Anda di halaman 1dari 215

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/362167038

Buku Kumpul Jurnal Ulumul Quran

Book · July 2022

CITATIONS READS

0 72

1 author:

Fakhri Putra Tanoto


UIN Sunan Gunung Djati Bandung
24 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tahfizh Dulido Mobile View project

Quran Live Chat View project

All content following this page was uploaded by Fakhri Putra Tanoto on 21 July 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KUMPULAN JURNAL ‘ULUMUL QUR’AN
Dosen Pengampu:
Dr. Agus Tasbih, M.M.

Disusun Oleh: 1D Manajemen Pendidikan Islam


Editor: Fakhri Putra Tanoto, S.Ag.

Jurnal 1: Pengertian Ulumul Qur’an Sejarah dan Perkembangan Studi Ilmu Al-Qur’an
Jurnal 2: Sejarah Perkembangan Tafsir dan Sejarah Metodologi Tafsir
Jurnal 3: Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah dan Sahabat
Jurnal 4: Sejarah Penyimpangan Tafsir dan Macam-Macamnya
Jurnal 5: Ilmu Tartib Suwar I
Jurnal 6: Ilmu Tartib Suwar II
Jurnal 7: Fawatih Suwar
Jurnal 8: Ilmu Munasabah
Jurnal 9: Al-Qur’an dalam Tujuh Huruf dan Pendapat Para Ulama
Jurnal 10: Al-Qur’an Sebagai Ilmu Pengetahuan dan Diskursus Seputar Para Ulama
Jurnal 11: Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an
Jurnal 12: Amtsal Al-Qur’an
Jurnal 13: Aqsam Dalam Al-Qur’an dan Macam serta Unsurnya

PROGRAM STUDI MAGISTER


MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PTIQ JAKARTA
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan Buku Kumpulan Jurnal ‘Ulumul Qur’an ini dengan baik. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup menyelesaikan penyusnan buku ini.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad Saw yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat.
Buku ini berisikan materi perkuliahan yang sudah dibahas dan dipresentasikan bersama
oleh Mahasiswa/i Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam Kelas D 2021/2022.
Terdapat 13 materi pembahasan yang tersusun rapih, sehingga pembaca dapat mempelajari isi
dari buku ini dan dapat mengambil manfaatnya.
Sebagai Dosen Pengampu mata kuliah ini, saya ucapkan terima kasih kepada para
mahasiswa yang sudah mengikuti perkuliahan dengan baik hingga akhirnya buku ini dapat
disusun dan menjadi acuan pembelajaran tentang kajian ‘Ulumul Qur’an.

Jakarta, 1 Januari 2022

Dr. Agus Tasbih, M.M.


DAFTAR MAHASISWA
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2021/2022

NO NIM NAMA MAHASISWA EMAIL MAHASISWA


1 212520032 Satori satorisafa@yahoo.com
2 212520035 Sulton Ahmad Lubis sultonahmadl45@gmail.com
3 212520037 Teguh Hartadi sayaadalahteguh@gmail.com
4 212520040 Adha Santri Madani almadaniadha@gmail.com
5 212520041 Adi Rizaldi ridwanadirizaldi6@gmail.com
6 212520042 Ahmad Mubarak amakjr21@gmail.com
7 212520043 Ahmad Suryadi suryadinomi@gmail.com
8 212520044 Akhmad Muzaeni muzaenia49@gmail.com
9 212520045 Amri Lukmanul Hakim amri.lukmanhakim@gmail.com
10 212520047 Dede Among dedeamong.da@gmail.com
11 212520050 Fakhri Putra Tanoto fakhriputra12@gmail.com
12 212520053 Firman Al ‘Amin firman.alamin2901@gmail.com
13 212520054 Fuad Al Ansori valansorifuad14@gmail.com
14 212520062 Khairana Filzah Faradis khairanafilzah15@gmail.com
15 212520065 Mughni Azizzah mughniazizzah19@gmail.com
16 212520067 Nelly Nur Asmah nellynurasmah98@gmail.com
17 212520068 Nely Mardiah mardiahnelly9@gmail.com
18 212520069 Nisa Halwati nisahalwati2@gmail.com
19 212520077 Sari Sartika Lubis sarisartika98.ss@gmail.com
20 212520078 Silmi Yassifi Maspupah silmiyassifim@gmail.com
PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN STUDI ILMU AL-QUR’AN

Khairana Filzah Faradis,1 Fakhri Putra Tanoto,2


Firman Al-amin,3 Achmad Mubarak4
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(khairanafilzah15@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(fakhriputra12@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(firman.alamin2901@gmail.com)
4
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(amakjr21@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai pengertian Ulumul
Qur’an, sejarah dan perkembangan studi ilmu Al-Qur’an. Metode penelitian ini
bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta
studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Ulumul Qur’an
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Az-
Zarqani, serta menerangkan sejarah mulai dari ruang lingkup dan pokok bahasan.
Penelitian ini memiliki signifikasi untuk pengembangan diskursus Ilmu Al-Qur’an,
mengingat diskursus mengenai Ulumul Qur’an sangatlah banyak. Kesimpulan pada
penelitian ini adalah kajian tentang Ulumul Qur’an memiliki peran penting dalam
memahami Al-Qur’an secara sistematis dan komprehensif.

ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the meaning of Ulumul Qur'an, the history and
development of the study of Qur'anic science. This research method is qualitative by using
descriptive method through theoretical analysis and literature study. The results of this study
conclude that Ulumul Qur'an is a science that discusses the Qur'an as explained by Az-
Zarqani, and explains the history of the scope and subject matter. This research has significance
for the development of the Qur'anic Science discourse, considering that the discourse on the
Ulumul Qur'an has a lot of lightening. The conclusion of this research is the study of Ulumul
Qur'an has an important role in understanding the Qur'an systematically and
comprehensively.

Keyword: Ulumul Qur’an, Sejarah, Tokoh


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. Al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun yang menjadi masalah dan pangkal
perbedaan adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami Al-
Qur’an. Karena pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun
orang Arab sendiri, mampu memahami dan menangkap pesan Ilahi yang terkandung
di dalam Al-Qur’an secara sempurna. Terlebih orang ajam (non-Arab). Bahkan
sebagian para sahabat nabi, dan tabi’in yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi,
masih ada yang keliru menangkap pesan Al-Qur’an.
Kesulitan-kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan ulama generasi
berikutnya akan kelangsungan dalam memahami Al-Qur’an. Mereka merasa perlu
membuat rambu-rambu dalam memahami Al-Qur’an. Terlebih lagi penyebaran Islam
semakin meluas, dan kebutuhan pada pemahaman Al-Qur’an menjadi sangat
mendesak. Hasil jerih payah para ulama itu menghasilkan cabang ilmu Al-Qur’an
yang sangat banyak. Adanya permasalahan tersebut menjadi urgensi dari ilmu-ilmu
Al-Qur’an sebagai sarana menggali pesan Tuhan, serta untuk mendapat pemahaman
yang benar terhadap Al-Qur’an.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.1 Penelitian kualitatif
dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa
deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang
dapat diamati.2 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi kepustakaan.
Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg menjadiikan teori
sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang diteliti. Analisis teori
digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian dikonstruksikan menjadi
deskripsi yang argumentatif.3 Studi kepustakaan dipakai untuk memperkaya literatur
penelitian, agar kemudia dapat ditarik sebuah kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dua kata,
yaitu ulum dan Al-Qur’an. Kata ‘ulum secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata
ilmu, yang berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman. Ilmu merupakan bentuk mashdar
yang artinya pengetahuan dan pemahaman. Maksud dari pengetahuan ini sesuai
dengan makna dasarnya, yaitu “al-fahmu wa al-idrak“ (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian pengertiannya dikembangkan pada berbagai masalah yang beragam

1
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre-
Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
2
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
3
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
dengan standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’I bi haqiqatih“ (mengetahui
dengan sebenarnya).4
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari bahasa Arab ‫ قرآن‬- ‫ قرأ – يقرأ‬yang merupakan
isim mashdar yaitu artinya bacaan. Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa
walaupun kata Al-Qur’an adalah mashdar (bacaan), namun Al-Qur’an bermakna
maf’ul (yang dibaca). Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang didalamnya terkandung
bacaan dan isi yang menarik untuk dijadikan studi sehingga melahirkan berbagai
macam pengetahuan diantaranya adalah Ulumul Qur’an.
Gabungan kata ‘Ulum dengan kata Al-Qur’an memperlihatkan adanya
penjelasan tentang jenis-jenis ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Al-
Qur’an; ilmu yang bersangkutan dengan pembelaan tentang keberadaan Al-Qur’an
dan permasalahannya; berkenaan dengan proses hukum yang terkandung di
dalamnya; berkenaan dengan penjelasan bentuk mufradat dan lafal Al-Qur’an.
Abdurrahman mengemukakan bahwa Ulumul Qur’an mempunyai arti yaitu
sebagai idlofi dan istilah. Secara idlofi kata “Ulum” di-idlofahkan kepada Qur’an. Maka,
mempunyai pengertian yang sangat luas sekali, yaitu segala ilmu yang relevansinya
dengan Al-Qur’an.5 Pengertian Ulumul Qur’an secara istilah memiliki definisi yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan pada fokus masing-masing keilmuan dari para ahli.
Secara istilah para ulama telah merumuskan beberapa definisi Ulumul Qur’an ini.
1. Menurut Az-Zarqani
Pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi
turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya,
penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh mansukhnya, dan penolakan
terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan
lain sebagainya.6
2. Menurut Manna’ al-Qaththan
Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya,
pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-
ayat Makiyah dan Madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih dan
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.7
3. Menurut Ali ash-Shabuni
Pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan kitab yang mulia ini dari
segi turunnya, pengumpulannya, penertibannya, pembukuannya, mengetahui
sebab turunnya. Makiyah dan Madaniyahnya, nasikh mansukhnya, muhkam

4
Acep Hermawan, ’Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), 1-2.
5
U. Abdurrahman, Ulum Al-Quran I (Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1995), 1.
6
Az-Zarqani dan Abd Al-adhim, Manahil Al-Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’An (Beirut: Dar Al-Fikr, 2013), 23.
7
Manna Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An (Riyad: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973), 15-16.
dan mutasyabihnya dan lain-lain pembahasan yang berkaitan dengan Al-
Qur’an.8
Dari definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa Ulumul Qur’an merupakan
gabungan dari sejumlah pembahasan ilmu-ilmu yang pada mulanya berdiri sendiri.
Pembahasan ilmu-ilmu ini mempunyai hubungan yang erat dengan Al-Qur’an, baik
dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia. Oleh karena itu
dapatlah dikatakan bahwa Ulumul Qur’an ini mempunyai ruang lingkup
pembahasan yang sangat luas.
Secara istilah pengertian Ulumul Qur’an lebih menekankan pada ilmu-ilmu
yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi
Qur’aniyah atau segi hidayah dan i’jaznya. Dengan demikian Ulumul Qur’an
menekankan pada konteks Diniyah dan hal-hal yang terkandung dalam kitab suci
tersebut.

3.2 Diskurus Seputar Sejarah dan Perkembangan Studi Ulumul Qur’an


Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya.9 Menurut Rosihon Anwar,
sejarah dan perkembangan ulumul qur’an dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase
sebelum kodifikasi dan fase kodifikasi.10
1. Fase Sebelum Koodifikasi
Sebagaimana disebutkan dalam definisi Al-Qur’an di atas, Al-Qur’an adalah
kitab suci umat Islam, diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam dalam bahasa Arab untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai
petunjuk kepada jalan yang lurus sehingga mereka keluar dari kegelapan dan
kejahilan. Para sahabat nabi adalah orang-orang pertama yang menerima Al-
Qur’an langsung dari Nabi Muhammad Saw segera setelah Rasulullah
menerimanya dari Jibril.11
Pada fase sebelum koodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah
merupakan benih yang kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih
ada. Hal itu ditandai dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-
Qur’an dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi di antara mereka ada kebiasaan
untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum benar-benar dapat memahami
dan mengamalkan ayat yang sedang dipelajarinya.12
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan penafsir utama dan
pertama Al-Qur’an. Allah menurunkan kepadanya Al-Qur’an dan mengajarkan
segala sesuatu yang belum diketahuinya. karena itu, itu selama nabi dan para
sahabat besar yang banyak menerima pengajaran Al-Qur’an dari nabi masih hidup,

8
Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, At-Tibyah Fi ‘Ulumil Qur’An (Beirut: ’Alimul Kutub, 1985), 8.
9
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 3.
10
Rosihon Anwar, Ulum AL-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
11
Azyumardi Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), 41.
12
Anwar, Ulum AL-Qur’an.
belum ada kebutuhan untuk menulis buku-buku tentang ilmu Al-Qur’an. Ada
beberapa alasan mengapa para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad tidak
menulis apa yang mereka terima dari nabi, yang berkenaan dengan ilmu-ilmu Al-
Qur’an, diantaranya adalah:
a. Para sahabat nabi, sebagaimana umumnya orang-orang Arab ketika itu,
memiliki daya hafal yang sangat kuat. apa yang mereka terima dari nabi
mereka simpan dalam ingatan mereka, dan mereka mampu
mengungkapkannya kembali segera ketika dibutuhkan.
b. Sebagian besar sahabat nabi adalah orang-orang yang buta aksara.
c. Alat tulis menulis ketika itu tidak mudah didapat.
d. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Rasulullah Saw sendiri melarang
sahabatnya menulis sesuatu yang bukan Al-Qur’an. dalam hal ini Nabi
Muhammad bersabda: “ Janganlah kalian menulis sesuatu tentang diriku.
Siapa yang sudah menulis tentang diriku, bukan Al-Qur’an, andalah
menghapusnya. Tidak ada salahnya kalian membicarakan diriku. namun
siapa yang dengan sengaja berbicara bohong tentang diriku, maka dia akan
menempati tempatnya di dalam neraka” (HR. Muslim). Larangan ini timbul
karena kekhawatiran akan tercampurnya Al-Qur’an dengan hal-hal lain yang
bukan Al-Qur’an.13
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq, naskah naskah Al-Qur’an yang
ditulis para sekretaris Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dikumpulkan menjadi satu
dan disimpan. baru pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, naskah itu
dikeluarkan untuk ditulis ulang dan disusun kembali. naskah Al-Qur’an yang baru
ditulis ulang itu kemudian dijadikan sebagai naskah standar (induk), yang
kemudian dikenal sebagai Al Mushaf Al Utsmani. dalam hal ini, Usman telah
meletakkan dasar ilmu rasm Al Quran (ilmu tentang bentuk tulisan Al-Qur’an)
atau ‘ilm al-Rasm al-Utsmani (Ilmu tentang bentuk tulisan yang disetujui Usman),
suatu cabang Ulumul quran dari segi bentuk tulisannya.
Penulisan naskah standar dan pengirimannya ke daerah-daerah itu tu
dilakukan atas usul Hudzaifah ibn Yaman yang melihat perselisihan antara
penduduk Syam dan Irak dalam hal bacaan Al-Qur’an. perbedaan bacaan Al-
Qur’an merupakan embrio dari ilmu Qiro’ah, yaitu ilmu yang membahas aliran-
aliran dalam melafadzkan Al-Qur’an. Di samping itu, untuk memelihara ke
lurusan bahasa Al-Qur’an, Ali bin Abi Thalib menginstruksikan kepada Abu Al
Aswad Ad-Du’ali (w. 69 H/688 M) Untuk menyusun tata bahasa Arab sesuai
dengan naskah Al-Qur’an. dengan instruksi itu Ali bin Abi Tholib sebenarnya
mendorong munculnya nya Ilmu I'rab Al-Qur’an, suatu cabang Ulumul Quran
yang mengkaji Al-Qur’an dari segi tata bahasanya.14
Rosihon Anwar menyebutkan, para perintis ‘Ulum Al-Qur’an pada abad I atau
sebelum koodifikasi adalah sebagai berikut:

13
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an.
14
Ibid, 43.
a. Dari kalangan sahabat: Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah Bin Masud, Zaid
bin Tsabit, Ubay Bin ka'ab, Abu Musa Al Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.
b. Dari kalangan tabiin: Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, ikrimah, qatadah,
Hasan Al bashri, Said bin Zubair, Alqamah bin Qais, dan Zaid bin Aslam.
c. Dari kalangan tabiut tabiin: Malik bin Anas.15
Mereka semua berjasa meletakkan dan mengembangkan dasar ilmu-ilmu yang
menjadi bagian dari kajian Ulumul Qur’an. ilmu-ilmu itu adalah ilmu Asbabun
Nuzul ( ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an), ilmu Al Makki wal
Madani ( ilmu tentang pengelompokan surah-surah Al-Qur’an ke dalam surah-
surah atau ayat-ayat Makiyah yang turun setelah hijrah atau ketika Nabi tinggal di
Mekkah dan surah-surah atau ayat-ayat Madaniyah yang turun setelah Nabi hijrah
ke Madinah.)16
2. Fase Kodifikasi
Pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an juga ilmu-ilmu lainnya belum
dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya yang sudah
dikodifikasikan saat itu hanyalah Al-Qur’an. Fenomena itu terus berlangsung
sampai ketika Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad Ad-Du’ali untuk
menulis ilmu nahwu. Perintah Ali inilah yang membuka gerbang pengodifikasian
ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengodifikasian itu semakin marak dan meluas
ketika Islam berada di tengah pemerintahan Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiah
pada periode-periode awal pemerintahannya.17
a. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad II H
Zaman kodifikasi tercatat pada abad 2 Hijriyah, Pada masa itu mulai pula
dibukukan hadis dengan bab-bab yang beraneka ragam, termasuk pula yang
berkaitan dengan tafsir, Sebagian ulama mengumpulkan riwayat dari
Rasulullah tentang Tafsir Al-Qur’an, sahabat maupun tabi’in. Di antara mereka
yang terkenal ialah Yazid bin Harun as-Sulma, (w.117H), Syu’bah bin al-Hujjaj
(w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), dan
Abdurrazzaq bin Himam (w. 211 H). Mereka semua adalah imam-imam hadits,
pengumpulan tafsir mereka merupakan pengumpulan tafsir dari berbagai bab.
Sayangnya, tafsir-tafsir yang mereka tulis tidak dapat kita temukan.18
Menyusul setelah mereka adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H/923 M).
Kitab tafsir karya al-Thabari dikenal sebagai kitab tafsir pertama yang paling
bermutu, karena di samping memuat hadis-hadis tafsir, pendapat-pendapat
tafsir para sahabat dan tabi’in, juga memuat kajian i’rab (tata bahasa) Al-
Qur’an.19

15
Anwar, Ulum AL-Qur’an, 19.
16
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an, 44.
17
Anwar, Ulum AL-Qur’an.
18
Salahuddin Hamid, Studi Ulumul Qur’an (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2002), 26-30.
19
Azra, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an.
b. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad III H
Pada abad ke-3 hijriah. Selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama menyusun
pula beberapa ilmu Al-Qur’an, di antaranya:
1) ‘Ali bin al-Madini (w. 234 H), gurunya Imam al-Bukhari, yang menyusun
ilmu Asbab an-Nuzul.
2) Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam (w. 224 H) yang menyusun Ilmu Nasikh wa
al-Mansukh, Ilmu Qira’at dan Fadha’il Al-Qur’an.
3) Muhammad bin Ayyub adh-Dhuraits (w. 294 H) yang menyusun Ilmu
Makki wa al-Madani.
4) Muhammad bin Khalaf al-Marzuban (w. 309 H) yang menyusun kitab Al-
Hawi fi ‘Ulum Al-Qur’an.20
c. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad IV H
Pada abad ke-4 mulai disusun ilmu Gharib Al-Qur’an dan beberapa kitab
‘Ulum Al-Qur’an dengan memakai istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Di antgara ulama
yang menyusun ialah:
1) Abu Bakar as-Sijistani yang menyusun kitab Gharib Al-Qur’an.
2) Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim yang menyusun kitab ‘Ajaib ‘Ulum Al-
Qur’an.
3) Abu al-Hasan al-Sya’ari yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
4) Abu Muhammad al-Qassab Muhammad bin Ali al-Khurki yang menyusun
kitab Nukat Al-Qur’an ad-Dallah ‘ala Bayan fi Anwa’ al-‘Ulum wa al-Ahkam al-
Munbi’ah ‘an Ikhtilaf al-Anam.
5) Muhammad bin Ali al-Adfawi yang menyusun kitab Al-Istighna fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
d. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad V H
Pada abad ke-5 mulai disusun ilmu I’rab Al-Qur’an dalam satu kitab. Di
antara ulama yang berjasa dalam pengembangan ‘Ulum Al-Qur’an pada masa
ini adalah:
1) ‘Ali bin Ibrahim bi Sa’id al-Hufi. Selain mempelopori penyusunan I’rab Al-
Qur’an, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
2) Abu Amr ad-Dani yang menyusun kitab At-Taisir fi Qira’at as-Sab’i dan kitab
Al-Muhkam fi an-Naqth.
e. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VI H
Pada abad ke-6 di samping terdapat ulama yang meneruskan
pengembangan ‘Ulum Al-Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun
Ilmu Mubhamat Al-Qur’an, di antaranya adalah:
1) Abu al-Qasim bin ‘Abdurrahman as-Suhaili yang menyusun kitab Mubhamat
Al-Qur’an. Kitab ini menjelaskan maksud kata-kata Al-Qur’an yang “tidak
jelas” apa atau siapa yang dimaksudkan.

20
Anwar, Ulum AL-Qur’an, 20.
2) Ibn al-jauzi yang menyusun kitab Funun al-Afnan fi ‘Ajaib Al-Qur’an dan
kitab Al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
f. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VII H
Pada abad ke-7 ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai
tersusunnya Ilmu Majaz Al-Qur’an dan Ilmu Qira’at. Di antara ulama yang besar
perhatiannya terhadap ilmu-ilmu ini adalah:
1) Alamuddin as-Sakhawi. Kitabnya mengenai Ilmu Qira’at dinamai Hidayat al-
Murtab fi Mutasyabih.
2) Ibn ‘Abd as-Salam yang terkenal dengan nama Al-‘Izz yang memelopori
penulisan Ilmu majaz Al-Qur’an dalam satu kitab.
3) Abu Syamah yang menyusun kitab Al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Qur’an
Tata’allaq bi Al-Qur’an al-‘Aziz.
g. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad VIII H
Pada abad ke-8 muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru
tentang Al-Qur’an, sedangkan penulisan kitab-kitab Ulum Al-Qur’an terus
berjalan. Di antara mereka adalah:
1) Ibn Abi al-Isba’ yang menyusun Bada’i Al-Qur’an, suatu ilmu yang
membahas macam-macam bad’i (keindahan bahasa dan kandungan dalam
Al-Qur’an).
2) Ibn al-Qayyim yang menyusun Ilmu Aqsam Al-Qur’an, suatu ilmu yang
membahas sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3) Najmuddin ath-Thufi yang menyusun Ilmu Hujaj Al-Qur’an atau Ilmu Jadal
Al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas bukti-bukti atau argumentasi-
argumentasi yang dipakai Al-Qur’an untuk menetapkan sesuatu.
4) Abu al-Hasan al-Mawardi, yang menyusun Ilmu Amtsal Al-Qur’an, suatu
ilmu yang membahas perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalam
Al-Qur’an.
5) Badruddin az-Zarkasyi yang menyusun kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
6) Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah al-Harrani yang menyusun kitab Ushul al-
Tafsir.
h. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad IX dan X H
Pada abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 makin banyak karangan yang
ditulis ulama tentang ’Ulum Al-Qur’an. Pada masa ini, perkembangan ‘Ulum Al-
Qur’an mencapai kesempurnaannya. Di antara uilama pada masa ini ialah:
1) Jalaluddin al-Bulqini yang menyusun kitab Mawaqi’ al-‘Ulum min Mawaqi’ al-
Nujum. Al-Bulqini dipandang Asy-Syuyuthi sebagai ulama yang
mempelopori penyusunan kitab ‘Ulum Al-Qur’an yang lengkap.
2) Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji yang menyusun kitab At-Taisir fi
Qawa’id at-Tafsir.
3) Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi, yang menyusun
kitab Ath-Tahbir fi ‘Ulum at-Tafsir. Penyusunan kitab ini selesai pada tahun
872 H dan merupakan kitab ‘Ulum Al-Qur’an yang paling lengkap karena
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an.
i. Perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an Abad XIV H
Setelah memasuki abad ke-14 bangkitlah kembali perhatian ulama dalam
penyusunan kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi.
Kebangkitan ini di antaranya dipicu oleh kegiatan ilmiah di Universitas Al-
Azhar Mesir, terutama ketika universitas ini membuka jurusan-jurusan bidang
studi yang menjadikan tafsir dan hadis sebagai salah satu jurusannya.
Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama
abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Pengembangan itu di
antaranya berupa penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa ‘Ajam. Pada
abad ini perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an diwarnai oleh usaha-usaha
menebarkan keraguan di seputar Al-Qur’an yang dilakukan oleh kalangan
orientalis atau oleh orang Islam sendiri yang dipengaruhi orientalis.

3.3 Ruang Lingkup dan Pokok Bahasan Ulumul Qur’an


Pembahasan dalam Ulumul Qur’an sangat banyak sekali. Dalam kitab Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur’an karangan As-Suyuti (w.911 H) terdapat 80 macam ilmu tentang Al-
Qur’an, bahkan menurutnya jumlah tersebut masih dapat dibagi hingga mencapai 100
macam atau bahkan lebih.21
Pendapat yang sering digunakan sebagai rujukan atau termasyhur adalah dari
M. Hasby As-Shiddiqy yang membagi ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an
menjadi enam persoalan, dan tiap persoalan memiliki cabang-cabang pembahasan
tersendiri.
1. Persoalan Turunnya Al-Qur’an (Nuzul Al-Qur’an)
Persoalan ini menyangkut tiga hal:
a. Waktu dan tempat turunnya Al-Qur’an
b. Asbabun nuzul
c. Tarikh Al-Qur’an
2. Persoalan Sanad (Rangkaian Para Periwayat)
Persoalan ini menyangkut enam hal:
a. Riwayat Mutawatir
b. Riwayat Ahad
c. Riwayat Syadz
d. Macam-macam Qir’at Nabi
e. Para perawi dan penghafal Al-Qur’an
f. Tahammul
3. Persoalan Qiraat
Persoalan ini menyangkut 6 hal:
a. Cara berhenti (waqaf)
b. Cara memulai (ibtida’)
c. Imalah
d. Bacaan yang dipanjangkan (madd)

21
Jalaludin As-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), 18.
e. Meringankan bacaan hamzah
f. Memasukkan bunyi huruf yang sukun kepada bunyi sesudahnya (idhgam)
4. Persoalan kata-kata Al-Qur’an
Persoalan ini menyangkut 6 hal:
a. Kata-kata Al-Qur’an yang asing (gharib)
b. Kata-kata Al-Qur’an yang berubah-ubah harakat akhirnya (mu’rob)
c. Kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai makna serupa (homonym)
d. Padanan kata-kata Al-Qur’an (sinonim)
e. Isti’arah
f. Penyerupaan (tasybih)
5. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
Persoalan ini menyangkut 15 hal:
a. Makan umum (‘am) yang tetap dalam keumumannya
b. Makan umum (‘am) yang dimaksudkan makna khusus
c. Makan umum (‘am) yang maknanya dikhususkan sunnah
d. Nash
e. Makna lahir
f. Makna global (mujmal)
g. Makan yang diperinci (mufashshal)
h. Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq)
i. Makan yang dapat di pahami dari konteks pembicaraan (mafhum)
j. Nash yang petunjukknya tidak melahirkan keraguan (muhkam)
k. Nash yang musykil ditafsirkan karena terdapat kesamaran di dalamnya
(mutasyabih)
l. Nash yang maknanya tersembunyi karena suatu sebab yang terdapat pada
kata itu sendiri (musykil)
m. Ayat yang menghapus dan dihapus (nasikh-mansukh)
n. Yang didahulukan (muqaddam)
o. Yang diakhirkan (mu’akhakhar)
6. Persoalan makna-makna Al-Qur’an yang berpautan dengan kata-kata Al-
Qur’an
Persoalan ini menyangkut 6 hal:
a. Berpisah (fashl)
b. Bersambung (washl)
c. Uraian singkat (i’jaz)
d. Uraian panjang (ithnab)
e. Uraian seimbang (muSawah)
f. Pendek (qashr)
Sedangkan pokok bahasan dalam Ulumul Qur’an menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag., yaitu:22
a. Ilmu adab tilawat Al-Qur’an
b. Ilmu tajwid
c. Ilmu mawathin an-nuzul
d. Ilmu tawarikh an-nuzul
e. Ilmu asbab an-nuzul
f. Ilmu qira’at
g. Ilmu gharib Al-Qur’an
h. Ilmu i’rab Al-Qur’an
i. Ilmu wujuh wa an-nazha’ir
j. Ilmu ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
k. Ilmu nasikh wa al-mansukh
l. Ilmu bada>’i Al-Qur’an
m. Ilmu i’jaz Al-Qur’an
n. Ilmu tanasub ayat Al-Qur’an
o. Ilmu aqsam Al-Qur’an
p. Ilmu amtsal Al-Qur’an
q. Ilmu jadal Al-Qur’an

Kajian-kajian di atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam bahasan


Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, pembahasan yang komprehensif tentang kajian
Ulumul Quran mempengaruhi kualitas pemahaman Al-Qur’an.

3.4 Tokoh-Tokoh Yang Menonjol dalam Bidang Ulumul Qur’an


Dalam perkembangannya ilmu-ilmu Al-Qur’an di masa Rasulullah, Abu
Bakar Dan Umar Disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah, dari mulut ke
mulut. pada masa pemerintahan Utsman, mulailah bangsa Arab
bekerjasama dengan bangsaan Ajam. utsman menyuruh para sahabat dan para
umatnya supaya berpegang kepada mushaf al-imam Dan dari musyhaf itu
diperbanyak yang dikirim ke ke kota-kota besar Serta membakar mushaf-mushaf
yang lain yang Tidak bersumber dari mushaf al-Imam itu. tindakan Usman ini
merupakan awal berkembangnya Ilmu yang kemudian dinamakan Ilmu Rasm Al-
Qur’an Atau ilmu Rasm Al-Utsmani.
pada masa pemerintahan Ali Ra. juga telah masyhur Dalam sejarah Islam
abu Al-Aswad Ad-Dualy ( wafat tahun 69 H), Membuat beberapa kaidah untuk

22
Rosihon Anwar, ‘Ulum Al-Quran Untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 16-
17.
memelihara keselamatan bahasa Arab. Maka dengan demikian, kita dapat
menetapkan bahwa Ali adalah peletak batu pertama bagi ilmu i’rab Al-Qur’an.23
Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum Al-Qur’an tidak lahir
sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum
Al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Islam. Istilah ini
baru muncul pada abad ke-3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini
lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke-5. Karena ulumul Qur’an
dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru muncul dalam
karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (wafat tahun 340), yang berjudul al-Burhan fi Ulum
Al-Qur’an (Al Zarqaniy :35).24
Maka pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah tokoh yang membahas
ulum Al-Qur’an dengan merangkum cabang-cabang ‘ulum Al-Qur’an dalam karya-
karya mereka. Dan kitab-kitab mereka inilah yang sebenarnya disebut kitab ‘ulum
Al-Qur’an. tokoh-tokoh yang dimaksud:
1. Ali ibn Ibrahim ibn Sa’id al-Hofiy (wafat tahun430 H) karyanya : al-Burhan fi
‘Ulum Al-Qur’an.
2. Ibn al-Jauziy (wafat tahun 597 H), karyanya: Funun al-Afinan fi Aja’ib ‘Ulum
dan al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
3. Abu Syamah (wafat tahun 665 H), karyanya: al-Mursyid al-Wajiz fi Ma
Yata’allaq bi alQur’an al-Aziz.
4. Badr al-Din al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) karyanya : al-Burhan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
5. Jalal al-Din al-Sayuti (wafat tahun 911 H). karyanya: al-Tahbir fi ‘Ulum al-
Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
6. Tahir al-Juzairi, al-Tibyan fiy ‘Ulum Al-Qur’an.
7. Muhammad Ali Salamah, Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
8. Muhammadi Abd al-Azim al-Zarqaniy, karyanya :Manahil irfan fi ‘Ulum Al-
Qur’an.
9. Ahmad Ali, Karyanya: Muzakkarah ‘Ulum Al-Qur’an.
10. Subhi Salim, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an.
11. Manna al-Qattan, karyanya : Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an.
12. Ahmad Muhammad Ali Daud, karyanya: ‘Ulum Al-Qur’an wa al-Hadis.
13. Abu Bakar Ismail, Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an.

23
Prof. Dr. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Semarang: Pustaka Rizky Putra,
2009), 4.
24
Wahyudi W dan Saifulloh S, “Ulum Al-Qur’an, Sejarah Dan Perkembangannya,” Jurnal Sosial
Humaniora 1 (2013): 7.
14. Muhammad Ali al-Sabuniy, al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
Masih banyak tokoh dan kitab yang membahas tentang ‘ulum Al-Qur’an.
Namun tokoh-tokoh yang telah disebutkan inilah yang lebih dikenal, dan buku-
buku mereka menjadi rujukan bagi penulis dan peneliti tentang ‘ulum Al-Qur’an
saat ini. Di antara mereka yang paling terkenal adalah al-Sayuti dengan kitabnya
al-Itqan. Kitab ini terdiri atas dua juz, dan membahas 80 jenis ‘ulum Al-Qur’an .
begitu pula al-Zarkasyi yang lebih dahulu dari al-Sayuti, dalam kitabnya al-Burhan
fiy Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari 4 jilid beliau membahas 47 jenis ‘ulum Al-
Qur’an.
4. KESIMPULAN
Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dua kata,
yaitu ulum dan Al-Qur’an. Kata ‘ulum secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata
ilmu, yang berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman. Ilmu merupakan bentuk mashdar
yang artinya pengetahuan dan pemahaman. Maksud dari pengetahuan ini sesuai
dengan makna dasarnya, yaitu “al-fahmu wa al-idrak“ (pemahaman dan pengetahuan).
Kemudian pengertiannya dikembangkan pada berbagai masalah yang beragam
dengan standar ilmiah. Kata ‘ilm juga berarti “idrak al-syai’I bi haqiqatih“ (mengetahui
dengan sebenarnya). Manna’ al-Qaththan, salah satu ulama menjelaskan pengertian
tentang Ulumul Qur’an yaitu ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab
turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang
ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, nasikh mansukh, muhkan dan mutasyabih dan
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.
Menurut Rosihon Anwar, sejarah dan perkembangan ulumul qur’an dibagi ke
dalam dua fase, yaitu fase sebelum kodifikasi dan fase kodifikasi. Pada fase sebelum
koodifikasi, ‘Ulum Al-Qur’an kurang lebih sudah merupakan benih yang
kemunculannya sangat dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal itu ditandai dengan
kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Terlebih lagi di antara mereka ada kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain,
sebelum benar-benar dapat memahami dan mengamalkan ayat yang sedang
dipelajarinya. Sedangkan pada fase koodifikasi terdapat beberapa perkembangan
yang dimula dari abad ke-2 sampai dengan ke-14.
Berikut beberapa tokoh yang membahas ulum Al-Qur’an dengan
merangkum cabang-cabang ‘ulum Al-Qur’an dalam karya-karya mereka. Dan
kitab-kitab mereka inilah yang sebenarnya disebut kitab ‘ulum Al-Qur’an. tokoh-
tokoh yang dimaksud:
1. Ali ibn Ibrahim ibn Sa’id al-Hofiy (wafat tahun430 H) karyanya : al-
Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
2. Ibn al-Jauziy (wafat tahun 597 H), karyanya: Funun al-Afinan fi Aja’ib
‘Ulum dan al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-Qur’an.
3. Abu Syamah (wafat tahun 665 H), karyanya: al-Mursyid al-Wajiz fi Ma
Yata’allaq bi alQur’an al-Aziz.
4. Badr al-Din al-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) karyanya : al-Burhan fi ‘Ulum
Al-Qur’an.
5. Jalal al-Din al-Sayuti (wafat tahun 911 H). karyanya: al-Tahbir fi ‘Ulum al-
Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna. Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyad: Mansyurat al-Ashr al-
Hadits, 1973.
———. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Anwar, Rosihon. ‘Ulum Al-Qur’an Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007.
———. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
As-Suyuti, Jalaludin. Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr, 1979.
Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali. At-Tibyah Fi ‘Ulumil Qur’An. Beirut: ’Alimul Kutub,
1985.
Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. Teungku M. Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka
Rizky Putra, 2009.
Az-Zarqani dan Abd Al-adhim. Manahil Al-Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-
Fikr, 2013.
Azra, Azyumardi. Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Hermawan, Acep. ’Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
S, Wahyudi W dan Saifulloh. “Ulum Al-Qur’an, Sejarah Dan Perkembangannya.”
Jurnal Sosial Humaniora 1 (2013): 7.
Salahuddin Hamid. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2002.
U. Abdurrahman. Ulum Al-Qur’an I. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung
Djati, 1995.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DAN
SEJARAH METODOLOGI TAFSIR

Ahmad Suryadi,1 Ahmad Muzaeni,2


Fuad Al Ansori,3 Silmi Yassifi Maspupah4
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(suryadinomi@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(muzaeni49@gamil.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(alansorifuad14@gmail.com)
4
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(silmiyassifim@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas tentang sejarah perkembangan tafsir dan
sejarah metodologi tafsir. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif, serta menggunakan teknik analisis data yaitu
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini
menyimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi seluruh
umat, Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus
memahami maksud daripada ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan
penafsiran terhadap ayat-ayatnya untuk memberikan penjelasan mengenai
maksudnya supaya dapat difahami dan diamalkan. Karena fungsinya yang sangat
strategis itu, maka Al Qur’an haruslah di fahami secara tepat dan benar. Dan upaya
untuk memahami al Quran dikenal dengan istilah tafsir.

ABSTRACT
This study aims to discuss the history of the development of interpretation and the history of
the methodology of interpretation. This research method is qualitative by using descriptive
methods, and using data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and
drawing conclusions. The results of this study conclude that the Qur'an is a guide and guidance
for all people. To make the Qur'an a guide, one must first understand the verses of the Qur'an.
Therefore, it is necessary to carry out the verses to provide an explanation of the intent so that
they can be understood and practiced. Because its function is very strategic, the Qur'an must
be understood correctly and correctly. And the effort to understand the Qur'an is known as the
interpretation.

Keyword: Sejarah, Perkembangan Tafsir, Metodologi Tafsir


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah salah satu dari sejumlah kitab suci yang telah memberikan
pengaruh begitu luas dan menyeluruh tentang relasi Tuhan, alam, dan manusia dalam
kehidupan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak hanya sekedar kitab suci tetapi
merupakan petunjuk yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam
memainkan peran sebagai manusia abdullah dan khalifatullah. Al-Qur’an adalah
petunjuk bagi pengelola alam sehinga berfungsi dengan baik, dalam
mendayagunakan alam semesta sangat tergantung kepada pemahaman terhadap
petunjuk Al Quran melalui ayat-ayatnya. Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai
petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami maksud daripada ayat-ayat Al-
Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayatnya untuk
memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat difahami dan diamalkan.
Karena fungsinya yang sangat strategis itu, maka Al Qur’an haruslah di fahami secara
tepat dan benar. Dan upaya untuk memahami al Quran dikenal dengan istilah tafsir.
Tafsir merupakan sebuah rangkaian penjelasan dari pembicaraan atau teks Al-Qur’an,
atau bisa dikatakan bahwa tafsir sebagai penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat
Al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufasir untuk mendapatkan pemahaman
terhadap makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif. Penelitian kualitatif
merupakan suatu cara yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang
berkaitan dengan data berupa narasi yang bersumber dari hasil pengamatan,
pengolahan dan analisis teoei yang mampu menghasilkan data berupa deskriptif baik
tertulis atau lisan.25 Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu Pertama, mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian dari pembahasan para ahli dan penelitian terdahulu yakni berupa buku,
jurnal, maupun skripsi. Kedua, menggabungkan informasi yang telah didapatkan.
Ketiga, menganalisis hasil data-data yang telah dilakukan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Tafsir
Sejatinya, tafsir merupakan salah satu ilmu yang pokok dalam kajian ulumul
Qur’an. Ilmu tafsir berupaya memberikan penjelasan terhadap kalimat, kata, huruf
yang tertuang dalam naskah Al-Qur‟an. Untuk dapat memahami isi dan kandungan
Al-Qur‟an harus berdasarkan ilmu tafsir yang memiliki persyaratan dan otoritas
khusus oleh para Ulama yang dikenal dengan ahli tafsir (mufasir). Sebab, tidak semua
orang bebas melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an jika tidak memenuhi
persyaratan sebagai mufasir.
Ilmu tafsir muncul karena ada tuntutan bahwa selain menjelaskan isi al-Qur‟an,
Rasulullah juga diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan dan merinci ketentuan-

25
Wahidmurni. Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. (Malang. 2017), H. 1.
ketentuan yang masih global dalam nash Al-Qur’an. Tugas tersebut dapat dilihat dari
ketentuan surat al-Nahl Ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
Upaya dan bentuk penjelasan Rasulullah Muhammad Saw melalui sunah dan
hadistnya terkait ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan penjelasan sebagai landasan
awal dalam perkembangan ilmu tafsir. Ilmu tafsir memiliki area kajian yang
menyeluruh dan luas meliputi semua aspek kehidupan. Menurut Muhibudin
mengutip Suyuti menjelaskan bahwa tafsir memuat tiga hal utama sekaligus.26
Pertama, tafsir sebagai sebuah proses penjelasan yang dilakukan oleh penafsir dalam
hubungannya yang langsung dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, tafsir sebagai
proses historis yang membahas tentang pergerakan tafsir sesuai dengan sejarahnya
yang panjang. Ketiga, pembahasan metode (manhaj) para ahli tafsir (mufasirin) sesuai
dengan pemikirian dan pemahaman mereka sesuai dengan karaktersitiknya. Melalui
tiga muatan ilmu tafsir tersebut akan tergambar aliran dan mazhab penafsiran yang
khas dalam setiap perkembangan zaman.
Secara global, kajian tafsir menurut Muhammad Husain al-Dhahabi dalam
Mubibudin menjeslakan 3 (tiga) periodisasi sejarah tafsir.27 Periode pertama, masa
Nabi Muhammad Sawdan sahabat. a.w. Nabi Muhammad menyampaikan,
menerangkan dan menjelaskan isi Al-Qur’an kepada para sahabatnya. Periode kedua,
masa Tabiin yaitu para mufasir setelah generasi sahabat Nabi. Para tabiin menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Nabi dan pendapat para sahabat seraya
mengembangkan pendekatan penafsiran sendiri melalui jalan ijtihad. Pada masa
tabiin, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri tetapi bagian
dari kajian Hadis. Periode ketiga, masa akhir pemerintahan Pemerintahan Umayyah
dan awal masa Pemerintahan Abbasiyah. Kajian tafsir pada periode ini mamasuki
zaman kodifikasi dan mulai menampilkan berbagai aliran tafsir yang berbeda-beda.
Dalam konteks keindonsiaan, perkembangan penafsiran Al-Qur‟an di
Indonesia tentu berbeda dengan periode awal Rasullah dan Para Sahabat, Para Tabiin,
dan Masa Pemerintahan Muawiyah dan Abbasiyah. Perbedaan tersebut terutama di
sebabkan berbedanya latar belakan budaya dan bahasa. Proses penafsiran Al-Qur‟an
untuk bangsa Indonesia harus melalui penerjemahan kedalam bahasa Indonesia
terlebih dahulu bahkan dalam Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, dll). Selanjutnya,
diberikan penafsiran yang luas dan rinci dari setiap huruf, ayat, dan kalimat, bahkan
surat dalam Al Quran. Sehingga tafsir Al-Qur‟an di Indonesia melalui proses yang
lebih lama jika di bandingkan dengan yang berlaku di Jazirah Arab (Timur
Tengah) sebagai tempat dan Bahasa asalnya.
Perkembangan ilmu tafsir Al-Qur’an di Indonesia dapat dibagi menjadi
beberapa 4 (empat) periodisasi yaitu: periode klasik, periode pertengahan, periode

26
Muhibudin Muhibudin, “Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Al-Qur’an,” Al-Risalah 11, no. 1 (2019):
1–21, https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i1.553.
27
Muhibudin.
pramodern, dan periode modern hingga sekarang. Dinamika periode keempat
menjadi perkembagan tafsir Al-Qur‟an yang memiliki ciri-ciri tafsir khas Indonesia.28
Berikut uraian periodisasi tafsir di Indonesia. Pertama, periode klasik berlaku sejak
permulaan Islam sampai ke Indonesia, sekitar abad ke-1 H, dan ke-2 H, dan
berlangsung sampai abad ke-10 H (VII- XV M). Periode penafsiran berlangsung
selama kurun waktu kurang lebih sembilan abad sebagai cikal bakal bagi
perkembangan tafsir yang masih bersifat umum. Umat Islam Indonesia pada waktu
itu belum menjadi suatu komunitas muslim yang utuh sebagai “periode Islamisasi”
bangsa Indonesia. Kedua, Periode Tengah berlangsung dari Abad XVI-XVII M. Pada
masa ini lebih berkembang dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena tidak didasarkan pada kekuatan ingatan semata sebagaimana periode klasik,
dan sudah mempunyai buku pegangan dari ahli tafsir yang kompeten dan
professional. Berpijak pada kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-
Qur‟an di Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode tengah ini. Pada periode
ini ialah membaca dan memahami tafsir tertulis yang datang dari Timur Tengah,
seperti kitab tafsir Al Jalalain yang dibacakan kepada murid-murid lalu diterjemahkan
kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya). Berdasarkan hal
tersebut, tafsir Al-Qur‟an.
Pada tahap berikutnya adalah Periode Pramodern yang berlangsung dari Abad
XIX M. Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama-ulama yang menulis dalam berbagai
disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol adalah karya yang
terkait mistik ilmu atau ilmu taSawuf. Sejumlah ulama local yang bereputasi antara
lain: Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al- Banjari, Abd Wahhab Bugis,
Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.
Selanjutnya, Periode Modern yang terjadi pada Abad XX M. Mulai tahun 1920-an,
terdapat terjemahan Al-Qur‟an dalam bentuk perjuz, bahkan seluruh isi Al-Qur‟an
mulai bermunculan. Perkembangan penerjemahan Al-Qur‟an semakin kondisif
setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir al-Furqon misalnya adalah tafsir pertama
yang di terbitkan pada tahun 1928, untuk beberaopa bagian dan dan akhirnya tulisan
tafsir al-Furqonsecara keseluruhan 30 juz dapat di terbitkan pada tahun 1956.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamat Al-
Qur’anul Karim (1938). Mahmud Aziz menyusun sebuah tafsir dengan judul Tafsir
Qur’an Bahasa Indonesia (1942). Proses terjemahan semakin baju pasca kemerdekan
RI pada tahun 1945 yaitu munculnya beberapa terjemahan seperti Al-Qur‟an dan
terjemahannya yang didukung oleh Menteri Agama pada tahun 1955, dan dicetak
ulang di Kuala Lumpur tahun 1969, kemudian . Pada tahun 1955 di Medan dan dicetak
ulang di Kuala Lumpur pada tahun 1969, di terbitkan sebuah tafsir dengan judul Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim disusun oleh A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan
Abdurrahim Haitami. Tidak kalah pentingnya adalah tafsir yang menggunakan

28
Anggi Wahyu Wahyu Ari, “Sejarah Tafsir Nusantara,” Jurnal Studi Agama 3, no. 2 (2020): 113–27,
https://doi.org/10.19109/jsa.v3i2.5131.
bahasa daerah oleh KH. Muhammad Ramli denganal-Kitab al-Mubin, yang
diterbitkan pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Tafsir bahasa Jawa oleh KH.
Bisyri Mustafa Rembang dengan tafsir al-Ibriz pada tahun 1950.29 Dalam
perkembangan berikutnya muncuyl tafsir AL Azhar karya Buya Hamka di tahun
1970-an, lalu Tafsir al Misbah karya Quraish Shihab di tahun 1990-an.
3.2 Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Al qur’an melalui salah satu ayatnya menegaskan fungsinya sebagai hudan
(Petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan penjelasan terhadap petunjuk itu, dan
sebagai al Furqon (pembeda antara yang haq dan bathil)30. Untuk menjadikan Al-
Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami maksud daripada
ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayatnya
untuk memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat difahami dan
diamalkan. Karena fungsinya yang sangat Strategis itu, maka Al Qur’an haruslah di
fahami secara tepat dan benar. Dan upaya untuk memahami al quran dikenal dengan
istilah tafsir 31. Akan tetapi pada hakikatnya yang mengetahui kepastian makna dari
pada teks Al-Qur’an tersebut, tidak dapat di fahami secara mutlaq dan pasti kecuali
oleh pemilik teks tersebut32. Jadi upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an bukanlah usaha
yang mudah, mengingat kerumitan persoalan yang di kandung dari Al-Qur’an itu
sendiri.
A. Tafsir Pada Masa Nabi Dan Sahabat
Dalam catatan sejarah penafsiran al quran, telah tumbuh dan berkembang,
sejak masa masa awal pertumbuhan dan perkembangan islam, hal ini di dukung oleh
adanya fakta sejarah yang nabi pernah melakukan nya. Yaitu ketika para sahabat tidak
memahami maksud dan kandungan dari satu ayat, mereka menanyakan nya kepada
nabi, dan Nabi Muhammad pun menjelaskan isi kandungan daripada ayat yang
ditanyakan tersebut. Dan pada posisi ini Nabi Muhammad SAW adalah selaku
Mubayyin33. Dalam lintas perjalanan waktu, penafsiran Al-Qur’an tidak pernah
berhenti dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW, bahkan bisa dikatakan
semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika
masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi awal mencurahkan
perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat. Perhatian utama mereka
tertuju pada Alquran sebagai sumber ajaran Islam. Maka upaya-upaya penafsiran
terus dilakukan dalam menafsirkan Al Quran. pada masa sahabat pegangan utama

29
Wahyu Ari.
30
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009) QS. 2 (Al-Baqarah): 185.
31
Tafsir sering di definisikan sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia, Lihat Muhamad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al Mufassirun,
(Mesir. Dar Al Kutub al-Hadist, 1961), h.59.
32
Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Wahyu dalam kehidupan masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1993), h.75
33
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009) QS. 16 (An-Nahl) : 44.
mereka adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam.
Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir, sebagaimana mereka tidak
menulis dan tidak mendewankan hadis secara resmi karena dikhawatirkan
tercampurnya antara Alquran dengan tafsir yang ditulis. Sumber tafsir di masa
Sahabat adalah penjelasan atau tafsir yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam yakni tafsir dengan dasar dan nukilan dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Mengenai penafsiran dengan kemampuan ijtihad para sahabat
berbeda pendapat, sebagian sahabat seperti Abu Bakar Siddiq dan Umar ibn Khattab
dalam menafsirkan Alquran hanya berpedoman kepada riwayat, dan tidak mau
mempergunakan ijtihad. sebagian yang lain seperti Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas di
samping menafsirkan ayat Dengan hadis yang diterima dari nabi atau dari sesamanya,
mereka juga menafsirkan Alquran dengan ijtihad yang dipadukan dengan keterangan
asbabun nuzul kekuatan bahasa dan sastra Arab, keterangan kisah-kisah lama dari
ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani. Dari uraian diatas dapat difahami bahwa
Tafsir pada masa sahabat terbagi kedalam 2 bagian :
1. Tafsir Al-Ma’Tsur (Penafsiran dengan Al-Qur’an dan Hadist) merupakan salah
satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelektual
Islam. Diantara kitab Tafsir yang di susun dengan metode ini adalah Jami’ al-Bayan
fi Tafsir Al-Qur’an buah karya Ibn Jarir al-Thabari dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzhim
oleh Ibnu Katsir
2. Penafsiran dengan Ra’yu (pendapat) sahabat dengan Ijtihad dan penalaran34 Tafsir
bi al-Ra’yu muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan
tafsir al-Ma’tsur.
Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran
Alquran dengan metode al-Rayu’. Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum
terdiri atas dua aspek intelektual dan moral. Dari segi intelektualitas seorang penafsir
diharuskan benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan untuk penafsiran ini, pengetahuan-pengetahuan tersebut mulai dari ilmu
bahasa Arab yang mencakup gramatika dan sastra, ilmu Ushuluddin, hukum, hadits
dan ilmu-ilmu Alquran lainnya. Penafsir yang menggunakan metode rayu’ juga
dituntut harus memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan
bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan
kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu. diantara kitab-kitab tafsir yang
mengikuti metode ini adalah Mafatih Al Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Al Anwar
at-Tanzil wa Asrar al Ta’wil karya Al Bhaidha.
Semua sahabat sepakat mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan
penafsiran Al-Qur’an dengan Hadis. Bahkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Sedangkan mengenai penafsiran Al-
Qur’an dengan ra’yu dan penafsiran Al-Qur’an dengan keterangan dari ahlu kitab
(Israiliyyah), tidaklah semua sahabat menyepakatinya

34
Muhammad husain al-Zahabi, op.cit, h.255
Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling terkemuka dalam bidang
tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu: 1) Abu Bakar al-Siddīq (573 – 634 M), 2)
‘Umar bin al-Khaţţāb 9584 – 644 M), 3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M), 4) ‘Ali bin Abī
Ţālib (600 – 661 M), 5) ‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M), 6) ‘Abdullah bin Mas’ūd (w.
625 M), 7) Ubay bin Ka’ab (w. 642 M), 8) Zaid bin Śābit (611 – 655), 9) Abu Mūsā al-
Asy‘arī dan 10) ‘Abdullah bin Zubair.35 Empat orang pertama dari sahabat-sahabat
tersebut pernah menjadi khalifah. Akan tetapi, di antara keempat khalifah ini yang
paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Ali bin Abī Ţālib. Mengapa demikian?
Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi Muhammad Saw, dia menantu
Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya. Sedangkan
sahabat yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin ‘Abbās,
‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat ini
adalah Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat yang
terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak dengan tafsir
sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik, ‘Abdullah
bin Dīnār, Jābir bin ‘Abdullah dan ‘Aisyah.36
B. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Tabi‘In
Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya generasi
sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang belajar dan menerima
langsung riwayat dari sahabat. Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah
murid- murid Ibnu ‘Abbas, murid-murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubay bin
Ka‘ab. Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar, ‘Aţā’ bin
Abī Rayāh, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, Ţāwūs. Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud
yang termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq bin al-Ajda‘, al-Aswad bin Yazid,
Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan Qatādah. Adapun
murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid bin Aslam, Abu al-’Āliyah
dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī. Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw
yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan
pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga menafsirkan Al-Qur’an
dengan ijtihadnya. Dengan demikian sumber penafsiran pada masa tabi`in meliputi :
1. Penafsiran dengan Al-Qur’an.
2. Penafsiran dengan Hadis.
3. Penafsiran dengan pendapat sahabat.
4. Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri.
5. Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan
isrāiliyyah. 37
Pada periode tabiin, sudah mulai muncul pemalsuan-pemalsuan dalam bidang
tafsir, hal ini disebabkan. Pertama, fanatisme madzhab. Setiap golongan merupaya
mendukung madzhabnya dengan berbagai cara hingga menafsirkan ayat-ayat Al-

35
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta: Departemen Agama RI,
2008), h. 47- 48.
36
Ibid., h.48
37
Departemen Agama RI, loc.cit.
Qur’an sesui dengan ideologi mereka, serta menguatkan eksistensi madzhab mereka.
Kedua, aliran politik. Banyak sekali hadis-hadis palsu terkait penafsiran ayat yang
disandarkan kepada Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Karena mereka memandang
bahwa keduanya adalah orang-orang dekat Nabi Saw. Ketiga, adanya semangat
musuh-musuh Islam, mereka adalah kaum Zindiq, mereka masuk Islam hanya untuk
merusak Islam dari dalam.38
C. Periode Pengkodifikasian Tafsir.
Periode ini dimulai degan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan
berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra’ (w. 207 H)
dengan kitabnya yang berjudul Ma’a>ni alQur’an. Tafsir mulai dibukukan pada masa
akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada
awal permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan
mengumpulkan hadis-hadis tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat.
Sehingga tafsir masih kumpul dengan hadis. Mereka menyusun tafsir dengan
menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat
dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab Hadis. Di antara ulama
yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyan ibn Uyainah (198 H),
Waki’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjaj (160 H), Abdul Razaq ibn Hamam (211
H). Pada fase pembukuan setelahnya, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-
kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis
sesuai dengan tartib mushaf. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah
(w. 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh ibn
Hiban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).39
Pada masa kodifikasi ini tafsir dilalui beberapa fase;
1. tafsir diambil dengan cara periwayatan. Sahabat meriwayatkan dari Nabi,
tabi’in meriwayatkan dari sahabat, atau sesama mereka meriwayatkan satu
sama lain.
2. Dimulainya budaya penulisan hadis, bab tafsir masuk dalam salah satu dari
bab-bab Hadis.
3. Antara hadis dan tafsir terpisah antara satu sama lainnya. Tafsir mulai ditulis
dan diurutkan sesui urutan mushaf seperti yang dilakukan Ibn Majah (237 H),
Ibn Jarir at-Tabari (w. 310), Abu Bakar al-Murdawaih (w. 410 H) dan lainnya.40
Pada masa abad kedua hijriyah muncul berbagai madzhab tafsir, baik berupa corak
kefiqihan ataupun aqidah. Dan setiap imam dari madzhab tersebut tak jarang
mempunyai tafsir sebagai pegangan atau acuan dari madzhabnya. Tapi sayang
diantara ulama tersebut sebagian karangannya tak bisa sampai kepada kita, maka
susah melacak hasil karangannya kecuali dengan merujuk pada kitab-kitab turast
tentang para mufassir tersebut. Di antara ulama pada periode ini adalah:

38
Muhammad Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 25.
39
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hlm. 340-341
40
M. Husain az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 65.
1. Muhammad ibn Idris (Imam Syafi’i (w. 204 H) peletak madzhab Syafi’i, beliau
sempat menulis tentang tafsir dalam kitab Ma’ani Al-Qur’an,
2. Muhammad ibn al-Mustanir berguru pada ulama Basrah utamannya pada
imam as-Sibawaih (kitab tafsirnya bernama Ma’ani Al-Qur’an fi at-Tafsir),
3. Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ad Dulaimi yang dikenal dengan al-Farra’ (w.
207 H) sebagian ulama mengatakan bahwa al-Farra’ merupakan ulama pertama
yang berhasil menafsirkan semua ayat Al-Qur’an berdasarkan urutan mushaf,
4. Abdurrazzaq ibn Hammam as-Sun’ani al-Humairi, selain sebagai seorang
muhaddis beliau juga dikenal seorang mufassir (w. 211 H) dan lain
sebagainya.41
Sedangkan pada abad ketiga hijriyyah telah banyak ulama ulama yang
menyusun tafsir, tapi banyak dari tafsir tersebut tidak sampai kepada kita diantaranya
adalah tafsir karangan Ahmad ibn Farh ibn Jibril al-Bagdadi, Ali ibn Musa ibn Yazid
al-Qami (imamnya madzhab Hanafiyyah pada zamannya) dan lainnya. Sedangkan
tafsir yang paling monumental pada abad ini adalah tafsir karangan imam at-Tabhari
yang dianggap sebagai tafsir pertama yang terbesar yang menggunakan metode tafsir
bi al-ma’tsur.42
3.3 Ilmu Tafsir Dan Kelompok Mufasir
A. Ilmu Tafsir
Secara etimologi (bahasa) kata tafsir berarti menjelaskan, menyingkapi, dan
menampakkan atau menerangkan makna terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun
bentuk kata tafsir jika diperhatikan merupakan bentuk kata taf’il dari kata al-fasr (
‫ )الفسر‬yang berarti al-bayan wa al-kasyf “penjelasan dan penyingkapan”.
Secara terminologi (istilah) tafsir merupakan sebuah rangkaian penjelasan dari
pembicaraan atau teks Al-Qur’an, atau bisa dikatakan bahwa tafsir sebagai
penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para
mufasir untuk mendapatkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Secara spesifik ilmu tafsir ialah sebagai alat, teknik, atau metode
mengenai penjelasan terhadap Al-Qur’an supaya berada dalam koridor penafsiran
yang benar dan baik, karena hal itulah disebut ilmu tafsir.43 Pengertian tafsir ini
cukup banyak yang memberikan definisinya, diantaranya menurut:
1) Abu Hayyan Fii Al-Bahru Al-Muhith

‫علم يبحث عن كيفية النطق أبلفاظ القرآن ومدلو ال هتا وأحكا مها االفرادية والرتكيبية ومعاهنا اليت حتمل عليها حالة الرتكيب وتتمات‬
‫لذلك‬
Ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an, madlulnya,
hukum-hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat, dan makna-
maknanya yang terkandung dalam tarkib, serta segala yang terkait dengan itu.

