Anda di halaman 1dari 24

Perkembangan Dan Pertumbuhan Tafsirul-Qur’an

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran

“Tafsir ‘Am”

Guru Mata Pelajaran :

Kokom Komalasari S. Th. I

Disusun oleh :

Rini Riani Antika Sari

MADRASAH ALIYYAH PERSIS 24

Linggar-Rancaekek-Bandung

2021 M/1442 H
A. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw.

Nabi Muhammad saw setiap menerima ayat Al-Qur’an, beliau langsung


menyampaikannya kepada para sahabatnya dan menafsirkan yang perlu
ditafsirkan. Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an
adakalanya dengan ayat Al-Qur’an pula dan adakalanya dengan
Hadis/Sunnah, baik dengan sunnah qauliyyah, dengan sunnah fi`liyyah
maupun dengan sunnah taqririyyah. Dan penafsiran ayat Al-Qur’an dengan
ayat Al-Qur’an merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Tetapi, tafsir
yang diterima dari Nabi Muhammad saw sedikit sekali. `Aisyah bintu Abi
Bakar, istri Nabi sendiri mengatakan bahwa : Nabi Muhammad saw
menafsirkan hanya beberapa ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Malaikat Jibril.

Pada saat al-Quran diturunkan, Nabi Muhammad saw yang berfungsi


sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-
sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Quran, khususnya menyangkut ayat-
ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai
dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-
riwayat tentangnya atau karena memang Nabi Muhammad saw sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Al-Quran. Kalau pada masa Nabi Muhammad
saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada
beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan semacam ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.

Pada masa Nabi Muhammad, dalam menafsirkan al-Quran bergantung


kepada :

1. Alquran al-Karim.

Ayat-ayat yang global di satu tempat disajikan secara jelas di bagian yang
lain. Misalnya kita temukan dalam surat al-Maidah:
‫احلّت لكم بهيمة االنعام ااّل ما يتلى عليكم‬

Ditafsiri dengan ayat 3 dalam surat ini, yaitu :

‫ة‬PP‫ة والنّطيح‬PP‫ح ّرمت علبكم المبتة والدم ولحم الخنزير وما اه ّل لغير هللا به والمنخنقة والموقوذة والمتر ّدي‬
‫وما اكل السّبع ااّل ما ذ ّكيتم وما ذبح على النّصب وانتستقسموا باالزالم …االية‬

Artinya:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, terpukul, jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala,
dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah.”

2. Nabi Muhammad SAW

Beliau sebagai penjelas (mubayyin) al-Quran. Ketika para sahabat


kesulitan dalam memahami sebuah ayat maka mereka kembali bertanya
kepada Nabi Muhammad saw. Berikut ini adalah contoh pertanyaan yang
diajukan sahabat dan jawaban yang diberikan Nabi Muhammad saw. kepada
mereka:

Para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang makna ‫المغضوب عليهم وال‬
‫الين‬PP‫ الض‬yang terdapat pada akhir surat al-Fatihah. Nabi Saw menjawab: “
‫ ”المغضوب عليهم‬adalah orang-orang Yahudi sedangkan “‫ ”الضالّين‬adalah orang-
orang Nasrani”. Jawaban Nabi saw ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Hiban dan ia menshahihkannya.

Ketika turun firman Allah al-Maidah: 6

‫الّذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم أولئك لهم االمن وهم مهتدون‬

Artinya:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencamperadukkan keimanan merka


dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka ini orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Para sahabat merasa sulit untuk melakukan apa yang dikemukakan dalam
ayat di atas. Mereka bertanya: ”Siapakah diantara kami yang tidak berbuat
dzalim kepada dirinya sendiri?” Nabi saw menjawab: ”Maksud dari ayat
diatas tidaklah seperti yang kalian duga, apakah kalian tidak ingat
(mendengar) apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih (Luqman
ّ yang dimaksud disini adalah syirik.
hakim) ‫ان الشرك لظلم عظيم‬

Abdullah Ibn Umar berkata: ”Ada seseorang datang kepada Nabi SAW,
kemudian dia bertanya tentang apa yang dimaksud dengan kata ‫ سبيال‬dalam
surat Ali Imran: 97. Nabi SAW menjawab “bekal dan sarana transportasi”.

Abdullah Ibn Mas’ud r.a. meriwayatkan, ia berkata: “Rasulullah SAW


ّ ‫( اتّقوا هللا ح‬QS. 3: 102), yaitu: “Allah harus
bersabda tentang firman Allah ‫ق تقاته‬
diingat dan tidak dilupakan serta disyukuri dan tidak diingkari”.

Sebagian ulama memberikan perhatian khusus terhadap hadis-hadis yang


berfungsi sebagai penafsir ayat-ayat al-Quran. Mereka menghimpunnya dalam
model penafsiran yang sekarang kita kenal dengan tafsir bi al-ma’tsur.

B. Tafsir pada Masa Sahabat

Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang paling terkemuka dalam


bidang tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu : 1) Abu Bakar as-Shidiq
(573– 634 M), 2)‘Umar bin al-Khattab (9584 – 644 M), 3)‘Usman bin ‘Affan
(577 – 656 M), 4) ‘Ali bin Abi Talib (600 – 661M), 5)‘Abdullah bin ‘Abbas
(w. 687 M), 6)‘Abdullah bin Mas’ud (w.625 M), 7)Ubay bin Ka’ab (w. 642
M), 8)Zaid bin Sabit (611– 655), 9) Abu Musa al-Asy‘ari dan 10)‘Abdullah
bin Zubair. Empat orang pertama dari sahabat-sahabat tersebut pernah menjadi
khalifah. Akan tetapi, di antara keempat khalifah ini yang paling banyak
menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Ali bin Abi Talib. Mengapa demikian? Karena
dia sangat erat hubungannya dengan NabiMuhammad saw, dia menantu Nabi ,
dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya. Sedangkan sahabat
yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas,
‘Abdullah bin Mas‘ud dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat
ini adalah Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy‘ari dan ‘Abdullah bin Zubair.
Sahabat yang terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak
sebanyak dengan tafsir sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu
Hurairah, Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Dinar, Jabir bin ‘Abdullah dan
‘Aisyah.

Bagi sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw tidaklah sulit untuk


mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an, karena : Pertama, mereka menerima Al-
Qur’an dan mengetahui tafsirnya secara langsung dari Nabi Muhammad saw.
Kedua, mereka menyaksikan secara langsung turunnya dan sebab turunnya
ayat Al-Qur’an. Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa
mereka yaitu bahasa Arab. Walaupun demikian tidaklah semua ayat Al-
Qur’an difahami oleh para sahabat, karena tidak semua ayat Al-Qur’an telah
ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw hingga beliau wafat. Di samping itu
juga, tidaklah semua bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’an diketahui
oleh para sahabat. Memang tidak semua kata dari bahasa suatu Negara dapat
diketahui oleh setiap warganya. Al-Qur’an sebagai sumber utama syariat
Islam harus difahami dan diamalkan dan harus pula memberi solusi terhadap
persoalan kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan
umat Islam, maka para sahabat berupaya menafsirkan Al-Qur’an baik
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an pula atau menafsirkan Al-Qur’an
dengan Hadis atau menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sahabat sendiri
ataupun menafsirkan Al-Qur’an dengan keterangan dari ahlu kitab. Jadi, pada
masa sahabat terdapat empat sumber penafsiran, yaitu :

1. Penafsiran dengan Al-Qur’an.


2. Penafsiran dengan Hadis.
3. Penafsiran dengan ra’yu (pendapat) sahabat.
4. Penafsiran dengan keterangan dari ahlu kitab yang biasa disebut dengan
isrāiliyyah.

Semua sahabat sepakat mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an


dan penafsiran Al-Qur’an dengan Hadis. Bahkan penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Sedangkan mengenai
penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu dan penafsiran Al-Qur’an dengan
keterangan dari ahlu kitab, tidaklah semua sahabat menyepakatinya. Jadi,
sebahagian sahabat hanya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau
dengan Hadis dan sebahagian lainnya, di samping menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an atau dengan Hadis, mereka juga menafsirkan Al-Qur’an
dengan ra’yu atau dengan keterangan dari ahlu kitab. Di antara sahabat yang
hanya membenarkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan
Hadis dan tidak membenarkan penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu atau dengan
keterangan dari ahlu kitab adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Sedangkan penggunaan isrāiliyyah dalam penafsiran Al-Qur’an, misalnya:


apabila sahabat ingin menafsirkan ayat Al-Qur’an yang ada hubungannya
dengan berita ummat terdahulu yang tidak sahabat temukan riwayat yang
sahih dari Nabi muhammad saw, maka sahabat bertanya kepada orang Yahudi
dan Nasrani yang telah masuk Islam. Ibnu Khaldun berkata: Apabila orang
Arab ingin mengetahui tentang permulaan kejadian alam dan rahasia-
rahasianya, maka mereka bertanya kepada ahlu kitab seperti Ka’bul Ahbar,
Wahab ibn Munabbih dan Abdullah ibn Salam. Kebanyakan mereka ini
berdiam di padang-padang pasir. Jadi, dimungkinkannya penggunaan
isrāiliyyah, karena Al- Qur’an mengandung pula riwayat-riwayat dari ummat
terdahulu dan soal-soal yang berkenaan dengan kejadian alam serta manusia
seperti halnya dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui hal tersebut sebahagian sahabat menanyakannya kepada ahlu kitab
yang telah masuk Islam. Di samping itu, karena tidak adanya larangan yang
tegas dari Nabi muhammad saw mengenai penggunaan israiliyyah sebagai
dasar penafsiran ayat Al-Qur’an.

C. Tafsir pada Masa Tabi’in

Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya


generasi sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang
belajar dan menerima langsung riwayat dari sahabat. Para tabi‘in yang
termasyhur dalam ilmu tafsir adalah murid- murid Ibnu ‘Abbas, murid-murid
Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubay bin Ka‘ab. Murid-murid Ibnu ‘Abbas
yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar, ‘Aţā’ bin Abī Rayāh, ‘Ikrimah,
Sa‘īd bin Jubair, Ţāwūs. Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud yang
termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq bin al-Ajda‘, al-Aswad bin
Yazid, Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan
Qatādah. Adapun murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid
bin Aslam, Abu al-’Āliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī. Jika sahabat-
sahabat Nabi Muhammad saw yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-
Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di
bidang tafsir juga menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya. Dengan
demikian sumber penafsiran pada masa tabi`in yaitu :

1. Penafsiran dengan Al-Qur’an.


2. Penafsiran dengan Hadis.
3. Penafsiran dengan pendapat sahabat.
4. Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri.
5. Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan
isrāiliyyah.

Kedudukan Penafsiran Tabiin. Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi


penafsiran tabiin ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari
sahabat. Ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabiin yaitu: menerima atau
menolak. Ulama menolak penafsiran tabiin dengan alasan :

1. Tidak adanya kemungkinan seorang tabiin mendengar langsung dari


Rasulullah saw.
2. Tabiin tidak menyaksikan berbagai kondisi mengenai turunnya ayat Al-
Qur’an, sehingga kemungkinan mereka salah dalam memahami maksud
ayat.
3. Status tabiin tidak dinaskan seperti status adil para sahabat.

Abu Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah saw, maka aku
terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah- pilah. Dan
apa yang datang dari tabiin, maka mereka manusia dan akupun manusia. Akan
tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa ucapan tabiin dalam bidang
tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutif sebagian besar
penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa : Aku membaca mushaf
di hadapan Ibnu `Abbās sebanyak tiga kali, dari surah al-Fātihah sampai surah
al-Nās. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakan kepadanya.

Karakteristik Tafsir Priode Tabiin :

1. Banyak mengambil kisah isrā`iliyyah. Hal ini terjadi karena banyaknya


ahli kitab masuk Islam, dan dipikiran mereka masih melekat ajaran kitab
suci mereka, khususnya yang ada hubungannya dengan hukum syariat
seperti awal penciptaan.
2. Tafsir masih menggunakan sistem periwayatan, namun bukan periwayatan
dalam arti komprehensif seperti pada masa Rasulullah saw, melainkan
periwayatan yang terbatas pada figur. Misalnya, Ulama Mekah hanya
menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu `Abbās, ulama Madinah hanya
menaruh perhatian kepada riwayat Ubay bin Ka‘ab, dan ulama `Irak hanya
menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu Mas‘ūd.
3. Banyaknya perbedaan pendapat di antara tabiin dalam penafsiran,
walaupun perbedaan pendapat mereka lebih sedikit bila dibandingkan
dengan perbedaan pendapat yang terjadi sesudahnya.
4. Pada masa tabiin telah muncul benih-benih perbedaan mazhab. Karena itu,
sebagian tafsir tampak mangusung mazhab-mazhab itu di dalamnya.
D. Tafsir pada Masa Tadwin

Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in.
Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian
menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-
ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan
mushaf.

Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama
mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang
tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari
berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah
ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj,
Ishaq Ibnu Rahawaih.

Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-
hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut
penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-
Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas
permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jum’at.

Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan


berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-
Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab
yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu :

1. Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman


Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang
telah dibukukan sebelumnya.
2. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah
menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat
dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary,
Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya,
dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
3. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan
menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini
menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif
yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa
melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika
mentafsirkan ayat
‫غير المغضوب عليهم والالضالين‬
Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud
dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
4. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku
tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan
akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan
periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut
bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an
dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut
sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.
5. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu
pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis
oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu
Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan
Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAW,


penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi
satu kelompok yang dinamai Tafsir bi al-Ma’tsûr. Dan masa ini dapat
dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode
pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.

Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya,


dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah
beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa
Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi’in.

E. Israiliyyat, Tafsir Sufiyah, dan Garaibul Tafsir


1. Israiliyyat
a. Pengertian Israiliyyat

Ditinjau dari segi bahasa, kata israiliyyat adalah bentuk jamak dari kata
israiliyah, bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang berasal dari
bahasa Ibrani yang berarti hamba Tuhan. Dalam deskriptif historis, Israil
berkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunan
beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Terkadang Israiliyyat
identik dengan Yahudi, Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa
sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama
dan doqma. Menurut Muhammad Husein Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip
Supiana dan M. Karman, perbedaan Yahudi dan Nasrani, bahwa yang
disebutkan yang terakhir (Nasrani) ditujukan kepada mereka yang beriman
kepada risalah Isa as. Quraish Shihab menyatakan bahwa hampir semua ulama
sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani dinamakan Ahl al-Kitab. Dari segi
terminologi, kata Israiliyyat walaupun mulanya hanyalah menunjukkan
riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya ulama tafsir
dan ahli hadis menggunakan istilah tersebut dalam arti yang lebih luas lagi.
Israiliyyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang-orang Yahudi
dan Nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis.
Ada pula ulama tafsir dan hadis yang memberi makna Israiliyyat sebagai
cerita yang bersumber dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani,
ataupun yang lainnya.

Para ulama sepakat bahwa Israiliyyat berisi unsur-unsur dari luar yang
masuk ke dalam Islam, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis
materinya. Pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan dongeng-
dongeng buatan non muslim yang masuk ke dalam Islam. Kalaupun ada
materi israiliyyat yang sejalan dengan Islam, di samping jumlahnya sangat
sedikit, hal itu tidak dibutuhkan sebagai rujukan. Dari segi lain, bahwa ulama
sepakat dengan sumber asal Israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani, yang
utama adalah Yahudi sebab tercermin dari asal kata Israiliyyat itu sendiri.
Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani
juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini. Hanya
saja dalam hal ini kaum Yahudi lebih populer dan dominan. Karena kaum
Yahudi lebih diidentikkan lantaran banyak di antara mereka yang akhirnya
masuk Islam. Di samping karena kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan
umat Islam. Dalam Alquran memang tidak terdapat kata Israiliyyat, namun
didapati kata Bani Israil yang disebutkan terulang pada 49 ayat, kata Ahl al-
Kitab terdapat pada 31 ayat, kata Yahudi terulang sebanyak 6 kali dan dengan
kata yahudiyyan terdapat 1 ayat yaitu pada surat Ali Imran : 67. Kata nashrani
terulang sebanyak 14 kali khususnya pada surat Al-Baqarah dan al-Maidah.

b. Israiliyyat dalam Tafsir Al-Qur’an

Kaum Yahudi dikenal sebagai kaum yang mempunyai peradaban tinggi


dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu jauh sebelum Islam datang.
Mereka memiliki pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari
kitab suci mereka. Pada waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas.
Banyak di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi
kurang lebih pada tahun 70 M. Pada masa itulah diperkirakan terjadinya
perkembangan besar-besaran kisah-kisah Israiliyyat.

Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa


Arab dengan tradisi yahudi tersebut. Dengan kata lain, adanya kisah Israiliyyat
merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu
pengetahuan antara bangsa Arab Jahiliyah dan Kaum Yahudi serta Nasrani.
Pada saat Rasulullah Saw. masih hidup, kisah Israiliyat tidak banyak
berkembang dalam penafsiran Alquran, sebab beliaulah satu-satunya penjelas
(mubayyin) berbagai masalah yang berkaitan dengan Alquran. Para Sahabat
bisa bertanya langsung kepada beliau perihal isi dan maksud Alquran.
Meskipun demikian, Rasulullah Saw. tidak melarang pada umat Islam untuk
menerima atau menyebarkan informasi dari Bani Israil.

Sepeninggal Rasulullah saw, tidak seorang pun berhak menjadi penjelas


(mubayyin) wahyu Allah. Oleh karena itu, para sahabat kemudian melakukan
ijtihad sendiri dengan sangat hati-hati menanyakannya kepada Ahli Kitab,
manakala mereka menjumpai masalah-masalah seperti kisah para nabi atau
umat terdahulu. Karena seringkali ada persamaan antara Alquran, Taurat dan
Injil walau Alquran sering bicara dengan sangat ringkas. Sebenarnya, Alquran
sendiri banyak mengakomodir masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-
kitab lama, namun karena Alquran hanya mengungkapkannya secara ringkas
saja karena, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Araby, yang perlu diambil
dari kisah-kisah itu hanyalah al-wa’ad dan al-I’tibarnya saja.
Pada masa sahabat israiliyat mulai berkembang dan tumbuh subur, hanya
saja dalam menerima riwayat dari kalangan Yahudi dan Nasrani pada
umumnya mereka sangat ketat. Para sahabat hanya membatasi pada sekitar
kisah-kisah dalam Alquran yang diterangkan secara global dan Nabi sendiri
tidak menerangkannya. Apabila mereka menjumpai kisah israiliyat yang
bertentangan dengan syariat Islam maka mereka akan menolaknya, apabila
kisah-kisah tersebut benar merekapun menerimanya. Dan apabila kisah-kisah
itu diperselisihkan keberadaannya, mereka akan menangguhkan (mauquf).
Penyusupan Israiliyyat ini pada awalnya dikarenakan darurat, pada masa
sahabat, mereka membaca Alquran yang berisi kisah-kisah, karena isinya
hanya ringkas saja sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan hal tersebut
tidak didapat dari Nabi. Dalam hal ini orang-orang Muslim eks Yahudi
maupun Nasrani memiliki akses untuk melengkapi perincian dari Taurat dan
Injil yang kebetulan sesuai dengan kisah dalam Alquran dan hadis.

Faktor yang juga menjadi sebab masuknya kisah israiliyyat adalah masuk
Islamnya beberapa ulama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin
Akhbar, dan Wahab bin Munabbih. Mereka dipandang punya andil besar
terhadap masuknya kisah israiliyat di kalangan Muslim. Ini juga
mengindikasikan kisah israiliyat telah muncul sejak masa sahabat dan
membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran AlQur’an pada masa-
masa sesudahnya.

Pada masa Tabi’in, proses periwayatan Israiliyyat semakin aktif. Sering


terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif, akibatnya banyak
muncul periwayatan dalam penafsiran Alquran yang terkena infiltrasi
(tasarrub) israiliyat. Karena di antara beberapa kitab tafsir tidak
mencantumkan sanad secara tegas, maka tercampurlah antara riwayat yang
shahih dan yang tidak shahih. Dalam kondisi seperti inilah akhirnya banyak
kitab tafsir yang memuat kisah-kisah israiliyat. Keadaan ini semakin
diperparah dengan adanya kecenderungan masyarakat suka mendengarkan
kisah-kisah masa lampau. Kecenderungan ini akhirnya dapat terpenuhi dengan
keberadaan kisah-kisah Israiliyyat. Sehingga pada masa ini menjamurlah para
tukang kisah yang biasa disebut al-Qashshahsh, yaitu para penyampai berita
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Cerita Israiliyyat
pada masa Tabi’in ini banyak bersumber dari Wahab ibn Munabbih, seorang
Yahudi dari Yaman yang masuk Islam, Muhammad ibn Sa’ib alKalbi, Muqatil
ibn Sulaiman, Muhammad ibn Marwan al-Suddi, dan Abdul Malik ibn Abdul
Aziz ibn Juraij, seorang Nasrani berbangsa Romawi yang masuk Islam.

Lambat laun pengaruh cerita Israiliyyat mulai berpengaruh dalam


penafsiran Alquran. Para Tabi’in dengan serta merta menerima apa saja yang
datang dari para Yahudi yang masuk Islam tadi dengan anggapan tidak
mungkin mereka berdusta. Para mufassir tidak mengoreksi terlebih dahulu
kutipan cerita-cerita Israiliyyat yang mereka kutip, padahal diantaranya
terdapat yang batil dan tidak benar. Seperti Al-Thabari, ia lebih menekankan
kepada pencatatan semua hal yang berhubungan dengan suatu ayat meskipun
itu cerita Israiliyyat. Untuk mengatasi persoalan ini para tabi’in menetapkan
musnad, dhabith, dan sistem ‘adalah para perawi, sebagaimana dijelaskan
Imam Muslim dalam Muqaddimahnya: “mereka dahulu belum
mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya fitnah besar mereka
berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian.”

2. Tafsir Sufiyah

Sufi berasal dari berbagai kata sehingga maknanya pun beragam. Ada
yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari shuf (bulu dombal/wol). Ada
juga yang mengatakan bahwa kaum sufi berhubungan dengan serambi (as-
shffah). Kelompok lain mengatakan itu diambil dari kata ash-shafa’ yang
mempunyai arti kejernihan atau ketulusan.Sebagian ulama berpendapat bahwa
kata sufi berasal dari madli dan mudlari’ ‫ صفا يصفو‬yang mempunyai arti jernih,
bersih.

Hal ini menaruh penekanan pada pemurnian hati dan jiwa. Dapat diambil
kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu
orang yang hidup sederhana, menjauhi urusan dunia (zuhud) dan memurnikan
hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tafsir sufi adalah penafsiran
Alquran yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-
petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang
yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah
SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia Alquran. Mereka
menafsirkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan pembahasan dan pemikiran
mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang
berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka
tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.

Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunya dikarenakan adanya


segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri
kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat
lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri
dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak
harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Kecenderungan seperti ini
secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Al-
Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal
sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik
tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu
tidak dikenal istilah tasawuf.

Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-
angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi
lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang
mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal dengan kaum sufiyah.
Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap
pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat
tahun 150 H.

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua


berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam
mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan
menengah terdapat pola kehidupan mewah.
Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak
terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan
berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu
disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah
mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa
yang dikenal dengan tasawuf nadzari dan tasawuf ‘amali. Tasawufnadzari
yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan.

Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawuf itu sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu: tashawwuf nazhari dan tashawwuf ‘amali. Tashawwuf nazhari
adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawwuf,
sedangkan tashawwuf ‘amali adalah tasawuf yang didasarkan pada kehidupan
yang meninggalkan kesenangan duniawi, kezuhudan dan menggunakan
seluruh waktu untuk melakukan ibadah kepada Allah.

Masing-masing dari kedua bagian ini memiliki pengaruh terhadap


penafsiran Alquran. Hal ini juga menyebabkan penafsiran sufistik terbagi ke
dalam dua bagian. Tafsir sufi nadzhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.
Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa Alquran melenceng jauh dari
tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah
penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka.

Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah


penafsiran Alquran yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara. Tafsir faidhi atau isyari adalah penakwilan ayat-ayat
Alquran dengan makna yang berbeda dari makna lahiriahnya berdasarkan
tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak kepada para penempuh jalan
spiritual (arbab al-suluk).

Mungkin juga makna batiniah dan makna lahiriah itu diaplikasikan secara
bersama-sama. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan
tafsir isyari adalah bahwa Alquran mencakup apa yang zhahir dan batin.
Makna lahir (zhahir) dari Alquran adalah teks ayat sedangkan makna batinnya
adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut. Dengan demikian,
Tafsir Isyari merupakan penafsiran Alquran yang dilakukan oleh kaum sufi
melalui jalan takwil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.

Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash


Alquran yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian
akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan
menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga
bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti
ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan
menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik
makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak
menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami
makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat
menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).

Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi


nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut: Tafsir sufi nadzari dibangun
atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang
kemudian menafsirkan Alquran yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya.
Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu
sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai
derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat Alquran.

Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat
Alquran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di
balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat
Alquran mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan
perkataan lain bahwa Alquran terdiri dari makna zahir dan batin.

Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan
yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli
syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali
berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai
kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin.

Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa


dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa
mengambil salah satu dari keduanya. Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh,
mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah
seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli
fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya
sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang
ada dibalik isyarat tersebut untuk mengetahui hikamah-hikmahnya. Dan hal
ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.

Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau


fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi
dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz
Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara
syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari
syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia
Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang
yang berakal dan berilmu.

Di antara kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adlah sebagai
berikut: Tafsir Alquran al-‘Azhim yang dikarang oleh Imam Al-Tusturi (w.
383 H), Haqaiq Al-Tafsir karya Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), ‘Ara’is al-
Bayan fi Haqa’iq Alquran karya Imam Al-Syirazi (w. 606 H). Di antara tokoh
mufasir sufi tersebut ialah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Bin Yunus bin
Abdullah Sahl bin Abdillah Al-Tustari atau yang lebih dikenal dengan Sahl
bin Abdillah At-Tustari (283/896) adalah seorang mufasir yang mengarang
kitab Tafsiran Quran Al-Adzim. Beliau lahir di wilayah Tustar, masih
termasuk wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon At-Tustari adalah
seorang yang sangat wara’, takwa, dan tergolong orang-orang yang arif.
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim dicetak dalam satu jilid. Al-Tustari
membicarakan ayat secara terpisah dari masing-masing surat. Karena beliau
memang tidak menafsirkan secara keseluruhan ayat-ayat Alquran. Salah satu
ayat yang ditafsirkan adalah QS. Al- Baqarah ayat 22, yang artinya: Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan baimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan
itu sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

Kata ‫ ( اندادا‬andaadan) Al-Tustari menafsirkan dengan nafsu amarah yang


jelek. Jadi maksud andaadan di sini bukan hanya patung-patung, setan atau
jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah
perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu
menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.

3. Garaibul-Tafsir
a. Pengertian

Lafad gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari gharibah
yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan al
qur’an maka yang dimaksud adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar
pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti seperti kata ‫أبا‬
dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa (‫)وفاكهة و أبا‬.

Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW.
dengan periwayatan dari Anas sesungguhnya Umar bin Khottob RA.
membaca surat ‫ وفاكهة و أبا‬diatas mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah
(fakihah) telah kita ketahui, sedang apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu
beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada
yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak
mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang
ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih
serta al qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
Dari peristiwa diatas dapat kita ketahui bahwa gharib al qur’an bukanlah
hal yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami langsung,
bahkan ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat
yang sulit dipahami mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak
berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya
shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi
‫ وفاكهة و أبا‬, beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku
tinggal, jika aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak
mengetahuinya”.

Orang yang pertama kali membahas gharib al qur’an adalah Abdullah bin
Abbas sebelum terjadi perang dunia ke-2. Pendapat ini bertendensi pada
naskah yang ditemukan di berlin, namun pendapat ini dibantah oleh Dr.
Husain Nashar : buku ini adalah kumpulan pendapat yang dilontarkan oleh
Abdullah bin Abbas bukan beliau yang membukukannya tapi para
muridnyalah yang membukukannya, sebagai landasan pendapat ini ada salah
seorang dari penerjemahnya Abdullah bin Abbas tidak menisbatkan kitab
seperti ini kepada beliau.

b. Cara menafsirkan ayat-ayat yang ghorib

Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah


Nabi SAW.wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang
timbul langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial
dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena
umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang


sangat ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya
niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.

َ َ ‫ضـلُّـوْ ا بـَعْـ َدهُـ َما ِكـتـ‬


)‫اب هللاِ َو سُـنَّـتِى (رواه الحكم‬ ِ َ ‫ت فِـ ْي ُكـ ْم َشـيْـئَـيْـ ِن لَ ْن تـ‬
ُ ْ‫تـ َ َركـ‬
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan
tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.

Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59
yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri (pemimpin) di antara kamu.Kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian.yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.

Secara teoritis kembali kepada al qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak
ada masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran
ketika teori itu diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di
masyarakat. Oleh karena hal itu cara yang digunakan oleh ulama’ dalam
memahami gharib al qur’an, – dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh
sebagai ulama – adalah sebagi berikut :

1) Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an

Contoh Surat al An’am ayat 82

Kata ‫ ظلم‬dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa
membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab
hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah
melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang
mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.

Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul


menafsirkan kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi


pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”.
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat
al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu
selesailah persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al
An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut “orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka
itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”.

2) Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul.

As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah


menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.
Oleh karena itu Rasulullah bersabda ُ ‫أَالَ إنِّي أُوْ تِي‬
ُ‫ْت القُرآنَ َو ِم ْثلَهُ َم َعه‬
َ‫يَ ْعنِي ال ُسنَّة‬

“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula


sesuatu yang serupa dengannya” yaitu sunnah

3) Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat)
shahabat

Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka
telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air
pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya,
mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an,
mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam
hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan
menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih
banyak dibanding siapapun orangnya.

4) Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama


memeriksa pendapat tabi’in.

Diantara tabi’un ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat,


namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat
(penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi
pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih
5) Melalui sya’ir

Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini
dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari
perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata
“telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah
dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil
(yang sulit)”.

Syai-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah


melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an,
karena Allah berfirman dalam surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami
menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”. Syair-syair itu sebagai perbendaharaan
bangsa arab. Jika salah satu huruf dalam al qur’an tidak diketahui dalam bahsa
arab maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa arab), dan dicari
maknanya.

Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing
di dalam al qur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-
syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.

Contoh ; ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia


dikelilingi oleh sekelompok kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran
beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat ‫يلة‬PP‫ه الوس‬PP‫وابتغو الي‬
yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata ‫ الوسيلة‬diartikan oleh Ibnu Abbas
dengan “kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan
oleh Antarah yang berbunyi

‫ان يأخذوك تكحاي و تخضبي‬ ‫ان الرجال لهم اليك وسيلة‬

Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu jika mereka hendak


mengambilmu maka pakailah celak dan semir.

c. Faedah

Dari penjelasan di atas dapatlah kita mengambil hikmah dan mengetahui


faedahnya, diantaranya adalah :
1) Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiyyah, artinya memahami ayat yang
sulit pemahamannya akan melahirkan berbagi usaha untuk memecahkannya
dengan cara memperhatikan pemakaiannya dalam bahasa arab seperti syair
dan sebagainya. Dalam hal ini tentu banyak membutuhkan pemikiran yang
rasional dari pada emosional.
2) Mengambil perhatian umat, artinya sesuatu yang asing, aneh dan tidak seperti
biasanya akan selalu menjadi pusat perhatian. Seseorang akan merasa
penasaran dan ingin mengetahuinya, sebab manusia diciptakan dengan tabiat
senang terhadap hal-hal yang baru. Ini adalah salah satu cara berdakwah,
setelah tertarik maka dimaksukkan tujuan bedakwah itu sendiri.
3) Memperoleh keyakinan terhadap eksistensi al qur’an sebagai kalam Allah.
Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharib, maka
akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dan terasa betapa tingginya
bahasa yang dibawa oleh al qur’an, baik lafad maupun maknanya.

Dengan demikian diketahui bahwa al qur’an bukanlah dari makhluk Allah,


melainkan dzat yang menciptakannya.

Anda mungkin juga menyukai