Anda di halaman 1dari 21

Nama : Suci Aprilia

NIM : 19481120
Kelas : Farmasi A
Imunologi dan Serologi

Toleransi imunologi
Toleransi imunologi yaitu sistem yang tidak atau kurang dapat mengekspresikan
imunitas humoral atau selular terhadap satu atau lebih antigen spesifik. Adanya toleransi
spesifik terhadap sel antigen memungkinkansuatu makhluk hidup dapat hidup, tumbuh dan
berkembang (Subowo, 1993).

Pada sistem imun normal tubuh dapat membedakan antigen self (berasal dari tubuh
sendiri) dengan non-self (berasal dari luar tubuh/benda asing) dengan adanya toleransi
imun (Subowo, 1993).

Tahun 1900 Paul Ehlich menyadari bahwa sistem imun dapat menyerang antigen sel
tubuh sendiri. Kejadian tersebut disebutnya horror autotoxicus yang dapat menimbulkan
sejumlah penyakit akut dan kronis.
Tahun 1959, hasil eksperimen dari Jerne, Talmage dan Burnet (1950), mengubah
istilah horror autotoxicus kedalam teori clonal selection yang merupakan dasar toleransi.

Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit


autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self- reaktif terhadap antigen
sel tubuh sendiri yang disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada
organ limfoid primer, seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan
di perifer yang disebut toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama

hidup fetal melalui inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut
clonal abortion, clonal deletion atau seleksi negative.

Tubuh mempunyai mekanisme kuat untuk mencegah terjadinya autoimunitas. Sel T


terutama sel CD4+, memilki peran sentral dalam mengontrol hampir semua respon imun.
Oleh karena itu toleransi sel T merupakan hal yang jauh lebih penting dibandingkan
toleransi sel B. hampir semua sel B yang self reaktif tidak akan dapat memproduksi
autoantibodi kecuali bila menerima bantuan yang benar dari sel T (Baratawidjaja, 2009).
1. Toleransi Sel T
Sel T yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus, berkembang dalam
timus melalui berbagai fase : double negative, double positive, seleksi positive, dan seleksi
negative dan toleransi (Baratawidjaja, 2009).

a. Toleransi Sentral

Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptida
asal protein sendiri. Sel T diproduksi dalam sumsum tulang, namun pematangan dan
perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor Sel T yang berasal dari sumsum
tulang, bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Sel T tersebut merupakan
sel T prekursor yang memiliki gen TCR yang tidak disusun dan tidak mengekspresikan
CD4 atau CD8 (Baratawidjaja, 2009).

Timosit mula-mula ditemukan dibagian luar korteks. Gen TCR mulai disusun, CD3,
CD4, CD8 dan TCR diekspresikan. Selama pematangannya, sel melewati korteks ke
medulla, CD4, CD8 (negative berganda) berkembang melalui CD4+, CD8- yang
selanjutnya berkembang menjadi CD4+, CD8- atau CD4+, CD8- (positif tunggal) yang
disusul dengan perkembangan TCRβ, kemudian TCRα (Baratawidjaja, 2009).
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya ditimus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan
timosit yang self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel
hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal
berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui apoptosis
(Baratawidjaja, 2009).

Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup
dan memiliki potensi untuk mengikat komplek peptide-MHC dan
memberikan awal respon imun protektif kemudian. Namun sel T yang
mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan
memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan
autoimunitas. Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu
disebut seleksi negative atau edukasi timus. Diduga 90% timosit mengalami
proses seleksi negative, dihancurkan dan gagal untuk berfungsi
(Baratawidjaja, 2009).

Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa
sel T yang self-reaktif masih dapat ditemukan pada individu sehat.
Kegagalan edukasi timus tersebut disebabkan oleh karena banyak self-
peptida tidak diekspresikan dalam jumlah yang cukup dalam timus untuk
dapat menginduksi seleksi negative. Kebanyakan peptide yang ditemukan
dan diikat MHC dalam timus berasal dari bahan intraseluler yang ada
dimana-mana dalam tubuh atau protein yang diikat membrane atau dalam
cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen ditemukan dalam timus.
Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih
diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap
beberapa protein jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T
terhadap protein jaringan spesifik dapat ditemukan pada orang normal. Pada
beberapa hal, sel T (juga sel B dalam sumsum tulang) yang self-reaktif dapat
lolos dari seleksi negative dalam timus dan muncul diperifer. Toleransi
perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai
inaktivasi sel T (dan B) yang masih self-reaktif diperifer (Baratawidjaja,
2009).

b. Toleransi Perifer

Regulasi fungi sel T terus menerus diperlukan meskipun sel T sudah


meninggalkan timus. Proses tersebut penting untuk mencegah putusnya
toleransi bila sel T terpajan dengan self-antigen yang tidak ditemukan dalam
timus. Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk
mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam
organ limfoid primer atau terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas
rendah yang lolos dari seleksi primer. Jadi tubuh masih memiliki sistem
kontrol kedua terhadap sel yang potensial autoreaktif yang dikenal sebagai
toleransi perifer.
Ada mekanisme yang dapat mencegah toleransi perifer seperti
ignorance,anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg
(Baratawidjaja, 2009).

1) Ignorance

Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan/tidak


kelihatan/dikenal oleh sistem imun. Ignorance terjadi melalui berbagai
mekanisme misalnya tidak adanya cukup pemisahan anatomik atau
kompertementasi atau sekuesterasi seperti sawar darah-otak, lensa mata,
testis, antigen dalam organ avascular seperti humor vitreus dimata,
meskipun jumlah antigen terbatas dapat terlepas dari tempat tersebut.
Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosit
reaktif pada kondisi normal. Antigen tersebut tak pernah dipajankan
dengan sel imun hingga tidak akan terjadi reaksi imun. Namun akibat
infeksi atau cidera, antigen yang tidak pernah dikenal limfosit selama
perkembangannya akan terpajan dengan sistem imun yang akan
memberikan respon (Baratawidjaja, 2009).

2) Sel T autoreaktif yang dipisahkan

Self-antigen dan limfosit juga dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit


yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas
bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Distribusi molekul
MHC-II terbatas pada APC seperti SD, yang berarti bahwa molekul
organ spesifik tidak diekpresikan dengan kadar yang cukup untuk
menginduksi aktivasi sel T. untuk mencegah sejumlah besar self-antigen
terpajan dengan APC yang memiliki banyak petanda pengenal, sisa-sisa
degradasi jaringan sendiri harus disingkirkan dan dihancurkan. Hal ini
terjadi melalui proses apoptosis, yang dapat mencegah tersebarnya isi sel
serta sejumlah mekanisme scavenger. Yang akhir melibatkan sistem
komplemen, ACP dan sejumlah reseptor pada fagosit.

3) Anergi dan kostimulasi

Anergi dan kostimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang


lebih aktif. Sel yang self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau
induksi anergi/keadaan tidak reponsif. Untuk mengawali respon imun, sel
CD4 naif memerlukan dua sinyal untuk diaktifkan : sinyal antigen
spesifik melalui TCR dan sinyal kostimulator non-spesifik, biasanya
sinyal dari CD8 yng mengikat family B7 (CD80 atau CD 86). Stimulasi
sel T tanpa molekul kostimulator juga menimbulkan kematian sel.

2. Toleransi Sel B

a. Toleransi Sentral

Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel,


mengekspresikan BCR. Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi pada
stadium ini dan terjadi dalam sumsum tulang. BCR berfungsi mengikat
molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen
spesifik. Bila BCR tidak berikatan dengan antigen spesifik, sinyal BCR
tetap ada pada ambang basal dan sel memasuki fase transisi untuk dilepas ke
sirkulasi perifer. Sel B imatur yang terpajan dengan antigen ekstraseluler
akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang
(Baratawidjaja, 2009).

Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada
toleransi sel T berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan
dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur
terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal
tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru yang disebut receptor
editing (Baratawidjaja, 2009).
b. Toleransi perifer

Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalam pengawasan perifer


untuk mempertahankan toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang
meninggalkan sumsum tulang adalah toleran terhadap self-antigen. Namun,
beberapa sel terlepas dari proses seleksi negative. Untuk mencegah
autoimunitas, ada proses pencegahan toleransi kedua diperifer. Setelah
meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur, bermigrasi ke
zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati
limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B
dan apoptosis ditingkatkan. Siklus sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3
hari. namun beberapa sel B antigen dengan aviditas tinggi berperan dalam
respons terhadap antigen asing (Baratawidjaja, 2009).

1) Inersia

Inersia adalah imunosupresi yang berhubungan dengan antigen


histokompatibel yang terjadi misalnya selama hamil, berupa supresi
reaktivitas imun ibu terhadap antigen histokompatibel janin.

2) Alergi

Anergi adalah menurunnya atau menghilangnya fungsi sel B atau sel T


(seperti terlihat pada reaksi DTH-tes kulit dengan PPD, histo plasmin dan
kandidin). Anergi diinduksi oleh pengenalan antigen tanpa adanya
kostimulator yang cukup dan dapat diinduksi oleh mutasi antigen
peptide.
3. Regulasi Oleh Antigen dan Antibodi

a. Regulasi oleh antigen

Antigen diperlukan untuk mengawali respon imun yang derajatnya


dipengaruhi faktor genetik (gen MHC). Tidak semua suntikan antigen
menimbulkan respons imun. Respon imun dipengaruhi jenis antigen, larut
atau berupa partikel, dosis, waktu pemberian, sifat dan komposisi antigen
(protein atau hidrat arang) (Baratawidjaja, 2009).

b. Regulasi oleh antibody

Pembentukan antibodi berakhir dalam pencegahan umpan balik.


Antibodi dapat meningkatkan atau mencegah produksi immunoglobulin
(IgG, umpan balik negative). Timbulnya antibodi IgM berakhir dalam
penghentian produksinya dan mulainya sintesis IgG. Hal ini diduga terjadi
oleh karena adanya kompetisi antigen dan reseptor untuk IgG pada
permukaan sel B. demikian pula bila kadar antibodi meningkat, kadar
antigen akan menurun (Baratawidjaja, 2009).

2.2 Terminasi Toleransi


1. Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui
beberapa cara sebagai berikut (Baratawidjaja, 2009) :
a. Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ
globulin heterolog.

b. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi.


Mekanismenya tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan
aktivasi populasi asal sel T yang tidak responsive.

c. Suntikan LPS, yang merupakan activator sel B poliklonal dapat


mengakhiri toleransi sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T.

2. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi
melalui blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat
imunogenik, tergantung dari sifat dan perbandingan antigen dan antibody .
3. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul
yang sulit dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan
biasa antigenik.

4. Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi


APC dan makrofag merupakan sel-sel pertama yang bekerja dalam
respon imun. Pada umumnya bila antigen sampai dikenal makrofag, imunitas
akan diperoleh. Bila makrofag dilewati, beberapa jenis toleransi dapat terjadi.
Rusaknya makrofag oleh berbagai bahan yang terjadi sebelum antigen
diberikan, dapat menimbulkan toleransi.
APC mempresentasikan antigen ke sel T naïf dan perkembangan sel T
naïf selanjutnya menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit
intraseluler menginduksi terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit
ekstraseluler menginduksi produksi IL-4 atau IL-13. Sel Th1 memproduksi
IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Toleransi bersifat
epitope spesifik, tidak ada respon terhadap semua atau hanya pada epitope
dari antigen tertentu. Deviasi imun (split tolerance) hanya mengenai respon
humoral atau seluler saja, tetapi tidak keduanya (Baratawidjaja, 2009).

