Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

ULUMUL QUR’AN : DEFINISI DAN PENJELASAN TENTANG PERTUMBUHAN DAN


PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHANNYA

A. Definisi Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur’an


1. Definisi dan Perkembangan
Al-Qur’an Al-Karim adalah mukjizat Islam yang abadi, dimana kemajuan ilmupengetahuan (sains)
semakin memperkuat sisi mukjizatnya, yang diturunkan Allah kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk
mengeluarkan umat manusia dari segala kegelapan menuju cahaya dan membimbing mereka menuju jalan
yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an kepada para shahabat (mereka adalah orang-orang
Arab asli) sehingga mereka sulit memahaminya sesuai tabiat mereka. Manakala mereka sulit untuk
memahami suatu ayat di antara ayat ayat Al-Qur’an, maka mereka bertanya langsung kepada Rasulullah
SAW.

Imam Bukhari, Imam Muslim dan imam-imam hadits lainnya meriwayatkan sebuah sebuah hadits dari
Ibnu Mas’ud RA., bahwa ia berkata, “Ketika turun ayat ini:
ٰۤ ُ ْ ُ
)82 :6/‫ ﴾ ( االنعام‬٨٢ ࣖ َ‫ول ِٕىكَ لَهُ ُم ااْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُّم ْهتَ ُدوْ ن‬ ‫﴿ اَلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َولَ ْم يَ ْلبِس ُْٓوا اِ ْي َمانَهُ ْم بِظل ٍم ا‬
Artinya: 82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah
orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. (Al-An'am/6:82)
Maka orang-orang merasa berat dengan ayat tersebut kemudian mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas
siapa di antara kami yang tidak menzalimi diri sendiri?” Rasulullah SAW pun bersabda, “Makna ayat tersebut tidak
seperti yang kalian pahami. Apakah kalian tidak mendengar kata-kata yang diucapkan seorang hamba saleh (Lukman
Hakim), ‘Sesungguhnya, mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’. (Luqman: 13).
Kezaliman yang dimaksud ayat itu tidak lain adalah syirik”.

Dahulu, Rasulullah SAW. Menafsirkan beberapa ayat untuk para sahabat. Imam Muslim dan lainnya
meriwayatkan sebuah hadits dari Uqbah bin Amir RA., bahwa ia berkata, “Aku dengar Rasulullah SAW. bersabda di
atas mimbar, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu
miliki”. (Al-Anfal: 60). Ketahuilah! Sesungguhnya, kekuatan itu adalah melempar.” Para shahabat bersemangat
mempelajari, menghafal dan memahami Al-Qur’an dari Rasulullah SAW. Kesempatan seperti ini menjadi sebuah
kemuliaan tersendiri bagi mereka. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA. ia berkata, “Apabila ada seorang di antara
kami yang sudah hafal surah Al-Baqarah dan Ali Imran, maka ia menjadi orang besar di tengah-tengah kami.” (HR.
Ahmad dalam Musnad-nya).

Para shahabat juga sangat antusias dalam mengamalkan Al-Qur’an dan berhenti pada batasan-batasannya
(larangan) tanpa menerjangnya. Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman As-Sulami, bahwa ia berkata, “Orang-orang
yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lainnya bercerita
kepada kami bahwa apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi SAW, maka mereka tidak menambahnya
hingga mengamalkan ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, “Kami mempelajari Al-Qur’an,
memahaminya dan mengamalkannya secara bersamaan.” (HR. Abdurrazzaq dengan lafal serupa dengan hadits ini).
Rasulullah SAW tidak mengizinkan para shahabat menulis apapun yang keluar dari lisan dari beliau selain Al-
Qur’an, karena dikhawatirkan Al-Qur’an bercampur dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id
Al-Khudri RA., bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ب َعلَ َّى ُمَت َع ِّم ًدا َفلْيَتََب َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬ ِ
َ ‫ب َعنِّى غَْي َر الْ ُق ْرآن َفلْيَ ْم ُحهُ َو َح ِّدثُوا َعنِّى َوالَ َح َر َج َو َم ْن َك َذ‬
َ َ‫الَ تَكْتُبُوا َعنِّى َو َم ْن َكت‬
“Janganlah kalian menulis apapun dariku. Barangsiapa menulis (sesuatu) dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia
menghapusnya. Sampaikan hadits dariku dan hal itu tidak mengapa. Dan barangsiapa berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya di neraka.”

Meskipun setelah itu Rasulullah SAW mengizinkan sebagian shahabat untuk menulus hadits, tetapi Al-Qur’an
tetap bertumpu pada riwayat melalui penyampaian secara langsung pada masa Rasulullah SAW juga pada masa
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khattab RA. Kemudian, datanglah masa kekhilafahan Utsman bin
Affan RA.1 Saat itu, muncul beberapa factor yang mengharuskan untuk menyatukan kaum muslimin di atas satu
mushaf. Selanjutnya, proyek penyatuan Al-Qur’an ini tercapai dan mushaf tersebut dinamakan sebagai mushaf Imam.
Lalu, beberapa salinan dari mushaf tersebut dikirim ke sejumlah Kota Islam. Penulisan mushaf ini disebut dengan
istilah RasmUtsmani, dinisbatkan kepada Khalifah Utsman bin Affan. Langkah ini dianggap sebagai cikal bakal ilmu
penulisan Al-Qur’an.

Setelah itu, datang masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib RA. Selanjutnya, Abu Aswad Ad-Du’ali membuat
kaidah-kaidah tata bahasa (nahwu) atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Demi menjaga kebenaran
pengucapan dan memberi harakat Al-Qur’an. Langkah ini juga dianggap sebagai cikal bakal ilmu I’rab Al-Qur’an.
Para shahabat terus menyampaikan makna-makna Al-Qur’an dan penafsiran sejumlah ayat meski tingkatan yang
berbeda-beda di antara mereka, sesuai tingkat pemahaman masing-masing dan masa mereka berguru kepada
Rasulullah SAW. Selanjutnya, murid-murid para shahabat dari kalangan tabi’in menukil ilmu Al-Qur’an dari mereka.

Di antara para mufassir yang paling masyhur dari kalangan shahabat adalah:
 Emapat khalifah (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib);
 Ibnu Mas’ud;
 Ibnu Abbas;
 Ubay bin Ka’ab;
 Zaid bin Tsabit;
 Abu Musa Al-Asy’ari;
 Abdullah bin Zubair.

Banyak versi penafsiran Al-Qur’an yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud
dan Ubay bin Ka’ab. Tafsir yang diriwayatkan dari mereka ini bukan penafsirah utuh, tapi hanya sebatas
penafsiran beberapa ayat saja dengan menjelaskan makna-makna yang sulit dan menjelaskan ayat-ayat yang
bersifat global.
1
Al-Qur’an pertama kali dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Pasca perang Yamamah, seperti yang
dijelaskan berikutnya.
Adapun generasi tabi’in, banyak di antara mereka yang dikenal ahli di bidang tafsir. Mereka
mempelajari tafsir dari para shahabat dan berijtihad sendiri dalam menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang dikenal di bidang tafsir di Mekah adalah:

1. Sa’id bin Jubair;


2. Mujahid;
3. Ikrimah maula Ibnu Abbas;
4. Thawus bin Kaisan Al-Yamani;
5. Atha’ bin Abu Rabbah.

Di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang dikenal di bidang tafsir di Madinah adalah:

1. Zaid bin Aslam;


2. Abu Aliya;
3. Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.

Di antara murid-murid Ibnu Mas’ud yang dikenal di bidang tafsir di Irak adalah:

1. Alqamah bin Qais;


2. Masruq;
3. Aswad bin Yazid;
4. Hasan Al-Basri;
5. Qatadah bin Da’amah As-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata, “Di bidang tafsir, orang yang paling mengetahui bidang ini adalah penduduk
Mekah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abu Rabbah, Ikrimah
maula Ibnu Abbas, serta murid-murid Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abu Sya’tsa’, Sa’id bin Jubair
dan lain sebagainya. Begitu juga penduduk Kufah dari kalangan murid-murid Ibnu Mas’ud. Mereka
memiliki keistimewaan di bidang ilmu ini jika dibandingkan dengan yang lain. Ulama Madinah di bidang
tafsir seperti Zaid bin Aslam yang Imam Malik mempelajari disiplin ilmu tafsir darinya, juga anaknya yang
bernama Abdurrahman dan Abdullah bin Wahab.”2

Orang-Orang yang meriwayatkan ilmu dari mereka ini mencakup disiplin ilmu tafsir, ilmu gharibul
qur’an, ilmu asbanun nuzul, ilmu ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, serta ilmu nasikh dan mansukh.
Hanya saja semua disiplin ilmu ini masih mengandalkan cara penyampaian secara langsung dalam
periwayatannya.

Sumber: Al-Qatthan, Manna’, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2017.
Penulis: Muhammad Rosyid Ridho

Editor: Muhammad Ikhsan Awaluddin Riyadh, S. Ag.


2
Mukadimah Ibnu Taimiyah dalam Ushulut Tafsir, hal. 15.

Anda mungkin juga menyukai