41
Ibid. Hlm.67
42
Ibid, Hal.68
43
Wely Dozan, Muhammad Turmuzi, Sejarah Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Teori, Aplikasi, Dan
Model Penafsiran), (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020), 2.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa:
a. Tafsir itu adalah ilmu yang membahas bagaimana mengucapkan lafadz Al-
Qur’an (‫)كيفية النطق أبلفاظ‬. Ilmu tafsir ini mencakup juga ilmu qiraat yang begitu
banyak riwayatnya serta berbeda-beda cara pengucapannya. Dan perbedaan
ilmu qiraat itu memang pada bagian tertentu, bisa melahirkan makna dan
hukum.
b. Membahas madlulnya (‫)ومدلوالهتا‬. Yang dimaksud dengan madlul disini adalah
ilmu bahasa Arab yang membentuk tiap lafadz tersebut.
c. Membahas hukum-hukumnya secara tunggal dan dalam untaian kalimat
(‫)وأحكا مها االفرادية والرتكيبية‬. Maksudnya hukum dari tiap lafadz itu, baik ketika tunggal
alias berdiri sendiri ataupun ketika berada dalam suatu kalimat. Dan ini
terkait dengan ilmu sharaf, ilmu i’rabi, ilmu bayan, dan ilmu badi’.
d. Membahas makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib ( ‫ومعاهنا اليت حتمل عليها‬
‫)حالة الرتكيب‬. Maksudnya terkait juga dengan hakikat dan majaz.
e. Membahas dengan hal-hal yang terkait (‫)وتتمات لذلك‬, termasuk di dalamnya
ilmu nasakh mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya.44
2) Az-Zarkashi Al-Burhan Fii Ulum Al-Qur’an
Az-Zarkashi di dalam kitabnya Al-Burhan Fii Ulum Al-Qur’an mendefinisikan
tafsir sebagai:

. ‫التفسر علم يعرف به فهم كتاب هللا املنزل على نبيه حممد صلعم وبيان معانية واستخراج احكامه وحكمه‬
Tafsir adalah ilmu untuk mengenal kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum
serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa:
a. Pertama mengenal sosok Al-Qur’an dengan segala sosok dan profilnya.
b. Mendapatkan penjelasan makna dari tiap-tiap ayat.
c. Menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
d. Menemukan hikmah-hikmahnya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa tafsir adalah hasil
usaha manusia atau ilmu yang memuat pembahasan mengenai penjelasan terhadap
makna ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman tersebut bertujuan untuk penjelasan,
memahami ayat-ayat yang belum jelas maksudnya menjadi jelas, yang samar
menjadi terang dan yang sulit dipahami menjadi mudah.
B. Kelompok Mufassir
1. Pengelompokkan Berdasarkan Waktu
Beberapa pakar sejarah tafsir Al-Qur'an menggunakan pendekatan
historis-periodik sekaligus pendekatan filosofis konseptual dalam
menguraikan perkembangan tafsir. Pendekatan historis-periodik efektif
menggambarkan fenomena perkembangan tafsir masa awal dan pertengahan.

44
Ahmad Sarwat, Ilmu Tafsir: Sebuah Pengantar, (Lentera Islam, 2020), 14.
Adapun pemetaan fenomena dunia tafsir Al-Qur'an di era kontempo rer lebih
tepat diurai dengan pendekatan corak konseptual. Di era kontemporer ini,
seluruh corak tafsir baik dari masa awal dan pertengahan memuara: hadir dan
eksis bersama sama di gelanggang panggung ilmu keislaman kontemporer.
Berakhirnya masa tafsir awal dan pertengahan, tidak menandakan
berakhirnya model corak tafsir yang muncul di masa masa awal dan
pertengahan. Bersama model-model tafsir ter kini, corak dan model tafsir awal
dan pertengahan tetap eksis di panggung keilmuan Islam.
Periodisasi sejarah peradaban Islam dibagi tiga babak: klasik (650-1250
M), pertengahan (1250-1800 M), dan modern (sejak 1800 M). Periode klasik
dibagi dua: pertama, dari 650-1000 M sebagai masa kemunculan,
pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam awal. Kedua, dari 1000-
1250 M yang disebut zaman disintegrasi saat kekuasaan daulah Abbasiah
melemah dan eksis hanya sebagai kekuatan simbolik. Pada masa ini, berdiri
banyak kerajaan kecil Islam yang otonom.
Periode pertengahan juga dibagi tiga: pertama, dari tahun 1250 hingga
1500 M yang disebut zaman kemunduran yang ditandai oleh serangan-
serangan Jengis Khan dan keturunan nya dari Mongolia. Pada 1491/1492 M,
kekuasaan terpenting terakhir Muslim Spanyol di Granada jatuh ke tangan
penguasa Katolik Raja Ferdinand II setelah selama 8 abad (sejak 94 H/712 M)
menguasai Spanyol. Pada tahun 1609 M/1017 H. Islam lenyap sepenuhnya
dari tanah Andalusia. Kedua, dari tahun 1500 hingga tahun 1700 M. Pada
masa ini dapat disebut masa kejayaan Islam yang ke-2 yang diwakili oleh
kekuasaan imperium Turki Utsmani di Barat, Safawi di Persia, dan Moghul di
India. Ketiga, dari tahun 1700 M hingga tahun 1800 M, yaitu. masa
kemunduran ketiga kerajaan tersebut yang akhirnya ditandai pendudukan
Napoleon Bonaparte dari Perancis ke tanah Mesir.
Setelah masa tahun 1800 M, sejarah peradaban Islam memasuki babak
baru modern. Pada babak baru modern. Pada babak baru modern sejarah
peradaban Islam ini, dinamika peradaban Islam jauh lebih kompleks dari
babak-babak sebelumnya terutama pada saat konsep politik negara-bangsa
menjadi fenomena bangsa-bangsa dunia.
Secara umum, periodisasi tafsir Al-Qur'an dibagi ke dalam tiga kluster:
klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pembabakan tafsir ke dalam tiga
kluster ini untuk memudahkan penandaan meskipun fenomena pada masing-
masing babak tidak sederhana. Memudahkan karena sederhana dalam
menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan tafsir meskipun
sesungguhnya waktu dan realitas tidak sesederhana pembagian awal, tengah,
dan akhir atau kontemporer. Namun untuk sementara memadai sebagai
bahan kajian awal. Periodisasi tersebut, yaitu:
a. Klasik, yaitu pada abad 1-2 H/7-8 M di masa Nabi, sahabat, dan tabi'in.
Pada era ini, tafsir Al-Qur'an bersifat formatif (pembentukan) dan secara
epistemik bersifat teosentris (al-'aql al-lahutanil al-'aql al-bayani), bernalar
quasi-kritis (ada ruang kritis tetapi kebenarannya diikat pada oto ritas
tertentu, yaitu Nabi, Sahabat, dan Tabi'in; semacam "seakan-akan kritis").
Periode awal ini dikenal dengan istilah "generasi salaf."
b. Pertengahan, yaitu pada pada abad ke-2 hingga 3 H sampai abad ke-13 H
(9-19 M) yang berlangsung pasca gene rasi tabi'in atau periode Tabi' al-
tabi'in saat tafsir mulai di bukukan ('ushür al-tadwin/masa-masa
kodifikasi tafsir). Masa kodifikasi tafsir tidak dapat dilepaskan dari
tahapan sejarah kodifikasi Hadis. Setidaknya permulaan masa ini dapat
ditandai pada saat pemerintahan raja Umayyah yang saleh, yaitu 'Umar
bin 'Abd al-Aziz yang memerintah pada 99-101 H yang tercatat merintis
kodifikasi resmi Ha dis Nabi. Tafsir Al-Qur'an pada era ini, cenderung
bersifat afirmatif (penguatan dan penegasan paham), konservatif
(pelestarian paham), sektarian (terkungkung dalam suatu paham
tertentu), dan ideologis (mengusung paham ter tentu).
c. Kontemporer, yaitu pada abad ke-20 di mana era pertengahan
disimpulkan berakhir. Tafsir Al-Qur'an pada era ini menyadari
kekurangan-kekurangan tertentu dari tafsir era sebelumnya yang dinilai
tidak kompatibel de ngan kebutuhan dan perkembangan zaman. Oleh
karena itu, fenomena tafsir pada era kontemporer bersifat kritis reformatif
(pembentukan kembali) terhadap metode dan pendekatan penafsiran Al-
Qur'an era pertengahan.45
Menurut Abdullah Saeed, sarjana muslim dari Universitas Melbourne
Australia ini membagi pembabakan tafsir Al-Qur’an ke dalam dua masa,
yaitu:
a. Masa Klasik (Early Period)
Pada masa ini ada banyak varian tafsir (Quranic exege sis), yaitu tafsir Sunni
(sunni exegesis), tafsir Syi'ah (shi'i exegesis), tafsir Khawarij (khariji exegesis),
tafsir teologis. (theological exegesis), tafsir hukum (legal exegesis), tafsir sufi
(mystical exegesis), dan tafsir falsafi (philoshopical exegesis).
b. Masa Modern (Modern Period)
Pada periode ini, Saeed menyebut: tafsir modernis (mo dernist exegesis),
tafsir ilmiah (scientific exegesis), tafsir sosio-politik (socio-political exegesis),
tafsir tematik (themat ic exegesis), dan tafsir kontekstual (contextualist
exegesis).
2. Pengelompokkan Berdasarkan Metode dan Corak Penafsiran
Pandangan teoritis ummat manusia terhadap Al-Qur'an melahirkan
berbagai upaya bagi para kalangan akademisi untuk terus melakukan kajian-
kajian, yang melahirkan berbagai pola pendekatan pemahaman kalam Allah
sehingga menghadirkan pola pandang yang berbeda dari waktu kewaktu. Al-
qur'an dipahami dari waktu ke waktu sesuai dengan realita social dan kondisi
berbeda dengan situasi sebelumnya, sehingga melahirkan keragaman pola

45
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, (Jakarta: Kencana, 2019), 9.
pendekatan maupun corak hasil dari sebuah pemikiran dan metode
pendekatan secara keilmuan sehingga mampu melahirkan tatanan-tanan baru
dalam dinamika pembaruan keilmuan.
Metode adalah suatu jalan dalam kaitan ini cara ilmiah untuk dapat
memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Berbagai
metode terlahir untuk melakukan kajian-kajian ilmiah Al-Qur'an dan
diajarkan berbagai cara agar melahirkan dinamisasi dalam mehami ayat-ayat
Allah. Mengenai dengan masalah penafsiran Al-Qur'an para Intelektual
muslim telah menawarkan dan melahirkan berbagai cara atau metode
interpretasi dari sejak awal hingga kemunculan disiplin era kontemporer.
Telah hadir ragam metode penafsiran Al-Qur'an, terdapat empat cara yang
popular dalam pendekatan penafsiran Al-Qur'an, yaitu Tahlili, Ijmali,
Muqarran Dan Maudhu’i. 46
a. Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili merupakan upaya dalam menafsirkan al-Qur'an
melalui metode mengkaji ayat al-Qur'an dari berbagai sisi dan makna
dengan mengkaji ayat per ayat dan surat demi surat tentu dengan merujuk
pada mushaf Usmani. Metode ini musfasir megunakan metode penjelasan
makna-makna ayat struktur kalimat, Asbab an Nuzulnya, serta merujuk
pada keterangan sahabat atau tabi'in. Dalam mertode tafsir tahlili terdapat
beberapa corak tafsir yaitu, Tafsir Bi Al-Ma'tsur, Tafsir Bi Al-Ro'yi, Tafsir
Sufi, Tafsir Figh, Tafsir Falsafi, Tafsir Ilmi, Tafsir Adaby Dan Ijtima'.
1) Tafsir Bi Al-Ma'tsur
Tafsir Bi Al-Ma'tsur merupakan tafsir yang bersumber pada ayat Al
Qur'an itu sendiri, atau di nukil dari Nabi Muhammad Saw, sahabat,
maupun dari tabi'in. Contohnya, kitab tafsir Jami' al-Bayan fi Tafsir al-
Qur'an karya Ibn jarir al Thabari.
2) Tafsir Bi Al-Ra'yi
Tafsir Bi Al-Ra'yi yaitu tafsir yang menggunakan ijtihad setelah
memahami berbagai disiplin ilmu. Contohnya, kitab tafsir Mafatih al
Ghaib, karya Fakhr al-Razi.
3) Tafsir Shufi
Tafsir Shufi yaitu tafsir yang menggunakan analisis sufistik berdasarkan
isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya.
Contohnya, kitab tafsir Haqa'iq alQur'an, karya al-Sulami.
4) Tafsir Fikih
Tafsir Fikih yaitu tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum.
Contohnya, Rawai'u al-Bayan fi Tafsiri ayat al-Ahkam, karya
Muhammad Ali ash Shabuni.
5) Tafsir Falsafi

46
Andi Malaka, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi Islam, Vol.
1, No. 2, (2021) : 145
Tafsir Falsafi yaitu tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu ilmu
filsafat. Contohnya, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi.
6) Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi yaitu penafsiran yang menggali kandungan al-Qur'an
berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Contohnya, Al-Qur'an wa al-ilm al-
Hadits karya Abd al-Razzaq Nawfal.
7) Tafsir Adabi Al-Ijtimai
Tafsir Adabi Al-Ijtimai yaitu tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat
al-Qur'an dari segi ketelitian redaksinya kemudian menyusun
kandungan ayat dengan tujuan utama memaparkan tujuan al-Qur'an.
contohnya, tafsir al Manar karya Rasyid Ridha.
b. Metode Tafsir Ijmali
Metode Tafsir Ijmali ialah merupakan metode menafsirkan al-Qur'an
dengan pola pengungkapan makna ayat secara ringkas dan global lansung
pada substansi penjelasan dan tidak berbelit-belit. penafsir memaparkan
arti serta makna ayat dengan singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti
tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.
c. Metode Tafsir Muqarran
Metode Tafsir Muqarran merupakan sebuah upaya menafsirkan al-
Qur'an dengan metode mengutip sejumlah ayat al-Qur'an membacanya
dan mengemukakan penafsiran para ulama Tafsir terhadap ayat-ayat
tersebut menyuguhkn/menyajikan serta melakukan analisa perbandingan
pendapat dari beberapa ulama mufasir dan menganalisa dari sudut
pandang dari masing-masing dalam menafsirkan al Qur'an. Perbedaan ini
dibagi ke dalam tiga hal: Perbandingan antar ayat, perbandingan ayat al-
Qur'an dengan hadits, dan perbandingan penafsiran antar mufassir. Karya
tulis tafsir perbandingan antar ayat diantaranya Durrah al Tanzil wa
ghurrah al-Ta'wil karya al-Iskafi. Dan karya tulis tafsir yang menggunakan
perbandingan antar mufassir ialah al Jami' li ahkam al Qur'an¹2 karya al
Qurthubi. Tafsir Durrat al-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (Mutiara al-Qur'an
dan Kesejukan al-Takwil) karya al-Khatib al-Iskafi.
d. Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i merupakan metode tafsir tematik merupakan
upaya menafsirkan al-Qur'an dengan cara menghimpun secara
menyeluruh mengenai ayat al Qur'an yang membahas tentang sebuah
permasalahan dalam satu tema tertentu sehingga hanya mengarah pada
kajian walau pun turunannya berbeda, menyebar berbagai surat dalam Al-
Qur'an yang berbeda Asbab Nuzulnya serta waktu turunnya ayat. Bila
dilakukan sebuah analisa yang lebih tajam dari beberapa konteks
metodologinya maka pemetaan yang dilakukan Al-Farwani dapat
memberikan sebuat gambaran yang baru dibandingkan dengan sebuah
pemetaan konvensional yang suguhkan oleh ulama era abad ke-9 H hingga
abad ke-13 H, (Para era konvensional, pemetaan etodologi ini dibagi
menjadi tiga bentuk: al-tafsir bi al-matsur, al-tafsir bi al-ra'yi, dan tafsir al-
isyari). Al-Farmawani tidak mengambarkan Dalam hal ini al-Farmawi
tidak memberikan pemetaan yang gambling antara wilayah metode dan
pendekatan tafsir serta teknik penulisan tafsir.47

Para mufasir memberikan perhatian tersendiri pada aspek yang


terkandung dalam ayat yang ditafsirkan sehingga menghasilkan makna ayat
dari setiap menafsirkan al-Qur'an, para mufasil melakukan beberapa hal
diantaranya ; Menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya dan
hubungan antara satu surah dan surah yang lain, Memberikan keterangan
Asbab an Nuzul, Mengkaji mufrodat dan shoraf, penjelasan ayat secara umum
dan khusus, menerangkan bayan dan I'jaz jika dibutuhkan, memberi kejelasan
hukum dari tiap ayat yang menjadi topik pembahasan terlebih jika ayat-ayat
yang ditafsirkan merupakan ayat-ayat ahkam, Menerangkan makna dan
maksud syara' yang terkadung dalam ayat yang sedang dikaji, dengan
beberapa aspek penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa penafsiran
dengan metode tahlili memiliki subjek pembahasan yang begitu luas serta
menyeluruh. Berbagai cotak penafsiran tahlili diantaranya; "al mattsur, ar-ra'yi,
ash-shufi, al-fiqghi, al-falsafi, al-ilmi, dan al-adabi al-ijtima'i. corak tafsir
menjadi sebuah corak kecenderungan mufasir teradap ilmu-ilmu keislaman.

3.4 Metode Dan Kelompok Mufasir Sunni Maupun Syi’i


A. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu cara untuk memahami makna isi kandungan al-
Qurân secara mendalam dari berbagai aspek, sehingga bisa memahami al-Qurân
dengan benar.
Dalam konteks inilah Abdullah Darraz seperti yang dikutip oleh Dr.Quraisy
Syihab, mengatakan "Apabila anda membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas di
hadapan anda. Tetapi bila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula
makna-makna Iain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya
sampai anda menemukan kalimat-kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-
macam, semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat al-Qurân bagaikan intan
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda dengan apa yang terpancar
dari sudut lainnya. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang Iain
memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang yang anda lihat".
Banyak kemungkinan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qurân sesuai dengan
sudut pandang mufassir. Hal ini terjadi karena Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan
sumber utama syariat Islam bersifat terbuka untuk ditafsirkan dari sudut pandang
manapun. Selama penafsiran tersebut tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah

47
Andi Malaka, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi Islam, Vol.
1, No. 2, (2021) : 147
penafsiran atau menggunakan metode tafsir yang sudah disepakati dan ditetapkan
oleh para ahli tafsir.48
1. Macam-Macam Metode Tafsir
Dari beberapa penafsiran al-Qurân yang berkembang dikalangan ahli tafsir,
para ulama menyimpulkan bahwa ada empat macam metode yang digunakan oleh
para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an antara lain:
a. Metode Tahlili
Metode Tahlili ialah metode yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya Sesuai urutan
bacaan yang terdapat dalam mushaf Utsmani. Muhammad Baqir As-Shadr
menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti
tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau disebut tafsir parsial.
Metode tafsir tahlili ini adalah tafsir paling tua dibanding metode tafsir yang
lainnya. tafsir ini berasal sejak masa para sahabat nabi, sejak zaman klasik dan
zaman pertengahan. pada mulanya tafsir tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat
saja, kadangkala mencakup penjelasan mengenai kosakatanya. dalam
perkembangan selanjutnya para ahli tafsir merasakan kebutuhan Untuk
menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an.
Pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat hijriyah atau abad 10 M, ahli-
ahli tafsir seperti İbnu Majah, At-Thabari mulai mengkaji keseluruhan isi al-Qurân
dan membuat model-model paling maju dari tafsir dengan model sepeti ini. Dalam
melakukan penafsiran, para mufassir nemberikan perhatian sepenuhnya kepada
semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan sehingga menghasilkan
makna yang benar dari setiap bagian al-Qurân.
Dalam menafsirkan ayat para mufassir biasanya melakukan sebagai berikut :
1) Mengemukakan korelasi (munasabah) antara ayat satu dengan ayat lainnya
maupun antara surat dengan surat lainnya, baik sebelum atau sesudahnya.
Misalnya dalam menafsirkan awal surat Ali Imran. Apabila mufassir menulİs
tafsirnya utuh seluruh mushaf. mulai dari surat al-Fatihah dstnya, maka ketika
ia mulai menafsirkan surat Ali Imran ia akan menjelaskan hubungan dengan
surat al-Baqarah. Pembahasan semacam ini akan menarik apabila mengandung
pengertian yang belum pernah dibahas orang.
2) Menjelaskan şebab-sebab turunnya ayat.
3) Menganalisi mufradat (koşakata) dan lafadnya dari sudut pandang linguistik.
Atau dengan memberikan penjelasan tentang arti kata yang terkandung di
dalam ayat yang ditafsirkan.
4) Memaparkan kandungan ayat şecara umum dan maksudnya.

48
M.Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pt. Nusantara Lestari Ceriapratama, ),
H. 327.
5) Menerangkan unsur-unsur kesastraan seperti kefasihan, kejelasan (bayan) dan
mukjizatnya bila dianggap perlu, terutama apabila ayat-ayat ditafsirkan itu
mengandung keindahan sastra (balagah).
6) Menjelaskan hal-hal yang bisa diistinbatkan dari ayat tersebut yang berkaitan
dengan hukum fiqh, tauhid, akhlaq atau hal lainnya.
Dari penjelasan di ataş terlihat bahwa penafsiran al-Qurun dengan metode
tahlili adalah penafsiran yang sangaı luas dan menyeluruh, Melalui penafsiran ini
ayat Al-Qur’an nampak mempunyai wawasan dan jangkauan yang sangat luas.
penafsiran dalam bentuk ini bisa dilakukan dari berbagai segi yang ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu. Segala sesuatu Yang dianggap perlu oleh seoang mufassir
tahllli selalu diuraikannya. Sehingga al-Qurân dapat dipahami dari berbagai sudut
keilmuan. Dianta kitab-kitab tafsir Yang menggunakan metode ini ialah : Kitab
Tafsir karya Fachruddin Raza dan Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari.
Sebagai sebuah metode yang luas, maka corak-corak penafsiran Yang
menggunakan metode tahlili juga banyak. Para ułama kemudian membagi corak
penafsiran metode tahlili ini kepada tujuh macam! : l . Tafsir bil Matsur. 2. Tafsir
bil Răyi. 3. Tafsir Fiqh. 4. Tafsir Sufi. 5. Tafsir al-Falsafi 6. Tafsir Ilmi. 7.Tafsir Adabi
Ijtimăie.
b. Metode Ijmali
Metode Ijmali ialah metode penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurăn dengan
cara singkat. Padat dan global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna
ayat-ayat al-Qurăn secara global, sistimatikanya mengikuti urutan surah-surah al-
Qurăn, sehingga makna maknanya dapat saling berhubungan.
Dałam menyajikan makna-makna kalimat atau ayat, mufassir mengambil
ungkapan yang diambil dari al-Qurăn sendiri, dengan menambahkan kata atau
kalimat penghubung sehingga memberi kemudahan kepada pembaca untuk
memahaminya.
Dałam penafsirkan ayat-ayat al-Qurăn para mufassir menggunakan lafal
bahasa yang mirip bahkan sama dengan al-Qurăn. sehingga pembaca merasakan
bahwa uraian yang disajikan mufassir tidak jauh dari bahasa dan lafal al-Qurăn
sehingga jelas dan dapat dengan mudah difahami.
Dałam menafsirkan ayat al-Qurăn dengan metode ijmali ini para mufassir ini
juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sabab nuzuł atau peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadiš-Hadiś yang
berhubungan dengannya.
Keistimewaan metode ini antara lain ialah : Mufassir meafsirkan ayat-ayat al-
Qurân apa adanya tanpa harus rnenghubungkan kepada hal-hal lain di luar
keagungan arti ayat tersebut. Uraian penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qurăn
mudah difahami dan dimengerti, tidak bertele-tele dan tidak berbelit-belit.49
Sedangkan kelemahan metode ini: Penafsiran ayat-ayat a1-Qurân sempit dan

49
Ibid
terbatas. Rahasia-rahasia dan hikmah yang terkandung di dalam ayat tidak
terungkap banyak. Pembahasan terhadap pokok-pokok masalah tidak tuntas
Kitab tafsir yang disusun dengan metode ijmali: Tafsir al-Qurân ul karim. karya
Muhammad Farid wajdi. seorang mufassir kontemporer asal Mesir. Kitab al- Wasith,
karya Team Majmaul Buhuts al-Islamiyah. Tafsir al Jalalain, karya Jalaluddin
Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli. Contoh penafsiran dengan metode ini dapat kita
lihat dalam tafsir Jalalain
c. Metode Muqarran
Metode Muqarran ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan
perbandingan antara satu dengan lainnya. Misalnya. seperti filsafat, hukum dan
sebagainya.
d. Metode Maudlui
Metode Maudlui suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan topik-topik
al-Qurăn. Metode tematik yang memilih persoalan-persoalan sosial politik. sosial
ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian tetapi kemudian
berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer. Maka Ibnu Qayyim menulis At-
Tibyan fie aqsamil Qurăn. Abu Ubaidah menulis Majazul Qurăn Ar-Raghib al-
lsfahany mengarang kitab Mufradaatul Qurăn. Abul Hasan Al-Wahidi mengarang
Asbabun Nuzul, Abu Jăfar an-Nuhas mengarang An-Nasikh wal Mansukh, Rasyid
Ridha, dengan Al-WahyuI-Muhammadie dan Qurais Syihab, Wawasan al-Qurăn.50
B. Sejarah Ahli-Ahli Tafsir Sunni
1. Sejarah Pengarang-pengarang Tafsir Sunni
a. Ibnu Jarir ath-Thabary
Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabary.
Dilahirkan di Thabrastan pada tahun 224 H./839 M., dan meninggal di Baghdad
tahun 310 H./932 M. Seorang ahli tarikh yang terkemuka, raja ahli tafsir, seorang
imam yang mempunyai madzhab sendiri. Banyak karangan-karangannya yang
berharga Di antaranya, kitab tafsirya Jama' al-Bayn yang sangat terkenal,
rujukan segala ulama tafsir. Tafsirnya itu mencerminkan keluasan ilmunya dm
ketinggian penyelidikannya. Beliau terpandang sebagai salah seorang imam
mujtahid tidak ber-taqlid kepada orang lain. Bahkan perah madzhabnya diikuti
oleh sebagian umat Islam.51
b. Abu Muslim al-Ashfahany
Nama lengkapnya Abu Muslim Muhammad ibn Bahar. Beliau lahir
pada tahun 254 H., dan meninggal pada 322 H. Seorang pembesar negara di
Ashfahan, termasuk golongan penulis yang ulung. amat pandai dalam urusan
tafsir dan dalam berbagai-bagai ilmu. Di antara kitabhya ialah Jami' at-Ta'wil
yang terdiri dari 14 jilid. Tafsir beliau ini amat baik susunanny. amat baik pen-
tahqiq-kannya dan bagus uraiannya. Mereka yang telah mempelajari tafsir Ar-

50
Teunku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, (
Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 236.
51
Teunku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, (
Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 237.
Razy, tentu telah dapat mengumpulkan sebagian besar dari pendapat Abu
Muslim yang telah dipindahkan Ar-Razy itu.52
c. Ibnu Mundzir
Nama Iengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Ibrahim ibn al-Mundzir an-
Naisabury. Meninggal pada tahun 309 H./921 M. di Makkah. Seorang mujtahid
yang menghafal hadits dan terhitung seorang yang amat bagus karangannya.
Di antara hasil karyanya ialah Al-Mansuthî dalam bidang fiqh, IkhtiIaf al-Ulama,
Al-ljma' dan Al-lsyraf alaa Masahid Ahl al-Ilmi.
d. Az-Zajjaj
Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim ibn Sary ibn Sahal. Lahir di Baghdad
pada tahun 241 H./855 M., dan meninggal pada tahun 30H/923 M. Seorang
pujangga nahwu dan lughah. Beliau mempunyai beberapa buah karangan yang
berharga, di antaranya ma’an di Al-Qur’an dan Khulq al-Insan.
e. Al-Wahidy
Nama lengkapnya Ali ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Matawih.
Terkenal dengan nama Al-Wahidy. Meninggal di Naisabur pada tahun 427
H./1076 M. Seorang ahli tafsir dan kesusasteraan. Beliau mengarang tiga buah
buku tafsir yaitu Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz.
f. Abu Hayyan
Nama lengkapnya Muhammad ibn Yusuf ibn Ali Hayyan al-Andalusy
an-Nahwy. lahir di Ghamathah pda tahun 654 H./1256 M.dan kemudian
berpindah ke Mesir dan menetap di sana sampai ia meninggal dunia pada
tahun 745 H./1344 M. Seorang ulama besar di dalam hadits, sejarah dan bahasa.
Banyak karangannya, di antaranya Al-Bahr al-Muhith.
g. Ats-Tsa'aliby
Nama lengkapnya Abu Manshur Abd al-Malik ibn Muhammad ibn
Isma'il ats-Tsa'aliby. Iahir pada tahun 350 H./961 M., meninggal pada tahun 429
H./1037 M. Seorang imam lugah dan adab. Di antar kitabnya Fiqh al-Lughah dan
Al-Jawahir al-Hisan.
h. Al-Qurthuby
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Faraj Al-
Qurthuby, seorang pengarang tafsir terkenal yang banyak Diambil
pendapatnya oleh ahli-ahli tafsir sesudahnya. di antara yang mengambil
pendapatnya ialah Abu Bakr Yahya Ibn Tammam Ibn Muhammad Al-Azdy al-
Qurtuby, seorang yang amat Alim dalam urusan qira’at, hadits dan lughah.
i. Al-Fakhr ar-Razy
Nama lengkapnya, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Al-Husain
Fakhruddin ar-Razy. I.ahir pada tahun 544 H./1210 M. Seorang imam ahli tafsir,
pujangga agarna yang terkenal paling besar di masyarakat. Beliau berbangsa
Quraisy. Asalnya dari Tabrastan. Lahir di Riai, karena itu dinamai Ar-Razy. Ia
banyak melawat ke beberapa negeri. Karangannya amat banyak. Di antaranya

52
Ibid
sebuah tafsir delapan jilid tebalnya Di masa hidupnya kitab-kitabnya telah
menjadi kajian umum.
j. Az-Zamakhsyary
Nama lengkapnya Mahmud ibn Umar ibn Muhammad al-Khawarizmy
az-Zamakhsyary. Lahir pada tahun 467 H./1075 M., pada tahun 538 H.,/1143 M.
Seorang ahli agama, tafsir, lughah dan adab yang sangat terkemuka, khususnya
dalam urusan kesusasteraan bahasa Arab. Dilahirkan di Zamakhsyari. Setelah
dewasa beliau perg ke Makkah dan berkediaman di sana beberapa lama
masanya. Karena itu beliau diberi gelar Jarullah. Banyak sekali kitab-kitab
agama yang beliau karang di antaranya Al-Kasysyaf, sebuah tafsir yang sangat
perlu dipelajari mereka yang hendak mengetahui kepelikan dan keindahan
susunan bahasa al-Quŕan. Dalam soal kepercayaan, beliau menganut
Mu'tazlah. Beliau sangat keras membantah pendapat taSawuf.53

C. Sejarah Ahli-ahli Tafsir Syi'ah


1. Sejarah Pengarang-pengarang Tafsir Syi'ah
Metode terbaik untuk memahami pandangan Syi’ah mengenai Al-Qur’an al-
Karim adalah dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para ulama besar Syi'ah.
Di sini kami akan meyinggung beberapa contoh dari pernyataan- pernyataan
beberapa ulama besar Syi'ah di berbagai kurun:
a. Syłikh Shaduq (w, 381 HQ) yang terkenal dengan julukan syaikh al-N1uhaditsin,
dalam kitabnya yang berjudul al-I’tiqadat fidin al-Imamiyyah, menulis: 'Akidah
kami adalah bahwa Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Rasuluilah
Muhammad Saw tak lain adalah Al-Qur’an yang saat ini berada di antara dua jilid
dan berada dalam kewenangan kita, dan tak lebih dari itu. Jumlah surahnya adalah
seratus empat belas ..., siapapun yang menisbatkan bahwa kami meyakini Al-
Qur’an lebih dari ini, maka ia adalah pembohong.
b. Sayyid Nlurtadha (w. 436 HQ dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
Tripoli yang sampai kepada beliau, menulis demikian: ''Makrifat dan keyakinan
kami terhadap kevalidan penukilan Al-Qur’an al-Karim, sebagaimana makrifat dan
keyakinan kami terhadap keberadaan negara-negava, kota-kota, dan peristiwa-
peristiwa sejarah yang terkenal ... dalil dari persoalan ini adalah penghormatan dan
perhatian khusus kami kepada Al-Qur’an dan motivasi yang kuat untuk merekam
dan menjaga teksnya jauh melebihi penjagaan dan perhatian terhadap masalah-
masalah di atas .... Pada masa Rasulullah Saw Al-Qur’an dikumpulkan dan disusun
persis sebagaimana yang ada hari ini. Rasul Saw bahkan memerintahkan kepada
sekelompok dari sahabatnya untuk menghafal dan menjaga Al-Qur’an al-Karim.
Pada masa itu, persoalan ini menjadi masalah yang merebak di kalangan mereka,
yang di hadapan Rasulullah mereka akan membaca Al-Qur’an yang tertulis untuk
memperoleh keyakinan atas kedetilan teksnya. Dan Rasul Saw pun akan

53
Muhammad Ali Shomali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I, November
2012), H. 45.
mendengarkan bacaan-bacaan ini dengan penuh keseriusan. Sekelompok dari
sahabat beliau seperti Abdullah bin Mas'ud dan Ubai bin Ka'ab membacakan
seluruh teks Al-Qur’an di hadapan Rasulullah Saw bahkan hingga beberapa kali.
c. Syaikh Muhammad bin Hasan Thusi (w. 460 HQ) yang terkenal dengan sebutan
Syaikh Al-Thaif dalam kitab tafsirnya yang bernama Al-Tibyan menulis: "Berbicara
mengenai penambahan pengurangan Al-Qur’an tidak ada dasarnya, pada ijmak'
adalah penafian penambahan ...54
d. Syaikh Thabarsi (w. 548 atau 538 HQ) dalam tafsir terkenalnya Majma' al-Bayân,
menuliskan: "Dalam kaitannya dengan penambahan sesuatu pada Al-Qur’an,
ijmak' menyatakan kebatilannya, dan dalam kaitannya dengan pengurangan Al-
Qur’an, sebagian dari Syi'ah dan sekelompok dari Hasyawiyah Ahlusunnah
meriwayatkan bahwa Al-Qur’an berada dalam ancaman perubahan dan
pengurangan, sementara itu, akidah shahih di mazhab kami (Tasyayyu') bertolak
belakang dengan itu.
e. Sapyicl bin Thusi (w. 6641-10 dalam kitabnya Sa'd al-Su'ûd, menulis:
"Sesungguhnya Imamiyah meyakini bahwa dalam al- Quran tidak terdapat
sedikitpun perubahan dan tidak terjadi bentuk penyimpangan yang manapun.
f. Allamah Hilli (w. 664 HQ) dalam kitab Adjwibah al-Masâil al-Mfahnâwiyyh,
menuliskan demikian: "Yang benar adalah bahwa tidak ada satupun bentuk
penambahan atau pengurangan dalam Al-Qur’an, dan saya berlindung kepada
Allah dari perkataan yang menyatakan adanya penyimpangan dalam Al-Qur’an,
karena masalah ini bisa menyebabkan munculnya keraguan dalam mukjizat
kemutawatiran Rasul Saw.55

4. KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi seluruh umat, Untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami
maksud daripada ayat-ayat Al-Qur’an itu. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran
terhadap ayat-ayatnya untuk memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya
dapat difahami dan diamalkan. Karena fungsinya yang sangat strategis itu, maka Al
Qur’an haruslah di fahami secara tepat dan benar. Dan upaya untuk memahami al
Quran dikenal dengan istilah tafsir. Tafsir merupakan sebuah rangkaian penjelasan
dari pembicaraan atau teks Al-Qur’an, atau bisa dikatakan bahwa tafsir sebagai
penjelasan lebih lanjut mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para
mufasir untuk mendapatkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

54
Muhammad Ali Shomali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I, November
2012), H. 46.
55
Ibid
Affani, Syukron, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, (Jakarta: Kencana,
2019), 9.
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 340-341
Al-Qur’an terjemah. Departemen Agama Republik Indonesia. (Jakarta: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2009) QS. 2 (Al-Baqarah): 185.
Ari, Anggi Wahyu, “Sejarah Tafsir Nusantara,” Jurnal Studi Agama 3, no. 2 (2020): 113–
27, https://doi.org/10.19109/jsa.v3i2.5131.
Ash-Shiddieqy, Teunku Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir, ( Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Kelima, Juni 2013), H. 236.
Az-Zahabi, M. Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 65.
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008), h. 47- 48.
Dozan, Wely, Muhammad Turmuzi, Sejarah Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Teori, Aplikasi,
Dan Model Penafsiran), (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020), 2.
Hamid, Muhammad Shalahuddin, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pt. Nusantara
Lestari Ceriapratama, ), H. 327.
Malaka, Andi, “Berbagai Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur’an”, Jurnal Studi
Islam, Vol. 1, No. 2, (2021) : 145
Muhibudin, Muhibudin, “Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Al-Qur’an,” Al-
Risalah 11, no. 1 (2019): 1–21, https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i1.553.
Sarwat, Ahmad, Ilmu Tafsir: Sebuah Pengantar, (Lentera Islam, 2020), 14.
Shihab, Quraish, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Wahyu dalam kehidupan
masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993), h.75
Shomali, Muhammad Ali, Cakrawala Syi’ah, ( Jakarta : Nur Al-Huda, Cetakan I,
November 2012), H. 45.
Wahidmurni. Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. (Malang. 2017), H. 1.
SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PADA
MASA RASULULLAH DAN SAHABAT

Dede Among,1 Mughni Azizzah,2


Nelly Nur Asmah,3
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Dedeamong.da@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Mughniazizzah19@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Nellynurasmah98@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi
Saw sampai sekarang. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif disini penulis mendeskripsikan secara lengkap sejarah pemeliharaan Al-Qur’an
pada masa Nabi Saw dan pasca sahabat sampai sekarang. Hasil dari penelitian ini adalah Al-
Qur'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah Al-Qur'an yang telah diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW tanpa adanya perubahan. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah Saw lebih banyak mengandalkan kemampuan hafalan, sedangkan penulisannya
hanya sedikit seperti pada pelepah kurma, tulang belulang dan batu-batuan, hal ini karena
pada masa tersebut belum dikenal kertas seperti sekarang ini, disamping juga karena
banyaknya umat Islam yang buta huruf. Adapun pada masa khalifah Abu Bakar,
pemeliharaan Al-Qur’an telah dilakukan dengan pengumpulan dalam satu Mushaf, yang
kemudian diperbanyak pada masa khalifah Usman bin Affan.

Kata Kunci: Sejarah, Pemeliharaan, Al-Qur’an.

ABSTRACT
This study aims to determine the history of the maintenance of the Qur'an during the time of the Prophet
until now. This research method is qualitative using a descriptive method, here the author describes in
full the history of the maintenance of the Qur'an during the Prophet's time and after the Companions
until now. The result of this research is that the Qur'an that is in our hands today is the Qur'an which
was revealed to the Prophet Muhammad SAW without any changes. The maintenance of the Qur'an at
the time of the Prophet Muhammad relied more on memorization skills, while the writing was only a
little like on date palm stems, bones and rocks, this was because at that time paper was not yet known
as it is today, as well as because of the large number of people. Illiterate Islam. As for the caliphate of
Abu Bakr, the maintenance of the Qur'an was carried out by collecting it in one manuscript, which was
then reproduced during the caliphate of Usman bin Affan.

Keyword: History, Maintenance, Al-Qur’an.


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam yang di dalamnya berisi petunjuk

dan tuntunan komprehensif untuk mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia

merupakan kitab asli dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan

maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang

zaman. Al-Qur’an turun kepada Nabi Saw, tidak sekaligus akan tetapi secara

berangsur-angsur. Sejarah Al-Qur'an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya

sampai masa sekarang. la dibaca hampir oleh setiap Muslim sejak dulu hingga

sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Qur'an tidak membutuhkan sejarah untuk

membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut memperkenalkan dirinya

sebagai firman-firman Allah.

Al-Qur 'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah Al-Qur'an yang

telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tanpa adanya perubahan, karena

keberadaan Al-Qur’an yang demikian ini berkaitan dengan sifat dan cirinya, yang

tetap sebagaimana keadaannya dahulu. Setiap Muslim harus percaya bahwa apa

yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Qur'an sekarang ini tidak berbeda

sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah Saw, didengar dan

dibaca oleh para Sahabat.

Pada zaman sekarang Al-Qur'an dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh

dunia dan tidak tertinggal di Negara Indonesia dengan munculnya pondok

pesantren Tahfizul Qur’an di mana-mana. Dengan munculnya banyak pondok

pesantren Tahfizul Qur’an tersebut, setiap tahunnya menghasilkan penghafal-

penghafal baru yang jumlahnya semakin bertambah. Ini semua adalah salah satu

isyarat bahwa Allah senantiasa menjaga Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Strauss dan Corbin

dalam Pupu Saeful Rahmat secara umum penelitian kualitatif dapat digunakan

untuk meneliti tentang sejarah, kehidupan masyarakat, fungsionalisasi organisasi,

aktivitas sosial, tingkah laku dan lain-lain. Biasanya penelitian ini digunakan
untuk memahami dan menemukan apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang

kadangkala sulit untuk dipahami.56

Penelitian ini juga menggunakan teknis kepustakaan atau library research.

Penelitian kepustakaan atau library research merupakan suatu studi yang

digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai

macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-

kisah sejarah dan sebagainya.57

Adapun data sekunder yang didapatkan yaitu bersumber jurnal, artikel dan

buku-buku ilmuan yang berkaitan dengan sejarah pemeliharaan Al-Qur'an58. Dan

teknis analisis data dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan

penelitian dan pembahasan, menggabungkan semua data yang dibutuhkan dan

menjadikan suatu kesimpulan sehingga menjadi data yang benar.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Saw

Dalam sirah nabawiyah, diceritakan bahwa ketika Nabi Saw turun dari

Gua Hira dan pulang menemui Khadijah, beliau sama sekali tidak membawa

apapun di tangannya, entah itu kulit atau batu atau media apapun yang

bertuliskan ayat Al-Qur’an. Beliau hanya bingung bercampur ketakutan

seraya meminta Khadijah untuk menyelimutinya. Zammiluni zammiluni atau

selimuti aku selimuti aku, demikian pintanya berulang-ulang. Khadijah

kemudian bertanya kepada sepupunya yang kebetulan seorang pendeta

nasrawi, bernama Waraqah bin Naufal, tentang keadaan yang menimpa diri

suaminya.

Tidak diceritakan bahwa Khadijah membawa potongan ayat yang baru

saja turun. Seandainya memang Jibril As datang membawa benda bertuliskan

ayat Al-Qur’an, pastilah benda itu juga akan dibawa serta dan ditunjukkan

56Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009): 2.
57
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam penelitian
pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no. 1, (2020): 43.
58
Sandu Siyoto, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015): 68.
kepada sang pendeta. Ini sebuah bukti bahwa wahyu yang turun pada waktu

itu memang jelas bukan dalam bentuk tulisan, melainkan hanya dalam wujud

suara dan perkataan saja.59

Jibril As menurunkan wahyu dalam bentuk suaranya dan begitu Jibril

berlalu, Rasulullah Saw memanggil para sahabat untuk menuliskannya. Dr.

Ghanim Al-Quduri dalam kitabnya, Rasmul Mushaf Dirasah Lughawiyah

Tarikhiyah menyebutkan bahwa para shahabat yang diperintahkan untuk

menulis wahyu cukup banyak jumlahnya, mencapai 43 orang dan yang

paling terkenal yaitu Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu

Sufyan, Ubay bin Kaab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Saad, Hanzhalah

Ibnu Ar-Rabi dan lainnya.

Namun yang paling produktif dan menonjol untuk menuliskan wahyu

dari semuanya memang Zaid bin Tsabit. Sahabat yang lain juga kerap

menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan.60 Pada permulaan

Islam bangsa Arab adalah merupakan bangsa yang buta huruf dan amat

sedikit di antara mereka yang mengenal tulis - baca , mereka belum mengenal

kertas sebagaimana sekarang .

Perkataan al-Waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti kertas,

di masa tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata al-

Qirthos yang artinya kertas oleh mereka hanyalah dipakaikan untuk benda-

benda (bahan-bahan) yang dipergunakan untuk menulis yaitu kayu , tulang

binatang , kulit binatang , Pelepah kurma dan lain sejenisnya maupun

bebatuan yang tipis. Jadi, media penulisan yang digunakan saat itu adalah,

sebagai berikut:61

59
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 15-16
60
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 21-11
61
Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 287.
Gambar 3.1: Kulit Binatang

Gambar 3.2: Lempengan Batu

Gambar 3.3: Tulang Binatang


Gambar 3.4: Pelepah Kurma

Setiap diturunkan ayat Al-Qur’an, Nabi selalu menyuruh menghafalnya

dan menuliskanya di bebatuan, kulit binatang, pelepah kurma dan lain

sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang dapat ditulisi dan pula Nabi

menerangkan akan bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun dalam sebuah

surat, artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun

secara tertib urutannya.

Pada masa ini pengumpulan Al-Qur’an ditempuh dengan dua cara:

1. Al-Jam'u fis Sudur,

Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali

Rasulullah Saw menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka

dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga

Turats (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair

atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan

kekuatan daya hafalannya.

2. Al-Jam'u fis Suthur,

Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah Saw ketika beliau

berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian

wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya

dimana Rasulullah Saw setiap kali turun wahyu kepadanya selalu

membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh


mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk

menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan

Al-Qur’an Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian menulis

sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an barangsiapa yang menulis sesuatu

dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya"62

Hal ini bertujuan agar apa yang dituliskannya adalah betul-betul Al

Qur'an dan tidak tercampur adukkan, dengan yang hanya Al-Qur'an betul-

betul terjamin kemumiannya. Nabi Saw menganjurkan supaya Al-Qur'an itu

dihafalkan di dalam dada masing-masing sahabat dan diwajibkan pula untuk

dibaca pada setiap shalat. Dengan jalan demikian itu maka banyaklah para

sahabat yang mampu menghafal Al-Qur'an, menghafal surat yang satu

macam oleh ribuan manusia dan banyak yang mampu menghafal Al-Qur'an

secara keseluruhan .

Pada masa perang Badar orang-orang Musyrikin yang ditawan oleh

Nabi Muhammad Saw, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,

tetapi pandai menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar 10

orang muslim untuk membaca dan menulis sebagai tebusan. Dengan

demikian semakin bertambahlah keinginan untuk membaca dan menulis dan

bertambah banyaklah di antara orang Islam yang pandai membaca dan

menulis, sehingga banyak pula orang-orang yang menulis ayat-ayat Al-

Qur'an yang telah diturunkan.63

Sementara Nabi sendiri memiliki beberapa orang penulis wahyu yang

diturunkan untuk beliau secara khusus. Di antara para penulis itu ialah : Ali

bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan

Muawiyah bin Abi Shofyan, pada masa itu oleh Malaikat Jibril diadakan

ulangan (repetisi) sekali dalam satu tahun, diwaktu ulangan Nabi disuruh

untuk mengulangi memperdengarkan wahyu yang telah diturunkan

62Hadis diriwayatkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud), hal. 8 dan Ahmad hal. 1.
63Mana' Al Qattan, mabahits Fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh, tt,), 25.
kepadanya, di tahun beliau wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril sebanyak

dua kali. Nabi sendiri pun sering mengadakan ulangan di hadapan para

sahabatnya, pendeknya Al-Qur'an tersebut sangat terjaga dan terpelihara

secara baik dan Nabi telah menjalani cara yang amat praktis di dalam

memelihara dan menyiarkan Al-Qur'an yang sesuai dengan kondisi bangsa

Arab pada saat itu.

Penulisan pada masa Rasulullah Saw belum terkumpul menjadi satu

mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni; Pertama, tidak adanya faktor

pendorong untuk membukukan Al-Qur’an menjadi satu mushaf mengingat

Rasulullah masih hidup, di samping banyaknya sahabat yang menghafal Al -

Qur’an dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan

mengganggu kelestarian Al-Qur’an. Kedua, Al-Qur’an diturunkan secara

berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an bisa dibukukan

dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama proses turunnya

Al-Qur’an masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang

mansukh.64

3.2 Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat dari kalangan Anshar maupun

Muhajirin semua sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Pada

awal pemerintahannya banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat

imannya, terutama orang yang tinggal di Yaman. Banyak dari mereka yang

menjadi murtad juga banyak yang menolak untuk membayar zakat,

kemudian terjadilah perperangan untuk menyingkirkan orang-orang murtad

serta pengikutnya dan orang yang mengaku dirinya Nabi, perang itu di kenal

dengan perang Yamamah.65

64 Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), 18.
65 Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 288.
Perang Yamamah terjadi di tahun kesebelas hijriyah bertepatan dengan

tahun 632 Masehi. Perang ini dipicu oleh gerakan murtad masal yang

digembongi oleh Musailamah Al-Kadzdzab. Tokoh murtad ini berhasil

mengumpulkan pasukan sebanyak 40 ribu orang bersenjata. Abu Bakar

menyerahkan 13 ribu pasukan yang awalnya dipimpin oleh Ikrimah dan

kemudian diserahkan kepada Khalid bin Walid.

Sejarah mencatat pertempuran itu berlangsung cukup lama, sehingga

korban yang jatuh cukup banyak. Namun mereka adalah para penghafal Al-

Qur’an (qurra') yang secara sukarela ikut dalam perang melawan orang-orang

murtad.66 Dalam perperangan ini terdapat tujuh puluh penghafal Al-Qur’an

dari kalangan sahabat gugur. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri

Umar bin Khatab (yang kemudian menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah

kedua), Umar merasa cemas apabila semakin bertambah lagi penghafal Al-

Qur’an yang gugur.

Kemudian Umar menghadap ke Abu Bakar dan mengajukan usul

kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an. Pada

awalnya Abu Bakar menolak karena hal ini tidak dilakukan oleh Rasulullah

Saw, umar tidak putus asa membujuk Abu Bakar dan kemudian Allah SWT

membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan dari Umar. 67

Kemudian Abu Bakar meminta Zaid Bin Tsabit dan berkata kepadanya

bahwa Umar mengajaknya untuk mengumpulkan Al-Qur’an kemudian

diceritakannya segala pembicaraan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar

dan Abu Bakar Berkata: “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang

aku percaya sepenuhnya dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang

selelu diperintah oleh Rasulullah, oleh karena itu kumpulkanlah ayat-ayat Al-

Qur’an”.

66
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 37.
Muhammad Ichan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
67

Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, Vol. 14, no. 1 (2012): 4.
Akan tetapi Zaid menolak kemudian ia mengungkapkan bahwa " Demi

Allah ini adalah pekerjaan yang berat bagiku, seandainya aku diperintahkan

untuk memindahkan bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada

mengumpulkan Al-Qur'an yang engkau perintahkan itu". Kemudian ia

berkata kepada Abu Bakar dan Umar, " Mengapa kalian melakukan sesuatu

yang tidak diperbuat oleh Nabi ?”, Abu Bakar menjawab: Demi Allah ini

adalah perbuatan yang baik, lalu ia memberikan alasan-alasan kepada Zaid

untuk mengumpulkan Al-Qur'an itu sehingga hal yang demikian itu dapat

membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an

dari daun pelepah kurma, kulit binatang, bebatuan dan lain sejenisnya dan

dari para sahabat yang telah hafal Al-Qur'an secara utuh.

Jadi proses pengumpulannya tidak terjadi di masa kenabian, melainkan

terjadi setelah Nabi Saw wafat, yaitu di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-

Shiddiq dan Utsman bin Affan. Penulisan Al-Qur’an di masa kenabian itu

meski sudah dilakukan, namun belum lagi disusun sebagaimana urutan surat

dan ayat yang kita kenal di dalam mushaf sekarang. Para sahabat penulis

wahyu, baik yang resmi diangkat oleh Nabi Saw ataupun yang

menuliskannya sesuai inisiatif masing-masing, mereka mencatat semua

wahyu yang turun berdasarkan urutan proses diturunkannya Al-Qur’an ke

muka bumi itu bersifat munajjaman (‫ منجما‬atau berangsur-angsur dan tidak

turun sekaligus. Urutan turunnya pun juga tidak sebagaimana urutan yang

kita kenal di mushaf sekarang ini. Para ulama mengenal dua istilah yang

berlawanan, yaitu tartib nuzuli yaitu urutan turun dan tartib mushafi yaitu

urutan dalam mushaf.68

Dalam usaha pengumpulan Al-Qur’an itu Zaid bin Tsabit bekerja sangat

teliti sekalipun beliau sendiri hafal Al-Qur’an seluruhnya, akan tetapi untuk

kepentingan pengumpulan Al-Qur’an yang sangat penting bagi umat Islam,

68
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 35-36
maka ia memandang perlu mencocokkan hafalan dan catatan para sahabat

dan menghadirkan beberapa orang saksi.

