semena mena, berupa
perbuatan amoral yang lebih rendah daripada nafsu binatang, yaitu liwath,
perbuatan mesum sesama jenis. Maka, Allah pun menghukum manusia
yang berdosa ini.
Kasih sayang Allah sedemikian besar. Ada rahmat-Nya yang diberikan
Allah agar kaum Sodom meminta maaf kepada-Nya. Melalui perantaraan
lisan Nabi Luth. Allah memberikan peringatan kepada mereka; tetapi
mereka tidak mau mendengarnya. Jika sebuah peringatan sudah tidak di
pedulikan, wajar jika Allah membersihkan umat tersebut untuk
menyelamatkan umat baik di antara mereka, menyelamatkan umat yang
masih bersih, yang tak melakukan dosa, yaitu Nabi Luth dan putri-putrinya.
Allah pun menjungkirbalikkan daerah Sodom yang kaumnya berdosa.
Apa yang dikatakan Al-Qur’an mengenai negeri Sodom yang
dijungkirbalikkan Allah adalah benar adanya. Para ilmuwan
mengeksplorasi adanya kaum ini di masa lalu dan apa yang terjadi terhadap
mereka. Para ilmuwan mencatat bahwa benar-benar terjadi gempa vulkanis
di Kota Sodom, kota yang berada di tepi Laut Mati (Danau Luth) yang
terbentang memanjang di antara perbatasan Israel Yordania, sebuah gempa
vulkanis yang diikuti letusan lava. Letusan lava akan membawa batu-batuan
berhamburan. Gejala vulkanis (gunung meletus) bisa membuat sebuah
negeri menjadi apa saja; tanah merekah, lahar tertumpah, batu-batuan
berhamburan, dan sebagainya.
Allah meruntuhkan kota tersebut, lalu dijungkirbalikkan ke lautan mati.
Menurut hasil eksplorasi para ilmuwan, bekas-bekas negeri tersebut masih
ada. Demi Allah, bencana tak akan turun, kecuali manusia adalah makhluk
yang merusak alam, berbuat dosa apalagi seperti yang di ketahui, semua
dosa dan pembangkangan ada pada kaum Nabi Luth pada waktu itu bukan
cuma dosa liwath.
Akan diketahui manusia dengan multiple intelegence-nya bahwa
bencana terjadi karena dosa. Akan diketahui manusia dengan
kecerdasannya bahwa bencana tercegah karena kesalehan para hamba Nya.
Bukankah dahulu pada zaman Rasulullah pernah terjadi gempa, hingga
Rasulullah tak rela dan memegang tanah dengan tangannya yang mulia.
Beliau berkata., "Duhai bumi, berhentilah bergetar (gempa) karena di atasmu saat
ini masih ada Al-Shiddiq, orang-orang yang mengerjakan shalat dan puasa. Di
atasmu masih ada orang-orang yang baik." Maka, bumi pun berhenti bergetar.
Kota yang dihancurkan karena dosa yang sama adalah di Pompei,
sebuah kota di Prancis. Sejarah mencatat kota tersebut sebagai sarang foya-
foya dan perilaku seks yang menyimpang.
Pompei dihancurkan Allah dengan sarana letusan Gunung Ve suvius.
Sampai sekarang jejak bangsa yang bernasib tragis karena perbuatannya
sendiri ini masih ada, lengkap dengan orang-orangnya yang telah membatu.
Untuk hamba Allah yang berpikir, bekas-bekas tersebut digunakan agar
selalu ingat untuk tidak mengkhianati Allah, untuk tidak melakukan
kerusakan di bumi, untuk memakmurkan bumi ini dengan aturan yang telah
ditetapkan Pemiliknya,183 Allah ta'ala.
183
Harun Yahya,Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu, Desember 1999.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi,
Imam ar-Razi, dan al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya
Imam asy-Syatibi. Dari kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara
lain seperti, Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang
bersebrangan di antaranya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad.
Menurut Abdul Fattah, mereka yang mendukung seperti al-Gazali,
misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an mencakup segala ilmu pengetahuan.
Bahkan, Abdul Aziz Maqismail, ulama Islam kekinian yang berlatar belakang
sains, menyatakan, mungkin pada suatu saat nanti, orang yang mulia adalah
kalangan saintis yang berhasil mengaitkan temuan-temuan sains dengan Al-
Qur’an hingga mempertebal keimanan umat Islam. Adapun mereka yang
menentang mengatakan, teori-teori atau temuan-temuan ilmiah yang digali dari
Al-Qur’an itu relatif kebenarannya. Yang sekarang benar, bisa jadi besok salah.
Karena itu adalah hasil pemikiran manusia yang tidak bisa dipastikan
kebenarannya. Sesuatu yang bersifat nisbi tidak bisa dijadikan sandaran sebagai
hasil dari penafsiran Al-Qur’an.
Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul Fattah memilih berada di
tengah. “Saya berada di tengah, di antara dua kecenderungan pendapat yang
menolak atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak mengandung
isyarat ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya,
mengatakan Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak
benar.”
Abdul Fattah selanjutnya menyampaikan tiga syarat diterimanya
pendekatan sains dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Hasil penafsiran Al-Qur’an tidak boleh keluar dari tujuan utama
diturunkannya Al-Qur’an, yaitu sebagai kitab hidayah. Apa pun upaya
penafsiran ilmiah atau temuan i’jaz Al-Qur’an harus diarahkan kepada
hidayah.
2. Harus ada unsur yang menunjukkan keagungan Al-Qur’an. Jangan
sampai upaya membahas tafsir ilmi malah merendahkan Al-Qur’an bila
dibandingkan dengan temuan-temuan sains yang sedemikian maju.
3. Pastikan tidak ada kontradiksi antara ayat-ayat kauniyah yang menjadi
dasar pengembangan temuan ilmiah dengan Al-Qur’an dan sains.
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur’an, dan boleh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil
temuan sains dengan tiga persyaratan di atas,” tegasnya.
Pernyataan itu kemudian ia lanjutkan dengan memberi argumen
tambahan, “Dahulu Al-Qur’an dikaji oleh para ulama dalam aspek kemukjizatan
tata bahasa, satra, atau balagah-nya, hal itu menjadi tepat bagi mereka yang
berbahasa Arab. Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab akan
kesulitan merasakan kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek itu. Padahal
Rasulullah Saw diturunkan untuk semua umat manusia. Maka, pada aspek ilmu
pengetahuanlah, semua orang, baik orang Araba atau non Arab memiliki
kesempatan yang sama. untuk memahami kemukjizatan Al-Qur’an.
4. KESIMPULAN
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ilmu keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam
Al-Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode
tertentu baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan
adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an. Kata ‘ilm disebut dalm Al-
Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk dari segala rujuan ilmu
baik ilmu pengetahuan ataupun sains.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi,
Imam ar-Razi, dan al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya
Imam asy-Syatibi. Dari kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara
lain seperti, Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang
bersebrangan di antaranya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad.
Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul Fattah memilih berada di tengah.
“Saya berada di tengah, di antara dua kecenderungan pendapat yang menolak
atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak mengandung isyarat
ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya, mengatakan
Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak benar.”
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur’an, dan boleh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil
temuan sains dengan tiga persyaratan di atas,” tegasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020,
1–6. http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018),
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-
Isyarat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007).
Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Harun Yahya, Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu,
Desember 1999.
M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir
dan Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya
Pra Widya Pangan dan Gizi VI”, Semarang, November 1997.
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa,
Allah, Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN
(ridwanadirizaldi@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(firman.alamin2901@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(sarisartika98.ss @gmail.com)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kisah-kisah dalam Al-Qur’an,
meliputi esensi, macam-macam, makna dan hikmah yang tergantung di
dalamnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftif kualitatif dengan
jenis penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini ialah, Qashash Al-Qur’ialah
pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat
(kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an
banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-
bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia
menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.
ABSTRACT
This study aims to find out the stories in the Qur'an, including the essence, kinds,
meanings and wisdom that depend on it. This study uses a qualitative descriptive approach
with the type of library research. The results of this study are, Qashash Al-Qur'a is the
preaching of the Qur'an about matters of the past ummah, previous prophecies (prophecy)
and events that have occurred. The Qur'an contains a lot of information about past events,
the history of nations, the state of countries and the legacy or traces of every people. He
tells all their circumstances in an interesting and charming way.
2. METODE
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada hal yang
terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau
jasa berupa kejadian atau fenomena atau gejala sosial, hal tersebut bermakna
184
Fakhrijal Ali Azhar, dkk, Kaidah dalam Memahami Kisah dalam Al-Qur’an Perspektif Mutawalli
Asysya’rawi, MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora, IAIN Purwokerto Edisi: Januari-Juni, Vol. 5, No. 2, 2020, h 286
dibalik kejadian yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi suatu
pengembangan konsep teori.
Jenis penelitian ini yang digunakan adalah kepustakaan. Penelitian
kepustakaan adalah suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan
informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada
diperpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah dan
sebagainya.185 Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah mencari
informasi yang sesuai dengan judul, kemudian mencari dan menemukan bahan
bacaan yang diperlukan dan mengklasifikasi bahan bacaan tersebut,
selanjutnya meriview bacaan yang sudah dibaca dan terakhir mulai menulis
penelitian ini sampai menemukan kesimpulannya.Penelitian ini bersumber
dari buku, jurnal, artikel dan skripsi.
185
Milya Sari dan Asmendri, Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA‛, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), h 43
186
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2006), h 386
Seperti contoh kisah Isa menghidupkan orang mati, kisah ini tidak dipahami
sebagai menghidupkan orang mati secara jasad, akan tetapi menghidupkan orang
yang telah mati hatinya.
Syeikh Mutawalli memandang bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya
peristiwa sejarah, melainkan bisa terjadi di setiap masa dan di setiap tempat.
Pandangan beliau ini dituangkan dalam satu kaidah, yaitu ‘apabila Al-Qur’an
tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh pada konteks kisahnya, maka
peristiwa yang serupa dapat terulang’. Pandangan ini terbilang cukup baru
karena Muatwalli as-Sya’rwai sendiri hidup di tahun 1911 sampai 1998. Hal ini
menunjukkan bahwa kaidah tafsir tidak bisa dianggap final setelah dikarangnya
beberapa kitab kaidah tafsir oleh para ulama klasik, namun bisa saja ditemukan
suatu kaidah-kaidah baru yang dianggap layak untuk memahami Al-Qur’an.187
187
Fakhrijal Ali Azhar, Op.Cit, h 287
pelanggar ketentuan hari sabtu), Ashab Al-Fiil (Pasukan Abrahah yang
berkendaraan gajah ketika menyerang Ka’bah), dan lain sebagainya.188
b. Kisah hal-hal ghaib pada masa kini (Al-Qashashul Ghuyub Al-Hadhirah).
Kisah ini menerangkan tentang hal-hal ghaib pada masa sekarang
(meski sudah ada sejak zaman dahulu dan akan tetap ada pada masa yang
akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.
Misalnya cerita tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, para Malaikat, Jin,
Syetan, siksa neraka, kenikmatan surga dan berita hari kiamat dan lain-lain.
hal ini seperti yang diterangkan dalam surat al-Qori’ah ayat 1-6: Artinya:
“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat
itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,dan
gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihamburhamburkan. Dan
adapun orang-orang yang berat timbangan(kebaikan)nya, Maka dia berada
dalam kehidupan yang memuaskan”.189
c. Kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang (Al-Qashashul Ghuyub Al-
Mustaqbilah).
Dalam al-Qur'an menerangkan tentang suatu peristiwa akan datang
yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur'an, akan tetapi peristiwa
tersebut betul- betul terjadi. Misalnya cerita tentang kemenangan Romawi
setelah kekalahannya, jaminan Allah terhadap keselamatan Nabi
Muhammad Saw dari penganiayaan orang kafir, hal ini terdapat di dalam
surah al-Maidah ayat 67: Artinya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jika tidak kamu kerjakan,
berarti kamu tidak melaksanakan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu
dari (penganiayaan) mereka”. Pada model kisah ini, dikatakan ghaib pada
masa yang akan datang karena pada mulanya cerita ini suatu informasi
yang sebenarnya tidak terdapat argumentasi atau alasan rasional yang
mengirinya akan tetapi benar-benar terjadi setelah al-Qur'an menyatakan
cerita ini.190
188
Manna’ Al-Qaththan, Op.Cit, h 436
189
Ibid, h 436
190
Ibid,h 437
serta marhalah-marhalah dakwah dan perkembangan-perkembangannya, di
samping menerangkan akibat-akibat yang dihadapi para mukmin dan
golongan-golongan yang mendustakan, seperti kisah Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw., dan lain-lain.
Kedua, kisah orang-orang tertentu sebagai pelajaran bagi manusia,
contoh: Lukman Hakim, Qorun, Ashabul Kahfi dan sebagainya. Ada juga
kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan
orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, seperti kisah orang-
orang yang pergi dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya
karena takut mati dan seperti kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam,
Ashabul Kahfi, Zulkarnain, Qarun, dan Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul
Ukhdud, Ashabul Fill dan lain-lain.
Ketiga adalah peristiwa-peristiwa, misalnya terjadinya perang Badar,
perang Uhud, Isra’ Mi’raj, hijrah dan lain sebagainya. Kisah yang berpautan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasul SAW, seperti:
peperangan Badar dan Uhud yang diterangkan dalam surat Ali Imran,
peperangan Hunain dan Tabuk yang diterangkan di dalam surat At-Taubah,
peperangan Ahzab yang diterangkan dalam surat Al-Ahzab dan hijrah serta
Isra’ Mi’raj dan lain-lain.191
Mengingat variasi kisah yang terdapat dalam al-Qur'an, ada
mengelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Qisshah Tarikhiyah, yaitu kisah tentang seputar tokoh sejarah.
2) Qisshah Tansiliyah, yaitu kisah yang memaparkan peristiwa dengan tujuan
untuk menerangkan suatu pengertian, sehingga kisah ini tidak perlu benar-
benar terjadi.
3) Qisshah al-Asatir, yaitu kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi
dimasa lampau.192
Dari semua penjelasan tentang kisah yang ditinjau dari segi materinya,
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, bahan atau materi pokok yang
disajikan suatu cerita dalam al-Qur'an melalui beberapa unsur, yaitu tokoh
yang terdiri dari manusia, makhluk luas dan binatang. Kedua, adalah
peristiwa. Dan ketiga adalah dialog.
191
Ibid, h 437
192
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, Seni Sastra dan Moralitas dalam
Kisah-kisah al-Quran, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), 207
a. Kisah Panjang, Contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf yang
hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf, sejak
masa kanak-kanaknya sampai dewasa dan memiliki kekuasaan. Contoh
lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash, kisah Nabi Nuh
dan kaumnya dalam surat Nuh dan lain-lain.
b. Kisah yang Lebih Pendek dari bagian pertama tadi, seperti kisah Maryam
dalam surat Maryam, kisah Ashab Al-Kahfi pada surat Al-Kahfi, kisah
Nabi Adam dalam surat Al-Baqarah, dan surat Thaha, yang terdiri atas
sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
c. Kisah Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat,
misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf, kisah Nabi
Shalih dalam surat Hud, dan lain-lain.193
193
Abdul Jalal, Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 301.
pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke
dalam jiwa.
6. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an, menunjukkan kebenaran Al-
Qur’an dan kisahkisahnya, karena segala apa yang dijelaskan Allah dalam Al-
Qur’an adalah benar.
7. Menanamkan pendidikan akhlaqul-karimah, karena kisah-kisah teladan
dapat meresap dalam hati nurani, mendidik kita supaya meneladani kisah-
kisah yang baik dan tidak mencontohi sikap yang buruk yang diperagakan
oleh orang-orang kafir, munafik dan musyrik dalam kisah-kisah tersebut.
Di antara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian kisah-kisah dalam al-
Qur'an seperti yang disebutkan oleh Ahmad Syadali dalam bukunya antara lain
sebagai berikut:
tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti .194
Adapun beberapa tokoh lain yang menyebutkan hikmah kisah di dalam Al-
194
Iffatul Ikhwan, Ulumul Qur’an, ( Tulungagung: 2014). h.9
195 https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-al-quran.html
ص لَ َعلم ُه ْم يَتَ َف مك ُرو َن
َ ص ِ ص
َ ص الْ َق ُ ْفَاق
“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al
A’raf: 176)
firman Allah
نيِِ ِ
َ ل ْل ُم ْؤمن
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah
yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang
banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah
para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut
berfikir.
Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu
terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat
ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.
terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar
kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para
RasulNya:
kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
perilaku buruk yang pernah dilakukan oleh kaum para nabi terdahulu. Di
kaum para nabi terdahulu di antaranya kaum Luth yang berlaku amoral
2) Iblis dan syetan sebagai musuh utama yang harus dijauhi. Kisah tentang
permusuhan Iblis dan Adam yang disebut dalam beberapa surat dapat
demikian juga dalam surah al-A’raf/7: 11-27. Dari apa yang dipaparkan Al-
3) Sifat lain yang harus dijauhi manusia adalah sifat sombong. Kisah yang
tepat untuk menjelaskan tentang hal ini adalah kisah Fir’aun. Apabila
ketika berhadapan dengan dakwah Nabi Musa, as. Kisah ini diulang di
196 Muhammad Ahmad Khalafullah, Al-Fann al-Qashash fil Qur’an al-Karim¸ 2010. h. 48
beberapa surah di antaranya adalah dalam surah Yunus/10: 75-92 surah al-
4. KESIMPULAN
Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat
yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa
lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik
dan mempesona.
Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an itu bermacam-macam, ada yang
menceritakan tentang Nabi-nabi dan Umat-umat terdahulu, ada yang
mengisahkan berbagai macam peristiwa yang terjadi di masa lalu, dan ada juga
hikayat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah.
Kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan bisa
terjadi di setiap masa dan di setiap tempat. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an memiliki
berbagai hikmah yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhrijal Ali Azhar, dkk. Kaidah dalam Memahami Kisah dalam Al-Qur’an
Perspektif Mutawalli Asysya’rawi. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto
Edisi: Januari-Juni. Vol. 5, No. 2, 2020.
Milya Sari dan Asmendri. Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam
Penelitian Pendidikan IPA. Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan
IPA 6, no 01, (2020).
Manna’ Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa. 2006
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, Seni Sastra dan Moralitas
dalam Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta Selatan: Paramadina, 2002
Abdul Jalal, Ulum Al-Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Iffatul Ikhwan. Ulumul Qur’an. Tulungagung: 2014.
https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-Al-Qur’an.html.
AMTSAL AL-QUR’AN
(amakjr21@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Instutut PTIQ Jakarta
(silmiyassifim@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Instutut PTIQ Jakarta
(alansorifuad14@gmail.com)
ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan kalam Ilahi yang memiliki banyak keindahan di dalamnya,
baik makna maupun bahasa. Salah satu keindahan bahasanya yaitu dari sisi
kandungan metaforanya atau disebut amtsal. Amtsal adalah suatu ibarat sebuah
ungkapan tentang sesuatu yang menyamai ungkapan lain karena adanya
kesamaan. Oleh sebab ini peneliti bertujuan untuk mendesripsikan macam-
macam Amtsal dalam Al-Qur’an, serta bagaimana urgensi adanya Amtsal dalam
Al-Qur’an. Melalui metode deskriptif dan penelitian kepustakaan, dapat
diketahui bahwa terdapat beberapa macam dalam amtsal diantaranya al-amtsal
al-musharahah, al-amtsal al-kaminah, dan amtsal mursalah. Sedangkan urgensi
adanya amtsal dalam Al-Qur’an diantaranya adalah matsal mendekatkan
gambaran mumatsalah, amtsal berfungsi sebagai suatu ajakan agar berfkir logis,
sebuah dorongan agar senantiasa berbuat baik, memberikan dorongan dan sikap
gemar melakukan kebaikan, digunakan untuk memuji atau untuk mencela
sesuatu perbuatan, kemudian amtsal digunakan untuk mempertajam daya nalar
manusia.
ABSTRACT
Al-Qur’an is a divine word that has a lot of beauty in it, both meaning and
language. One of the beauty of the language is in terms of metaphorical content or
called amtsal. Amtsal is like an expression of something that matches other
expressions because of similarities. For this reason, the researcher aims to describe
the types of Amtsal in the Quran, as well as the urgency of Amtsal in the Quran.
Through descriptive methods and library research, it can be seen that there are
several types in amtsal including alamtsal al-musharahah, al-amtsal al-kaminah,
and amtsal mursalah. While the urgency of amtsal in the quran includes the matsal
drawing the image of the mumatsalah, amtsal serves as an invitation to be logical,
an impulse to always do good, give encouragement and an attitude of love to do
good, used to praise or to denounce something, then amtsal used to sharpen the
power of human reasoning.
1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT (kalamullah) yang diwahyukan
kepada nabi Muhammad SAW melalui ruhul Amin, malaikat Jibril untuk
dijadikan pedoman hidup (way of life) bagi makhluknya di setiap ruang dan
waktu197. Al Qur’an QS. Al Baqarah:85 dan QS. al Isra’:9, juga secara eksplisit
berfungsi sebagai Hudan li al Nas yang akan mengantarkan dan mengarahkan
manusia ke jalan yang lurus. Dengan demikian, dalam memahami al Qur’an
sangatlah dibutuhkan ilmu tersendiri, yang dikenal dengan ulumul Qur’an.
Dimana dalam ilmu ini salah satu disiplinnya adalah ilmu amtsalul Qur’an. Atas
dasar hal tersebut penulis bermaksud mengeksplor amtsal al Qur’an untuk dari
segi macam-macam dan fungsinya dalam rangka lebih memperdalam upaya
pemahaman al Qur’an.
Sebagai kitab suci yang berlaku untuk semua zaman dan tempat, dan agar
tidak kehilangan universalitasnya, sehingga mampu berbicara dan memberikan
solusi dalam menjawab pelbagai problem kehidupan manusia, maka Al Qur’an
melalui tafsirnya perlu ditampilkan sebagai petunjuk yang selalu dirasakan
aktual, segar, dan up to date. Al Qur’an sendiri memberikan peluang yang
sebesar-besarnya kepada para mufassir198. Al Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesanya kepada manusia menggunakan uslub yang beraneka ragam. Hal
ini dimaksudkan agar petunjuk dan bimbingannya dapat dengan mudah diterima
dan merasuk ke dalam lubuk hati sanubari manusia. Di antara keunikan Al-
Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan kehidupan ialah model penyampaian
pesan yang singkat, mudah, dan jelas untuk difahami. Dan salah satu metode
tersebut adalah melalui ungkapan matsal (perumpamaan).
197
N Makrifah,” Pergeseran Unit dan Proses Penerjemahan dalam Buku Hadith and Hadith
Sciences”, Jurnal Al-Ibrah 5 (2020): 78-79.
198
F Faliyandra, “Model Komunikasi Pendidikan di Sosial Media Pada Era Perkembangan
Teknologi”, Islam Universalia 1, no. 3 (2020): 434-459
Amtsal sebagai salah satu gaya bahasa al Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesannya, menggugah manusia agar selalu menggunakan akal fikiranya
secara jernih dan tepat. Berdasarkan hal tersebut, diantara para ulama banyak
yang berusaha memfokuskan perhatianya untuk mengkaji gaya bahasa dan
redaksial Qur’an dalam bentuk amtsal tersebut serta mencari rahasia dibalik
ungkapan itu. Amtsal dalam al Qur’an merupakan visualisasi yang abstrak yang
dituangkan dalam berbagai ragam kalimat dengan cara menganalogikan sesuatu
dengan hal yang serupa dan sebanding, maka untuk dapat memahaminya secara
baik dan benar memerlukan pemikiran yang cermat dan mendalam serta harus
ditopang dengan penguasaan stilistik (ilmu Balaghah). Nilai sastra yang tertuang
di dalam untaian bahasa Al-Qur’an yang berupa amtsal adalah merupakan salah
satu kemukjizatan dari sekian banyak segi kemukjizatan al Qur’an. Oleh karena
itu nilai kegunaan sastra Al-Qur’an tidak dapat ditandingi oleh siapa pun dan
kapan pun juga, karena memang al Qur’an bukan produk insani199.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.201 Penelitian
kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data
berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku
199
S Khalil, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar l Ilmi Li al Milayin, 1972), 313.
200
M Ali, “Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an”, Tarbawiyah 10, (2013): 21-31.
201
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,”
Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
manusia yang dapat diamati.202 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan
studi kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg
menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang
diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian
dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.203 Studi kepustakaan
dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik
sebuah kesimpulan.
Kata amtsal merupakan bentuk jamak dari kata matsal. Kata matsal, matsil,
mitsl, adalah sama dengan syabah, syibh, syabih, baik lafadz maupun
maknanya.204 Secara etimologis mempunyai arti contoh atau bandingan. Maka
apabila membandingkan sesuatu dengan yang lain baik dari segi rupa, warna,
rasa dan lain-lain maka itu merupakan matsal. Al-Zamakhsyary dalam Tafsir al
Kasysyaf mengisyaratkan, setidaknya ada dua makna dari kata matsal tersebut,
yaitu : Pertama; matsal pada dasarnya dapat berarti al mitsal dan al-nadhir yang
berarti serupa atau sebanding/pasangan. Kedua; matsal termasuk isti’arah yakni
kata pinjaman yang berguna untuk menunjuk kepada keadaan sesuatu, sifat dan
kisah, jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.205
202
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
203
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
204
Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, cet ke-14
2016), 401.
205
M Nueryadien, “Metode Amtsal: Metode Al-Qur’an Membangun Karakter,” Jurnal Al-Tarbawi
Al-haditsah, 1, no. 1 (2017): 4.
berlainan dengan pengertian ungkapan itu menurut pemakaian asalya. Atau
dengan perkataan lain ungkapan itu tidak cukup dipahami secara tekstual, tetapi
harus mengartikannya sesuai dengan keadaan yang mengiringi ungkapan
tersebut.206
206
M Sayuti Ali, “Amtsal Al-Qur’an,” Jurnal Al-Qalam 11 (1996): 2.
207
M Ali, “Fungsi Perumpamaan Dalam AL-Qur’an,” Jurnal Tarbawiyah 10 (2013): 24.
ayat 43; bahwa “Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. Ayat ini
menggambarkan betapa sulitnya mengidentifikasi sekaligus memahami amtsal
yang ada dalam al-Qur'an.
Orang yang pertama kali mengarang ilmu Amtsalil Qur’an adalah syekh
Abdur Rohman Muhammad bin Husain an Naisaburi (wafat 604 H) dan
dilanjutkan oleh imam Abdul Hasan Ali bin Muhammad al Mawardi (wafat 450
H). Kemudian dilanjutkan Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Bashrin Ibnul
Qayyim al–Jauziyyah (wafat 754 H). Imam Jalaluddin As- Syuyuthi (wafat 991 H)
dalam bukunya al-Itqan juga menyediakan satu bab khusus yang membicarakan
Ilmu Amtsalil Qur’an dengan lima pasal didalamnya.209
1. Amtsal Musharrahah
Amtsal musharrahah atau dzahirah adalah amtsal yang di dalamnya
dengan tegas menggunakan lafadz-lafadz amisal atau tasybih. Amtsal jenis
208
M Sayuti Ali, “Amtsal Al-Qur’an,” Jurnal Al-Qalam 11 (1996): 1.
209
A Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu 2000), 314.
210
Lalu Muhammad Nurul Wathoni, Kajian Al-Qur’an Dalam Teks dan Konteks, (Mataram: Sanabil
Publisher, 2021) hal.187.
ini paling banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Seperti yang terdapat pada
(QS. Al-Baqarah ayat 17-20):
﴾۱۷﴿ ذهب هللا بنورهم وتركهم في ظلمت ل يبصرون,مثلهم كمثل الذي أستوقد نارا فلما أضاءت ما حوله
﴾ أو گصيب من السماء فيه ظلمت ورعد وبرق يجعلون أصبعهم في۱۸﴿ صم بكم على فهم ل يرجعون
﴾ يكاد البرق يخطفأبصرهم كلما أضاء لهم مشوا۱۹﴿ءاذانهم من الصواعق حذر الموت وهللا محيط بالكفرين
فيه وإذا أظلم عليهم قاموا ولو شاء هللا
﴾۲۰﴿لذهب بسمعهم وأبصرهم إن هللا على كل شيء قدي
﴾۵﴿مثل القوم الذين كذبوا ِبيت هللا وهللا ال يهدي القوم الظاملني
211
Farida Ani Wahyuni, Amtsal Fil Qur’an, (Tulung Agung: 2017) hal. 5-6.
yang tersebunyi, bukan amtsal lafdhi yang nampak jelas. Contoh amtsal
kaminah ini dapat dilihat dalam bentuk-bentuk berikut:
a. Seorang ulama mengatakan bahwa orang Arab tidak mengucapkan
suatu perumpamaan, kecuali karena ada persamaannya di dalam Al-
Qur'an. Ayat-ayat yang senada dengan perkataan, (sebaik-baik urusan
adalah yang sedang-sedang saja). Seperti dalam firman Allah,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 68 tentang sapi betina:
"...bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak
muda; pertengahan antara itu..." (QS. Al-Baqarah/2:68)
2) QS. Al-Furqan ayat 67 tentang nafkah:
والذين إذا أنفقوا َل يشرفوا وَل يقرتوا وكان بني ذلك قواما
وال َتعل يدك مغلولة إَل عنقك وال تبسطها كل البسط فتقعد ملوما حمسورا
...سبيَل وال َتهر بصَلتك وال َتافت َبا وابتغ بني ذلك
من يعمل سوءا جيز به وال جيد له من دون هللا وليا وال نصْيا...
212
Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an: Quranic Exploler, 2016, hal.52.
dan harus ditempatkan secara proporsional. Salah seorang ulama yang
bernama Ibn Syihab. pernah mengatakan bahwa janganlah kamu membuat
antsal dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi, baik dalam ungkapan
maupun perbuatan.
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa, amtsal
adalah perumpamaan yang berbentuk abstrak menuju pengertian yang kongkrit
untuk mencapai tujuandan mengambil hikmah dari perumpamaan tersebut baik
berupa ungkapan, gambaran, maupun Gerakan.
Amtsal dalam alquran ada tiga macam:
1. Amtsal al musharrahah
2. Amtsal kaminah
3. Amtsal mursalah
Para ahli dalam menetapkan apakah sebuah ayat mengandung matsal atau
tidak ditemukan adanya perbedaan, hal tersebut semata-mata karena
masalah matsal itu adalah masalah ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Makrifah, N. ” Pergeseran Unit dan Proses Penerjemahan dalam Buku Hadith and
Hadith Sciences”, Jurnal Al-Ibrah 5 (2020)
Wathoni, Lalu Muhammad Nurul. Kajian Al-Qur’an Dalam Teks dan Konteks,
Mataram: Sanabil Publisher, 2021.
(suryadinomi@gmail.com)
2Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta
(khairanafilzah15@gmail.com)
ABSTRAK
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
2. METODE
216
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2006), hlm.
414
217
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sumpah
218
Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah, 1956), hlm. 664
a. Huruf waw ()و, seperti dalam Surat: Az-Zariyat [51]: 23:
ۤ
ض اِنمهٗ َْلَق ِمثْ َل َما اَنم ُك ْم تَ ْن ِط ُق ْو َن
ِ ب ال مس َما ِء َو ْاالَْر
ِ فَور
ََ
Artinya: Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang
dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan. (Q.S. Az-
Zariyat [51]: 23)
ۗ ِ ِ ِ
َٰه ْم ََت ََّٰللِ لَتُ ْسَلُ من َع مما ُكْن تُ ْم تَ ْف َرتُْو َن
ُ َوَْجي َعلُ ْو َن ل َما َال يَ ْعلَ ُم ْو َن نَصْي بًا ِمما َرَزقْ ن
Artinya: Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak
mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, kamu pasti akan ditanyai
tentang apa yang telah kamu ada-adakan. (Q.S. An-Nahl [16]: 56)
c. Huruf ba (ْب
ِ ), misalnya dalam Surayt: al-Qiyamah [75]: 1,
ِ َ ِال فَبِعِمزت
ني ُ ك َالُ ْغ ِويَن
َ ْ مه ْم اَ ْمجَع َ َق
ِ َال اُقْ ِس ُم بِيَ ْوِم الْ ِق َٰي َم ِة َوَال اُقْ ِس ُم ِِبلنم ْف
س اللم مو َام ِة
219
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2006), hlm.
414
Terdapat perbedaan pendapat dalam memaknai ayat ini. Sebagian
mengatakan, bahwa “la” pada dua ayat tersebut, yang menafikan
sesuatu, bukan “la” untuk qasam, tetapi la nafiah yang menafikan
sesuatu yang mahzhuf (fiil-nya dihilangkan). Ada yang menyatakan
bahwa “la” di sini adalah “la” zaidah (tambahan).
b. Qasam Mudhmar
Artinya: Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti
kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari
orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan. (Q.S. Ali
Imran [3]: 186)
Huruf lam pada ayat: اس ِ َّ لَتُبَ ِينُنَّه ِللنadalah “lam qasam”, dan
kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhadzallahu
mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).
d. Unsur-Unsur Aqsam
a. Sighat Qasam
ۗ ِِ
ِ ت بَ َٰلى َو ْع ًدا َعلَْي ِه َحقًّا موَٰلكِ من اَ ْكثَ َر الن
ماس َال يَ ْعلَ ُم ْو َن ُ َواَقْ َس ُم ْوا ِِب ََّٰللِ َج ْه َد اَْْيَاهن ْم َال يَْب َع
ُ ث َٰاَّللُ َم ْن مْيُْو
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang
sungguh-sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang
mati.” Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya),
sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui, (Q.S. An-Nahl [16]: 38)
b. Muqsam Bih
Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah Swt.
Sumpah dalam Al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama Allah
Swt dan adakalanya menggunakan nama-nama ciptaan-Nya. Aisyah
binti Abd Rahman binti Syathi’ dalam Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-
Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa qasam yang menggunakan
nama Allah Swt dalam Al-Qur’an hanya terdapat dalam tujuh
tempat, yaitu Surah An-Nisa ayat 65, Surah Yunus ayat 53, Surah Al-
Hijr ayat 92, Surah Maryam ayat 68, Surah Saba’ ayat 3, Surah At-
Taghabun ayat 7, Surah Al-Ma’arif ayat 40.
Berikut ini contoh dari Muqsam Bih yang terdapat dalam Q.S:
Yunus sebagai berikut:
ْۢ
ك اَ َحق ُه َو ۗ قُ ْل اِ ْي َوَرِ ْيب اِنمهٗ َْلَق ۗ َوَما اَنْتُ ْم ِِبُْع ِج ِزيْن نو ِ
َ َ ُْ ْ ََويَ ْست
ب ن
ُّج ْوِم ِ ِ ِ
ُ فَ ََل اُقْس ُم ِبََٰوق ِع الن
Artinya: Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-
bintang. (Q.S. al-Waqiah [56]: 75)
c. Muqsam ‘Alaih
Muqsam ‘Alaih kadang juga disebut “jawab qasam”. Muqsam
‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam,
berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Dengan kata lain,
pernyataan yang karenanya qasam diucapkan. Dalam Al-Qur’an
terdapat dua muqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas
dan yang dihilangkan.
ۗ ِ ِِ ِ ِ والْ َفج ِر ولَي ٍال ع ْش ٍر موال مش ْف ِع والْوتْ ِر والمي ِل اِذَا يس ِۚر هل
َ ك قَ َس ٌم لذ ْي ح ْج ٍر اَََلْ تَ َر َكْي
ف فَ َع َل َ ِف َٰذل
ْ َْ َْ َْ ََ َ ََ ْ َ
ك بِ َع ٍۖاد
َ َُّرب
Artinya: Demi fajar, demi malam yang sepuluh, demi yang
genap dan yang ganjil, demi malam apabila berlalu. Adakah
pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima)
bagi orang-orang yang berakal? Tidakkah engkau (Muhammad)
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum)
‘Ad? (Q.S. al-Fajr [89]: 1-6)
KESIMPULAN