Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERLAPSIA (BPH) PADA TN.I DI RUANG


POLI UROLOGI RSUD SAWERIGADING
KOTA PALOPO TAHUN 2022

OLEH:

INDA OCTAVIANA

N.22.04.008

PRECEPTOR LAHAN PRECEPTOR INSTITUSI

Rahmatang, S.Kep.,Ns Fadli S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (PROFESI NERS)

UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO

TAHUN 2022/2023
BAB I

KONSEP MEDIS TERKAIT KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

A. DEFENISI

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah kelenjar prostat

mengalami, memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat

aliran urin dengan menutupi orifisium uretra (Brunner & suddarth, 2003).

BPH adalah pembesaran kelenjar prostat non-kanker. BPH dapat

menyebabkan penekanan pada uretra sehingga berkenih menjadi sulit,

mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine menetes

(Corwin, 2009).

BPH adalah kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini

dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya

aliran urine keluar dari buli-buli (Purnomo, 2011).

Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa

benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya

terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran

perkemihan.

B. ETIOLOGI

Menurut Alam tahun 2004 penyebab pembesaran kelenjar prostat

belum diketahui secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan

dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon

pria, terutama testosteron. Para ahli berpendapat bahwa dihidrotestosteron

yang mamacu pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa


pubertas adalah penyebab terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Hal lain

yang dikaitkan dengan gangguan ini adalah stres kronis, pola makan tinggi

lemak, tidak aktif olahraga dan seksual.

Faktor lain adalah nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin)

yang meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga

menyebabkan penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan

(zat kimia yang banyak digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah

pabrik) dapat merusak fungsi reproduksi pria.

C. PATOFISIOLOGI

Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan

penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine.

Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk

mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan

tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan

anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,

terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur

pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)

yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian

bulibuli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua

muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke

ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan

akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Obstruksi yang diakibatkan

oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya

massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan

oleh tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot

polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis

yang berasal dari nervus pudendus.

Menurut Mansjoer tahun 2007 pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara

perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,

resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot

detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau

divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila

keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi

retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan

disfungsi saluran kemih atas.


Perubahan usia lanjut

Ketidakseimbangan prouksi estrogen dan testoteron

D. PHATWAY

Kadar testoteron menurun Kadar estrogen meningkat

Mempengaruhi RNA dalam inti sel Hyperplasia sel stoma pada jaringan

Ploliferasi sel prostat BPH

Obstruksi saluran kemih yang bermuara ke VU Kurang informasi

Akumulasi urine di VU Stressor/stress


psikologik

Perengangan VU melebihi kapasitas


Ansietas
Penumpukan Terjadi
urine yang kompresi
lama di VU utera
Spasme otot spincter VU penuh

Perkembangan Resistensi
Nyeri suprapubrik Frekuensi miksi mikroorganisme leher V.U dan
meningkat
daerah V.U
Agen cedera fisiologis Resiko
Terbangun untuk
infkesi Ketebalan otot
miksi
Nyeri akut dekstrusor (fase
kompensasi)
Menganggu pola
istirahat dan tidur
Terbentuknya
sakula/trabekula
Gangguan pola
tidur
Kelemahan otot dekstrusor

Kemampuan fungsi
V.U

Residu urine
Gangguan eliminasi berlebihan
urine:retensi urine
E. MANIFESTASI KLINIS

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah:

a.) Obstruksi:

1.) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)

2.) Pancaran waktu miksi lemah

3.) Intermitten (miksi terputus)

4.) Miksi tidak puas

5.) Distensi abdomen

6.) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

b.) Iritasi:

Frekuensi sering, nokturia, disuria.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.

3. Gejala di luar saluran kemih :

Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit

hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering

mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan

tekanan intra abdominal.

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,

anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik

(Brunner & Suddarth, 2003).


Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu :

a.) Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE

(digital rectal examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan

prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

b.) Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1,

prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari

50 ml tetapi kurang dari 100 ml.

c.) Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba

lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.

d.) Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

F. KOMPLIKASI

Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin.

Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak

mampu lagi menampung urin sehinnga tekanan intravesika meningkat,

dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal (Mansjoer, 2007).

Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi

(meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat

kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan

kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8

Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi,

maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan

bersama urin (Brunner & Suddarth, 2003).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara

lain:

1. Pemeriksaan Laboratorium, berupa:

a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit

dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar

keadaan umum klien.

b) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.

c) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai

kewaspadaan adanya keganasan.

2. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik, berupa:

a) BOF (Buik Overzich ), digunakan untuk melihat adanya

batu dan metastase pada tulang.

b) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa

konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli –

buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan

secara transrektal, transuretral dan supra pubik.

c) IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi

exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.

d) Pemeriksaan Panendoskop, digunakan untuk mengetahui

keadaan uretra dan buli – buli.

H. PENATALAKSANAAN

1. Modalitas terapi BPH :

a.) Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan

kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.


b.) Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan

Keluhan ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit.

Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi, gelombang alfa

blocker dan golongan supresor androgen.Klien yang mengalami

retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).

2. Indikasi pembedahan pada BPH:

a.) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin

akut (100 ml).

b.) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung

kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.

c.) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem

perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.

d.) Terapi medikamentosa tidak berhasil.

e.) Flowcytometri menunjukkan pola obstruktif.

I. PENCEGAHAN

Pembesaran prostat jinak tidak dapat docegah. Upaya yang bisa

anda lakukan adalah mencegah agar gejalanya tidak semakin memburuk,

yaitu:

a. Menghindari minum apapun 1-2 jam sebelum

b. Membatasi asupan minuman yang mengandung kafein dan alcohol

c. Membatasi konsumsi obat pilek yang mengangung dekongestan

dan antihistamin

d. Tidak menahan atau menunda buang air kecil misal tiap 4 atau 6

jam
e. Menjaga berat badan ideal dengan menjalani pola makan yang

sehat

f. Berolahraga secara dan rutin melakukan senam kegel

g. Mengelola stress dengan baik


BAB II

ASKEP TERKAIT KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

A. PENGKAJIAN

Menurut Dongoes (2007), Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien

dengan gangguan sistem perkemihan yang berhubungan dengan BPH

dalam riwayat keperawatan harus ditemukan :

1. Identitas pasien.

2. Riwayat kesehatan umum meliputi berbagai gangguan/penyakit

yang lalu, berhubungan dengan atau yang dapat mempengaruhi

penyakit sekarang.

a.) Riwayat kesehatan keluarga.

b.) Riwayat kesehatan sekarang.

3. Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/gangguan yang

berhubungan dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini :

a.) Bagaimana pola/frekuensi berkemih : poliuri, oliguri, BAK keluar

sedikit-sedikit tetapi sering, nokturia, urine keluar secara menetes,

incontinentia urin.

b.) Adakah kelainan waktu bak seperti : disuria, ada rasa panas,

hematuria, dan lithuri.

c.) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara

umum:

1.) Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang lain.

2.) Apakah terdapat mual dan muntah.


3.) Apakah tedapat edema.

4.) Bagaimana keadaan urinenya (volume, warna, bau, berat jenis,

jumlah urine dalam 24 jam).

5.) Adakah sekret atau darah yang keluar.

6.) Adakah hambatan seksual.

7.) Apakah ada rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri)

4. Data fisik :

a.) Inspeksi : Secara umum dan secara khusus pada daerah genetalia.

(warna, edema)

b.) Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli (kandung kemih), lipat

paha

c.) Auskultasi : Daerah abdomen.

d.) Perkusi : Daerah abdomen, ginjal.

5. Data khusus meliputi:

a.) Hasil-hasil pemeriksaan diagnostik.

b.) Program medis (pengobatan, tindakan medis)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnose keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut:

1. Nyeri akut berhubungan dengan

2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan

4. Resiko infeksi berhubungan dengan

5. Ansietas berhubungan dengan


C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI

KEPERAWATAN KRITERIA HASIL

1. Nyeri Akut Setelah diberikan 1. Kaji nyeri secara

asuhan keperawatan komprehensif (lokasi

selama 1 x 24 jam karakteristik, frekuensi,

masalah nyeri akut skala nyeri)

dapat teratasi dengan 2. Ajarkan tentang Teknik

kriterial hasil: non farmakologi

 Mengontrol 3. Anjurkan pasien untuk

nyeri istirahat

 Mampu 4. Monitor TTV

menggunakan 5. Kolaborasi pemberian

tindakan analgetik jika ada

pengurangan keluhan dan tindakan

nyeri tanpa nyeri tidak berhasil

analgetik

 Mampu

mengenal nyeri

(lokasi,

karakteristik,
frekuensi skala

nyeri)

 TTV dalam

retang normal

2 Gangguan Setelah diberikan 1. Monitor intake dan

eliminasi urine asuhan keperawatan output dalam batas

selama 1 x 24 jam normal

diharapkan masalah 2. Monitor penggunaan

Gangguan eliminasi obat antikolinegenik

urine dapat teratasi 3. Instruksikan pada

dengan kriteria hasil: pasien dan keluarga

 Kandung untuk mencatat output

kemih kosong urine

secara penuh 4. Anjurkan pasien untuk

 Intake cairan minum 8 gelas/hari

dalam rentang

normal

 Tidak ada

reesidu urine

3 Gangguan pola Setelah diberikan 1. Kaji pola tidur pasien

tidur asuhan keperawatan dengan cara melakukan

selama 1 x 24 jam anamnesa

masalah Gangguan 2. Anjurkan posis dan nyama


pola tidur dapat bagi pasien untuk istirahat

teratasi dengan kriteria 3. Kurangi kebisingan

hasil: lingkungan sekitar

 Jumlah jam

tidur dalam

batas normal

 Perasaan segar

sesudah tidur

dan istirahat

4. Resiko infeksi Setelah diberikan 1. Pertahankan sistem

asuhan keperawatan kateter steril.

selama 1 x 24 jam 2. Awasi tanda vital,

masalah Resiko infeksi perhatikan demam

dapat teratasi dengan ringan, mengigil, nadi

kriteria hasil: dan pernapasan cepat,

 Tidak ada gelisah, disorientasi.

tanda tanda 3. Observasi drainase dari

infeksi seperti luka, sekitar kateter

radang, dan supra pubik.

kemerahan 4. Observasi terjadinya

 TTV dalam tanda-tanda infeksi

batas normal. (kalor, dolor, rubor,

tumor dan fungsio


laesa).

5. Lakukan rawat luka

dengan teknik aseptik.

6. Kolaborasi dengan tim

dokter dalam pemberian

antibiotik.

5. Ansietas Setelah diberikan 1. Kaji tingkat kecemasan

asuhan keperawatan klien.

selama 1 x 24 jam 2. Beri kesempatan

masalah Ansietas kepada klien untuk

dapat teratasi dengan mengungkapkan

kriteria hasil: perasaannya.

 Mengetahui 3. Beri penjelasan kepada

tentang klien dan keluarga

penyakit yang tentang penyakit yang

diderita. dialami klien.

 Mengetahui 4. Ciptakan lingkungan

tentang yang tenang.

tindakan

pencegahan

terhadap

komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aribowo & Andrifiliana. 2011. Infeksi Luka Operasi (Surgical Site


Infection). Yogyakarta: SMF Bedah RSUP Dr. Sarjito

Depkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan

Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: EGC

Nurarif. A. H & Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogjakarta:
MediAction

Nurarif. A. H & Kusuma. H. 2016. Asuhan keperawatan Praktis


berdasarkan Penerapan NANDA, NIC, NOC dalam Berbagai
Kasus. Yogyakarta: Mediaction

RSUD Kota Baubau. 2019. Register Data Penyakit BPH. Baubau:


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Baubau

Rahayuningsih dan Dermawan. 2010.Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk


Pemula, diterjemahkan oleh Lyndon Saputra. Jakarta: Binarupa
Aksara

Sjamsuhidajat & De Jong. 2011. Penatalaksanaan Bedah Umum di


Rumah Sakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare. 2014.Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah
Brunner & Suddarth’s Edisi 10. Jakarta: EGC

Wasinggih. 2010. Bahan Ajar Apendisitis Akut. Nusantara Medical


Science. [internet] from: https://med.unhas.ac.id

Anda mungkin juga menyukai