Pengamanan dan Pencegahan


Peran Sel T pada toleransi perifer
Sel Tr bekerja dijaringan limfoid dan tempat inflamasi. Sel Tr merupakan
4+ +¿
subset sel T CD 4¿ khusus, mengekpresikan rantai IL-2Rα (CD25) kadar

tinggi. Sel T regulator atau Th3 memproduksi sitokin imunosupresif IL-10


yang berperan dalam toleransi, menghambat fungsi APC dan aktivitas
makrofag serta TGF-β yang menghambat profliferasi sel T dan juga
makrofag. Sel Tr dibentuk dari timosit selama seleksi negative ditimus. Sel Tr
timbul dari subset sel T yang mengekspresikan reseptor dengan afinitas
sedang untuk self-antigen dalam timus. Sel Tr terbentuk oleh pengenalan self-
antigen dalam timus kadang disebut sel regulator alamiah, mungkin sebagian
kecil timbul oleh pengenalan antigen dijaringan limfoid perifer (Tr Adaptif).
Sel Ts/Tr menekan aktivitas sel Th. Mekanisme supresi oleh sel Tr terjadi
melalui sitokin yang diproduksinya oleh rangsangan antigen yaitu IL-10 dan
TGF-β yang merupakan supresor kuat aktivasi sel T. Bila sel Ts/Tr/Th3
dipindahkan pada resipien normal, maka imunitas terhadap antigen spesifik
tertentu akan tetap dicegah. Fenomena itu disebut toleransi infektif
(Baratawidjaja, 2009).

Presentasi Antigen
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen
sendiri ke sel T, tetapi dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat
dan mempresentasikan peptida sendiri (Baratawidjaja, 2009).
a. Eliminasi Klon

Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan
klon imatur limfosit yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan
menimbulkan toleransi. Hal ini dapat terjadi pada sel T dalam timus dan
sel B dalam sumsum tulang.

b. Reseptor Sel B

Reseptor sel B (Ig) dapat dipenuhi antigen yang tidak menimbulkan


aktivasi sel. Sel B janin dapat melepaskan Ig, tetapi tidak mampu untuk
mengikat antigen.

c. Reseptor Sel T

Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik
yang larut. Bila sel T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang
menunjukkan adanya faktor blockade dalam serum.

d. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan
autoimunitas yang nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah
antibodi terhadap region ikatan epitope dari antibodi asli. AAI tersebut
dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah epitope yang
merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.

Induksi Toleransi

Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik.


Terjadinya toleransi atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung
dari berbagai variabel seperti keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang
maturasi sistem imun resipien atau kompetensi imun. Pada umumnya toleransi
lebih mudah diinduksi pada sel imatur dibanding sel matang dan toleransi
dapat diinduksi dengan antigen dosis lebih kecil. Menginduksi toleransi sel T
lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel
(Baratawidjaja, 2009).

Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih
tolerogeni, oleh karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula
oleh karena reseptor limfosit dan rangsangan sel T dicegah.

DRute Fetal (neonatal)


Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau
janin in utero sebelum sistem imun resipien menjadi matang.

e. Toleransi oral-rute oral

Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun


mukosa agar tidak memberikan respon imun terhadap antigen dalam
makanan dan mikroorganisme. Toleransi oral diduga berkembang untuk
memudahkan sistem imun saluran cerna terpajan dengan protein eksternal
tanpa menimbulkan sensitasi.

f. APC, Anti-MHC

Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk


molekul MHC, akan menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya
toleransi. Intervensi presentasi antigen dapat ditimbulkan sel T yang tidak
memerlukan APC. Antibodi terhadap molekul MHC dapat menerangkan
efek transfuse darah dalam memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
g. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian
dosis rendah yang berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
h. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat
mencari sel T atau sel B dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.

