Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Px. Tn.S DIAGNOSA MEDIS BPH

DI RUANG PRIMEDIKASI RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

NAMA : TRI SUNU P

NIM : 202073011
PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKes BINA SEHAT PPNI KAB. MOJOKERTO

TA. 2020-2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan ini di ajukan oleh :

Nama : Tri Sunu Probolaksono

NIM : 202073011

Progam Studi : PROFESI NERS

Judul Asuhan Keperawatan :

Pada Px. Tn.S Dengan diagnosa medis BPH Di Ruang Primedikasi Rspal Dr. Ramelan Surabaya

Telah diperiksa dan disetujui sebagai tugas dalam praktik klinik keperawatan dasar.
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep

I.1 Definisi

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang

ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium

uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara

bertahap (Smeltzer dan Bare). BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul

fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian

periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal

yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral

menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang

menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson)

I.2 Batasan Karateristik

Berdasarkan lokasi anatomisnya fraktur collum femoris dapat dibedakan menjadi:

1. Fraktur Intrakapsular

Fraktur intrakapsular atau fraktur femur proksimal merupakan suatu keadaan dimana

pembuluh darah pada bagian proksimal femur terganggu sehingga menyebabkan

penyatuan kembali atau union pada fraktur terhambat. Fraktur intrakapsular sendiri

dapat dibagi berdasarkan daerah collum femur yang dilalui oleh garis fraktur menjadi:

a. Fraktur Subkapital
Fraktur Subkapital terjadi apabila garis fraktur yang melewati collum femur

berada tepat di bawah caput femur.

b. Fraktur Transervikal

Fraktur Transervikal terjadi apabila garis fraktur melewati setengah atau

pertengahan collum femur. Fraktur subkapital dan transervikal biasanya dapat

mengakibatkan terganggunya aliran darah pada caput femur sehingga biasanya

tatalaksana pada fraktur ini adalah penggantian caput femur.

c. Fraktur Basiliar atau Basiservikal

Fraktur Basiliar terjadi apabila garis fraktur melewati bagian basis collum femur.

Fraktur pada daerah ini tidak mengganggu vaskularisasi caput femur sehingga

biasanya tidak perlu dilakukan penggantian caput femur.

2. Fraktur Ekstrakapsular

Fraktur ekstrakapsular meliputi fraktur yang terjadi pada daerah intertrochanter dan

daerah subtrochanter.

a. Fraktur Intertrochanter

Fraktur Intertrochanter terjadi apabila garis fraktur melintang dari trochanter

mayor ke trochanter minor. Kemungkinan penyatuan pada fraktur ini lebih besar

dibandingkan dengan fraktur jenis intrakapsular dan kemungkinan komplikasinya

juga lebih kecil.

b. Fraktur Subtrochanter
Fraktur Subtrochanter terjadi apabila fraktur terjadi di sebelah bawah dari

trochanter. Perdarahan yang mungkin terjadi pada fraktur ini cenderung lebih

hebat dibandingkan dengan fraktur collum femur lainnya karena banyaknya

anastomosis cabang arteri femoral medial dan lateral di area subtrochanter

I.3 Etiologi

Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen

karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen

pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan

I.3.1 Tanda & gejala

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai

Syndroma Prostatisme (Hudak and Gallo, 1994). Syndroma Prostatisme dibagi

menjadi dua yaitu :

1) Gejala Obstruktif yaitu :

a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan

mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli

memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal

guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan

karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan

intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.


d) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2) Gejala Iritasi yaitu :

a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi

pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.

c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

I.4 Patofisiologi

BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun) dimana fungsi testis sudah

menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon

testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan/pembesaran prostat.

Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas

(bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine.

Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap

tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk

dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan

anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,

sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai

keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS.

Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor

berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah.

Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan
kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah,

kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat

sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat

Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra

abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid

puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine

dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia

Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam

beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan

mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi

oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan

kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi

urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.
I.5 Pathway

Etiologi

Penuaan

Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan uragential
testosterone + estrogen
Mitrotrouma : trauma, Kebangkitan /
ejakulasi, infeksi Prod. Testosteron ↓ reawakening

↑ stimulasi sel stroma BPH Berproliferasi


yang dipengaruhi GH

Pre operasi Post operasi

Terjadi kompresi utera TURP. Prostatektomi

Trauma bekas Folley cateter


↑ resistensi leher V.U Kerusakan Penekanan
mukosa serabut-serabut insisi
dan daerah V.U
urogenital syaraf Obstruksi oleh
jendolan darah
↑ ketebalan otot Dekstrusor
post OP
(fase kompensasi) Nyeri

Terbentuknya sakula/ MK : resiko


II. Rencana ASuhan Klien dengan Gangguan Kebutuhan

II.1 Pengkajian

II.1.1 Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji

1) Eliminasi

Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,

menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),

kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk

mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah

ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.

2) Pola nutrisi dan metabolisme

Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap

hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi

seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.

3) Pola tidur dan istirahat

Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi

yang sering pada malam hari ( nokturia ).


4) Nyeri/kenyamanan

Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah

5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan

alkhohol.

6) Pola aktifitas

Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu

senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah

ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum

operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi

kebutuhan sehari – hari sendiri.

7) Seksualitas

Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua seksual

akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan

nyeri tekan pada prostat.

8) Pola persepsi dan konsep diri

Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan

pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena

kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.

II.1.2 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan  Laboratorium
a. Pemeriksaan  darah  lengkap,  faal  ginjal,  serum  elektrolit  dan  kadar 

gula  digunakan  untuk  memperoleh  data  dasar  keadaan  umum  klien.

b. Pemeriksaan  urin  lengkap  dan  kultur.

c. PSA  (Prostatik  Spesific  Antigen)  penting diperiksa  sebagai 

kewaspadaan  adanya  keganasan.

2. Pemeriksaan  Uroflowmetri

Salah  satu  gejala  dari  BPH  adalah  melemahnya  pancaran  urin.  Secara 

obyektif  pancaran  urin  dapat  diperiksa  dengan  uroflowmeter  dengan 

penilaian :

a. Flow  rate  maksimal  >  15 ml / dtk    =  non  obstruktif.

b. Flow  rate  maksimal 10 – 15  ml / dtk =  border  line.

c. Flow  rate  maksimal  <  10 ml / dtk    =  obstruktif.

3. Pemeriksaan  Imaging  dan  Rontgenologik

a. BOF (Buik Overzich):Untuk  melihat  adanya  batu  dan  metastase  pada 

tulang.

b. USG  (Ultrasonografi),digunakan  untuk  memeriksa  konsistensi, 

volumedan besar  prostat  juga  keadaan  buli-buli  termasuk  residual 

urin.  Pemeriksaan  dapat  dilakukan  secara  transrektal,  transuretral  dan 

supra  pubik.

c. IVP  (Pyelografi  Intravena)

Digunakan  untuk  melihat  fungsi  ekskresi  ginjal  dan  adanya 

hidronefrosis.
4. Pemeriksaan  Panendoskop : untuk    mengetahui   keadaan  uretra  dan  buli –

buli.

5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI

Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan

gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal

maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang

dilakukan karena mahal biayanya.

6. Pemeriksaan sistografi

Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada

pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat

memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber

perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu

radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi

keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars

prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.

2.1.2 Penatalaksanaan

Modalitas  terapi  BPH  adalah :

1. Observasi

Yaitu  pengawasan  berkala  pada  klien  setiap  3 – 6   bulan  kemudian  setiap 

tahun  tergantung  keadaan  klien

2. Medikamentosa
Terapi  ini  diindikasikan  pada  BPH  dengan  keluhan  ringan,  sedang,  dan 

berat  tanpa  disertai  penyulit. Obat  yang  digunakan    berasal    dari:  

phitoterapi   (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens,  dll),  gelombang  alfa 

blocker  dan  golongan   supresor   androgen.

3. Pembedahan

Indikasi  pembedahan  pada  BPH  adalah :

a. Klien  yang  mengalami  retensi  urin  akut  atau  pernah  retensi  urin  akut.

b. Klien  dengan  residual  urin  >  100  ml.

c. Klien  dengan  penyulit.

d. Terapi  medikamentosa  tidak  berhasil.

e. Flowmetri  menunjukkan  pola  obstruktif.

Pembedahan  dapat  dilakukan  dengan :

a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui

sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

b. Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung

kemih.

c. Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian

bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara

skrotum dan rektum.

e. Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan

jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,

uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

4. Terapi Invasif Minimal

a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke

kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung kateter.

b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP

c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

II.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi keperawatan

1. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran prostat,

dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi

dengan adekuat.

Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan

kandung kemih dengan lengkap, inkontinensia/menetes, distensi kandung kemih dan

residu urin lebih dari 50 cc.

Hasil yang diharapkan :

Pasien menunjukan :

- Peningkatan pola BAK


- Tidak teraba  distensi abdomen

- Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak adanya

tetesan/kelebihan aliran.

Intervensi/tindakan:

1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tiba-tiba merasa

untuk berkemih.

Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan pada     kandung

kemih.

2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran

urin.

Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi secara normal

3) Palpasi area supra pubik.

Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah suprapubik, yaitu

teraba  adanya masa pada daerah abdomen bawah.

4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan  3000 ml/hari ( 10 – 15 gelas perhari.

Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan perfusi ke ginjal dan

kandung kemih dari pertumbuh bakteri

5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi, edema perifer,

perubahan mental.Timbang berat badan setiap hari,ukur intake dan output cairan 

setiap hari.

Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eliminasi cairan dan

akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada terjadinya gagal ginjal total.

6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk.


Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema dan

merangsang untuk berkemih.

7) Tindakan kateterisasi  menggunakan Kateter coude

Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude diperlukan

karena ujungnya lengkung  sehingga memudahkan masuknya selang melalui

uretra prostat.

8) Kolaborasi pemberian antispasmodik  misalnya oksibutinin klorida (Ditropan).

Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi

kateter.

9) Memberiakan antibiotik

Rasional : Untuk melawan infeksi.

10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy.

Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan azotemia.

11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat dengan

memasukan elemen pemanas melalui uretra)

Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu )

2. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria;

terapi radiasi.

Data Pendukung :

Keluhan nyeri,penyempitan  ureter;  perubahan tonus otot, meringis, gelisah, respon

otonomik.

Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :

Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol

- Tampak rileks

- Istirahat dengan tenang.

Intervensi :

1) Kaji dan catat  kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri (0-10) 0

(tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).

2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya

3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.

4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan stress dan

membantu rilaks otot yang tegang

5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri

6) Ciptakan lingkungan yang tenang


ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN

1) Identitas

Nama : Tn.y

Alamat :

Usia : 55 tahun

Pekerjaan :

Agama : islam

2) Keluhan utama

Pasien mengatakan tidak bisa kencing sejak kemarin

3) Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengatakan tidak bisa kencing sejak kemarin, pasien datang ke IGD untuk

memeriksakan keadaanya. Pasien tampak menahan sakit. Pasien mengatakan sudah

dilakukan operasi BPH sudah 7 bulan yang lalu. Saat di igd pasien dilakukan tindakan

pemasangan kateter, dan dokter merencanakan untuk operasi kembali. Mengetahui akan

dilakukan operasi pasien mengatakan takut dan cemas dengan keadaanya karena

sebelumnya sudah pernah dilakukan operasi .

4) Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya tidak mempunyai riwayat penyakit seperti yang

dialaminya saait ini

5) Riwayat penyakit keluarga

Pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan dari keluarga


Keadaan umum

Tanda-tanda vital :

TD :140/80mmHg

Nadi : 89x/menit

Suhu :36,7o C

RR : 21x/menit

II. Pengkajian persistem

1) B1 (Breathing)

Inspeksi : bentuk dada simetris, tidak retraksi intercostea

Palpasi : focal fremitus getaran kanan dan kiri sama , gerakan dada kanan

dan kiri sama, RR : 21x/menit

Perkusi : suara sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler

2) B2 (Blood)

Inspeksi :Tidak nampak ictus cordis

Palpasi : tidak teraba fibrilasi

Perkusi : suara redup

Auskultasi : TD : 140/80mmHg, irama jantung reguler, suara jantung s1 s2

tunggal

3) B3 (Brain)

Pasien nampak gelisah , dan pasien mengatakan merasa khawatir dengan

keadaannya

GCS : 4,5 6
P : pasien mengatakan sakit karena tidak bisa kencing

Q : Nyeri seperti di tekan

R : nyeri pada kandung kemih

S : skala 6

T : klien mengatakan sakit sejak kemarin

4) B4 (Bladder)

Terpasang selang kateter

5) B5 (Bowel)

Inspeksi : bentuk perut datar, tidak ada lesi

Auskultasi : bising usus 17x/menit

Palpasi : tidak teraba lien , terdapat nyeri tekan

Perkusi : suara tympani

6) B6 (Bone)

Muskoloskeletal :kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah


5 5

Integumen : Suhu : 36,7o C, tidak ada lesi,


5 5
warna kulit sawo matang, CRT < 3 detik
III. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS : Ancaman terhadap Ansietas

Pasien mengatakan tidak kematian

bisa kencing dari kemarin,

pasien mengatakan merasa

takut, khawatir dan cemas

dengan dirinya karena

mengetahui akan dilakukan

tindakan operasi yang

kedua kalinya

DO :

Pasien nampak gelisah dan

merasa khawatir

TD : 140/80mmHg

Nadi : 89x/menit

RR : 21x/menit

IV. Diagnosa Keperawatan

Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian

V. Intervensi

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam ansietas biasa berkurang
Kriteria Hasil :

1. Tingkat ansietas menurun

Rencana tindakan

Observasi

1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah

2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan

3) Monitor tanda ansietas

Terapeutik

1) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan

2)Temani pasien untuk mengurangi kecemasan

3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

Edukasi

1) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis

2)Latih teknik relaksasi


VI. Implementasi

Diagnosa Waktu Implementasi Hasil

Ansietas 09.20 Observasi - Pasien mengatakan

berhubungan 1) Mengidentifikasi klien merasa cemasnya berkurang

dengan saat tingkat ansietas berubah jika bersama dengan

ancaman 09.30 2) Mengidentifikasi keluarganya

kematian kemampuan mengambil - Pasien terlihat bingung

keputusan - Pasien nampak gelisah

09.40 3) Mengobservasi tanda

ansietas

4) Mengobservasi TTV - TD : 130/70mmHg, Nadi

09.55 Terapeutik 84x/menit, RR : 19x/menit

1) Memberikan motivasi

pada klien untuk - Pasien nampak lebih

menumbuhkan tenang

kepercayaan - Keluarga kooperatif

2) Memberitahu pada

keluarga untuk

menemani klien untuk

mengurangi

kecemasan

Edukasi
3) Menjelaskan pada

pasien secara faktual - Pasien mengerti dan

mengenai prosedur nampak tenang

selama operasi - Pasien merasalebih tenang

4) Memberikan laihan

teknik relaksasi berdoa

dan nafas dalam

VII. Evaluasi

Diagnosa Waktu Evaluasi


Ansietas 09.20 S : pasien mengatakan merasa

berhubungan lebih tenang

dengan ancaman O : pasien nampak lebih tenang

kematian dan rileks

TD : 130/70mmHg, Nadi

84x/menit, RR : 19x/menit

A : masalah teratasi sebagian

P : intervensi dilanjutkan

- Berikan latihan relaksasi

dan berikan motivasi pada

klien

- Observasi TTV
III. Daftar Pustaka

Bauldoff, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan (EGC (ed.)).

Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta: EGC.

Huda, Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawtan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan

NANDA NIC-NOC, Jilid 1. Jakarta: Medication Publishing.

Hudak and Gallo. 1994. Critical Care Nursing, A Holistic Approach. Philadelpia: JB

Lippincott company

NANDA. 2013. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:

EGC.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda, G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai