Bab 2
Interaksi Desa dan Kota
3) Desa swasembada
Desa swasembada (desa maju) adalah desa yang sudah
mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki
secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan
masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan
masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang
dengan wilayah lain (fungsi perdagangan), dan
kemampuan untuk saling memengaruhi dengan
penduduk di wilayah lain. Dari hasil interaksi tersebut,
masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk
memanfaatkan sumber dayanya sehingga proses
pembangunan berjalan dengan baik.
b. Berdasarkan Kegiatan atau Mata Pencarian
Berdasarkan kegiatan atau mata pencariannya, desa
dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut.
1) Desa agraris merupakan desa yang kehidupannya
didasarkan pada kegiatan pertanian. Pada kegiatan
2) Desa industri merupakan desa yang kehidupannya
didasarkan industri.
3) Desa nelayan merupakan desa yang kehidupannya
didasarkan pada kegiatan perikanan.
c. Berdasarkan Jumlah Penduduk
Berdasarkan jumlah penduduknya, desa dikelompokkan
menjadi tiga macam sebagai berikut.
1) Desa kecil, yaitu desa yang berpenduduk 250-1.000 jiwa.
2) Desa sedang, yaitu desa yang berpenduduk 1.000-1.750
jiwa.
3) Desa besar, yaitu desa yang berpenduduk 1.750-2.000
jiwa.
5. Pola Permukiman Wilayah Desa
Bentuk permukiman antara desa satu dan desa lain mempunyai
perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena faktor geografi yang
berbeda. Bentuk perkampungan desa antara satu desa dan lainnya
berbeda. Hal ini sangat bergantung pada kondisi fisik geografi
setempat.
Di daerah dataran memperlihatkan bentuk perkampungan yang
berbeda dibandingkan dengan bentuk perkampungan di daerah
perbukitan atau pegunungan.
Bentuk perkampungan atau permukiman di pedesaan pada
prinsipnya mengikuti pola persebaran desa yang dapat dibedakan
atas perkampungan linier, memusat, terpencar, dan mengelilingi
fasilitas tertentu.
a. Bentuk Perkampungan Memusat
Perkampungan memusat merupakan bentuk perkampungan
yang mengelompok (agglomeratedruralsettlement). Pola seperti
ini banyak ditemui di daerah pegunungan biasanya dihuni oleh
penduduk yang berasal dari satu keturunan sehingga merupakan
satu keluarga atau kerabat. Jumlah rumah umumnya kurang dari
40 rumah yang disebut dusun (hamlet) atau lebih dari 40 rumah,
bahkan ratusan yang dinamakan kampung (village).
b. Bentuk Perkampungan Linier
Perkampungan linier merupakan bentuk perkampungan yang
memanjang mengikuti jalur jalan raya, alur sungai, dan garis
pantai. Biasanya pola perkampungan seperti ini banyak ditemui di
daerah dataran, terutama di dataran rendah. Pola ini digunakan
masyarakat dengan maksud untuk mendekati prasarana
transportasi (jalan dan sungai) atau untuk mendekati lokasi
tempat bekerja, seperti nelayan di sepanjang pinggiran pantai.
c. Bentuk Perkampungan Mengelilingi Fasilitas Tertentu
Bentuk perkampungan seperti ini umumnya kita temui di
daerah dataran rendah yang di dalamnya banyak terdapat fasilitas
umum yang dimanfaatkan penduduk setempat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Fasilitas tersebut, misalnya mata air,
danau, waduk, dan fasilitas lain.
d. Bentuk Perkampungan Terpencar
Perkampungan terpencar merupakan bentuk perkampungan yang
terpencar menyendiri (disseminatedruralsettlement). Biasanya
perkampungan seperti ini hanya merupakan farmstead, yaitu
sebuah rumah petani yang terpencil, tetapi lengkap dengan
gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang
ternak, dan rumah petani. Perkampungan terpencar di Indonesia
jarang ditemui. Pola seperti ini umumnya terdapat di Eropa Barat,
Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
B. Struktur Keruangan dan Perkembangan Kota
Pada hakikatnya kota lahir dan berkembang dari wilayah pedesaan.
Hampir sebagian besar wilayah kota arealnya berasal dari budaya manusia
itu sendiri. Berbekal akal dan pikiran yang dimiliki, membuat manusia
berpikir untuk mewujudkan suatu wilayah melalui hasil karyanya sendiri.
Hal inilah yang telah melahirkan berbagai fasilitas penting yang ada di
perkotaan.
1. Pengertian Kota
Secara umum, kota adalah tempat bermukimnya warga kota,
tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi,
pemerintah, dan lain-lain. Kota berasal dari kata urban yang
mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan
menyangkut sifat- sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal,
sosial, ekonomi, dan budaya. Perkotaan mengacu pada areal yang
memiliki suasana penghidupan dan kehidupan modern dan menjadi
wewenang pemerintah kota (Rinaldi Mirsa, 2012: 9).
Menurut Bintarto (1984: 35), dari segi geografis kota diartikan
sebagai suatu sistem jaringan kehidupan yang ditandai dengan
kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata
ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis atau dapat pula
diartikan sebagai bentangan budaya yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alam dan nonalam dengan gejala-gejala pemusatan penduduk
yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen
dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya.
Rinaldi Mirsa (2012: 9-10) mendefinisikan pengertian kota sebagai
salah satu entitas yang sistemik atau utuh. Itu hal pertama yang
harus dipakai. Sebagai suatu etitas yang utuh, apa pun realitas kota,
merupakan wahana hidup bagi seluruh warganya, dengan daya
dukung material kewilayahan apa pun yang ada di kota itu. Pada
konteks seperti ini, hal mendasar yang harus diperhatikan adalah
bagaimana sumber daya kota secara material dan nonmaterial
menjadi wahana hidup bagi seluruh warga.
2. Unsur dan Ciri-Ciri Kota
Kota memiliki beberapa unsur. Adapun unsur-unsur perkotaan
sebagai berikut.
a. Unsur-unsur fisik, antara lain topografi, kesuburan tanah, dan
iklim.
b. Unsur-unsur sosial, yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan
keserasian dan ketenangan hidup warga kota.c. Unsur-unsur
ekonomi, yaitu fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan pokok
penduduk perkotaan.
c. Unsur-unsur budaya, yaitu seni dan budaya yang dapat
memberikan semangat dan gairah hidup penduduk perkotaan.
Adapun ciri-ciri kota menurut Bintarto sebagai berikut.
a. Ciri-Ciri Fisik
Di wilayah kota terdapat sarana perekonomian seperti pasar
atau supermarket, tempat parkir yang memadal, tempat rekreasi
dan olahraga; alun-alun; serta gedung-gedung pemerintahan.
b. Ciri-Ciri Sosial
Ciri-ciri masyarakat perkotaan antara lain hubungan sosial
bersifat gesselschaftpatembayan (hubungan jangka pendek);
kehidupan bersifat individualistik masyarakatnya beraneka
ragam; pandangan hidup masyarakatnya lebih rasional; norma-
norma keagamaan tidak begitu ketat; serta adanya lapangan
pekerjaan yang bermacam- macam.
3. Potensi Kota
Potensi kota adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki dan
kemungkinan untuk dikembangkan dalam wilayah otonomi kota.
Potensi yang dimiliki suatu kota sebagai berikut.
a. Potensi ekonomi, yaitu adanya pasar-pasar, bank-bank, stasiun,
dan kompleks pertokoan yang menunjang sistem perekonomian
kota.
b. Potensi politik, yaitu adanya aparatur kota yang menjalankan
tugas-tugasnya, baik aparatur sipil maupun militer.
c. Potensi sosial, yaitu adanya badan-badan atau yayasan-yayasan
sosial dan organisasi pemuda.
d. Potensi budaya, yaitu adanya bentuk-bentuk budaya yang ada,
antara lain di bidang pendidikan (gedung sekolah, kampus),
gedung kesenian, dan kegiatan lain yang menyemarakkan kota.
4. Klasifikasi Kota
Kota diklasifikasikan berdasarkan berbagai macam faktor, yaitu
berdasarkan tingkat perkembangan fungsi dan jumlah penduduk.
a. Klasifikasi Kota Berdasarkan Tingkat Perkembangannya
Berdasarkan tingkat perkembangannya, kota diklasifikasikan
menjadi enam fase sebagai berikut.
1) Fase eopolis (eopolis stage). Dalam tahap ini dicerminkan oleh
adanya kehidupan masyarakat yang semakin maju walaupun
kondisi kehidupannya masih didasarkan pada kegiatan
pertanian, pertambangan, dan perikanan.
2) Fase polis (polis stage). Tahap ini ditandai oleh adanya pasar
yang cukup besar, sementara itu beberapa kegiatan industri
yang cukup besar mulai bermunculan di beberapa bagian kota.
3) Fase metropolis (metropolis stage). Dalam tahap ini kota sudah
mulai bertambah besar. Fungsi-fungsi perkotaannya terlihat
mendominasi kota-kota kecil lainnya yang berada di sekitar
kota dan daerah-daerah belakangnya (hinterland).
4) Fase megapolis (megapolis stage). Tahap ini ditandai oleh
adanya tingkah laku manusia yang hanya berorientasi pada
materi. Standardisasi produksi lebih diutamakan daripada
usaha-usaha kerajinan tangan.
5) Fase tiranopolis (tyrannopolis stage). Pada tahap ini ukuran
atau tolok ukur budaya adalah apa yang tampak secara fisik
(display). Masalah uang atau materi dan ketidakacuhan
mengenai segala aspek kehidupan mewarnai tingkah laku
penduduknya.
6) Fase nekropolis (nekropolis stage). Tahap ini disebut sebagai
tahap kemunduran dari suatu kota. Hal ini ditandai dengan
kemunduran pelayanan kota beserta fungsi- fungsinya, dan
menunjukkan gejala-gejala kehancuran yang disebabkan oleh
adanya peperangan, kelaparan, dan wabah penyakit yang
melanda hebat.
b. Klasifikasi Kota Berdasarkan Fungsinya
Berdasarkan fungsinya, kota diklasifikasikan menjadi sebagai
berikut.
1) Kota pusat produksi, yaitu kota yang memiliki fungsi
sebagai pusat produksi atau pemasok, baik yang berupa
bahan mentah, barang setengah jadi, maupun barang jadi.
Contoh: Surabaya, Gresik, dan Bontang.
2) Kota pusat perdagangan (centreoftradeandcommerce),
yaitu kota yang memiliki fungsi sebagai pusat
perdagangan, baik untuk domestik maupun internasional,
seperti Jakarta.
3) Kota pusat pemerintahan (politicalcapital), yaitu kota yang
memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan atau sebagai
ibu kota negara.
4) Kota pusat kebudayaan (culturalcentre), yaitu kota yang
memiliki fungsi sebagai pusat kebudayaan. Contoh:
Yogyakarta dan Surakarta.
c. Klasifikasi Kota Berdasarkan Jumlah Penduduknya
Berdasarkan jumlah penduduknya, kota diklasifikasikan
menjadi sebagai berikut.
1) Megapolitan, yaitu kota yang berpenduduk di atas lima
juta orang.
2) Metropolitan (kota raya), yaitu kota yang berpenduduk
antara 1-5 juta orang.
3) Kota besar, yaitu kota yang berpenduduk antara 500.000-
1 juta orang.
4) Kota sedang, yaitu kota yang jumlah penduduknya antara
100.000-500.000 orang.
5) Kota kecil, yaitu kota yang berpenduduk antara 20.000-
100.000 orang.