Mekanisme Rusaknya Toleransi

Dalam proses seleksi klon baik sel T maupun sel B, tidak sepenuhnya
dapat diatasi atau diseleksi. Adanya beberapa sel yang lolos dari toleransi
sentral maupun perifer, akan menimbulkan penyakit autoimmune, yakni terjadi
akibat adanya kegagalan toleransi imun. Berikut ini faktor-faktor penyebab
terjadinya kegagalan toleransi imun:
Mengatasi Toleransi Perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi
dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun
yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan.
Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan
ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan
jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-
presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul
ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi
juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler,
menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke
sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri
juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari
mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan
konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi
silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali
peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan
presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut.
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat:

Antigen mikrobial Antigen diri Penyakit yang diduga


akibat molecular mimicry
Protein grup A streptokokus Antigen di otot jantung Demam reumatik
M
Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins Terkait dengan penyakit
autoimun berat namun
belum terbukti
Protein inti Coxsackie B4 Glutamat dekarboksilase Diabetes melitus
sel pulau pankreas dependen insulin
Glikoprotein Campylobacter Gangliosida dan Sindrom Guillain-Barre
jejuni glikolipid terkait mielin
Heatshock Subtipe rantai HLA-DR β Artritis reumatoid
protein dari Eschericia coli mengandung “epitop
bersama” artritis
reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut


pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan
menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini
disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive)


memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons
imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk
proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih
luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya
resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya
peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi
setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC
yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons
autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik
autoreaktif yang lama pula.
Kegagalan Kematian Sel yang Diinduksi oleh Aktivasi
Aktivasi sel T yang berpotensi autoreaktif secara persisten dapat
menyebabkan apoptosis sel tersebut melalui sistem ligan fas-fas. Hal ini berarti
kelainan pada jalur ini memungkinkan terjadinya proliferasi dan persistensi sel T
autoreaktif dalam jaringan perifer. Sebagai penunjang hipotesis ini, dilakukan
percobaan, yaitu tikus dengan kelainan genetik dalam fas atau ligan fas menderita
penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, sejauh ini tidak ada
penderita SLE yang ditemukan mutasi dalm gen fas atau ligan fas, kelainan kecil
lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada
penyakit autoimun manusia.

Gangguan pada Anergi Sel T


Perlu diingat bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari
pembersihan sentral akan menjadi anergik pada saat sel tersebut bertemu dengan
antigen sendiri tanpa adanya constimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi semacam
itu dapat rusak jika sel normal yang biasanya tidak mengeluarkan molekul
constimulator dapat diinduksi untuk melakukan hal tersebut. Dalam
kenyataannya, induksi semacam itu dapat terjadi setelah terdapat infeksi, atau
dalam situasi lain yang terjadi nekrosis jaringan dan inflamasi local. Pada
penderita dengan sklerosis multiple telah diperhatikan terjadi pengaturan
( upregulation ) Molekul Costimulator B7-1 pada sistem saraf pusatnya, yaitu
suatu penyakit autoimun yang sel T nya beraksi terhadap Mielin. Induksi
pengeluaran B7-1 yang serupa terjadi dalam sinovium para pasien arthritis
rematoid dan kulit pasien psoriasis. Pengamatan telah membuka kemungkinan
untuk terjadinya manipulasi imunologis pada penyakit autoimun yang dicapai
pada jalur konstimulator penghambat.

Pemintasan Kebutuhan Sel B untuk Bantuan Sel T


Banyak self antigen mempunyai determinan yang beragam, beberapa
diantaranya dikenali oleh sel B, dan yang lain oleh sel T. Respon antibodi
terhadap antigen tersebut hanya terjadi jika sel B yang berpotensi self – reactive
menerima bantuan dari sel T, dan toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai
dengan pembersihan atau anergi sel T helper yang toleran tergantikan. Satu cara
untuk melakukan hal ini adalah jika epitop sel T dari suatu selfantigen
dimodifikasi, yang memungkinkan pengenalan oleh sel T yang tidak
dimusnahkan. Sel ini kemudian dapat bekerja sama dengan sel B, yang
membentuk auto antibodi. Modifikasi determinan sel T suatu antigen yang
semacam itu dapat dihasilkan dari pembentukan kompleks dengan obat atau
mikroorgansime. Sebagai contoh, anemia hemolitk autoimun, yang terjadi setelah
pemberian obat tertentu, dapat disebabkan oleh perubahan yang diinduksi oleh
obat pada permukaan sel darah merah yang menghasilkan antigen yang dapat
dikenali oleh sel T helper.

Kegagalan Supresi yang Diperantarai Sel T


Kemungkinan berkurangnya fungsi sel T regulator yang dapat menyebabkan
autoimunitas merupakan hal yang sangat menarik. Penelitian telah menunjukan
adanya tipe khusus sel T CD 4+ antigen spesifik yang menyekresi IL – 10 ; sel CD
4+ ini dapat menekan proliprasi sel T lain yang antigen – spesifik dan, yang lebih
penting adalah mencegah colitis autoimun pada tikus percobaan. Masih diselidiki
apabila hilangnya sel T regulator tersebut berperan pada autoimuinitas pada
manusia.
Aktivasi Limfosit Poliklonal
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam beberapa kasus, toleransi
dipertahankan melalui anergi. Namun autoimunitas dapat terjadi jika klon yang
self reactive, tetapi anergik tersebut dirangsang oleh mekanisme yang tidak
bergantung antigen.

Pelepasan Antigen Terasing


Tanpa memperhatikan mekanisme pasti sehingga terjadi toleransi diri,
jelaslah bahwa induksi toleransi membutuhkan interaksi antara antigen yang ada
dan sitem imun. Jadi, setiap antigen sendiri yang benar-benar telah terasingkan
selama perkembangannya mungkin dianggap asing jika selanjutnya bertemu
dengan sistem imun. Yang termasuk dalam kategori ini adalah antigen
spermatozoa dan antigen okular.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOLERANSI


faktor yang mempengaruhi toleransi immunology Faktor Genetik
• Risiko yang diturunkan pada sebagian besar penyakit autoimun dikaitkan pada banyak
loki gen, dengan kontribusi terbesar dibuat
oleh gen MHC. • Banyak penyakit autoimun pada manusia dan hewan peliharaan yang
dikaitkan dengan alel MHC tertentu.
• Polimorfisme pada gen non-HLA berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun dan
berperan pada kegagalan toleransi-diri atau kelainan aktivasi limfosit.
Peranan Infeksi
dan Pengaruh Lingkungan Lain
• Infeksi dapat mengaktifkan limfosit autoreaktif, sehingga memicu timbulnya penyakit
autoimun. • Mekanisme: Suatu infeksi pada jaringan dapat mernicu suatu respons imun
alami lokal, yang akan menyebabkan peningkatan produksikostimulator dan sitokin oleh
APC Beberapa mikroba infeksius dapat menghasilkan antigen peptida yang serupa dan
bereaksi silang dengan autoantigen. Respons imun alami terhadap infeksi dapat mengubah
struktur kimia autoantigen. Peranan Infeksi dan Pengaruh Lingkungan Lain
CARA MENGHENTIKAN TOLERANSI

• Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap globulin


heterology

• Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi

• Mekanisme tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi
populasi asal sel T yang tidak responsive

• suntikan LPS yang merupakan activator sel B poloklonal dapat mengakhii toleransi
sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T
DAFTAR PUSTAKA

Abbas K A, Lichtmant A H, Pillai S. 2007. Cellular and Molecular Immunology.

Sixth ed. Philadelphia : W B Saunders Company.

Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Febriansah R, Putri DDP, Sarmoko, Nurulita NA, Meiyanto E, Nugroho AE, 2010,

Hesperidin as a preventive resistance agent in MCF-7 breast cancer cells line

resistance to doxorubicin, Asian Pac J Trop Biomed 4(3): 228-233

Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Kimbal,1983. Biologi, Jakarta : erlangga

Subowo. 1993. Imunologi Klinik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai