Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS

LAKI-LAKI DENGAN PTERIGIUM


(Kasus Medik)

Disusun oleh:
dr. Qanita Afla Afnia

Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah

Penguji:
dr. Guntur Susetyo, Sp. M

RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2018
KASUS 1

Nama Peserta : dr. Qanita Afla Afnia

Nama Wahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN

Topik: LAKI-LAKI DENGAN PTERIGIUM

Tanggal (kasus): Pendamping: dr. IMAM PRASETYO

Tanggal presentasi : dr. SITI HANAH

Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

Obyektif presentasi:

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi:

Autoanamnesis dengan pasien, pada tanggal 27 November 2018 Pukul 08.00 di Bangsal
Teratai RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

□ Tujuan:

Menegakkan diagnosis pada Pterigium

Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien Pterigium

Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos

2
Data pasien: Nama: Tn. S

Nama Klinik: Poli Mata RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:

Kab. Pekalongan

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:


Pasien datang ke Poli Mata RSUD Kajen dengan keluhan pandangan
kabur pada mata kanan ± 3 bulan yang lalu. Terlihat seperti ada selaput pada
mata kanan, perih (+), berair (+), dan terasa seperti ada yang mengganjal.
2. Riwayat Alergi:
Pasien tidak ada alergi terhadap obat tertentu.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat Mondok : (-)
 Riwayat keluhan serupa: (-)

4. Riwayat Keluarga:
 Riwayat memakai kacamata (-)
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tinggal bersama istri dan 2 orang anaknya. Pasien menggunakan BPJS.
Kesan ekonomi : sedang

1. SUBYEKTIF
Tanggal 27 November 2018, pukul 08.00 WIB
Pasien Ny. S usia 44 tahun

2. OBYEKTIF

3
Pemeriksaan Fisik:

OD OS

Visus 1/60 1/60


Kedudukan Bola Mata Orthoforia
Gerakan Bola Mata

Segmen Anterior

Bulu mata Trichiasis (-) Trichiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva bulbi Selaput pterigium (+) Injeksi (-)


hingga pupil

Kornea Normal Normal

Bilik Mata Depan Cukup Cukup

Iris Kripta iris normal kripta iris normal

Pupil Ø 2 mm, RC (+) Ø 2 mm, RC (+)

Lensa Jernih Jernih


3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

4
Laboratorium (26-11-2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Lekosit 8,5 3,8 – 10,6
Hemoglobin 14,1 13,2 – 17,3
Hematokrit 43,5 35,0-50,0
Trombosit 200 150 – 440

GDS 103 80-130


Ureum 33 10-50
Creatinin 0,85 0,6-1,1
HbsAg Negatif
4. DIAGNOSIS
OD Pterigium Grade IV
5. DIAGNOSIS BANDING
1. Pseudopterigium
2. Pannus
6. PLANNING
1. Pro operasi ekstirpasi besok
2. Cek darah rutin
3. Cek vital sign
7. TERAPI
1. Mydriatil 6 gtt OD
2. Flamar 3 gtt OD

5
FOLLOW UP

27 November 2018 (DPH 0)


S O A P
Mata kanan terasa Pemeriksaan Fisik: OD Pterigium PLAN
tidak nyaman (+), KU : Baik Grade IV  Pro operasi
pandangan kabu Kes : CM ekstirpasi
(+), berair (+) (E4V5M6) besok
 Cek darah rutin
Vital Sign
 Cek vital sign
T : 36,5 0C
TERAPI
TD : 120/80 mmHg
RR : 20x/menit  Mydriatil 6 gtt

N : 80 x/menit OD

Mata : Conjunctiva  Flamar 3 gtt

anemis (-/-) OD

Thorak : Ves (+/+),


Rh (-/-)
Abdomen : BU (+),
supel
Ekstremitas :
Oedem ext inferior
(-/-)

28 November 2018 (DPH 1)


S O A P
(-) Pemeriksaan Fisik: Post ekstirpasi PLAN
KU : Baik pterigium H+0  BLPL

6
Kes : CM TERAPI
(E4V5M6) (obat pulang)
 Ciprofloxacin
Vital Sign
2x1
T : 36,5 0C
 Paracetamol
TD : 110/80 mmHg
3x500 mg
RR : 20x/menit
 Mydriatil 6 gtt
N : 78 x/menit
OD
Mata : Conjunctiva
 Flamar 3 gtt
anemis (-/-)
OD
Thorak : Ves (+/+),
Rh (-/-)
Abdomen : BU (+),
supel
Ekstremitas :
Oedem ext inferior
(-/-)

TINJAUAN PUSTAKA

7
PTERIGIUM

A. DEFINISI
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea (Ilyas, 2007).

B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI


Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2007).
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yaitu
diantaranya adalah radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan
tertentu di udara dan faktor herediter (Edward&Mannis, 2002).
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan
kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting
(Edward&Mannis, 2002).
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan
(Edward&Mannis, 2002).
3. Faktor lain.

8
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Yang
juga menunjukkan adanya “pterigium angiogenesis factor dan penggunaan
farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah,
dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga
penyebab dari pterigium (Edward&Mannis, 2002).

C. KLASIFIKASI
Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu
(Edward&Mannis, 2002) :
1. Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterygium (disebut cap pterigium).
2. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Selain itu terdapat pembagian lain dari pterigium yaitu (Kanskii, 2007):
1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata.

D. PATOFISIOLOGI

9
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film
menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini
(American Academy of Opthalmology, 2007).
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi dysplasia
(Khurana, 2007; Gazzard et al., 2002).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra
(Edward&Mannis, 2002).

10
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
(Edward&Mannis, 2002).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesa
Penderita pterigium pada tahap awal biasanya tanpa keluhan sama sekali
atau biasanya ringan. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

a. Mata sering berair dan tampak merah


b. Merasa seperti ada benda asing
c. Penurunan tajam penglihatan.
d. Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya massa jaringan kekuningan
akan terlihat pada lapisan luar mata (sklera) pada limbus, berkembang menuju
ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sklera dan selaput lendir luar mata
(konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan
(Edward&Mannis, 2002; Khurana, 2007).

11
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya
pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium
(stoker's line) (Edward&Mannis, 2002; Khurana, 2007).

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterigium (Edward&Mannis, 2002; Khurana, 2007).

Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.


b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 –
4 mm)
d. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme 
ireguler yang disebabkan oleh pterigium

12
E. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pada kasus ringan, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat diatasi
dengan :
a. Air mata buatan (GenTeal)
Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan
kornea yang irreguler akibat tumbuhnya pterigium.
b. Prednisolon asetat
Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasipada
mata dengan inflamasi yang signifikan dan tidak diatasi dengan lubrikan
topikal.

2. Operatif
Indikasi untuk dilakukannya terapi operatif pada pasien pterigium adalah
(Anonim, 2006):
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu (American
Academy of Ophthalmology, 2007):
a. Bare sclera
Pada teknik ini tidak ada jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
b. Simple closure
Pada teknik ini tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).

13
c. Sliding flaps
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser
untuk menutupi defek.
d. Rotational flap
Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang
dirotasi pada tempatnya.
e. Conjunctival graft
Suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan
besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
f. Amnion membrane transplantation
Mengurangi frekuensi rekuren pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada
permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β
pada konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.
g. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan
terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

3. Nonmedikamentosa
Pasien disarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan
sebagai tambahan menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di
daerah tropis dan subtropics, atau pada pasien yang sering beraktifitas diluar
(Gazzard et al., 2002).

F. PROGNOSIS
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau
beta radiasi (Donald, 2000).

14
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur
yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi
pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien
bisa memulai aktivitasnya (Donald, 2000).

G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut (Gazzard et al., 2002):
a. Gangguan penglihatan
b. Iritasi
c. Gangguan pergerakan bola mata.
d. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
e. Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral
berkurang
f. Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia
g. Dry eye syndrome
h. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut (Edward&Mannis, 2002):


a. Rekurensi
b. Infeksi
c. Perforasi korneosklera
d. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
e. Korneoscleral dellen
f. Granuloma konjungtiva
g. Epithelial inclusion cysts
h. Conjungtiva scar
i. Adanya jaringan parut di kornea
j. Disinsersi otot rektus

15
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2007. External Disease and Cornea. BSSC


section 8.

Donald TH. 2000. Pterygium in Clinical Ophthalmology – An Asian Perespective.


Philadelphia: Saunders Elsevier.

Edward J H, Mark J. Mannis. 2002. Ocular Surface Disease, Medical Surgical


management.
Gazzard G, Saw S – M, Farook M, Koh D, Wijaya D. 2002. Pterygium in Indonesia :
Prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology.
Ilyas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kanskii J.J. 2007. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach,
6thed.
Khurana AK. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensif Ophthalmology
4thed. New Delhi: New Age International.

Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III . 2006.
Surabaya: Penerbit Airlangga Surabaya.

Stephen GW. 2004. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology Vol. 6.


Philadelphia: Lippincont Williams & Wilkin.

Voughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum edisi 17. Jakarta : EGC.

16

Anda mungkin juga menyukai