Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
“Tafsir ‘Am”
Disusun oleh :
Linggar-Rancaekek-Bandung
2021 M/1442 H
A. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.
1. Alquran al-Karim.
Ayat-ayat yang global di satu tempat disajikan secara jelas di bagian yang
lain. Misalnya kita temukan dalam surat al-Maidah:
احلّت لكم بهيمة االنعام ااّل ما يتلى عليكم
ةPPة والنّطيحPPح ّرمت علبكم المبتة والدم ولحم الخنزير وما اه ّل لغير هللا به والمنخنقة والموقوذة والمتر ّدي
وما اكل السّبع ااّل ما ذ ّكيتم وما ذبح على النّصب وانتستقسموا باالزالم …االية
Artinya:
Para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang makna المغضوب عليهم وال
الينPP الضyang terdapat pada akhir surat al-Fatihah. Nabi Saw menjawab: “
”المغضوب عليهمadalah orang-orang Yahudi sedangkan “ ”الضالّينadalah orang-
orang Nasrani”. Jawaban Nabi saw ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Hiban dan ia menshahihkannya.
الّذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم أولئك لهم االمن وهم مهتدون
Artinya:
Abdullah Ibn Umar berkata: ”Ada seseorang datang kepada Nabi SAW,
kemudian dia bertanya tentang apa yang dimaksud dengan kata سبيالdalam
surat Ali Imran: 97. Nabi SAW menjawab “bekal dan sarana transportasi”.
Abu Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah saw, maka aku
terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah- pilah. Dan
apa yang datang dari tabiin, maka mereka manusia dan akupun manusia. Akan
tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa ucapan tabiin dalam bidang
tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutif sebagian besar
penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa : Aku membaca mushaf
di hadapan Ibnu `Abbās sebanyak tiga kali, dari surah al-Fātihah sampai surah
al-Nās. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakan kepadanya.
Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in.
Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian
menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-
ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan
mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama
mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang
tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari
berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah
ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj,
Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-
hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut
penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-
Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas
permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Ditinjau dari segi bahasa, kata israiliyyat adalah bentuk jamak dari kata
israiliyah, bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang berasal dari
bahasa Ibrani yang berarti hamba Tuhan. Dalam deskriptif historis, Israil
berkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunan
beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Terkadang Israiliyyat
identik dengan Yahudi, Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa
sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama
dan doqma. Menurut Muhammad Husein Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip
Supiana dan M. Karman, perbedaan Yahudi dan Nasrani, bahwa yang
disebutkan yang terakhir (Nasrani) ditujukan kepada mereka yang beriman
kepada risalah Isa as. Quraish Shihab menyatakan bahwa hampir semua ulama
sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani dinamakan Ahl al-Kitab. Dari segi
terminologi, kata Israiliyyat walaupun mulanya hanyalah menunjukkan
riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya ulama tafsir
dan ahli hadis menggunakan istilah tersebut dalam arti yang lebih luas lagi.
Israiliyyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang-orang Yahudi
dan Nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis.
Ada pula ulama tafsir dan hadis yang memberi makna Israiliyyat sebagai
cerita yang bersumber dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani,
ataupun yang lainnya.
Para ulama sepakat bahwa Israiliyyat berisi unsur-unsur dari luar yang
masuk ke dalam Islam, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis
materinya. Pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan dongeng-
dongeng buatan non muslim yang masuk ke dalam Islam. Kalaupun ada
materi israiliyyat yang sejalan dengan Islam, di samping jumlahnya sangat
sedikit, hal itu tidak dibutuhkan sebagai rujukan. Dari segi lain, bahwa ulama
sepakat dengan sumber asal Israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani, yang
utama adalah Yahudi sebab tercermin dari asal kata Israiliyyat itu sendiri.
Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani
juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini. Hanya
saja dalam hal ini kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Karena kaum
Yahudi lebih diidentikkan lantaran banyak di antara mereka yang akhirnya
masuk Islam. Di samping karena kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan
umat Islam. Dalam Alquran memang tidak terdapat kata Israiliyyat, namun
didapati kata Bani Israil yang disebutkan terulang pada 49 ayat, kata Ahl al-
Kitab terdapat pada 31 ayat, kata Yahudi terulang sebanyak 6 kali dan dengan
kata yahudiyyan terdapat 1 ayat yaitu pada surat Ali Imran : 67. Kata nashrani
terulang sebanyak 14 kali khususnya pada surat Al-Baqarah dan al-Maidah.
Faktor yang juga menjadi sebab masuknya kisah israiliyyat adalah masuk
Islamnya beberapa ulama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin
Akhbar, dan Wahab bin Munabbih. Mereka dipandang punya andil besar
terhadap masuknya kisah israiliyat di kalangan Muslim. Ini juga
mengindikasikan kisah israiliyat telah muncul sejak masa sahabat dan
membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran AlQur’an pada masa-
masa sesudahnya.
2. Tafsir Sufiyah
Sufi berasal dari berbagai kata sehingga maknanya pun beragam. Ada
yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari shuf (bulu dombal/wol). Ada
juga yang mengatakan bahwa kaum sufi berhubungan dengan serambi (as-
shffah). Kelompok lain mengatakan itu diambil dari kata ash-shafa’ yang
mempunyai arti kejernihan atau ketulusan.Sebagian ulama berpendapat bahwa
kata sufi berasal dari madli dan mudlari’ صفا يصفوyang mempunyai arti jernih,
bersih.
Hal ini menaruh penekanan pada pemurnian hati dan jiwa. Dapat diambil
kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu
orang yang hidup sederhana, menjauhi urusan dunia (zuhud) dan memurnikan
hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tafsir sufi adalah penafsiran
Alquran yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-
petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang
yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah
SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia Alquran. Mereka
menafsirkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan pembahasan dan pemikiran
mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang
berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka
tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-
angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi
lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang
mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah.
Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap
pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat
tahun 150 H.
Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawuf itu sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu: tashawwuf nazhari dan tashawwuf ‘amali. Tashawwuf nazhari
adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawwuf,
sedangkan tashawwuf ‘amali adalah tasawuf yang didasarkan pada kehidupan
yang meninggalkan kesenangan duniawi, kezuhudan dan menggunakan
seluruh waktu untuk melakukan ibadah kepada Allah.
Mungkin juga makna batiniah dan makna lahiriah itu diaplikasikan secara
bersama-sama. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan
tafsir isyari adalah bahwa Alquran mencakup apa yang zhahir dan batin.
Makna lahir (zhahir) dari Alquran adalah teks ayat sedangkan makna batinnya
adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut. Dengan demikian,
Tafsir Isyari merupakan penafsiran Alquran yang dilakukan oleh kaum sufi
melalui jalan takwil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.
Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat
Alquran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di
balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat
Alquran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan
perkataan lain bahwa Alquran terdiri dari makna zahir dan batin.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan
yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli
syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali
berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai
kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin.
Di antara kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adlah sebagai
berikut: Tafsir Alquran al-‘Azhim yang dikarang oleh Imam Al-Tusturi (w.
383 H), Haqaiq Al-Tafsir karya Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), ‘Ara’is al-
Bayan fi Haqa’iq Alquran karya Imam Al-Syirazi (w. 606 H). Di antara tokoh
mufasir sufi tersebut ialah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Bin Yunus bin
Abdullah Sahl bin Abdillah Al-Tustari atau yang lebih dikenal dengan Sahl
bin Abdillah At-Tustari (283/896) adalah seorang mufasir yang mengarang
kitab Tafsiran Quran Al-Adzim. Beliau lahir di wilayah Tustar, masih
termasuk wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon At-Tustari adalah
seorang yang sangat wara’, takwa, dan tergolong orang-orang yang arif.
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim dicetak dalam satu jilid. Al-Tustari
membicarakan ayat secara terpisah dari masing-masing surat. Karena beliau
memang tidak menafsirkan secara keseluruhan ayat-ayat Alquran. Salah satu
ayat yang ditafsirkan adalah QS. Al- Baqarah ayat 22, yang artinya: Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan baimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan
itu sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
3. Garaibul-Tafsir
a. Pengertian
Lafad gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari gharibah
yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan al
qur’an maka yang dimaksud adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar
pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti seperti kata أبا
dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa ()وفاكهة و أبا.
Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW.
dengan periwayatan dari Anas sesungguhnya Umar bin Khottob RA.
membaca surat وفاكهة و أباdiatas mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah
(fakihah) telah kita ketahui, sedang apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu
beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada
yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak
mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang
ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih
serta al qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
Dari peristiwa diatas dapat kita ketahui bahwa gharib al qur’an bukanlah
hal yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami langsung,
bahkan ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat
yang sulit dipahami mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak
berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya
shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi
وفاكهة و أبا, beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku
tinggal, jika aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak
mengetahuinya”.
Orang yang pertama kali membahas gharib al qur’an adalah Abdullah bin
Abbas sebelum terjadi perang dunia ke-2. Pendapat ini bertendensi pada
naskah yang ditemukan di berlin, namun pendapat ini dibantah oleh Dr.
Husain Nashar : buku ini adalah kumpulan pendapat yang dilontarkan oleh
Abdullah bin Abbas bukan beliau yang membukukannya tapi para
muridnyalah yang membukukannya, sebagai landasan pendapat ini ada salah
seorang dari penerjemahnya Abdullah bin Abbas tidak menisbatkan kitab
seperti ini kepada beliau.
Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59
yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri (pemimpin) di antara kamu.Kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian.yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak
ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran
ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di
masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam
memahami gharib al qur’an, – dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh
sebagai ulama – adalah sebagi berikut :
Kata ظلمdalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa
membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab
hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah
melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang
mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
3) Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat)
shahabat
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka
telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air
pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya,
mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an,
mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam
hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan
menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih
banyak dibanding siapapun orangnya.
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini
dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari
perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata
“telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah
dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil
(yang sulit)”.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing
di dalam al qur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-
syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
c. Faedah