NIM : 19481120
Kelas : Farmasi A
Imunologi dan Serologi
Toleransi imunologi
Toleransi imunologi yaitu sistem yang tidak atau kurang dapat mengekspresikan
imunitas humoral atau selular terhadap satu atau lebih antigen spesifik. Adanya toleransi
spesifik terhadap sel antigen memungkinkansuatu makhluk hidup dapat hidup, tumbuh dan
berkembang (Subowo, 1993).
Pada sistem imun normal tubuh dapat membedakan antigen self (berasal dari tubuh
sendiri) dengan non-self (berasal dari luar tubuh/benda asing) dengan adanya toleransi
imun (Subowo, 1993).
Tahun 1900 Paul Ehlich menyadari bahwa sistem imun dapat menyerang antigen sel
tubuh sendiri. Kejadian tersebut disebutnya horror autotoxicus yang dapat menimbulkan
sejumlah penyakit akut dan kronis.
Tahun 1959, hasil eksperimen dari Jerne, Talmage dan Burnet (1950), mengubah
istilah horror autotoxicus kedalam teori clonal selection yang merupakan dasar toleransi.
hidup fetal melalui inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut
clonal abortion, clonal deletion atau seleksi negative.
a. Toleransi Sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptida
asal protein sendiri. Sel T diproduksi dalam sumsum tulang, namun pematangan dan
perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor Sel T yang berasal dari sumsum
tulang, bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Sel T tersebut merupakan
sel T prekursor yang memiliki gen TCR yang tidak disusun dan tidak mengekspresikan
CD4 atau CD8 (Baratawidjaja, 2009).
Timosit mula-mula ditemukan dibagian luar korteks. Gen TCR mulai disusun, CD3,
CD4, CD8 dan TCR diekspresikan. Selama pematangannya, sel melewati korteks ke
medulla, CD4, CD8 (negative berganda) berkembang melalui CD4+, CD8- yang
selanjutnya berkembang menjadi CD4+, CD8- atau CD4+, CD8- (positif tunggal) yang
disusul dengan perkembangan TCRβ, kemudian TCRα (Baratawidjaja, 2009).
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya ditimus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan
timosit yang self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel
hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal
berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui apoptosis
(Baratawidjaja, 2009).
Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup
dan memiliki potensi untuk mengikat komplek peptide-MHC dan
memberikan awal respon imun protektif kemudian. Namun sel T yang
mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan
memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan
autoimunitas. Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu
disebut seleksi negative atau edukasi timus. Diduga 90% timosit mengalami
proses seleksi negative, dihancurkan dan gagal untuk berfungsi
(Baratawidjaja, 2009).
Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa
sel T yang self-reaktif masih dapat ditemukan pada individu sehat.
Kegagalan edukasi timus tersebut disebabkan oleh karena banyak self-
peptida tidak diekspresikan dalam jumlah yang cukup dalam timus untuk
dapat menginduksi seleksi negative. Kebanyakan peptide yang ditemukan
dan diikat MHC dalam timus berasal dari bahan intraseluler yang ada
dimana-mana dalam tubuh atau protein yang diikat membrane atau dalam
cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen ditemukan dalam timus.
Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih
diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap
beberapa protein jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T
terhadap protein jaringan spesifik dapat ditemukan pada orang normal. Pada
beberapa hal, sel T (juga sel B dalam sumsum tulang) yang self-reaktif dapat
lolos dari seleksi negative dalam timus dan muncul diperifer. Toleransi
perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai
inaktivasi sel T (dan B) yang masih self-reaktif diperifer (Baratawidjaja,
2009).
b. Toleransi Perifer
1) Ignorance
2. Toleransi Sel B
a. Toleransi Sentral
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada
toleransi sel T berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan
dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur
terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal
tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru yang disebut receptor
editing (Baratawidjaja, 2009).
b. Toleransi perifer
1) Inersia
2) Alergi
2. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi
melalui blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat
imunogenik, tergantung dari sifat dan perbandingan antigen dan antibody .
3. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul
yang sulit dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan
biasa antigenik.
Presentasi Antigen
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen
sendiri ke sel T, tetapi dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat
dan mempresentasikan peptida sendiri (Baratawidjaja, 2009).
a. Eliminasi Klon
Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan
klon imatur limfosit yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan
menimbulkan toleransi. Hal ini dapat terjadi pada sel T dalam timus dan
sel B dalam sumsum tulang.
b. Reseptor Sel B
c. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik
yang larut. Bila sel T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang
menunjukkan adanya faktor blockade dalam serum.
d. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan
autoimunitas yang nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah
antibodi terhadap region ikatan epitope dari antibodi asli. AAI tersebut
dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah epitope yang
merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.
Induksi Toleransi
Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih
tolerogeni, oleh karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula
oleh karena reseptor limfosit dan rangsangan sel T dicegah.
f. APC, Anti-MHC
Dalam proses seleksi klon baik sel T maupun sel B, tidak sepenuhnya
dapat diatasi atau diseleksi. Adanya beberapa sel yang lolos dari toleransi
sentral maupun perifer, akan menimbulkan penyakit autoimmune, yakni terjadi
akibat adanya kegagalan toleransi imun. Berikut ini faktor-faktor penyebab
terjadinya kegagalan toleransi imun:
Mengatasi Toleransi Perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi
dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun
yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan.
Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan
ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan
jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-
presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul
ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi
juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler,
menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke
sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri
juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari
mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan
konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi
silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali
peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan
presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut.
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat:
• Mekanisme tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi
populasi asal sel T yang tidak responsive
• suntikan LPS yang merupakan activator sel B poloklonal dapat mengakhii toleransi
sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Jakarta:
Febriansah R, Putri DDP, Sarmoko, Nurulita NA, Meiyanto E, Nugroho AE, 2010,