Dengan demikian Al-Qur’an telah selesai pengumpulan ayat-ayat Al-

Qur’an dalam satu mushaf dengan urutan-urutan yang telah ditetapkan oleh

Rasulullah Saw. Kemudian Zaid bin Tsabit menyerahkan kepada Abu Bakar

sebagai khalifah saat itu, lalu dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab selama

pemerintahannya, sesudah Umar bin Khatab wafat mushaf tersebut

dipindahkan ke rumah Hafsah, beliau adalah putri Umar dan juga istri

Rasulullah Saw. Sampai pada masa pengumpulan dan penyusunan Al-

Qur’an pada masa Khalifah Usman bin Affan.69

3.3 Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Usman bin Affan


Al-Qur’an pada masa khalifah Usman bin Affan tetap dalam keadaan

demikian, artinya telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap diatas

lembaran-lembaran yang serupa ayat-ayat dalam satu surat tersusun sesuai

dengan ketetapan Rasulullah Saw. Lembaran-lembaran tersebut digulung

dan diikat dengan benang dan disimpan.

Pada masa itu pemerintahan Usman bin Affan telah sampai ke

Armenia, Azarbaijan disebelah Timur dan Tripoli di sebelah Barat. Kemudian

kelihatanlah kaum muslimin pada waktu itu telah terpencar hingga ke Mesir,

Syiria, Irak, Persia dan Afrika dan kemana dan dimanapun mereka tinggal

Al-Qur’an tetap menjadi imam mereka.70

Khalifah Utsman bin Al-Affan adalah khalifah yang ketiga. Beliau

memerintah sejak Umar bin Khattab wafat yang berkuasa selama 10 tahun.

Masa kekhalifahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama, yaitu 12

tahun lamanya sejak dari tahun 644 hingga 655. Pada masa Beliau ini

sebenarnya ada dua hal yang dilakukan, yaitu: pertama, terkait dengan

69 Kalimatul Ulya dan Saidah, “Rijalul Qur’an: Membincang Sejarah Para Penulis Wahyu”,
Vol. 1 no. 1 (2017): 55.
70 Muslimis, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 290.
penggunaan huruf teks Al-Qur’an yang distandarisasi dikenal dengan istilah

Rasm Utsmani. Kedua, terkait dengan standarisasi beberapa mushaf yang

berbeda karena menampung ragam qiraat yang berbeda dikenal dengan

istilah Mushaf Utsmani.

Kedua hal itu awalnya dipicu sesuatu yang sebenarnya agak kebetulan

saja, namun memang merupakan hal yang pasti terjadi. Perang Armenia

Azerbaijan, awalnya dimulai dari perseterusan dua kubu umat Islam, ketika

terjadi pembebasan wilayah baru dan penyebaran Islam ke Armenia dan

Azerbaijan. Pasukan muslimin kala itu dikerahkan dari banyak tempat, di

antaranya dari Kufah dan Damaskus . Kedua dua pasukan bertemu, muncul

sedikit masalah perbedaan qiraat dari kedua pasukan rupanya penyebabnya

karena guru qiraat mereka berbeda.

Bahasa Arab dahulu mempunyai berbagai lahjah (dialek) yang

beragam antara satu kabilah dan kabilah lain, baik dari segi intonasi, bunyi

maupun hurufnya. Bahasa Quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan

tersendiri, dan lebih tinggi daripada bahasa dan dialek yang lain, antara lain,

karena orang Quraisy berdampingan dengan Baitullah, menjadi pengabdi

urusan haji, membangun Masjidil Haram, dan tempat persinggahan dalam

perniagaan.

Oleh karena itu, wajarlah apabila Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa

Quraisy kepada seorang rasul yang Quraisy pula, agar dapat menjinakkan

orang-orang Arab dan mewujudkan kemu’jizatan Al-Qur’an yang tidak bisa

mereka tandingi. perbedaan dialek bangsa Arab tersebut, maka Al-Qur’an

yang diwahyukan Allah Subhanahu wa taala kepada Rasulullah Muhammad

Shallallahu alaihi wa sallam akan menjadi sempurna kemu’jizatannya apabila

ia dapat menampung berbagai dialek dan macam-macam cara membaca Al-

Qur’an sehingga memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan

memahaminya.
‫‪Dalil Diturunkannya Al-Qur’an dalam Tujuh Huruf Hadits dari Ibnu‬‬

‫‪Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata:‬‬

‫هللا عليه و سلم ‪:‬أقرأىن جربيل على حرف فراجعته فل هم أزل أستزيده و يزيدىن‬
‫قال رسول هللا صلى ه‬

‫حىت انتهى على سبعة أحرف )رواه البجارى و مسلم هو غريه‬

‫‪Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril telah‬‬

‫‪membacakan Al-Qur’an kepadaku dalam satu huruf. Aku berulang-ulang‬‬

‫‪membacanya. Selanjutnya aku selalu meminta kepadanya agar ditambah,‬‬

‫‪sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf. (HR Bukhari, Muslim, dan‬‬

‫)‪lainnya‬‬

‫‪Hadits dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu Ia berkata:‬‬

‫مسعت هشام بن حكيم يقرأ سورة الفرقا هن ىف حياة رسول هللا صلى هللا عليه و سل هم ‪ ،‬فاستمعت‬

‫هللا عليه هو سلم ه‪ ،‬فكدت‬


‫لقراءته فإذها هو يقرؤها على حروف كثرية مل يقرئنيها رسول هللا صلى ه‬

‫أساوره ىف الصالة ‪ ،‬فانتظرته حىت سلم ‪ ،‬هث لببته بردائه قلت ‪:‬من أقرأك هذه السورة ‪ ،‬قا هل ‪:‬أقرأ نيها‬

‫هللا عليه و سل هم‬


‫هللا ‪ ،‬إ هن رسول هللا صلى ه‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ‪ ،‬قلت له ‪:‬كذبت ‪ ،‬فو ه‬

‫هللا عليه هو سل هم فقلت‬


‫‪ :‬أقرأىن هذه السورة الىت مسعتك تقرؤها ‪ ،‬فانطلقت أقوده إىل رسول هللا صلى ه‬

‫اي رسول هللا ‪ ،‬إىن مسعت هذا يقرأ سورة الفرقا هن على حروفه مل تقرئنيها ‪ ،‬هو أنت أقرأتىن سورة‬

‫الفرقا هن ‪ ،‬فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سل هم ‪:‬أرسله اي عمر ‪ ،‬اقرأ اي هشام ‪ ،‬فقرأ هذه القراءة‬

‫هللا عليه هو سلم ‪:‬هكذا أنزلت ‪ ،‬هث قال رسول هللا صلى هللا‬
‫الىت مسعته يقرأها ‪ ،‬قال رسول هللا صلى ه‬

‫” عليه و سل هم ه”ه‪:‬إ هن هذا القرآ هن انزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسرمنه‬

‫)رواه البخارى و مسل هم و اب هو داود و النسائى و الرتمذى و امح هد و اب هن جرير(‬

‫‪Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa‬‬

‫‪hidup Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu aku sengaja‬‬

‫‪mendengarkan bacaannya. Tiba-tiba dia membaca dengan bacaan yang‬‬


bermacam-macam yang belum pernah dibacakan Nabi kepadaku. Hampir

saja aku serang dia dalam shalat, namun aku berusaha menunggu dengan

sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku

bertanya, “Siapa yang mengajari bacaan surat ini?” Hisyam menjawab, “yang

mengajarkannya adalah Rasulullah sendiri”.

Aku gertak dia, “kau bohong, demi Allah, Rasulullah telah

membacakan kepadaku surat yang kau baca tadi (tetapi tidak seperti

bacaanmu). Maka kuajak dia menghadap Rasulullah dan kuceritakan

peristiwanya. Lalu Rasulullah menyuruh Hisyam membaca surat Al-Furqan

sebagaimana yang dibaca tadi. Kemudian Rasulullah berkomentar,

“Demikianlah bacaan surat itu diturunkan”. Lalu Rasulullah berkata lagi,

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf”, maka bacalah

mana yang kalian anggap mudah.

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ahmad,

dan Ibnu Jarir)

Pasukan dari Kufah kebanyakan berguru kepada Abdullah bin

Mas'ud, salah satu shahabat Nabi Saw yang senior dan amat mendalam ilmu

qiraatnya. Sedangkan pasukan dari Damaskus umumnya merupakan murid

dari Ubay bin Ka'ab, salah seorang shahabat Nabi SAW juga yang mana

beliau juga dikenal sebagai penulis wahyu.

Sayangnya kedua pasukan belum sempat mengetahui adanya

perbedaan qiraat Al - Quran, sehingga mengira ketika ada bacaan Al-Qur’an

yang berbeda dan asing di telinga mereka, sangat mudah sekali mereka

menyalahkan. Meski penyebabnya nampak sederhana, namun masalah kecil

di tangan mereka yang tidak lengkap ilmunya bisa saja menjadi masalah

besar bahkan mereka sudah mulai saling mengkafirkan.

Melihat gelagat yang kurang baik itu, salah seorang sahabat nabi yaitu

Hudzaifah Ibnul Yaman melihat akar masalahnya hanya bisa diselesaikan

oleh sekelas khalifah, yaitu Utsman bin Al-Affan. Maka Huzaifah


meninggalkan pasukan dan pulang ke Madinah melaporkan apa yang telah

terjadi “Wahai Amirul Mukminin, aku meihat banyak orang saling

menyalahkan satu sama lain ketika aku mengikuti perang pembebasan

Armenia. Aku melihat penduduk Syam membaca qiraah Ubay bin Ka'ab.

Abdullah bin Mas'ud kemudian datang dan membaca yang tidak pernah

didengar oleh penduduk Syam, dan di antara mereka kemudian

mengkafirkan yang lain”.71

Dari laporan Hudzaifah itulah kemudian Utsman merencanakan

sebuah proyek besar dengan nilai yang amat strategis. Intinya bagaimana

mengakui secara resmi berbagai macam qiraat yang sumbernya semua dari

Rasulullah Saw, meski berbeda- beda kata-katanya. Apa yang dibaca oleh

Abdullah bin Mas'ud tidak ditolak bahkan sebaliknya justru diresmikan dan

diakui, lewat dituliskannya qiraat Ibnu Mas'ud dalam bentuk mushaf

standar.

Dan apa yang dibaca oleh Ubay bin Ka'ab meski berbeda qiraatnya

dengan bacaan Abdullah bin Mas'ud juga diakui secara resmi dan diabadikan

lewat mushaf yang juga standar. Dengan demikian , perselisihan di antara

kedua pasukan yang awalnya jadi sumber masalah segera berakhir, karena

mereka akhirnya paham bahwa kedua qiraat yang berbeda itu ternyata sama

- sama qiraat yang resmi , mutawatir dan bersumber dari Nabi Saw juga.

Tidak perlu ada saling menyalahkan, apalagi sampai saling mengkafirkan.

Khalifah Usman bin Affan kemudian bertindak dan meminta kepada

Khafshah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ditulis pada masa

Kahalifah Abu Bakar untuk disalin. Oleh karena itu Usman bin Affan

membentuk kepanitiaan untuk menyalinnya dengan anggota sebagai berikut:

Zaid bin Tsabit sebagai Ketua dan Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash,

Abdurrahman bin Kharits bin Hisyam sebagai anggota.

71
Ahmad Sarwat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp): 42.
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin

lembaran- lembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi

beberapa mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini, Usman menasehatkan

supaya:

1) Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an.

2) Kalau ada pertikaian antara mereka mengenai bahasa (bacaan), maka

haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an

itu diturunkan menurut dialek mereka.72

Maka dikerjakanlah oleh panitia tersebut sebagaimana yang telah

ditugaskan kepadanya, dan setelah selesai maka lembaran-lembaran Al

Qur'an yang telah dipinjamnya dikembalikan lagi pada Khafshah. Al-Qur'an

yang telah dibukukan dinamai dengan "Al Mushhaf" dan oleh panitia ditulis

sebanyak lima buah, empat buah di antaranya dikirim ke Makkah, Syiria,

Bashrah dan Kuffah dan yang satu buah di Madinah untuk Khalifah Usman

bin Affan sendiri, dan inilah yang dinamai dengan Musfhaf Al Imam.

Sesudah itu, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk

mengumpulkan semua lembaran- lembaran yang bertulis Al-Qur'an sebelum

itu dan membakarnya, dan dengan demikian mushhaf yang ditulis pada

masa Usman bin Affan itu kaum Muslimin menyalinnya.

3.4 Sejarah pemeliharaan Al-Qur’an pasca sahabat sampai sekarang

Nabi Muhammad Saw sangat menganjurkan para sahabat untuk

menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an, oleh karena itu banyak para sahabat yang

menghafalnya baik hanya satu surat maupun menghafal Al Qur'an secara

keseluruhan. Kemudian pada masa Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan seterusnya,

usaha menghafal Al Qur'an dianjurkan dan diberi dorongan oleh para

khalifah sendiri.

Muhammad Ichsan, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
72

Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, Vol. 14, no. 1 (2012): 6.
Di Indonesia sudah merupakan hal yang menjadi kebiasaan diadakan

Musabaqah Tilawati Al-Qur'an yang diperuntukkan mulai dari usia kanak-

kanak sampai pada tingkatan dewasa, mulai dari tingkat kelurahan sampai

kecamatan, kabupaten bahkan sampai tingkat Nasional, demikian pula

Jami'atul Quito' tidak asing lagi di Indonesia yang berusaha dalam bidang ini.

Untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia

maupun yang didatangkan dari luar negeri Pemerintah RI. Cq. Departemen

Agama membentuk sebuah badan yang bertugas untuk memeriksa dan

mentashhih Al-Qur'an yang akan dicetak dan akan diedarkan yang dinamai

Lajnah Pentashhih Mushhaf Al Qur'an yang ditetapkan oleh menteri Agama

no.37 tahun 1957.

Selain itu Pemerintah juga sudah memiliki Al-Qur'an Pusaka yang

berukuran 1x2 meter yang telah ditulis tangan oleh penulis dari Indonesia

sendiri yang dimulai dari tanggal 28 Juni 1948/17 Ramadlian 1367 dan selesai

tanggal 15 Maret 1960/17 Ramadhan 1379 yang sekarang tersimpan di masjid

Baitu Al-Rahman dalam Istana Negara. Al-Qur'an Pusaka itu disamping

untuk menjaga kesucian dan kemurnian Al- Qur'an juga dimaksudkan untuk

menjadi Induk dari Al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia.

Dengan usaha-usaha yang disebutkan di atas maka terpeliharalah Al-

Qur'an Al-Karim hingga sampai kepada kita semua sekarang dengan tidak

ada perubahan sedikitpun dari apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT

kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam pada itu, Al-Qur'an dihafalkan oleh

jutaan umat Islam, ini adalah salah satu isyarat bahwa Allah senantiasa

menjaga Al Qur'an dan dengan ini terbuktilah penjagaan Allah terhadap Al-

Qur’an.73

Tugas pemeliharaan Al-Qur’an itu, di samping jaminan langsung dari

Allah SWT yang akan tetap menjaganya. Maka pemeliharaan juga

73 Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, Vol 25, no 2 (2014): 202-203


berlangsung di tengah-tengah umat Islam itu sendiri, mekanisme

pemeliharaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam akan berlangsung secara

otomatis.74

4. KESIMPULAN

Al-Qur'an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah Al-Qur'an

yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa adanya

perubahan. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw lebih banyak

mengandalkan kemampuan hafalan, sedangkan penulisannya hanya sedikit

seperti pada pelepah kurma, tulang belulang dan batu-batuan, hal ini karena

pada masa tersebut belum dikenal kertas seperti sekarang ini, disamping juga

karena banyaknya umat Islam yang buta huruf. Adapun pada masa khalifah

Abu Bakar, pemeliharaan Al-Qur’an telah dilakukan dengan pengumpulan

dalam satu Mushaf, yang kemudian diperbanyak pada masa khalifah Usman

bin Affan. Kalifah Usman membuat kepanitiaan, tugas panitia ini ialah

membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin lembaran- lembaran yang telah

dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Dalam

pelaksanaan tugas ini, Usman menasehatkan supaya:

1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an.

2. Kalau ada pertikaian antara mereka mengenai bahasa (bacaan), maka

haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu

diturunkan menurut dialek mereka

DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Al-Qattan, Mana', mabahits Fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh, tt,).
Drajat, Amroeni, Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Kencana,
2017,

74 Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2017), 40
Hadis diriwayatkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud), hal. 8 dan Ahmad hal. 1.
Ichan, Muhammad, “Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Muhammad Saw dan Sahabat”, Jurnal Substantia, vol. 14, no. 1 (2012).
Muslimin, “Pembukuan dan Pemeliharaan Al-Qur’an”, vol 25, no 2 (2014).
Rahmat, Pupu Saeful, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. (2009).
Sari, Milya dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam
penelitian pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6,
no. 1, (2020).
Sarwat, Ahmad, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, ttp.

Siyoto, Sandu, Dasar Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Literasi Media Publishing,


2015.
Ulya, Kalimatul dan Saidah, “Rijalul Qur’an: Membincang Sejarah Para Penulis
Wahyu”, Vol. 1 no. 1 (2017).
SEJARAH PENYIMPANGAN TAFSIR DAN MACAM-MACAMNYA

Amri Lukmanul Hakim,1 Sari Sartika Lubis, 2


Sulton Ahmad Lubis3
1
Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta
(sultonahmadl45@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta
(sarisartika98.ss@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta
(amri.lukmanhakim@gmail.com)

ABSTRAK

Tafsir merupakan cara-cara untuk memahami Al-Qur’an. Keberadaannya menjadi


sebuah keharusan karena ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an bersifat sangat
umum, sehingga tidak mudah untuk dipahami. Akan tetapi, meski tafsir menjadi
satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an, bukan berarti bahwa ia terbebas dari
penyimpangan. Penyimpangan ini dapat berakibat semakin jauh seseorang dari
pemahaman terhadap makna Al-Qur’an yang sesungguhnya. Oleh karenanya,
berbagai faktor dan penyebab penyimpangan dalam tafsir perlu dideteksi dan
kemudian dikaji agar penyimpangan terhadap penafsiran Al-Qur’an dapat dihindari.
Beberapa faktor penyebab penyimpangan dalam tafsir adalah bersifat subjektifitas
mufassir, kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaidah, kedangkalan dalam
ilmu-ilmu alat, kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat,
tidak memperhatikan konteks, dan tidak memperhatikan siapa pembicara dan
terhadap siapa pembicara itu ditujukan.

ABSTRACT

Tafsir is a way to understand the Qur'an. Its existence is a must because the verses
contained in the Qur'an are very general, so they are not easy to understand. However,
even though interpretation is the only way to understand the Qur'an, it does not mean
that it is free from deviation. This deviation can result in a person getting further away
from understanding the true meaning of the Qur'an. Therefore, various factors and
causes of deviations in interpretation need to be detected and then studied so that
deviations from the interpretation of the Qur'an can be avoided. Some of the factors
that cause deviations in interpretation are the subjectivity of commentators, errors in
determining methods or rules, shallowness in the sciences of tools, shallow
knowledge of the material in the description (talk) of the verse, not paying attention
to context, and not paying attention to who the speaker is and to whom the speaker is
addressed.

Keyword: Penyimpangan Tafsir, Sebab, Macam

1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an secara teks memang tidak mengalami perubahan, ia tidak lekang
oleh waktu, namun proses penafsiran atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks
ruang dan waktu manusia. Al-Qur’an bukan kitab yang tertutup; Ia adalah kitab
terbuka yang selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi
dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Dalam
sejarahnya, telah diajukan beberapa metode tafsir sebagai jalan untuk membedah
makna terdalam dari Al-Qur’an. Walaupun telah didapati adanya penyimpangan
tafsir lantaran tidak lagi dilakukan sesuai dengan garis-garis yang sudah ditetapkan
yaitu metodologi penafsiran Al-Qur’an yang sudah disepakati sebagai langkah awal
bagi setiap penafsir baik dalam penguasaan bahasa, memahami sejarah
diturunkannya Al-Qur’an, ilmu-ilmu penopang yang berkaitan dengannya serta
setiap penafsir harus memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat.

Penyimpangan tafsir yang didapati di antaranya mengikuti al-Mutāshābihat


dan mengabaikan al-Muhkamāt, penakwilan yang buruk, meletakkan kalimat (nash)
bukan tidak pada posisi seharusnya, klaim Nasakh tanda dalil, ketidaktahuan
terhadap Sunnah dan Āthār, lebih percaya pada Isrā’iliyyāt, keberpalingan dari
kesepakatan umat dan lemah dalam ilmu pengetahuan.

2. METODE

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftif kualitatif.


Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada hal dan sifat suatu
barang atau jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau jasa berupa kejadian atau
fenomena gejala sosial. Hal tersebut bermakna dibalik kejadian yang bisa dijadikan
pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori.75 Jenis penelitian ini
yang digunakan adalah kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah suatu studi
yang digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan
berbagai macam material yang ada diperpustakaan seperti dokumen, buku,
majalah, kisah-kisah sejarah dan sebagainya.76 Adapun langkah-langkah dalam
penelitian ini adalah mencari informasi yang sesuai dengan judul, kemudian
mencari dan menemukan bahan bacaan yang diperlukan dan mengklasifikasi
bahan bacaan tersebut, selanjutnya meriview bacaan yang sudah dibaca dan
terakhir mulai menulis penelitian ini sampai menemukan kesimpulannya. 77
Penelitian ini bersumber dari buku, jurnal, artikel dan skripsi.

75
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Alfabeta, 2014), 22
76
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan IPA”,
Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 43
77 77
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan IPA”,
Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 444
3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Sejarah Penyimpangan Dalam Tafsir

Penafsiran terhadap Al-Qur‟an adalah sebuah langkah yang kemudian


memunculkan berbagai disiplin ilmu, utamanya ilmu tafsir, sebagai wujud
pengamatan dan penelitian. Ilmu ini membahas tentang Al-Qur’an yang mulia
dari segi penunjukannya terhadap maksud Allah S.W.T. sesuai kemampuan
manusia. Penafsiran Al- Qur’an dilakukan dengan menggunakan banyak
metode. Metode bil m’tsur, bir ra’yi dan bi isyari adalah metode yang umum
digunakan oleh para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan hanya melalui penafsiran Al-Qur‟an dapat dengan mudah
dipahami. Meskipun demikian, bukan berarti penafsiran terhadap Al- Qur’an
dengan menggunakan metode- metode tersebut dapat membebaskan mufassir
dari kesalahan, sebaliknya penyimpangan-penyimpangan terhadap penafsiran
Al-Qur’an masih bisa saja terjadi.78
Berbagai penyimpangan terhadap penafsiran Al-Qur’an bisa terjadi
seiring dengan keinginan para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain
faktor internal tersebut, faktor eksternal juga turut ambil bagian dalam
terjadinya penyimpangan dalam penafsiran Al- Qur’an. Penyimpangan sejarah
yang terjadi sejak awal, pemikiran-pemikiran terdahulu yang dapat mewarnai
pemikiran para mufassir berikutnya, dan politik serta sosio kultural turut
ambil bagian yang memungkinkan tejadi penyimpangan tersebut. Akibatnya,
para pembaca yang ingin membaca tafsir ayat-ayat Al-Qur’an harus lebih teliti
dan berhati-hati dalam melihat tafsir tersebut. Adanya berbagai faktor yang
mendorong terjadinya penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an membuat
penulis menganggap penting untuk dilakukan kajian secara khusus terkait
dengan faktor-faktor penyimpangan dalam tafsir. Ini diperlukan guna
mengetahui faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya
penyimpangan dalam tafsir. Selain juga untuk mengkaji lebih dalam tentang
benarkah berbagai faktor yang disebutkan telah menyebabkan kesalahan
dalam penafsiran, serta bagaimana dampaknya

Tafsir secara etimologi artinya menjelaskan, membuka. Asalnya dari


bahasa Arab fassara. Sebagaimana dikemukakan Rosihan Anwar, tentang
penjelasan Al-Jurjani bahwa kata “tafsir” secara etimologi bermakna al-kasyaf
atau al-idzhar yang oleh para ahli bahasa diartikan sebagai menyingkap atau
melahirkan.79

78
79
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 105-106
Secara terminologis, al-Kilabi mengatakan, tafsir sebagai uraian yang
menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki dengan nash, isyarat atau tujuannya. Sementara itu al-Jajari dalam
al-Taujih menyatakan tafsir pada hakikatnya merupakan penjelasan lafadz
yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dzilalah lafdzikata

Berdasar kedudukan kata dalam bahasa Arab memiliki dua pengertian:

1. Tafsir sebagai masdar artinya menguraikan dan menjelaskan apa-apa


yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa makna-makna, rahasia-
rahasia dan hukum-hukum.
2. Tafsir sebagai maf‟ul berarti ilmu yang membahas koleksi sistematis
dari natijah penelitian terhadap Al-Qur’an dari segi dilalah-nya yang
dikehendaki Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusia.80

Tafsir bisa dipahami pengertiannya berdasar pendapat para ulama yang


mengandung kesepahaman dalam mendefinisikan tafsir, misalnya dari
Jalaluddin AsSuyuthi, Imam Abu Hayyan, Hasbie Ash-Shiddiqie, dan Az-
Zarkasyi.
Mereka menjelaskan tentang tafsir sebagai ilmu tentang Al-Qur’an yang
mengandung sebab turun Al-Qur’an, letak turunnya ayat Al-Qur’an
(makkiyah dan madaniyyah), lafadz, hukum, redaksional, makna dan segala
hal yang terkait dengan Al-Qur’an.81
Syarat-Syarat Penafsir Al-Qur’an (Mufassir) :

Secara sederhana, Mufasir merupakan orang atau ulama yang


melakukan aktivitas penafsiran Al-Qur’an. Terkait dengan pengertian ini,
Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby menyatakan bahwa Mufasir merupakan
orang yang mempunyai kapabilitas mampu memahami maksud Allah Swt di
dalam Al-Qur’an; ia juga mampu memahami manhaj-manhaj Mufasir
sebelumnya, sehingga ia mengetahui seputar keberagaman tafsir itu sendiri;
dan ia mengajarkannya pada yang lain serta mengamalkannya.82
Quraish Shihab mengkategorikan syarat-syarat seseorang dikatakan
sebagai Mufassir , yaitu: mengetahui bahasa Arab dan segala bidangnya;
mengetahui ilmu-ilmu Al-Qur’an, asbab an-nuzul, hadis-hadis dan juga ushul

80
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: PT Temprint, 1996), h. 175.
81
Hasby Ashiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 122
82
Husain ibn Ali Ibn Husain al-Harby, Qawa‟id at-Tarjih „Inda al-Mufassir: Dirasah Nazhariyyah Tahtbiqiyyah,
(Riyadh: Dar al-Qashim, 1996), juz 1, h. 29.
al-fiqh; mengetahui tentang ilmu keagamaan; mengetahui ilmu-ilmu yang
bakal menjadi pembahasan dalam tafsir.83
Sedangkan Manna Khalil Qhathtan menjelaskan syarat-syarat bagi
seseorang yang hendak menjadi Mufassir , yaitu sebagai berikut:

1. Aqidah yang benar, aqidah akan memberi efek bagi seseorang yang
membuat sebuah karya tafsir. Ketika aqidah seseorang tidak benar
maka akan menyesatkan umat. Tafsir yang ia buat ditujukan hanya
untuk kepentingan kelompoknya saja.
2. Membuang hawa nafsu, hawa nafsu juga menjadikan seseorang akan
mementingkan mazhabnya sendiri. Sebagaimana tafsir-tafsir dari
kalangan Syiah Rafidzah dan Mu‟tazilah.
3. Mendahulukan tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an, satu ayat dengan ayat
lainnya saling berkaitan, oleh sebab itu menafsirkan Al-Qur’an harus
mengutamakan penafsiran dengan ayat Al-Qur’an lainnya.
4. Menafsirkan dengan Sunnah Ketika di dalam Al-Qur’an tidak
ditemukan penafsiran bagi ayat lain, maka digunakanlah Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Hal itu sebab apa yang diucapkan Nabi ialah Al-
Qur’an itu sendiri (Al-Qur’an nathiq). Sebagaimana Imam Syafi‟I juga
menyatakan bahwa apa-apa yang difaham dri Nabi adalah penafsiran
Al-Qur’an.
5. Menafsirkan dengan Qaul Sahabat, jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah
tidak menemukan, maka selanjutnya menafsirkan dengan ungkapan
para sahabat. Sebab mereka mengetahui kehidupan nabi dan juga
memiliki ilmu yang tidak dapat diragukan.
6. Menafsirkan dengan Qaul tabi’n dan tabi’it tabi’in ketika tidak
ditemukan isyarat dari qaul sahabat, maka langkah selanjutnya adalah
menafsirkan dengan pernyataan-pernyataan dari tabi‟it tabi‟in, seperti
Imam Mujahid Ibn Jubair, Sa‟id Ibn Jubair dan Ikrimah yang merupakan
budak Ibn Abbas.
7. Menafsirkan dengan perangkat kebahasaan karena Al-Qur’an
merupakan bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab bagi seorang
Mufasir adalah suatu keharusan. Imam Mujahid, menyatakan bahwa
tidaklah diperbolehkan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, yaitu untu menafsirkan al-Quarn, sedang ia tidak menguasai
bahasa Arab.

83
M. Quraih Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera, 2007), h. 79
8. Memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, ilmu-ilmu
tersebut seperti ilmu-ilmu tafsir, ilmu tauhid dan ilmu-ilmu qira’at.
Dengan begitu seorang Mufasir tidak akan menyelewengkan wujud
Allah dengan sifat-sifat yang melekat padanya. Ia pun dengan ilmu-
ilmu tafsir akan melakukan proses penafsirannya sesuai dengan kaidah-
kaidah tafsir yang benar.
9. Pemahaman yang kuat, melalui pemahaman agama yang kuat,
khususnya terkait ilmu-ilmu agama, akan menjadikan seorang Mufassir
mampu untu membandingkan dan menganalisa pendapat-pendapat
lain dari dirinya.84

Shabur Hasan Muhammad Abu Sulaiman, dalam kitabnya Maurid ad-


Dham‟an fi Ulum Al-Qur’an, menyebutkan syarat-syarat seorang Mufassir
sama dengan apa yang disebutkan oleh Manna Khalil Qhaththan. Akan tetapi
ia merinci maksud dari pemahaman yang kuat ialah menguasai ilmu-ilmu
sebagai berikut, yaitu ilmu bahasa, nahwu, sharf, isytiqaq, ma’ani, badi’, bayan,
ilmu qira’at, ushuluddin, ushul al-syari’ah, ushul al-fiqh, asbab an-nuzul,
nasikh mansukh, fiqh, ilmu hadis dan ilmu wahbiyyah (pemberian langsung
dari Allah atau Rasul-Nya).

Dari penjelasan di atas, dua kategorisasi yang dibuat oleh Quraish


Shihab dan Manna Khalil Qhaththan pada dasarnya adalah sama, sehingga,
hemat penulis, pendapat keduanya secara bersamaan menjadi ketentuan
umum bagi seorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an.

Memahami Penyimpangan Tafsir:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan, ada


beberapa arti kata menyimpang antara lain adalah: 1). Membelok atau
menempuh jalan yang lain, 2). Membelok supaya jangan melanggar atau
terlanggar, 3). Tidak menurut apa yang sudah ditentukan, 4). Menyalahi
kebiasaan, 5) Menyeleweng (dari hukum, kebenaran agama dll).

Adapun yang sesuai dengan masalah ini adalah mengambil makna


yang ketiga atau kelima yakni tidak menurut aturan-aturan yang ada sehingga
melanggar hukum agama.

Adapun para ulama mengatakan bahwa penyimpangan dalam bahasa


Arab adalah Syadz. Sedangkan ahli bahasa sepakat bahwa lafadz Syudzudz
secara bahasa berarti menyendiri dan berpisah.

84
Manna Khalil Qhaththan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Maktabah Wahbiyyah, t.th), h.321-323.
Jika kita mengatakan Syadzdza Arrajulu artinya adalah seseorang
menyendiri dari teman-temannya.Sedangkan secara istilah ulama berbeda
pendapat, di antaranya sebagai berikut:

1. Menurut ahli qira’at, Syadz adalah qiroat yang tidak memenuhi


satu syarat dari syarat qiroat shahih.
2. Menurut ulama ahli hadits, Syadz ialah periwayatan orang
tsiqoh yang menyalahi periwayatan orang lain.
3. Menurut Mufassir, Syadz adalah Penafsiran yang menyimpang
dari metode.

Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan tafsir Al-Qur’an adalah


aturan-aturan yang salah serta menyimpang yang tidak sesuai dengan kaidah
tafsir dalam usaha memahami atau mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung
dalam Al-Qur’an bukan karena ilmu.Penyimpangan mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang disepakati oleh yang memiliki otoritas dalam satu disiplin
ilmu.

Ad-Dzahabi, sebagaimana dikutip Said Agil Husain Munawwar,


membagi perkembangan tafsir pada tiga periode, yaitu periode pertama;
periode Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya. Periode kedua; periode tabi’in.
dan periode ketiga adalah masa kodifikasi.

Namun, pasca wafatnya Rasulullah Saw, timbul permasalahan pada


penafsiran Al-Qur’an. Hal ini karena dengan wafatnya Beliau Saw menjadikan
para sahabat kehilangan interpretator yang dapat menjelaskan segala masalah
yang rancu, memaparkan seluruh hal yang tersirat serta mengurai berbagai
benang kusut dalam setiap kasus. Setelah kepergian Beliau, maka timbul
penafsiran generasi awal yang terus bergolak dan berkembang pada generasi
sesudahnya dan begitu pula selanjutnya hingga pada masa sekarang ini.
Telah banyak kajian terhdap materi ini dan hampir setiap pengkaji
menyajikan berbagi faktor tentang sebab musabab adanya penyimpangan
dalam penafsiran Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah tulisan Yūsūf al-Qardawī
dalam kitabnya Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’'ān al-Karīm yang telah
menyebutkan pula faktor-faktor penyebab hal itu. Selain beliau ialah
Muhammad Husayn al-Dhahabī dalam kitabnya al-Ittijāhāt al-Munharifah fi
Tafsīr alQur’ān al-Aqwāl al-Shādhdhah fi al-Tafsīr Nash’atuha wa Asbabuha
wa Athāruha serta yang lainnya.85

3.2 Macam-Macam Penyimpangan Dalam Tafsir

85 Said Agil Husain Munawwar, Ijaz al-Quran dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 28.
A. Definisi Penyimpangan Tafsir

Penyimpangan dalam judul di atas adalah terjemahan dari bahasa Arab


yang asalnya adalah al-Inḥirāf ( ‫ ) رافﻧﺤال‬bentuk jama’nya adalah al-Inḥirāfāt
(‫)رافاتﻧﺤال‬. Jika kembali pada kamus bahasa Arab, maka kata al-Inḥirāf mempunyai
banyak makna yang di antaranya adalah, “Berpaling, pola berpikir menyimpang,
keluar dari jalur yang lurus dan menjauh darinya. Sementara dalam ilmu sosial
dapat diartikan keluar dari sesuatu yang telah menjadi tradisi dan umum, dan dari
sudut geografis berarti melenceng dari Katulistiwa. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa kata al-Inḥirāf adalah keberpalingan dari garis yang
sudah ditetapkan.
Sementara kata al-Tafsīr dalam kamus bahasa juga mempunyai banyak
makna yang di antaranya adalah, “Penjelasan dan pemaparan, Tafsir Al-Qur’an
adalah penjelasan makna-maknanya dan pemaparan ketinggian serta
keistimewaan bahasanya dan menguraikan sebab-seba turun ayat-ayatnya beserta
kandungan hukum yang terdapat di dalamnya”.86 Sementara menurut ‘Abd
alQādir Muḥammad al-Ḥusayn,87 “Penjelasan sebagaimana dalam Al-Qur’an, ‘Wa
Aḥasana Tafsīrā’ dapat pula diartikan sebagai membuka sesuatu yang tertutup88
paparan pada kalimat yang ambigu. Tafsīr al-Bawl adalah petunjuk bagi para
dokter yang memeriksa pasien ketika meneliti penyakit yang diderita dari warna
urinenya”.89
Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ungkapan dari
Inḥirāfāt fī al-Tafsīr Al-Qur’an adalah faktor-faktor penyebab penyimpangan dalam
tafsir Al-Qur’an, atau keberpalingan para penafsir Al-Qur’an dari jalur-jalur yang
seharusnya dilalui mereka sebelum memasuki dan menjelajah ke dalam Al-
Qur’an. Ungkapan garis-garis yang sudah ditetapkan akan masuk di dalamnya
yaitu metodologi penafsiran Al-Qur’an yang sudah disepakati sebagai langkah
awal bagi setiap penafsir baik dalam penguasaan bahasa, memahami sejarah
diturunkannya Al-Qur’an, ilmu-ilmu penopang yang berkaitan dengannya serta
syarat-syarat ‘super ketat’ yang harus dimiliki oleh setiap penafsir. Seputar
penyimpangan tafsir inilah yang akan dibahas penulis pada halaman mendatang.
Telah banyak kajian terhdap materi ini dan hampir setiap pengkaji
menyajikan berbagi faktor tentang sebab musabab adanya penyimpangan dalam

86 Lihat; Mu’jam ‘Arabī ‘Arabī. http://tinyurl.com/pljctal (24/09/2108).


87‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn lahir pada tahun 1971 M dan dia adalah anggota dan team pengajar di
Universitas Damascus dan Profesor di bidang Tafsīr wa ‘Ulūm al-Qur’ān pada Fakultas al-‘Ulūm al-Islāmiyyah di
Universitas Yālū. Sumber; http://tinyurl.com/qfewtps (24/09/2018).
88 Hal ini disinggung pula oleh al-Sibt dalam kitabnya. Lihat; Khalid ibn ‘Uthmān al-Sibt, Qawā’id al-Tafsīr Jam’an

wa Dirāsatan, juz 1 (Tanpa Negara, Dār al-‘Affān, Tanpa tahun), 25.


89 ‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn, Tamyīz al-Dakhīl fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Fakultas

al-Sharī’ah wa al-Qānūn, Jurnal Universitas Damascus, edisi 29 tahun 2013 (PDF).


penafsiran Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah tulisan Yūsūf al-Qardawī dalam
kitabnya Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’'ān al-Karīm yang telah menyebutkan pula
faktorfaktor penyebab hal itu. Selain beliau ialah Muhammad Husayn al-Dhahabī
dalam kitabnya al-Ittijāhāt al-Munharifah fi Tafsīr al- Qur’ān al-Aqwāl al-Shādhdhah fi
al-Tafsīr Nash’atuha wa Asbabuha wa Athāruha serta yang lainnya.

A. Ragam Penyimpangan dalam Tafsir


a. Penyimpangan dalam Tafsir historis
Sosio naratif yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an bersifat ringkas dalam
menuturkan kisah-kisah. Al-Qur’an tidak menuturkan kisah secara rinci dan
detail. Karena yang ditekankan di dalam Al-Qur’an bukanlah alur cerita, akan
tetapi subtansi dalam setiap ayat. Al-Qur’an bukan menitik-beratkan kepada
alur ceritanya, akan tetapi pada pesan moral yang dikandungnya.90
Contoh perihal ini ialah tentang penafsiran di masa Sahabat Nabi
tentang kisah Adam As. Menurut Ad-Dzahabi, di dalam Al-Qur’an saat
menjelaskan kisah Nabi Adam As tidak rinci dan sedetail dalam Taurat dan
Injil. Seperti misalnya tidak disebutkan terkait nama Surga; letak pohon; dan
nama pohon. Ketika itu para sahabat menanyakan kepada orang-orang yang
baru memeluk Islam, yaitu orang-orang Ahlul Kitab, seperti Abdullah Ibn
Salam dan Ka‟ab Ibn Akbar. Sehingga ia menjelaskan tentang kejadian Adam.
Yaitu bahwa nama Surganya ialah „And; letak pohon ada di tengah-tengah
Surga; dan Pohonnya bernama pohon kesedihan, dan pohon kesenangan.91

b. Penyimpangan dalam Tafsir Teologis

Lahirnya berbagai aliran teologi yang mewarnai dunia Islam bukan


menjadi pelerai perbedaan pandangan dalam pemahaman agama, akan tetapi
di sisi lain, justru menjadi kesempatan bagi kelompok-kelompok teologis
untuk memanfaatkan Al-Qur’an sebagai justifikasi bagi mazhabnya masing-
masing. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang nyata, misalnya ialah
terkait QS. Al-Maidah Ayat 55, yang berbunyi:

‫يم و َن ال صم ََل ةَ َويُ ْؤتُو َن‬ ِ ِ‫اَّلل ورس ولُه وا لمذِ ين آم نُوا ا لمذ‬
ُ ‫ين يُق‬
َ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ‫م‬ ‫إِ مَّنَا َولِيُّ ُك ُم‬
‫َراكِ عُ و َن‬ ‫ال مزَك ا ةَ َو ُه ْم‬

90
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 2008), h. 552.
91 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, h. 27.
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah). (Q.S Al-Maidah 5: 55)

Menurut Sayyid Abdullah al-Alawi - salah satu tokoh Syiah Itsna


Asy‟ariyyah dalam tafsirnya At-Tafsir li Al-Qur‟an al-„Azhim,
menyatakanbahwa ayat di atas turun kepada Ali Ibn Abi Thalib. Sewaktu itu
ia sedang shalat dan kemudian datang orang yang meminta minta. Kemudian
Ali memberi isyarat dengan tangannya setelah ia melepaskan cincinnya
dengan tujuan diberikan kepada peminta tersebut.92

c. Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik

Al-Qur’an adalah wahyu yang sarat akan makna. Keberadaannya tidak


dapat dipahami secara benar sebelum seseorang memahami bahasa Arab
dengan baik.41 Ini berarti bahwa bahasa Arab memiliki peran yang cukup
penting dalam memahami pola-pola kalimat Al-Qur’an guna menafsirkannya.
Perihal ini, Muhammad Chirzin menyontohkannya dalam penafsiran Imam
Zamakh Syari dala Tafsir al-Kasyaf, yaitu pada QS. Al Isra 17: 71:

َ ِ‫أُوِتَ كِ تَابَهُ بِيَ ِم ينِهِ فَأُولََٰ ئ‬


‫ك يَ ْق َرءُو َن‬ ِ ‫س ِبِِم‬
ِ ‫ام ِه ْم ۖ فَ َم ْن‬ َ ٍ ‫أَُن‬ َ ‫يَ ْومَ نَ ْد عُ و ُك لم‬
ً ِ‫اَبُ ْم َوَال يُظْ لَ ُم و َن فَت‬
‫يَل‬ َ َ‫كِ ت‬
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya
maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
(QS. Al-Isra 17:71)
Menurutnya, Zamakhsyari ketika menafsirkan kata “imamihim”
maksudnya ialah “ibu-ibu” mereka. Dengan alasan kata tersebut merupakan
bentuk jama‟ dari kata “umm”. Penafsiran demikian menurut Chirzin
dianggap menyimpang sebab menyelewengkan kaidah bahasa Arab. Dimana
pada hakikatnya, kata “umm” sebagai bentuk mufrad memiliki bentuk jama‟
“ummahat”, bukan “imam”.

d. Penyimpangan dalam Tafsir ‘Ilmi

Betul klaim mufaisir ilmi bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu yang


memuat segala persoalan. Setidaknya Al-Qur’an mendukungnya,
sebagaimana dalam Qs. Al An’am ayat 38. Namun yang menjadi persoalan

92
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, h. 56.
ialah manakala Al-Qur’an dijadikan sebagai buku ilmu pengetahuan yang
dijadikan sebagai justifikasi kebenaran empirik ilmu-ilmu alam. Karena Al-
Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang mandiri yang manusia dapat
mengembangkannya. Dalam artian, tidak mencocok-cocokan semaunya
pembaca Al-Qur’an. Perihal ini, Ad-Dzahabi menjelaskan bahwa salah satu
dari tafsir ilmi yang diklaim sebagai menyimpang, ialah Tafsir Tanthawi
Jauhari, ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah Ayat 61:

‫ِج لَنَا ِِمما‬ ْ ‫ك ُُيْر‬َ ‫ادعُ لَنَا َربم‬


ٍ ِ ‫وإِذْ قُ لْ ت م َي م وس ى لَن نَص ِِب ع لَى طَع ا ٍم و‬
ْ َ‫اح د ف‬ َ َ َٰ َ َ ْ ْ َٰ َ ُ َ ْ ُ َ
‫وم َه ا َوعَ َد ِس َه ا َوبَصَ لِ َه ا ۖ قَا َل أَتَ ْس تَ بْ دِ لُو َن‬ِ ُ‫تُ نْ بِت ْاْلَرض ِم ن ب ْق لِه ا وقِثمائِه ا وف‬
َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ
ِ ِ ِ
ْ َ‫ص ًرا فَإِ من لَ ُك ْم مَ ا َس أَلْتُ ْم ۗ َوضُ رِب‬
‫ت‬ ْ ‫اه بِطُوا م‬ْ ۚ ٌ‫أَد ََنَٰ ِِب لمذ ي ُه َو َخ ْْي‬ ْ ‫ا لمذ ي ُه َو‬
ِ ‫ك ِأبَ مهنُم َك انُوا ي ْك فُ رو َن ِِب َي‬ ِ ِ‫ب ِم ن م‬ ٍ َ‫عَ لَيْ ِه م الذِ لمةُ وا لْم س َك نَةُ و َِب ء وا بِغَض‬
‫ت‬ َ ُ َ ْ َ ‫اَّلل ۗ ذََٰ ل‬ َ ُ َ ْ َ َ ُ
‫ك ِِبَا عَ صَ ْوا َو َك انُوا يَ عْ تَ ُد و َن‬ ِ ِ‫م‬
َ ‫ني بِغَ ْْيِ ا ْْلَ ِق ۗ ذََٰ ل‬
َ ِ‫اَّلل َويَ ْق تُ لُو َن ال نمبِي‬

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan)
dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu
minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka
mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian
itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.". (QS. Al-
Baqarah 2:61)

Masih menurut Adz-Dzahabi, ketika Tanthawi Jauhari menafsirkan


ayat di atas ialah menjelskan tentang faidah-faidah dan manfaat sayur-sayuran
di atas dalam kaitannya dengan kesehatan. Kemudian ia sambung dengan
penjelasan tentang kedokteran Eropa, dan ia kemudian menyatakan bahwa
kedokteran di Eropa ketika menentukan sayuran-sayuran sebagai obat dan
kesehatan, itu sesuai dengan Al-Qur’an.93

e. Penyimpangan dalam Tafsir Modern

93
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, hal. 89
Modernasi dalam Islam merupakan suatu keharusan jika Islam tidak
ingin dianggap sebagai agama yang out to date. Akan tetapi tidak berarti
kemudian menciptakan bentuk-bentuk penafsiran yang tidak sesuai prosedur
dan proposional. Perihal ini sebagaiaman salah satu penafsiran Tanthawi
Jauhari ketika menafsirkan QS. Al-Anbiya Ayat 81:

ِ ِ ‫ولِس لَي م ا َن الرِيح ع‬


ِ ‫اص َف ةً ََتْ رِي ِأب َْم رِهِ إِ ََل ْاْل َْر‬
َ ‫ض ا لم ِيت َِب َرْك نَا ف‬
‫يه ا ۚ َو ُك نما‬ َ َ َْ ُ َ
ِِ ٍ
َ ‫بِ ُك ِل َش ْي ء عَ ال م‬
‫ني‬

Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang
tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya.
Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.

Menurutnya, negeri yang dimaksudkan di atas ialah Negeri-negeri di


Eropa, yang diibaratkan perintahnya itu dengan menggunakan Telegram dan atau
Telpon.94

B. Contoh Penyimpangan dalam Tafsir


a. Penyimpangan Muktazilah Terhadap Tafsir
Fanatisme kepada mazhab sangat mempengaruhi dalam menafsirkan
Alquran. Mereka berusaha mencari dalil ayat yang mendukung Mazhab
mereka. Meskipun dengan cara mencocokkan teks ayat dengan pandangan
Mazhabnya. Yang pada akhirnya Alquran ditafsirkan susuai dengan jalan
fikiran dan keinginannya serta menakwilkan ayat yang berbeda dengan
pendapat mazhabnya.
Menurut mereka ayat tersebut bertentangan dengan pendapat mereka
tentang sifat Allah aL-Kalam. Dalam ayat terdapat kata masdar Taklima untuk
menguatkan kata kerja Kalama dan untuk menghilangkan kemungkinanmu
masuknya arti yang tidak sebenarnya (Majaz). Dengan serta merta mereka
menyesuaikan dengan pendapat mazhab mereka, dengan cara menakwilkan
dengan arti lain sehingga tidak bertentangan dengan Mazhab mereka. Jadi kata
“kallam” asal dari “kalimu” yang berarti “luka”. Karena itu makna ayat itu
menjadi, Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan hidup. Penafsiran
ini dilakukan untuk menghindari makna lahiriah ayat yang berbenturan
dengan kepercayaan Mazhab Mereka.
Kelompok Muktazilah menafsirkan firman Allah Surah Al-A’raf 7:179
yang berbunyi:

94
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, hal. 99.
ِ ْ‫َولَقَ ْد ذَ َرأْ ََن ِِلَ َه نممَ َك ثِْيًا ِم َن ا ِْلِنِ َو ْاْلِ ن‬
ۖ‫س‬
Artinya: Sungguh kami akan isi neraka Jahannam banyak dari golongan Jin
dan Manusia.................

Mereka menafsirkannya dengan “benar-benar kami telah lemparkan


banyak diantara jin dan manusia ke dalam neraka Jahannam. Penyebab
mereka menggunakan kata melemparkan adalah Allah tidak menciptakan
petunjuk dan kesesatan dan tidak menciptakan makhluk untuk neraka dan
makhluk untuk Syurga. Semua dikembalikan kepada Usaha manusia tersebut.
Karena dia memilih Neraka, maka kata melemparkan itu sangat pantas
digunakan untuk menggambarkan situasi Allah sangat benci kepada mereka.

4. KESIMPULAN

Tafsir merupakan cara-cara untuk memahami Al-Qur’an. Keberadaannya


menjadi sebuah keharusan karena ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an bersifat
sangat umum, sehingga tidak mudah untuk dipahami. Akan tetapi, meski tafsir
menjadi satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an, bukan berarti bahwa ia
terbebas dari penyimpangan. Penyimpangan ini dapat berakibat semakin jauh
seseorang dari pemahaman terhadap makna Al-Qur’an yang sesungguhnya. Oleh
karenanya, berbagai faktor dan penyebab penyimpangan dalam tafsir perlu dideteksi
dan kemudian dikaji agar penyimpangan terhadap penafsiran Al-Qur’an dapat
dihindari. Beberapa faktor penyebab penyimpangan dalam tafsir adalah bersifat
subjektifitas mufassir, kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaidah,
kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat, kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat, tidak memperhatikan konteks, dan tidak memperhatikan siapa
pembicara dan terhadap siapa pembicara itu ditujukan. Selain itu kesamaran karena
jarak antara nabi dengan umat yang cukup jauh, faktor materi, dan faktor histori turut
serta mendukung penyimpangan dalam tafsir.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn lahir pada tahun 1971 M dan dia adalah
anggota dan team pengajar di Universitas Damascus dan Profesor di bidang Tafsīr wa
‘Ulūm al-Qur’ān pada Fakultas al-‘Ulūm al-Islāmiyyah di Universitas Yālū.
‘Abd al-Qādir Muḥammad al-Ḥusayn, Tamyīz al-Dakhīl fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm,
Fakultas

Ad-Dzahabi, Muhammad Husain. 1986. Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penulisan


Al-Qur’an. Jakarta: CV. Rajawali.

al-Qatthan, Manna. 1995. Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbiyyah.

Al-Sharī’ah wa al-Qānūn, Jurnal Universitas Damascus, edisi 29 tahun 2013 (PDF).


Ashiddiqy, Hasby. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki
Putra

Hidayat, Komarudin. 1996. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: PT Temprint.

Khalid ibn ‘Uthmān al-Sibt, Qawā’id al-Tafsīr Jam’an wa Dirāsatan, juz 1 (Tanpa
Negara, Dār al-‘Affān, Tanpa tahun)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 2008)

Lihat; Mu’jam ‘Arabī ‘Arabī. http://tinyurl.com/pljctal


Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir Al-Qur’an,
Munawwar, Said Agil Husain. 1994. Ijaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir. Semarang:
Dina Utama.

Shihab, M. Quraih. 2007. Kaidah-Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera.

Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.

Shihab, Umar. 2003. Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani.

Sumber; http://tinyurl.com/qfewtps (24/09/2018).


ILMU TARTIB SUWAR I
JUMLAH AYAT AL-QUR’AN DAN SEBAB PERBEDAAN
PENGHITUNGAN

Teguh Hartadi,1 Nely Mardiah,2


Adha Santri Madani,3
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(sayaadalahteguh@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(mardiahnelly9@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(almadaniadha@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai pengertian Ilmu Tartib
Suwar I (Ayat), ayat pertama dan terakhir turun, jumlah ayat Al-Qur’an dan sebab
perbedaan penghitungan dan dikursus seputar sistematika penyusunan ayat dan
argumentasinya. penelitian ini menggunakan metode library research yaitu dengan
cara menelaah kitab-kitab serta buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan
tulisan ini. Metode yang digunakan adalah metode deduktif yang mengambil semua
data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa Tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada
dalam mushaf yang beredar antara kita adalah tauqifi, berdasarkan pendapat Al-
Imam Al-Sayuti: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para
sahabat itu menunjukan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi.

ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the meaning of Tartib Suwar I (verse), the first and
last verses that were revealed, the number of verses of the Qur'an and the reasons for the
differences in the calculations and the discourse around the systematics of the compilation of
verses and their arguments. This study uses the library research method, namely by examining
books and books that are related to the discussion of this paper. The method used is a deductive
method which takes all general data to a specific conclusion. The results of this study conclude
that the order of the verses of the Qur'an as contained in the manuscripts circulating among
us is tauqifi, based on the opinion of Al-Imam Al-Sayuti: "The reading of the suras by the
Prophet. in front of the friends it shows that the order or arrangement of the verses is tauqifi.
Regarding the number of verses in the Qur'an, scholars disagree. However, what has been
agreed on the number of verses of the Qur'an is not less than 6000 verses. And what is disputed
is the excess of 6000 verses.

Keyword: Tartib Suwar, Jumlah Ayat, Perbedaan Penghitungan


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun
yang panjang. Secara etimologis ayat berarti tanda. Terkadang diartikan juga dengan
pengajaran, urusan yang mengherankan dan mukjizat disamping juga digunakan
untuk pengertian sekumpulan manusia.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammada Saw. melalui malaikat Jibril. Dalam proses penyusunan Al-Qur’an
disusun secara bertahap.
Pembahasan mengenai Al-Qur’an dirasakan bagaikan kekuatan dari atas yang
sangat kuat menghujam ke bawah. Itu disebabkan kedudukan dan keagungan
pengajaran Al-Qur’an yang begitu cepatnya merubah kehidupan manusia dengan
revolusi mencengangkan revolusi moral. Mengetahui sejarah penyusunan undang-
undang Islam dari sumbernya memberikan gambaran fase tahapan dalam hukum
dan penentuan hukum dengan setiap peristiw tanpa pertentangan antara yang lalu
dan yang akan datang. Dan ini telah terbukti dari pertama kali turunnya Al-Qur’an
secara umum dan akhir turunnya secara mutlak, sebagaimana juga awal turunnya
dan akhir turunnya ayat dalam setiap penentuan hukum (tasyrie) dalam ajaran Islam.
Berdasarkan pernyataan diatas penulis mencoba menyajikan dan mengungkap
terkait Ilmu Tartib Ayat, jumlah ayat, ayat pertama dan terakhir turun dan diskursus
dan sistematika penyusunan ayat dan argumentasinya.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian library research yaitu dengan membaca dan
menelaah kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan tulisan ini.
metode yang digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan mengambil semua
data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Ilmu Tartib Suwar (Ayat)
Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun
yang panjang. Secara etimologis ayat berarti tanda. Terkadang diartikan juga dengan
pengajaran, urusan yang mengherankan dan mukjizat disamping juga digunakan
untuk pengertian sekumpulan manusia. Adapun pengertian ayat menurut
terminologi ahli-ahli tafsir diantaranya menurut Manna’ Al-Qaththan:
“Ayat ialah suatu jumlah atau bagian (yang terdiri) dari kalam Allah yang
terhimpun/bernaung dalam suatu surat dari Al-Qur’an.”
Dengan demikian ayat adalah bagian tertentu dari surat yang membicarakan
persoalan tertentu dari surat-surat Al-Qur’an.95

95
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019, 62
Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuat surah dari Al-
Qur’an. Tertib maupun urutan ayat-ayat ini adalah Tauqifi dari Rasulullah Saw.
(ketentuan dari Rasulullah Saw. atas petunjuk dari Allah melalui malaikat jibril).96
Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya az-
Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubair dalam Munasabahnya
mengatakan: “Tartib ayat-ayat didalam surah-surah itu berdasarkan Tauqifi dari
Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin”. As-suyuti
pun memastikan hal tersebut, ia berkata “ijma dan nas-nas yang yang serupa
menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.”97 Jibril
menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukan kepadanya tempat
di mana ayat-ayat itu harus diletakan dalam surah atau ayat-ayat yang turun
sebelumnya. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu
untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka:
“Letakkanlah ayat-ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut
sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.98
Usman bin Affan berhenti kketika mengumpulkan Al-Qur’an pada tempat
setiap ayat dari sebuah surah dalam Al-Qur’an dan sekalipun ayat tersebut telah
dimansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukan bahwa penulisan ayat
dengan tertib seperti ini adalah tauqifi. Pada sisi lain Jibril senantiasa mengulangi dan
memeriksa Al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap
tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua
kali. Dan pengulangan Jibril yang terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf
yang beredar antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Imam Al-Sayuti telah
menyebutkan hadits-hadits yang berkenaan dengan surah tertentu mengemukakan:
“Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para sahabat itu
menunjukan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para
sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dari yang mereka
dengar dari bacaan Nabi Saw. maka sampailah tertib ayat tersebut kepada tingkat
mutawatir.
3.2 Ayat Pertama dan Terakhir Turun
Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan agung, dapat mengubah
perjalanan hidup manusia, menghubungkan langit dan bumi, dan dunia dan akhirat.
Pengetahuan terhadap ayat Al-Qur’an yang diturunkan pertama dan terakhir kalinya
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Petahuan terhadap Nasikh wa Al-Mansukh, yakni ketika ada dua ayat yang lebih
mengenai suatu objek tertentu, sedangkan hukum salah satunya berbeda dengan
yang lainnya dan tidak dapat dikompromikan maka kita dapat mengetahui bahwa
ayat yang datang terakhir dapat me-nasakh hukum atau ayat yang datang
sebelumnya.

96
Mardan, Al-Qur’an sebuah Pengantar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010),75
97
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2002), 205
98
Mardan, Al-Qur’an sebuah Pengantar, 76
b. Pengetahuan terhadap sejarah peletakan hukum islam. Umpamanya, apabila kita
mengetahui bahwa ayat-ayat yang mengenai kewajiban shalat diturunkan di
Mekah sebelum hijrah, ayat-ayat mengenai kewajiban zakat, dan lainnya hingga
kita mampu mengurutnya atau menyistemasinya secara hukum sehingga kita
dapat mengatakan bahwa kewajiban yang pertama kali di syariatkan adalah shalat.
c. Pengetahuan terhadap tahapan-tahapan dalam peletakan hukum sehingga
mengantarkan umat kepada hikmah (kebijakan) Allah SWT. Yang tinggi menurut
Islam.
Berkenaan dengan pembahasan ini, ayat-ayat yang pertama dan terakhir turun
kadang-kadang bersifat muthlaq jika ditinjau dari Al-Qur’an secara keseluruhan dan
kadang bersifat muqayyad apabila ditinjau dari segi objek atau materi tertentu, seperti
ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan mengenai jihad.99
3. Ayat yang Pertama Kali Turun
a. Pendapat yang paling shahih terkait ayat yang pertama turun adalah firman
Allah dalam surah Al-Alaq ayat 1-5
‫سانَ َما لَ ْم َي ْعلَ ْم‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫) الَّذِي‬3( ‫) ا ْق َرأْ َو َربُّكَ ْاْل َ ْك َر ُم‬2( ‫ق‬
َ )4( ‫علَّ َم ِب ْالقَلَ ِم‬
ِ ْ ‫علَّ َم‬ ٍ َ‫عل‬ ِ ْ َ‫ا ْق َرأْ ِباس ِْم َر ِبكَ الَّذِي َخلَقَ َخلَق‬
َ ‫اْل ْن‬
َ ‫سانَ مِ ْن‬
5()
“bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal adalah. Bacalah, dan Tuhanmulebih pemurah.
Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Pendapat ini merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua
syaikh ahli hadits yaitu Imam Bukhri dan Muslim. dari Aisyah RA. berkata :
“Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Saw. adalah mimpi yang
benar diwaktu tidur. Beliau melihat mimpi itu datangnya bagaikan terangnya
pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk
beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian
beliau kembali ke Khadijah RA, maka Khadijah membekali beliau seperti bekal
terdahulu. Lalu, di gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu
seorang malaikat, yang berkata kepada nabi, “Bacalah!” Rasulullah
menceritakan, maka akupun menjawab, “aku tidak bisa membeca”. Malaikat
tersebut memelukku hingga aku merasa sangat amat payah. Lalu aku
dilepaskan dan dia berkata lagi, “Bacalah!” Maka akupun menjawab, “aku
tidak bisa membaca”. Lalu ia merangkulku yang kedua kali sampai aku
kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata “Bacalah!”, aku
menjawab “aku tidak bisa membaca”, maka dia merangkulku yang
ketigakalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, “bacalah
dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan....” sampai dengan
“apa yang tidak diketahuinya”.

99
Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Studi Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung; Penerbit
Pustaka Setia, 2002), 203-204
b. Berdasaran hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadits bahwa yang
pertama turun adalah firman Allah: Ya ayuuhal Muddatstir. Dari Abu Salamah
bin Abdurrahman: dia berkata: “Aku telah bertanya kepada jabir bin Abdullah;
yang manakah diantara Al-Qur’an itu yang turun pertama kali? Dia menjawab:
Ya ayyuhal mudassir. Aku bertanya lagi: ataukah iqra bismirabbika? Dia
menjawab: ‘aku katakan kepadamu yang dikatakan Rasulullah Saw. kepada
kami:
“sesungguhnya aku berdiam di gua hira. Amak ketika habis masa diamku, aku turun
lalu aku telusuri lembah. Aku lihat kemuka, belakang, kanan dan kiri. Lalu aku melihat
kelangit, tiba-tiba aku melihat jibril yng amat menakutkan . maka aku pulang ke
khadijah . Khadijah meminta mereka untuk menyelimuti aku, maka merekapun
menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Wahai orang yang berselimut; bangkitlah,
lalu berilah peringatan.”
Mengenai hadits tersebut dapatlah dijelaskan bahwa surah Al-
Muddatsirlah yang turun secara penuh sebelum surah iqra selesai diturunkan,
karena yang turun pertama itu adalah surah iqra’ hanya permulaan saja.
Orang-orang yang memegangi pendapat pertama berpendapat bahwa
“sesengguhnya ayat yaa Ayyuha al-muddatsir adalah ayat yang pertama kali
turun setelah masa keterputusan wahyu, sedangkan ayat iqra’ adalah ayat
yang pertama kali diturunkan secara muthlaq.”
c. Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun adalah surah fatihah. Dalam
hal ini yang dimaksudkan adalah surah yang diturunkan pertama kali secara
lengkap. Az-Zamashsyari dalam kitabnya Al-Kasf menyandarkan pendapat ini
pada mayoritas Al-Mufassirin. Akan tetapi, Al-Hafidz Ibnu Hajar menolak
pendapat tersebut. menurutnya, pendapat tersebut hanya dipegang oleh
sebagian minoritas. Pendapat ini dipegang pula oleh Al-Ustadz Imam Syeikh
Muhammad Abduh ketika menafsirkan surat Al-Fatihah.maka jelasnya, surat
Al-Fatihah termasuk diantara surat-surat yang diturunkan di awal-awal
waktu, sebagaiman yang difahami oleh para penertib surat-surat Al-Qur’an
berdasarkan masa turunnya.
d. Disebutkan bahwa yang pertama kali turun adalah bismillahirrahmanirrahim,
karena basmallah turun mendahului setiap surah.
4. Ayat yang Terakhir Turun
Dalam pembahasan ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama diantaranya:
a. Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba.
Ini berdasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Abu Khairi dari Ibn Abbas,
yang mengatakan: “Ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat mengenai riba.”
Yang dimaksudkan adalah firman Allah:
ِِ ِ ‫اَّللَ َوذَ ُروا َما بَِقي ِم َن‬
َ ‫الرَِب إِ ْن ُكْن تُ ْم ُم ْؤمن‬
‫ني‬ ‫ين َآمنُوا اتم ُقوا م‬ ِ‫م‬
َ ‫ََيأَيُّ َها الذ‬
َ
“wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jangan
tinggalkanlah sisa riba – yang belum dipungut-.” (Al-Baqarah [2]: 278)
b. Dikatakan bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan ialah firman Allah:
‫ت َو ُه ْم َال يُظْلَ ُمو َن‬
ْ َ‫س َما َك َسب‬ ‫َواتم ُقوا يَ ْوًما تُ ْر َجعُو َن فِ ِيه إِ ََل م‬
ٍ ‫اَّللِ ُثُم تُ َو مَّف ُك ُّل نَ ْف‬
“Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada
waktu itu kamu samua kembali kepada Allah...” (Al-Baqarah [2]:281)
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, dari Ibn
Abbas dan Sa’id bin Jubair: “Ayat Qur’an yang terakhir turun adalah: Dan
peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah” (Al-Baqarah [2]: 281)
c. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat tentang hutang:
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id Al-Musayyab: “Telah sampai
kepadanya bahwa Ayat Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai
utang.” Yaitu ayat:
ِ ِ‫م‬
َ ‫ين َآمنُوا إِذَا تَ َدايَْن تُ ْم ب َديْ ٍن إِ ََل أ‬
.....ُ‫َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫ََيأَيُّ َها الذ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya” (Al-Baqarah [2]: 282).
Ketiga riwayat diatas dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat
tersebut diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam Mushaf. Ayat
mengenai riba, ayat pelihara dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari, dan
ayat mengenai utang, karena ayat-ayat tersebut masih satu kisah. Setiap perawi
mengkhabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagian yang
terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian ketiga ayat tersebut
tidak saling bertentangan.
d. Dikatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat mengenai kalalah
yang berhubungan dengan masalah warisan. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib ia berkata: “ayat yang terakhir turun ialah”:
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalala, katakanlah : ‘Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah’ (An-Nisa’ [4]: 176)
e. Ayat yang terakhir turun adalah Firman Allah:
....‫اَّللُ يُ ْفتِي ُك ْم ِِف الْ َك ََللَِة‬
‫ك قُ ِل م‬
َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri
Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ini adalah surah yang diturunkan
terakhir kali, karena mengisyaratkan wafatnya Nabi Saw.
f. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa yang terakhir turun adalah surat Al-
Maidah. Ini berdasarkan pada riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Aisyah
ra. surat itu merupakan surat yang terakhir kali turun dalam masalah halal dan
hara, sehingga tak satupun hukum yang dihapus didalamnya.
g. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat:
ٍ ‫ض ُك ْم ِم ْن بَ ْع‬
....‫ض‬ ِ ِ ِ
ُ ‫يع َع َم َل َعام ٍل مْن ُك ْم م ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى بَ ْع‬ ِ
ُ ‫اب ََلُْم َرَُّبُْم أَِّن َال أُض‬
َ ‫استَ َج‬
ْ َ‫ف‬
“Maka Tuhanmu mmeperkennkan permohonan mereka, kata Allah; aku tidak
akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.” (Q.S Ali Imran: 195)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui
Mujaghid, dari Ummu Salamah, dia berkata, ‘Ayat yang terakhir kali turun
adalah ayat, “Maka tuhan memperkenankan permohonan mereka, sesungguhnya aku
tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaummu....”
h. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan lainnya dri Ibnu Abbas
berkata , “Ayat ini adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dihapus
oleh apapun.” ayat yang terakhir turun ialah:
ِ ِ ‫ضب م‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ً ‫َع مد لَهُ َع َذ ًاِب َعظ‬
‫يما‬ َ ‫اَّللُ َعلَْيه َولَ َعنَهُ َوأ‬ َ َ‫َوَم ْن يَ ْقتُ ْل ُم ْؤمنًا ُمتَ َعم ًدا فَ َجَز ُاؤهُ َج َهن ُمم َخال ًدا ف َيها َوغ‬
“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah neraka jahannam, dia kekal didalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuk serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (Q.S
An-Nisa: 93)
i. Pendapat berdasaran riwayat Muslim dan Ibnu Abbas, yang menyebutkan
bahwa ayat yang terakhir turun adalah:
‫اَّللِ َوالْ َفْت ُح‬ ْ َ‫إِذَا َجاءَ ن‬
‫ص ُر م‬
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”(Q.S An-Nashr: 1)
Semua pendapat itu tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing
hanya ijtihad dan dugaan.Mungkin pula bahwa masing-masing
merekamemberitahukan apa yang yang terakhir di dengarnya dari Rasulullah
Saw. atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa
yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau
dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti pendapat
yang telah dikemukakan. Adapun ayat sebagai berikut::
‫اْل ْس ََل َم ِدينًا‬
ِْ ‫يت لَ ُكم‬ ِ ِ
ُ ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِيت َوَرض‬
ِ
ُ ‫ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم‬
ُ ‫الْيَ ْوَم أَ ْك َم ْل‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi Agama
bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Secara teks menunjukan penyempurnakan kewajiban dan hukum. Juga
telah diisyaratkan di atas, riwayatmengenai turunnya ayat riba’, hutang-
piutang, kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga dari surat Al-Maidah.
Maka dari itu para ulama menyatakan kesempurnaan agama didalam ayat
ini.100
3.3 Jumlah Ayat Al-Qur’an dan Sebab Perhitungan
Pembahasan Mengenai jumlah ayat dalam Al-Qur’an, para ulama berselisih
pendapat. Namun, yang telah disepakati tentang bilangan ayat Al-Qur’an tidak
kurang dari 6000 ayat. Dan yang diperselisihkan adalah kelebihan dari 6000 ayat.
Menurut ulama Madinah, jumlah ayat Al-Qur’an sebanyak 6.210, menurut ahli

100
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, (Jakarta: 2006),
82-87
Bashrah sebanyak 6.204, menurut Ahli Syam sebanyak 6.226, menurut ahli Kufah
sebanyak 6.217, dan menurut Ibnu Abbas adalah 6.616.101
Sebelumnya, disebutkan bahwa hitungan ulama Makkah dinisbatkan kepada
Abdullah Ibnu Katsir, salah satu tujuh Imam. Sedang hitungan Madinah terdiri dari
dua macam. Hitungan Madinah yang pertama tidak dinisbatkan pada satu tokohpun.
Ulama kuffah hanya meriwayatkan dari ulama Madinah secara mursal, dan tidak
menyebut satu tokohpun. Mereka tetap menggunakannya, meskipun mereka
memiliki hitungan tersendiri. Sedangkan hitungan yang kedua dinisbatkan kepada
Abu Ja’far Ibn Yazid Ibn Al-Qa’qa’, satu diantara sepuluh imam, dan Syaibah Ibn
Nisbah. Yang meriwayatkannya dari keduanya adalah Ismail ibn Ja’far ibn Abi Katsir
Al-Anshariy melalui Sulaiman Ibn Jimaz.
Adalah salah bila orang menisbatkan hitungan madinah pertama kepada
kepada Abu Ja’far dan Syaibah, dan hitungan madinah terakhir kepada Ismail ibn
Ja’far. Tampaknya kesalahan itu disebabkan apa yang disebutkan didalam sebagian
buku, bahwa Nafi’ meriwayatkan dari keduanya hitungan Madinah yang pertama,
dan bahwa Abu Amr menyodorkan hitungan itu kepda Abu Ja’far. Periwayatan Nafi’
dari keduanya tidak serta merta menunjukan bahwa hitungan pertama dinisbatkan
kepada keduanya. Adapun penisbatan hitungan terakhir pada keduanya tidaklah
bisa diragukan lagi. 102
Adapun sebab perbedaan perhitungan jumlah ayat Al-Qur’an adalah:
1. Sebagian ulama memandang fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat)
Sebagai ayat, akan tetapi sebagian yang lain tidak menghitungnya sebagai
ayat.
2. Bacaan yang diwakafkam oleh Nabi, ada yang menganggapnya sebagai tanda
berakhirnya suatu ayat, sementara yang lain tidak memandang sebagai akhir
ayat (fashilah)
Dalam kaitan dengan perhitungan dan perincian ayat dari tiap-tiap surat yang ada
dalam Al-Qur’an itu dapat dibedakan ke dalam tiga bagian yaitu:
a. Kelompok surat-surat yang diperselisihkan tentang jumlah ayatnya, baik
secara keseluruhan maupun rinciannya. Jumlah surat yang digolongkan
kedalam kelompok ini sebanyak 40 surat, di antaranya surat Yusuf [12] 111
ayat, Al-Hijr [15] 99 ayat, Al-Jumu’ah [62] 11 ayat, dan Al-A’diyat [100] 11 ayat.
b. Kelompok surat-surat yang jumlah keseluruhan ayatnya disepakati, tetapi
perinciannya secara detil diperselisihkan. Kelompok ini sebanyak empat surat,
yakni surat-surat: Al-Qashash [28] 88 ayat, Al-Ankabut [29] 69 ayat, dan Al-
Ashr [103] 3 ayat.
c. Kelompok surat-surat yang jumlah ayatnya diperselisihkan baik mengenai
jumlah keseluruhannya maupun tentang perinciannya. Jumlah suratnya
sebanyak 70 surat. Contoh: surat Al-Baqarah [2], ada yang mengatakan 285

Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), 72
101

Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya
102

Media Pratama, 2002), 361


ayat, ada yang berpendapat 286 ayat dan ada pula yang berpendirian 287
ayat.103
Sebab adanya perbedaan itu adalah bahwa Nabi Saw. membaca waqaf ujung-
ujung ayat untuk memberikan pengertian kepada sahabat. Kemudian setelah
mereka tahu, beliau membaca washal, demi memperoleh pengertian yang utuh.
Sehingga sebagian sahabat mengira bahwa apa yang dibaca waqaf oleh Nabi Saw.
itu bukanlah fashilah, karena beliau membaca washal pula dengan anggapan
mereka, semuanya merupakan satu ayat. Sedangkan sebagian ulam menganggap
sebagai alat tersendiri.104
3.4 Diskursus Seputar Sistematika, Penyusunan Ayat & Argumentasi
Pembahasan mengenai Al-Qur’an dirasakan bagaikan kekuatan dari atas
yang sangat kuat menghujam ke bawah. Itu disebabkan kedudukan dan
keagungan pengajaran Al-Qur’an yang begitu cepatnya merubah kehidupan
manusia dengan revolusi mencengangkan revolusi moral. Mengetahui sejarah
penyusunan undang-undang Islam dari sumbernya memberikan gambaran fase
tahapan dalam hukum dan penentuan hukum dengan setiap peristiw tanpa
pertentangan antara yang lalu dan yang akan datang. Dan ini telah terbukti dari
pertama kali turunnya Al-Qur’an secara umum dan akhir turunnya secara mutlak,
sebagaimana juga awal turunnya dan akhir turunnya ayat dalam setiap penentuan
hukum (tasyrie) dalam ajaran Islam, seperti makanan, minuman, pembunuhan
dsbnya.
Menurut Az-zarqani pembahasan tentang awal dan akhir turunnya ayat
mencakup dua hal: pertama, mengetahui awal dan akhir turunnya ayat secara
mutlak. Kedua, mengetahui contoh-contoh awal yang turun dari hukum tasyri dan
yang turun terakhir seperti dengan idhafah (tambahan), takhsis (pengkhususan)
atau taqyied (kalimat yang mengikat). Dan para ulama mempunyai banyak
pendapat tentang awal dan akhir turunnya ayat, di bawah ini akan kami
ketengahkan satu persatu.
Pada saat mushaf utsmani selesai ditulis dan disebarkan diseluruh negara,
kaum muslimin sepakat untuk menggunakan mushaf utsmani sebagai mushaf Al-
Qur’an. Mushaf tersebut terdiri dari surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek
maupun yang panjang. Muncul perdebatan tentang susunan dan tertib surat
maupun ayat.
Diantara mereka yang tidak menguasai hadits menganggap bahwa
sistematika Al-Qur’an bersifat tauqifi yakni ketetapannya berdasarkan ijtihad dan
pendapat para sahabat. Sementara di kalangan ulama hadits dan mufassirin
menyatakan bawha sistematika Al-Qur’an bersifat tauqifi, tidak ada alasan untuk
merubah maupun mengatur sistematika ayat maupun surat dengan ijtihad para
ulama. Mereka sepakat bahwa sistimatika Al-Qur’an dari Allah, maka pernyataan

Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), 72
103

Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya
104

Media Pratama, 2002), 361


sebaliknya tidak diterima, bahkan dapat dianggap menyesatkan. Perbedaan
pendapat dalam masalah ini berkisar dalam masalah sistimatika surah, sedangkan
sistimatika ayat mereka sepakat menyatakan tauqifi.
Secara etimologi ayat berarti: mukjizat, tanda, ibarat, perkara yang
menakjubkan, bukti dan dalil. Sebagaimana secara terminologis ayat ialah
kumpulan ayat dari firman Allah yang tersusun dalam surat Al-Qur’an.
Sistimatika ayat dalam Al-Qur’an mutlak dari Rasulullah, pendapat ini banyak
didukung ulama diantara mereka ialah: Imam Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan,
dan Ahmad bin Ibrahim bin Zubair al-Andalusi, ia termasuk dari huffadz, (W. 807
H.) dalam kitabnya Munasabah ia berkata: “Sistimatika ayat-ayat dalam surat-
suratnya sesuai dengan penetapan dan perintah Rasulullah tanpa ada khilaf dari
kaum muslimin”. Imam as-Syuyuthi memperkuat ia berkata: “Baik kesepakatan
ulama maupun nash-nash menunjukkan bahwa sistimatika ayat tauqifie mengikuti
penetapan Rasulullah tidak ada keraguan dalam perkara tersebut”, Jibriel telah
menurunkan ayat kepada Rasulullah serta mengarahkan tempatnya dalam setiap
surat atau ayat yang turun sebelumnya, maka Rasulullah menyuruh sekretarisnya
untuk meletakkannya dan berkata pada mereka:

‫ضعوا هذه الآلَيت ِف السورة اليت يذكر فيها كذا وكذا‬

“Letakkan ayat ini di surat yang disebut anu dan anu”, atau:

‫ضعوا آية كذا ِف موضع كذا‬

“Letakkan ayat ini di tempat ini”

Sebagian disampaikan oleh para sahabat-sahabat:

:‫ كنت جالسا عند رسول هللا ﷺ إذ شخص ببصره ُث صوَبو ُث قال‬:‫عن عثمان بن أيب العاص قال‬
‫أتين جِبيل فأمرّن أن أضع هذه اآلية هذا املوضوع من هذه السورة‬

)‫) إَل آخرها‬90-‫( إن هللا أيمر ِبلعدل واْلحسان وإيتاء ذي القرىب (النحل‬

)‫(أخرجه أمحد ِبسناده حسن‬

“Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam


lalu seperti semula. Kemudian berkata: Jibriel telah mendatangiku dan
memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat satu dari surah ini( an-Nahl:
90)”. (HR. Bukhari)

‫ والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا‬:‫ قلت لعثمان‬:‫عن ابن زبْي قال‬
‫ من مكانه‬,‫ ال أغْي شي‬,‫ َي ابن أخي‬:‫ فلم تكتبها أو تدعها؟ قال‬,‫ ) قد نسختها اآلية اْلخرى‬234-‫(البقرة‬
)‫(رواه البخاري‬

“Dari Ibnu Zubair berkata: Aku berkata kepada Utsman: bahwa ayat (al-Baqarah-
234) ayat ini telah terhapus hukumnya, apakah tetap kau tulis atau engkau hapus?
Ia menjawab: wahai keponakanku, aku sama sekali tidak merubah sesuatu ayatpun
dari tempatnya.”

Maka Utsman kemudian menulis dan mengumpulkan ayat dalam surat Al-
Qur’an yang telah ditunjuk oleh Rasulullah, meskipun hukumnya telah terhapus
(mansukh) ia tetap tidak merubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat
dengan sistimatika ini sangat berhati-hati dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah.

Dan telah diriwayatkan secara tertib pula tentang bacaan Rasulullah dalam
banyak surat denga tertib ayat-ayatnya dalam shalat, atau dalam khutbah jum’at,
seperti surat al-Baqarah dan al-Imran serta an-Nisa, dan benar bahwasannya beliau
membaca “al-A’raf” dalam shalat maghrib dan beliau membaca “alif lamm
miim...”sajdah”, dan “hal ata ‘alal insan”ad-Dahr” pada waktu shalat jum’at. Dan
beliau membaca surat Qaf dalam khutbah, dan membaca surat Jum’ah dan
Munafiqun dalam shalat jum’at.

Jibril setiap tahunnya menampakkan dan membaca Al-Qur’an kepada


Rasulullah setiap setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan jibriel
membacakannya dua kali pada tahun terakhir sebelum wafatnya beliau, dan
penyusunan itu dapat kita ketahui dalam Al-Qur’an yang kita baca sekarang.

Maka dengan ini penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf yang kita
baca saat ini tidak ada pertentangan dan perbedaan. Imam suyuthi berkata setelah
menyebutkan Hadits tentang surat-surat yang khusus: ”Bacaan Rasulullah yang
disaksikan oleh para sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat tersebut,
dan para sahabat tidak menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari apa yang
mereka dengar dari Rasulullah maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan
tertib menurut riwayat umum (tawatur).

4. KESIMPULAN
Tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar antara
kita adalah taiqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Imam Al-Sayuti telah menyebutkan
hadits-hadits yang berkenaan dengan surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan
surah-surah yang dilakukan Nabi Saw. dihadapan para sahabat itu menunjukan
bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan
menyusunnya dengan tertib yang berbeda dari yang mereka dengar dari bacaan Nabi
Saw. maka sampailah tertib ayat tersebut kepada tingkat mutawatir.
Mengenai jumlah ayat dalam Al-Qur’an, para ulama berselisih pendapat.
Namun, yang telah disepakati tentang bilangan ayat Al-Qur’an tidak kurang dari 6000
ayat. Dan yang diperselisihkan adalah kelebihan dari 6000 ayat.
Sebab adanya perbedaan itu adalah bahwa Nabi Saw. membaca waqaf ujung-
ujung ayat untuk memberikan pengertian kepada sahabat. Kemudian setelah mereka
tahu, beliau membaca washal, demi memperoleh pengertian yang utuh. Sehingga
sebagian sahabat mengira bahwa apa yang dibaca waqaf oleh Nabi Saw.
Penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf yang kita baca saat ini tidak
ada pertentangan dan perbedaan. Imam suyuthi berkata setelah menyebutkan Hadits
tentang surat-surat yang khusus:” Bacaan Rasulullah yang disaksikan oleh para
sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat tersebut, dan para sahabat tidak
menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari apa yang mereka dengar dari
Rasulullah maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan tertib menurut riwayat
umum (tawatur).

DAFTAR PUSTAKA
Abu Syahbah, Syeikh Muhammad. “Studi Al-Qur’an Al-Karim.” (Bandung; Penerbit
Pustaka Setia, 2002.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. “Studi Ilmu-ilmu Qur’an.” Jakarta: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 2002.
Al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim. “Manahil Al-‘rfan Fi’ Ulum Al-Qur’an.”
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Mardan. “Al-Qur’an sebuah Pengantar.” Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010.
Suma, Muhammad Amin. “Ulumul Qur’an.” Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019.
ILMU TARTIB SUWAR II
NAMA DAN MACAM-MACAM SURAT

Satori,1 Adi Rizaldi,2 Nisa Halwati.3


1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
satorisafa@yahoo.com
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
Ridwanadirizaldi6@gmail.com
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
nisahalwati2@gmail.com

ABSTRAK
Ilmu tartib as-Suwar adalah ilmu yang membahas bagaimana tartib surat-surat Al-Qur’an
disusun. Apakah susunan surat-surat itu berdasarkan ketentuan dari Nabi Muhammad Saw.
atau usaha orang lain dalam hal ini para Sahabat. Tertib urutan surat dalam Al-Qur’an
sebagaiman mushaf sekarang ini, disusun tidak berdasarkan kronologis turunnya. Hal ini
jelas di ketahui oleh seluruh umat Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
muncul berbagai pertanyaan yang mempersoalkan tentang bagaimana sesungguhnya
penyusunan surat-surat itu sampai menjadi seperti yang sekarang ini. Penelitian ini
menggunakan library research yaitu dengan cara membaca dan menelaah kitab-kitab serta
buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini. Metode yang digunakan
Metode deduktif yang mengambil atau mengambarkan semua data data yang bersifat umum
menuju kesimpulan yang bersifat khusus.

ABSTRACT
Tartib as-Suwar is a science that discusses how the arrangement of the letters of the Qur'an
are arranged. Is the arrangement of the letters based on the provisions of the Prophet
Muhammad or the efforts of others in this case the Companions. The orderly order of the
letters in the Qur'an as in today's manuscripts, is arranged not in chronological order. This is
clearly known by all Muslims. Therefore, it is not surprising that various questions arise
regarding how the actual arrangement of the letters came to be what they are today.
This study uses library research, namely by reading and studying books and books that are
related to the discussion of this paper. The method used is a deductive method that takes or
describes all data of a general nature to a specific conclusion.

Keyword: Al-Qur’an, Surat, Tauqifi, Ijtihadi.


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah pedoman bagi umat Islam yang berisi tentang tuntunan dan
petunjuk untuk manusia agar menuju kemaslahatan di dunia maupun di akherat. Al-
Qur’an juga merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
dalam bentuk lafal Arab dengan perantara Malaikat Jibril sebagai mukjizat Nabi
Muhammad Saw. untuk dijadikan sebagai petunjuk antara hak dan batil.
Sebagaimana Firman Allah Swt surat al-Baqarah ayat 185:
ِۚ َ‫َٰت ِمن ا َْل َٰدى والْ ُفرق‬
…‫ان‬ ٍ ِ ِ ‫ضا َن الم ِذ ْي اُنْ ِزَل فِي ِه الْ ُقراَٰ ُن ه ًدى لِلن‬
ْ َ ُ َ ‫ماس َوبَين‬ ُ ْ ْ َ ‫َش ْه ُر َرَم‬
Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an,
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (Qs. Al-
Baqarah [2]: 185)

Petunjuk itu diperoleh dengan menanamkan keimanan terhadap Al-Qur’an


melalui pengetahuan tentang sebab turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Disamping itu,
tertib ayat-ayat menjadi dasar bagi pembenaran akan kenabian Muhammad Saw.
yang ditugaskan oleh Allah Swt untuk memberikan keterangan lengkap mengenai
dasar-dasar prinsipil yang terkandung dalam Al-Qur’an dan menjadi peringatan,
termasuk hal-hal yang menakjubkan sebagai bukti kekuasaan Allah Swt dan
sebagainya.105
Ilmu tartib as-suwar adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana tertib
surat-surat dalam Al-Qur’an disusun. Selama ini Al-Qur’an yang diketahui adalah
alQur’an yang sudah tersusun dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas. Kita semua tahu bahwa Tertib surat Al-Qur’an dalam mushaf saat ini saat ini
tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya. Tidak pernah terpikirkan bahwa
penyusunan surat di dalam Al-Qur’an yang selama ini kita baca dan yakini apakah
penyusunan surat di dalam Al-Qur’an adalah tauqifi atau ijtihadi?
Pertanyaan ini kemudian memunculkan semangat para ilmuan dan ulama
terdahulu mencoba untuk menggali dan memberikan argumentasi masing-masing
dengan mengemukakan beberapa argumen yang didukung berbagai fakta historis
untuk menguatkan tesisnya. Dari upaya tersebut ternyata para ahli mendapatkan
kesimpulan yang berbeda, ada yang beranggapan bahwa susunan surah dalam Al-
Qur’an bersifat ijtihadi, ada yang berpendapat tauqifi. Kemudian diambillah jalan
tengah, susunan surah tersebut sebagian merupakan hasil ijtihad dan sebagian
lainnya tauqifi
Berdasarkan permasalahan inilah penulis mencoba menyajikan dan
mengungkap tentang historisitas susunan surat di dalam Al-Qur’an, apakah susunan
surah di dalam alQur’an yang kita tahu dan kita lihat selama ini adalah merupakan
hasil ijtihad sahabat ataukah tauqifi? Atau justru gabungan dari keduanya.

105
Isnaini, “Bab 1 Sistematika Surat Al-Qur’an Dalam Mushaf Antara Tauqifi Dan
Ijtihad” (Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1998)., 1
2. METODE
Penelitian ini menggunakan library research yaitu dengan cara membaca dan menelaah
kitab-kitab serta buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini.
Metode yang digunakan Metode deduktif yang mengambil atau mengambarkan
semua data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Surat
Dari segi lughawi, surat berarti manzilah atau kedudukan. Arti lainnya adalah
syaraf, atau kemuliaan. Menurut definisi yang dikenal dalam hubungannya dengan
Al-Qur’an, surat adalah kelompok tersendiri dari ayat-ayat Al-Qur’an yang
mempunyai awal dan akhir. Menurut Abdul Wahhab Abdulmajid Ghazlan
mendefinisikan surat adalah kelompok tersendiri dari Al-Qur’an yang terdiri dari
sedikitnya tiga ayat.106
Kata surat yang berbentuk jamak Suwar berasal dari kata sisa air dalam bejana.
Makna lain adalah al-sur yang berarti pagar pembatas. Adapun kata surat itu berarti
pasal. Demikian pula surat diartikan oleh Moenawar Khalil yang dikutip dari jurnal
Fatiwahidah beliau mengartikan dengan tingkatan atau martabat, tanda atau alamat,
gedung yang tinggi serta indah, sesuatu yang sempurna serta susunan sesuatu atas
lainnya yang bertingkat-tingkat.107 Jadi jika ditelaah dan diperhatikan secara sungguh-
sungguh nama-nama surat dalam Al-Qur’an dengan berbagai pengertian seperti yang
disebutkan di atas memuat beberapa kepentingan.
1. Siapa yang membacanya dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan segala
isi-muatannya, niscaya ia akan memperoleh berbagai tingkat dalam ilmu
pengetahuan.
2. Surat-surat dalam Al-Qur’an itu menjadi tanda permulaan dan penghabisan
untuk setiap bagian tertentu dari Al-Qur’an.
3. Surat-surat dalam Al-Qur’an laksana gedung-gedung yang sangat indah yang di
dalamnya memuat berbagai macam ilmu pengetahuan dan hikmah.
4. Setiap surat Al-Qur’an mengandung beberapa hal yang lengkap dan sempurna.
5. Setiap surat Al-Qur’an satu sama lain berhubungan erat, tidak dapat dipisahkan
antara satu dari lainnya seakan-akan merupakan tangga yang bertingkat-
tingkat.108
Al-Qutabiy berkata: kata “as-suratu” )‫(السورة‬ ada yang memberinya hamzah
dan ada yang tidak. Jika seseorang memberinya hamzah, berarti ia menjadikannya

106
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset, 2011)., 91
107
Fatirawahidah, “Sistematika Ayat Dan Surah Al-Qur’an,” Jurnal Al-Munzir Vol 9
(2016): 135.
108
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an
(Bandung: Humaniora, 2011).,35
dari lafadh “as-artu” (‫ )أسأرة‬yang berarti “afdholtu” (‫)أفضلت‬, yaitu dari kata As-Su’ru
adalah minuman yang tersisa dalam sebuah bejana. Jadi surat ini seakan-akan ia
adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Qur’an.

Sedangkan orang yang tidak menghamzahkannya berarti ia menjadikannya


dari makna yang pertama dan mentashil (menghilangkan) hamzahnya. Diantara
mereka ada yang menyamakan surat ini dengan “pagar suatu bangunan”, yaitu
bagian dari bangunan tersebut. Ada yang mengatakan surat dari (suurul madinah)
“pagar suatu kota”. Karena surat ini mengelilingi ayat-ayat dan berkumpul
dengannya, seperti berkumpulnya rumah dengan rumah. Sama halnya dengan pagar
yang mengelilingi sebuah kota di mana di dalam kota itu banyak terkumpul rumah-
rumah. Dan dikatakan demikian karena diambil dari kata as-siwar “gelang”, karena ia
melingkari lengan atau bahu. Ada yang berkata: dikatakan surat, karena ia
mempunyai arti: “ketinggian”, karena ia adalah kalam Allah, maka ia mempunyai
derajat yang sangat tinggi dan mulia.109

Secara istilah para ahli ilmu Al-Qur’an berbeda-beda dalam mendefinisikan


surat diantaranya:

‫طا ئفة مستقلة من اَيت القران ذات طلع ومقطع‬


Artinya: “sekelompok atau sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang berdiri sendiri,
yang mempunyai permulaan dan penghabisan”.

Manna Khalil mendefinisikan surat sebagai berikut:


‫ هى اِلملة من اَيت القران ذات املطع واملقطع‬:‫السورة‬
Artinya: “surat adalah kumpulan atau jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
permulaan dan akhiran”.110

Pengertian surat menurut terminology para ahli ilmu Al-Qur’an memiliki


makna yang berbeda-beda. Sebagian definisi dari ulama tersebut antara lain, al-Ja’bari
dan Manna’ al-Qathan. Menurut al-Ja’bari, “Surat ialah (sebagian) Al-Qur’an yang
mencakup beberapa ayat yang memiliki permulaan dan penghabisan (penutup), dan paling
sedikit adalah tiga ayat”. Sebaliknya menurut Manna’ al-Qathan, “Surat adalah
sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tempat bermula dan sekaligus tempat
berhenti (berakhir)”.111
Dapat disimpulkan bahwasanya surat adalah pembatas dari beberapa surat
yang ada dalam Al-Qur’an atau sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang berdiri sendiri

109
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2006)., 279
110
Liliek & Syaiful Hidayat channa, Ulumul Qur’an Dan Pembelajarannya (Surabaya:
Kopertais IV Press, 2010)., 234
111
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 3
serta menjadi tanda permulaan dan penghabisan untuk setiap bagian tertentu dari Al-
Qur’an.
Penamaan setiap surat dalam Al-Qur’an yang semuanya tepat dan akurat,
penamaan setiap surat dalam Al-Qur’an juga sangat tepat dengan isi kandungan yang
terdapat di dalam surat-surat itu sendiri. Ambillah sebagai contoh surat pertama Al-
Qur’an yang dinamakan Al-Fatihah (pembukaan/pendahuluan). Surat ini memang
merupakan surat pembukaan, yang berfungsi sebagai pengantar de dalam isi
kandungan Al-Qur’an yang lebih luas. Demikian pula dengan surat Al-Baqarah yang
berarti sapi, yang di dalamnya banyak dikemukakan ihwal pemotongan sapi bagi
kaum Bani Israil yang terlalu banyak pertanyaan itu. Dan begitu seterusnya.112

3.2 Nama-nama Surat


Setiap surat dalam Al-Qur’an memiliki nama tersendiri, dan nama-nama
tersebut pada umumnya diambil dari permulaan surat, kecuali 35 dari 114 surat Al-
Qur’an yang namanya diambil dari bagian tengah. Nama-nama surat dalam Al-
Qur’an resmi berdasarkan tuntunan wahyu ilahi. Namun, adapula nama surat-surat
Al-Qur’an yang lahir dari berasal dari sahabat mengingat sebagai julukan ada yang
disematkan oleh sahabat. Misalnya surat at-Taubah (9) yang oleh Umar ibn al-
Khatthab dijuluki sebagai surat al-Qital (peperangan). Penamaan itu pemberian
julukan terhadap Al-Qur’an sangat tepat dan sesuai dengan isi landungan surat-surat
tersebut. Dan surat pertama Al-Qur’an yang dinamai al-Fatihah (pembukaan atau
pendahuluan). Disebut demikian karena surat ini memang merupakan surat
pembuka yang berfungsi sebagai pengantar ke dalam isi-kandungan Al-Qur’an yang
lebih luas.113
Nama-nama surat yang berjumlah 114 surat di dalam Al-Qur’an serta
julukannya, sebagai berikut:114

1. Al-Fatihah (Pembukaan) surat ini memiliki sejumlah nama atau julukan yang
setidak-tidaknya ada dua belas nama menurut al-Qurthubi (w. 671 H). nama-
nama tersebut adalah ash-Shalat (shalat), al-Hamd (pujian), Fatihah al-Kitab
(pembukaan al-Kitab), Umm al-Kitab (induk al-Kitab), al-Matsani atau al-Sab’a al-
Matsani (yang diulang-ulang atau tujuh ayat yang diulang-ulang), Al-Qur’an al-
Azhim (Al-Qur’an yang agung), asy-Syifa (obat penawar), ar-Ruqyah (pengobatan
dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, terutama pembacaan surat al-Fatihah),
al-Asas (dasar atau pondasi), al-Wafiyah (yang utuh menyeluruh atau yang
sempurna), dan al-Kafiyah (yang mencukupi).
2. Al-Baqarah (Sapi Betina). Sebutan lain untuk surat Al-Baqarah ialah Fustath Al-
Qur’an (puncak Al-Qur’an).

112
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2019), 61-62.
113
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 36
114
Izzan.....,41
3. Ali Imran (keluarga Imran) yang diambil dari pembahasan tiga generasi dari
keluarga Imran, yakni Imran dan istrinya, Siti Maryam, serta Isa Ibn Maryam.
4. An-Nisa (Wanita-Wanita). Juga, digelari sebagai surat an-Nisa’ al-Kubra (wanita
yang besar), sebagai imbangan bagi surat ath-Thalaq yang digelari sebagai surat
an-Nisa as-Sughra (wanita yang kecil).
5. Al-Maidah (Hidangan), dilatarbelakangi oleh permohonan al-hawariyyun yang
memohon kepada Isa ibn Maryam untuk memohonkan hidangan kepada Allah.
6. Al-An’am (Binatang Ternak)
7. Al-A’raf (Tempat Tertinggi), salah satu nama bukit yang terletak di antara
Jannah dan an-Nar.
8. Al-Anfal (Rampasan Perang), termasuk di dalamnya kisah Perang Badar.
9. At-Taubah (Pengampunan), dijuluki pula dengan al-Bara-ah (berlepas diri atau
pembebasan diri), al-Qital (surat peperangan), dan al-Badr (perang badar).
10. Yunus (Nabi Yunus). Di dalamnya memuat kisah beberapa Nabi, seperti Nabi
Nuh dan Nabi Musa.
11. Hud (Nabi Hud).
12. Yusuf (Nabi Yusuf).
13. Ar-Ra’d (Guruh atau Guntur).
14. Ibrahim (Nabi Ibrahim). Nabi yang mendapat gelar uswatun hasanah, shiddiqan
nabiyyan, al-hanif, dan aba’ al-anbiya.
15. Al-Hijr (Bukit), nama sebuah gunung yang didiami kaum Tsamud, terletak di
antara Madinah dan Siria (Syam).
16. An-Nahl (Lebah), yang memiliki julukan surat an-Ni’am (berbagai nikmat yang
telah dianugerahkan Allah).
17. Al-Isra’ (Perjalanan Malam Nabi Muhammad Saw. Dari Masjidil Haram di
Makkah ke Masjidil al-Aqsa di Palestina), disebut juga surat Bani Israil dan
Subhana (Mahasuci).
18. Al-Kahfi (Goa), yang juga lazim disebut surat Ashhab al-Kahfi (para penghuni
gua), salah satu kisah di dalam surat selain kisah pertemuan antara Nabi Musa
dan seorang alim.
19. Maryam (Maryam, Ibunda Nabi Isa ibn Maryam) yang juga disebut surat Kaf-
Ha-Ya-‘Ain-Shad.
20. Thaha (Thaha), salah satu nama bagi Nabi Muhammad Saw.
21. Al-Anbiya (Nabi-Nabi) yang berisi kisah beberapa Nabi yang pernah diutus
Allah.
22. Al-Hajj (Haji).
23. Al-Mu’minun (Orang-orang yang beriman).
24. An-Nur (Surat Cahaya).
25. Al-Furqan (Pembeda atau yang membedakan).
26. Ast-Syu’ara (Para Penyair).
27. An-Naml (Semut).
28. Al-Qashash (Kisah-kisah atau cerita-cerita), yang juga digelari sebagai surat
Musa.
29. Al-Ankabut (Laba-laba).
30. Ar-Rum (Bangsa Rumawi).
31. Luqman (Luqman), salah seorang yang diberi hikmah sangat tinggi dari sisi
Allah.
32. As-Sajadah (Sujud), yang biasa dijuluki surat al-Mudhaji (Ranjang-ranjang).
33. Al-Ahzab (Kelompok yang bersekutu atau menyusun konspirasi).
34. Saba’ (Kaum Saba).
35. Fathir (Pencipta), juga dinamakan surat al-Malaikat (Para Malaikat).
36. Ya-Sin (Ya-Sin), yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai surat al-Qalb Al-
Qur’an (Hati atau Jantung Al-Qur’an), ad-Dafi’ah (Motivator atau pemberi
dorongan), al-Qadhiyah (kematian), dan al-Ma’ammah (Yang Memimpin atau
Kepala).
37. Ash-Saffat (yang Bershaf-shaf).
38. Shad (Shad), yang juga dijuluki surat Dawud (Surat Dawud).
39. Az-Zumar (Rombongan), yang juga disebut surat al-Ghuraf (Kamar-kamar).
40. Al-Mukmin (Orang Beriman), dijuluki sebagai surat Ghafir (Maha pengampun
atau Maha Penerima Taubat) dan Dzi al-Thawl (Yang Mempunyai Karunia).
41. Fushshilat (Yang Dijelaskan atau Yang Dirincikan). Dinamakan juga surat as-
Sajdah (sujud), Ha-Mim as-Sajdah , dan al-Mashabih (Lampu-lampu).
42. Asy-Syu’ara (Musyawarah), yang juga disebut surat Ha-Mim ‘Ain Sin Qaf dan Ha
Mim Sin Qaf.
43. Az-Zukhruf (Perhiasan).
44. Ad-Dukhan (Kabut).
45. Al-Jatsiah (Yang Berlutut).
46. Al-Ahqaf (Butiran-butiran Pasir).
47. Muhammad (Nabi Muhammad Saw.) dinamai juga surat al-Qital (Peperangan)
dan al-Ladzina Kafaru (Orang-orang Kafir).
48. Al-Fath (Kemenangan).
49. Al-Hujurat (Kamar-kamar).
50. Qaf (Qaf), dijuluki juga surat al-Basiqat (Pohon Kurma yang tinggi tinggi).
51. Adz-Dzariat (Angin yang Menerangkan).
52. At-Thur (Bukit Sina).
53. An-Najm (Bintang).
54. Al-Qamar (Bulan), disebut juga surat Iqtarabat (Hampir Tiba).
55. Ar-Rahman (Allah yang Maha Pemurah).
56. Al-Waqi’ah (Hari Kiamat).
57. Al-Hadid (Besi).
58. Al-Mujadillah (Wanita yang Mengajukan Protes).
59. Al-Hasyr (Pengusiran), disebut juga surat an-Nadhir (Yang Sangat Elok).
60. Al-Mumtahanah (Wanita yang Diuji).
61. Ash-Shaf (Barisan yang Berbaris Rapi).
62. Al-Jumu’ah (Hari Jum’at).
63. Al-Munafiqun (Orang-orang Munafiq).
64. At-Thagabun (Hari Penampakan Kesalahan-kesalahan).
65. Ath-Thalaq (Thalak atau Perceraian), dijuluki juga surat an-Nisa as-Sughra
(Wanita Kecil).
66. At-Tahrim (Pengharaman), disebut juga surat an-Nabiy (Nai Saw).
67. Al-Mulk (Kerajaan), disebut juga surat al-Waqiyah (Yang Melindungi), al-
Munjiyah (Penyelamat), dan al-Mujadilah (Pembatahan atau Perdebatan).
68. Al-Qalam (Kalam, Pena, Alat Tulis), disebut juga surat Nun.
69. Al-Haqqah (Hari Kiamat).
70. Al-Ma’arij (Tempat-tempat naik atau tangga) juga dijuluki surat Sa-ala Sa’-ilun
(Pertanyaan orang yang bertanya).
71. Nuh (Nabi Nuh).
72. Jin (Jin) juga disebut surat Qul Uhiya (Katakan aku diberi wahyu).
73. Al-Muzammil (orang yang berselimut).
74. Al-Mudatstsir (Orang yang berkemul).
75. Al-Qiyamah (Hari Kiamat).
76. Al-Insan (Manusia), juga disebut surat al-amsyaj (yang bercampur) dan ad-Dahr
(Waktu atau masa).
77. Al-Mursalat (Malaikat yang diutus).
78. An-Naba’ (Berita Benar).
79. An-Naziat (Malaikat-malaikat yang mencabut).
80. Abasa (Orang yang Bermuka Masam), jiga disebut surat al-‘Ama (Orang buta)
dan as-Safar (Bepergian).
81. At-Takwir (Penggulungan Langit).
82. Al-Infithar (Yang Terbelah).
83. Al-Muthaffifin (Orang-orang yang Curang), ath-Thafif (Kecurangan).
84. Al-Insyiqaq (Yang Terbelah).
85. Al-uruj (Gusuran Binatang).
86. Ath-Thariq (Yang Datang Pada Malam Hari).
87. Al-‘Ala (Yang Paling Tinggi).
88. Al-Ghasyiyah (Hari Pembalasan).
89. Al-Fajr (Fajar).
90. Al-Balad (Negeri).
91. Asy-Syams (Matahari).
92. Al-Lail (Malam).
93. Adl-Dluha (Waktu Dluha atau Waktu Matahari naik Sepenggal).
94. Al-Insyirah atau Alam Nasyrah (Melapangkan Dada).
95. At-Tin (Buah Tin).
96. Al-Alaq (Segumpal Darah), disebut juga al-Qalam (Kalam) dan Iqra’ (Bacalah).
97. Al-Qadr (Malam Kemuliaan).
98. Al-Bayyinah (Bukti Kebenaran).
99. Az-Zalzalah (Kegoncangan).
100. Al-Adiyat (Kuda Perang yang Berlari Kencang).
101. Al-Qari’ah (Hari Kiamat).
102. At-Takatsur (Bermegah-megah).
103. Al-Ashr (Waktu atau Masa).
104. Al-Humazah (Pengumpat).
105. Al-Fil (Gajah).
106. Al-Quraisy (Suku Quraisy).
107. Al-Ma’un (Barang-barang Berharga), disebut juga surat ad-Din (Agama).
108. Al-Kautsar (Nikmat yang Teramat Banyak), disebut juga surat an-Nahr
(Berkurban).
109. Al-Kafirun (Orang-orang Kafir), juga disebut surat al-Ma’abidah (Tempat-tempat
ibadah), al-Muqasyarah (Yang Membebaskan).
110. An-Nashr (Pertolongan).
111. Al-Lahab (Gejolak Api), juga disebut surat Abi Lahab, Tabbat, dan al-Masad (Tali
Serabut).
112. Al-Ikhlas (Memurnikan Kemahaesaan Allah), juga disebut surat Qul-Huwallah,
al-Ma’rifat, (Mengenali Allah), al-Jamal (Yang Sangat Indah), at-Tawhid (Tauhid),
an-Nur (Cahaya), al-Muawidzah (Yang Melindungi), al-Mani’ah (Yang Mencegah
dari Fitnah Kubur), al-Baraah (Yang Membebaskan dari Kemusyrikan), dan an-
Najat (Keselamatan).
113. Al-Falaq (Waktu Subuh).
114. An-Nas (Manusia).

Membahas tentang jumlah surat yang ada di dalam Al-Qur’an, menurut


sebagian ulama, jumlah surat dalam Al-Qur’an 114. Sebagian lainnya berpendapat
dan meyakini bahwa jumlah surat dalam Al-Qur’an adalah 113 surat. Karena surat
Al-Anfal dan at-Taubah dihitung satu surat. Bahkan sebagian penganut Syiah
mengatakan bahwa jumlah surat dalam Al-Qur’an sebanyak 116 surat atau 115 surat
bagi yang menganggap surat al-Fil dan al-Quraisy sebagai satu surat. Menurut
sebagian kaum Syiah, dalam hal ini Syiah Ghulat (Syiah ekstrim), dalam Mushhaf-
Utsmani terdapat kekurangan dua surat yang mereka sebut surat al-Khal’u dan al-
Hafdu.115
)‫اللهم اَن نستعينك و نستغفرك و نثىن عليك وال نكفرك وخنلع و نرتك من يفرج (سورة للخلع‬
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon ampunan-Mu,
dan kami memuji-Mu (ya Allah), kami tidak akan mengingkari-Mu. Kami lepaskan dan
tinggalkan orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Mu. (surat al-Khal’u)
‫اللهم اَيك نعبد ولك نصلى ونسجد واليك مسعى وحنفد نرجو رمحتك وخنشى عذابك ان عذابك‬
)‫ِبلكفار ملحق (سورة اْلفد‬
Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami shalat dan sujud,
hanya kepada-Mu kami bergegas (menuju) dan bertindak cepat (dalam beramal), serta
mengharap rahmat-Mu, dan kami takut akan azhab-Mu. Sungguh, azhab-Mu pasti akan
menimpa orang-orang kafir. (surat al-Hafdu).
Memperhatikan gaya bahasa (ushlub) “kedua surat” di atas, tampak jauh
berbeda dari ushlub bahasa Al-Qur’an lainnya. Perbedaan ini bukan hanya pada
redaksi kalimatnya, melainkan juga dari dzauq isi kandungannya karena banyak doa
dalam Al-Qur’an yang ungkapannya tidak seperti ungkapan doa di atas. Jadi mudah
dimengerti jika kaum muslim (termasuk penganut Syiah, tentunya) tegas-tegas
menolak status Al-Qur’an dari dua doa tersebut.

3.3 Macam-macam Surat


Surat-surat dan ayat ayat Al-Qur’an dapat dikelompokan menjadi Makkiyah
dan Madaniyah. Para Ulama mendasarkan pembagian tersebut kepada salah satu dan
tiga aspek berikut ini:

1. Berdasarkan masa turunnya. Yang diturunkan sebelum Hijriyah dari Mekah


ke Madinah disebut Makiyah walaupun turunnya bukan Mekkah dan
sekitarnya. Dan yang diturunkan sesudah Hijrah dinamai Madaniyah
walaupun turunnya bukan di Madinah dan sekitarnya. Sebagai contoh Surat
Annisa ayat 58 tetap masuk kategori Madaniyah sekalipun ayat itu turun di
Makkah, persisnya dalam ka’bah waktu Fathu Makkah pada tahun ke-8 Hijrah.

115
Izzan, Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an...., 35
2. Berdasarkan tempat turunnya (I’tibar makan annuzul). Yang diturunkan
dimakkah dan sekitarnya (seperti Mina, Arafah dan Hudaibah) disebut
makiyah dan yang diturnkan di Madaniyah dan sekitarnya (seperti Uhud,
Quba dan Sai) dinamai Madaniyah.
3. Berdasarkan sasaran pembicaraan (I’tibar Almukhatab). Yang ditujukan untuk
penduduk Mekkah dinamai Makkiyah dan yang ditujukan ke penduduk
Madinah disebut Madaniyah. Begitu juga yang ditujukan kepada semua
manusia (dengan lafaz yaa ayuuhannas) dinamai makkiyah dan yang ditujukan
kepada orang yang beriman saja (dengan lafadz Yaa Ayyuhal ladzina amanuu)
disebut Madaniyah.116
Ibnu Al-A’rabi dalam kitabnya yang berjudul An-Naasikh wa Al-Qur’an,
sesungguhnya ada yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyah. Ada yang
diwahyukan sewaktu Rasulullah Saw dalam perjalanan, ada pula yang diwahyukan
ketika beliau tidak sedang dalam safar (perjalanan). Ada yang diturunkan pada
malam hari, ada yang diturunkan pada siang hari. Ada yang diwahyukan ketika
beliau dilangit dan bumi, serta ada pula yang diwahyukan di bawah tanah, yaitu
tatkala beliau Saw sedang berada dalam goa.
Dan perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama terdapat tiga istilah dalam
pembagian Makkiyah atau Madaniyah:117
Pertama, (ini yang paling mashur), sesungguhnya yang disebut dengan
Makiyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah dan yang disebut
Madaniyah yaitu wahyu yang turun setelah hijrah, meskipun turunnya itu di Mekah
maupun di Madinah, apakah itu pada tahun penaklukan kota Mekah (Fathu Mekkah)
atau pada tahun-tahun terakhir Rasulullah Saw di saat haji wada’, atau ketika beliau
sedang dalam salah satu perjalanan dari sekian banyak perjalanan beliau, ataukah
sedang tidak dalam perjalanan.
Diriwayatkan oleh Utsman bin Saad Ar-Razi dengan sanad Ar-Razi dengan
sanad yang disambung kepada Yahya bin Sallam, ia berkata: surat atau ayat yang
diturunkan di Mekkah atau yang diturunkan dalam perjalanan menuju Madinah
sebelum Rasulullah Saw sampai di Madinah, maka wahyu tersebut termasuk
Makkiyah, adapun surat atau ayat yang turun kepada Nabi Saw ketika beliau sedang
dalam perjalanan tapi setiba beliau di Madinah maka dikategorikan Madaniyah. Dan
ada ungkapan yang lembut dan bijaksana yang diambil landasan darinya, yaitu:
“bahwa wahyu yang turun sewaktu beliau dalam perjalanan hijrah ke Madinah, maka
wahyu tersebut termasuk Makkiyah secara istilah”.
Kedua, bahwa yang dinamakan dengan Makkiyah adalah wahyu yang turun
di Mekkah meskipun turunnya itu setelah hijrah, dan yang disebut Madaniyah adalah
yang turun di Madinah, maka atas dasar inilah terdapat suatu keputusan dan
ketetapan yang seimbang dan bijaksana bahwasanya: wahyu yang turun ketika Nabi

116
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, III (Yogyakarta, 2014).,111
117
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2006)., 279
Saw sedang dalam perjalanan atau bepergian, tidak termasuk dalam kategori
Makkiyah ataupun Madaniyah, berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Ath-
Thabrani dalam kitabnya Al-Kabir dari jalan Al-Walid bin Muslim, dari Ufair bin
Ma’dan dari Ibnu Amir dari Abu Umamah ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Al-
Qur’an itu diturunkan pada tiga tempat makkah, Madinah dan Syam”.
Al-Walid berkata: yang dimaksud dengan “Syam” adalah Baitul Maqdis. Dan
Syaikh Imaduddin bin Ibnu Katsir berkata: penafsiran “Syam” yang lebih baik dalam
hadis di atas adalah “Tabuk”.
As-Suyuthi berkata: dan yang termasuk kategori Makkiyah adalah yang
diturunkan di pelosok atau sudut-sudut kota Mekkah seperti Mina, Arafah, dan
Hudaibiyah.
Sedangkan Madaniyah, adalah ayat-ayat yang diturunkan di pelosok atau
sudut-sudut kota Madinah, seperti yang diturunkan di Badar, Uhud dan lainnya.
Ketiga, bahwa yang disebut dengan Makkiyah itu adalah wahyu yang khusus
diturunkan untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya. Adapun Madaniyah yaitu
wahyu yang khusus diturunkan untuk penduduk Madinah.
Definisi di atas merupakan suatu pemikiran yang muncul dari benak beberapa
ulama sebagai pemahaman dari ucapan Abdullah bin Mas’ud ra yang akan
disebutkan:
Al-Qadhi Abu Bakar ra dalam salah satu kitab karangannya yang berjudul “Al-
Intishar” berkata: sesungguhnya pengertian atau pemahaman tentang Makkiyah atau
Madaniyah itu kembali kepada hafalan para sahabat dan tabiin (orang yang hidup
satu masa dengan sahabat atau mengetahui para pembesar sahabat), dan sama sekali
bukan merupakan sabda Nabi Saw, karena beliau pun semasa hidupnya tidak pernah
memerintahkan untuk mencatat atau membukukan perbedaan antara Makkiyah dan
Madaniyah, apalagi Allah Swt tidak menganggap dan menjadikan ilmu tersebut
sebagai suatu fardhu atau kewajian bagi setiap hambanya-Nya untuk
mengetahuinya. Meskipun ilmu ini juga menjadi kewajiban bagi sebagian ulama
untuk mengetahui dan memahami secara detail tentang tarikh atau sejarah nasikh dan
mansukh. Dan kadang-kadang ilmu ini bisa dimengerti dan dipahami meski tanpa
adanya nash dan sabda Rasulullah Saw. Demikian ucapan dari Al-Qadhi Abu Bakar.
Untuk mengetahui dan menentukan ayat-ayat atau surat-surat Makkiyah dan
Madaniyah para ulama bersandar pada dua cara utama. Manhaj sima’i naqli (metode
pendengaran seperti apa adanya) dan Manhaj qiyasi ijtihadi (menganalogikan dan
ijtihad).118
1. Cara sima’I naqli: didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup
pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi’in yang
menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa
apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan
Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama. Penjelasan tentang

118
Bahruddin, Ulumul Qur’an Prinsip-prinsip dalam Pengajian Ilmu Tafsir Al-Qur’an (Serang:
Penerbit A-Empat, 2020), 42.
penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma’tsur. Kitab
asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Al-Qur’an.
2. Cara qiyasi ijtihadi: didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam
surat Makki terdapat suatu ayat yang mengandung peristiwa Madani, maka
dapat dikatakan ayat itu Madani dan sebaliknya. Bila dalam satu surat terdapat
ciri-ciri Makki. Juga sebaliknya, inilah yang disebut qiyasi ijtihadi.
3.3.1 Kriteria Surat-Surat Makkiyah dan Surat-Surat Madaniyyah
3.3.1.1 Surat-Surat Makkiyah
Para ulama merumuskan kriterianya sebagai berikut:

1. Setiap surat yang didalamnya ada ayat sajadah


2. Setiap surat yang didalamnya ada lafadz Kalla (33x dalam 15 surat)
3. Setiap surat yang didalamnya ada ayat Ya Ayyuhannas, dan tidak ada Ya
Ayyuhalladzi na amanuu (kecuali surat Al-hajj)
4. Setiap surat yang didalamnya ada kisah para Nabi dan umat-umat sebelumnya
(kecuali surat al-Baqarah)
5. Setiap surat yang didalamnya ada kisah Nabi Adam As. dan Iblis (kecuali surat
al-Baqarah)
6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf hijaiyah seperti Alif Lam Miim, Alif Lam
Ra, Ha-Mim dan semacamnya kecuali surat Al-Baqarah dan Ali Imran
7. Surat yang berisi ajaran tentang aqidah (tauhid, menyembah Allah Swt., risalah
nabi Muhammad Saw., Hari akhir, mujadalah kaum Musyrikin dengan dalil-
dalil aql dan ayat-ayat kauniyah.119

3.3.1.2 Surat-Surat Madaniyah


Para ulama menrumuskan kriteria sebagai berikut:

1. Setiap surat yang didalamnya ada ayat Yaa Ayyuhalladzina amnuu.


2. Setiap surat yang didalamnya ada Fardhu (kewajiban) dan sanksi pidana.
3. Setiap surat yang didalamnya disebut tentang kaum munafiqin (kecuali
surat al-Ankabut), mengungkapkan tentang perilaku mereka, membuka
rahasia mereka, dan menjelaskan bahaya kaum munafiqin terhadap umat
Islam.
4. Setiap surat yang didalamnya ada ajaran tentang ibadah, muamalah,
pidana, aturan berkeluarga, warisan, keutamaan jihad, hubungan sosial
kemasyarakatan, hubungan antar Negara dalam damai dan perang, kaidah
kaidah hukum persoalan Tasyri’.
5. Setiap surat yang ayat-ayatnya panjang panjang, dan bergaya prosa liris.120

Mengenali ciri-ciri utama surat Makiyah maupun Madaniyah, ini tentu


dipastikan memiliki manfaat atau nilai guna bagi siapapun yang ingin mengenali Al-

119
Ilyas.
120
Ilyas.
Qur’an secara lebih utuh. Manfaat terpenting dalam mengetahui surat/ayat Makiyah
dan surat/ayat Madaniyah antara lain ialah:121
a. Dapat memberikan pertolongan dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama
ketika menggunakan metode tafsir maudhu’i (tematik). Mengetahui tempat
atau periode penurunan ayat-ayat Al-Qur’an, sangat membantu siapapun
yang hendak memahami ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya dengan tafsir
yang benar dan baik.
b. Dengan ilmu Makkiy dan Madaniy, kita dapat mengetahui sejarah hukum
Islam dan perkembangannya yang bijaksana secara umum. Dengan
demikian, kita dapat meningkatkan keyakinan akan penyebaran Islam
termasuk di dalamnya hukum Islam yang sangat bijaksana dalam
mendidik manusia baik secara perorangan maupun kolektif.
c. Dengan ilmu Makkiy dan Madaniy, seseorang dapat mengetahui sejarah
perjalanan Nabi dari celah-celah ayat Al-Qur’an. Penurunan wahyu Al-
Qur’an yang demikian rapi, teratur dan dilakukan secara bertahap namun
juga tuntas dapat dijadikan landasan bagi napak tilas lika liku perjalanan
sejarah dakwah dan perjuangan Nai Muhammad Saw. Beserta keluarga
dan para sahabatnya.
d. Dengan ilmu-ilmu Makkiy dan Madaniy, umat Islam dapat meningkatkan
keyakinan akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian Al-Qur’an,
mengingat besarnya perhatian umat Islam sejak di awal-awal
penurunannya sampai perkembangan berikutnya, dan sejak dari masalah-
masalah besar sampai dengan sekecil-kecilnya yang berhubungan dengan
Al-Qur’an mereka bahas dengan tidak henti-hentinya.
e. Dengan mempelajari ilmu Makki dan Madani, seseorang dapat meresapi
gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah
menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri.
Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling
khusus dalam Ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makkiyah dan
Madaniyah dalam Al-Qur’an pun memberikan kepada orang yang
mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan
Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran
dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan
penuh kebijaksanaan.
3.4 Diskursus Seputar Sistematika Penyusunan Surat
Secara umum umat Islam telah bersepakat bahwa dalam hal penetapan tata
letak susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur`ân bersifat tauqîfî yakni, berdasarkan
perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw., karena ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa Rasul-lah yang menetapkan langsung tempat masing-masing
ayat dan surat. Masa Nabi Muhammad Saw., Al-Qur’an secara keseluruhan sudah
ditulis oleh para sahabat, hanya saja belum tersusun rapi sebagaimana Al-Qur’an

121
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 80.
sekarang ini. Banyak faktor yang melatar belakangi kenapa pada saat itu nabi tidak
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Antara lain, Al-Qur’an pada waktu
itu masih dalam masa pembentukan (proses), dan ada juga ayat yang turun
belakangan berfungsi sebagai nasikh (penghapus) hukum atau bacaan ayat
sebelumnya, sehingga menjadi salah satu kesulitan tersendiri jikalau Al-Qur’an
dibukukan dalam bentuk mushaf seperti halnya Al-Qur’an yang kita ketahui
sekarang ini.122
Ada tiga pendapat ulama tentang susunan surat yang terdapat dalam Al-
Qur’an, yaitu:
1. Tauqifi
Pandangan ini menyatakan bahwa susunan surat-surat dalam mushaf utsmani
merupakan ketetapan langsung dari Rasulullah Saw. (tauqifi).123 Pendapat ini
didasarkan pada beberapa riwayat yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah-lah yang
menetapkan langsung susunan masing-masing ayat dan surat. dimana Rasulullah
meminta kepada beberapa sahabat tertentu ketika turun wahyu al-Qur`ân, untuk
mencatatnya dan menyuruhnya untuk menempatkan surat atau ayat tersebut sesuai
dengan petunjuk Nabi dan atas bimbingan Jibril.

"‫ "طرأ علي حزب من القرآن فأردت أال أخرج حىت أقضيه‬:‫فقال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ حنزبه ثَلث سور ومخس سور‬:‫ كيف حتزبون القرآن؟ قالوا‬:‫فسألنا أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قلنا‬
‫وسبع سور وتسع سور وإحدى عشرة سورة وثَلث عشرة وحزب املفصل من ق حىت خنتم‬

Artinya: Rasulullah bersabda pada kami, “Telah turun kepadaku hizb (bagian)
Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai.” (Aus bin Hudzaifah)
berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah ‫ﷺ‬, ‘Bagaimana kalian
membagi pengelompokan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya
menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas
surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir’.” (HR Ahmad)
Ibnu al-Hashr mengatakan bahwa susunan surat-surat dan ayat-ayat Al-
Qur’an adalah berdasarkan wahyu. Rasulullah Saw. yang memberi petunjuk
meletakkan ayat-ayat yang turun pada tempatnya. Susunan surat-surat Al-Qur’an
diriwayatkan dengan mutawatir. Para sahabat sudah sepakat dengan susunan
tersebut dalam mushaf utsmani. Apabila ada susunan surat-surat itu berdasarkan
ijtihad, tentu susunan surat-surat dalam mushaf pribadi mereka berbeda dengan
mushaf usmani dan akan mempertahankannya. Namun sebaliknya, mereka

122
Ansharuddin M, “Sistematika Susunan Surat Di Dalam Al- Qur;An,” Cendekia
Jurnal Studi Keislaman 2 (2016): 211.
123
Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumul Qur’an, Jilid 1 (Kairo: Dar at-Turats, 1984).,
269-270
menyesuaikan susunan mushaf dengan susunan mushaf utsmani dan bersedia
menyerahkan mushaf pribadi mereka kepada utsman untuk dibakar.124
2. Ijtihadi
Pendapat ini menyatakan bahwa seluruh susunan surat dalam mushaf al-
Qur`ân adalah bersifat ijtihâdi (hasil ijtihad sahabat) dan bukan tauqîfî125. Pendapat ini
berpedoman pada fenomena perbedaan penulisan dan urutan mushaf di masa
sahabat. Banyak mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani.
Misalnya, Mushaf Ubayya bin Ka’ab dimulai dengan surat al-Fatiha, al-Baqarah, an-
Nisa’, Ali Imran kemudian Al-An’am. Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan al-
Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran dan seterusnya. Mushaf Ali bin Abi Thalib disusun
berdasarkan berdasarkan kronologi turunnya surat (tartîb nuzûli) dimulai dengan
Iqra’, al-Mudatsir, Qaf, al-Muzammil, al-Lahab, at-takwir dan seterusnya. Banyak
mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani. Misalnya, Mushaf
Ubayya bin Ka’ab dimulai dengan surat al-Fatiha, al-Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran
kemudian Al-An’am. Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan al-Baqarah, an-Nisa’, Ali
Imran dan seterusnya. Mushaf Ali bin Abi Thalib disusun berdasarkan berdasarkan
kronologi turunnya surat (tartîb nuzûli) dimulai dengan Iqra’, al-Mudatsir, Qaf, al-
Muzammil, al-Lahab, at-takwir dan seterusnya.
Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin ‘Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu
Muhammad al-Qurasyi:

‫ص ْل بَْي نَ ُه َما بِبِ ْس ِم هللاِ المر ْمحَ ِن‬


‫الط َو َال فَ َج َع َل ُس ْوَرةَ ْاْلَنْ َف ِال َو ُس ْوَرةَ الت ْموبَِة ِِف ال مسْب ِع َوََلْ يُ َف م‬
ِ ‫أَمرهم عثْما ُن أَ ْن ي تَابِعوا‬
ُ ُ َ ُ ْ ُ ََ
‫المرِحْي ِم‬

Artinya: “Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surat Sab’u at-
Thiwal (tujuh surat yang panjang), kemudian Utsman menjadikan surat al-
Anfal dan at-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan
keduanya dengan basmalah.

Kemudian al-Qurasyi berkata:


‫قلت لعثمان ما محلكم على أن عمدمت إَل اْلنفال وهي من املثاّن وإَل براءة وهي من املئني فقرنتم بينهما وَل‬
‫اَّللِ المر ْمحَ ِن المرِحي ِم} ووضعتموها ِف السبع الطوال؟‬
‫تكتبوا بينهما سطر {بِ ْس ِم م‬

Artinya: “Aku mengatakan pada Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan
surat al-Anfal yang mana ia tergolong surat al-Matsâni dengan surat al-
Barâ`ah (at-Taubah) sedangkan ia dari golongan surat al-Mi`un, kemudian

124
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an, Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Arabiyah, 1996)., 347-348
125
Jalaludin As-Suyuthi, Al Itsqan Fi Ulumul Qur’an, Jilid I (Beirut: Resalah
Publishers, 2008).,178
engkau meletakan keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.” Kemudian Utsman
menjawab: “Pernah turun beberapa surat Al-Qur’an kepada Rasulullah,
dan Beliau, apabila turun ayat kepadanya, memanggil sebagian sahabat
yang menulis Al-Qur’an dan mengatakan, “Letakanlah ayat-ayat ini dalam
surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu.” “Dan surat al-Anfal
termasuk dari surat-surat awal yang turun di Madinah, adapun at-Taubah
termasuk yang terakhir turunnya. Kisah yang terdapat dalam surat al-
Anfal mirip dengan yang ada di at-Taubah, maka aku mengira surat al-
Anfal bagian dari at-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, dan belum
menerangkan pada kami hal tadi, karena itulah aku gabung keduanya, dan
tidak aku tuliskan Basmalah di antara keduanya, serta aku letakan
keduanya dalam Sab’u ath-Thiwal.”

Jika seandainya urutan tersebut adalah tauqîfî, niscaya tidak akan terjadi
perbedaan susunan mushaf di kalangan sahabat, karena generasi inilah generasi yang
langsung menyaksikan dan mengetahui dinamika kehidupan Nabi Muhammad Saw.

3. Tauqifi dan Ijtihadi


Pendapat ini menyatakan bahwa sebagian susunan surat al-Qur`ân
berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw. dan sebagian lagi merupakan ijtihad para
sahabat.126 Abû Muhammad Ibn 'Atiyah berasumsi bahwa sebagian besar susunan
surat al-Qur`ân telah ditetapkan pada masa Nabi, seperti letak al-sab'u altiwal,
hawâmîm, dan al-mufassâl. Sedangkan surat-surat selain kelompok tersebut
diserahkan urusan penyusunan letaknya kepada umat setelah era Nabi.
Manna al-Qathan mengatakan bahwa susunan surat-surat dalam Al-Qur’an
bersifat tauqifi.127 Tetapi az-Zarqani lebih memilih pendapat ketiga karena memang
banyak dalil yang menunjukkan bawa susunan surat Al-Qur’an bersifat Tauqifi. Akan
tetapi tidak dipungkiri juga bahwa ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa
sususnan surat Al-Qur’an sebagiannya disusun berdasarkan ijtihad.128
Terlepas pendapat tentang susunan surat Al-Qur’an berdasarkan tauqifi,
ijtihadi atau sebagian tauqifi dan sebagian ijtihadi adalah pendapat para ulama yang
membagi bagian tentang penyusunan ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, mushaf utsmani
yang sampai pada masa sekarang ini adalah hasil yang disepakati para sahabat pada
masa Utsman bin Affan. Dan tidak mempengaruhi eksistensi Al-Qur’an sebagai kitab
suci umat Islam. Sebab, Al-Qur’an merupakan kesatuan, keserasian, dan keutuhan,
baik dalam satu atau kumpulan kelompok ayat, dalam satu surat, dalam bagian
kumpulan kelompok surat, maupun dalam Al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga

126
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an..., 349
127
Manna’ Qattan, “Mabahith Fi Ulum Al-Qur’an” (Kairo: Maktabah Wahabiyah,
2000)., 144
128
Az- Zarqani, Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an....,349
menjadi satu kesatuan yang padu. Hal ini semakin menegaskan Al-Qur’an sebagai
kitab yang tak terbantahkan dari sisi manapun.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistematika penulisan
yang ada pada mushaf usmani adalah hasil yang sepakati oleh para sahabat. Namun
demikian, penulis cenderung terhadap pendapat ke tiga yakni susunan Al-Qur’an
sebagiannya berjadasarkan tauqifi dan sebagian lagi berdasarkan ijtihadi. Hal ini
berdasarkan riawayat Ibnu Abbas pada pendapat kedua dan hadis riwayat Imam
Ahmad.

DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaludin. Al Itsqan Fi Ulumul Qur’an. Jilid I. Beirut: Resalah Publishers,
2008.
As-Suyuthi, Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur’an Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2006.
Az- Zarqani. Manahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur’an. Jilid 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-
Arabiyah, 1996.
Az-Zarkasyi. Al-Burhan Fi Ulumul Qur’an. Jilid 1. Kairo: Dar at-Turats, 1984.
Bahruddin. Ulumul Qur’an Prinsip-prinsip dalam Pengajian Ilmu Tafsir Al-Qur’an. Serang:
Penerbit A-Empat, 2020.
channa, Liliek & Syaiful Hidayat. Ulumul Qur’an Dan Pembelajarannya. Surabaya:
Kopertais IV Press, 2010.
Fatirawahidah. “Sistematika Ayat Dan Surah Al-Qur’an.” Jurnal Al-Munzir Vol 9
(2016): 135.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an, Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 2011.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an. III. Yogyakarta, 2014.
Isnaini. “Bab 1 Sistematika Surat Al-Qur’an Dalam Mushaf Antara Tauqifi Dan
Ijtihad.” Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1998.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an Telaah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an.
Bandung: Humaniora, 2011.
M, Ansharuddin. “Sistematika Susunan Surat Di Dalam Al- Qur;An.” Cendekia Jurnal
Studi Keislaman 2 (2016): 211.
Manna’ Qattan. “Mabahith Fi Ulum Al-Qur’an.” Kairo: Maktabah Wahabiyah, 2000.
FAWATIH SUWAR

,1 Ahmad Muzaeni,
2
Mughni Azizzah,3Satori
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(muzaenia01gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(mughniazizzah@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(satorisafa@yahoo.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai Fawatih Suwar Metode
penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis
teori serta studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa fawatih suwar berarti
pembukaan-pembukaan surah, karena posisinya berada di awal surah-surah dalam Al-
Qur’an. Pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an adalah kajian terhadap kata-kata pembuka
dan kata-kata penutup Al-Qur’an. Surah-surah Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah,
ternyata diawali dengan beberpa macam pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan
berbagai macam penutup (khawatim Al-Suwar). Adapun hikmah mempelajari fawatih as-
suwar itu secara pokok adalah supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita
terhadap kebenaran ayatayat Allah Swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.
Keyword : Fawatih, Suwar

ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally about Fawatih Suwar. This research method is
qualitative using descriptive methods through theoretical analysis and literature study. The
result of this research is that fawatih suwar means the opening of the surah, because its
position is at the beginning of the surahs in the Al-Qur’an. The proof of the miracles of the
Qur'an is the study of the opening and closing words of the Qur'an. The Surahs of the Qur'an,
which consist of 114 suras, actually begin with several openings (Fawatih Al-Suwar) and end
with various closings (Khwatim Al-Suwar). As for the wisdom of studying fatih as-suwar, the
main thing is to increase our faith and our belief in the truth of Allah's verses. And be a guide
in our lives.
Keyword: Fatih, Suwar

1. PENDAHULUAN

Studi atas Al-Qur’an telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana

tempo dulu, termasuk para sahabat pada zaman Rasuullah SAW. Hal itu tidak
lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing, Al-

Qur’an adalah lautan ilmu yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dari

berbagai sisi. Bahkan orientalis pun tidak ketinggalan untuk mengetahui rahasia di

balik teks-teks Al-Qur’an tersebut. Ada yang mencoba mengolaborasi dan

melakukan eksplorasi lewat perspektif keimanan, historis, bahasa dan sastra,

pengodifikasian, kemukjizatan, penafsiran dan telaah huruf-hurufnya,

sosiokultural dan hermeneutika.

Salah satu pengkajian, sekaligus pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an adalah

kajian terhadap kata-kata pembuka dan kata-kata penutup Al-Qur’an. Surah-surah

Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah, ternyata diawali dengan beberpa macam

pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai macam penutup

(khawatim Al-Suwar). Pembuka dan penutup ini memiliki maksud dan tujuan

tertentu yang semuanya akan berimplikasi pada pengungkapan isi suatu surah.

2. METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.129 Penelitian kualitatif

dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa

deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang

dapat diamati.130 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi

kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg

menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang

diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian

dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.131 Studi kepustakaan

dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik sebuah

kesimpulan.

129
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan,” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
130
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
131
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, (2007) : 325–44.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Fawatih Suwar

Istilah “fawati” adalah jamak dari kata fatih yang secara lughawi berarti

pembuka, sedangkan "surah" adalah jamak dari kata "surah" sebagai sebutan dari

sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang diberi nama tertentu. Jadi "Fawatih Suwar

" berarti pembukaan-pembukaan surah, karena posisinya berada di awal surah-

surah dalam Al-Qur’an.132

Jika pembukaan surat itu diawali dengan huruf-huruf hijayah, maka huruf

tersebut umumnya disebut dengan huruf-huruf yang terpisah (ahrufun

muqattha'ah). Sebab, posisinya yang memang berdiri sendiri dan tidak bergabung

membentuk sebuah kalimat. Para ulama tafsir mengatakan bahwa pembuka

surat dalam Al-Qur'an memiliki karakter dan kategori tersendiri. Semua bentuk

"Fawatih Suwar" ini memberi pesan tertentu yang hanya bisa dipahami oleh

mereka yang memahami tafsir Al-Qur’an.133

3.2 Macam-macam Fawatuh Suwar

Banyak ulama telah melakukan kajian mendalam tentang pembukaan surah-

surah Al-Qur’an, seperti Ibnu Abi al-Asba yang menulis sebuah kitab tentang bab

ini, yaitu kitab al-Khawthir al-Sawanih fi Asrar al-fawatih. Ia mencoba

menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surah

yang ada di dalam surah dalam Al-Qur’an. Pembagian karakter pembukaannya

adalah sebagai berikut:134

a. Pujian terhadap Allah SWT yang dinisbahkan kepada sifat-sifat

kesempurnaan Tuhan.

b. Dengan menggunakan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam 29 surah.

132
Rusydie Anwar, S.Thi , Pengantar Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits Teori Dan Metodologi,
(Yogyakarta 2015): 125
133
Acep Hermawan, Ulumul Quran Ilmu untuk memahami wahyu , (Bandung, Pt Remaja
rosdakarya, cetakan ketiga, Desember 2016), : 118.
134
Ahmad, Miftah al-Sa'adah wa Misbah al-Siyadah, (Kairo : Dar al-Kutub al-Haditsah) : 520
c. Dengan menggunakan kata seru (ahrufun nida)

d. Tempat kalimat berita (jumlah khabariyah) yang terdapat dalam 23 surah

e. Dalam bentuk sumpah (al-Qasam) yang terdapat dalam 15 surah.

Menurut Baddrudin Muhammad al-Zarkasyih Allah SWT telah memberikan

pembukaan terhadap kitab nya dengan 10 macam bentuk dan tidak ada satu

surah pun yang keluar dari 10 macam pembukaan itu. Pernyataan ini dikuatkan

oleh al-Qasthalani dalam penjelasan di bawah ini:

a. Pembukaan dengan pujian kepada Allah SWT (al-Istiftah bi al-Tsana). Pujian

kepada Allah SWT ada dua macam yaitu:

1) Menetapkan sifat-sifat terpuji dengan menggunakan hamdalah yakni

dibuka dengan ‫ الحمد هلل‬yang terdapat pada 5 surah yaitu : al-Fatihah, al-

An’am, al-Kahfi, Saba, dan Fathir, menggunakan lafal ‫ تبارك‬yang terdapat

dalam 2 surah yaitu al-Furqan dan al-Mulk

2) Mensucikan Allah SWT dari sifat-sifat negatif dengan menggunakan lafal

tasbih yang terdapat pada 7 surah yaitu al-Isra, al-A’la, al-Hadid, al-Hasyr,

al-Jumuah dan al-Taghabun.

b. Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus buka (al-ahruf

muqatha'ah) . pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surah

dengan memakai 14 huruf tanpa diulang yaitu ‫ م‬, ‫ ل‬, ‫ ك‬, ‫ ق‬, ‫ع‬, ‫ ط‬, ‫ ص‬, ‫ س‬,‫ ر‬, ‫ ح‬,‫ا‬

‫ ي‬, ‫ ه‬, ‫ ن‬, penggunaan surah-surah tersebut dalam pembukaan surah-surah

Al-Qur’an disusun dalam 14 rangkaian yang terdiri atas kelompok berikut ini

1) Kelompok sederhana, yaitu pembukaan yang hanya 1 huruf, terdapat

pada tiga surah yaitu ‫( ص‬Surah Shad), ‫( ق‬surah Qaf), dan ‫( ن‬surah al-

Qalam)

2) Kelompok yang terdiri atas 2 huruf, terdapat pada 9 surah yaitu ‫( حم‬surah

al-Mu,min, asy-Syuura, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, dan al-

Ahqaf); ‫( طه‬surat Thaha); ‫( طس‬surat al-Naml); dan ‫( يس‬surat Yasin).


3) Kelompok yang terdiri atas 3 huruf , terdapat pada 13 surah yakni ‫الم‬

(surah al-Baqarah, ali-Imran, al-Rum, Lukman, dan Sajdah); ‫( الر‬surah

Yunus, Hud, Ibrahim, Yusuf dan Al Hijr); dan ‫( طسم‬surah al-Qasahash

dan Syu’araa).

4) Kelompok yang terdiri atas 4 huruf, terdapat pada 2 surah yakni ‫المر‬

(surah al-Ra,du) dan ‫( المص‬surah al-A’raf).

5) Kelompok yang terdiri atas 5 huruf, terdapat pada dua surah yakni ‫كهيعص‬

(Surah Maryam) dan ‫( حم عسق‬surah al-Syura).

c. Pembukaan dengan panggilan (al-Iistiftah bi al-Nida).

Nida ini ada tiga macam, terdapat pada 9 surah, yakni sebagai berikut:

1) dengan term ‫ يا أيها المزمل‬pada Surah al-Muzammil.

2) Nida untuk Nabi dengan term ‫ يا أيها المدثر‬pada Surah al- Nida untuk Nabi

dengan term ‫ يا أيها النبي‬pada surah al-Ahzab, al-Tahrim, dan al-Thalaq.

3) Nida untuk Nabi Mudatstsir

4) Nida untuk orang-orang beriman dengan term ‫ يا أيها الذين امنو‬pada surah

al-Maidah, al-Hujurat, dan al-Mumtahanah.

5) Nida untuk orang-orang secara umum dengan term ‫ يا أيها الناس‬pada Surah

an-Nisa dan al-Hajj.

d. Pembukaan dengan kalimat berita (al-Istiftah bi al-Jumlah al-

Khabariyah).Kalimat berita (al-Jumlah al-Khabariyah) dalam pembukaan surah

ada dua macam yaitu:

1) kalimat nomina (al-Jumlah al-Ismiyah)

Kalimat ini terdapat pada 11 surah, yaitu surah at-Ttaubah, al-Nur, al-

Zumar, Muhammad, al-Fath, al- Rahman, al-Haqqah, Nuh, al-Qadr, al-

Qar’iah dan al-Kautsar.

2) Kalimat verba (al-Jumlah al-Fi'liyah)

Kalimat ini ini terdapat pada 12 surah yaitu: al-Anfal, an-Nahl, al-Qamar,

al- Mukminun, al-Anbiya, al-Mujadalah, al-Ma'arij, al-Qiyamah, al-Balad,

Abasa, al-Bayinah, at-Takatsur.


e. Pembukaan dengan sumpah (al-Istiftah bi al-Qasam).

Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surah-surah Alquran ada 3

macam dan terdapat dalam 15 surah.

f. Pembukaan dengan syarat (al-Istiftah bil-Syarath).

Syarat-syarat yang digunakan dalam pembukaan surah-surah Al-Qur’an ada

dua macam dan digunakan dalam 7 surah yaitu surah at-Takwir, al-Infitar,

al-Insyirah, al-Waqi’ah, al-Munafiqun, al-Zalzalah dan al-Nasr

g. Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-Istiftah bi al-Amr).

Berdasarkan penelitian para ahli ada sekitar 6 kata kerja perintah yang

menjadi pembukaan surah-surah Alquran sama yaitu pada Surah al-Alaq, Jin,

al-Kafirun, al-Ikhlas al-Falaq dan an-Nas.

h. Pembukaan dengan pertanyaan (al-Istiftah bi al-Istifham).

Bentuk pertanyaan ini ada dua macam yaitu:

1) pertanyaan positif yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat

positif, pertanyaan dalam bentuk ini digunakan pada 4 surah yaitu surah

al-Dahr, an-Naba, al-Ghasyiyah, dan al-Ma’un.

2) Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat

negatif, yang hanya terdapat pada dua surah yaitu surah al-insyirah dan

al-Fil.

i. Pembukaan dengan doa (al-Istiftah bi al-Ta,lil).

Pembukaan dengan doa ini terdapat pada tiga surah, yaitu Surah al-

Muthaffifin, al-Humazah dan al-Lahab.

j. Pembukaan dengan alasan (al-Istiftah bi al-Ta,lil).

Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam Quran surat Quraisy.

Selanjutnya as-Suyuthiy mengatakan; pembukaan dengan doa dapat saja

dimasukan dalam pembagian al-Khabar, begitu juga pembukaan dengan pujian

seluruhnya dapat dimasukan kedalam jenis al-Khabar kecuali surah al-A’la


dapat dimasukan kedalam bagian al-Amr dan ayat yang didahului dengan

subhana dapat mengandung al-Amr dan al-Khabar.135

3.3 Pendapat Ulama tentang Fawatih Suwar

Para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan penafsiran terhadap

Fawatih Suwar karena perbedaan pandangan tentang hakikat huruf-huruf itu,

dari usaha-usaha yang telah dilakukan itu, setidaknya telah berkembang

penafsiran mereka di sekitar dua sudut pandang yang berbeda, yaitu:

a. Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut termasuk ke dalam kategori

ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.

Kelompok ini, banyak dianut oleh para ulama salaf, ketika menghadapi huruf-

huruf yang demikian, mereka lebih bersikap hati-hati. Kelompok ini dianggap

sebagai kelompok yang tidak memiliki solusi yang jelas dan bahkan tidak

mengajukan solusi apapun mengenai makna fawatih suwar ini. Hal ini

disebabkan karena mereka berpendapat bahwa huruf-huruf yang mengawali

surat Al-Qur’an itu sudah dikehendaki Allah sejak zaman Azali, dan berfungsi

sebagai argumen untuk mematahkan kesanggupan manusia dalam membuat

yang semisal dengan Al-Qur’an. Menurutnya bahwa fawatih suwar itu

merupakan kelompok ayat-ayat Mutasyabih yang tidak dapat diketahui

Ta’wilnya kecuali hanya Allah semata. Diantara para ulama yang berpendapat

demikian adalah Ali bin Abi Thalib yang mengatakan: “Sesungguhnya setiap

Kitab suci mempunyai keistimewaan (Safwah), dan keistimewaan kitab suci ini adalah

hurufhuruf tahajji (Hijaiyyah)”. Juga ucapan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai

berikut: “Setiap kitab suci mempunyai rahasia,dan rahasia kitab Al-Qur’an adalah

huruf-huruf yang mengawali surat-surat (awail as-suwar)”. Demikian juga para

ahli hadis yang mengetengahkan sebuah riwayat yang datangnya dari Ibn

Mas’ud bahwa Khulafa ar-Rasyidun berkata: “Sesungguhnya huruf-huruf ini

135
Al-Suyuthiy, Al-Itqan, Ulumul Quran, II/TT: 106
(fawatih suwar) merupakan ilmu yang tertutup dan mengandung rahasia yang

diketahui oleh Allah semata”.136

b. Bahwa makna huruf-huruf yang terpotong-potong itu dapat diketahui oleh

Allah SWT dan bisa dipahami oleh manusia terutama oleh orang-orang yang

mendalami pengetahuan-Nya. Hal ini didasarkan pada Surat Ali Imran ayat 7
ِ ‫الر‬
pula, namun dengan mewaqofkan ayat pada ‫اس خُ ونَ ِِف ا لْعِ لْ ِم‬ َّ ‫و‬.
َ Mereka yang
memilih pendapat ini banyak sekali, tetapi masing-masing memiliki pendirian

sendiri-sendiri, ada yang dekat kepada kebenaran, dan ada pula yang jauh. Di

antara mereka yang mengikuti pendapat ini ialah:

1) Ibnu Abbas dalam berbagai riwayat cenderung menta’wilkan huruf-

huruf tersebut dengan cara mengaitkannya dengan nama dan sifat

Allah. Setiap huruf dapat menunjuk pada lebih dari sebuah nama atau

sifat-Nya. Contoh penta’wilan Ibn Abbas dimaksud, yaitu ketika beliau

menta’wilkan huruf alif lam Mim dengan Ana Allah A’lam (Aku Tuhan

Yang Maha Mengetahui); huruf alif lam shad dengan Ana Allah Afdhal

(Aku Tuhan yang Lebih Baik); dan huruf alif lam ra’ dengan Ana Allah

Ara (Aku Tuhan Yang Maha Mengetahui), dan lain sebagainya.

Demikian juga ketika menafsirkan huruf Kaf-Ha-Ya-Ain-Shad ia

mengatakan Kafjj berarti Karim (Maha Pemurah), Ha berarti Hadin

(Maha Pemberi Petunjuk), Ya’ berarti Hakim (Maha Bijaksana), Ain

berarti ‘Alim (Maha Mengetahui), dan Sad berarti Sadiq (Maha Benar).

Sementara itu, dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ketika

menta’wilkan huruf Kaf-Ha-Ya-Ain-Sad Ibn Abbas mengatakan: Kafin

Hadin Aminin Azizin Sadiqin.

2) Pendapat as-Suyuti tentang huruf tersebut adalah sebagai berikut:

diantaranya: ‫ الم‬berarti Ana Allah A’lam yang berarti hanya aku yang

136
Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002): 269.
paling tahu kemudian ‫ ا ٓلمص‬yang berarti A’lamu wa Afs ilu yaitu hanya

aku yang paling mengetahui dan yang menjelaskan suatu perkara,

sedangkan ‫ ا ٓلر‬berarti Ana Ara yang berarti aku melihat. Diriwayatkan

pula dari Ibnu Abbas bahwa makna ‫ كهيعص‬yaitu Kaf dari kata Karim

yang berarti mulia, Ha adalah Hadin yang berarti memberi petunjuk, Ya

adalah Hakim yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang

berarti yang maha mengetahui, dan Sad yaitu Sadiq yang berarti yang

maha Benar. Dikatakan bahwa pendapat ini hanyalah dugaan saja,

kemudian as-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia

yang hanya Allah SWT. sendiri yang mengetahuinya.

3) Menurut M. Quraish Shihab para ulama’ dan para pakar berbeda-beda

dalam memahami makna huruf-huruf yang berbeda pada awal

sejumlah surat Al-Qur’an sebagai contoh:

a) Huruf-huruf yang dipilih sebagai pembuka surat sebanyak 14 huruf,

yang ditemukan dalam 29 surat, dengan demikian seperdua dari

huruf-huruf hija’iyah. Keempat belas huruf tersebut dirangkai

sementara ulama, dengan kalimat nas karim, qat’i lahu sir (teks mulia

yang bersifat pasti dan memiliki rahasia).

b) Huruf-huruf yang terpilih itu mewakili makharijulhuruf, yakni

tempat-tempat keluarnya huruf. Seperti Alif tempat keluarnya

adalah kerongkongan, Lam tempat keluarnya adalah lidah dengan

meletakkanya di langit-langit mulut, sementara Mim, keluar dari

perit bibir bagian dalam maka dari itu Alif, Lam, Mim merupakan

awal, tengah dan akhir.

c) Membaca Alif Lam Mim, dibuktikan bahwa Al-Qur’an tidak dapat

dibaca tanpa bantuan pengajar. Karena pada surat al-Fiil huruf Alif

Lam Mim dibaca Alam. Dalam Tafsir at-Tabari disebutkan bahwa,

bagi orang-orang Yahudi bahwa huruf-huruf penggalan (huruf al-

Muqatta’ah) tersebut penafsirannya dihubungkan dengan angka-


angka. Menurutnya bahwa dengan angka-angka itu dapat diketahui

berapa lama dominasi Islam secara politis.137

3.4 Urgensi Mempelajari Fawatih Suwar

Setiap ilmu pasti memiliki manfaat untuk kehidupan dunia maupun

akhirat. Termasuk Fawatih suwar, diantaranya adalah sebagai berikut.138

a. Sebagai tanbih (peringatan) dan dapat memberikan perhatian baik bagi nabi,

maupun umatnya dan daoat menjadi pedoman bagi kehidupan ini.

b. Sebagai motivasi untuk selalu mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada

Allah SWT. Dengan cara beriman dan beramal shaleh dan menambah

keyakinan kita bahwa Al-Qur’an itu adalah benar-benar kalam Allah SWT.

c. Sebagai pengetahuan bagi kita yang senantiasa mengkajinya bahwa dalam

Fawatih as-suwar banyak sekali hal-hal yang mengandung rahasia-rahasia

Allah yang kita tidak dapat mengetahui.

d. Untuk menghilangkan keraguan terhadap Al-Qur’an terutama bagi kaum

muslimin yang masih lemah imannya karena sangat mudah terpengaruh oleh

perkataan musuh-musuh islam yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah

buatan Nabi Muhammad SAW. Dengan mengkaji Fawatih suwar kita akan

merasakan terhadap keindahan Bahasa Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT.

3.5 Hikmah Fawatih Suwar

Al-Qur’an yang diturunkan di tengah masyarakat Quraisy notabene ahli

dalam kebahasaan, tentunya mempunyai keistimewaan dalam aspek

kebahasaan mengingat eksistensinya sebagai mukjizat. Dengan pembahasan

fawatih al-suwar ini akan terungkaplah mukjizat yang terkandung di

dalamnya serta menyadari keterbatasan akal manusia dalam memahami

sesuatu yang sifatnya ghaib. Selanjutnya niscaya akan memberikan

137
Shofaussamawati, “Konsep FawaAs-Suwar Imam al-maragi Dalam Tafsir Al-Maragi”
Hermeneuitik 9. No 2. 2015 : 276-278
138
Angkoso Buonouge, Ilmu Fawatih Suwar, ( Jakarta: Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al –
Qur’an, 2017) : 11-12
pemahaman ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa

digunakan. Menurut sebagian mufassir, bentuk fawatih al-suwar ini berfungsi

untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan akal mereka.

Meskipun Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf ejaan yang mereka kenal,

datang dalam bentuk tersusun dari beberapa huruf, bahkan ada yang hanya

satu huruf tunggal, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang

setanding dengan Al-Qur’an. Pendapat lain, mengenai fawatih al-suwar dapat

digunakan sebagai tanbih (peringatan) sebelum melontarkan uraian Al-

Qur’an, dalam arti menyadarkan perhatian pendengar, dikarenakan setelah

adanya huruf-huruf tersebut pada umumnya Allah Swt. menerangkan perihal

al-Kitab dan kenabian. Ini berbanding terbalik dengan kata-kata peringatan

yang biasa digunakan dalam bahasa Arab.

Fungsi lain fawatih alsuwar adalah untuk menyempurnakan dan

memperindah bentuk-bentuk penyampaiannya, dengan sarana pujian melalui

huruf-huruf. Selain itu, ia dipandang merangkum segala materi yang akan

disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini, surat al-Fatihah dapat

digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum

keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Adapun hikmah mempelajari fawatih as-suwar itu secara pokok adalah

supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita terhadap kebenaran

ayatayat Allah SWT dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.139

4. KESIMPULAN

Fawatih suwar berarti pembukaan-pembukaan surah, karena posisinya berada

di awal surah-surah dalam Al-Qur’an. Pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an adalah

kajian terhadap kata-kata pembuka dan kata-kata penutup Al-Qur’an. Surah-surah

Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surah, ternyata diawali dengan beberpa macam

139
Haki Akmal Labib, “Kajian Ayat Fawatih al-Suwar dalam Al-Qur,an”, Dosen prodi Al
Ahwal Al Syakhsiyah STAI Al Muhammad Cepu, 15-17
pembuka (fawatih Al-Suwar) dan diakhiri dengan berbagai macam penutup

(khawatim Al-Suwar). Adapun hikmah mempelajari fawatih as-suwar itu secara

pokok adalah supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita terhadap

kebenaran ayatayat Allah Swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. Miftah al-Sa'adah wa Misbah al-Siyadah. Kairo : Dar al-Kutub al-Haditsah.


Al-Suyuthiy. Al-Itqan. Ulumul Quran.
Anwar, Rusydie. 2015. Pengantar Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits Teori Dan
Metodologi, Yogyakarta. 2015.
Buonouge, Angkoso. 2017. Ilmu Fawatih Suwar. Jakarta: Institut Perguruan Tinggi Ilmu

Al – Qur’an.

Darmalaksana, Wahyudin. 2020. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan


Studi Lapangan,” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Hamad. 2007. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi.
Hermawan, Acep. 2016. Ulumul Quran Ilmu untuk memahami wahyu , Bandung, Pt
Remaja Rosdakarya.
Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Labib, Haki Akmal.“Kajian Ayat Fawatih al-Suwar dalam Al-Qur,an”, Dosen prodi
Al Ahwal Al Syakhsiyah STAI Al Muhammad Cepu,
Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya).
Shofaussamawati. 2015. “Konsep FawaAs-Suwar Imam al-maragi Dalam
Tafsir Al-Maragi” Hermeneuitik.
ILMU AL-MUNASABAH

Sulton Ahmad Lubis,1 Dede Among,2


Nelly Nur Asmah,3
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Sultonahmad145@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Dedeamong.da@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(Nellynurasmah98@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa pengertian dan macam-macam

ilmu munasabah dalam Al-Qur’an dan bagaimana diskursus seputar pendapat ulama

tentang ilmu munasabah. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif disini penulis mendeskripsikan secara lengkap apa

pengertian dan macam-macam ilmu munasabah dalam Al-Qur’an dan bagaimana

diskursus seputar pendapat ulama tentang ilmu munasabah. Hasil dari penelitian ini

adalah Dari uraian di atas jelaslah bahwa memperhatikan kaitan antara surat yang

satu dengan surat lainnya atau antara ayat yang satu dengan ayat lainnya (sebelum

dan sesudahnya) sangat penting, agar penafsiran yang dilakukan tidak menghasilkan

kesimpulan yang parsial.

ABSTRACT
This study aims to find out what the meaning and types of munasabah are in the

Qur'an and how the discourse revolves around the opinions of scholars about the science of

munasabah. This research method is qualitative using a descriptive method. Here the author

describes in full what the meaning and kinds of munasabah science are in the Qur'an and how

the discourse surrounds the opinions of scholars about the science of munasabah. The results

of this study are From the description above it is clear that paying attention to the relationship

between one letter and another or between one verse and another (before and after) is very

important, so that the interpretation carried out does not produce partial conclusions.

Keyword: Al-Munasabah, Various, Discourse


1. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sekaligus merupakan mukjizat,

yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai

kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada

umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Sejumlah pengamat Barat

memandang AlQur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.

Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah

khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami,

terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslim

sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum Al-

Qur’an.

Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih

menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap

rahasia Al-Qur’an dengan sempurna. Kitab suci Al-Qur’an merupakan kitab

yang berisi berbagai petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan dan Al-Qur’an

memiliki sebab dan hikmah yang bermacam.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an memiliki maksud-maksud tertentu yang

diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan, turunnya

ayat juga bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Susunan

ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam

lauh al-mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat satu

dengan ayat yang lain dan antara surah satu dengan surah yang lain.

Oleh karena itu diperlukannya memahami ilmu munasabah. Ilmu

Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat atau ayat dengan

surat atau ayat lain, ini merupakan bagian dari Ulum Al-Qur’an.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Strauss dan Corbin

dalam Pupu Saeful Rahmat secara umum penelitian kualitatif dapat

digunakan untuk meneliti tentang sejarah, kehidupan masyarakat,

fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, tingkah laku dan lain-lain. Biasanya

penelitian ini digunakan untuk memahami dan menemukan apa yang

tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala sulit untuk dipahami. 140

Penelitian ini juga menggunakan teknis kepustakaan atau library research.

Penelitian kepustakaan atau library research merupakan suatu studi yang

digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan

berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku,

majalah, kisah-kisah sejarah dan sebagainya.141

Adapun data sekunder yang didapatkan yaitu bersumber jurnal, artikel

dan buku-buku ilmuan yang berkaitan dengan apa pengertian dan macam-

macam ilmu munasabah dalam Al-Qur’an dan bagaimana diskursus seputar

pendapat ulama tentang ilmu munasabah 142. Dan teknis analisis data dengan

cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian dan

pembahasan, menggabungkan semua data yang dibutuhkan dan menjadikan

suatu kesimpulan sehingga menjadi data yang benar.

3. Ilmu al-Munasabah

3.1 Pengertian Ilmu al-Munasabah

Secara bahasa, munasabah berasal dari kata nasaba-yunasibu-

munasabatan yang artinya dekat (qarib)". Al- Munasabatu artinya sama

140Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009): 2.
141Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam penelitian
pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no. 1, (2020): 43.
142 Sandu Siyoto, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015):

68.
dengan al-Muqarabatu yang berarti mendekatkan dan juga al-Musyakalab

(menyesuaikan). Sementara kata al-Nasibu menurut al-Zarkasyi (w. 794 FD)

sama artinya dengan al-Quribu al Mutasil (dekat dan bersambungan).143 Di

dalam buku berbahasa Indonesia dipakai beberapa istilah yang bervariasi

sebagai sinonim dari munâsabah, seperti kesesuaian, hubungan, korelasi,

kaitan, pertalian, tanasub, relevansi dan di antaranya tetap memakai istilah

munâsabah itu sendiri.144

Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan

keserasian antara ayat-ayat AlQur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip

oleh Imam As-Sayuti, mendefinisikan munasabah itu kepada ‘keterkaitan

ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain,

sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapih dan sistematis.145

Adapun munasabah itu sendiri merupakan suatu disiplin ilmu yang

mempelajari tentang ketersambungannya suatu ayat dengan ayat lainnya,

bahkan ketersambungan tersebut tidak hanya terjadi dalam satu surat saja,

akan tetapi antara satu surat dengan surat lain, sehingga menghasilkan

makna yang dapat dipahami oleh akal. Oleh karenanya dalam mempelajari

munasabah tidaklah kalah penting dengan mempelajari ilmu yang lainnya,

seperti halnya mempelajari Asbab an-Nuzul ataupun ilmu lainnya dalam

Ulum Al-Qur’an.

Seperti diingatkan para pujangga dan sastrawan, di antara ciri

gubahan suatu bahasa yang layak dikategorikan baik dan indah ialah

143 Endad Musaddad, “Munasabah dalam Al-Qur’an”, Jurnal al-Qalam, vol 22 no. 3, (2005):
410.
144 M. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008),
144.
145 As-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, (Beirut: Al-Maktabah As-Saqafiyyah,
ttp), 108.
manakala rangkaian susunan kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea

demi alinea, den seterusnya memiliki keterkaitan atau hubungan demikian

rupa sehinga menggambarkan suatu kasatuan yang tidak pernah terputus.

Al-Qur’an sangat memenuhi persyaratan yang ditetapkan para pujangga

itu, mengingat keseluruhan Al-Qur’an yang terdiri atas 30 juz, 114 surat,

hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, itu seperti ditegaskan al-

Qurthubi (w. 671 H) laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Tertib urutan-urutan surat dan terutama ayat-ayat Al-Qur’an yang

oleh kebanyakan ulama diyakini bersifat tauqifi, mendorong kita untuk

mengilustrasikan al-Qur,an berbentuk bundar daripada untuk

memahaminya dalam konteks persegi panjang. Dengan cara pandang

seperti ini, maka akan terasa lebih mudah memahami munasabah Al-

Qur’an. Bukan saja dari segi kata demi kata, bagian demi bagian dan ayat

demi ayat, melainkan juga antara surat demi surat dalam mana antara surat

yang satu dengan surat yang lain benar-benar memiliki hubungan yang

sangat erat.

Quraish Shihab dalam tafsirnya, Tafsir al-Mishbah, mengedepankan

pengertian munasabah dalam ilmu Al-Qur’an disandingkan dengan tema

pokok dalam Al-Qur’an, al-munâsabah didefinisikan sebagai kemiripan-

kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Qur’an baik surat

maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang

lainnya. Lebih khusus daripada pengertian ulama-ulama yang telah

diuraikan sebelumnya. Dalam hal ini, Quraish Shihab juga menyimpulkan

munâsabah dalam tujuh point yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

3.2 Macam-macam Ilmu al-Munasabah dalam Al-Qur’an

Sekurang-kurangnya terdapat 8 macam munasabah yaitu:


a. Munasabah antar satu surat dengan surat sebelumnya

As-syuyuti menyimpulkan bahwa munasabah antar satu

surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau

menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya.146 Sebagai

contoh, dalam surat Al-fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulillah.

Ungkapan itu berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:

‫ل َوَهل تَ ْك ُف ُرْونه‬
‫ني اَذْ ُك ْرُك ْهم َوا ْش ُك ُرْوا ْه‬
‫فَاذْ ُكهُرْو ْه‬

Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan

ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu

mengingkari nikmatKu”

(QS. Al-Baqarah: 152)

‫ل َولْيُ ْؤمنُ ْوا ْبه‬


‫ان فَلْيَ ْستَجْي بُ ْوا ْه‬
‫ب َد ْع َوهةَ الدَّاعه اذَا َد َع ه‬
‫ن قَريْبه ۗه اُجْي ُه‬
‫ن فَا ّْه‬
‫ي َع ّْه‬
‫ك عبَاد ْه‬
‫َواذَها َساَلَ َه‬

‫لَ َعلَّ ُه ْهم يَ ْر ُش ُد ْو َنه‬

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu

tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku

mengabulkan permohonan orangyang berdoa apabila ia memohon

kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala

perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar

mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)

Berkaitan dengan ilmu munasabah ini Nasr Abu Zaid

menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan

Jalaluddin As-Suyuthi, “Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an”, (Dar Al-Fikr, Beirut,t.t.,) Jilid 1,


146

hal. 83
surat Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan.

Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi

dan kandungan.147

b. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya


Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol,
dan itu tercermin pada namanya masing-masing.148 Keserasian
serupa itu merupakan pembahasan surat serta penjelasan
menyangkut tujuan surat tersebut. Sebagaimana diketahui surat
kedua dalam Al-Qur’an diberi nama Al-Baqarah yang berarti lembu
betina. Cerita tentang lembu betina yang terdapat dalam surat itu
pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam
membangkitkan orang yang telah mati (tercantum dalam surat al-
Baqarah).

‫ال اَ هعُ ْوهذُ ِب ّٰه‬


‫لل اَ ْهن اَ ُك ْو َهن‬ ‫ال ُم ْو ٰسى ل َق ْومه ا َّهن ّٰه‬
‫اللَ ََيُْم ُرُك ْهم اَ ْهن تَ ْذ ََبُ ْوا بَ َقَرةه ۗه قَالُْيوا اَتَتَّخ ُذ َهن ُه ُزوا ۗه قَ َه‬ ‫َوا ْهذ قَ َه‬

‫يه‬
َ ْ ‫م َهن ا ْْلٰهل‬
ۗ
‫ي‬
‫ان بَْ َه‬ ‫ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه َّهل فَارضه َّوَهل بك ه‬
‫ْر َع َو ه‬ ‫ي لَّنَا َما ه َهي ۗه قَ َه‬
‫ك يُبَ ّ ْه‬
‫عُ لَنَا َربَّ َه‬
‫قَالُوا ْاد ه‬

‫ٰذل َه‬
‫ك ۗه فَافْ َعلُ ْوا َما تُ ْؤَم ُرْو َهن‬

ۤ
‫ص ْفَرا هءُ فَاق هع لَّ ْوَُّنَا تَ ُس هر ال ٰنّظريْ َهن‬
َ ‫ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه‬
‫ي لَّنَا َما لَ ْوَُّنَا ۗه قَ َه‬
‫ك يُبَ ّ ْه‬
‫عُ لَنَا َربَّ َه‬
‫قَالُوا ْاد ه‬

ۤ ۗ
‫ي لَّنَا َما ه َهي ا َّهن الْبَ َقَهر تَ ٰشبَهَ َعلَْي نَها َوا َّهني ا ْهن َشا هءَ ّٰه‬
‫اللُ لَ ُم ْههتَ ُد ْو َهن‬ ‫ك يُبَ ّ ْه‬
‫عُ لَنَا َربَّ َه‬
‫قَالُوا ْاد ه‬

‫ث ُم َسلَّ َمةه َّلشيَهةَ فْي َها ۗه قَالُوا الْٰ َنه‬ ‫ال انَّهٗ يَ ُق ْو ُهل ا ََّّنَا بَ َقَرةه َّهل ذَلُْوله تُث ْهريُ ْالَْر َه‬
‫ض َوَهل تَ ْسقى ا ْْلَْر َه‬ ‫قَ َه‬

‫اد ْوا يَ ْف َعلُ ْو َنه‬


ُ ‫ت ِب ْْلَ ّهق فَ َذ ََبُ ْوَها َوَما َك‬
‫جْئ َه‬

147 Rosihon anwar, “Ulum Al-Quran” (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm. 86
148 Acep Hermawan, “Ulumul Quran” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) hal. 126
67. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi

betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami

buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar

tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk

Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu."

Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina

itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan

antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".

69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami

agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa

menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu

adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi

menyenangkan orang-orang yang memandangnya."

70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami

agar Dia menerangkan kepadaKami bagaimana hakikat sapi betina

itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan

Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk

memperoleh sapi itu)."

71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina

itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak

tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak

ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu

menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian


mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak

melaksanakan perintah itu.

Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya

hilang rasa penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah

mereka sembah. Karena sapi yang menurut syarat yang disebutkan

itu sukar diperoleh, hampir mereka tidak dapat menemukannya.

Sehingga dengan demikian, tujuan dari al-baqarah adalah

menyangkut kekuasaan Tuhan kepada hari kemudian.149

c. Munasabah antar bagian suatu ayat

Munasabah antar bagian suatu surat sering berbentuk

korelasi Al-tadhadadh (perlawanan) seperti yang terlihat pada surat

Al-Hadid ayat 4:

‫استَ ٰوى َعلَى الْ َع ْرشه يَ ْعلَ ُهم َما يَل ُهج ىفه‬
ْ َّ‫ف ستَّةه اََّايمه ُهث‬
‫ض ْه‬
‫الس ٰم ٰوته َو ْالَْر َه‬ ‫ُه َهو الَّذ ْه‬
َّ ‫ي َهخلَ َهق‬
ۗ ۗ ۤ
‫ج فْي َهها َوُه َهو َم َع ُك ْهم اَيْ َهن َما ُكْن تُ ْمه‬
‫الس َماءه َوَما يَ ْع ُر ُه‬
َّ ‫ج مْن َها َوَما يَْنزُهل م َهن‬‫ْالَْرضه َوَما ََيُْر ُه‬
ۗ
‫َو ّٰه‬
‫اللُ ِبَا تَ ْع َهملُ ْو َهن بَص ْريه‬

Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam

masa, kemudian Dia bersemayam diatas Arsy, Dia mengetahui apa

yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa

yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dia bersdama

kamu dimana saja kamu berada dan Allah maha melihat apa yang

kamu kerjakan.” (Al Hadid: 4)

Nashrudin baidan, “Wawasan baru ilmu tafsir” (Yogjakarta: pustaka pelajar, 2005) hal.
149

194
Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar),

serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat

korelasi perlawanan. Kata “bersemayam diatas” Arsy ialah satu sifat

yang wajib kita imani sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-

Nya. Dan yang dimaksud dengan “yang naik kepadanya” antara

lain adalah amal-amal dan do’a-do’a hamba.

d. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan

Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering

terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar

ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid

(penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid

(penegasan).

Munasabah antar ayat yang menggunakan ta’kid yaitu

apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat

atau bagian ayat yang terletak disampingnya.

‫يه‬
َ ْ ‫ب الْٰهعلَم‬ ‫اَ ْْلَ ْم ُهد ّٰه‬, ‫الرحْيمه‬
‫لل َر ّه‬ َّ ‫محنه‬
ٰ ْ ‫الر‬ ‫ب ْسمه ّٰه‬
َّ ‫الل‬
Artinya : “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi

Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs

Alfatihah 1-2)

Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-

rahman” dan “ar-rahim” dari ayat pertama. Munasabah antar ayat

menggunakan pola tafsir apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu

ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.

Contoh dalam surat Al-Baqarahayat 2-3


َّ ‫الَّذيْ َهن يُ ْؤمنُ ْو َهن ِبلْغَْيبه َويُقْي ُم ْو َهن‬, ‫ي‬
‫الص ٰلوهةَ َوِمَّا‬ ‫ب فْي ه ُهدى لّْل ُهمتَّق ْ َه‬
‫ٰب َهل َريْ َه‬ ‫ٰذل َه‬
‫ك الْكت ُه‬

‫ٰه ْهم يُْنف ُق ْو َهن‬


ُ ‫َرَزقْ ن‬
Artinya : “Kitab Al-Qur‟an ini tidak ada keraguan padanya,

petunjuk bagi mereka yang bertakwa yaitu mereka yang beriman

kepada yang gaib yang mendirikan sebagian rizqy yang Kami

anugerahkan kepada mereka” (QS. Al-baqarah 2-3)

Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat

ketiga. Dengan demikian orang yang bertakwa adalah orang yang

mengimani hal-hal yang gaib, mengerjakan shalat, dan seterusnya.

Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tasydid apabila

satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak

disampingnya. Contoh dalam surat Alfatihah ayat 6-7

‫ض ْوبه َعلَْيه ْمه‬ ‫ط الَّذيْ َهن اَنْ َع ْم َه‬


ُ ‫ت َعلَْيه ْهم ە َغ ْهري الْ َم ْغ‬ ‫ط الْ ُم ْستَقْي َهم صَرا َه‬
‫الصَرا َه‬
ّ ‫ا ْهد َهن‬
ۤ
‫يه‬
َ ْ ّ‫َوَهل الضَّال‬

Ungkapan “Ash-shiratal Al-mustaqin” pada ayat 6 dipertegas

oleh ungkapan “shiratalladzina...” .antara kedua ungkapan yang

saling memperkuatitu terkadang ditandai dengan huruf athaf

(langsung).

Munasabah antara ayat yang menggunakan pola i‟tiradh

apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya

dalam i‟rab (struktur kalimat), baik dipertengahan kalimat atau

diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh pada

surat An-nahl ayat 57


‫َوََْي َعلُ ْو َهن ّٰه‬
‫لل الْبَ نٰته ُسْب ٰحنَه َوََلُْهم َّما يَ ْشتَ ُه ْو َهن‬

Kata “subhanahu” pada ayat diatas merupakan bentuk i’tiradh

dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan

bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak peremouan

bagi Allah.150

e. Munasabah antar suatu kelompok ayat dan kelompok ayat

disampingnya

Sebagai contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 20,

Allah memulai penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-

Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kelompok

berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat-

mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir dan munafik.151

f. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat

Munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu

diantaranya yaitu tamkin (menguatkan) makna yang terkandung

dalam suatu ayat. Misalnya dalam surat Al-Ahzab ayat 25:

‫ال ۗه َوَكا َهن ّٰه‬


‫اللُ قَوًهاي َعزيْزها‬ ‫ي الْقتَ َه‬ ‫اللُ الَّذيْ َهن َك َف ُرْوا بغَْيظه ْهم َهملْ يَهنَالُْوا َخ ْريا ۗه َوَك َفى ّٰه‬
‫اللُ الْ ُم ْؤمن ْ َه‬ ‫َوَرَّهد ّٰه‬

Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan

mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh

keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang

mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha

Perkasa” (QS. Al-Ahzab: 25)

150 Rosihon anwar, “Ulum Al-Quran” (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 90
151 Ibid, hal. 92
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin

dari peperangan bukan karena lemah melainkan karena Allah Maha

Kuat lagi Maha Perkasa. Tujuan dari fashilah adalah memberi

penjelasan tambahan meskipun tanpa fashilah sebenarnya makna

ayat sudah jelas.152

g. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama

Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan

pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di

akhir surah.153 Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr. Munasabah

ini terletak dari sisi kesamaan kondisi yaitu segala yang ada baik

dilangit maupun dibumi menyucikan Allah sang pencipta

keduanya.

‫الس ٰم ٰوته َوَما ىفه ْالَْرضه َوُه َهو الْ َعزيْ ُهز ا ْْلَكْي ُهم‬ ‫َسبَّ َهح ّٰه‬
َّ ‫لل َما ىفه‬
Artinya: “Telah bertasybih kepada Allah apa yang ada dilangit dan

bumi. Dan dialah yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al

Hasyr : 1)
ۤ
‫الس ٰم ٰوته‬ ‫ص ّوُهر لَهُ ْالَ ْمسَا هءُ ا ْْلُ ْس ٰ ۗه‬
َّ ‫ىن يُ َسبّ ُهح لَهٗ َما ىفه‬ َ ‫ئ الْ ُم‬ ‫ُه َهو ّٰه‬
‫اللُ ا ْْلَال ُهق الْبَار ُه‬

‫َو ْالَْرضه َوُه َهو الْ َعزيْ ُهز ا ْْلَكْي ُهم‬

Artinya: “Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang

membentuk rupa, yang mempunyai Al-Asma Al-husna. Bertashbih

kepadanya apa yang dilangit dan bumi, dan dialah yang Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr : 24)

152 Ibid, hal. 93


153 Acep Hermawan, “Ulumul Quran” (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) hal. 131
h. Munasabah antar penutup satu surat dengan awal surat berikutnya

Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan

surah sebelumnya, sebab semua permulaan surah erat sekali

kaitannya dengan akhiran surah sebelumnya, sekalipun sudah

dipisah dengan basmalah.154

Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan

dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun

tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya pada permulaan surat Al-

Hadid dimulai dengan tasbih:

‫الس ٰم ٰوته َو ْالَْرضه َوُه َهو الْ َعزيْ ُهز ا ْْلَكْي ُهم‬ ‫َسبَّ َهح ّٰه‬
َّ ‫لل َما ىفه‬

Artinya: “Semua yang berada dilangit dan yang berada dibumi

bertashbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah

yang MahaKuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Hadid: 1)

Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, Al-

Waqiah yang memerintahkan bertashbih:

‫ك الْ َعظْي هم‬


‫فَ َسبّ ْهح ِب ْس هم َربّ َه‬

Artinya: “Maka bertashbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu

yang Maha Besar” (QS. Al-Waqiah 96)

154 Abdul Djalal, “Ulumul Quran” (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hal. 162
3.3 Relevansi Ilmu Munasabah dengan Studi Al-Qur’an

Seseorang bakal terbantu memahami Al-Qur’an melalui perantara

ilmu munasabah, lantaran Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang saling

berkaitan dari awal hingga akhir. Al-Qur’an mencakup rangkaian ilmu

yang saling berkaitan.

Di zaman Rasul Saw tidak ada spesialisasi disiplin ilmu tertentu

seperti halnya munasabah karena hajat penjelasan saat itu langsung

terpenuhi dengan bertanya kepada beliau. Kini seiring kemajuan zaman

didapati aneka bahasan tertentu dalam bidang ilmu Al-Qu’an, termasuk

ilmu munasabah sebagai bagian klasifikasi ilmu tentang interkoneksi di

dalam Al-Qur’an.

Para ulama bersepakat bahwa Al-Qur’an yang turun berangsur-

angsur dalam kurun 20 tahun telah mengandung beragam hukum (tasyri)

dan dengan beragam sebab yang melatarbelakanginya (asbab nuzul).

Ilmu munasabah ini dapat membantu memahami ayat-ayat yang

tidak punya asbab nuzul yang spesifik, yakni melalui pemahaman

hubungan antar ayat serta surat pada bagian-bagiannya sehingga

kekosongan penjelasan dapat terisi.

Dalam dunia pendidikan, dikenal istilah “apersepsi”, yaitu:

pengamatan secara sadar (penghayatan) tentang segala sesuatu dalam

jiwanya (dirinya) sendiri yang menjadi dasar perbandingan serta landasan

untuk menerima ide-ide baru.155

Sederhananya, kala guru mengajar murid akan mengulang

pelajaran yang telah disampaikan terdahulu sebagai pengingat dan

penyelaras terhadap materi pelajaran yang akan diberikan berikutnya.

155
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), h. 84.
Sekaitan munasabah, susunan Al-Qur’an berdasarkan tartib kitabi

merupakan kumpulan surah dari Al-Fatihah sampai dengan Surah An-

Nas. Setiap akhir surah, pada beberapa versi terjemahan Al-Qur’an,

dijelaskan tema-tema pokok dari surah terdahulu. Lantas dikorelasikan

dengan surah berikutnya. Ini sebagai contoh mensinergikan bahasan-

bahasan runtut dari setiap surah ke surah berikutnya.

Adapun relevansi Ilmu Munasabah dengan studi Al-Qur’an

sebagai berikut:

1. Dapat menepis anggapan bahwa tema-tema Al-Qur’an tak relevan

antar bagian satu bagian dengan bagian lainnya. Contohnya

terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan

sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,

tetepi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan

masukanlah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada

Allah agar kamu beruntung.”

Orang mendapati ayat tersebut bisa memunculkan tanya, apakah

korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaran

mendatangi rumah. Dalam penjelasan munasabah antara kedua

pembicaraan itu, menurut Az-Zarkasy, telah diketahui bahwa

ciptaan Allah memiliki hikmah yang jelas dan kemaslahatan

terhadap hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan/hindari pertanyaan

tentang hal itu, lantas perhatikan kembali sesuatu yang dianggap

kebaikan, padahal sama sekali bukan kebaikan.156

156
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi “Ulum Al-Quran, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988), jilid l, h.41.
2. Dapat mengetahui korelasi antar bagian Al-Qur’an, baik

antarkalimat atau antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih

memperdalam pengetahuan, penjelasan dan pengenalan konteks

bagian tertentu di dalam Al-Qur’an.

3. Dapat mengetahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa

Al-Qur’an terhadap konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan

yang lainnya (berkorelasi), serta persesuaian ayat atau surat yang

satu dengan yang lainnya.

4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

secara lebih tepat dan akurat setelah diketahui hubungan suatu

kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.

3.4 Diskursus Seputar Pendapat Ulama Tentang Ilmu Munasabah

Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak penafsiran

yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di

mana dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah Swt.

terdapat ekspresi dan karakter yang impresif. Jangankan pada generasi

yang berbeda, generasi yang samapun, seperti generasi sahabat sudah

memperlihatkan fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Al-

Qur’an.157

Ulumul Qur’an sebagai salah satu keilmuan dalam studi Al-Qur’an

sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah,17 yaitu saat

munculnya dua kitab ‘Ulu>m al-Qur’a>n yang sangat berpengaruh sampai

kini, yakni al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkashi

(w.794 H) dan al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuti (w.

911 H).

157
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur’an: dalam tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Amzah, 2015), hlm. 11.
Ilmu al-Munasabah (tentang keterkaitan antara satu surat/ayat

dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari ‘Ulum Al-Qur’an. Ilmu ini

posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-

Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak

dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsir “alQur’an yufassiru ba’duhu

ba’dan”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka

memahami Al-Qur’an harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam

model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik).

Pro-kontra kajian munasabah antara pentingnya mengedepankan

munasabah dan tidak perlu adanya munasabah telah menjadi konsumsi

publik yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulum Al-Qur’an. Lahirnya

pengetahuan tentang korelasi (Munasabah), berawal dari kenyataan bahwa

sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani

sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Itulah sebabnya

terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat

di dalam Al-Qur’an.

Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tawqifi dari Nabi.

Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadi Abu Bakar, Abu

Bakar Ibn al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Golongan kedua,

berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihadi. Para sahabat setelah

mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat ayat adalah

tawqifi. Pendapat kedua didukung oleh Malik, al-Qadi Abu Bakar dan Ibn

al-Faris. Golongan ketiga, berpendapat serupa dengan golongan pertama,

kecuali surat al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi.

Pendapat ketiga dianut oleh al-Bayhaqi.

Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah

munasabah ini, menurut al-Zarkashi, adalah Shaykh Abu Bakr ‘Abdullah


Ibn alNaysaburi (w. 324 H.), kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu

Ja‘far bin Zubayr dalam kitab Tartib al-Suwar Al-Qur’an, Shaykh Burhan al-

Din al-Biqa ‘I dengan bukunya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar,

dan Al-Suyuti dalam kitab Asrar Tartib Al-Qur’an. Quraish Shihab

belakangan menambahkan Muh}ammad ‘Abduh, Rashid Ridhá,

Muhammad Shaltut, mereka inilah di antranya yang konsen membahas

persolan ini dalam tafsirnya.

Diskursus penting tafsir Al-Qur’an muslim modern dalam konteks

relevansi untuk kajian munasabah dalam Al-Qur’an di dunia muslim

kontemporer, mengemukakan setelah selesainya penulisan disertasi di

School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah

mencoba menerapkan munasabah dengan pendekatan bahasa untuk

menafsirkan Al-Qur’an. Disertasi ini ditulis oleh Salwa M.S. El-Awa yang

bertajuk Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure,

yang diterbitkan oleh Routledge, New York, tahun 2006.

Dalam disertasinya, Salwa, mengadopsi sebuah metodologi baru

dalam rangka membaca teks Al-Qur’an. Ia menggunakan teori-teori

relevansi linguistik dalam membahas dan menganalisis relasi-relasi yang

kompleks dalam surat-surat Al-Qur’an. Disertasi ini menunjukkan dengan

jelas, ketidaksambungan tema dengan surat-surat Al-Qur’an yang panjang.

Dan konteks serta struktur Al-Qur’an agar dapat dibaca ulang dan

dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan, dalam

rangka membantu para pembaca Al-Qur’an agar menggunakan metode ini

dalam menciptakan proses kognisi pada makna yang diciptakan.

Salwa, dalam kesimpulan akhirnya menganggap bahwa area kajian

relasi teks (munasabah) masih belum jelas (abu-abu). Tuntutan bagi

terjadinya Al-Qur’an yang salih likulli zaman wa makan, Quraish Shihab


mengistilahkan dengan “membumikan Al-Qur’an”. Dalam bahasa Nasr

Hamid Abu Zayd dikenal tekstualitas Al-Qur’an (mafhum al-nas) atau

meminjam Shahrur “al-qira’ah al-mu‘asirah” (pembacaan dengan cara baru)

mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan

peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Al-Qur’an,

dan lainlain.

Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang

sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan

membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Al-Qur’an

merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab Jumhur ulama telah sepakat

bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tawqifi,

yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima

wahyu.

Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat

dalam mushaf, apakah itu tawqifi atau ijtihadi (pengurutannya

berdasarkan ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abu Zayd, wakil dari

ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam

mushaf sebagai tawqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai

dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfuz.

Perbedaan antara urutan turun dan urutan pembacaan merupakan

perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada

gilirannya dapat mengungkapkan persesuaian antar ayat dalam satu surat,

dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari

I‘jaz.

Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Al-Qur’an

mengesankan Al-Qur’an memberikan informasi yang tidak sitematis dan

melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara


utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu

Zayd, realitas teks itu menunjukkan stilistika (retorika bahasa) yang

merupakan bagian dari I‘jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an, aspek

kesusasteraan dan gaya bahasa.

Dari perdebatan akademik tentang munasabah yang

diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua

aliran:

Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya

pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat,

dengan kata lain, perlu adanya munasabah. Menurut kelompok pertama,

munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan

pembicaraan (irtibat} al-kalam) apabila ada hubungan keterkaitan antara

permulaan pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu

kesatuan.

Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak perlu

adanya munasabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan. Ada paling

tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan atau menganggap

tidak perlu adanya munasabah.

Kelompok pertama yang pro atau mendukung terhadap munasabah

berpijak bahwa ketidakteraturan susunan ayat mengandung rahasia.

Sementara argumen kelompok kedua; 1) bahwa Al-Qur’an diturunkan dan

diberi hikmah secara tawqifi, hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah. 2)

bahwa satu kalimat akan memiliki munasabah bila diucapkan dalam

konteks yang sama. Karena Al-Qur’an diturunkan dalam berbagai konteks,

maka Al-Qur’an tidak memiliki munasabah.

Pertanyaan besar tentang apakah adanya munasabah itu bersifat

tauqifi atau ijtihadi mengemuka dan perlu adanya jawaban akademik.


Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk dibawa ke ranah diskusi, dan

kemudiaan disusul dengan menyoal pada tataran lebih dalam, apakah

perlu adanya munasabah Al-Qur’an atau bisa jadi kalau pendapat yang

sangat ekstrim tidak perlu adanya munasabah seperti wacana perdebatan

di atas.

Sesungguhnya, pernana ilmu munasabah ini telah diterapkan oleh

mufassir terdahulu dalam mendekatkan penjelasan tafsir kepada umat.

Misalnya Al-Suyuti mempunyai pendapat, apabila kata itu dikembalikan

pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat dalam Al-Qur’an,

maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di antara berbagai ayat,

surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh adanya hubungan makna yang

muncul. Misalnya, yang satu ‘am dan yang lainnya khas. Hubungan itu bisa

juga muncul melalui penalaran (‘aqli), penginderaan (hissi), atau melalui

kemestian dalam pikiran (altalazzum al-dihni) seperti hubungan sebab

akibat, ‘illat dan ma‘lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.

Selain itu, Ahmad Ata’ dalam pengantar buku Asrar Tartib Al-Qur’an

karya al-Suyuti memberikan cara dan tahapan untuk menemukan

munasabah Al-Qur’an. Ada empat langkah:

1) Melihat tema sentral dari surat tertentu.

2) Melihat premis-premis yang mendukung tema sentral.

3) Mengadakan kategorisasi terhadap premis itu berdasarkan jauh dan

dekatnya kepada tujuan.

4) Melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling mendukung

dalam premis itu.

Dan cara-cara demikian telah lama dipakai oleh para mufassir

sekaliber al-Naysaburi, Abu Bakar Ibn al-Zubayr, Fakhr al-Din al-Razi,

alSuyuti, al-Biqa ‘i, dan belakangan Muhammad ‘Abduh, Rashid Rida,


Muhammad Syaltut, dan sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen

(takhassus}) adalah alBiqa‘i dalam karya besarnya berjudul Nazm al-Durar

fi Tanasub al-Ayat wa alSuwar.

4. KESIMPULAN

Dari uraian di atas jelaslah bahwa memperhatikan kaitan antara surat yang

satu dengan surat lainnya atau antara ayat yang satu dengan ayat lainnya

(sebelum dan sesudahnya) sangat penting, agar penafsiran yang dilakukan

tidak menghasilkan kesimpulan yang parsial.

Susunan ayat dan surat dalam Al-Qur'an adalah tauqifi, yakni atas

petunjuk Allah melalui Rasul-Nya. Keyakinan ini menumbuhkan upaya-upaya

untuk menyingkap rahasia dibalik susunan surat atau ayat tersebut. Dari

sinilah banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dalam tafsirnya

melalui pendekatan ini, baik yang secara khusus maupun sebagiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan, Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Ilmiah. Jilid l, 1998.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2008.

Hermawan, Acep, Ulumul Quran Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Ichwan, M. Nor, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL Media Group, 2008.

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t., Jilid 1.

Musaddad, Endad, “Munasabah dalam Al-Qur’an”, Jurnal al-Qalam, vol 22 no. 3,

2005.

Nashrudin, baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogjakarta: pustaka pelajar, 2005.
Rahmat, Pupu Saeful, “Penelitian Kualitatif”, Jurnal Equilibrium, vol. 5 no. 9, (2009).

Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Alquran: dalam Tafsir Al-Mishbah.

Jakarta: Amzah, 2015.

Sari, Milya dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam

penelitian pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA

6, no. 1, (2020).

Siyoto, Sandu, Dasar Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Literasi Media Publishing,

2015.
AL-QUR’AN DALAM TUJUH HURUF DAN PENDAPAT
ULAMA TENTANG TUJUH HURUF

Teguh Hartadi,1 Nely Mardiah,2


Amri Lukmanul Hakim,3
1
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(sayaadalahteguh@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(mardiahnelly9@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(amri.lukmanhakim@gmail.com)

ABSTRAK
Jurnal ini membahas tentang Al-Qur’an dalam tujuh huruf, hadits-hadits tentang
Al-Qur’an dalam tujuh huruf, pendapat ulama tentang makna tujuh huruf, serta
antara qiraat tujuh dan tujuh huruf.

ABSTRACT
This journal discusses the Shia Madhhab, the background of the birth of Shia, sects, im
ortant issues, and the conce t of marja'iyah in Shia. The definition of Shia in language is a
follower and suporter. While the meaning of the famous Shia is the fanatical followers of
Sayyidina Ali bin Abi Talib, so they think that Ali is the cali h of the best friends of the
other com anions, and is the chosen cali h of the prohet Muhammad s.a.w.

Keyword: Al-Qur’an, Sab’atu Ahruf, Qiraah Sab’ah.

1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan
tuntunan komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an diturunkan di
tengah-tengah bangsa Arab. Dimana bangsa arab mempunyai lahjah (dialek) yang
beragam antara satu kabilah dengan kabilah yang lainnya, baik dari segi intonasi,
bunyi maupun hurufnya, namun bahasa quraisy mempunyai kelebihan dan
keistimewaan tersendiri, ia lebih unggul dari pada bahasa dan dialek yang
lainnya. Oleh karena itu, wajarlah apabila Al-Qur'an pertama diturunkan adalah
dalam bahasa Quraisy kepada seorang Rasul yang Quraisy pula, sebagaimana
ditegaskan dalam salah satu firman-Nya surat Asy-Syuaraa’ 192-195 yang
berbunyi :
Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam (192), Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) (193), Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan (194), Dengan bahasa Arab yang jelas (195).

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian library research yaitu dengan membaca
dan menelaah kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan
tulisan ini. metode yang digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan
mengambil semua data-data yang bersifat umum menuju kesimpulan yang
bersifat khusus.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hadits-hadits dan Pendapat Ulama Tentang Al-Qur’an Turun Dalam Tujuh
Huruf
Kata َ‫سبعة‬
َ beramakna bilangan yang terletak antara enam dan delapan,
sebagian ulama memahami bahwa kata ‫ سبعة‬adalah simbol yang menunjukkan
banyak dan tidak terbatas pada angka tujuh saja. Para ulama secara umum
cenderung berpendapat bahwa ‫ سبعة‬dalam hadis adalah dalam arti tujuh yang
sebenarnya bukan kiasan.158 Kata ‫ احرف‬merupakan bentuk plural dari ‫ حرف‬yang
dapat berarti pinggir dari sesuatu, dan dapat pula berarti salah satu huruf dari
huruf hijaiyah.159

Ahruf Sab’ah terdiri dari dua kata. Ahruf dalam bahasa Indonesia diartikan
dengan kata huruf. Sementara dalam bahasa Arab harf adalah lafadz musytarak
(mempunyai banyak arti). Sedangkan kata Sab’u dalam bahasa Arab berarti
bilangan tujuh atau tidak terbatas. Maka ahruf sab’ah dapat diartikan dengan
tujuh bahasa, tujuh Ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk. Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna tujuh huruf.

Menurut sebagian ulama, tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab yang ada. Artinya bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara
keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa arab. Dengan demikian,
secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut, namun bukan
berarti setiap kata boleh dibaca dengan setiap bahasa, tetapi tujuh bahasa itu
tersebar dalam Al-Qur’an.

Konteks bahasa umum ketika disebut kata huruf, ungkapan ini akan dapat
langsung dipahami maknanya, akan tetapi ketika kata huruf dihubungkan

158
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), 98
159
Ibnu Manzhur, op.cit, J.3,128
dengan Al-Qur’an akan muncul banyak pendapat dalam memahaminya.
Perbedaan ini disebabkan karena tidak adanya informasi yang tegas dari Nabi
yang menjelaskan makna dan bentuk-bentuk huruf ini.

Berdasarkan riwayat-riwayat tentang sab’ah ahruf, muncul pendapat-


pendapat yang berbeda di kalangan para ulama dalam merumuskan makna
sab’ah ahruf, diantara pendapat yang muncul dalam pemahaman sab’ah ahruf
adalah;160

1. sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa arab yang memiliki
satu makna. Akan tetapi para ulama ini tidak sepakat menetapkan
bahasa mana saja yang termasuk ke dalam tujuh huruf ini, sebagian
menyatakan bahwa bahasa yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail,
Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. misalnya beberapa kata
seperti ‫ اسرع‬,‫ عجل‬,‫ اقبل‬memiliki satu makna yang sama.
2. sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang
digunakan dalam menurunkan Al-Qur’an, namun tidak digunakan
sekaligus pada satu kata, dengan pengertian bahwa semua bahasa Al-
Qur’an mencakup ketujuh bahasa ini pada posisi yang berbeda-beda,
yaitu : bahasa Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan
Yaman
3. Sab’ah ahruf adalah tujuh bentuk ‫ اوجة‬, yaitu amr, nahy, halal, haram, jadal,
qashash dan matsal, atau ada juga memahami tujuh bentuk dari segi amr,
nahy, halal, haram, muhkan, mutasyabih dan amtsal;
4. Sab’ah ahruf adalah Tujuh cara pembacaan yang terjadi perbedaan;
a. Perbedaan dalam bentuk Isim (mufrad, mutsanna, jama’)
b. Perbedaan dalam bentuk fiil (madhi’, mudhari’ atau amr)
c. Perbedaan dalam bentuk i’rab (rafa’, nasab, jer, atau jazm)
d. Perbedaan dalam bentuk naqish (kurang) dan ziyadah (tambah)
e. Perbedaan dalam bentuk taqdim dan ta’khir
f. Perbedaan dalam bentuk Tabdil
g. Perbedaan dalam bentuk dialek (lahjah)
5. sab’ah ahruf tidak berarti angka tujuh, namun hanya merupakan simbol
saja yang menunjukkan kesempurnaan menurut kebiasaan arab dan
6. Sab’ah ahruf adalah qiraah sab’ah.

Berdasarkan perbedaan pemahaman para ulama terhadap makna sab’ah


ahruf tersebut, dapat diketahui bahwa tidak pernah ada kesepakatan untuk
menetapkan maknanya. Bahkan makna-makna yang dirumuskan, dianggap tidak

160
Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo : Maktabah Wahbah, t.th), 150-
154
tepat dan punya kelemahan, jika dikonfrontasikan kepada hadis-hadis tentang
sab’ah ahruf. Pada klasifikasi pertama hadis-hadis sab’ah ahruf dijelaskan bahwa
telah terjadi perbedaan bacaan antara Umar bin Khathab dengan Hisyam bin
hakim pada bacaan yang sama yaitu pada surat al-Furqan, demikian juga
informasi pada hadis Ubay bin Kaab yang menjelaskan terlah terjadinya
perbedaan bacaan para shahabat pada surat yang sama yang kemudian mereka
konfirmasikan kepada nabi. Klasifikasi pertama ini menolak pemahaman
pendapat pertama, kedua dan juga ketiga.
Menurut Nashruddin Baidan, pendapat pertama yang dianut mayoritas
ulama, bukanlah makna yang tepat, karena Umar bin Khathab dan Hisyam bin
hakim berasal dari suku yang sama yaitu suku Quraisy.161 Maka tidak mungkin
mereka bertikai pada bacaan yang sama jika berasal dari satu suku yang memiliki
bahasa yang sama. Maka pemaknaan sab’ah ahruf dengan makna 7 dialek
dianggap tidak tepat.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa sab’ah ahruf adalah bahasa-
bahasa arab yang tercakup dalam Al-Qur’an, dinilai oleh Manna’ al-Qathan
sebagai makna yang tidak tepat, bahasa Al-Qur’an mencakup lebih dari 7 bahasa,
selain itu Umar dan Hisyam berbeda pada bacaan yang sama bukan pada bacaan
yang berbeda, mustahil Umar mengingkari bahasa yang dipakai oleh Hisyam jika
yang dibacanya ayat yang berbeda162
Pendapat ketiga, juga dibantah oleh Manna’ al-Qathan, bahwa yang
dimaksud 7 huruf pada hadis adalah satu kata yang dapat dibaca dengan 7 versi,
maka tidak mungkin satu kata dinyatakan halal dan haram, nahy dan amar
sekaligus163 Bahkan dari redaksi hadis dijelaskan bahwa nabi membenarkan
seluruh bacaan dari para shahabat yang datang untuk mengklarifikasikan bacaan
mereka meskipun bacaan mereka berbeda.
Pada pendapat keempat, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh hal yang terdapat ikhtilaf di dalamnya164 dibantah oleh
Manna’ Qathan dengan alasan bahwa contoh ikhtilaf yang ditampilkan hanya
berasal dari qiraat ahad bukan qiraat mutawatir. Ulama pun telah sepakat bahwa
apa pun yang berkaitan dengan Al-Qur’an haruslah diriwayatkan secara
mutawatir, selain itu ikhtilaf yang dimaksud hanya mengacu pada bentuk kata
atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan pada makna dan
lafaz165

161
Nashruddin Baidan, op.cit, 99
162
Manna’ Khalil al-Qathan, op.cit., 155
163
Ibid.
164
Nashruddin Baidan, op.cit, 100
165
Manna’ al-Qathan, op.cit., 157
Pada pendapat yang kelima yang memaknai tujuh pada hadis
menunjukkan symbol, bukan arti secara harfiah, tidak sesuai dengan klasifikasi
kedua dari hadis sab’ah ahruf (‫ فلم ازل استريده حتى انتهي الى سبعة احرف‬،‫)اقراني جبريل على حرف‬
yang secara tegas menunjukkan yang dimaksud adalah bilangan tujuh dengan
makna sebenarnya.
Pendapat yang keenam pun, yang berpendapat bahwa sab’ah ahruf adalah
qiraah sab’ah, tidak luput dari kritikan yang menyatakan bahwa qiraat yang 7
dengan tujuh imam Qura, baru popular di dunia Islam pada akhir abad II H, yang
dipelopori oleh Mujahid, sedangkan 7 huruf yang dimaksud pada hadis, langsung
diajarkan oleh Rasul.166 Perbedaan pemaknaan terhadap sab’ah ahruf tersebut
menunjukkan bahwa secara tekstual makna sab’ah ahruf masih belum disepakati
serta munculnya sanggahan pada masing-masing pendapat menjadikan makna
sab’ah ahruf tetap menjadi sesuatu yang belum dapat dipahami secara pasti.

Pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat itu semua adalah


pendapat bahwasanya yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa
(dialek) dari bahasa-bahasa Arab dalam satu makna. Seperti
kata ‫أ َ ْق ِب ْْل‬,‫تَ َعال‬,ْ‫ َهلُم‬,ْ‫ ع َِج ْل‬dan ‫ع‬ْْ ‫ أَس ِْر‬yang lafazh-lafazh tersebut sekalipun berbeda
namun maknanya adalah sama (yaitu kemari). Dan yang berpendapat dengan
pendapat ini adalah, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan yang
lainnya. Dan Ibnu Abdil Barr menyandarkan pendapat ini kepda kebanyakan
ulama. Dan yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abi Bakrah radhiyallahu
'anhu:

‫ني َح مىت بَلَ َغ ستة أو‬ ِ ْ َ‫ َعلَى َحرف‬:‫ال‬ َ ‫استَ ِزْدهُ ف َق‬
ْ ‫يل‬
ٍ ‫ َي حممد اقْ رأ الْ ُقرآ َن علَى حر‬:‫ال‬
ِ ِ َ ‫فَ َق‬.‫ف‬ ِ ِ
ْ ُ ‫ال مي َكائ‬ َْ َ ْ َ َ َ‫يل ق‬ ُ ‫أن ج ِْب‬
ِ ٍ ‫اب بِر ْمحٍَة أَو آيةَ ر ْمحٍَة بِ َع َذ‬
ٍ ِ ٍ ٍ ٍ ‫سب عةَ أَحر‬
‫ال‬
َ ‫ك تَ َع‬
َ ‫اب َْحن َو قَ ْول‬ َ َ ْ َ ‫ ُك ُُ َُّلَا َشاف َكاف َما ََلْ ََتْت ْم آيَةَ َع َذ‬:‫ال‬ َ ‫ف فَ َق‬ ُ ْ َ َْ
ِ
‫َس ِر ْع َو ْعج ْل‬ ْ ‫َوأَقْبِ ْل َوَهلُ مم َوا ْذ َه‬
ْ ‫ب َوأ‬
”Sesungguhnya Jibril berkata:”Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an
dalam satu huruf.” Maka Mikail berkata:”Mintalah tambahan
huruf.” Maka Jibril berkata:”Dalam dua huruf.” Dan Jibril terus menerus
menambahkannya sampai dalam enam atau tujuh huruf. Lalu ia
mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai, selama ayat
adzab (ayat yang menceritakan tentang siksa) tidak ditutup dengan ayat
rahmat (ayat yang menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat
rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti

166
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 95-96
ucapanmu:ْ‫ تَعَا َل‬, ‫أ َ ْقبِ ْْل‬, ‫ب‬
ْْ ‫ ا ْذ َه‬, ‫ع‬
ْْ ‫ أَس ِْر‬, dan ‫( ”ع ِْج ْْل‬HR Imam Ahmad)

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata:”Rasulullah menyebutkan lafazh-lafazh


tersebut hanyalah untuk memberikan contoh terhadap huruf (dialek) yang dengannya
Al-Qur’an diturunkan, dan bahwasanya ia adalah makna-makna yang sama
pemahamannya, dan beda pengucapannya. Dan tidak ada satupun di dalamnya makna
yang saling bertentangan, dan tidak ada sisi makna yang kotradiksi dan menafikkan
makna sisi yang lain, seperti kata rahmat yang berlawanan dengan adzab.”

Dan pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang banyak, di antaranya:

‫أت على رسول هللا صلى هللا عليه‬ ُ ‫ لقد قر‬:‫ فقال‬،‫فغْي عليه‬
‫قرأ رجل عند عمر بن اخلطاب رضي هللا عنه م‬
‫ أَل تقرئين آية كذا‬،‫ َي رسول هللا‬:‫ فقال‬،‫ فاختصما عند النيب صلى هللا عليه وسلم‬:‫ قال‬.‫علي‬ ِ ‫وسلم فلم‬
‫يغْي م‬
:‫ قال‬،‫ فعرف النيب صلى هللا عليه وسلم ذلك ِف وجهه‬،‫عمر شيء‬
َ ‫ فوقع ِف صدر‬:‫ بلى! قال‬:‫وكذا؟ قال‬
ً‫َتعل رمحة‬ ‫م‬
ْ ‫ ما َل‬،‫ إن القرآن كله صواب‬،‫عمر‬
ُ ‫ َي‬:‫ ُث قال‬-‫قاَلا ثَل ًث‬- ‫شيطاَن‬
ً ‫ابع ْد‬
َ :‫فضرب صدره وقال‬
َ
.ً‫عذاِب أو عذاِب رمحة‬
ً
”Ada seorang laki-laki yang membaca Al-Qur’an di sisi ‘Umar bin al-Khaththab,
lalu hal itu membuat ‘Umar marah, lalu orang itu berkata:”Aku telah
membacanya di sisi Rasulullah , namun beliau tidak memarahiku.” Perawi hadits
berkata:”Lalu keduanya berselisih pendapat di hadapan Nabi s.a.w, Maka orang
itu berkata:”Wahai Rasulullah bukankah anda membacakan kepadaku ayat ini
dan ini?” Beliau bersabda:”Ya benar” Perawi berkata: ”Maka dalam diri ‘Umar
ada sesuatu yang mengganjal (ketika mendengar jawaban Nabi), maka
Nabi mengetahui hal itu dari wajahnya. Lalu beliau menepuk dada ‘Umar dan
bersabda:”Jauhilah setan” Beliau mengulanginya tiga kali. Kemudian beliau juga
berkata:”Wahai ‘Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat
rahmat tidak dijadikan ayat adzab, dan ayat adzab tidak dijadikan
rahmat.” (Tafsir ath-Thabari)

Dari Busr bin Sa’id radhiyallahu 'anhu:

‫ تلقميتها من رسول‬:‫ فقال هذا‬،‫ أن رجلني اختلفا ِف آية من القرآن‬:‫أن أِب ُجهيم اْلنصاري أخِبه‬
‫رسول‬
َ ‫ فسأال‬،‫ تلقميتها من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ وقال اآلخر‬.‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ إن القرآن أنزل على سبعة‬:‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫هللا صلى هللا عليه وسلم عنها‬
‫كفر‬ ِ
ٌ ‫ فإ َن املراء فيه‬،‫ فَل ْتَ َارْوا ِف القرآن‬،‫أحرف‬
”Abu Juhaim al-Anshari telah mengabarkan kepadaku, bahwa ada dua orang laki-
laki berselisih mengenai satu ayat di dalam Al Qur'an. Salah satu dari keduanya
berkata:"Sesungguhya saya telah menerima langsung dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam." Sedangkan yang lain berkata:"Saya juga menerimanya
langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Lalu keduanya
menanyakan hal itu kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun
bersabda:"Sesungguhnya Al-Qur`an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka
janganlah Al-Qur'an itu diperdebatkan dan diperselisihan. Karena perdebatan
mengenai ayat Al-Qur'an itu merupakan kekufuran."(HR. Ahmad dalam al-
Musnad, Ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Dan dari Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:

”Aku diberitahukan bahwa Malaikat Jibril dan Mikail menemui


Nabi s.a.w, lalu Jibril berkata: ”Bacalah Al-Qur’an dengan dua huruf.” Maka
Mikail berkata kepada beliau: ”Mintalah tambah” Maka Jibril berkata:
”Bacalah Al-Qur’an dengan tiga huruf” Lalu Mikail berkata lagi: ”Mintalah
tambah” Perawi berkata: ”Hingga sampai tujuh huruf” Muhammad bin
Sirin berkata: ”Huruf-huruf (bacaan-bacaan) tersebut tidak berbeda dalam
masalah halal haram, dan tidak pula dalam masalah perintah dan larangan.
Namun ia hanya seperti perkataanmu:’Ta’aal, Halumma, dan Aqbil. Dan seperti
dalam qira’ah kita:
ً ً
]53 ،29 :‫ص ْي َحة َواحِ َدة } [سورة يس‬ ْ ْ
َ ‫ { إِن كَانَت إِال‬Dan dalam qira’ahIbnu Mas’ud:
)‫( (إن كانت إال زقية واحدة‬Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan


tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek) Arab yang
dengannya Al-Qur’an diturunkan, yang artinya bahwa secara keseluruhan
kalimat-kalimat Al-Qur’an tidak keluar dari ketujuh huruf tersebut dan ketujuh
huruf tersebut terkumpul dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dijawab bahwa bahasa
Arab lebih dari tujuh. Dan bahwasanya ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan Hisyam bin
Hakim keduanya adalah orang Quraisy, satu kabilah, namun keduanya berbeda
dalam bacaan mereka. Dan mustahil kalau ‘Umar mengingkari bahasanya
sendiri, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
bukanlah apa yang dimaksud oleh mereka (pendapat kedua). Dan tidak ada
maksud yang lain (dari tujuh huruf) kecuali ia adalah perbedaan alfazh dalam
mengungkapkan satu makna, dan itu adalah pendapat yang kami rajihkan.

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah setelah membawakan dalil-dalil (yang


menguatkan pendapatnya) beliau berkata dalam rangka membatalkan pendapat
kedua:”Bahkan tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan adalah tujuh
bahasa dalam satu huruf, dan satu kalimat dengan perbedaan lafazh-lafazh dan
kesesuaian makna. Seperti perkataan anda:”ْ‫ َهلُم‬, ‫أ َ ْقبِ ْْل‬, ‫تَعَال‬, ْ‫إِلَي‬, ‫صدِي‬
ْ ‫نَحْ ِوي َق‬, ‫ قُ ْربِي‬dan yang
lain, dari lafazh-lafazh yang pengucapannya berbeda namun maknanya sama,
sekalipun lisan-lisan mereka berbeda dalam menjelaskannya. Seperti yang kami
riwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang kami riwayatkan
dari Shahabatradhiyallahu 'anhum. Dan itu seperti perkataan anda:” ْ‫ َهلُم‬, ‫أ َ ْقبِ ْْل‬, ‫تَعَال‬.
juga perkataan:”Maa Yanzhuruuna Illa Zaqiyyatn.’ dan dibaca pula:“Illaa
Shaihatan.”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjawab pertanyaan yang


mungkin terlontar:”Di kitab Allah yang mana kita dapati satu huruf dibaca dengan
tujuh bahasa (dialek) yang berbeda lafazh dan sama dalam makna?” Maka
beliau rahimahullahmenjawab:”Kamu tidak mengklaim kalau hal itu ada sekarang
ini” Dan terhadap pertanyaan lain:”Lalu bagaimana dengan keenam huruf lainnya,
kenapa ia tidak ada?”Beliau jawab:”Umat Islam diperintahkan untuk menjaga
(menghafalkan) Al-Qur’an, dan mereka diberi pilihan untuk membaca dan menghafalnya
dengan huruf mana saja dari ketujuh huruf tersebut yang mereka suka. Kemudian setelah
itu ada alasan yang mengharuskan mereka membacanya dengan satu huruf pada zaman
‘Utsmanradhiyallahu 'anhu dikarenakan khawatir munculnya fitnah. Kemudian ummat
sepakat di atas hal tersebut (membaca dengan satu huruf) , yang mana mereka terjaga
dari kesesatan (maksudnya kesepakatan mereka adalah benar karena ummat ini dijaga
dari kesesatan).” (Tafsir ath-Thabari).167

3.3. Antara Qira’at Tujuh dan Tujuh Huruf


Qira’at secara lughawi berkonotasi “beberapa pembacaan”. Secara
terminilogis, berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama
dalam hubungannya dengan qiraat. Menurut Al-Zarqasyi, qiraat adalah
perbedaan lafadz-lafadz Al-Qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun
cara-cara pengucapan huruf tersebut, seperti tasydid dan lain-lain.168 sedangkan
menurut Al-Zarqani, qiraat adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat
yang berbeda dari lainnya, baik dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan
riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-
huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.169 Dengan demikian, dari kedua
pendapat ulama diatas, Al-Zarkasyi membatasi pada lafadz-lafadz Al-Qur’an
yang memiliki perbedaan qiraat. Dan al-Zarqani lebih condong kepada satu
mazhab dalam melafadzkan Al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang Imam.

167
Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 162-167.
Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono) Selasa, 01 Nopember 11.
168
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fii Ulum Al- Qur’an, Jil.
I (Beirut: Dar al-Fikr), 41
169
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018, 168
Al-Dimyathi mengemukakan bahwa qiraat merupakan satu ilmu untuk
mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun
yang diikhtilafkan oleh para imam qiraat seperti hafs, itsbat, takhrik, taskin, fashl,
washl, ibdal, dan lain-lain. beberapa unsur qiraat yang dapat difahami yaitu:
1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang
dilakukan oleh salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang
dilakukan dengan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat yang
bersambung kepada nabi dan bersifat tauqify bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qiraat menyangkut persoalan lughat, hadzf, i’rab,
isbat, fashl dan washl.
Dengan demikian jelas adanya bahwa tidaklah benar anggapan orang
awam bahwa Qiraat (macam-macam bacaan) Al-Qur’an itu diciptakan oleh nabi
Muhammad s.a.w, para sahabat ataupun para ulama dan tabiin yang dipengaruhi
oleh dialek bahasa kabilah-kabilah Arab. Dan jelas pula bahwa macam-macam
bacaan Al-Qur’an itu sudah ada sejak Al-Qur’an diturunkan, dimana pada
awalnya diturunkan dengan lughat Quraisy dan selanjutnya dilanjutkan dengan
sab’atu ahruf.170
Qiraat tujuh dan Tujuh huruf memiliki perbedaan masing-masing, namun
keduanya memiliki kaitan yang erat. Istilah sab’ah ahruf telah ada sejak Al-Qur’an
diturunkan, dan qiraat sab’ah adalah istilah yang sering muncul berkaitan dengan
bacaan para Imam dalam melafazkan bacaan Al-Qur’an. Secara lahir, Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, ia diturunkan ditengah-tengah kehidupan bangsa
Arab yang merupakan komunitas dari berbagai suku yang tersebar disepanjang
jazirah Arab. Setiap suku memiliki format dialek dan lahjah yang berbeda. Namun
demikian, setiap suku telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama
dalam berkomunikasi, jadi saat khalifah Utsman bin Affan melakukan
pengumpulan Al-Qur’an salah satu syaratnya adalah harus disesuaikan dengan
bahasa Quraisy.
Di sisi lain, perbedaan dialek ini menjadi sebab yang melahirkan
bermacam-macam bacaan dalam melafadzkan Al-Qur’an. Dengan demikian
dapat difahami bahwa adanya bermacam-macam qiraat dalam membaca Al-
Qur’an disebabkan karena bermacam-macam dialek. Keberagaman ini adalah
sesuatu yang bersifat alami dan tidak dapat dihindari karena memang setiap
bangsa dan suku mempunyai lahjah yang berbeda.
Dengan adanya perbedaan dialek dinegara arab, Rasulullah memberi
ummatnya kemudahan untuk memahami Al-Qur’an. Ini tercermin ketika Jibril

170
Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016), 3
membawa perintah kepada Nabi untuk membacakan Al-Qur’an kepada
ummatnya dengan satu huruf. Nabi dengan memohon ampun kepada Allah,
melalui malaikat Jibril meminta agar hurufnya ditambah.171 Setelah itu, hurufnya
ditambah hingga tujuh huruf. Dalam beberapa hadits dijelaskan:

‫قال رسول اَّلل صلى اَّلل عليه وسلم أقرأَن جِبيل على حروف فرامجعته فلم أزل أستزيده ويزيدّن حىت‬
.‫أنتهى اَل سبعة احرف‬

“Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril telah membacakan (Al-Qur’an) kepadaku atas


beberapa huruf. Lalu, aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahkan bacaan
tersebut. jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf (macam)”.
(HR. Muslim)
Dengan demikian, dapat difahami bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam
tujuh huruf. Nabi memberikan isyarat bagi ummat bahwa Al-Qur’an tidak hanya
dibaca dengan satu cara (satu huruf), tetapi dapat dibaca dengan beberapa cara.
Namun, bukan berarti dalam setiap kata Al-Qur’an itu dapat dibaca sebanyak
tujuh bacaan yang berbeda.

"‫قال رسول اَّلل صلى اَّلل عليه وسلم "ان هذا القران انزل على سبعة احرف فا قرءو وال حرج ولكن ال‬

“Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh bacaan,


maka bacalah jangan merasa sulit (karena harus membaca dengan bacaan yang sukar
sekali melafadzkannya), namun jangan kamu akhiri ayat yang berisi (menyebutkan)
rahmat dengan azab dan jangan pula mengakhiri azab dengan rahmat”.
Maka dapat disimpulkan bahwa, ahruf sab’ah muncul ketika nabi masih
hidup. Dalam kajian Ilmu Tafsit, tujuh huruf bermakna tujuh macam bacaan yang
diajarkan nabi. Dan muncul ketika Al-Qur’an diturunkan. Sementara qiraat tujuh
baru muncul jauh setelah nabi wafat yaitu pada masa tabiin di abad ke II H. Maka
tujuh huruf tidak dapat disamakan dengan qiraat tujuh, namun juga tidak dapat
dipungkiri bahwa qiraat sudah ada sejak nabi masih hidup, yaitu ketika nabi
membacakan Al-Qur’an kepada sahabat dengan bacaan yang berbeda-beda.
Qiraat itu telah mantap dan tuntas pada masa rasulullah s.a.w, dan beliau
ajarkan kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari
malaikat Jibril. Kemudian pada masa sahabat telah muncul banyak ahli bacaan Al-
Qur’an yang menjadi anutan masyarakat. Yang termasyhur antara lain: Ubay, Ali,

171
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018, 170
Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Merekalah yang menjadi
sumber acuan bacaan Al-Qur’an bagi sebagian besar sahabat dan tabiin.
Kemudaian qiraat dijadikan sebagai satu sumber ilmu pengetahuan pada
masa tabiin seratus tahun pertama hijriah, ini dikarenakan segolongan masyarakat
telah mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan Al-Qur’an karena keadaan
memerlukannya. Akhirnya jadilah Imam-imam qiraat yang menjadi sumber
acuan. Namun dalam perkembangannya, qiraat menghadapi masalah yang perlu
ditangani secara serius karena adanya hadits nabi yang menerangkan bahwa “Al-
Qur’an diturunkan dengan beberapa wajah bacaan (sab’atu ahruf), maka banyak
bermunculan versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah
s.a.w.
Dalam hal ini para ulama ahli qur’an cepat dan tanggap untuk menjaga
kemurnian Al-Qur’an, jangan sampai rusak karena bacaan yang mata rantai
sebenarnya tidak sampai kepada rasulullah s.a.w. maka pada akhir abad ke-2
Hijriyah para ulama mulai meneliti, menseleksi, dan menguji kebenaran qiraat
yang dikatakan sebagai bacaan Al-Qur’an dengan memakai kaidah dan kriteria
yang telah disepakati oleh para imam qiraat.172 Suatu bacaan baru dianggap sah
apabila memenuhi 3 syarat yaitu:
a. Mempunyai sanad yang mutawattir, diterima dari guru terpercaya, tidak
cacat, dan mata rantai sanadnya bersambung kepada rasulullah.
b. Harus cocok dengan rasm utsmani
c. Harus cocok dengan tata bahasa Arab.
Dengan pengujian yang dilakukan para pakar qiraat dengan kaidah yang telah
ditentukan, maka qiraat jika ditijau dari sanadnya terbagi menjadi enam tingkatan
yaitu: Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syaz, Mudraj, Maudhu’. Setelah melewati
penelitian dan pengujian terhadap qiraat Al-Qur’an yang banyak beredar, ternyata
yang memenuhi syarat mutawatir menurut kesepakatan ulama Al-Qur’an ada
tujuh (sab’) bacaan yang dikuasai dan dipopulerkan oleh tujuh Imam qiraat. Inilah
yang kemudian dikenal dengan qirat Sab’ah.173

KESIMPULAN

Perbedaan pendapat tentang makna sab’ah ahruf tidak hanya terletak pada
segi tata bahasa, tulisan atau bacaannya saja dan tidak sampai merubah makna
yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Pendapat yang paling kuat di antara
pendapat-pendapat itu semua adalah pendapat pertama, bahwasanya yang

172
Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fii Ulumil Qur’an, 170-174
173
Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016), 5
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa
Arab dalam satu makna.

Ahruf Sab’ah dan qiraat sab’ah memiliki makna yang berbeda, namun
kedua istilah tersebut saling berkaitan. Karena pemahaman terhadap istilah ahruf
sab’ah tersebut sebagai akibat munculnya bermacam-macam bacaan. Macam-
macam bacan para imam Qurra’ tersebut muncul setelah masa tabiin yang
bersumber pada sahabat. Namun setelah dilakukan penelitian dengan syarat-
syarat tertentu, maka hanya tujuh qiraat yang dianggap mutawatir yang sekarang
dikenal dengan qiraat Sab’ah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan Manna’. Mabahits Fii Ulumil Qur’an
al-Zarkasyi Badr al-Din Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan Fii Ulum Al- Qur’an, Jil. I
(Beirut: Dar al-Fikr)
Fathoni Ahmad. Kaidah Qiraat Tujuh 1 & 2, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura
dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 2016
Suarni, Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah, Jurnal Al-Mu’ashirah Vol. 15 No. 2, 2018
Baidan Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)
AL-QUR'AN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN DAN DISKURSUS
SEPUTAR PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENAFSIRAN ILMIAH

Adha Santri Madani,1 Fakhri Putra Tanoto,2 Nisa Halwati,3


1Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta

(almadaniadha@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(fakhriputra12@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(nisahalwati2@gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai epistemologi Al-
Qur’an sebagai ilmu pengetahuan dan pendapat para ulama mengenai
pandangannya dalam penafsiran ilmiah. Metode penelitian ini bersifat kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi
kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan ilmu pengetahuan
merupakan isi pokok kandungan kitab suci Al-Qur’an dan terdapat perbedaan
pendapat ulama mengenai penafsiran ilmiah. Penelitian ini memiliki signifikasi
untuk pengembangan diskursus ilmu literatur Ulumul Qur’an. Kesimpulan pada
penelitian ini adalah tujuan ilmu pengetahuan dan agama adalah satu ialah
menciptakan kebahagiaan jasmani dan ruhani manusia, sebagaimana tercantum
dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

ABSTRACT
This study aims to discuss fundamentally the epistemology of the Qur'an as a science and
the opinions of scholars regarding their views in science. This research method is
qualitative by using descriptive method through theoretical analysis and literature study.
The results of this study conclude that knowledge is the main content of the holy book of
the Qur'an and the difference of opinion of scholars regarding scientific matters. This
research has significance for the development of the discourse of Ulumul Qur'an literature.
The conclusion of this study is that the purpose of science and religion is one to create
human physical and spiritual happiness, as stated in the verses of the Qur'an.

Keyword: Al-Qur’an, Tafsir, Ilmu Pengetahuan


1. PENDAHULUAN
Tujuan utama setiap usaha menafsirkan Al-Qur’an sejak masa lalu hingga
saat ini adalah menjelaskan kehendak Allah Swt dan operasionalisasi kehendak
itu di bidang akidah dan hukum syar’I yang dikandungnya, serta nilai-nilai etis
dan keadaban yang dibawa oleh Al-Qur’an untuk perbaikan dan pembersihan
jiwa manusia. Pada masa peradaban, muncul berbagai metode dan aliran tafsir
Al-Qur’an. Selain ditemukan corak tafsir, ditemukan pula metode tafsir ilmi yang
berorientasi pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan
berbagai kebeneran fakta ilmiah yang pernah disebutkan oleh Al-Qur’an.
Ada beberapa tokoh seperti Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H),
Fakhruddin Al-Razi (w 606 H), Ibn Abi Al-Fadl Al-Mursi (570-655 H) adalah
representasi pemikir muslim klasik yang menandakan gelombang pertama
berupa isyarat keharusan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan penemuan
sains di zamannya. Sains dalam literatur diperkuat dengan ‘Ulum Al-Qur’an
terutama dua karya yang sangat populer yaitu ‘al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an’
yang disusun oleh Badruddin al-Zarkasyi (w 794 H) dan ‘al-Itqan fi ‘Ulum Al-
Qur’an’ yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi (w 911 H).
Maksud dari pada sains di sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang
alam semesta seperti: ilmu teknik, astronomi, matematika, biologi, kimia,
ekonomi-sosial, flora-fauna, geologi dan lain sebagainya. Ada beberapa definisi
yang diberikan beberapa pakar tentang tafsir ilmi/saintifik ini, diantaranya:
Pertama, definisi yang diajukan oleh Amin al-Khuli adalah: “Tafsir yang
memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur’an, dan
berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari
redaksi Al-Qur’an itu.”
Kedua, definisi yang diajukan oleh ‘Abdul Majid ‘Abdul Muhtasib adalah:
“Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-
istilah sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan
berbagai masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur’an itu.”4
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita beri catatan dalam dua hal;
Pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab
memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir
itu harus dihindari karena dinilai telah “menundukkan redaksi Al-Qur’an” ke
dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Abdul
Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang kontra dan tak menyetujui
corak tafsir ini.
Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep sebenarnya
yang diinginkan para pendukung tafsir ilmi. Para pendukungnya tak pernah
berkeinginan untuk memaksakan istilahistilah keilmuan modern dalam redaksi
Al-Qur’an, atau menundukkan redaksi Al-Qur’an itu pada teori-teori sains yang
selalu berubah.
Oleh sebab itu, kiranya definisi yang lebih cocok untuk corak tafsir ilmi dan
sesuai dengan realitas di lapangan adalah: “Tafsir yang berbicara tentang istilah-
istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh
untuk menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah
Al-Qur’an itu.”5Atau definisi lain yang dapat dikemukakan di sini adalah: “Tafsir
yang diupayakan oleh penafsirnya untuk: 1) Memahami redaksi-redaksi Al-
Qur’an dalam sinaran kepastian yang dihasilkan oleh sains modern, dan 2)
Menyingkap rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Qur’an telah memuat
informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada
masa turunnya AlQur’an, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran
fakta bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari
Allah Swt, pencipta dan pemilik alam semesta ini.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.174 Penelitian
kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data
berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku
manusia yang dapat diamati.175 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan
studi kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg
menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang
diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian
dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.176 Studi kepustakaan

174
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,”
Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6,
http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
175
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
176
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik
sebuah kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Al-Qur'an Sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tersusun dari kata ilmu dan pengetahuan. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian
(baik tentang segala yang masuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan
keadaan alam dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, kata ilmu jamaknya ‘ulum
diartikan ilmu pengetahuan. Adapun pengetahuan adalah tahu, atau hal
mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui, kepandaian atau segala apa yang
diketahui atau akan diketahui berkenaan dengan sesuatu hal (mata pelajaran).
Ilmu pada hakikatnya berasal dari pengetahuan, namun sudah disusun secara
sistematik dan diuji kebenarannya menurut metode ilmiah dan dinyatakan valid
atau shohih. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
sudah bersifat ilmiah.177

Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ilmu keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam
Al-Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode
tertentu baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan
yang mempelajari sifat-sifat nama dan bilangan menurut tanggapan manusia
dikenal dengan ilmu eksakta, sedangkan ilmu pengetahuan yang menyelidiki
kehidupan manusia termasuk kehidupan rohaninya disebut ilmu sosial.

Jadi ilmu pengetahuan adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kata ‘ilm disebut dalm Al-Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk
dari segala rujuan ilmu baik ilmu pengetahuan ataupun sains. Di dalam Al-
Qur’am semua sudah diatur, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum
minallah), sesama manusia (hablum minannas), alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu empiris, ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu umum dan
sebagainya.

Salah satu kemukjizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama


adalah hubungannya dengan ilmu pengetahuan, Allah menurunkan Ayat Al-

177
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8.
Qur’an yang pertama kali mengenai pentingnya ilmu pengetahuan, yakni QS. Al-
‘Alaq: 1-5.

‫ الم ِذى َعلم َم‬. ‫ك الْألَ ْكَرُم‬ ِ ِ‫اِقْ رأْ بِس ِم رب‬
َ ُّ‫ اقْ َرأْ َوَرب‬. ‫ َخلَ َق الْ ِإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق‬. ‫ك المذى َخلَ َق‬ َ َ ْ َ
ِْ ‫ َعلمم‬. ‫ِِبلْ َقلَِم‬
‫اْلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم‬ َ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya”.

Ayat yang pertama turun mengingatkan manusia bahwa Allah telah


memuliakan atau menjunjung tinggi martabat manusia melalui bacaan. Dengan
proses belajar manusia dapat menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dan dengan ilmu
manusia dapat mengetahui rahasia alam semesta yang sangat bermanfaat bagi
kesejahtraan hidup. surat Al-Alaq ayat 1-5 dijelaskan bahwasanya manusia itu
dijadikan oleh Allah dari segumpal darah yang melekat di rahim seorang ibu.
Ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw berkhalwat di Gua Hiro, ketika
itu beliau berusia 40 tahun. Ayat-ayat pertama yang diturunkan sekaligus
merupakan tanda pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul Allah.

Al-Qur’an berusaha mengangkat derajat manusia pada kedudukan yang


tinggi dengan menunjukkan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk
melihat dan memahami sifat-sifat sejati Allah dan kemudian merenungkan akan
kebesaran-Nya, sebagaimana firman Allah (QS Ali Imran [3]: 18)

Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melinkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”. (QS Ali Imran [3]: 18).

Ayat ini jelas memberikan bukti bahwa hanya orang yang berilmu
pengetahuan dan memiliki pemahaman sajalah yang mampu melihat hakikat
yang ada di balik struktur materi dari alam semesta ini. Hanya mereka yang
memiliki kemampuan untuk menyaksikan kekuasaan. Al-Haqq, Zat yang
mengendalikan dan mengatur seluruh kehidupan semesta raya. Dialah yang Haqq
(Riil), sedangkan segala sesuatu yang lain hanyalah bayangan-bayangan yang
akan berlalu. Mereka yang tidak mampu melihat kebenaran hakiki ini di dalam
alam semesta akan kehilangan rasa keadilan dan kekuatan pemahaman yang telah
Allah anuggerahkan kepada mereka.178

3.2 Al-Qur'an Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan Umum


Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang merupakan sumber-sumber ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam Al-Qur’an, kita bisa menemukan ayat-ayat
yang menjadi isyarat tentang berbagai hal bagi kemaslahatan umat manusia. Baik
berupa penemuan-penemuan baru maupun penyempurnaan atau koreksi bagi
teori-teori yang sudah ada.

Kekayaan pengetahuan dapat mengangkat kedudukan manusia di atas


makhluk lainnya, kemudian menjadikan makhluk-makhluk itu berada di bawah
kekuasaannya, sehingga setiap saat dapat dimanfaatkan untuk melayaninya. Hal
ini merupakan kehormatan besar bagi umat manusia. Sebagaimana penjelasan
tentang siang dan malam hari Tuhan jadikan untuk melayani manusia:

Artinya: “Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang”. (QS. Ibrahim [14]: 33).

Laut pun disediakan untuk manusia:

Artinya: “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat


berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-
Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur”. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 12).

Jelaslah bahwa seluruh ciptaan atau makhluk yang berada di atas bumi
telah disiapkan untuk melayani kebutuhan manusia. Hukum Tuhan yang berlaku
di dalam alam semesta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya. Al-
Qur’an juga memerikan gambaran yang sempurna tentang alam, materi, serta apa
yang melampaui alam materi itu dengan cara yang ilmiah dan rasional sehingga
menarik perhatian, baik orang yang berilmu pengetahuan maupun orang awam.

178
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam
Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 28.
Al-Qur’an memberikan dorongan kuat kepada kaum Mukmin untuk
bekerja keras dalam meraih kekayaan material dan sekaligus menuntun mereka
untuk menyelidiki hukum-hukum dan pengetahuan tentangnya untuk
memperoleh manfaat darinya. Al-Qur’an juga mewajibkan mereka untuk
menyelidiki setiap aspek dari material alam semesta, mengungkap dan menyikap
tabir rahasianya, mengambil manfaat daripadanya, serta menggunakannya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.

Jadi, Al-Qur’an memberikan kepada manusia kunci ilmu pengetahuan


tentang bumi dan langit serta menyediakan peralatan untuk mencari dan meneliti
segala sesuatu agar dapat mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua
dunia itu. Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk memperoleh sesuatu dari
dunia ini yang bermanfaat bagi kesejahteraannya. Al-Qur’an juga mengajarkan
agar manusia tidak khawatir atau takut terhadap kekuatan-kekuatan yang
terdapat dalam materi, dan malah mendorong manusia menggunakan kekuatan
itu secara tepat karena semua itu diciptakan bagi kepentingan hidup manusia. Al-
Qur’an juga menunjukkan cara memanfaatkan kekayaan materi dengan tepat
sebagai pembuka untuk memasuki pintu kehidupan alam akhirat, sebuah dunia
yang berada di belakang pembatasan alam dunia, dan bahkan sampai menembus
ruang kosmis.179

3.3 Al-Qur'an Dan Teori Ilmu Pengetahuan


A. Psikologi dan Fisiologi

Al-Qur’an Sebagai Penawar

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Allah menyatakan bahwa


Alquran adalah penawar. Benar adanya bahwa Al-Qur’an adalah penawar
untuk orang yang beriman. Penelitian il miah yang notabene pikiran
manusia, telah membuktikan kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah penawar.
Firman Allah, Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi
orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian (QS Al-
Isra' [17]:82).

179
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam
Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007). 31.
Katakanlah, "Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang
orang yang beriman" (QS Fushshilat [41]: 44).
Seorang ulama menyikapi Al-Qur’an sebagai penawar dan petunjuk
dengan mengatakan, "Sesungguhnya kitabullah yang agung (Al-Qur’an)
merupakan obat penyakit stres, penenteram jiwa, obat penyakit hati, dan
cahaya bagi segala kegelapan. Bahkan, ia juga penangkal segala duka,
pencipta kehidupan sejahtera yang tak akan tergoyahkan sepanjang masa
oleh berbagai syak wasangka, dan tidak akan tergeser oleh badai
kebingungan.
Memang benar Al-Qur’an adalah syifa' (penawar). Sebuah penelitian di
Florida membuktikan, terjadi perubahan fisiologis yang besar, baik bagi
orang yang bisa berbahasa Arab atau yang tidak, setelah mendengar bacaan
Al-Qur’an. Perubahan itu adalah penurunan depresi, kesedihan, penyakit,
bahkan perolehan ketenangan.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Al-Qur’an berpengaruh hingga
97% dalam memberikan ketenangan dan penyembuhan penyakit.
Subhanallah.
Bagi seorang mukmin, Al-Qur’an adalah bacaan yang mulia.
Membacanya berarti berzikir atau mengingat Allah, dan mengingat Allah
akan membuat hati dan jiwa tenang.
Mengenai jiwa dan hati yang tenang, penelitian Effa Naila Hady dan
Ratna Djuwita (dalam Hanna Djumhana Bastaman, 1996) menyatakan
bahwa zikir kepada Allah memiliki efek menenangkan.180

B. Biologi
‘Alaq (Segumpal Darah)
Makna firman Allah, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS
Al'Alaq [96]: 1-2).
Mahasuci Allah yang berkehendak mencipta apa yang dikehen daki-
Nya. Allah yang berkehendak mencipta tahapan-tahapan yang harus dilalui
manusia ketika berada di rahim ibunda. Dan Allah yang menginformasikan
semua itu kepada manusia melalui kalam-Nya.

180
H. Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Berikut ilustrasi dalam Al-Qur’an mengenai 'alaq atau segumpal darah.
Dr. Keith Moore, Ketua Jurusan Anatomi di University of Toronto, Kanada,
sekaligus pakar dalam bidang embriologi (ilmu yang membahas tentang
pembuahan dan perkembangan janin) dimintai pendapat mengenai
informasi yang terdapat dalam Al Quran berkaitan dengan bidang
embriologi tersebut. Dia berkata bahwa sebagian besar informasi tentang
embriologi yang disebutkan Al-Qur’an sangat sesuai dengan penemuan-
penemuan modern dalam dunia embriologi.
Dalam Surah Al-'Alaq (96) 1-2, 'alaq maknanya bisa segumpal darah, bisa
juga bermakna sesuatu yang melekat menyerupai lintah.
Dalam konferensi kedokteran ke-7 di Damman, Arab Saudi, pada 1981,
Dr. Moore berkata, "Sangat menyenangkan bagi saya untuk membantu
menjelaskan pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur’an tentang terbentuknya
janin manusia. Jelas bagi saya bahwa pernyataan-pernyataan ini telah turun
kepada Nabi Muhammad dari Tuhan atau Allah karena sebagian besar ilmu
ini belum ditemukan sampai beberapa abad kemudian. Ini membuktikan
kepada saya bahwa Muhammad adalah seorang utusan Allah."
Dokter lain pun memberi komentar sama, bahwa apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an dan hadis sejalan dengan penemuan ilmiah modern.
Dokter itu adalan Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua Jurusan Obstetri dan
Genekologi di Fakultas Kedokteran, Baylor College, Houston, A.S. Beliau
menyatakan, "Hadis-hadis, perkataan Muhammad, ini tidak ditemui dalam
dasar-dasar pengetahuan ilmiah yang sudah ada pada masa penyusunannya
sekalipun (abad ke-7). Berikutnya bahwa bukan hanya tidak ada
pertentangan antara ilmu genetika dengan agama (Islam), tetapi lebih jauh,
agama (Islam) bisa membimbing sains dengan menambahkan wahyu
kepada sebagian cara ilmiah tradisional. Ada pernyataan-pernyataan dalam
Al-Qur’an yang baru beberapa abad kemudian terbukti valid, yang
memperkuat bahwa ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an berasal dari
Allah.
C. Fisika
Air Laut Yang Asin
Makna firman Allah: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir
(ber dampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi
pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak
tembus” (QS Al-Furqân [25]: 53).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Allah Mahakuasa atas tiap-
tiap sesuatu. Kehendak-Nyalah segala sesuatu yang terjadi di bumi ini, yang
menjadi bukti kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.
Pada ayat tersebut, Allah berfirman bahwa Dia menciptakan air di bumi
ini dalam rasa yang berlainan. Kedua rasa tersebut diidentikkan pada dua
perairan, yaitu perairan darat dan laut.
Kalau boleh seorang manusia bertanya, mengapa Allah menciptakan
laut itu asin (pahit)? Apa jawabannya? Wallahu a'lam. Allah Yang Mahatahu.
Dialah yang mengilhamkan kepada manusia pengetahuan yang ada di alam
semesta. Tetapi sedikit jawaban bisa diberikan manusia mengenai adanya air
laut yang berasa asin dan pahit ini.
Yang sedikit itu adalah bahwa apa jadinya jika laut diciptakan berasa
manis sebagai wujud adanya senyawa gula di dalamnya?, senyawa gula di
laut akan mengundang bakteri pengurai, bakteri pembusuk, atau
semacamnya. Jika itu terjadi, rusaklah dunia. Lautan lebih luas daripada
daratan, jika di mana-mana ada pembusukan dan perusakan, apa jadinya
dunia?
Allah menciptakan laut itu asin. Asin (atau garam) bisa mengawet kan
ikan, mengawetkan makanan. Makanan yang asin lebih awet daripada
makanan yang manis. Air garam (air laut yang asin) lebih bisa mengawetkan
daripada jika air laut itu manis.
Salah satu kemahapemurahan Allah ada pada persenyawaan garam
yang terjadi di laut. Garam dapur (NaCl) atau garam-garam dengan rumus
kimia yang lain terbentuk karena zat-zat penyusunnya yang sangat reaktif.
Zat-zat yang sangat reaktif ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan dalam
bentuk tunggal di lautan, bisa merusak isi dunia.
Maka, Allah dengan segala kemahapemurahan-Nya, jika kemu dian zat
reaktif ini disenyawakan dengan zat reaktif yang lain, yaitu pada garam
dapur (NaCl: natrium klorida). NaCl atau garam dapur ini berasal dari air
laut yang diuapkan. NaCl aman untuk dikonsumsi. Namun, garam dapur
ini (NaCl) terdiri dari dua unsur yang sangat reaktif. Na, atau natrium dari
NaCl adalah logam kuat yang memiliki sifat basa yang kuat, bisa merusak
kayu, kertas, dan badan manusia. Sedang Cl, atau klor dalam keadaan biasa,
di alam bebas berwujud gas. Unsur ini bisa membunuh manusia jika paru-
paru manusia
menghirupnya, bisa meracuni darah dan membuat manusia
meninggal.181 Dengan segala kepemurahan Allah, unsur-unsur reaktif
tersebut membentuk satu senyawa, NaCl (natrium klorida), yang kita kenal
dengan garam dapur.

D. Geografi
Adanya Pembatas Dua Laut
Makna firman Allah, Dia membiarkan dua laut mengalir yang
(kemudian) keduanya bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing (QS Al-Rahmân [55]: 19-20).
Dalam catatan kaki Surah Al-Rahmân (55) ayat 19-20 disebutkan bahwa
di an tara ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa là yabghiyân (lihat teks
Al-Qur’an), bermakna 'masing-masingnya tidak meng hendaki. Dengan
demikian, maksud ayat 19-20 ini ialah bahwa ada dua laut yang tercerai
karena dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidak diperlukan.
Pada akhirnya, tanah genting itu dibuang (digali untuk keperluan lalu
lintas), maka bertemulah dua lautan itu, seperti Terusan Suez dan Terusan
Panama.
Sementara dalam Jelajah Alam Bersama Al-Qur’an diterangkan, kata
barzakh mempunyai arti 'suatu pembatas atau partisi (zona pemisah). Arti
pembatas ini tidak bersifat fisik (seperti adanya tanah genting).
Pada kata lain ada kata maraja, secara kiasan artinya 'mereka keduanya
bertemu dan saling bercampur satu sama lain.

181
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, Lho.... GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa, Allah,
Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
Ada dua arti kata berlawanan dari surah ini, barzakh dengan maraja.
Lalu, bagaimana para ahli tafsir menjelaskan adanya kata yang berlawanan
dalam surah ini?
Beberapa dekade kemudian penelitian membuktikan kebenaran firman
Allah dalam Surah Al-Rahman (55) ayat 19-20. Pada titik temu dua jenis
lautan, ada pembatas di antara keduanya. Pembatas itu membagi kedua laut
tersebut sehingga masing-masing mempunyai temperatur, kadar garam, dan
kepadatan yang berbeda. Terdapat lapisan pembatas air yang tak kasatmata
di antara kedua laut, sehingga air dari satu laut melalui laut lainnya berbeda.
Tetapi, saat air dari satu lautan memasuki lautan yang lainnya, ia akan
kehilangan karakteristik yang menjadikannya berbeda dan menjadi
homogen (bersatu/berbaur) dengan air laut yang lain. Di satu pihak,
pembatas ini bertindak sebagai area transisi.

E. Sosiologi
Allah Menciptakan makhluk-Nya Yang Berpasang-pasangan
Makna dari firman Allah, Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-
pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah) (QS Al-Dzâriyât [51]: 49).
Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang
pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
sendiri maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS Ya' Sin [36]: 36)
Mahasuci Allah yang menciptakan makhluk dan apa yang ada di bumi
ini secara berpasangan. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan,
ada matahari ada rembulan. Benda yang paling kecil sekalipun, benda yang
lebih kecil daripada atom pun, diciptakan Allah berpasangan.
Allah menciptakan atom, benda terkecil di dunia, memiliki inti. Pada inti
atom terdapat suatu benda yang superkecil. Benda ini me miliki muatan,
positif dan negatif. Benda itu dinamakan para ahli dengan proton (benda
yang bermuatan positif) dan elektron (benda yang bermuatan negatif).
Ini adalah pasangan terkecil di dunia (yang diketahui saat ini). Jika
muatan positif dan negatf dipasangkan, akan meng hasilkan sesuatu yang
berguna, yaitu aliran listrik. Listrik bisa digunakan untuk penerangan,
pemanas, dan sebagainya. Inilah dunia. Allah menakdirkan ada takaran di
bumi ini menjadikannya berpasangan.
F. Makanan dan Minuman
Hikmah Makan dan Minum Tidak Berlebihan
Dalam Al-Qur’an Allah menitahkan yang maknanya,:” Wahai anak cucu
Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan
dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan “(QS Al-A'raf [7]: 31).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Allah menitahkan manusia
untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum. Memang benar, manusia
tidak butuh berlebihan dalam makan dan minum. Banyak dampak negatif
dari kebanyakan makan. Berikut adalah hikmah makan tidak berlebihan.
Para peneliti membuat sebuah simpulan bahwa sebanyak dua pertiga
penyakit degeneratif (penurunan fungsi organ tubuh atau faali tubuh yang
akan menimbulkan penyakit-pen.) disebabkan faktor makanan.182
Apa itu penyakit degeneratif?, penyakit degeneratif adalah penyakit
karena penurunan fungsi jaringan dan alat tubuh karena proses-proses
kehidupan. Bersifat progresif dalam jangka waktu tertentu ke arah negatif
untuk kesehatan seseorang. Dampak akhirnya adalah menderita penyakit ini
(degeneratif).
Contoh penyakit degeneratif adalah tekanan darah tinggi, jantung
koroner, kolesterol tinggi, gagal ginjal, diabetes melitus, dan sebagainya.
Penyakit-penyakit ini, di samping karena obat-obatan, racun, alkohol,
stres, lingkungan hidup yang jauh dari standar kesehatan, dan sebagainya,
dapat disebabkan makan dan minum yang berlebih. Dua pertiga penderita
penyakit degeneratif, disebabkan makan dan minum yang berlebihan.
Dalam salah satu seni pengobatan alami disebutkan bahwa makan dan
minum yang berlebihan adalah sebab terganggunya fungsi sistem
pencernaan. Terganggunya sistem pencernaan, khususnya usus karena
terlalu banyak zat sisa yang menempel di dinding usus, akan menjadi
masalah serius untuk keseluruhan kesehatannya di ke mudian hari.
Apabila usus kotor, dinding usus pun akan menyerap zat-zat kotor
(racun) tersebut. Racun ini akan memasuki darah, dan darah yang

M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir dan
182

Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya Pra Widya Pangan dan Gizi
VI”, Semarang, November 1997.
mengandung racun akan meracuni seluruh tubuh, dan mem buat kerusakan
di sistem jaringan dan organ tubuh. Jadilah penyakit, penyakit degeneratif.
Itu sebabnya puasa sangat bermanfaat untuk orang-orang yang
bermasalah dengan sistem pencernaan. Ketika puasa, organ pencernaan
istirahat total. Ketika puasa, kotoran juga bisa dikeluarkan meski tidak
seluruh kotoran yang menempel di dinding usus bisa bersih seketika itu.
Pembersihan usus butuh waktu dan pengobatan serius.
Mekanisme usus yang kotor adalah sebagai berikut. Makan berlebihan
atau makan terlalu sering (makan tidak dalam kondisi lapar atau menuruti
nafsu saja) akan menyebabkan pencernaan, khususnya usus, menjadi tidak
efektif bekerja. Salah satu bentuk ke tidakefektifan usus bekerja karena
adanya kotoran di usus yang tidak bisa dikeluarkan. Kotoran ini menempel
di dinding-dinding usus, lengket di sana.
Padahal kita mengambil sari makanan dari usus setelah melalui
pencernaan makanan. Ketika terjadi penyerapan sari makanan oleh jonjot-
jonjot usus, tidak melulu sari makanan yang ikut ke aliran darah dari usus.
Tetapi juga zat yang berasal dari kotoran, yang lengket di usus. Substansi
apa yang berada dalam kotoran yang lengket di usus? Tak lain dan tidak
bukan adalah sejenis radikal bebas (racun). Sari makanan yang sudah
didomplengi radikal bebas ini akan menuju ke hati untuk dibersihkan
racunnya. Lalu, mengalir ke seluruh tubuh.
Sari makanan diserap di usus halus. Sementara di usus besar ter jadi
penyerapan cairan, pun cairan yang berasal dari usus besar ini bisa
tercampuri radikal bebas. Dalam kondisi radikal bebas yang sedikit, ada
kemungkinan tubuh masih bisa menoleransinya. Jika jumlahnya banyak
serta setiap waktu ada, bagaimana tubuh bisa menoleransi? Hati, organ
untuk detoksifikasi (membersihkan racun), bisa terkena dampaknya terlebih
dahulu. Organ atau jaringan lain pun bisa terkena dampaknya terlebih
dahulu. Pembuluh darah, misalnya.
Pola makan yang secukupnya dan sederhana menghindarkan manusia
dari penyakit-penyakit ini. Puasa juga. Dengan makan secukupnya, sistem
pencernaan di tubuh malah akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Tidak ada
racun yang akan memasuki aliran darah dan mengganggu sistem dalam
tubuh.
G. Atronomi
Bukti Ilmiah Terbelahnya Bulan
Maha Kuasa Allah jika Allah berkehendak, tidak ada yang dapat
menghalanginya termasuk peristiwa terbelahnya bulan, agar menjadi
pelajaran manusia untuk ber iman dan semakin menambah iman un tuk
orang-orang yang telah beriman.
Rasulullah pernah didustakan kaum musyrikin Makkah. Mereka
meminta bukti bahwa Nabi Muhammad benar-benar nabi dan rasul. Lalu,
beliau. memberi jawaban dengan membelah bulan melalui tangannya
dengan seizin Allah. Setelah itu, turun firman Allah, Saat (Hari Kiamat)
semakin dekat, bulan pun terbelah. Dan jika mereka (orang orang musyrik)
melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, "(ini adalah)
sihir yang terus-menerus" (QS Al-Qamar [54]: 1-2).
Bukti ilmiah tentang terbelahnya bulan oleh tangan Rasul Muhammad
ada dalam kisah berikut. Di sebuah seminar di Falkutas Kedokteran, Cardiff
University, Wales, Inggris, pada tahun 2000-an, hadir Dr. Zaglul Al-Najjar'.
Pada kesempatan tanya jawab, berdiri seorang laki-laki berkebangsaan
Inggris meminta izin untuk bicara. la memperkenalkan diri sebagai David
M. Pidcock, seorang Muslim dan pemimpin sebuah organisasi Islam di
negaranya.
la bercerita bahwa suatu waktu ia tengah intens mempelajari agama-
agama di dunia. la mendapat pinjaman Al-Qur’an dari saha batnya, seorang
Muslim. Pidcock mempelajari Al-Qur’an. Ia membuka QS Al-Qamar (54): 1-
2. la langsung menutup Al-Qur’an, tidak percaya, karena di situ disebutkan
tentang terbelahnya bulan.
Takdir Allah menjadikannya menemukan hidayah. Hidayah memang
akan dianugerahkan untuk orang-orang yang benar-benar mencarinya.
Pidcock adalah seorang pencari kebenaran. Selang beberapa waktu, ia
menonton siaran BBC. Seorang penyiar tengah mewawancarai tiga astronom
Amerika Serikat tentang aktivitas pen daratan manusia ke bulan, saat itu,
1978.
Sang penyiar mengkritik kebijakan mendaratkan manusia ke bu lan itu.
Menurutnya, kebijakan itu adalah bentuk penghamburan da na karena
memakan biaya sekitar 100 juta dolar AS. Bukankah jika diberikan untuk
jutaan orang yang kelaparan akan jauh lebih berfaedah.
Para ilmuwan astronomi itu membela diri. Mereka mengatakan ada
fakta ilmiah yang mereka dapatkan di bulan. Jika perjalanan ke luar angkasa
itu dibiayai dengan biaya berkali-kali lipat dari biaya yang mereka keluarkan
agar manusia yakin dengan apa yang mereka temukan, lalu menerima fakta
itu, tak seorang pun yang akan keberatan dengan biayanya.
Sang penyiar sontak bertanya, "Fakta apa itu?" Para ilmuwan itu
menjawab bahwa pada masa lalu, bulan pernah terbelah, kemudian melekat
lagi. Bekas-bekas yang menunjukkan fakta ini sangat terlihat di permukaan
bulan sampai ke dalam perut bulan.
Di hadapan peserta seminar, Pidcock berkata, "Begitu men dengar itu,
saya langsung melompat dari kursi yang saya duduki di depan televisi dan
berkata dalam hati bahwa sebuah mukjizat telah terjadi pada Muhammad
1.400 tahun yang lalu. Al-Qur’an telah menyebutkannya dengan perincian
yang begitu mengagumkan. Ini pasti agama yang benar." Ia pun memeluk
Islam.
Di samping tercatat dalam peristiwa terbelahnya bulan. juga terdapat
dalam sejarah India dan Cina Kuno.

H. Sejarah
Kebenaran Sejarah Ummat Nabi Luth
Makna firman Allah :”Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik
Makkah) telah melalui sebuah negeri (Sodom) yang (dulu) dijatuhi hujan
yang buruk (hujan batu). Tidakkah mereka menyaksikannya? Bahkan,
mereka itu sebenarnya tidak mengharapkan Hari Kebangkitan” (QS Al-
Furqan [25]:40). “Maka ketika keputusan Kami datang, Kami
menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka dengan
batu dan tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh
Tuhanmu. Dan siksaan itu tiada jauh dari orang yang zalim.” (QS Hûd [11]:
82-83).
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Apakah ayat tersebut
turun setelah eksplo rasi tentang adanya kaum Nabi Luth? Tidak. Belum ada
eksplorasi tentang kuburan kaum Luth ketika Al-Qur’an diturunkan. Seperti
yang kita tahu, Nabi Luth dan kaumnya hidup jauh sebelum masa
Rasulullah dilahirkan. Yang berarti Al-Qur’an diturunkan setelah adanya
peristiwa pemusnahan kaum ingkar, yaitu kaum Luth. Ketika peradabannya
terkubur dalam timbunan tanah sehingga tidak diketahui manusia.
Sementara Al-Qur’an diturunkan kepada masyarakat Arab waktu itu yang
belum mengenal peradaban ilmu sejarah bangsa-bangsa yang dimusnahkan
Allah. Belum tahu apa dan bagaimana kaum Luth. Sejarah kaum ini
diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bukan berasal
dari manusia (Nabi Muhammad), tetapi dari Allah ta’ala. Apa yang
dipaparkan dalam Al-Qur’an adalah benar adanya.
Bencana yang terjadi di Kota Sodom, tempat Nabi Luth tinggal, karena
manusia menginjak-injak hukum Allah dengan semena mena, berupa
perbuatan amoral yang lebih rendah daripada nafsu binatang, yaitu liwath,
perbuatan mesum sesama jenis. Maka, Allah pun menghukum manusia
yang berdosa ini.
Kasih sayang Allah sedemikian besar. Ada rahmat-Nya yang diberikan
Allah agar kaum Sodom meminta maaf kepada-Nya. Melalui perantaraan
lisan Nabi Luth. Allah memberikan peringatan kepada mereka; tetapi
mereka tidak mau mendengarnya. Jika sebuah peringatan sudah tidak di
pedulikan, wajar jika Allah membersihkan umat tersebut untuk
menyelamatkan umat baik di antara mereka, menyelamatkan umat yang
masih bersih, yang tak melakukan dosa, yaitu Nabi Luth dan putri-putrinya.
Allah pun menjungkirbalikkan daerah Sodom yang kaumnya berdosa.
Apa yang dikatakan Al-Qur’an mengenai negeri Sodom yang
dijungkirbalikkan Allah adalah benar adanya. Para ilmuwan
mengeksplorasi adanya kaum ini di masa lalu dan apa yang terjadi terhadap
mereka. Para ilmuwan mencatat bahwa benar-benar terjadi gempa vulkanis
di Kota Sodom, kota yang berada di tepi Laut Mati (Danau Luth) yang
terbentang memanjang di antara perbatasan Israel Yordania, sebuah gempa
vulkanis yang diikuti letusan lava. Letusan lava akan membawa batu-batuan
berhamburan. Gejala vulkanis (gunung meletus) bisa membuat sebuah
negeri menjadi apa saja; tanah merekah, lahar tertumpah, batu-batuan
berhamburan, dan sebagainya.
Allah meruntuhkan kota tersebut, lalu dijungkirbalikkan ke lautan mati.
Menurut hasil eksplorasi para ilmuwan, bekas-bekas negeri tersebut masih
ada. Demi Allah, bencana tak akan turun, kecuali manusia adalah makhluk
yang merusak alam, berbuat dosa apalagi seperti yang di ketahui, semua
dosa dan pembangkangan ada pada kaum Nabi Luth pada waktu itu bukan
cuma dosa liwath.
Akan diketahui manusia dengan multiple intelegence-nya bahwa
bencana terjadi karena dosa. Akan diketahui manusia dengan
kecerdasannya bahwa bencana tercegah karena kesalehan para hamba Nya.
Bukankah dahulu pada zaman Rasulullah pernah terjadi gempa, hingga
Rasulullah tak rela dan memegang tanah dengan tangannya yang mulia.
Beliau berkata., "Duhai bumi, berhentilah bergetar (gempa) karena di atasmu saat
ini masih ada Al-Shiddiq, orang-orang yang mengerjakan shalat dan puasa. Di
atasmu masih ada orang-orang yang baik." Maka, bumi pun berhenti bergetar.
Kota yang dihancurkan karena dosa yang sama adalah di Pompei,
sebuah kota di Prancis. Sejarah mencatat kota tersebut sebagai sarang foya-
foya dan perilaku seks yang menyimpang.
Pompei dihancurkan Allah dengan sarana letusan Gunung Ve suvius.
Sampai sekarang jejak bangsa yang bernasib tragis karena perbuatannya
sendiri ini masih ada, lengkap dengan orang-orangnya yang telah membatu.
Untuk hamba Allah yang berpikir, bekas-bekas tersebut digunakan agar
selalu ingat untuk tidak mengkhianati Allah, untuk tidak melakukan
kerusakan di bumi, untuk memakmurkan bumi ini dengan aturan yang telah
ditetapkan Pemiliknya,183 Allah ta'ala.

3.4 Pendapat Para Ulama Tentang Penafsiran Ilmiah


Sebagaimana yang dikutip dari situs Lajnah Kementerian Agama Republik
Indonesia bahwa menafsirkan A-Qur’an dengan pendekatan sains atau dikenal
dengan tafsir Ilmi sudah lama diperdebatkan oleh para ulama dari masa klasik
hingga abad modern. Hal itu disampaikan oleh Dekan Fakultas Ushuludin
Universitas Al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Abdul Fattah.

183
Harun Yahya,Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu, Desember 1999.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi,
Imam ar-Razi, dan al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya
Imam asy-Syatibi. Dari kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara
lain seperti, Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang
bersebrangan di antaranya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad.
Menurut Abdul Fattah, mereka yang mendukung seperti al-Gazali,
misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an mencakup segala ilmu pengetahuan.
Bahkan, Abdul Aziz Maqismail, ulama Islam kekinian yang berlatar belakang
sains, menyatakan, mungkin pada suatu saat nanti, orang yang mulia adalah
kalangan saintis yang berhasil mengaitkan temuan-temuan sains dengan Al-
Qur’an hingga mempertebal keimanan umat Islam. Adapun mereka yang
menentang mengatakan, teori-teori atau temuan-temuan ilmiah yang digali dari
Al-Qur’an itu relatif kebenarannya. Yang sekarang benar, bisa jadi besok salah.
Karena itu adalah hasil pemikiran manusia yang tidak bisa dipastikan
kebenarannya. Sesuatu yang bersifat nisbi tidak bisa dijadikan sandaran sebagai
hasil dari penafsiran Al-Qur’an.
Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul Fattah memilih berada di
tengah. “Saya berada di tengah, di antara dua kecenderungan pendapat yang
menolak atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak mengandung
isyarat ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya,
mengatakan Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak
benar.”
Abdul Fattah selanjutnya menyampaikan tiga syarat diterimanya
pendekatan sains dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Hasil penafsiran Al-Qur’an tidak boleh keluar dari tujuan utama
diturunkannya Al-Qur’an, yaitu sebagai kitab hidayah. Apa pun upaya
penafsiran ilmiah atau temuan i’jaz Al-Qur’an harus diarahkan kepada
hidayah.
2. Harus ada unsur yang menunjukkan keagungan Al-Qur’an. Jangan
sampai upaya membahas tafsir ilmi malah merendahkan Al-Qur’an bila
dibandingkan dengan temuan-temuan sains yang sedemikian maju.
3. Pastikan tidak ada kontradiksi antara ayat-ayat kauniyah yang menjadi
dasar pengembangan temuan ilmiah dengan Al-Qur’an dan sains.
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur’an, dan boleh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil
temuan sains dengan tiga persyaratan di atas,” tegasnya.
Pernyataan itu kemudian ia lanjutkan dengan memberi argumen
tambahan, “Dahulu Al-Qur’an dikaji oleh para ulama dalam aspek kemukjizatan
tata bahasa, satra, atau balagah-nya, hal itu menjadi tepat bagi mereka yang
berbahasa Arab. Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab akan
kesulitan merasakan kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek itu. Padahal
Rasulullah Saw diturunkan untuk semua umat manusia. Maka, pada aspek ilmu
pengetahuanlah, semua orang, baik orang Araba atau non Arab memiliki
kesempatan yang sama. untuk memahami kemukjizatan Al-Qur’an.

4. KESIMPULAN
Ilmu dibedakan menjadi tiga: ilmu keislaman, ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ilmu keislaman adalah ilmu yang berasal dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam
Al-Qur’an atau Hadis Nabi yang kemudian ditelaah dengan metode-metode
tertentu baik secara tekstual, rasional, maupun kontekstual. Ilmu pengetahuan
adalah salah satu ilmu dalam kitab suci Al-Qur’an. Kata ‘ilm disebut dalm Al-
Qur’an sebanyak 105 kali. Al-Qur’an adalah kitab induk dari segala rujuan ilmu
baik ilmu pengetahuan ataupun sains.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi,
Imam ar-Razi, dan al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya
Imam asy-Syatibi. Dari kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara
lain seperti, Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang
bersebrangan di antaranya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad.
Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul Fattah memilih berada di tengah.
“Saya berada di tengah, di antara dua kecenderungan pendapat yang menolak
atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak mengandung isyarat
ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya, mengatakan
Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak benar.”
Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur’an, dan boleh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil
temuan sains dengan tiga persyaratan di atas,” tegasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi
Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020,
1–6. http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.
Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018),
Afzalur Rahman, Ensiklopidiana Ilmu dalam Al-Qur’an, Rujukan Terlengkap Isyarat-
Isyarat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007).
Fuad Nashori, Mimpi Nurbuat, Agustus 2002
Harun Yahya, Pustaka Sains Populer Islami, Jejak Bangsa-Bangsa Terdahulu,
Desember 1999.
M.A. Husaini. “Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Fikir
dan Produktivitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif Seminar dan Lokakarya
Pra Widya Pangan dan Gizi VI”, Semarang, November 1997.
Iwan Yanuar, Surga Juga Buat Remaja, GIP, cet. ke-2 April 2004 M dan Said Hawa,
Allah, Pustaka Mantiq, cet. ke-6, Agustus 1994.
KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN

Adi Rizaldy,1 Firman Al’ Amin,2


Sari Sartika Lubis,3
1Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta

(ridwanadirizaldi@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(firman.alamin2901@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta
(sarisartika98.ss @gmail.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kisah-kisah dalam Al-Qur’an,
meliputi esensi, macam-macam, makna dan hikmah yang tergantung di
dalamnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftif kualitatif dengan
jenis penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini ialah, Qashash Al-Qur’ialah
pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat
(kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an
banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-
bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia
menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.

ABSTRACT
This study aims to find out the stories in the Qur'an, including the essence, kinds,
meanings and wisdom that depend on it. This study uses a qualitative descriptive approach
with the type of library research. The results of this study are, Qashash Al-Qur'a is the
preaching of the Qur'an about matters of the past ummah, previous prophecies (prophecy)
and events that have occurred. The Qur'an contains a lot of information about past events,
the history of nations, the state of countries and the legacy or traces of every people. He
tells all their circumstances in an interesting and charming way.

Keyword: Kisah Qisash Al-Qur’an


1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan sekaligus sebagai rahmat bagi
manusia. Didalamnya mencakup banyak hal, mulai dari ibadah, akhlak,
muamalah, hari akhir, ilmu pengetahuan, sejarah, kisah-kisah umat terdahulu
dan lain sebagainya. Adanya konten sejarah dan juga kisahkisah di dalam Al-
Qur’an tidak lantas ia disebut sebagai kitab sejarah atau kitab kisah, namun ia
masih tetap sebagai asalnya yaitu kitab petunjuk. Kisah hanyalah salah satu
dari metode Al-Qur’an untuk menyajikan petunjuknya, yaitu dengan sajian
pelajaran-pelajaran bagi para pembacanya. Puncaknya bahwa Al-Qur’an
menuntun manusia untuk mengenal tuhannya, juga agar manusia mampu
memikul tugas sebagai khalifah di muka bumi.184
Banyak suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum kausalitas akan
dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa itu
mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa
terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyingkap pesan-
pesan dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang tertanam dalam
hati. dan suatu nasehat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton,
tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya
pun tidak akan bisa dipahami.
Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang
menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan
dapat meraih apa yang dituju. Orang pun akan tidak bosan mendengarkan dan
memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang
dikandungnya.
Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni
yang khusus diantara seni-seni lainnya dalam bahasa dan kesusastraan. Tetapi
kisah-kisah nyata Al-Qur’an telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang
dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi
nilainya.

2. METODE
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada hal yang
terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau
jasa berupa kejadian atau fenomena atau gejala sosial, hal tersebut bermakna

184
Fakhrijal Ali Azhar, dkk, Kaidah dalam Memahami Kisah dalam Al-Qur’an Perspektif Mutawalli
Asysya’rawi, MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan
Humaniora, IAIN Purwokerto Edisi: Januari-Juni, Vol. 5, No. 2, 2020, h 286
dibalik kejadian yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi suatu
pengembangan konsep teori.
Jenis penelitian ini yang digunakan adalah kepustakaan. Penelitian
kepustakaan adalah suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan
informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada
diperpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah dan
sebagainya.185 Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah mencari
informasi yang sesuai dengan judul, kemudian mencari dan menemukan bahan
bacaan yang diperlukan dan mengklasifikasi bahan bacaan tersebut,
selanjutnya meriview bacaan yang sudah dibaca dan terakhir mulai menulis
penelitian ini sampai menemukan kesimpulannya.Penelitian ini bersumber
dari buku, jurnal, artikel dan skripsi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Esensi Kisah dalam Al-Qur’an
Kisah berasal dari kata al-qasshu yang berarti mencari atau mengikuti jejak.
Qashash berarti berita yang berurutan. Firman Allah “Sesungguhnya ini adalah
berita yang benar (Ali Imran: 62); “Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf: 111). Sedang al-qishshah berarti
urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat
yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa
lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik
dan mempesona.186
Sikap para ulama terhadap berbagai kisah yang disampaikan dalam Al-
Qur’an berbeda-beda. Secara garis besar sikap mereka dibagi menjadi 2 sikap,
pertama; sementara ulama memahami seluruh peristiwa atau kisah-kisah Al-
Qur’an sebagai bentuk peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di dalam dunia
ini. Maka sebagian ulama dengan pemahaman seperti ini meneliti segala fakta
sejarah yang dapat mendukung peristiwa pada kisah-kisah tertentu. Kedua;
sebagian ulama lain memahami bahwa sebagian peristiwa dalam kisah Al-Qur’an
adalah simbolik. Sorotan utama dari kisah yang simbolik adalah kandungannya.

185
Milya Sari dan Asmendri, Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA‛, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), h 43
186
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2006), h 386
Seperti contoh kisah Isa menghidupkan orang mati, kisah ini tidak dipahami
sebagai menghidupkan orang mati secara jasad, akan tetapi menghidupkan orang
yang telah mati hatinya.
Syeikh Mutawalli memandang bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya
peristiwa sejarah, melainkan bisa terjadi di setiap masa dan di setiap tempat.
Pandangan beliau ini dituangkan dalam satu kaidah, yaitu ‘apabila Al-Qur’an
tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh pada konteks kisahnya, maka
peristiwa yang serupa dapat terulang’. Pandangan ini terbilang cukup baru
karena Muatwalli as-Sya’rwai sendiri hidup di tahun 1911 sampai 1998. Hal ini
menunjukkan bahwa kaidah tafsir tidak bisa dianggap final setelah dikarangnya
beberapa kitab kaidah tafsir oleh para ulama klasik, namun bisa saja ditemukan
suatu kaidah-kaidah baru yang dianggap layak untuk memahami Al-Qur’an.187

3.2 Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur’an


Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an itu bermacam-macam, ada yang
menceritakan tentang Nabi-nabi dan Umat-umat terdahulu, ada yang
mengisahkan berbagai macam peristiwa yang terjadi di masa lalu, dan ada juga
hikayat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah. Ada beberapa hal pokok yang secara garis besar menjelaskan tentang
variasi isi kisah dalam al-Qur'an yang kemudian diklasifikasi, yaitu:
1. Tinjauan dari segi waktu
a. Kisah hal-hal ghaib pada masa lalu (Al-Qashashul Ghuyub Al-Madhiyah).
Al-Qur'an mengisahkan sekian banyak peristiwa masa lampau.
Seperti Kisah para Nabi terdahulu, yang menyangkut ajakan para Nabi
kepada kaumnya; mukjizat-mukjizat dari Allah yang memperkuat dakwah
mereka, sikap orang-orang yang memusuhinya, serta tahapantahapan
dakwah, perkembangannya, dan akibat yang menimpa orang beriman dan
orang yang mendustakan para Nabi. Contohnya: kisah Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi serta rasul-
rasul lainnya. Kisah kaum Ad dan Tsamud serta kehancuran kota Iran,
cerita Fir’aun, dan lain-lain sebagai kelompok yang menentang dakwah
para Nabi dan Rasul.
Ada juga Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu
dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya, seperti kisah orang-
orang yang keluar dari kampung halamannya, Thalut dan Jalut, anakanak
Adam, penghuni gua, Dzulkarnain, Qarun, Ashab As-Sabti (para

187
Fakhrijal Ali Azhar, Op.Cit, h 287
pelanggar ketentuan hari sabtu), Ashab Al-Fiil (Pasukan Abrahah yang
berkendaraan gajah ketika menyerang Ka’bah), dan lain sebagainya.188
b. Kisah hal-hal ghaib pada masa kini (Al-Qashashul Ghuyub Al-Hadhirah).
Kisah ini menerangkan tentang hal-hal ghaib pada masa sekarang
(meski sudah ada sejak zaman dahulu dan akan tetap ada pada masa yang
akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.
Misalnya cerita tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, para Malaikat, Jin,
Syetan, siksa neraka, kenikmatan surga dan berita hari kiamat dan lain-lain.
hal ini seperti yang diterangkan dalam surat al-Qori’ah ayat 1-6: Artinya:
“Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat
itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,dan
gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihamburhamburkan. Dan
adapun orang-orang yang berat timbangan(kebaikan)nya, Maka dia berada
dalam kehidupan yang memuaskan”.189
c. Kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang (Al-Qashashul Ghuyub Al-
Mustaqbilah).
Dalam al-Qur'an menerangkan tentang suatu peristiwa akan datang
yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur'an, akan tetapi peristiwa
tersebut betul- betul terjadi. Misalnya cerita tentang kemenangan Romawi
setelah kekalahannya, jaminan Allah terhadap keselamatan Nabi
Muhammad Saw dari penganiayaan orang kafir, hal ini terdapat di dalam
surah al-Maidah ayat 67: Artinya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jika tidak kamu kerjakan,
berarti kamu tidak melaksanakan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu
dari (penganiayaan) mereka”. Pada model kisah ini, dikatakan ghaib pada
masa yang akan datang karena pada mulanya cerita ini suatu informasi
yang sebenarnya tidak terdapat argumentasi atau alasan rasional yang
mengirinya akan tetapi benar-benar terjadi setelah al-Qur'an menyatakan
cerita ini.190

2. Ditinjau dari segi materi


Selain dapat dilihat dari segi pemaparan secara periodik, kisah al-Qur'an
juga dapat dilihat dari materi yang dipaparkan. Pertama, kisah para Nabi
yang berisi tentang dakwah, mu’jizat, sikap musuhnya. Kisah Nabi-nabi
(qashashul anbiya). Al-Qur’an mengandung cerita tentang dakwah para Nabi
dan mukjizat-mukjizat para Rasul dan sikap umat-umat yang menentang,

188
Manna’ Al-Qaththan, Op.Cit, h 436
189
Ibid, h 436
190
Ibid,h 437
serta marhalah-marhalah dakwah dan perkembangan-perkembangannya, di
samping menerangkan akibat-akibat yang dihadapi para mukmin dan
golongan-golongan yang mendustakan, seperti kisah Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw., dan lain-lain.
Kedua, kisah orang-orang tertentu sebagai pelajaran bagi manusia,
contoh: Lukman Hakim, Qorun, Ashabul Kahfi dan sebagainya. Ada juga
kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan
orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, seperti kisah orang-
orang yang pergi dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya
karena takut mati dan seperti kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam,
Ashabul Kahfi, Zulkarnain, Qarun, dan Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul
Ukhdud, Ashabul Fill dan lain-lain.
Ketiga adalah peristiwa-peristiwa, misalnya terjadinya perang Badar,
perang Uhud, Isra’ Mi’raj, hijrah dan lain sebagainya. Kisah yang berpautan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasul SAW, seperti:
peperangan Badar dan Uhud yang diterangkan dalam surat Ali Imran,
peperangan Hunain dan Tabuk yang diterangkan di dalam surat At-Taubah,
peperangan Ahzab yang diterangkan dalam surat Al-Ahzab dan hijrah serta
Isra’ Mi’raj dan lain-lain.191
Mengingat variasi kisah yang terdapat dalam al-Qur'an, ada
mengelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Qisshah Tarikhiyah, yaitu kisah tentang seputar tokoh sejarah.
2) Qisshah Tansiliyah, yaitu kisah yang memaparkan peristiwa dengan tujuan
untuk menerangkan suatu pengertian, sehingga kisah ini tidak perlu benar-
benar terjadi.
3) Qisshah al-Asatir, yaitu kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi
dimasa lampau.192
Dari semua penjelasan tentang kisah yang ditinjau dari segi materinya,
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, bahan atau materi pokok yang
disajikan suatu cerita dalam al-Qur'an melalui beberapa unsur, yaitu tokoh
yang terdiri dari manusia, makhluk luas dan binatang. Kedua, adalah
peristiwa. Dan ketiga adalah dialog.

3. Ditinjau dari panjang pendeknya


Kisah-kisah Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:

191
Ibid, h 437
192
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, Seni Sastra dan Moralitas dalam
Kisah-kisah al-Quran, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), 207
a. Kisah Panjang, Contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf yang
hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf, sejak
masa kanak-kanaknya sampai dewasa dan memiliki kekuasaan. Contoh
lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash, kisah Nabi Nuh
dan kaumnya dalam surat Nuh dan lain-lain.
b. Kisah yang Lebih Pendek dari bagian pertama tadi, seperti kisah Maryam
dalam surat Maryam, kisah Ashab Al-Kahfi pada surat Al-Kahfi, kisah
Nabi Adam dalam surat Al-Baqarah, dan surat Thaha, yang terdiri atas
sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
c. Kisah Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat,
misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf, kisah Nabi
Shalih dalam surat Hud, dan lain-lain.193

3.3 Makna Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an


Kisah-kisah dalam Al-Qur’anul Karim banyak mengandung manfaat.
Berikut ini beberapa faedah, diantaranya:
1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menerangkan pokok-pokok
syari’at yang dibawa oleh para Nabi, Artinya: “Dan kami tidak mengutus
seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya,
bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
2. Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah,
memperkuat keyakinan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan
para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
Artinya: “Dan semua kisah Rasul-rasul yang kami ceritakan kepadamu,
adalah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat
ini telah datang kepadamu kebenaran dan pengajaran serta peringatan bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120)
3. Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap
mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4. Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang
diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu, sepanjang kurun
dan generasi.
5. Membuka tabir kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan
keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang mereka
dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti. Kisah
termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para

193
Abdul Jalal, Ulum Al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 301.
pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke
dalam jiwa.
6. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an, menunjukkan kebenaran Al-
Qur’an dan kisahkisahnya, karena segala apa yang dijelaskan Allah dalam Al-
Qur’an adalah benar.
7. Menanamkan pendidikan akhlaqul-karimah, karena kisah-kisah teladan
dapat meresap dalam hati nurani, mendidik kita supaya meneladani kisah-
kisah yang baik dan tidak mencontohi sikap yang buruk yang diperagakan
oleh orang-orang kafir, munafik dan musyrik dalam kisah-kisah tersebut.

3.4 Hikmah dari Kisah-Kisah yang Diceritakan dalam Al-Qur’an

Di antara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian kisah-kisah dalam al-

Qur'an seperti yang disebutkan oleh Ahmad Syadali dalam bukunya antara lain

sebagai berikut:

1. Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama menerangkan pokok

pokok syari'at yang diajarkan oleh para Allah dan Nabi.

2. Meneguhkan Hati Rasulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama

Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mukmin tentang

datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang sesat.

3. Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan

keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka

tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti .194

Adapun beberapa tokoh lain yang menyebutkan hikmah kisah di dalam Al-

Qur’an sebagai berikut:195

a. Pertama, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

194
Iffatul Ikhwan, Ulumul Qur’an, ( Tulungagung: 2014). h.9
195 https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-al-quran.html
‫ص لَ َعلم ُه ْم يَتَ َف مك ُرو َن‬
َ ‫ص‬ ِ ‫ص‬
َ ‫ص الْ َق‬ ُ ْ‫فَاق‬

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al

A’raf: 176)

b. Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana

firman Allah

ْ ِ‫ت بِِه فُ َؤ َاد َك َو َجاءَ َك ِِف َه ِذه‬


‫اْلَ ُّق َوَم ْو ِعظَةٌ َوِذ ْكَرى‬ ُّ ‫ك ِم ْن أَنْبَ ِاء‬
ُ ِ‫الر ُس ِل َما نُثَب‬ ُّ ‫َوُك ًَّل نَ ُق‬
َ ‫ص َعلَْي‬

‫ني‬ِِ ِ
َ ‫ل ْل ُم ْؤمن‬

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah

yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang

kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang

beriman” (QS. Huud: 120)

Peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa

banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah

para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut

menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

c. Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang

berfikir.

ِ ‫ُوِل ْاْلَلْب‬ ِ ِ ِ َ‫لََق ْد َكا َن ِِف ق‬


‫اب‬َ ِ ‫صص ِه ْم ع ْ َِبةٌ ْل‬
َ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111)

d. Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya.

Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu

diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat

terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat

ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

e. Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai

macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan

hikmah yang telah ditetapkanNya.

f. Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya

para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat

terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar

kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para

Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah

RasulNya:

‫يما‬ِ ‫ك َوَكلم َم م‬ ِ َ ‫ورس ًَل قَ ْد قَصصنَاهم علَي‬


ً ‫وسى تَكْل‬
َ ‫اَّللُ ُم‬ َ ‫ص ُه ْم َعلَْي‬
ْ‫ص‬ُ ‫ك م ْن قَ ْب ُل َوُر ُس ًَل ََلْ نَ ْق‬ ْ َ ُْ ْ َ ُ َُ
‫ين‬ ِ
َ ‫ُر ُس ًَل ُمبَش ِر‬ ‫اَّللُ َع ِز ًيزا‬ ُّ ‫اَّللِ ُح مجةٌ بَ ْع َد‬
‫الر ُس ِل َوَكا َن م‬ ِ ‫ين لِئَ مَل يَ ُكو َن لِلن‬
‫ماس َعلَى م‬ ِِ
َ ‫َوُمْنذر‬
‫يما‬ ِ
ً ‫َحك‬

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami

kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami

kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa

dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah

Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa: 164-165).

g. Menguatkan keimanan dan keyakinan terhadap aqidah Islam serta

mengobarkan semangat berkorban baik jiwa maupun raga di jalan Allah

Maksud disampaikannya kisah tersebut terutama adalah untuk

menempa jiwa agar istiqomah di jalan dakwah dengan menjauhi aneka

perilaku buruk yang pernah dilakukan oleh kaum para nabi terdahulu. Di

antara perilaku buruk yang ditunjukkan Al-Qur’an antara lain:196

1) Perilaku-perilaku moral yang menyimpang yang pernah dilakukan oleh

kaum para nabi terdahulu di antaranya kaum Luth yang berlaku amoral

juga kaum Syu’aib yang melakukan kecurangan dalam transaksi ekonomi.

2) Iblis dan syetan sebagai musuh utama yang harus dijauhi. Kisah tentang

permusuhan Iblis dan Adam yang disebut dalam beberapa surat dapat

menjelaskan poin ini. Di antaranya adalah dalam surah Thaha/20: 118-120,

demikian juga dalam surah al-A’raf/7: 11-27. Dari apa yang dipaparkan Al-

Qur’an tentang kisah permusuhan Iblis dengan Adam dapat ditarik

kesimpulan bahwa setiap larangan yang diturunkan oleh Allah Swt.

3) Sifat lain yang harus dijauhi manusia adalah sifat sombong. Kisah yang

tepat untuk menjelaskan tentang hal ini adalah kisah Fir’aun. Apabila

seseorang ingin mengetahui bagaimana kesudahan orang berperilaku

sombong maka dapat membaca dengan seksama bagaimana kisah Fir’aun

ketika berhadapan dengan dakwah Nabi Musa, as. Kisah ini diulang di

196 Muhammad Ahmad Khalafullah, Al-Fann al-Qashash fil Qur’an al-Karim¸ 2010. h. 48
beberapa surah di antaranya adalah dalam surah Yunus/10: 75-92 surah al-

A’raf/7: 103-136 dan lain-lain.

4. KESIMPULAN
Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat
yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa
lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik
dan mempesona.
Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an itu bermacam-macam, ada yang
menceritakan tentang Nabi-nabi dan Umat-umat terdahulu, ada yang
mengisahkan berbagai macam peristiwa yang terjadi di masa lalu, dan ada juga
hikayat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah.
Kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan bisa
terjadi di setiap masa dan di setiap tempat. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an memiliki
berbagai hikmah yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Fakhrijal Ali Azhar, dkk. Kaidah dalam Memahami Kisah dalam Al-Qur’an
Perspektif Mutawalli Asysya’rawi. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto
Edisi: Januari-Juni. Vol. 5, No. 2, 2020.
Milya Sari dan Asmendri. Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam
Penelitian Pendidikan IPA. Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan
IPA 6, no 01, (2020).
Manna’ Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Mudzakir AS (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa. 2006
Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, Seni Sastra dan Moralitas
dalam Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta Selatan: Paramadina, 2002
Abdul Jalal, Ulum Al-Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Iffatul Ikhwan. Ulumul Qur’an. Tulungagung: 2014.
https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-Al-Qur’an.html.
AMTSAL AL-QUR’AN

Ahmad Mubarak1, Silmi Yassifi Maspupah2, Fuad Al Ansori3.


1Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Instutut PTIQ Jakarta

(amakjr21@gmail.com)
2
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Instutut PTIQ Jakarta
(silmiyassifim@gmail.com)
3
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Instutut PTIQ Jakarta
(alansorifuad14@gmail.com)

ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan kalam Ilahi yang memiliki banyak keindahan di dalamnya,
baik makna maupun bahasa. Salah satu keindahan bahasanya yaitu dari sisi
kandungan metaforanya atau disebut amtsal. Amtsal adalah suatu ibarat sebuah
ungkapan tentang sesuatu yang menyamai ungkapan lain karena adanya
kesamaan. Oleh sebab ini peneliti bertujuan untuk mendesripsikan macam-
macam Amtsal dalam Al-Qur’an, serta bagaimana urgensi adanya Amtsal dalam
Al-Qur’an. Melalui metode deskriptif dan penelitian kepustakaan, dapat
diketahui bahwa terdapat beberapa macam dalam amtsal diantaranya al-amtsal
al-musharahah, al-amtsal al-kaminah, dan amtsal mursalah. Sedangkan urgensi
adanya amtsal dalam Al-Qur’an diantaranya adalah matsal mendekatkan
gambaran mumatsalah, amtsal berfungsi sebagai suatu ajakan agar berfkir logis,
sebuah dorongan agar senantiasa berbuat baik, memberikan dorongan dan sikap
gemar melakukan kebaikan, digunakan untuk memuji atau untuk mencela
sesuatu perbuatan, kemudian amtsal digunakan untuk mempertajam daya nalar
manusia.

ABSTRACT
Al-Qur’an is a divine word that has a lot of beauty in it, both meaning and
language. One of the beauty of the language is in terms of metaphorical content or
called amtsal. Amtsal is like an expression of something that matches other
expressions because of similarities. For this reason, the researcher aims to describe
the types of Amtsal in the Quran, as well as the urgency of Amtsal in the Quran.
Through descriptive methods and library research, it can be seen that there are
several types in amtsal including alamtsal al-musharahah, al-amtsal al-kaminah,
and amtsal mursalah. While the urgency of amtsal in the quran includes the matsal
drawing the image of the mumatsalah, amtsal serves as an invitation to be logical,
an impulse to always do good, give encouragement and an attitude of love to do
good, used to praise or to denounce something, then amtsal used to sharpen the
power of human reasoning.

Keyword: Amtsal, Al-Qur’an, Macam.

1. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT (kalamullah) yang diwahyukan
kepada nabi Muhammad SAW melalui ruhul Amin, malaikat Jibril untuk
dijadikan pedoman hidup (way of life) bagi makhluknya di setiap ruang dan
waktu197. Al Qur’an QS. Al Baqarah:85 dan QS. al Isra’:9, juga secara eksplisit
berfungsi sebagai Hudan li al Nas yang akan mengantarkan dan mengarahkan
manusia ke jalan yang lurus. Dengan demikian, dalam memahami al Qur’an
sangatlah dibutuhkan ilmu tersendiri, yang dikenal dengan ulumul Qur’an.
Dimana dalam ilmu ini salah satu disiplinnya adalah ilmu amtsalul Qur’an. Atas
dasar hal tersebut penulis bermaksud mengeksplor amtsal al Qur’an untuk dari
segi macam-macam dan fungsinya dalam rangka lebih memperdalam upaya
pemahaman al Qur’an.

Sebagai kitab suci yang berlaku untuk semua zaman dan tempat, dan agar
tidak kehilangan universalitasnya, sehingga mampu berbicara dan memberikan
solusi dalam menjawab pelbagai problem kehidupan manusia, maka Al Qur’an
melalui tafsirnya perlu ditampilkan sebagai petunjuk yang selalu dirasakan
aktual, segar, dan up to date. Al Qur’an sendiri memberikan peluang yang
sebesar-besarnya kepada para mufassir198. Al Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesanya kepada manusia menggunakan uslub yang beraneka ragam. Hal
ini dimaksudkan agar petunjuk dan bimbingannya dapat dengan mudah diterima
dan merasuk ke dalam lubuk hati sanubari manusia. Di antara keunikan Al-
Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan kehidupan ialah model penyampaian
pesan yang singkat, mudah, dan jelas untuk difahami. Dan salah satu metode
tersebut adalah melalui ungkapan matsal (perumpamaan).

197
N Makrifah,” Pergeseran Unit dan Proses Penerjemahan dalam Buku Hadith and Hadith
Sciences”, Jurnal Al-Ibrah 5 (2020): 78-79.
198
F Faliyandra, “Model Komunikasi Pendidikan di Sosial Media Pada Era Perkembangan
Teknologi”, Islam Universalia 1, no. 3 (2020): 434-459
Amtsal sebagai salah satu gaya bahasa al Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesannya, menggugah manusia agar selalu menggunakan akal fikiranya
secara jernih dan tepat. Berdasarkan hal tersebut, diantara para ulama banyak
yang berusaha memfokuskan perhatianya untuk mengkaji gaya bahasa dan
redaksial Qur’an dalam bentuk amtsal tersebut serta mencari rahasia dibalik
ungkapan itu. Amtsal dalam al Qur’an merupakan visualisasi yang abstrak yang
dituangkan dalam berbagai ragam kalimat dengan cara menganalogikan sesuatu
dengan hal yang serupa dan sebanding, maka untuk dapat memahaminya secara
baik dan benar memerlukan pemikiran yang cermat dan mendalam serta harus
ditopang dengan penguasaan stilistik (ilmu Balaghah). Nilai sastra yang tertuang
di dalam untaian bahasa Al-Qur’an yang berupa amtsal adalah merupakan salah
satu kemukjizatan dari sekian banyak segi kemukjizatan al Qur’an. Oleh karena
itu nilai kegunaan sastra Al-Qur’an tidak dapat ditandingi oleh siapa pun dan
kapan pun juga, karena memang al Qur’an bukan produk insani199.

Pada dasarnya membuat perumpamaan-perumpamaan berupa ungkapan-


ungkapan singkat dan padat dalam memberikan wejangan nasihat sebagai hasil
perenungan yang cermat adalah merupakan tradisi orang-orang Arab pra-Islam.
Dari hasil kajian dan penelitian para ulama terhadap amtsal al Qur’an tersebut
telah melahirkan suatu disiplin ilmu yang disebut dengan Ilmu Amtsal Al Qur’an,
yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al Qur’an.200 Tulisan ini akan mencoba
mengupas persoalan-persoalan yang perlu dijawab yang berkaitan dengan obyek
bahasan tersebut yaitu: pengertian amtsal al Qur’an dan macam-macamnya; serta
urgensi amtsal al Qur’an.

2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.201 Penelitian
kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data
berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku

199
S Khalil, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar l Ilmi Li al Milayin, 1972), 313.
200
M Ali, “Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an”, Tarbawiyah 10, (2013): 21-31.
201
Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,”
Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.
manusia yang dapat diamati.202 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan
studi kepustakaan. Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg
menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang
diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian
dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.203 Studi kepustakaan
dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik
sebuah kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Amtsal Al-Qur’an

Kata amtsal merupakan bentuk jamak dari kata matsal. Kata matsal, matsil,
mitsl, adalah sama dengan syabah, syibh, syabih, baik lafadz maupun
maknanya.204 Secara etimologis mempunyai arti contoh atau bandingan. Maka
apabila membandingkan sesuatu dengan yang lain baik dari segi rupa, warna,
rasa dan lain-lain maka itu merupakan matsal. Al-Zamakhsyary dalam Tafsir al
Kasysyaf mengisyaratkan, setidaknya ada dua makna dari kata matsal tersebut,
yaitu : Pertama; matsal pada dasarnya dapat berarti al mitsal dan al-nadhir yang
berarti serupa atau sebanding/pasangan. Kedua; matsal termasuk isti’arah yakni
kata pinjaman yang berguna untuk menunjuk kepada keadaan sesuatu, sifat dan
kisah, jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.205

Al-Asfihani dalam kitabnya Al-Mufradat fi Gharib al-Our'an halaman 462,


memberikan pengertian matsal sebagai berikut: "Matsal adalah suatu ibarat
sebuah ungkapan tentang sesuatu yang menyamai ungkapan lain karena adnya
kesamaan". Dalam sastra arab ditemukan pengertian matsal sebagai berikut:
"Sebuah ungkapan perumpamaan yang populer yang bertujuan untuk
menyamakan keadaan yang diungkapkan dengan keadaan yang mengiringinya".
matsal adalah sebuah ungkapan yang memberikan pengertian baru yang

202
L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
203
Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.
204
Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, cet ke-14
2016), 401.
205
M Nueryadien, “Metode Amtsal: Metode Al-Qur’an Membangun Karakter,” Jurnal Al-Tarbawi
Al-haditsah, 1, no. 1 (2017): 4.
berlainan dengan pengertian ungkapan itu menurut pemakaian asalya. Atau
dengan perkataan lain ungkapan itu tidak cukup dipahami secara tekstual, tetapi
harus mengartikannya sesuai dengan keadaan yang mengiringi ungkapan
tersebut.206

Definisi amtsal Al-Qur’an menurut Ibnu al-Qoyyim yaitu menyerupakan


sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan
sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan sesuatu hal yang inderawi (mahsus), atau
mendekatkan dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya
itu sebagai yang lain.207 Al-Rahman Husein dalam bukunya Amtsal al-Qur'aniyah,
sebagai berikut: "Mensifati sesuatu dengan perkataan perumpamaan, dengan
memperhatikan bahwa sifat-sifat yang disebutkan bagi sesuatu sebagai simbol
baginya, (juga berupa) misal dari segi sifat dengan petunjuk-petunjuk
perumpamaan ".

Abu Sulaiman mendefinisikan bahwa matsal itu adalah menyamakan


keadaan sesuatu dengan keadaan sesuatu yang lain, ungkapannya, bisa berupa
isti'aroh, tasybih yang sharih, atau ayat-ayat yang singkat dengan makna yang
dalam (i'jaz). Meskipun demikian harus dipahani bahwa tidak setiap matsal itu
harus mengandung salah satu dari tiga kriteria yang dikemukakan di atas, karena
dalam perkembangannya ditemukan bahwa ada ayat- ayat al-Qur'an itu
disebabkan suatu keadaan yang dijadikan masyarakat sebagai matsal. Di sisi lain
tidak setiap kata atau kalimat yang diawali dengan kata matsal itu langsung
menjadi matsal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, kiranya dapat dipahami
bahwa amtsal al-Qur'an muncul dalam bentuk singkat, padat, memikat dan sarat
makna, karena ia sama dengan ungkapan pribahasa dalam bahasa Indonesia.

Al-Qur'an ternyata adakalanya menampilkan dirinya melalui kata- kata


atau ungkapan-ungkapan pribahasa yang tidak mungkin dapat dipahami oleh
setiap orang melainkan hanya kalangan tertentu saja dan melalui pemikiran yang
mendalam. Oleh karenanya, Allah telah mengambarkan dalam surat al- Ankabut,

206
M Sayuti Ali, “Amtsal Al-Qur’an,” Jurnal Al-Qalam 11 (1996): 2.
207
M Ali, “Fungsi Perumpamaan Dalam AL-Qur’an,” Jurnal Tarbawiyah 10 (2013): 24.
ayat 43; bahwa “Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. Ayat ini
menggambarkan betapa sulitnya mengidentifikasi sekaligus memahami amtsal
yang ada dalam al-Qur'an.

Di sisi Iain, al-Qur'an sebagai wahyu Allah senantiasa beradaptasi dengan


masyarakat Arab Jahiliyah baik dari segi kultur maupun gaya bahasa yang
mereka gunakan. Masyarakat Jahiliyah semasa turun al-Qur'an sangat
mengagungkan amtsal / pribahasa, karena ungkapan katanya sedikit, tapi
mengandung cakupan yang luas. Maka suatu hal yang wajar bila al-Qur'an juga
menggunakan amtsal dalam berbagai ungkapannya.208

Orang yang pertama kali mengarang ilmu Amtsalil Qur’an adalah syekh
Abdur Rohman Muhammad bin Husain an Naisaburi (wafat 604 H) dan
dilanjutkan oleh imam Abdul Hasan Ali bin Muhammad al Mawardi (wafat 450
H). Kemudian dilanjutkan Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Bashrin Ibnul
Qayyim al–Jauziyyah (wafat 754 H). Imam Jalaluddin As- Syuyuthi (wafat 991 H)
dalam bukunya al-Itqan juga menyediakan satu bab khusus yang membicarakan
Ilmu Amtsalil Qur’an dengan lima pasal didalamnya.209

3.2 Macam-Macam Amtsal Al-Qur’an

Adapun mengenai macam-macam amtsal dalam Al-Qur'an, para ulama


berbeda pendapat. Salah satunya menurut Manna' al Qaththan dan Muhammad
Bakar Ismail membagi amtsal menjadi tiga macam, yaitu al Musharrahah atau al
Qiyasiah, al kaminah dan al Mursalah.210

1. Amtsal Musharrahah
Amtsal musharrahah atau dzahirah adalah amtsal yang di dalamnya
dengan tegas menggunakan lafadz-lafadz amisal atau tasybih. Amtsal jenis

208
M Sayuti Ali, “Amtsal Al-Qur’an,” Jurnal Al-Qalam 11 (1996): 1.
209
A Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu 2000), 314.
210
Lalu Muhammad Nurul Wathoni, Kajian Al-Qur’an Dalam Teks dan Konteks, (Mataram: Sanabil
Publisher, 2021) hal.187.
ini paling banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Seperti yang terdapat pada
(QS. Al-Baqarah ayat 17-20):
﴾۱۷﴿‫ ذهب هللا بنورهم وتركهم في ظلمت ل يبصرون‬,‫مثلهم كمثل الذي أستوقد نارا فلما أضاءت ما حوله‬
‫﴾ أو گصيب من السماء فيه ظلمت ورعد وبرق يجعلون أصبعهم في‬۱۸﴿ ‫صم بكم على فهم ل يرجعون‬
‫﴾ يكاد البرق يخطفأبصرهم كلما أضاء لهم مشوا‬۱۹﴿‫ءاذانهم من الصواعق حذر الموت وهللا محيط بالكفرين‬
‫فيه وإذا أظلم عليهم قاموا ولو شاء هللا‬
﴾۲۰﴿‫لذهب بسمعهم وأبصرهم إن هللا على كل شيء قدي‬

"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka


setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar) atau seperti (orang orang yang ditimpa) hujan lebat
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat
telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir. sebab
takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-
hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu
menyinari mereka. mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap
menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya
Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu." (QS. AlBaqarah/2:17-20)

Dalam ayat tersebut. Allah memberikan perumpamaan terhadap orang


munafik dengan dua perumpamaan, yaitu dengan api yang menyala dan
dengan air yang di dalamnya ada unsur kehidupan. Begitu pula Al-Qur'an
diturunkan, pertama untuk menyinari hati dan keduanya untuk upkannya.
Allah menyebutkan orang munafik juga di dalam mereka diumpamakan
menghidupkan api untuk menyinari hal. dan memanfaatkannya agar
dapat berjalan dengan sinar api tadi. Tetapi sayang mereka tidak bisa
memanfaatkan api itu, karena Allah telah menghilangkan cahayanya.
sehingga masih tinggal panasnya saja yang akan membakar badan mereka.
sebagaimana mereka tidak menghiraukan seruan Al-Qur'an, dan hanya
pura-pura membacanya saja.
Begitu pula dalam perumpamaan kedua, mereka diserupakan dengan air
hujan yang turun dari langit, disertai dengan kegelapan petir dan kilat
sehingga mereka menutup telinga dan memejamkan mata karena takut
mati disambar petir. Hal inipun relevan dengan keadaan mereka yang
mengabaikan Al-Qur'an dan tidak menjalankan perintah-perintahNya
yang mestinya bisa menyelamatkan, tetapi karena tidak diindahkan maka
justru membahayakan mereka. Selain itu, juga ditemukan dua model
penggunaan amstal musarrahah, yaitu:
a. Mengumpamakan sesuatu hal yang abstrak dengan sesuatu yang
lebih konkret. Contohnya: dalam QS. Al-Jumuah ayat 5 yang
berbunyi:
‫مثل الذين محلوا الثورية ُث َل حيملوها كمثل اْلمار حيمل أسفاراً بئس‬

﴾۵﴿‫مثل القوم الذين كذبوا ِبيت هللا وهللا ال يهدي القوم الظاملني‬

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,


kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan
kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. Al-Jumuah/62:5)
Diumpamakan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat.
kemudian mereka membacanya tetapi tidak mengamalkan isinya dan
tidak membenarkan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Bagaikan
binatang himar (keledai) yang membawa kitab-kitab tebal, yang berarti
kemuhadziran dalam pekerjaannya. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas dan merangsang perasaan
bahwa kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada kaum Yahudi tidak
bermanfaat sedikitpun jika tidak diamalkan, dan tidak membenarkan
terhadap kandungan isinya. Perumpamaan ini ditujukan kepada kaum
Muslimin agar membenarkan Al-Qur'an dan melaksanakan isinya agar
jangan menyerupai orang Yahudi yang tidak menerima isi Taurat dan
tidak mengamalkannya."
b. Membandingkan dua perumpamaan antara hal yang abstrak
dengan dua perumpamaan antara hal yang abstrak dengan dua hal
yang lebih konkrit. Contohnya QS. Ibrahim ayat 24-27 yang
berbunyi:
‫ألم تر كيف ضرب هللا مثال كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها ثابت بإذن ربها ويضرب هللا حين وفرعها‬
‫﴾ ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة من‬۲۵﴿‫﴾ تؤتي أكلها كل اْلمثال للناس لعلهم يتذكرون‬۲۴﴿ ‫في السماء‬
‫﴾ و يثبت هللا الذين ءامنوابالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي اآلخرة‬۲٦﴿‫فوق اْلرض ما لها من قرار‬
﴾۲۷﴿‫ويضل هللا الظالمين ويفعل هللا ما يشاء‬
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang
Dia kehendaki." (QS. Ibrahim/14:24-27)
Allah mengumpamakan "kalimah thayyibah" dengan pohon yang
baik. Pohon itu akarnya kokoh dan dahannya menjulang tinggi serta
berbuah pada setiap musim. Kalimah thayyibah (ucapan yang baik)
itu dibandingkan agar nyata perbedannya dengan kalimah
khabitsah" (ucapan yang buruk/tidak berguna) yang seperti pohon
buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari tanah sehingga
tidak dapat tegak lagi walaupun sedikit.211
2. Amtsal Kaminah
Amtsal kaminah adalah amtsal yang di dalamnya tidak disebutkan
dengan jelas lafadz tamsil (perumpamaan), tetapi ia menunjukkan makna
yang indah. menarik dalam redaksinya yang padat.
Jadi, sebenarnya Al-Qur'an sendiri tidak menjelaskan sebagai
bentuk perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi
kandungannya menunjukkan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya
amisal kaminah ini ialah merupakan matsal (perumpamaan) maknawi

211
Farida Ani Wahyuni, Amtsal Fil Qur’an, (Tulung Agung: 2017) hal. 5-6.
yang tersebunyi, bukan amtsal lafdhi yang nampak jelas. Contoh amtsal
kaminah ini dapat dilihat dalam bentuk-bentuk berikut:
a. Seorang ulama mengatakan bahwa orang Arab tidak mengucapkan
suatu perumpamaan, kecuali karena ada persamaannya di dalam Al-
Qur'an. Ayat-ayat yang senada dengan perkataan, (sebaik-baik urusan
adalah yang sedang-sedang saja). Seperti dalam firman Allah,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 68 tentang sapi betina:

..‫إهنا بقرة ال فارض وال بكر عوان بني ذلك‬...

"...bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak
muda; pertengahan antara itu..." (QS. Al-Baqarah/2:68)
2) QS. Al-Furqan ayat 67 tentang nafkah:

‫والذين إذا أنفقوا َل يشرفوا وَل يقرتوا وكان بني ذلك قواما‬

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka


tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi di tengah-tengah
antara yang demikian."(QS. Al-Furqan/25:67)
3) QS. Al-Isra' ayat 29 tentang infaq:

‫وال َتعل يدك مغلولة إَل عنقك وال تبسطها كل البسط فتقعد ملوما حمسورا‬

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu


dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal."(QS.Al-Isra'/17:29)
4) QS. Al-Isra' ayat 110 tentang shalat:

...‫سبيَل‬ ‫وال َتهر بصَلتك وال َتافت َبا وابتغ بني ذلك‬

"...dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu


dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu.” (Q.S. Al-Isra’/17:110)
Berdasarkan beberapa ayat di atas, ungkapan "tidak tua , dan tidak
muda", "tidak berlebihan" dan "tidak boros", "tidak kikir" dan "tidak
terlalu boros", "mengeraskan suara" dan "merendahkannya", menurut
sebagian ulama dipandang sebagai amtsal kaminah, karena sesuai
dengan sebuah ungkapan sebaik-baik perkara itu yang pertengahan.
b. Jika ada ungkapan: "kamu akan ditagih sebagaimana kamu
meminjam". Ungkapan semacam ini didapatkan pula amtsalnya dalam
Al-Qur'an pada ayat- ayat berikut:
1) QS. An-Nisa ayat 123:

‫من يعمل سوءا جيز به وال جيد له من دون هللا وليا وال نصْيا‬...

“...Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi


pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung
dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah." (QS. An-
Nisa'/4:123)
2) QS. Al-Isra' ayat 63:

‫فإن جهنم جزاؤكم جزاء موفورا‬...

“...Maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua,


sebagai suatu pembalasan yang cukup." (QS. Al-Isra'/17:63)
3) QS. An-Najm ayat 41:

‫ُث جيزلة اِلزاء اْلوَّف‬

"Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang


paling sempurna." (QS. An-Najm/53:41)
c. Demikian halnya dengan ungkapan: "orang mukmin itu tidak boleh
terperosok ke dalam satu lubang sampai dua kali juga terdapat
amisalnya dalam Al-Qur'an, yaitu dalam QS. Yusuf ayat 64:
‫قال هل ءامنكم عليه إال كما أمنتكم على أخيه من قبل فاهلل خْي حفظاً وهو أرحم الرمحني‬

"Berkata Ya'qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannyà


(Bunyamin). kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan
saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?". Maka Allah adalah
sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyanyang diantara para
penyanyang." (QS. Yusuf/12:64).

3. Amtsal Mursalah (perumpamaan yang terbebas)


Amtsal Mursalah yaitu amtsal dengan jumlah-jumlah yang disebut
secara terlepas tanpa ditegaskan lafadz tasybih, akan tetapi dapat
digunakan untuk tasybih.
Khusus mengenai amtsal mursalah, para ulama berbeda pendapat
dalam menanggapinya, yaitu: (a) Sebagian ulama menganggap amtsal
mursalah telah keluar dari etika al Qur'an Ar Rozi berkomentar bahwa ada
sebagian orang yang menjadikan ayat lakum dinukum waliyadin sebagai
perumpamaan ketika mereka lalai dan tidak mau mentaati perintah Allah
Ar Rozi lebi jauh menyatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan
sebab Allah tidak menurunkan ayat ini untuk dijadikan perumpamaan,
tetapi untuk diteliti, direnungkan dan kemudian diamalkan (b) Sebagian
ulama lain beranggapan bahwa mempergunakan amtsal mursalah itu
boleh karena amtsal termasuk amtsal mursalah lebih berkesan dan dapat
mempengaruhi jiwa manusia.212
Selain Amtsal Musharrahah dan Amtsal Kaminah terdapat amtsal
lain yang masih menjadi perdebatan para ulama yaitu Amtsal Mursalah
(perumpamaan yang terbebas) karena mereka menganggap ayat-ayat yang
mereka namakan amtsal mursalah ini telah keluar dari adab Al-Qur'an dan
masih kurang memenuhi kriteria jika disebut sebagai matsal. Ar-Razy
berkata ketika menafsirkan ayat. “Untukmu agamamu dan untukku
agamaku."(QS. Al-Kafirun/6:109) Sebagian orang menjadikan ayat ini
sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatannya ketika
meninggalkan agama/murtad, padahal hal demikian tidak dibenarkan.
Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi
untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.
Dari macam-macam amtsal di atas, amtsal jenis pertama sering
digunakan dalam Al-Qur'an dan termasuk jenis amtsal yang sebenarnya.
Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tidak semua ayat yang ada
dalam Al-Qur'an dapat dijadikan amtsal untuk berbagai ungkapan dan
peristiwa. Sedangkan, amtsal jenis kedua masih memerlukan kajian ulang

212
Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an: Quranic Exploler, 2016, hal.52.
dan harus ditempatkan secara proporsional. Salah seorang ulama yang
bernama Ibn Syihab. pernah mengatakan bahwa janganlah kamu membuat
antsal dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi, baik dalam ungkapan
maupun perbuatan.

4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa, amtsal
adalah perumpamaan yang berbentuk abstrak menuju pengertian yang kongkrit
untuk mencapai tujuandan mengambil hikmah dari perumpamaan tersebut baik
berupa ungkapan, gambaran, maupun Gerakan.
Amtsal dalam alquran ada tiga macam:
1. Amtsal al musharrahah
2. Amtsal kaminah
3. Amtsal mursalah
Para ahli dalam menetapkan apakah sebuah ayat mengandung matsal atau
tidak ditemukan adanya perbedaan, hal tersebut semata-mata karena
masalah matsal itu adalah masalah ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA
Makrifah, N. ” Pergeseran Unit dan Proses Penerjemahan dalam Buku Hadith and
Hadith Sciences”, Jurnal Al-Ibrah 5 (2020)

Faliyandra, F. “Model Komunikasi Pendidikan di Sosial Media Pada Era


Perkembangan Teknologi”, Islam Universalia 1, no. 3 (2020)

Khalil, S. Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar l Ilmi Li al Milayin, 1972.

Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi


Lapangan,” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020.

L. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007.

Al-Qattan, Manna’. Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,


cet ke-14 2016.

Nueryadien, M “Metode Amtsal: Metode Al-Qur’an Membangun Karakter,”


Jurnal Al-Tarbawi Al-haditsah, 1, no. 1 (2017).

Ali, M Sayuti “Amtsal Al-Qur’an,” Jurnal Al-Qalam 11 (1996)

Ali, Muhammad “Fungsi Perumpamaan Dalam Al-Qur’an,” Jurnal Tarbawiyah 10


(2013).
Jalal, Ahmad, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu 2000), 314.

Wathoni, Lalu Muhammad Nurul. Kajian Al-Qur’an Dalam Teks dan Konteks,
Mataram: Sanabil Publisher, 2021.

Wahyuni, Farida Ani. Amtsal Fil Qur’an, Tulung Agung: 2017.

As-Sahbuny, Ali Kamus Al-Qur’an : Qu ranic Expl oler , 2016.


AQSAM DALAM AL-QUR'AN, MACAM-MACAM DAN
UNSUR QASAM DALAM AL-QUR'AN

Ahmad Suryadi, 1 Khairana Filzah Faradis, 2


1Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta

(suryadinomi@gmail.com)
2Jurusan Manajemen Pendidikan – Institut PTIQ Jakarta

(khairanafilzah15@gmail.com)

ABSTRAK

Aqsam al-Qur`an merupakan sesuatu yang disampaikan untuk


menguatkan sebuah berita yang terdapat di dalam al- Qur'an disertai
dengan unsur-unsur qasam untuk menghilangkan keraguan dan
meyakinkannya tentang kebenaran akan isi kandungan al- Qur'an. Qasam
adalah suatu pernyataan dalam Al-Qur’an yang bertujuan untuk
memberikan penegasan terhadap informasi, pesan, dan berita yang
disampaikan. qasam terdiri dari atas: qasam, muqsam bih, dan muqsam
‘alaih. Macam-macam qasam terdiri dari qasam zahir yang menyebutkan
adat qasam dan muqsam bihnya, dan qasam mudmar (tersimpan) yang
tidak menyebutkan adat dan muqsam bihnya, tetapi ditunjukkan dengan
lam taukid. Qasam bertujuan untuk mempertegas dan memperkuat berita
yang sampai kepada pendengar agar keraguan, kesalahpahaman bias
hilang, dan tegaklah hujjah yang disampaikan. Ini semua memberikan nilai
kepuasan kepada pembawa berita yang telah menggunakan qasam, dan
mengagungkan sifat dan kekuasaan Allah SWT untuk menampakkan
kebenaran isi kandungan al- Qur'an itu sendiri. Dengan bersumpah
menggunakan nama Allah atau sifat-sifat-Nya berarti memuliakan atau
mengagungkan Allah SWT. karena telah menggunakan nama-Nya selaku
Dzat yang diagungkan sebagai penguat sumpah.

ABSTRACT

Aqsam al-Qur'an is something that is conveyed to strengthen a message


contained in the Qur'an accompanied by elements of qasam to dispel doubts
and convince him of the truth of the contents of the Qur'an. Qasam is a
statement in the Qur'an that aims to provide confirmation of the
information, messages, and news conveyed. qasam consists of qasam,
muqsam bih, and muqsam 'alaih. The types of qasam consist of qasam zahir
which mentions the adat qasam and muqsam bih, and qasam mudmar
(stored) which does not mention adat and muqsam bih, but is indicated by
lam taukid. Qasam aims to emphasize and strengthen the news that reaches
the listener so that doubts, misunderstandings can be removed, and the
evidence conveyed is upheld. All of this gives a value of satisfaction to the
announcer who has used qasam, and glorifies the nature and power of Allah
SWT to reveal the truth of the contents of the Qur'an itself. By swearing to
use the name of Allah or His attributes means glorifying or glorifying Allah
SWT. because he has used His name as the Essence that is exalted as a
reinforcement of the oath.

Keyword : aqsam, qasam, muqsam bih, muqsam ‘alaih, sumpah

1. PENDAHULUAN

Penyampaian ayat-ayat Al-Qur’an tidak bisa dinarasikan dengan


deskriptif bahkan agitatif, tapi bisa juga dalam bentuk sumpah (Qasam).
Bagia sebagian yang tidak percaya pada al Qur’an perlu dilakukan
pernyataan sumpah untuk menandingi cara pengungkapan melalui syair
yang sengaja dibuat untuk merendahkan keberadaan Nabi Muhammad dan
merdendahkan risalah Al Qur’an dari masyarakat kafir di Quraisy saat itu.

Salah satu cara yang digunakan untuk memperkuat argumentasi itu


dengan qasam atau sumpah. Beberapa ayat qasam banyak terdapat dalam
al Qur'an. Adanya kalimat qasam dalam al-Qur`an bukanlah sebagai bentuk
ikut-ikutan terhadap tradisi bangsa Arab ketika itu, tapi untuk menguatkan
informasi wahyu yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad. Maka
orang seperti ini perlu diberikan peringatan dengan kalimat yang keras,
sehingga diharapkan dapat berubah dan menerima kebenaran. Maka
“sumpah” ini dilakukan sebagai langkah untuk memberikan kesadaran
kepada mereka, kesadaran untuk menerima kebenaran yang datangnya
dari Allah. Berdasarkan paparan di atas muncul pertanyaan: Apakah yang
dimaksud dengan aqsām al-Qur`an? Apa saja yang menjadi unsur-unsur
sebuah qasam dalam al-Qur`an? Jenis-jenis qasam apa saja yang terdapat
dalam al-Qur`an? Mengapa qasam itu mesti ada dalam al- Qur'an? Melalui
uraian berikut ini diharapkan dapat dijelaskan bagaiman konsep dan
contoh serta maaf al aqsam dalam al Qur’an bagi kehidupan manusia.

2. METODE

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftif


kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada
hal dan sifat suatu obyek penelitian. Hal terpenting dari suatu obyek
penelitian berupa kejadian atau fenomena gejala sosial atau dokumentasi.
Hal tersebut bermakna dibalik kejadian yang bisa dijadikan pelajaran
berharga bagi suatu pengembangan konsep teori.213 Jenis penelitian ini
yang digunakan adalah kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah
suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data
dengan bantuan berbagai macam material yang ada diperpustakaan
seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah dan sebagainya.214
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah mencari informasi
yang sesuai dengan judul, kemudian mencari dan menemukan bahan
bacaan yang diperlukan dan mengklasifikasi bahan bacaan tersebut,
selanjutnya meriview bacaan yang sudah dibaca dan terakhir mulai
menulis penelitian ini sampai menemukan kesimpulannya.215 Penelitian
ini bersumber dari buku, jurnal, artikel dan skripsi.
3. HASIL PEMBAHASAN
b. Pengertian dan Esensi Aqsam Al Qur’an
Secara etimologi kata “aqsam” bermakna membagi, memberikan,
budi pekerti, mempertimbangkan, ganteng, sumpah dan sebagainya.
Tetapi dalam konteks ulumul Quran kata qasam dimaknai sebagai
pernyataan tegas dan kesungguhan mutakallim (pembicara) dengan
bentuk mufrad ‫اقسم‬ atau ‫ القسم‬bentuk jamaknya adalah ‫ اقسام‬atau
‫اْلقسام‬.
213
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Alfabeta, 2014), 22
214
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan
IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 43
215
Milya Sari dan Asmendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch) dalam Penelitian Pendidikan
IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6, no 01, (2020), 444
Kata “qasam” juga memiliki makna yang sama dengan dua kata lain
yaitu: halaf dan yamin yang berarti sumpah. Sumpah dinamakan juga
dengan yamin karena orang-orang Arab ketika sedang bersumpah
telah memegang tangan kanan sahabatnya.216 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia “sumpah” diartikan sebagai: (a) Pernyataan yang
diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada
sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan
kesungguhannya dan sebagainya); (B) Pernyataan yang disertai tekat
melakukan sesuatu untuk menguat- kan kebenaran atau berani
menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak bena; (c) Janji atau ikrar
yang teguh (akan menunaikan sesuatu). 217

Sementara itu, menurut Ma’luf dalam Nasution bahwa dalam


konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab
biasanya mengatasnamakan nama Allah atau sejenis-Nya. Jadi, inti
sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama
Tuhan atau sesuatu yang disucikan.218 Secara terminologi, Qasam Al-
Qur’an adalah ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kemudian yang dimaksud sumpah
sendiri adalah sesuatu yang digunakan untuk menguatkan
pembicaraan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan qasam Al-
Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang membahas
tentang arti, maksud, rahasia, dan hikmah sumpah-sumpah Allah
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Qasam dapat pula diartikan sebagai
bahasa Al-Qur’an dalam menegaskan atau menguatkan suatu pesan
atau pernyataan dengan menyebut nama Allah atau ciptaanNya
sebagai “muqsam bih”. Dalam Al-Qur’an, penyebutan kalimat qasam
kadangkala dengan memakai kata aqsama, dan adakalanya dengan
menggunakan kata halafa atau yamana.

Setidaknya, terdapat sejumlah huruf Qasam dalam al Quran yang


biasa digunakan untuk pernyataan qasam, yaitu:

216
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2006), hlm.
414
217
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sumpah
218
Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah, 1956), hlm. 664
a. Huruf waw (‫)و‬, seperti dalam Surat: Az-Zariyat [51]: 23:

ۤ
‫ض اِنمهٗ َْلَق ِمثْ َل َما اَنم ُك ْم تَ ْن ِط ُق ْو َن‬
ِ ‫ب ال مس َما ِء َو ْاالَْر‬
ِ ‫فَور‬
ََ

Artinya: Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang
dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan. (Q.S. Az-
Zariyat [51]: 23)

b. Huruf ta (‫)ت‬, seperti dalam Surat: An-Nahl [16]: 56

ۗ ِ ِ ِ
‫َٰه ْم ََت ََّٰللِ لَتُ ْسَلُ من َع مما ُكْن تُ ْم تَ ْف َرتُْو َن‬
ُ ‫َوَْجي َعلُ ْو َن ل َما َال يَ ْعلَ ُم ْو َن نَصْي بًا ِمما َرَزقْ ن‬

Artinya: Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak
mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, kamu pasti akan ditanyai
tentang apa yang telah kamu ada-adakan. (Q.S. An-Nahl [16]: 56)

Sumpah dengan menggunakan huruf “ta” tidak boleh menggunakan kata


yang menunjukkan sumpah dan sesudah “ta” harus disebutkan kata Allah
atau rabb.

c. Huruf ba (ْ‫ب‬
ِ ), misalnya dalam Surayt: al-Qiyamah [75]: 1,

‫َال اُقْ ِس ُم بِيَ ْوِم الْ ِق َٰي َم ِة‬

Artinya: Aku bersumpah dengan (demi) hari Kiamat, (Q.S.: al-Qiyamah


[75]: 1)
Kalimat qasam (sumpah) dengan menggunakan huruf “ba “boleh diikuti
kata yang menunjukkan sumpah, sebagaimana contoh di atas, dan boleh
pula tidak menyertakan kata sumpah, sebagaiman dalam Q.S. Shad [38]: 82,

ِ َ ِ‫ال فَبِعِمزت‬
‫ني‬ ُ ‫ك َالُ ْغ ِويَن‬
َ ْ ‫مه ْم اَ ْمجَع‬ َ َ‫ق‬

Artinya: (Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan


menyesatkan mereka semuanya, (Q.S. Shad [38]: 82)

c. Macam-macam Qasam dalam Al Qur’an

Terdapat pembagian qasam dalam Al-Qur’an yang didasarkan pada


jenisnya yang dengan jelas menyertakan kalimat qasam. Adakalanya
hanya menggunakan huruf tertentu sebagai simbolik qasam. Hal ini
senpendapat dengan penjelasan Manna Al-Qattan dalam Mabahits fi
Ulum Al-Qur’an yang menyatakan bahwa macam-macam qasam dalam
Al-Qur’an dibagi dua, yaitu: (1) zhahir dan (2) mudhmar. 219
a. Qasam Zhahir

Qasam Zhahir adalah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi῾il qasam


dan muqsam bih. Ada juga yang dihilangkan fi῾il qasam-nya, sebagaimana
pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf berupa “waw”, “ta”
dan “ba”. Dalam beberapa tempat, terdapat fi’il qasam yang didahului
dengan huruf “la nafiyah” (‫)ل‬. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah
Swt pada Q.S al-Qiyamah [75]: 1-2,

ِ ‫َال اُقْ ِس ُم بِيَ ْوِم الْ ِق َٰي َم ِة َوَال اُقْ ِس ُم ِِبلنم ْف‬
‫س اللم مو َام ِة‬

Artinya: Aku bersumpah dengan (demi) hari Kiamat, dan aku


bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). (Q.S.
Al-Qiyamah [75]: 1-2)

219
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2006), hlm.
414
Terdapat perbedaan pendapat dalam memaknai ayat ini. Sebagian
mengatakan, bahwa “la” pada dua ayat tersebut, yang menafikan
sesuatu, bukan “la” untuk qasam, tetapi la nafiah yang menafikan
sesuatu yang mahzhuf (fiil-nya dihilangkan). Ada yang menyatakan
bahwa “la” di sini adalah “la” zaidah (tambahan).

Sementara itu, ulama atau ilmuan lain berpendapat bahwa “la”


tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan ia mengatakan, “Aku
tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu”. Tetapi aku
bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa
kami tidak akan mengumpulkan tulang belulang setelah hancur
berantakan setelah kematian? Masalah sudah amat jelas, sehingga
tidak lagi memerlukan sumpah.

Tidak puas dengan pendapat di atas, sebagian ulama berpendapat


bahwa la sebagai la nafiah ia menganggap ada kalimat yang
dihilangkan setelah huruf la sesuai dengan maqam yang ada, sehingga
jika ditampakkan maka akan berbunyi, “la sihhah lima taz’umun annahu
la hisab wala ’iqab”. Dengan demikian, “la nafiyah” tersebut menafikan
kalimat yang dihilangkan sesudahnya, yang artinya; “tidak benar
dugaan kalian bahwa tidak ada balasan dan siksa”.

Oleh karena itu, pendapat Manna’ al-Qattan di atas ditandaskan oleh


Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, bahkan ia menganggap di samping menafikan sesuatu
yang datang sesudahnya, kata la juga dapat menafikan sesuatu
sebelumnya, atau yang tersirat dalam benak pengucapnya, yaitu tidak
seperti yang orang-orang kafir Quraisy yang menganggap bahwa
kebangkitan tidak akan terjadi.

Bisa juga kata la dipahami sebagai fungsi menguatkan sumpah dan


dengan demikian ayat-ayat seperti ini diterjemahkan dengan “Aku
benar-benar bersumpah”. Adapun jawab qasam dalam ayat tersebut
mahzhuf, yang ditunjukan oleh ayat berikutnya, yaitu pada Q.S al-
Qiyamah [75]: 3,
ٗ‫االنْ َسا ُن اَلم ْن مَّْن َم َع عِظَ َامه‬
ِْ ‫اََحيسب‬
ُ َْ

Artinya: Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan


mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Q.S. Al-Qiyamah
[75]: 3)

Dengan demikian, pada dasarnya jawab qasam yang terkandung


adalah ‫( لتبعثن وال حتا سب‬pasti kamu akan dibangkitkan, dan pasti kamu
akan dihisab). Ungkapan pertanyaan dalam ayat ketiga tersebut
mengindikasikan dan menguatkan kepastian adanya hari
kembangkitan dan pembalasan atau hisab, yang mereka (kafir
Quraisy) anggap bahwa semua itu tidak akan pernah terjadi setelah
adanya kematian.

b. Qasam Mudhmar

Qasam Mudhmar merupakan bentuk qasam yang di dalamnya tidak


dijelaskan “fi῾il qasam” dan tidak pula “muqsam bih”, tetapi ia
ditunjukkan oleh lam taukid (lam yang berfungsi untuk menguatkan
isi pembicaraan) yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah
berikut:
ۗ ِ
ۗ ‫َٰب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم َوِم َن الم ِذيْ َن اَ ْشَرُك ْوا اَذًى َكثِ ْ ًْيا‬ ِ ِ‫ِ م‬ ِ ِ ‫لَت ب لَو من‬
َ ‫ِف اَْم َوال ُك ْم َواَنْ ُفس ُك ْم َولَتَ ْس َمعُ من م َن الذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬ْ ُ ُْ
ِ
‫ك ِم ْن َع ْزم ْاالُُم ْوِر‬ ِ ِ ِ
َ ‫صِِبُْوا َوتَتم ُق ْوا فَا من َٰذل‬
ْ َ‫َوا ْن ت‬

Artinya: Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti
kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari
orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan. (Q.S. Ali
Imran [3]: 186)

Selanjutnya, apabila qasam berfungsi untuk memperkuat muqsam ‘alaih,


maka beberapa fi῾il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks
kalimatnya menunjukkan makna qasam. Sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. Ali Imran [3]: 187,
ۤ
‫ماس َوَال تَكْتُ ُم ْونَهٗ ُۖ فَنَ بَ ُذ ْوهُ َوَراءَ ظُ ُه ْوِرِه ْم َوا ْش ََرتْوا‬
ِ ‫َٰب لَتُبَ يِنُنمهٗ لِلن‬ ِ ِ ‫واِ ْذ اَخ َذ َٰاَّلل ِمي ث َ م‬
َ ‫اق الذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬ َْ ُ َ َ
‫س َما يَ ْش َرتُْو َن‬ ِ ِ ِ
َ ‫بهٗ ََثَنًا قَلْي ًَل ۗ فَبْئ‬

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang


yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu
menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke
belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah.
Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan. (Q.S. Ali
Imran [3]: 75)

Huruf lam pada ayat: ‫اس‬ ِ َّ‫ لَتُبَ ِينُنَّه ِللن‬adalah “lam qasam”, dan
kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhadzallahu
mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).

d. Unsur-Unsur Aqsam

Terkait dengan pembahasan unsur-unsur aqsam terdapat beberapa


unsur yang perlu dipahami. Struktur qasam terdiri dari tiga unsur,
yaitu: (1) sighat qasam, (2) muqsam bih, dan (3) muqsam ‘alaih.,

a. Sighat Qasam

Sighat Qasam adalah sighat yang digunakan untuk menunjukkan


qasam/sumpah, baik dalam bentuk fi῾il maupun huruf seperti ba, ta,
dan waw sebagai pengganti fi῾il qasam karena sumpah sering
digunakan dalam keseharian. Contoh qasam dengan memakai kata
kerja (fi῾il), misalnya dalam Q.S. An-Nahl [16]: 38,

ۗ ِِ
ِ ‫ت بَ َٰلى َو ْع ًدا َعلَْي ِه َحقًّا موَٰلكِ من اَ ْكثَ َر الن‬
‫ماس َال يَ ْعلَ ُم ْو َن‬ ُ ‫َواَقْ َس ُم ْوا ِِب ََّٰللِ َج ْه َد اَْْيَاهن ْم َال يَْب َع‬
ُ ‫ث َٰاَّللُ َم ْن مْيُْو‬
Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang
sungguh-sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang
mati.” Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya),
sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui, (Q.S. An-Nahl [16]: 38)

b. Muqsam Bih

Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah Swt.
Sumpah dalam Al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama Allah
Swt dan adakalanya menggunakan nama-nama ciptaan-Nya. Aisyah
binti Abd Rahman binti Syathi’ dalam Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-
Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa qasam yang menggunakan
nama Allah Swt dalam Al-Qur’an hanya terdapat dalam tujuh
tempat, yaitu Surah An-Nisa ayat 65, Surah Yunus ayat 53, Surah Al-
Hijr ayat 92, Surah Maryam ayat 68, Surah Saba’ ayat 3, Surah At-
Taghabun ayat 7, Surah Al-Ma’arif ayat 40.

Berikut ini contoh dari Muqsam Bih yang terdapat dalam Q.S:
Yunus sebagai berikut:

ْۢ
‫ك اَ َحق ُه َو ۗ قُ ْل اِ ْي َوَرِ ْيب اِنمهٗ َْلَق ۗ َوَما اَنْتُ ْم ِِبُْع ِج ِزيْن‬ ‫ن‬‫و‬ ِ
َ َ ُْ ْ َ‫َويَ ْست‬
‫ب‬ ‫ن‬

Artinya: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad),


“Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?” Katakanlah, “Ya, demi
Tuhanku, sesungguhnya (azab) itu pasti benar dan kamu sekali-kali
tidak dapat menghindar.” (Q.S. Yunus [10]: 53)

Selain pada tujuh tempat di atas, Allah memakai qasam dengan


nama-nama ciptaanNya, seperti dalam Q.S. al-Waqiah.[56]: 75,

‫ُّج ْوِم‬ ِ ِ ِ
ُ ‫فَ ََل اُقْس ُم ِبََٰوق ِع الن‬
Artinya: Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-
bintang. (Q.S. al-Waqiah [56]: 75)

c. Muqsam ‘Alaih
Muqsam ‘Alaih kadang juga disebut “jawab qasam”. Muqsam
‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam,
berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Dengan kata lain,
pernyataan yang karenanya qasam diucapkan. Dalam Al-Qur’an
terdapat dua muqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas
dan yang dihilangkan.

1) Muqsam ‘Alaih yang disebut secara tegas terdapat dalam ayat-


ayat sebagai berikut:

ِ ‫ت اَمرا اِمَّنَا تُوع ُدو َن لَص ِاد ٌق مواِ من‬


ِ ِ ِ ِ ِ َٰ ِ ِ ِ َٰ
‫الديْ َن‬ َ ْ َْ ً ْ ‫َوالذريَٰت ذَ ْرًوا فَا ْْلَٰملت ِوقْ ًرا فَا ِْلَٰريَٰت يُ ْسًرا فَالْ ُم َقس َٰم‬
ۗ
‫لََواقِ ٌع‬
Demi (angin) yang menerbangkan debu, dan awan yang
mengandung (hujan), dan (kapal-kapal) yang berlayar dengan
mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,
sungguh, apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan
sungguh, (hari) pembalasan pasti terjadi. (Q.S. Az-Zariyat [51]:
1-6)

2) Muqsam ‘alaih dihilangkan atau dibuang karena alasan sebagai


berikut sebagaimana diturukan oleh As-Suyuhti dalam Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur’an, 1) dalam muqsam bih nya sudah terkandung
makna muqsam ‘alaih, 2) qasam tidak memerlukan jawaban
karena sudah dapat dipahami dari redaksi ayat, dengan contoh
berikut:

ۗ ِ ِِ ِ ِ ‫والْ َفج ِر ولَي ٍال ع ْش ٍر موال مش ْف ِع والْوتْ ِر والمي ِل اِذَا يس ِۚر هل‬
َ ‫ك قَ َس ٌم لذ ْي ح ْج ٍر اَََلْ تَ َر َكْي‬
‫ف فَ َع َل‬ َ ‫ِف َٰذل‬
ْ َْ َْ َْ ََ َ ََ ْ َ
‫ك بِ َع ٍۖاد‬
َ ُّ‫َرب‬
Artinya: Demi fajar, demi malam yang sepuluh, demi yang
genap dan yang ganjil, demi malam apabila berlalu. Adakah
pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima)
bagi orang-orang yang berakal? Tidakkah engkau (Muhammad)
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum)
‘Ad? (Q.S. al-Fajr [89]: 1-6)

e. Bersumpah Atas Nama selain Allah

Kalimat sumpah sering juga dilakukan oleh manusia untuk


meyakinkan atas sikap dan keyakinan serta kebenaran yang
dipegangnya. Bahkan ada beberapa tradisi dalam Islam yang disebut
“mubahalah”. Kata mubahalah berasal dari kata Bahlah atau Buhlah
yang berarti kutukan atau laknat. Secara praktiknya, sumpah
mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang terlibat dalam perkara
sama. Mereka kemudian berdoa kepada Tuhan, agar menjatuhkan
laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran. 220Sedangkan
menurut Tafsir Jalalain, mubahalah artinya tadlarru' fiddu'aa', yakni
memohon dengan sungguh-sungguh dalam berdoa. Pertanyaanya,
“Bolehkah manusia bersumpah atas nama selain Allah SWT?”

Allah mempunya hak prerogatif untuk bersumpah dengan apa yang


dikehendaki-Nya. Berbeda bagi manusia ia dilarang bersumpah atas
sesuatu apapun selain Allah SWT. Manna Khalil al-Qattan dalam
Mabahits fi Ulum Al-Qur’an menerangkan sebagaimana diceritakan
Umar bin Khattab bahwa Rasulullah Saw bersabda,

‫من حلف بغْي هللا فقد كفر او اشرك‬


Artinya: Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, ia
telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah)

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,


220

Vol. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 4


‫ان هللا يقسم ِبا شاء من خلقه وليس ْلحد ان يقسم اال ِب هلل‬
Artinya: Allah boleh bersumpah dengan makhluk yang
dikehendakinya, namun tidak boleh bagi seorangpun bersumpah
kecuali dengan (nama) Allah.” (Diriwayatkan al-Hasan dan
dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim)
Dengan demikian, qasam Allah sepenuhnya berhak menggunakan
sesuatu apapun. Tatkala Allah SWT bersumpah dengan (nama)
makhluk-Nya bahwasannya itu mengindikasikan keutamaan dan
kemanfaatan ciptaan-Nya, agar manusia mengambil hikmah
daripadanya. Di samping itu, Allah tunjukkan bahwa setiap makhluk
memiliki pencipta, yaitu Allah SWT.
f. Hikmah Mengetahui Aqsam

Terjadinya qasam dikarenakan adanya sabab, yakni sesuatu yang


melatarbelakangi sumpah. Adanya sumpah atas nama Allah SWT
bersumpah dengan sesuatu yang disebabkan sebagian manusia
mengingkari ataupun mereka menganggap remeh sesuatu tersebut.
Tanggapan ini terjadi dari ketidaktahuan mereka tentang hakikat dan
faidah dari sesuatu yang diterima, atau lupa dan buta dari hikmah
Allah SWT tersebut..

Sesungguhnya, kalimat Sumpah dalam Al-Qur’an bertujuan untuk


memberikan penegasan dan pengukuhan atas informasi yang
disampaikan dalam suatu pesan atau pernyataan dengan menyebut
nama Allah atau ciptaanNya. Dalam Al-Qur’an, penyebutan kalimat
qasam kadangkala dengan memakai kata aqsama, dan adakalanya
dengan menggunakan kata halafa atau yamana.

Dengan demikian, aqsam sejalan dengan tanggapan manusia pada


umumnya terhadap ajaran yang disampaikan kepada manusia.
Dengan kata lain tujuan sumpah adalah untuk memperkuat
pemberitaan kepada orang lain, yang mungkin akan mengingkari
kebenarannya, sehingga pemberitaan tersebut dapat diterima dengan
yakin. Di antara golongan manusia itu ada yang meragukan,
mempertanyakan bahkan menolak kebenaran Al-Qur’an. Dalam hal
ini sumpah dalam Al-Qur’an ditunjukkan untuk menghilangkan
keraguan, menegakkan argumentasi dan menguatkan hujjah yang
dalam hal ini yaitu ajaran atau pesan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW.19

KESIMPULAN

Qasam adalah suatu pernyataan dalam Al-Qur’an yang bertujuan untuk


memberikan penegasan terhadap informasi, pesan, dan berita yang
disampaikan. Rukun-rukun qasam terdiri dari atas qasam, muqsam bih,
dan muqsam ‘alaih. Macam-macam qasam terdiri dari qasam zahir yang
menyebutkan adat qasam dan muqsam bihnya, dan qasam mudmar
(tersimpan) yang tidak menyebutkan adat dan muqsam bihnya, tetapi
ditunjukkan dengan lam taukid. Qasam itu sendiri bertujuan untuk
mempertegas dan memperkuat berita yang sampai kepada pendengar agar
keraguan, kesalahpahaman bias hilang, dan tegaklah hujjah yang
disampaikan. Ini semua memberikan nilai kepuasan kepada pembawa
berita yang telah menggunakan qasam, dan mengagungkan sifat dan
kekuasaan Allah SWT untuk menampakkan kebenaran isi kandungan al-
Qur'an itu sendiri.
Dengan melihat berbagai bentuk qasam yang ada dalam al- Qur'an yang
banyak menggunakan makhluk, nampak jelas bahwa Allah SWT tidak
memaksa manusia untuk menerima wahyu sebagai sebuah kebenaran
muthlak yang sampai kepadanya. Namun Allah memberikan kebebasan
kepada manusia untuk berfikir secara logis dengan akal yang telah
diberikan kepadanya.
Dalam qasam juga terdapat faedah-faedah diantaranya adalah berita yang
sudah sampai pendengar, dan dia bukan orang yang apriori, berita itu
sudah diterima dan dipercaya karena sudah diperkuat dengan sumpah.
Pemberita berita itu sudah merasa lega, karena telah menaklukkan
pendengar dengan cara memperkuat berita dengan sumpah. Dengan
bersumpah menggunakan nama Allah atau sifat-sifat-Nya berarti
memuliakan atau mengagungkan Allah SWT. karena telah menggunakan
nama-Nya selaku Dzat yang diagungkan sebagai penguat sumpah.
DAFTAR PUSTAKA

Djalal, Abdul. 1998. Ulumul Quran, Dunia Ilmu, Surabaya, 1998.


Gufran. Muhammad dkk.2013. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sumpah
Izzan, Ahmad, 2005. Ulumul Quran, Penerbit: Tafakur, Bandung.
Louis Ma’luf, al-Munjid, 1956. Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah
Qathan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka
Lentera Antar Nusa
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung; Alfabeta,
Sari, Milya dan Asmendri, 2020. “Penelitian Kepustakaan (Library Resarch)
dalam Penelitian Pendidikan IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan
Pendidikan IPA 6, No 01
Shihab, M. Quraih. 2007. Kaidah-Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang: Lentera
Hati.\
Shihab, Umar. 2003. Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani.
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai