Anda di halaman 1dari 33

Penaatan Hukum Lingkungan:

Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela


Oleh: Andri G. Wibisana∗

!
1.! Latar Belakang ................................................................................................................... 1!
2.! Standar dan Pendekatan Command and Control (CAC) ................................................... 3!
3.! Instrumen Ekonomi (Economic Instruments) .................................................................... 9!
3.1.! Pajak Lingkungan .................................................................................................... 10!
3.2.! Jaminan yang Bisa Dikembalikan (Deposit Refund System) ................................... 13!
3.3.! Izin yang Dapat Diperjualbelikan (Tradeable Permit) ............................................ 14!
3.4.! Subsidi ..................................................................................................................... 16!
4.! Penaatan Sukarela (Voluntary Compliance) .................................................................... 16!
4.1.! Pengantar.................................................................................................................. 16!
4.2.! Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan
(PROPER) ............................................................................................................................ 19!
4.3.! Audit Lingkungan Hidup secara Sukarela ............................................................... 23!
4.4.! Mekanisme Pemberian Informasi (Information-based Mechanisms) ...................... 25!
4.5.! Perjanjian Sukarela (Private Agreement atau Covenant)......................................... 26!

1.! Latar Belakang


Di dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali tanpa sadar mengambil keputusan yang
sepenuhnya hanya didasarkan pada keuntungan yang akan kita peroleh, dan melupakan
kerugian yang mungkin timbul bagi orang lain dari keputusan tersebut. Seseorang yang
membuang sampah tidak pada tempatnya atau seorang pemilik perusahaan yang membuka
lahan hutan dengan cara membakar adalah contoh-contoh dari keputusan tersebut. Di sini,
keputusan untuk membuang sampah atau membakar hutan diambil karena hal itu merupakan
sesuatu yang paling mudah dan murah. Pembuat keputusan tidak mempertimbangkan (baca:
tidak peduli) dampak yang kemungkinan akan diderita oleh orang lain dari keputusan yang
diambilnya. Di dalam ilmu ekonomi kondisi semacam ini disebut sebagai eksternalitas
(externality).
Dalam perspektif ekonomi, eksternalitas ini ditandai dengan adanya harga yang tidak
mencerminkan biaya-biaya lingkungan. 1 Hal ini dapat menimbulkan paling tidak dua akibat
berbeda. Bayangkan ada dua pengusaha yang memproduksi barang yang sejenis. Pengusaha
pertama, misalnya A, memproduksi barang tersebut dengan memperhatikan pengelolaan
lingkungan dalam proses produksi dan memperhatikan pula dampak lingungan dari
pemakaian produk yang dihasilkannya. Sementara itu, pengusaha B memproduksi barang

*Bagian dari draft buku Hukum Lingkungan Indonesia, versi Januari 2016.
HANYA UNTUK DIGUNAKAN PADA PERKULIAHAN DI LINGKUNGAN FHUI.
1
Eksternalitas terjadi ketika keputusan yang diambil oleh seseorang mempengaruhi keputusan dankeadaan
orang lain secara langsung, tanpa melalui mekanisme pasar sebab pasar justru gagal untuk mencerminkan harga
yang sebenarnya. Dengan adanya eksternalitas ini, individu pengambil keputusan hanya akan menanggung
biaya pribadi (private costs), sedangkan biaya yang mengalami eksternalisasi merupakan biaya yang harus
ditanggung oleh masyarakat (social costs). Secera singkat, eksternalits ditandai dengan adanya perbedaan
antara private costs (atau marginal costs of private production) dengan social costs (atau marginal social
external costs). Lihat: R.S. Pindyck and D.L. Rubinfield, Microeconomics (Prentice Hall, 2001), hal. 592.; atau:
E.J. Solberg, Intermediate Microeconomics (Business Publication, 1982), hal. 540.

1
tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dari kegiatannya. Akibatnya, maka harga
produk yang dihasilkan oleh B menjadi lebih murah dari pada A. Apabila produk tersebut
dijual di dalam pasar yang sama, maka konsumen tentunya akan lebih memilih untuk
membeli produk B. Apabila hal tersebut berlanjut terus, maka pada akhirnya A hanya akan
mempunyai dua pilihan: keluar dari persaingan atau melakukan apa yang B lakukan, yaitu
tidak mempertimbangkan biaya lingkungan dari kegiatannya. Di sini terlihat jelas bahwa
eksternalitas menyebabkan akibat pertama berupa dikuasainya pasar oleh produk yang tidak
ramah lingkungan (secara ekonomi hal ini disebut sebagai adverse selection, yaitu
dikalahkannya produk yang lebih baik oleh yang lebih buruk, sehingga pada akhirnya yang
tersedia di pasar hanyalah produk yang buruk). Akibat yang kedua ialah bahwa ketika pasar
hanya memberikan dorongan bagi konsumen untuk membeli barang yang tidak ramah
lingkungan—karena harganya yang lebih murah—maka barang (kegiatan) yang tidak ramah
lingkungan menjadi lebih menguntungkan, sehingga pasar sesungguhnya mendorong
terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih jauh lagi.
Menurut perspektif ekonomi, eksterlisasi mengindikasikan adanya kegagalan pasar
(market failure). Dengan adanya ekternalitas, pasar gagal mempertimbangkan total biaya
(dalam hal ini pencemaran) yang diakibatkan oleh sebuah proses produksi. Dengan
demikian, eksternalitas memberikan sinyal/arah yang salah kepada individu ketika
mengambil keputusan, sebab harga yang dihadapi individu tidaklah mencerminkan harga
yang sebenarnya dari sebuah produk atau kegiatan.2 Setiap orang, baik sebagai produsen
maupun konsumen, gagal untuk mempertimbangkan seluruh biaya dari keputusan dan
perbuatannya, karena ada komponen biaya yang mengalami eksternalisasi dan menjadi beban
dari masyarakat secara umum.
Dalam buku teks ekonomi, pencemaran seringkali digunakan sebagai contoh klasik
dari eksternalitas.3 Negara (dalam hal ini pemerintah) karenanya harus turun tangan untuk
mengatasi eksternalitas. Ekonom percaya bahwa hanya jika biaya eksternal ini telah
seluruhnya dipertimbangkan oleh individu maka individu tersebut akan bertindak untuk
mencegah terjadinya kegagalan pasar dan bergerak ke arah yang optimal. 4 Karenanya,
berdasarkan perspektif ekonomi, hukum lingkungan terutama bertujuan untuk
menginternalisasi eksternalitas (to internalize the externality). 5 Hukum lingkungan
berfungsi untuk memaksa para pembuat keputusan menginternalkan biaya-biaya sosial
sehingga tidak ada lagi perbedaan antara biaya marjinal sosial dengan biaya marjinal privat.6
Dengan cara ini semua pihak akan dipaksa atau didorong untuk memasukkan pertimbangan
biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam pengambilan keputusannya. Semakin besar
biaya lingkungan yang berhasil diinternalkan oleh adanya aturan hukum, maka semakin

2
Michael Faure dan Goran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy and Law: An
Introduction (Edward Elgar, 2003), hal. 95.
3
Lihat misalnya: Edwin Mansfield, Principles of Microeconomics, 4th ed. (W.W. Norton & Company,
1983), hal. 75-76.
4
R. Kerry Turner, David Pearce, dan Ian Bateman, Environmental Economics: An Elementary Introduction
(New York: Harvester Wheatsheaf, 1994), hal. 77.
5
Michael Faure, “Environmental Law and Economics”, METRO, Maastricht University, 2001, hal. 10.
6
Dalam pasar yang kompetitif, harga (P) akan ditetapkan sesuai dengan biaya privat marjinal (marginal
private cost—MC). Eksternalitas terjadi ketika MC ternyata tidak merefleksikan biaya yang sesungguhnya,
karena sebagian biaya, dalam hal ini biaya lingkungan (marginal environmental cost—MEC), ternyata
dikeluarkan/tidak dipertimbangkan dalam komponen biaya. Dalam situasi ini, biaya sosial marjinal (marginal
social costs—MSC) adalah jumlah dari MC dan MEC. Apabila biaya lingkungan di atas dipertimbangkan,
maka harga seharusnya di-set sama dengan MSC. Karenanya, dengan internalisasi biaya-biaya lingkungan
tersebut, harga barang akan ditetapkan sebesar: P = MSC = MC + MEC.
Lihat: David Hunter, James Salzman, Durwood Zaelke, International Environmental Law and Policy
(New York: Foundation Press, 1998), hal. 108.

2
baiklah aturan tersebut. Dengan dimasukkannya pertimbangan biaya lingkungan ke dalam
pertimbangan uasaha keseluruhan, maka diharapkan konsumen akan menghadapi harga
produk yang sesungguhnya.
Salah satu cara wujud dari internalisasi eksternalitas adalah adanya penaatan
lingkungan (environmental compliance). Secara teoritis, penaatan lingkungan ini dapat
diciptakan melalui berbagai pendekatan, salah satunya adalah dengan pendekatan penegakan
hukum.
Meskipun penegakan hukum lingkungan merupakan bagian yang sangat penting
dalam upaya menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan, akan tetapi perlu
diutarakan pula di sini bahwa upaya penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau
sering disebut dengan pendekatan Command and Control (CAC—Atur dan Awasi),
seringkali dikritik karena berbagai alasan. Soemarwoto, misalnya, mengatakan bahwa
pendekatan CAC seringkali gagal untuk mencapai hasil yang memuaskan karena pendekatan
ini memiliki beberapa kelamahan. Pertama, CAC dianggap terlalu mendasarkan diri pada
pandangan bahwa perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-
undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari
tindakan yang menguntungkan dirinya, sehingga ketika dihadapkan pada peraturan
perundang-undangan manusia sering kali secara diam-diam melakukan pelanggaran.7 Kedua,
CAC juga dianggap bersifat top-down dan instruktif, di mana masyarakat diharuskan
melaksanakan apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi
dari Pemerintah. Karena itulah maka dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong
atau diberikan insentif untuk berperilaku ramah lingkungan.8 Ketiga, CAC bersifat kaku dan
birokratis. Dalam konteks ini, aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari undang-
undang sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini,
misalnya, berakibat pada tidak berkembangnya teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan.
Di sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, sehingga
pejabat sering kali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan
kondisi lingkungan.9

2.! Standar dan Pendekatan Command and Control (CAC)


Pendekatan CAC, atau yang oleh Prof. Soemarwoto disebut dengan “Atur dan Awasi”,
merupakan pendekatan yang paling sering digunakan di dalam penaatan hukum lingkungan.
Secara tradisional, pendekatan ini ditunjukkan dengan adanya begitu banyak peraturan
administrasi (administrative regulation) yang ditujukan sebagai sistem kontrol, di mana
regulator menyusun sebuah kerangka bagi kegiatan-kegiatan dengan maksud untuk
mengkondisikan, mengawasi, serta menetapkan aturan bagi kegiatan-kegiatan tersebut.
Karena itulah, maka selama ini peraturan administrasi memegang peranan yang sangat
penting di dalam penegakan dan penaatan hukum lingkungan, sehingga bahkan hukum
lingkungan dianggap sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara.
Peraturan administrasi dikritik oleh banyak pihak sebagai bentuk pengaturan yang
paling intervensionis, sehingga banyak pihak mempertanyakan mengapa kita masih
membutuhkan peraturan administrasi dalam hukum lingkungan, mengingat bisa saja kita
menggunakan aturan hukum perdata yang memungkinkan internalisasi eksternalitas terjadi
tanpa adanya campur tangan pemerintah yang terlalu besar. Dalam hal ini, Shavell

7
Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan
Ramah Lingkungan: Berpihak pada Rakyat, Ekonomis, dan Berkelanjutan (Gajah Mada University Press,
2001), hal. 98.
8
Ibid., hal. 99.
9
Ibid., hal. 100-105.

3
memberikan alasan bahwa untuk situasi-situasi tertentu, regulasi lebih efektif dari pada teori
pertanggungjawaban hukum perdata (liability theory), yaitu apabila:10
1.! Kecilnya kemungkinan adanya pihak (korban) yang berminat untuk mengajukan gugatan.
Seperti kita ketahui, banyak sekali kasus-kasus hukum lingkungan yang kerugiannya
sangat menyebar, sehingga bagi individu, kerugian yang diderita tidaklah begitu besar,
bahkan lebih kecil dari pada biaya perkara yang dibutuhkan. Dalam kasus lain, bahkan
tidak ada seorang pun yang merasa dirugikan akibat adanya pencemaran. Dalam kedua
hal ini, kecuali telah ada aturan yang efektif mengenai Class action dan NGO’s legal
standing, maka pencemar akan merasa bebas dari ancaman bahwa ia harus bertanggung
jawab akan akibat dari kegiatannya. Hal ini tentu berdampak buruk, sebab pencemar
tidak akan lagi bertindak secara hati-hati dan penuh perhitungan.
2.! Adanya kemungkinan yang sangat besar, khususnya di dalam masalah pencemaran
lingkungan, bahwa kerugian timbul beberapa waktu yang lama. Di sini, akan sulit untuk
menelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas timbulnya kerugian tersebut.
Apabila pencemar tahu bahwa kemungkinannya akan kecil sekali bahwa dia akan
dimintai pertanggung jawaban, maka tingkat kehati-hatiannya pun akan semakin
berkurang.
3.! Adanya kesulitan bagi para korban untuk membuktikan bahwa kerugiannya disebabkan
oleh pencemaran11 dan/atau bahwa pencemaran itu diakibatkan oleh kesalahan tergugat
(pencemar). Kesulitan ini pun berakibat sama, yaitu turunnya tingkat kehati-hatian dari
pencemar.
4.! Apabila pencemaran dan kerugian dapat dikatikan dengan kegiatan perusahaan dan
gugatan dikabulkan, maka efek penjera bagi para pengambil keputusan di dalam
perusahaan tetaplah merupakan sebuah masalah. Pertama, hal ini dikarenakan
kemungkinan adanya masalah insolvency (yaitu jumlah seluruh asset perusahaan tidak
mampu menutupi seluruh biaya ganti kerugian) atau kekeliruan hakim dalam menentukan
jumlah ganti kerugian (menjadi lebih kecil dari yang seharusnya). Apabila ini terjadi,
maka tingkat kehati-hatian lagi-lagi akan berkurang dari yang semestinya 12 . Kedua,
seiring berjalannya waktu bisa saja pemilik dan pengambil kebijakan di dalam perusahaan
telah berganti, sehingga yang harus bertanggung jawab adalah pemilik/manajemen baru.
Apabila ini terjadi, maka pemilik/pengambil kebijakan yang sebenarnya tidak hanya
dibebaskan dari pertanggungjawaban, tetapi juga akan mengakibatkan tingkat kehati-
hatian yang rendah. Dalam hal ini, dapat saja terjadi bahwa seseorang, setelah melakukan
pencemaran dan mengambil keuntungan besar dari tindakannya ini, segera menjual
perusahaannya, karena ia yakin bahwa kerugian akan tidak akan timbul dalam waktu
yang dekat.

Dari gambaran di atas, jelas bahwa kita masih membutuhkan pengaturan administrasi,
paling tidak untuk hal-hal di mana sistem pertanggungjawaban diperkirakan tidak akan
menghasilkan penaatan yang efektif. Pengaturan administrasi diharapkan akan mampu

10
Steven Shavell, “Liability for Harm versus Regulation of Safety”, Journal of Legal Studies, Vol. 13,
1984, hal. 359-364.
11
Bahkan dalam sistem pertanggungjawaban ketat (strict liability) pun, penggugat (korban) tetap harus
membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat dari pencemaran yang terjadi, dan bukan karena
peristiwa lain.
12
Secara sederhana hal ini dapat dijelaskan sebagai suatu hubungan yang sangat erat antara tingkat
kehatian-hatian dengan jumlah kompensasi yang harus dibayarkan. Apabila jumlah kompensasi yang
dibayarkan lebih rendah dari pada yang sebenarnya, maka tingkat kehati-hatian pun akan lebih rendah dari pada
yang seharusnya.

4
menyediakan aturan-aturan yang seragam dan rasional, dan yang mampu menjamin keadilan
(fairness) bagi mereka yang diatur.
Menurut, Bell dan McGillivray, pembuatan kebijakan dalam administrative
regulation mempunyai proses sebagai berikut:13
1.! penetapan kebijakan umum;
2.! penetapan standar atau kebijakan spesifik dalam kaitannya dengan masalah
lingkungan yang menjadi perhatian;
3.! penerapan standar dan kebijakan ini pada kasus-kasus individual, misalnya dengan
diberikannya izin;
4.! penegakan standar dan kewajiban-kewajiban di dalam izin;
5.! penyediaan informasi mengenai lingkungan dan proses pembuatan kebijakan,
sehingga peraturan yang dibuat menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik;
6.! penggunaan mekanisme-mekanisme untuk memonitor, mengevaluasi dan
memperbaiki sistem peraturan yang telah dilakukan

Menurut Ogus, campur tangan pemerintah dalam penentuan kegiatan individu dapat
diuraikan ke dalam beberapa bentuk, dengan spektrum mulai dari campur tangan yang paling
ringan, sampai ke bentuk yang paling intervensionis. Pengaturan tentang informasi
merupakan bentuk campur tangan yang paling ringan seperti terlihat dalam gambar berikut
ini.

Bentuk-bentuk campur tangan Pemerintah


Sumber: Anthony Ogus, Regulation: Legal Form and Economic Theory, 2004, hal. 151.

Regulasi mengenai informasi (information regulation) merupakan bentuk campur


tangan yang paling sedikit (rendah). Dalam hal ini, Pemerintah hanya mewajibkan individu
untuk menyediakan informasi, misalnya berupa laporan, kepada aparat Pemerintah atau
kepada publik. Dalam bentuk campur tangan seperti ini, Pemerintah tidak mengatur perilaku
dari individu, kecuali perilaku yang terkait dengan penyediaan informasi.
Sementara itu, Pemerintah dapat pula melakukan campur tangan dalam bentuk
penentuan kualitas, kinerja, hasil, atau tindakan apa yang harus dilakukan. Campur tangan
seperti inilah yang terwujud di dalam bentuk standar, yang terdiri dari standar target (target

13
Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law 5th edition (London: Blackstone Press, 2000),
hal.178-181.

5
standard) atau kualitas (quality standards), standar kinerja atau hasil (performance or output
standard), dan standari spesifikasi (specification standard).14
Dalam standar target atau standar kualitas, Pemerintah hanya menentukan kualitas
akhir yang ingin dicapai, tetapi tidak menentukan output atau kinerja dari tiap individu yang
seperti apa yang dapat mencapai kualitas tersebut. Standar kualitas memusatkan
perhatiannya pada efek yang diterima oleh target tertentu. Di sini, penaatan diukur dengan
merujuk pada efek yang ditimbulkan oleh polutan bagi lingkungan hidup. 15 Contoh dari
standar ini ialah penetapan baku mutu air di dalam wilayah tertentu atau baku mutu udara
ambien.
Karena standar kualitas memfokuskan pada hal yang memerlukan perlindungan, maka
standar ini memiliki kelebihan berupa kemampuannya untuk mengatur input dari semua
sumber yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Standar ini juga memiliki kelebihan
karena mempertimbangkan dampak dari akumulasi dan kombinasi berbagai bahan terhadap
lingkungan. Kekurangan dari standar ini ialah adanya kebutuhan akan monitoring yang
konstan terhadap kondisi lingkungan. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang
memerlukan biaya mahal, dan dalam kasus tertentu bahkan tidak praktis. Di samping itu,
kelemahan lain dari standar kualitas ialah kesulitan dalam hal penegakan hukum. Hal ini
terjadi karena kegagalan dalam pemenuhan standar kualitas hanya menunjukkan adanya
permasalahan, tetapi tidak mampu memberikan jawaban yang langsung mengenai siapa dan
apa penyebab dari permasalahan tersebut, serta tindakan apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi permasalahan ini.
Pada standar kinerja, Pemerintah menentukan kualitas output dari individu tetapi tidak
menentukan cara untuk mencapai output tersebut. Bentuk paling banyak dijumpai dari
standar ini adalah standar emisi (emission standards atau emission limit values). Standar
emisi dapat didefinisikan sebagai standar di mana penaatan diukur dengan merujuk pada apa
dan seberapa banyak emisi yang dikeluarkan, dan bukan pada efek yang diterima oleh
lingkungan. 16 Misalnya saja kandungan maksimum dari bahan-bahan tertentu yang
dikeluarkan oleh cerobong asap, atau oleh saluran pembuangan limbah cair. Atau bisa juga
misalnya tingkat kebisingan maksimum yang boleh dihasilkan oleh sebuah mesin.
Kelebihan dari standar emisi ialah kemudahan untuk mengontrol dan memonitor,
yaitu dengan melakukan sampling pada titik di mana emisi dikeluarkan. Penegakan hukum
juga lebih mudah, di mana pelanggaran hukum cukup dibuktikan dengan adanya emisi yang
melampaui batas yang diizinkan. Kelemahan dari standar emisi ialah bahwa standar ini akan
sulit diterapkan bagi emisi yang menyebar (tidak berada dalam satu titik, non-point
emissions), misalnya penggunaan pestisida. Kelemahan lainnya ialah menyangkut masalah
akumulasi dari emisi yang dikeluarkan di suatu wilayah tertentu. Karena standar emisi hanya
memusatkan pada jumlah emisi maksimum, maka meskipun semua perusahaan mematuhi
standar yang telah ditetapkan, akumulasi emisi dari perusahaan-perusahaan tersebut tetaplah
berakibat buruk bagi daya dukung lingkungan di wilayah tersebut.
Pada standar spesifikasi, Pemerintah menentukan cara atau tindakan yang harus
dilakukan, atau bahkan teknologi apa yang harus digunakan oleh individu. Bentuk yang
paling sering dijumpai dari standar ini adalah standar produksi (production standards), di
mana Pemerintah mengatur mengenai teknologi produksi atau teknologi pengolahan limbah
semacam apa yang harus digunakan oleh pemegang izin. 17 Terkait standar ini, kita bisa
menemukannya, misalnya dari standar terkait teknik pengolahan limbah B3 secara termal

14
Anthony Ogus, op.cit., hal. 151.
15
Michael Faure dan Goran Skogh, op. cit., hal. 190.
16
Ibid., hal. 191.
17
Ibid., hal. 192.

6
yang harus memiliki efisiensi pembakaran paling sedikit 99,99% serta efisiensi
penghancuran dan penghilangan senyawa principle organic hazardous constituents (POHCs)
paling sedikit mencapai 99,99%.18
Keuntungan dari standar spesifikasi adalah kemudahan bagi Pemerintah dalam
mengawasi penaatan. Dalam hal ini Pemerintah cukup melihat apakah instalasi yang
dioperasikan telah memenuhi spesifikasi teknologi yang ditentukan. Kelemahannya adalah
sistem ini terlalu rigid, sehingga seringkali tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi.
Dengan demikian, standar ini juga kurang memberikan insentif bagi pengembangan
teknologi, karena individu hanya terdorong untuk mengikuti standar teknologi yang
ditentukan. Kelemahan lainnya adalah standar ini dapat memberikan efek pada kompetisi,
karena dapat memberikan keuntungan monopoli pada produsen produk-produk teknologi
tertentu.19
Di samping ketiga bentuk standar di atas, jenis standar lainnya dapat pula dilihat dari
uraian Bell dan Gilivray, seperti dijelaskan di berikut ini:20
1.! Standar Proses (Process Standards)
Standar proses ditunjukkan dengan adanya ketentuan yang secara detail menetapkan
proses yang harus dilakukan atau ketentuan yang menetapkan kriteria akhir tertentu yang
harus dicapai oleh sebuah proses. Standar proses ini dapat meliputi adanya kewajiban
untuk menerapkan penggunaan dari teknologi, bahan baku, dan factor-faktor operasional
tertentu yang harus dilaksanakan oleh sebuah proses.
Pelaksanaan dari standar proses di beberapa negara, terutama di Eropa, seringkali
dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum penetapan standar (general principles of standard
setting). Dalam hal ini, penetapan standar dikaitkan dengan peralatan terbaik yang dapat
digunakan (Best Practicable Means, BPM), technology terbaik yang tersedia (Best
Available Technology, BAT), atau yang terbaru ialah teknologi terbaik yang tersedia,
yang tidak memerlukan biaya yang berlebihan (Best Available Technology Not Entailing
Excessive Cost, BATNEEC). Prinsip-prinsip ini sesungguhnya lebih banyak memberikan
keleluasaan kepada kita untuk memilih teknologi apa yang akan kita pakai. Di samping
itu, perkembangan menuju BATNEEC menunjukkan mulai digunakannya analisa
manfaat dan biaya (cost-benefit analysis) di dalam pembuatan standar.
Kelebihan dari standar ini ialah bahwa standar ini dapat diharapkan untuk mengatasi
permasalahan secara dini, yaitu dengan jalan diwajibkannya penggunaan teknologi atau
metode tertentu. Kelemahannya ialah bahwa standar ini memiliki kelemahan karena
tidak memberikan insentif bagi pengurangan polusi secara progresif. Dalam beberapa hal
(terutama berkaitan dengan BAT atau terlebih lagi BATNEEC), standar ini tampak tidak
memiliki ketentuan yang tegas.

2.! Standar Pemakaian (Use Standards)


Standar pemakaian dibedakan dari standar produk karena di dalam standar pemakaian
perhatian utama ditujukan pada penggunaan dan pemasaran dari sebuah produk, dan
bukan pada karakteristik tertentu dari produk tersebut. Standar pemakaian lebih
memusatkan perhatian pada adanya risiko yang terkait dengan penggunaan suatu produk,
dan bukan pada pembatasan produk tersebut.

18
PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, LN tahun 2014 No.
333, TLN No. 5617, Pasal 107 ayat 1.
19
Michael Faure dan Goran Skogh, loc. cit.
20
Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law 5th edition (London: Blackstone Press, 2000),
hal. 184-189.

7
Baik standar produk dan standar pemakaian memiliki kelebihan yang sama dengan proses
standar, yaitu kemampuannya untuk mencegah timbulnya masalah secara dini. Adapun
kelemahan dari standar produk dan standar pemakaian ialah bahwa standar-standar ini
tidak mampu mengatasi efek kumulatif dari polutan yang dihasilkannya (sama seperti
standar emisi).

Bentuk campur tangan Pemerintah yang paling besar adalah prior approval, atau
perizinan. Dalam konteks ini, pada dasarnya individu dilarang untuk melakukan kegiatan,
kecuali mereka telah memperoleh izin atau persetujuan dari Pemerintah. Untuk dapat
memperoleh izin atau persetujuan Pemerintah, individu diharuskan untuk memenuhi berbagai
persyaratan, yang di dalamnya biasanya termasuk persyaratan untuk mematuhi berbagai
kewajiban dan standar.21
Persetujuan pemerintah dapat mengambil berbagai macam bentuk, di antaranya izin,
lisensi, atau sertifikasi.22 Selain ketiga bentuk tersebut, bentuk persetujuan lain yang dikenal
dalam hukum administrasi negara di Indonesia adalah konsesi dan dispensasi.23 Di samping
itu, perlu pula dinyatakan di sini bahwa sebuah persetujuan tertulis dari aparat Pemerintah
yang berwenang juga dianggap sebagai sebuah izin.24
Tentu saja, dalam pemberian persetujuan Pemerintah biasanya memberikan dan
memperhatikan berbagai persyaratan. Beberapa teknik pembatasan dan larangan sebagaimana
dikemukakan oleh Kiss dan Shelton sangat terkait dengan persyaratan dan persetujuan
Pemerintah ini. Menurut kedua pengarang ini, teknik tersebut adalah:25
1.! Listing. Teknik ini menentukan daftar dari produk, proses, atau kegiatan tertentu yang
harus dibatasi, dilarang, atau diwajibkan untuk mengalami proses tertentu. Dalam hukum
lingkungan Indonesia, proses listing dapat dijumpai dari ketentuan tentang limbah B3
yang pada dasarnya menentukan bahwa limbah yang tergolong B3 (yang tercantum di
dalam daftar limbah B3) harus mengalami proses pengelolaan tertentu. Listing juga
dapat dijumpai dalam Keputusan Menteri LH tentang kegiatan wajib Amdal, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa kegiatan yang termasuk di dalam daftar dari Keputusan
tersebut merupakan kegiatan yang wajib dilengkapi dengan dokumen Amdal.26

2.! Land-use restrictions. Teknik ini menentukan distribusi kegiatan yang dianggap
berbahaya bagi lingkungan. Misalnya saja, daerah yang dianggap penting untuk
dilindungi dibuat zonasi agar pemanfaatan di sekitar daerah tersebut tidak membahayakan
daerah yang ingin dilindungi. Di sisi lain, dapat dijumpai adanya peraturan yang

21
Anthony Ogus, op.cit., hal. 150.
22
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang ketiga bentuk persetujuan ini, lihat: Alexander Kiss dan Dinah
Shelton, Manual of European Environmental Law, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal.
119-127.
23
Lihat misalnya pembahasan tentang perizinan dalam:. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi
Negara (Ghalia Indonesia, 1981).
24
Hal ini dapat disimpulkan dari kasus Republik Indonesia v. PT. Newmont Minahasa Raya dan Richard
Bruce Ness (2005). Dalam kasus ini Menteri LH memberikan persetujuan tertulis terhadap terdakwa untuk
melakukan pembuangan limbah di laut. Oleh JPU, persetujuan tersebut tidak dianggap sebagai izin, sehingga
pembuangan limbah tersebut dianggap sebagai pembuangan yang tanpa izin. Namun demikian, pengadilan
menyatakan bahwa persetujuan tertulis dari pejabat Pemerintah yang berwenang dapat disamakan dengan izin.
Lihat: Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT. Newmont Minahasa Raya
dan Richard Bruce Ness (2005), hal. 190-191 dan 264-265.
25
Alexander Kiss dan Dinah Sheldon, op.cit., hal. 116-118.
26
PerMen LH No. 05 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Analisis
mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

8
menentukan bahwa kegiatan tertentu hanya dapat dilakukan di lokasi tertentu. Dalam
konteks ini, penulis menganggap bahwa kewajiban untuk menaati tata ruang dan untuk
memiliki izin lokasi bagi kegiatan tertentu merupaka bagian dari land-use restrictions ini.

3.! Prohibitions and restrictions on trade. Dalam teknik ini, Pemerintah menentukan
larangan atau pembatasan bagi produk tertentu untuk diperdagangkan. Di Indonesia,
teknik pembatasan atau larangan perdagangan ini dapat dijumpai, misalnya, dalam
ketetntuan mengenai perdagangan, penggunaan, dan produksi B3 tertentu atau bahan-
bahan tertentu yang dianggap dapat menipiskan lapisan ozon.

Penggunaan pendekatan CAC, dalam bentuk standar (administrative regulation),


sering kali dikritik karena dianggap membutuhkan birokrasi yang rumit, banyak, dan
karenanya mahal. Hal lain yang menjadi kelemahan dari pendekatan CAC ialah kurangnya
inovasi untuk terus-menerus melakukan mengurangi pencemaran secara lebih baik. Karena
standar lebih sering dianggap sebagai tujuan dari pada sekedar alat, maka para pengusaha
tidak memiliki insentif untuk, misalnya, mengurangi tingkat emisi jauh lebih rendah dari
pada yang ditetapkan oleh standar. Bagi mereka, sepanjang emisi yang dikeluarkan tidak
melebihi batas, maka hal itu sudah dianggap cukup sehingga tidak perlu lagi mengurangi
emisi (yang tentunya membutuhkan biaya tambahan) menjadi lebih rendah dari pada yang
diharuskan. Di sini terlihat bahwa standar seringkali dianggap lebih sebagai tujuan dari pada
sebagai sekedar alat.
Di samping itu, standar dianggap sebagai bentuk peraturan yang sangat
intervensionis, yang justru dikhawatirkan akan mendistorsi pasar dan menghambat dunia
usaha. Pendapat inilah yang menurut penulis justru mendorong adanya deregulasi di bidang
hukum lingkungan yang menginginkan berkurangnya campur tangan negara dan
berkurangnya prosedur birokratik. Kecenderungan ini ditunjukkan dengan semakin
banyaknya desakan untuk sebanyak mungkin menggantikan standar dengan instrumen
ekonomi dan mekanisme penaatan sukarela (voluntary compliance).

3.! Instrumen Ekonomi (Economic Instruments)


Penggunaan instrumen ekonomi, atau disebut juga pendekatan berbasis mekanisme pasar
(market-based approach), erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai prinsip pencemar
membayar (Polluter Pays Principle). Menurut Boyle, prinsip pencemar membayar ialah
merupakan sebuah kebijakan ekonomi yang mengalokasikan biaya-biaya pencemaran atau
kerusakan lingkungan.27 Dengan demikian prinsip ini merupakan wujud dari internalisasi
eksternalitas, di mana pencemar harus membayar biaya-biaya lingkungan yang
dihasilkannya, dalam rangka mencegah dan mengatasi pencemaran sebagai akibat dari
kegiatannya. Semakin banyak pencemaran yang dihasilkan maka akan semakin besar biaya
yang dikeluarkan. Akibatnya, produk yang ramah lingkungan akan menjadi lebih murah dari
pada yang tidak ramah lingkungan, dan pada akhirnya mendorong orang untuk tidak
melakukan kegiatan yang memiliki dampak negatif bagi lingkungan.
Instrumen ekonomi biasanya terdiri dari instrumen pajak lingkungan, izin yang bisa
diperjualbelikan, sistem deposito yang bisa dikembalikan, dan subsidi terkait dengan
pengelolaan lingkungan. Instrumen-instrumen tersebut dijelaskan pada bagian di bawah ini.
Sebagai perbandingan, pada Lampiran 1 dan Lampiran 2 dari Bab ini dapat dilihat contoh
penerapan instrumen ekonomi di negara lain.
27
Alan Boyle, “Economic Growth and Protection of the Environment: The Impact of International Law and
Policy”, dalam: Alan Boyle (ed.), Environmental Regulation and Economic Growth (Oxford: Oxford University
Press, 1994), hal. 179.

9
3.1.!Pajak Lingkungan
Ide dari pajak lingkungan berawal dari Pigou, yang menyatakan bahwa pencemaran
dapat diatasi dengan mengenakan pajak bagi setiap kegiatan yang menimbulkan pencemaran.
Karena itulah maka pajak lingkungan dikenal pula dengan sebutan Pigouvian Tax, Pajak
Pigouvian.
Dengan adanya pajak terhadap kegiatan atau produk yang menimbulkan pencemaran,
maka harga produk (yang dikenakan pajak) akan menjadi lebih mahal. Perubahan harga ini
akan menyebabkan bergesernya kurva permintaan, yang menunjukkan semakin berkurangnya
permintaan akan produk tersebut. Dengan demikian maka akan tercipta ekuilibrium baru
yang mencerminkan penawarandan dan permintaan yang sesuai dengan biaya marjinal sosial.
Secara sederhana maka dapat dikatakan bahwa pajak akan mendorong harga barang yang
tidak ramah lingkungan menjadi lebih mahal dari pada yang ramah lingkungan, sehingga
pada akhirnya semua orang akan terdorong untuk melakukan produksi yang ramah
lingkungan.
Penjelasan tentang pajak lingkungan dapat dilihat dalam ilustrasi di bawah ini:

Dari gambar di atas terlihat bahwa untuk memaksimalkan keuntungannya, tiap


perusahaan akan memproduksi output selama Marginal Benefit (MB) lebih besar dari nol,
MB > 0. Dalam kondisi ini, jumlah output yang akan dihasilkan adalah sebesar Q.
Meskipun demikian, kondisi ini bukanlah kondisi yang optimal secara sosial, karena
menghasilkan terlalu banyak emisi. Kondisi yang optimal secara sosial akan dicapai ketika
perusahaan berhenti menghasilkan barang ketika Marginal Social Cost (MSC) lebih besar
dari pada Marginal Benefit, MSC > MB. Dengan adanya pajak, pelaku usaha akan terdorong
untuk memproduksi/melakukan kegiatan sampai pada titik Q*, yaitu titik optimal ketika MB
= MSC. Mengapa?
Pertama, jika tingkat kegiatan/emisi (Q) lebih besar dari Q*, MSC > MB. Artinnya,
tingkat kegiatan tersebut akan memberikan kerugian lebih banyak bagi pelaku usaha. Kedua,
jika tingkat kegiatan/emisi (Q) lebih kecil dari Q*, MB > MSC. Artinya, meskipun kegiatan
pada tingkat ini tidak menghasilkan kerugian yang besar, tetapi tingkat kegiatan tetap tidak
optimal, karena pada tingkat ini kegiatan tersebut masih dapat memberikan manfaat yang

10
lebih besar (manfaatnya masih bisa ditingkatkan dengan menaikkan tingkat kegiatan sampai
dengan tingkat kegiatan/emisi mencapai Q*.28 Untuk penentuan tingkat pajak yang optimal,
t*, dapat dilihat dalam Lampiran 3 dari Bab ini.
Dilihat dari sifatnya, maka pajak lingkungan termasuk pajak yang bersifat mengatur
(regulatory charge/tax). Sifat pajak yang mengatur ini dapat dibedakan dari sifat pajak yang
berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (budgetary charge/tax). Disebut bersifat
mengatur karena pajak lingkungan memang bertujuan mengatur atau mengubah perilaku
pencemar. Dengan demikian, maka pajak lingkungan ini perlu memperhatikan elastisitas
permintaan akan barang/kegiatan yang hendak dipajaki. Apabila permintaan terhadap
barang/kegiatan tersebut inelastis, maka perubahan harga tidak akan terlalu berdampak pada
perubahan perilaku yang diinginkan. Dengan kata lain, apabila konsumen dari sebuah
barang/kegaitan yang dianggap mencemari ternyata tidak memiliki alternatif atas
barang/kegiatan yang dipajaki, maka mereka tidak akan memiliki pilihan lain selain dari
meneruskan konsumsi yang sebenarnya mencemari tersebut. Karena itulah maka efektivitas
pajak lingkungan tergantung pada ada tidaknya alternatif yang lebih baik dari
barang/kegiatan yang mencemari (yang dibebani pajak).29
Lebih jauh lagi, karena sifatnya sebagai pungutan yang mengatur, maka tujuan dari
pajak lingkungan terutama adalah berubahnya perilaku, yaitu berkurangnya kegiatan yang
mencemari. Dengan demikian, pendapatan negara bukanlah tujuan utama dari pajak
lingkungan. Apabila kegiatan yang mencemari berkurang maka akan berkurang pula
pungutan yang harus dibayar oleh pencemar. Idealnya, apabila pada akhirnya tidak ada
pendapatan negara dari pajak lingkungan, maka hal ini menunjukkan keberhasilan pajak
lingkungan dan bukan sebaliknya.30
Jenis dari pajak lingkungan yang lazim dikenal antara lain:31
-! pajak atau charges bagi biaya-biaya adminstrasi untuk melaksanakan sistem peraturan.
Hal ini dilakukan misalnya dengan mengenakan charges bagi biaya yang diperlukan
untuk pengeluaran izin, serta untuk membiayai inspeksi, pengawasan, dan monitoring
implementasi isi dari izin tersebut.
-! Pajak atau charges yang dikenakan untuk pelaksanaan pengawasan lingkungan dan
penanggulangan pencemaran. Charges jenis ini di samping terkait dengan tindakan
preventif (berupa pengawasan) juga terkait dengan denda yang diperuntukkan sebagai
biaya pembersihan setelah terjadinya pencemaran.
-! Pajak atau charges yang mencerminkan biaya lingkungan total dari kegiatan yang
tertentu. Pajak ini seringkali dikaitkan dengan tingkat emisi yang dihasilkan, sehingga
seringkali juga disebut sebagai emission charges32. Contoh dari pajak ini ialah Carbon
Tax yang diterapkan pada setiap pemakaian bahan bakar yang mengandung karbon.
-! Pajak atau charges yang dikenakan bagi setiap penggunaan bahan atau proses yang dapat
menimbulkan pencemaran. Menurut Greenwood, charges jenis ini disebut sebagai

28
R. Kerry Turner, David Pearce, dan Ian Bateman, op cit., hal. 167.
29
Michael Faure, Marjan Peeters and Andri G. Wibisana, “Economic Instruments: Suited to Developing
Countries?”, dalam Michael Faure dan Nicole Niessen (eds.), Environmental Law in Development: Lessons
from the Indonesian Experience (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2006), hal. 228-229.
30
Ibid., hal. 230.
31
Stuart Bell dan Donald McGillivray, op cit., hal. 201-204.
32
Brian Greenwood, “Looking Ahead: Environmental Regulation-A Future?”, dalam: Alan Boyle (ed.)
Environmental Regulation and Economic Growth (Oxford: Oxford University Press, 1994), hal. 116.

11
Product charges, yaitu charges yang dikenakan pada produk-produk yang, ketika
digunakan dalam proses produksi, dikonsumsi dan dibuang, berbahaya bagi
lingkungan. 33 Jenis dari pajak ini dapat dilihat pada landfill tax, yaitu pajak yang
dibebankan pada pengelola limbah, yang akan mendorong naikknya biaya pengelolaan
limbah, sehingga pada akhirnya akan mendorong orang untuk menggunakan barang yang
menghasilkan limbah sedikit.

Keunggulan dari pajak ialah kemampuannya untuk secara langsung menginternalkan


biaya-biaya lingkungan, sehingga kegiatan yang tidak ramah lingkungan secara langsung
akan terdorong untuk segera berubah menjadi kegiatan yang ramah lingkungan. Meskipun
demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan pajak lingkungan.34
Pertama, pajak harus memiliki keterkaitan dengan target kualitas lingkungan yang ingin
dicapai. Penetapan besaran pajak karenanya merupakan hal yang paling menentukan dalam
penerapan pajak lingkungan. Apabila pajak terlalu rendah (kurang optimal), maka pajak
lingkungan tidak akan memberikan insentif yang memadai bagi upaya internalisasi
eksternalitas, dan akibatnya kegiatan yang mencemari menjadi tidak mengalami penurunan
yang signifikan.35 Kedua, pajak lingkungan harus memiliki kaitan yang erat dengan emisi.
Semakin tinggi kaitan antara pajak dengan emisi, maka semakin efektiflah penerapan pajak
lingkungan. Persoalannya, emisi bukanlah sesuatu yang mudah untuk diawasi, yang bahkan
seringkali kali merupakan gabungan dari berbagai jenis polutan. 36 Jika ini terjadi, maka
pelaksanaan pajak lingkungan akan membutuhkan biaya pengawasan yang sangat besar,
sedang di sisi lain akan membuat pelaku usaha berada dalam “lautan pajak”.37 Ketiga, pajak

33
Ibid.
34
Catatan ini dapat dilihat pada: J.P. Barde, “Environmental Policy and Policy Instruments”, dalam: Henk
Folmer, H. Landis Gabel, dan Hans Opschoor (eds.), Principles of Environmental and Resource Economics: A
Guide for Students and Decision-Makers (Aldershot: Edward Elgar, 1994), hal. 235-236; dan: R. Kerry Turner,
David Pearce, dan Ian Bateman, op cit., hal. 173-175.
35
Sayangnya, bahkan penerapan pajak di negara maju pun tidak terlepas dari kegagalan ini. Perman, et al.,
menyatakan bahwa praktek di negara maju menunjukkan dampak dari pajak lingkungan relatif rendah, sebagai
akibat dari pajak yang terlalu rendah. Perman, et al., menyatakan bahwa keberhasilan pajak lingkungan salah
satunya ditentukan oleh penetapan pajak yang tinggi, seperti pada kasus pajak air di Belanda. Hal senada juga
diutarakan oleh Oates dan Baumol. Menurut mereka, pajak yang tinggi memiliki dua akibat yang positif. Di
satu sisi, pajak yang tinggi ini akan menurunkan resiko munculnya pencemaran. Di sisi lain, turunnya resiko
pencemaran berarti turunnya pula kebutuhan untuk melakukan pengawasan. Lihat: Roger Perman, et al.,
Natural Resources and Environmental Economics, 2nd ed (Essex: Longman, 1999), hal. 222-223; dan Wallace
E. Oates dan William J. Baumol, “Instrument for Environmental Policy”, dalam: Wallace E. Oates (ed.). The
Economics of Environmental Regulation (Cheltenham: Edward Elgar, 1996), hal. 110.
36
Oates dan Baumol misalnya menyatakan bahwa pajak yang diterapkan untuk limbah cair harus
memperhatikan tingkat BOD, kandungan polutan yang tidak bisa terturai, suhu, dan mungkin volume dari
limbah cair tersebut. Wallace E. Oates dan William J. Baumol, ibid., hal. 104.
37
Untuk menghindari kesulitan ini, terdapat beberapa alternatif penerapan pajak lingkungan. Alternatif
pertama ialah dengan jalan menggabungkan beberapa jenis polutan sebagai dasar penerapan pajak (assessment
base), seperti diterapkan dalam pajak air di Jerman, Perancis, dan Belanda, atau pajak pencemaran udara untuk
industri di Latvia dan RRC. Alternatif lainnya ialah dengan menerapkan indikator polutan yang tidak langsung
(misalnya sulfur digunakan sebagai indikator bagi penerapan pajak bahan bakar (carbon tax) atau penerapan
pajak yang sama bagi semua pencemar (flat rate). Lihat: Robert N. Stavins, “Experience with Market-based
Environmental Policy Instruments”, dalam Karl-Göran Mäler dan Jeffrey Vincent (eds.), Handbook of
Environmental Economics Volume I: Environmental Degradation and Institutional Responses (Amsterdam:
Elsevier, 2003), hal. 262-272; dan S. De Kock, “Government Financial Incentive for the Protection of the
Environment”, dalam: M. Bothe (ed.), Trends in Environmental Policy and Law (Gland: IUCN, 1980), hal. 64
dan 67. Alternatif lainnya ialah menerapkan pajak kepada input pencemaran, dan bukannya pada output (emisi).
Hal ini misalnya dapat dilihat pada carbon tax di mana pajak dibebankan kepada setiap liter bensin (input), dan

12
lingkungan dapat bersifat regresif, dalam artian bahwa pajak dapat memberikan efek yang
lebih besar terhadap pendapatan orang yang kurang mampu, dibandingkan terhadap efek
pada mereka yang kaya. Dengan demikian, pajak lingkungan memiliki kendala politis yang
besar untuk dapat diterapkan. Keempat, efektifitas pajak lingkungan (terutama product
charges) bergantung pada keberadaan barang substitusi (atau kurva elastisitas permintaan).
Apabila permintaan bersifat inelastis (yang artinya tidak ada barang substitusi atas barang
yang dikenai pajak), maka pajak lingkungan atas sebuah barang yang berpotensi mencemari
tidak akan memiliki dampak yang signifikan.

3.2.!Jaminan yang Bisa Dikembalikan (Deposit Refund System)


Pada sistem ini, seseorang harus membayar di muka sejumlah uang sebagai jaminan
bahwa ia tidak akan melakukan pencemaran atau bahwa ia telah melakukan kewajiban
tertentu terkait perlindungan/pengelolaan lingkungan hidup. Pada akhir kegiatan, uang
jaminan tersebut akan dikembalikan apabila pelaku kegiatan/usaha dianggap telah memenuhi
kewajiban tersebut. Di AS, sistem jaminan seperti ini disebut sebagai performance bond.
Dengan demikian, performance bond merupakan jaminan keuangan bahwa pelaku
usaha/kegiatan akan melakukan kewajiban/tindakan tertentu di masa depan. Kewajiban ini
sudah jelas/pasti pada saat ini (pada saat jaminan keuangan dibayarkan). Hal ini berbeda
dengan jaminan keuangan lainnya, misalnya asuransi, yang merupakan jaminan keuangan
untuk mengatasi kerugian di masa depan, yang sifatnya belum pasti tetapi diprediksi dapat
terjadi.38
Penetapan uang jaminan atas kegiatan tertentu selayaknya mempertimbangkan
beberapa aspek, seperti diutarakan oleh Costanza dan Perrings. Pertama, penetapan jumlah
uang jaminan harus terkait dengan tingkat ilmu pengetahuan yang ada. Ini berarti besaran
uang jaminan dan waktu penetapannya akan berbeba-beda tergantung dari apakah sebuah
kegiatan akan berlangsung lama atau singkat. Untuk kegiatan yang berlangsung lama, maka
uang jaminan dapat ditetapkan secara sekuensial. Kedua, waktu pengembalian uang jaminan
harus memiliki kaitan dengan sifat pencemaran, yaitu apakah pencemaran sulit dihilangkan
atau tidak (rate of decay). Semakin tinggi rate of decay dari polutan, maka semakin cepat
uang jaminan dapat dikembalikan. Ketiga, besaran uang jaminan dan waktu
pengembaliannya harus ditetapkan dengan mempertimbangkan skenario pencemaran yang
terburuk (the worst case scenario). Ini berarti bahwa permormance bond terkait erat dengan
tingkat pengetahuan dan proses pembelajaran, sehingga ia haruslah bersifat fleksibel terhadap
perubahan ilmu pengetahuan dan kondisi lingkungan.39 Terkait dengan aspek terakhir ini,
Costanza dan Cornwell mengusulkan agar performance bond diterapkan berdasarkan asas
kehati-hatian. Artinya, uang jaminan ditetapkan tidak hanya berdasarkan pada kerusakan
yang sudah bisa diprediksi secara pasti, tapi juga berdasarkan kerusakan yang meskipun
secara ilmiah belum konklusif tetapi dapat menimbulkan dampak yang serius dan tidak bisa
dipulihkan. Dengan penerapan uang jaminan seperti ini, maka para pengguna sumber daya
lingkungan lah (para calon pencemar) yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa
kegiatan mereka tidak akan menimbulkan dampak seperti yang dikhawatirkan. Constanza

bukannya pada emisi karbon dari tiap kendaraan/pabrik. Alternatif inilah yang mungkin paling efektif dan
murah, karena alternatif ini bahkan tidak membutuhkan adanya pengawasan yang diperlukan untuk mengukur
emisi.
38
J. Boyd, “A Market-Based Analysis of Financial Insurance Issues Associated with US Natural Resource
Damage Liability”, dalam: M. Faure (ed.), Deterrence, Insurability, and Compensation in Environmental
Liability: Future Developments in the European Union (Vienna: Springer, 2003), hal. 262-263.
39
Robert Costanza dan Charles Perrings, “A Flexible Assurance Bonding System for Improved
Environmental Management”, Ecological Economics, Vol. 2, 1990, hal. 66.

13
dan Cornwell menyebut uang jaminan seperti ini sebagai “the precautionary polluter pays
principle”.40
Sistem Jaminan yang Bisa Dikembalikan tidak secara eksplisit diatur di dalam UU
No. 32 tahun 2009. Pasal 43 ayat 2 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa instrumen
pendanaan lingkungan hidup salah satunya meliputi dana jaminan pemulihan lingkungan.
Menurut Penjelasan dari Pasal ini, dana jaminan adalah “dana yang disiapkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena
kegiatannya”. Meskipun menggunakan kata “jaminan”, Penjelasan Pasal 43 ayat 2 tidaklah
serta merta menunjukkan bahwa “dana jaminan” ini adalah Sistem Jaminan yang Bisa
Dikembalikan. Dalam hal ini, pasal tersebut tidak memberikan kejelasan apakah “dana
jaminan” dikaitkan dengan kewajiban tertentu atau tidak. Lebih penting lagi, pasal tersebut
juga tidak memberikan kejelasan apakah “dana jaminan” bisa dikembalikan seandainya
pelaku kegiatan/usaha dianggap telah menunaikan kewajibannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kita terbiasa dengan Sistem Jaminan yang
Bisa Dikembalikan ini, meskipun contoh tersebut tidak terkait dengan perlindungan
lingkungan. Contoh umum ini misalnya adalah uang jaminan yang kita bayarkan pada saat
membeli tiket commuter line, yang kemudian uang jaminan tersebut akan dikembalikan pada
saat kita mengembalikan tiket (berarti menunaikan kewajiban).
Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, contoh yang masih dipraktekkan di
Indonesia adalah Dana Jaminan Reklamasi. Dana ini harus dibayarkan oleh pelaku
usaha/kegiatan pertambangan sebagai jaminan bahwa mereka akan melakukan reklamasi,
yaitu mengembalikan kondisi lokasi pertambangan ke kondisi sebelum ditambang. Apabila
dianggap berhasil, maka dana tersebut akan dikembalikan.41 Mengingat fungsinya sebagai
jaminan, maka dana yang dijaminkan tidak bisa dianggap sebagai penghasilan bagi negara.
Sebaliknya, tidak dikembalikannya uang jaminan kepada pelaku usaha/kegiatan justru
mengindikasikan sesuatu yang buruk, yaitu tidak dilakukannya kewajiban oleh pelaku
usaha/kegiatan.

3.3.!Izin yang Dapat Diperjualbelikan (Tradeable Permit)


Dalam sistem ini, pertama-tama pemerintah menetapkan adanya ambang batas
pencemaran di daerah tertentu. Berdasarkan ambang batas ini, pemerintah kemudian
mengeluarkan izin (untuk ‘mencemari’), yang masing-masing izin ini mempunyai ambang
batasnya sendiri. Pada tahap awal, izin ini diberikan kepada pengusaha melalui lelang,
sehingga dapat saja suatu perusahaan memiliki beberapa izin. Dalam perkembangannya,
perusahaan yang mampu mengurangi tingkat pencemaran kurang dari ambang batas yang
ditetapkan dalam izin akan memperoleh keuntungan ekonomi, karena ia dapat menjual izin
tersebut kepada mereka yang memerlukannya (yaitu mereka yang emisinya melampaui batas
yang ditetapkan di dalam izin). Di sini terlihat bahwa semakin besar pengurangan
pencemaran, maka semakin besar keuntungan ekonomi yang diperoleh. Di sini, situasi di
sebuah perusahaan bahkan bisa jauh lebih baik dari pada yang diperbolehkan oleh standar.
Salah satu contoh yang sering digunakan untuk menggambarkan cara kerja dan
keberhasilan dari izin yang bisa diperjualbelikan adalah cap-and-trade di AS. Di negara ini,
cap-and-trade digunakan untuk program pengurangan SO2 dan NOx pada tahun 1990-an. Di

40
Robert Costanza dan Laura Cornwell, “The 4P Approach to Dealing with Scientific Uncertainty”,
Environment, Vol. 34, No. 9, 1992.
41
UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, LN tahun 2009 No. 4, TLN No.
4959, Pasal 100 ayat 1.

14
dalam sistem ini, pertama-tama pemerintah menentukan besaran cap berupa kuota emisi bagi
industri tertentu di wilayah tertentu. Mereka yang berhasil menurunkan emisi memiliki sisa
emisi yang bisa dijual ke pihak lain yang emisinya melebihi kuota.42
Penerapan cap and trade di AS terdiri dari beberapa program, di antaranya: Netting,
Offsets, Bubbles, dan Banking. Di dalam program Netting, sebuah pabrik dapat menciptakan
sumber emisi baru sepanjang emsisi tersebut diimbangi dengan pengurangan emisi dari
pabrik yang sama. Sementara itu, program offset pertama kali diperkenalkan tahun 1976 di
daerah nonattainment. Melalui program ini, peningkatan emisi oleh sumber baru pada daerah
nonattainment dapat diizinkan sepanjang hal ini diimbangi dengan pengurangan emisi di
daerah lain. Offset dapat dilakukan melalui pengurangan emisi dari satu perusahaan, atau
melalui pembelian izin dari perusahaan lain.
Sementara itu, Bubbles adalah program yang membatasi total emisi dari sumber emisi
yang telah ada. Dalam program ini, perusahaan dapat menentukan batasan emisi yang
berbeda di antara sumber dimilikinya, sepanjang total emisi di dalam bubble tidaklah
terlampaui. Dalam program bubble ini, sumber emisi yang telah ada dianggap sebagai
sebuah bubble. Total emisi dari tiap bubble dibatasi oleh pemerintah, sehingga memberikan
kebebasan kepada perusahaan untuk memilih emisi dari sumber mana yang akan diturunkan
dan dari sumber mana yang akan dinaikkan, sepanjang kenaikan dan penurunan itu tidak
melebihi total emisi yang diizinkan dari tiap bubble.
Banking bekerja sebagai alat untuk menyimpan kredit pengurangan emisi (emission
reduction credits, ERCs) dari satu sumber emisi agar dapat digunakan pada masa yang akan
datang. Melalui program ini, ERCs dapat digunakan untuk program pada masa yang akan
datang, atau untuk dijual pada pencemar lain pada masa yang akan datang.43
Program cap-and-trade tentu saja memerlukan pengawasan yang sangat ketat dari
pemerintah, sehingga justru memerlukan biaya administratif yang besar. Persoalan penting
yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan jual-beli izin ini adalah pengalokasian izin dan
penetapan harga pertama kali. Pada prinsipnya, harga tiap izin (yang berarti pula kuota
emisi) ditetapkan berdasarkan lelang (auction). Berdasarkan lelang ini, maka kuota emisi
akan diberikan pada mereka yang paling tinggi menilai emisi tersebut (atau dengan kata lain,
mereka yang berani membayar mahal untuk emisi yang dihasilkannya). Jika ini terjadi, maka
penetapan kuota dapat dikatakan telah memenuhi syarat “allocative efficiency”. Akan tetapi,
pada prakteknya, kuota emisi pertama justru dilakukan berdasarkan “grandfathering”, yaitu
pemberian kuota kepada para pencemar saat ini (incumbent), yang seringkali dilakukan
bahkan sedikit sewenang-wenang. Hal ini dapat menimbulkan efek yang buruk pada
efektivitas instrumen perdagangan izin ini. Di satu sisi, grandfathering seperti memberikan
pembenaran pada para pencemar terhadap pencemaran yang telah dan akan mereka lakukan.
Dalam hal ini, yang menjadi dasar pertimbangan utama dari grandfathering adalah
kepentingan dan kemampuan para pencemar, bukannya perlindungan masyarakat dan
lingkungan secara umum. Di sisi lain, grandfathering juga dapat berfungsi sebagai alat yang
digunakan oleh perusahaan pencemar untuk menghambat calon kompetitor mereka (barrier
to entry).44
42
Robert V. Percival, et al., Environmental Regulation: Law, Science, and Policy, 7th ed. (New York:
Wolters Kluwer Law & Business, 2013), hal. 624-625.
43
Lihat: R. Kerry Turner, David Pearce, dan Ian Bateman, op. cit., hal. 182-184. Penjelasan yang sama
juga dapat dilihat pada, misalnya: David Wilkinson, Environment and Law (New York: Routledge, 2002), hal.
188-189.
44
Anthony Ogus, ”Nudging and Rectifying: the Use of Fiscal Instruments for Regulatory Purposes”, Legal
Studies, Vol. 19, 1999, hal. 169.

15
UU No. 32 tahun 2009 telah membuka kemungkinan penerapan dari izin yang bisa
diperjualbelikan. Dalam hal ini, Pasal 43 ayat 3 huruf d menyatakan bahwa salah satu
instrumen dari insentif/disinsentif adalah “sistem perdagangan izin pembuangan limbah
dan/atau emisi”. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa perdagangan izin di sini adalah
“jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan
hidup antar penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan”.

3.4.!Subsidi
Subsidi merupakan kebalikan dari pajak. Pada prinsipnya keadaan yang ingin dicapai
tidak berbeda dengan pajak, yaitu bahwa barang yang ramah lingkungan menjadi lebih murah
dari pada yang tidak ramah lingkungan. Meski demikian, subsidi dikritik karena ia tidak
akan mendorong para pengusaha untuk memperbaiki sistem produksinya menjadi lebih
bersih, karena semua biaya lingkungan akan ditanggung oleh pemerintah. Di samping itu,
subsidi juga dikritik karena sistem ini justru memberikan dana bagi para pencemar, dan
bukannya memaksa para pencemar untuk bertanggungjawab atas pencemaran yang terjadi
Meskipun bertujuan sama, yaitu memberikan dorongan ekonomi bagi upaya
internalisasi eksternalitas, pajak dan subsidi tentu saja memiliki perbedaan yang mendasar.
Pertama, pajak bekerja dengan memberikan disinsentif pada kegiatan yang mencemari.
Semakin besar pencemaran yang dilakukan, sebuah banyak pajak yang harus dibayar.
Sebaliknya, semakin ramah lingkungan sebuah kegiatan, maka semakin kecil pajak yang
harus dibayar. Sedangkan subsidi bekerja dengan jalan memberikan insentif pada pelaku
kegiatan untuk melakukan upaya-upaya pencegahan pencemaran atau perbaikan lingkungan.
Kedua, subsidi dan pajak akan mencapai hasil yang berbeda apabila kita melihat perusahaan-
perusahaan dalam satu industri. Subsidi memang dapat memberikan dorongan bagi tiap
perusahaan untuk menurunkan emisinya. Akan tetapi, penurunan emisi tiap perusahaan tidak
serta merta berarti adanya penurunan emisi industri, karena subsidi, berbeda dengan pajak,
justru memberikan dorongan bagi perusahaan-perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri
yang sama. Akibatnya, meski emisi tiap perusahaan berkurang, emisi industri belum tentu
akan berkurang.45 Ketiga, subsidi dan pajak memiliki perbedaan secara filosofis. Dalam
pajak, pencemar diharuskan membayar, sebagai bentuk dari internalisasi eksternalitas.
Dalam subsidi, justru pencemar-lah yang dibayar oleh negara. Karena uang negara sebagian
berasal dari masyarakat luas, yang notabene adalah korban pencemaran, maka subsidi
mengindikasikan adanya penyimpangan terhadap asas pencemar membayar. Sebaliknya,
yang berlaku pada subsidi mungkin adalah “victims pay principle”.

4.! Penaatan Sukarela (Voluntary Compliance)


4.1.!Pengantar
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai penaatan sukarela, ada baiknya jika dalam
bagian ini dijelaskan terlebih dahulu penjelasan mengenai perbadaan antara instrumen
ekonomi dan penaatan sukarela. Instrumen ekonomi memiliki beberapa ciri utama yang
berbeda dari CAC pada satu sisi dan penaatan sukarela pada sisi lain. Ciri utama dari
instrumen ekonomi ini adalah: Pertama, instrumen ekonomi dilandaskan penciptaan insentif
atau disinsentif secara ekonomi. Oates dan Baumol menyatakan bahwa berbeda dari
instrumen ekonomi yang didasarkan pada adanya pemberian insentif ekonomi bagi upaya
perlindungan lingkunan, maka penaataan sukarela didasarkan pada ketiadaan penegakan
45
K.G. Löfgren, “Market and Externalities”, in: H. Folmer, H.L. Gabel and H. Opschoor (eds.), Principles
of Environmental and Resource Economics: A Guide for Students and Decision-Makers (Aldershot: Edward
Elgar, 1995), hal. 26.

16
hukum, sehingga penaatan menjadi keputusan individual yang bersifat sukarela.46 Senada
dengan pendapat ini, Faure, et.al., menyatakan bahwa instrumen ekonomi dilandaskan pada
dua hal, yaitu: di satu sisi, instrumen ini didasarkan pada penciptaan dorongan yang bersifat
ekonomis atas penaatan; sedang di sisi lain instrumen ini dilandaskan pada kebebasan
pencemar (untuk menentukan tingkat pencemaran mereka dan bagaimana mereka mencapai
tingkat pencemaran tersebut).47 Kedua, instrumen ekonomi tidak ditujukan sebagai upaya
untuk mengurangi atau menghapuskan peranan pemerintah dalam perlindungan lingkungan.
Sebaliknya, instrumen ekonomi justru mensyaratkan adanya campur tangan pemerintah dari
mulai pengaturan, perizinan (tradeable permits mengharuskan adanya izin bagi tindakan
pencemara. Hanya mereka yang memiliki izin lah yang memiliki “hak” untuk melepaskan
emisinya), penetapan harga (terutama dalam penetapan tax rate), sampai pada pengawasan
(baik pajak, performance bond, maupun tradeable permits mengharuskan adanya
pengawasan dari pemerintah). Dengan demikian, berbeda dengan penaatan sukarela, di
dalam instrumen ekonomi pemerintah memiliki peran yang sangat sentral. Ketiga, tujuan
utama dari instrumen ekonomi adalah internalisasi eksternalitas, dan bukan peningkatan
pendapatan negara. Efektifnya sebuah instrumen ekonomi, misalnya pajak lingkungan, justru
bisa dilihat dari semakin menurunnya pendapatan negara dari pajak lingkungan, karena hal
ini menandakan bahwa pelaku usaha/kegiatan telah mengubah perilaku atau proses kegiatan
mereka menjadi ramah lingkungan.
Sementara itu, berbeda dari pendekatan CAC dan pendekatan ekonomi (instrumen
ekonomi), penaatan sukarela dapat dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke
dalam kebijakan lingkungan. Pandangan ini pertama kali dicetuskan oleh Eric Orts.
Menurutnya,
“[R]eflexive environmental law, I mean essentially a legal theory and a practical
approach to regulation that seeks to encourage self-reflective and self-critical
processes within social institutions concerning the effects they have on the natural
environment. In other words, reflexive environmental law aims to establish internal
evaluative procedures and patterns of decision making within institutions to lessen
environmental harm and to increase environmental benefit.”48

Dari kutipan di atas terlihat bahwa hukum refleksif merupakan upaya untuk membuat
hukum sebagai lembaga yang mampu mendorong terjadinya proses evaluasi diri dalam
rangka penurunan dampak lingkungan dari kegiatan dan peningkatan kualitas lingkungan
secara umum. Dalam konteks ini, maka penaatan sukarela yang merupakan penerapan
hukum refleksif diharapkan mampu menciptakan dorongan bagi setiap orang untuk
mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang apakah perilakunya selama ini telah memberikan
manfaat bagi lingkungan hidup, atau justru telah menimbulkan kerusakan.
Oleh Stewart, penerapan hukum refleksif ke dalam hukum lingkungan menandai
dimulainya pola kebijakan lingkungan “generasi ketiga”. Menurutnya, apabila kebijakan
lingkungan pada “generasi pertama” ditandai dengan pemberlakuan instrumen CAC secara
ekstensif, sedang kebijakan “generasi kedua” ditandai dengan pemberlakuan instrumen
ekonomi semacam pajak lingkungan, maka pada “generasi ketiga”, kebijakan lingkungan
yang refleksif ditandai dengan pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit

46
Wallace Oates dan William Baumol, op. cit., hal. 96-98.
47
Michael Faure, Marjaan Peeters, dan Andri G. Wibisana, op cit., hal. 219.
48
Eric W. Orts, “A Reflexive Model of Environmental Regulation”, Business Ethics Quarterly, Vol. 5, No.
4, Oct., 1995, hal. 780.

17
lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.49 Dalam berbagai contoh yang diberikan
oleh Stewart, terlihat bahwa berbeda dengan pendekatan CAC dan instrumen ekonomi, fungsi
Pemerintah dalam kebijakan hukum lingkungan “generasi ketiga” sangatlah terbatas, yaitu
hanya berfungsi sebagai pendorong atau fasilotator berbagai program sukarela terkait
pengelolaan lingkungan. Sebaliknya, industri atau aktor non-negara yang selama ini menjadi
target dari peraturan, justru bertindak aktif dalam merencanakan, mempromosikan, dan
mengelola program sukarela tersebut.
Secara umum, penaatan sukarela dibagi ke dalam empat kelompok utama. Pertama,
komitmen sepihak oleh pelaku usaha/kegiatan, di mana pelaku usaha/kegiatan membuat
program perbaikan lingkungan sendiri, dan kemudian menginformasikan hal ini kepada
publik atau pemegang saham. Dalam hal ini, target perbaikan lingkungan ditentukan sendiri
oleh pelaku kegiatan/usaha. Demikian pula halnya dengan monitoring, tata kelola, dan
penaatan terhadap target tersebut. Kedua, perjanjian privat antara pencemar (polluters) dan
korbannya (pollutees). Dalam bentuk ini, perusahaan atau kelompok usaha dan pihak yang
diperkirakan akan terkena dampak dari usaha/kegiatan mereka mengadakan perjanjian yang
berisi, antara lain, program pengelolaan lingkungan atau penerapan teknologi tertentu untuk
mengurani pencemaran. Ketiga, adalah perjanjian antara industri dengan pemerintah.
Perjanjian semacam ini biasanya memuat target penurunan pencemaran (emisi) tertentu yang
ingin dicapai dalam waktu tertentu. Salah satu ciri penting dari perjanjian ini adalah adanya
keinginan untuk melakukan penurunan pencemaran ketika hal tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Keempat, program sukarela yang dikembangkan oleh
pemerintah, dan pelaku usaha/kegiatan diundang untuk terlibat di dalamnya. Misalnya saja
pelaku usaha/kegiatan menyetujui untuk terlibat dalam program tertentu yang digagas oleh
Pemerintah. Sebagai imbalannya, pelaku usaha/kegiatan ini memperoleh kemudahan-
kemudahan tertentu, atau memperoleh reputasi yang baik.50
Di sisi lain, terdapat pula pembedaan instrumen penaatan sukarela ditinjau dari
apakah instrumen tersebut ditujukan pada target atau pada implementasi tertentu. Pada satu
sisi penaatan sukarela dapat dilakukan melalui penentuan tujuan atau target tertentu, misalnya
penurunan emisi. Penaatan sukarela seperti ini disebut sebagai target-based voluntary
approach. Di sisi lain, penaataan sukarela dapat dibuat dalam rangka menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan, misalnya melalui penentuan cara untuk menaati baku mutu
yang ditetapkan pemerintah. Penaatan sukarela seperti ini disebut sebagai implementation-
based voluntary approach.51
Lebih penting lagi, mengingat penaatan sukarela memiliki potensi masalah terkait
transparansi, ketidakjelasan insentif bagi pelaku usaha/kegiatan, kurangnya kepercayaan
publik, atau bahkan kemungkinan adanya persoalan free-rider atau regulatory capture, maka
penaatan sukarela perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: 52 a). target yang jelas dan
transparan; b). adanya patokan (baseline, business-as-usual) yang dijadikan ukuran untuk
membandingkan dengan target yang ingin dicapai; c). adanya dorongan/insentif yang
kredibel dari pemerintah agar pelaku usaha/kegiatan mau melakukan lebih baik dari business-
as-usual; d). adanya pengawasan yang kredibel dan dapat diandalkan; e). partisipasi pihak
ketiga pada saat penentuan target dan monitoring pelaksanaan penaatan sukarela; f). adanya
ancaman sanksi bagi kegagalan untuk mencapai target; g). adanya kententuan terkait

49
Richard B. Stewart, “A New Generation Of Environmental Regulation?”, Capital University Law Review
, Vol. 29, 2001, hal. 127-151.
50
OECD, Voluntary Approaches for Environmental Policy: Effectiveness, Efficiency and Usage in Policy
Mixes (Paris: OECD, 2003), hal. 18-19.
51
Ibid., hal. 19.
52
Ibid., hal. 19-20.

18
penyediaan informasi yang memadai; h). adanya upaya untuk memastikan bahwa penaatan
sukarela tidak memiliki efek persaingan usaha yang tidak sehat.
Salah satu instrumen yang erat kaitannya dengan penaatan sukarela adalah self-
regulation, pengaturan diri sendiri. Hemphill, sebagaimana dikutip oleh Iannuzzi, Jr.,
membagi self-regulation ke dalam dua bentuk. Pada satu sisi instrumen ini dapat berupa
penentuan standar tertentu secara sukarela oleh pelaku usaha/kegiatan atau industri pada saat
tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur standar tersebut. Pada sisi lain,
instrumen ini dapat pula berupa penentusan standar oleh pelaku usaha/kegiatan atau industri
dalam rangka menaati peraturan yang berlaku, atau untuk mencapai target yang lebih baik
dari peraturan yang berlaku.53
Iannuzzi, Jr., menyatakan bahwa untuk menjamin efektivitas self-regulation, maka
penerapan instrumen ini perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: a). adanya tujuan yang
jelas, misalnya terkait target perlindungan lingkungan tertentu, atau terkait penaatan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku; b). adanya keterlibatan pemerintah; c). adanya
target yang melampaui penaatan terhadap peraturan perundang-undangan (beyond
compliance); d). adanya manfaat/insentif yang jelas bagi pelaku usaha/kegiatan yang akan
dihasilkan dari program self-regulation; e). pengurangan kompleksitas, misalnya dengan
menyediakan arahan yang jelas atau persyaratan yang tidak terlalu rumit; f). adanya
keterlibatan pemangku kepentingan guna menjamin kepercayaan publik atas program yang
diadakan; g). adanya kekuatan hukum (legal standing) dari program yang penaatan
sukarela.54
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penaatan sukarela berbeda dengan instrumen
ekonomi. Melalui penjelasan ini maka kita berharap agar misinterpretasi dan campur aduk
antara instrumen ekonomi dengan penaatan sukarela tidak akan terulang lagi. Lebih penting
lagi, baik secara teoritis maupun dalam praktek, sebenarnya penaatan sukarela tidak
sepenuhnya terlepas dari peran negara/pemerintah. Artinya, kita membutuhkan adanya
keterkaitan antar CAC dan instrumen ekonomi pada satu sisi, dengan instrumen penaatan
sukarela di sisi lain.
Beberapa bentuk penaatan sukarela yang dikenal antara lain adalah: PROPER, audit
sukarela, mekanisme pemberian informasi secara sukarela, dan perjanjian privat (covenant).
Program penaatan sukarela ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini. Selanjutnya, perlu
pula dijelaskan pada bagian ini bahwa meskipun dikelompokkan sebagai penaatan sukarela
(penaatan sukarela), beberapa bentuk penaatan sukarela yang akan dibahas sesungguhnya
tetap memiliki keterkaitan sangat dekat dekat CAC, sehingga sebenarnya lebih merupakan
instrumen campuran antara CAC dengan instrumen penaatan sukarela.

4.2.!Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan


(PROPER)
PROPER merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
melalui instrumen informasi. Hingga saat ini PROPER berjalan dengan pendekatan penaatan
berbasis sukarela dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup.55

53
Alphonse Iannuzzi, Jr., Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance (Washington,
DC: Lewis Publishers, 2002), hal. 23.
54
Ibid., hal. 155-156.
55
Dalam prakteknya tidak semua perusahaan wajib mengikuti PROPER, hanya perusahaan tertentu. Dalam
informasi yang tersedia dalam situs PROPER bahkan dikatakan bahwa peserta PROPER bersifat selektif, yaitu
untuk industri yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dan peduli dengan citra atau reputasi.
Lihat: Andri G. Wibisana dan Deni Bram, “Penegakan Hukum vs. Penaatan Sukarela: Analisa Kritis atas

19
Secara hukum, PROPER saat ini didasarkan pada Pasal 43(3) huruf h UU No. 32
tahun 2009, yaitu sebagai “sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup”. Menurut penulis, penempatan PROPER sebagai bagian dari
instrumen ekonomi sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan. Seperti dijelaskan di atas,
instrumen ekonomi dan penaatan sukarela (yang salah satunya adalah PROPER) memiliki
perbedaan yang cukup penting, dan karenanya tidak bisa disamakan begitu saja.
Perlu dijelaskan di sini bahwa PROPER telah ada dan berjalan sejak lama. Dasar
hukum PROPER pada saat pertama kali berjalan dituangkan dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 35-A Tahun 1995 tentang PROPER-PROKASIH. Pada
tahapan selanjutnya, PROPER dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) yang kemudian beberapa kali
mengalami perubahan, terakhir melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 5 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan (PROPER). Secara normatif ditentukan bahwa PROPER adalah
program penilaian terhadap upaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan dalam
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun.56
PROPER merupakan sistem pemeringkatan kinerja perusahaan dalam pengelolaan
lingkungan. Perusahaan yang menjadi peserta PROPER, dengan berdasarkan pada kinerja
mereka dalam pengelolaan lingkungan, diberikan peringkat yang dibagi ke dalam lima
peringkat warna, yaitu emas, hijau, biru, merah dan hitam.
Untuk memahami peringkat dari warna-warna ini ada baiknya kita mulai
membacanya dari warna Biru. Peringkat Biru diberikan pada usaha/kegiatan yang telah
melaksanakan upaya pengendalian pencemaran/kerusakan lingkungan dan telah mencapai
hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian peringkat ini diberikan kepada mereka yang dianggap telah memenuhi
standar penaatan minimum. Selanjutnya lebih baik sedikit dari Biru adalah Hijau, yang
diberikan untuk usaha/kegiatan yang telah melaksanakan upaya pengendalian
pencemaran/kerusakan lingkungan dan memperoleh hasil lebih baik dari persyaratan
minimum menurut peraturan perundang-undangan. Peringkat terbaik adalah Emas yang
diberikan untuk usaha/kegiatan yang telah berhasil melaksanakan upaya pengendalian
pencemaran/kerusakan lingkungan atau melaksanakan produksi bersih dan telah mencapai
hasil yang sangat memuaskan. Dengan demikian, apabila Peringkat Biru diberikan pada
mereka yang telah mencapai penaatan (compliance), maka Peringkat Hijau dan Emas
diberikan mereka yang lebih baik dari penaatan (beyond compliance). Peringkat yang lebih
buruk dari Biru adalah Peringkat Merah. Peringkat ini diberikan untuk usaha/kegiatan yang
telah melaksanakan upaya pengendalian pencemaran/kerusakan lingkungan tetapi masih
belum mencapai persyaratan minimum menurut peraturan perundang-undangan. Sedangkan
peringkat terburuk adalah Hitam, yaitu peringkat yang diberikan untuk usaha/kegiatan yang
bahkan belum melaksanakan upaya pengendalian pencemaran/kerusakan lingkungan yang
berarti. Dengan demikian, peringkat Merah dan Hitam sebenarnya menunjukkan adanya

Pelaksanaan PROPER”, dalam: Amiruddin A.D. Imami, et al. (eds.), Perkembangan Hukum Lingkungan Kini
dan Masa Depan: Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Pembina Hukum Lingkungan se-Indonesia
(Bandung: Bagian Hukum dan Pembangunan Masyarakat FH Unpad, 2013), hal. 474.
56
Ibid.

20
kegalalan dalam menunaikan kewajiban hukum, sehingga mengindikasikan adanya
pelanggaran hukum.57
Peringkat-peringkat tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.58

Seperti terlihat dalam Wibisana dan Bram, pada tahun 2008-2009, dari 627
perusahaan peseta PROPER, satu perusahaan mendapatkan peringkat Emas, 41 peringkat
Hijau, 170 peringkat Biru, 229 peringkat Biru minus, 82 peringkat Merah, 48 peringkat
Merah minus, dan 56 peringkat hitam. Hal ini berarti, bahwa dari sudut penaatan, yaitu
peringkat Emas, Hijau, Biru, dan Biru Minus, mencapai 441 perusahaan atau 70% dari total
627 perusahaan. Dalam catatan Sekretariat PROPER, tingginya tingkat penaatan perusahaan
ini terjadi karena adanya perbaikan kinerja penaatan beberapa perusahaan peserta PROPER.
Sedangkan untuk peringkat merah dan hitam (non-compliance), berjumlah 186 perusahaan
(30%), yang sebagian besar adalah perusahaan yang baru pertama kali dinilai peringkat
PROPER.59
Sementara itu, PROPER periode 2010-2011 memberikan gambaran yang menarik
mengenai peningkatan kinerja perusahaan. Dari 654 perusahaan yang dinilai selama dua

57
Diolah dari penjelasan: Sigit Reliantoro, et al., The Gold for Green: Bagaimana Penghargaan PROPER
Emas Mendorong Lima Perusahaan Mencapai Inovasi, Penciptaan Nilai dan Keunggulan Lingkungan (Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup RI, 2012), hal. 9-10.
58
Sekretariat PROPER Kementerian Lingkungan Hidup, “PROPER Periode 2011-2012: Edisi
Pengumuman PROPER”, November 2012 <http://www.menlh.go.id/DATA/PROPER2012.PDF>, diakses pada
Mei 2013, hal. 4.
59
Andri G. Wibisana dan Deni Bram, op cit., hal. 479.

21
periode berturut turut, 25 % berhasil meningkatkan kinerjanya, 64 % tetap peringkat
kinerjanya dan hanya 11 % yang mengalami penurunan kinerja pengelolaan lingkungan.60
Lebih menarik lagi adalah gambaran mengenai ketidaktaatan peserta PROPER di
antara dua periode. Misalnya saja, dari 330 yang memperoleh peringkat Merah pada periode
2011-2012, ternyata sebanyak 94 perusahaan telah memperoleh peringkat merah, 37
perusahan telah memperoleh peringkat biru, dan 1 memperoleh peringkat hitam pada periode
sebelumnya (tahun 2010-2011). Selanjutnya, dari sebanyak 79 perusahaan yang memperoleh
peringkat hitam pada periode 2011-2012, ternyata sebanyak 32 perusahaan telah memperoleh
peringkat merah dan 1 perusahaan memperoleh peringkat biru pada tahun sebelumnya. Ini
berarti bahwa sebanyak perusahaan 37 telah turun peringkat dari biru menjadi merah, dan 1
perusahaan turun dari dari biru menjadi hitam. Di samping itu, sebanyak 131 perusahaan
telah dua periode berturut-turut melakukan ketidaktaatan.61
Terkait tindak lanjut dari hasil penilaian PROPER, Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan telah menindaklanjuti 49 perusahaan peringkat hitam periode tahun 2010-2011.
Dari hasil tindak lanjut ini, 2 perusahaan direkomendasikan un-tuk proses penyidikan, 37
perusahaan dikenakan paksaan pemerintah untuk membangun unit-unit pengendalian limbah,
6 perusahaan dikenakan sanksi administrasi, 2 perusahaan dikenakan teguran tertulis, dan 2
perusahaan ditutup.62
Wibisana dan Bram memperlihatkan adanya persoalan PROPER, setidaknya ditinjau
dari sisi kredibilitas dan lemahnya penegakan hukum. Terkait hasil penilaian, kalangan LSM
seringkali meragukan kredibilitas dari pemberian peringkat PROPER. Keraguan ini
sepertinya diperkuat lagi jika kita melihat peringkat yang diperoleh perusahaan tertentu yang
sebenarnya memperoleh sorotan publik terkait persoalan lingkungan tertentu. Misalnya saja,
PT Lapindo Brantas ternyata mendapatkan PROPER Hijau dari Kementerian Lingkungan
Hidup untuk penilaian dalam kurun waktu 2011 sampai dengan 2012.63
Dari sisi tindak lanjut hasil temuan PROPER, Wibisana dan Bram mengkritik
minimnya penegakan hukum terkait temuan PROPER untuk warnah merah dan hitam.
Seperti dijelaskan di muka, peringkat Merah dan Hitam sebenarnya sudah mengindikasikan
adanya pelanggaran hukum. Secara hukum, Pemerintah sebenarnya telah diberikan
kewenangan dan sarana untuk melakukan berbagai upaya hukum guna menindaklanjuti
adanya ketidaktaatan. Upaya hukum ini bisa berupa penjatuhan sansi administrasi, upaya
pengajuan gugatan perdata melalui hak gugat pemerintah, sampai penjatuhan sanksi pidana.
Namun demikian, data yang diperoleh menunjukkan bahwa upaya hukum (baik administrasi,
perdata, atau pidana) jarang sekali digunakan oleh Pemerintah. Sebagai contoh, Sekretariat
PROPER mengemukakan bahwa sekitar 49 perusahaan yang memperoleh hitam pada periode
2010-2011 telah ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum pidana dan administrasi.64
Wibisana dan Bram berpendapat bah PROPER merupakan campuran antara program
sukarela dan penaatan wajib. Kesukarelaan PROPER terlihat dari proses penetapan peseta,
yang memang saat ini lebih banyak didasarkan pada kesukarelaan atau himbauan, serta dari
adanya peringkat Hijau dan Emas. Namun demikian, PROPER tidak bisa sepenuhnya
dianggap sukarela, karena setiap peserta PROPER wajib memperoleh setidaknya peringkat
Biru. Artinya, mereka yang memperoleh peringkat Merah dan Hitam sesungguhnya telah
melanggar hukum, dan karenanya layak untuk dijatuhi sanksi. Jika Pemerintah
mengesampingkan kewenangannya untuk melakukan penegakan hukum, maka Pemerintah

60
Ibid.
61
Ibid., hal. 481.
62
Ibid.
63
Ibid, hal. 482-483.
64
Ibid, hal. 484.

22
justru telah memperlakukan PROPER sebagai pengganti dari penegakan hukum. Dengan
kata lain, yang terjadi bukanlah dorongan penaatan melalui penaatan sukarela, tetapi
dorongan untuk melakukan ketidaktaatan melalui non-enforcement. 65 Hal ini tentu saja
merupakan sesuatu yang tidak boleh lagi terjadi.

4.3.!Audit Lingkungan Hidup secara Sukarela


UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan audit lingkungan sebagai “evaluasi yang
dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah”.66 Secara umum audit
lingkungan ini dikelompokkan ke dalam audit yang bersifat sukarela dan audit yang bersifat
wajib. Dalam UU No. 32 tahun 2009, audit sukarela diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan
bahwa “[p]emerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup”.
Sifat kesukarelaan dari audit ini ditunjukkan dalam kata “mendorong”, sehingga peran
pemerintah di sini adalah mendorong dan bukan memerintahkan dilakukannya audit
lingkungan.67
Menurut UU No. 32 tahun 2009, audit lingkungan baik yang bersifat sukarela maupun
wajib hanya dapat dilakukan oleh auditor lingkungan yang memiliki sertifikat kompetensi
auditor lingkungan hidup. 68 Untuk memperoleh sertifikasi ini, seorang auditor harus
memiliki kompetensi yang meliputi kemampuan untuk: “a). memahami prinsip, metodologi,
dan tata laksana audit lingkungan hidup; b). melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi
tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan c).
merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup”.69
Sertifikat ini hanya bisa diberikan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor.70
Menurut Wilkinson, audit lingkungan memungkinkan pelaku usaha/kegiatan untuk
memiliki mekanisme pengawasan (quality control mechanism) mandiri untuk menilai kinerja
lingkungan yang dimilikinya serta untuk mengetahui tingkat penaatan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan. Di Eropa, audit lingkungan sukarela ini seringkali
ditemukan pada partisipasi perusahan di dalam eco-management and audit scheme (EMAS)

65
Lihat: Ibid. Hal senada juga diungkapkan ole Kojima yang memandang PROPER sebagai pelengkap dan
bukan sebagai pengganti dari CAC. Dalam ini, Kojima menyatakan bahwa prioritas utama dari kebijakan
lingkungan seharusnya adalah penegakan hukum, dan bukan program peringkat kinerja semacam PROPER ini.
Michikazu Kojima, “Rating Programme Revisited: In the Case of Indonesia”, Tadayoshi Terao and Kenji
Otsuka (eds.), Development of Environmental Policy in Japan and Asian Countries (New York: Palgrave
MACMillan, 2007), hal. 173.
66
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 1 angka 28.
67
Bandingkan hal ini dengan Pasal 49 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009 yang memberikan kewenangan
kepada Menteri Lingkungan untuk “mewajibkan audit lingkungan hidup” kepada “usaha dan/atau kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup” atau “penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, berbeda dari audit
lingkungan sukarela pada Pasal 48, audit lingkungan wajib dalam Pasal 49 ayat (1) diperintahkan oleh Menteri
Lingkungan sebagai sarana penilaian untuk usaha/kegiatan yang dianggap memiliki resiko lingkungan tinggi
atau sebagai sanksi administrasi bagi mereka yang melakukan ketidaktataan terhadap peraturan perundang-
undangan.
68
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 51 ayat (1) dan (2).
69
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 51 ayat (3).
70
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 51 ayat (4).

23
atau ISO 14001. Keduanya adalah program penilaian kinerja lingkungan yang didasarkan
pada penilaian lembaga standardisasi internasional yang bersifat independen.71
Dalam konteks EMAS, usaha/kegiatan yang dinilai harus memiliki program
pengelonaan lingkungan mandiri, sistem pengelolaan lingkungan yang berlaku pada semua
kegiatan di dalam lokasi yang dinilai, audit lingkungan hidup, dan pernyataan lingkungan
(environmental statement). Pernyataan lingkungan ini adalah dokumen tertulis yang terbuka
untuk umum, dan berisi antara lain informasi mengenai: a). kegiatan perusahaan di lokasi
yang dinilai; b). kajian tentang dampak lingkungan penting yang mungkin muncul dari
kegiatan; c). ringkasan dari emisi, limbah, dan kebisingan yang dihasilkan, serta bahan baku,
energy, dan air yang diprediksi akan digunakan oleh kegiatan/usaha; d). aspek lingkungan
lain yang dianggap relevan; e). pemaparan mengenai kebijakan, program, dan sistem
pengelolaan lingkungan yang dimiliki oleh kegiatan/usaha; f). target waktu untuk pengajuan
pernyataan berikutnya; dan g). nama dari peninjau (auditor) lingkungan yang terakreditasi.72
Sementera itu, ISO 14001 sebagai model audit lingkungan yang lebih sering banyak
dipakai, dianggap merupakan sebuah sistem pengelolaan lingkungan (environmental
management system, EMS) yang komprehensif. Program ini mensyaratkan adanya
struktur/organisasi khusus di dalam usaha/kegiatan yang akan mentransformasikan rencana
ke dalam tujuan organisasi dalam pengelolaan lingkungan. Sebagai bagian dari EMS, ISO
14001 tidak ditandai dengan adanya penetapan standar yang didasarkan pada hasil atau
teknologi tertentu (outcome- atau technology-based standards). Sebaliknya, ISO 14001
memuat arahan/standar yang didasarkan pada sistem atau proses (system- atau process-based
standards) guna mencapai hasil tertentu. Dengan demikian, ISO 14001 tidaklah akan
menetapkan standar kinerja tertentu (performance standards), seperti baku mutu emisi atau
baku mutu efluen, serta tidak pula akan menetapkan standar spesifikasi (specification
standard) yang memuat teknologi apa yang harus digunakan oleh kegiatan/usaha.
Sebaliknya, penilaian ISO 14001 justru akan didasarkan pada standar terkait sistem dan
pengelolaan lingkungan, karena program ini dilandaskan pada kepercayaan bahwa hasil yang
baik, misalnya berupa kualitas lingkungan yang baik, akan diperoleh dari adanya sistem dan
pengelolaan lingkungan yang baik. 73
Sistem pengelolaan lingkungan dalam ISO 14001 bertujuan untuk memungkinkan
perusahan memenuhi kewajiban hukum mereka terkait perlindungan lingkungan, dengan
jalan pengembangan kebijakan perusahaan serta implementasi, pengawasan, tindakan
korektif, dan sistem review atas kebijakan tersebut. Seperti dijelaskan sebelumnya, ISO
14001 tidak membuat baku mutu linkungan sendiri. Sebaliknya, penilaian pada ISO 14001
justru didasarkan pada kemampuan pelaku usaha/kegiatan untuk mematuhi berbagai
peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan lingkungan, termasuk baku mutu
lingkungan, yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta untuk melakukan pencegahan
pencemaran dan perbaikan pengelolaan lingkungan di dalam internal perusahaan.74 Untuk
itu, pada satu pelaku usaha/kegiatan diminta untuk menunjukkan rencana pengelolaan
lingkungan terkait dengan dampak lingkungan yang diperkirakan dapat muncul dari
usaha/kegiatannya. Sedang pada sisi lain pelaku usaha/kegiatan juga harus mampu
mengidentifikasi kewajiban hukum terkait pengelolaan lingkungan, di samping juga harus
mengembangkan target lingkungan tertentu dan rencana untuk mencapai target tersebut.

71
David Wilkinson, op cit., hal. 150.
72
Ibid., hal. 150-151.
73
Aseem Prakash and Matthew Potoski, The Voluntary Environmentalists: Green Clubs, ISO 14001, and
Voluntary Regulations (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hal. 89-90.
74
Rory Sullivan, Rethinking Voluntary Approaches in Environmental Policy (Cheltenham, UK: Edward
Elgar, 2005), hal. 70.

24
Selain itu, dalam program ISO 14001, usaha/kegiatan harus pula memiliki sistem yang
dianggap mampu mengimplementasikan rencana pengelolaan lingkungan yang telah
ditetapkan oleh usaha/kegiatan tersebut, dengan menentukan secara jelas tanggung jawab,
peran, dan kewenangan. Setiap orang di dalam organisasi usaha/kegiatan yang bagiannya
diperkirakan akan menimbulkan dampak lingkungan, diwajibkan untuk memiliki kompetensi,
pengalaman, dan pelatihan yang layak terkait pengelolaan dampak lingkungan, termasuk
untuk menghadapi kondisi darurat terkait dampak lingkungan hidup dari kegiatan/usaha.
Harus ada pula sistem pengawasan internal untuk memastikan dilaksanakannya rencana atau
kebijakan pengelolaan lingkungan perusahan. Selain itu, usaha/kegiatan harus pula memiliki
sistem evaluasi, yang di dalamnya termasuk pula sistem review untuk menilai efektivitas,
kelayakan, dan ketepatan pengelolaan lingkungan perusahaan. Untuk menjamin keseluruhan
rencana pengelolaan lingkungan bekerja dengan baik, ISO 14001 menekan perlunya
komitmen dan kepemimpinan dari pejabat senior di dalam perusahaan dalam rangka
penentuan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem pengelolaan lingkungan (EMS) perusahaan.75
Dengan demikian, maka penilian di ISO 14001 akan meliputi beberapa aspek terkait
kebijakan perusahan mengenai sistem pengelolaan lingkungan, target/tujuan pengelolaan
lingkungan yang spesifik dan terukur, rencana pengelolaan lingkungan termasuk rencana
implementasi dan review atas pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, serta aspek
organisasional dari sistem pengelolaan lingkungan perusahaan.76

4.4.!Mekanisme Pemberian Informasi (Information-based Mechanisms)


Pada dasarnya informasi lingkungan merupakan hak setiap warna negara.77 Pada sisi
lain, pelaku usaha/kegiatan memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi tersebut secara
benar. 78 Namun demikian, penyediaan informasi tidak selama terkait dengan hak (bagi
masyarakat) dan kewajiban (bagi pelaku usaha/kewajiban). Ada banyak pula penyediaan
informasi yang sifatnya sukarela sehingg digolongkan ke dalam pendekatan sukarela.
Terkait penyediaan informasi secara sukarela ini, Mol menyatakan bahwa bagaiaman
sistem penyediaan informasi secara sukarela bekerja dengan baik dapat dilihat dari labeling
dan sertifikasi. Dalam hal ini, labeling dan sertifikasi sukarela tidak melibatkan kewajiban
hukum tertentu dari pelaku usaha/kegiatan baik terkait produk dari usaha/kegiatan maupun
proses atau bagaiamana usaha/kegiatan dijalankan. Sebaliknya, penyediaan informasi ini
bersifat sukarela, yang biasa diwujudkan dalam penggunaan simbol yang diarahkan pada
pangsa pasar tertentu. 79 Contoh dari penyediaan seperti ini adalah label untuk produk
pangan yang berlabel “organik”. Label seperti ini disebut sukarela karena tidak ada yang

75
Ibid., hal. 71-72.
76
Aseem Prakash and Matthew Potoski, op cit., hal. 90-92.
77
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 65 ayat (2).
78
Dalam hal ini, UU menyatakan bahwa “[s]etiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.” UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 68 huruf a.
Di sisi lain, UU menyediakan ancaman sanksi pidana bagi mereka yang memberikan informasi lingkungan
yang palsu, menyesatkan, atau tidak benar. Dalam hal ini, UU menyatakan: “[s]etiap orang yang memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup... dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 113.
79
Arthur P.J. Mol, Environmental Reform in the Information Age: The Contours of Informational
Governance (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal. 254.

25
mewajibkan digunakannya label tersebut, dan tidak ada pula yang mewajibkan produk
pangan untuk selalu menggunakan produk atau proses organik.
Di dalam hukum lingkungan Indonesia, sistem penyediaan informasi sukarela ini
dimasukkan ke dalam paragraf tentang instrumen ekonomi, yaitu sebagai salah satu intrumen
insentif/disinsentif. UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “[i]nsentif dan/atau
disinsentif ...antara lain diterapkan dalam bentuk: ...g). pengembangan sistem label ramah
lingkungan hidup”, yaitu “pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah
lingkungan hidup.”80

4.5.!Perjanjian Sukarela (Private Agreement atau Covenant)


Salah satu penaatan sukarela yang sering digunakan di dalam praktek adalah adanya
perjanjian sukarela (selanjutnya disebut covenant), atau semacam gentlemen agreement,
antara pemerintah dengan pelaku usaha atau industri terkait dilakukannya upaya perbaikan
pengelolaan lingkungan oleh pelaku usaha atau industry tersebut.81 Secara umum, covenant
dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu perjanjian individual (individual agreements)
dan perjanjian kolektif (collective atau branch agreements). Pada perjanjian individual,
perjanjian dilakukan antara pemerintah dengan satu atau beberapa perusahaan. Dalam hal
ini, perusahaan memberikan komitmennya secara individual. Sementera itu, pada perjanjian
kolektif, pemerintah mengadakan perjanjian dengan perwakilan industri atau cabang industri
atau asosiasi perusahaan. Komitmen dalam perjanjian ini adalah komitmen bersama
(kolektif) dari perusahan-perusahaan yang diwakili. Selanjutnya komitmen ini kemudian
dialokasikan (dibagi) kepada perusahaan-perusahaan. Dalam prakteknya, perjanjian
dilakukan dalam dua tahapan. Pada tahapan pertama, pemerintah mengadakan perjanjian
dengan industri. Kemudian, pemerintah mengadakan pula perjanjian dengan tiap-tiap
perusahaan dalam rangka pemenuhan komitmen yang telah didistribusikan oleh industri.82
Covenant sebenarnya memiliki keterkaitan dengan regulasi (peraturan perundang-
undangan). Keterkaitan ini akan berbeda-beda antara satu covenant dengan yang lainnya,
tergantun dari fungsi covenant yang disepakati. Dalam hal ini, covenant dapat bersifat: a).
substitutif, di mana covenant berfungsi sebagai alternatif dari regulasi; b). integratif, di mana
perusahaan yang berpartisipasi berkomitment untuk mencapai target tertentu yang lebih baik
dari regulasi (beyond compliance); c) antisipatoris, di mana covenent berfungsi sebagai cara
untuk memberikan informasi kepada pemerintah terkait regulasi yang lebih ketat di masa
depan dan biaya yang dibutuhkan untuk menaati regulasi tersebut; dan d). aplikatif, yaitu
fungsi covenant sebagai cara untuk mengimplementasikan hukum. 83 Meski demikian,
penulis beranggapan bahwa apabila sudah ada regulasi yang menentukan kewajiban tertentu,
maka covenant tidak bisa digunakan untuk menunda penaatan terhadap kewajiban tersebut.
Covenant hanya dapat dilakukan untuk mencapai target yang lebih baik dari yang ditetapkan

80
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 2009 No.
140, TLN No. 5059, Pasal 43 ayat (3) huruf g dan penjelasannya.
Perlu dijelaskan di sini bahwa pengkategorian label ramah lingkungan sebagai instrumen ekonomi ini
sebenarnya tidaklah tepat. Menurut penulis, penyediaan label ramah lingkungan lebih tepat dikategorikan
sebagai penaatan sukarela karena penyediaan informasi ini sifatnya sukarela. Penempatan label ramah
lingkungan sebagai instrumen ekonomi, karenanya, menandakan ketidakmampuan pembuat undang-undang
untuk membedakan antara instrumen ekonomi dengan instrumen penaatan sukarela.
81
David Wilkinson, op cit., hal. 146.
82
Edoardo Croci, “The Economics of Environmental Voluntary Agreements”, dalam: Edoardo Croci (ed.),
The Handbook of Environmental Voluntary Agreements: Design, Implementation and Evaluation Issues
(Dordrecht: Springer, 2005), hal. 11.
83
Ibid., hal. 20.

26
oleh regulasi, baik dari sisi kualitas maupun waktu penaatan, atau untuk menentukan
target/komitmen pada saat tidak ada regulasi yang mewajibkan target/komitmen tersebut.
Wilkinson menyatakan bahwa covenant sering kali ditemukan sebagai salah satu
instrumen penaatan sukarela di Belanda, Denmark, Jepang, dan Uni Eropa.84 Sementara itu,
Iannuzi memberikan beberapa contoh dari covenant di beberapa negara, misalnya:85
a).! Praktek di Jerman dalam program “Joint Declaration of the German Industry on
Climate Protection”. Ini adalah perjanjian sukarela yang digagas oleh asosiasi
industri di Jerman (Federal Association of German Industries) pada tahun 1995, di
mana industri berjanji untuk secara sukarela mengurangi emisi CO2 dan konsumsi
energi mereka sebanyak 20% pada tahun 1990 sampai dengan 2005.
b).! Praktek di Belanda yang terkenal dengan sebutan “the Dutch Covenants”, covenant-
nya Belanda. Di sini, Pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dengan industri,
yang isinya antara lain mewajibkan perusahaan di dalam industri tersebut untuk
mengurangi emisi mereka sesuai dengan rencana pengelolaan lingkungan mereka.
Dalam rangka penerapan rencena pengelolaan lingkungan ini, perusahaan pada tahap
awal diminta untuk memberikan perkiraan kemampuan mereka untuk mengurangi
emisi dan mencapai target yang ditetapkan dalam covenant. Kegagalan perusahaan
untuk mencapai target yang dijanjikan ini akan menjadi dasar bagi Pemerintah untuk
melakukan gugatan perdata, atau untuk memperketat persyaratan perizinan bagi
perusahaan tersebut.
c).! Praktek di Belanda dalam bentuk perjanjian antara Pemerintah dengan industri dalam
rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) berdasarkan Second National
Environmental Policy Plan. Perjanjian ini ditandatangani pertama kali tahun 1996,
dan berisi komitmen industri untuk mengurangi konsumsi energi yang pada akhirnya
akan pula mengurangi emisi GRK.
d).! Perjanjian sukarela di Kanada melalui program “Canadian Industry Program for
Energy Conservation”. Program ini merupakan bagian dari Industrial Energy
Efficiency Initiative of Natural Resources Canada, dan bertujuan membantu industri
untuk mengidentifikasi hambatan untuk efisiensi energi dan menentukan target
efisiensi energi.
e).! Perjanjian sukarela di Selandia Baru antara Menteri Energi Selandia Baru dan Industri
untuk mengurangi emisi CO2. Perjanjian ini benar-benar bersifat sukarela karena
bahkan tidak memuat ketentuan terkait sanksi atas kegagalan industri untuk
memenuhi target pengurangan emisi. Sampai dengan tahun 1996, sebanyak 17
perjanjian sukarela seperti ini telah ditandatangani.

Dalam perumusan covenant, terdapat beberapa tahap dan bagian yang perlu
diperhatikan. Pertama adalah desain perjanjian. Desain ini dapat dibuat oleh Pemerintah,
pelaku usaha, atau oleh publik. Dalam bagian ini dapat ditentukan pihak yang terlibat dalam
perjanjian, aturan-aturan di dalam perjanjian, serta komitmen secara tegas dari pelaku usaha.
Kedua, identifikasi “parts”, yaitu pihak mana saja yang berpotensi akan terkena dampak dari
perjanjian. Pihak ini dapat saja berpartisipasi dalam proses negosiasi sebagai pihak ketiga,
tanpa harus menjadi pihak yang menandatangani perjanjian. Ketiga, proses negosiasi. Selain
dari aturan dan komitment, yang perlu dimasukkan dalam proses negosiasi adalah waktu
pelaksanaan komitmen, pengawasan, dan tata cara pelaporan. Keempat, penandatangan
perjanjian, yang sebenarnya berfungsi sebagai penerimaan secara formal atas aturan dan

84
David Wilkinson, op cit., hal. 147.
85
Alphonse Iannuzzi, Jr., op cit., hal. 19.

27
komitmen yang telah disepakati. Kelima, penaatan/pelaksanaan perjanjian. Dalam tahapan
ini, pihak-pihak yang terlibat melaksanakan apa yang telah disepakati, termasuk misalnya
melakukan pengadopsian upaya, teknologi, dan prosedur tertentu untuk memenuhi
komitment yang telah disepakati. Keenam, pengawasan pelaksanaan perjanjian. Dalam
tahapan ini, pengawasan dapat dilakukan oleh perwakilan para pihak atau pihak ketiga yang
independen, atau oleh pemerintah. Ketujuh, tahap evaluasi. Dalam tahapan ini akan dinilai
kinerja dari para pihak (terutama industri) dalam mencapai target/komitmen yang telah
diberikan. Kedelapan, adalah tahap pemberian sanksi atas ketidaktaatan terhadap komitmen.
Sanksi di sini dapat berupa sanksi hukum, ekonomi, atau bahkan moral. Selain ini, terhadap
pihak yang gagal memenuhi target/komitmen dapat pula dikenai sanksi berupa penerapan
regulasi yang lebih ketat. Kesembilan, revisi isi perjanjian atas alasan munculnya faktor
eksternal yang relevan, seperti ketersediaan teknologi yang berguna untuk mencapai
target/komitmen. Kesepuluh, pembukaan data kepada publik, yang dapat termasuk informasi
mengenai isi perjanjian, pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, pihak penandatangan
perjanjian, komitment yang disepakati, dan hasil dari pemenuhan komitmen.86
Menurut Wilkinson, covenant memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
regulasi, di antaranya: fleksibilitas yang tinggi; merupakan wujud adanya saling percaya
(trust) di antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat; kemampuan mengurangi
birokrasi dan karenanya mengurangi biaya; dan kemampuan untuk mendorong peran aktif
dari pelaku usaha.87
Di samping itu, terdapat pula beberapa alasan yang menjelaskan mengapa covenant
merupakan instrumen penaatan lingkungan yang sangat menarik bagi dunia usaha. Seperti
diuraikan oleh Croci, daya tarik dari covenant adalah: a). dapat digunakan untuk menghindari
dikenakannya regulasi/kewajiban yang lebih ketat; b). adanya fleksibilitas dalam rangka
penaatan terhadap regulasi; c). dapat mendorong pemerintah untuk menetapkan aturan yang
lebih ketat di masa mendatang; d). kemampuan untuk menghemat biaya melalui upaya
pencegahan pencemaran; e). dapat menjadi cara untuk memperoleh akses terhadap kredit
bagi investasi tertentu; f). dapat pula dijadikan cara untuk memperoleh pengecualian pajak
atau insentif keuangan lainnya; g). dapat digunakan sebagai sarana untuk memperoleh
reputasi bagi pelaku usaha. 88
Selain dari kelebihan atau manfaat dari covenant sebagaimana diuraikan di atas, pada
bagian akhir ini perlu pula kiranya kita berhati-hati dengan penggunaan covenant mengingat
adanya beberapa kelemahan dari instrumen ini. Karena sering kali perjanjian bersifat
tertutup, maka penggunaan covenant berpotensi mengabaikan keterlibatan publik dalam
pengambilan keputusan. Covenant juga sering dikritik karena berpotensi mengurangi
transparansi, mengganggu tugas pemerintah untuk melakukan pengawasan dengan baik,
memiliki kerentanan untuk disalahgunakan bagi kepentingan individual (regulatory capture),
atau memiliki kecenderungan untuk lebih mendahulukan kepentingan pelaku usaha
dibandingkan dengan kepentingan publik. Di sisi lain, covenant juga dapat berdampak pada
munculnya praktek usaha yang tidak sehat.89

86
Edoardo Croci, op cit., hal. 10-11.
87
David Wilkinson, loc cit.
88
Edoardo Croci, “The Economics of Environmental Voluntary Agreements”, dalam: Edoardo Croci (ed.),
The Handbook of Environmental Voluntary Agreements: Design, Implementation and Evaluation Issues
(Dordrecht: Springer, 2005), hal. 12-19.
89
David Wilkinson, loc cit.

28
Lampiran 1. Instrumen ekonomi yang diterapkan di negara lain
Country Effluent charge User Product Adminisrative Tax differen- Subsidies Deposit Refund Market Creation
Charge Charge charge tiation (grants, soft System
(licensing and loans, tax
Air Water Waste Noise control) allowances) Emission Market
trading inter-
vention

Australia

Belgium

Canada

Denmark

Finland

France

Germany

Italy

29
Japan
Netherlands

Norway

Sweden

Switzerland

UK

USA

90
Sumber: David W. Pearce dan R. Kerry Turner, 1990, hal. 174.

90
David W. Pearce dan R. Kerry Turner, Economics of Natural Resources and the Environment (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1990), hal. 174. Tulisan
Pearce dan Turner ini didasarkan pada laporan Opschoor dan Vos tahun 1989. Tentu saja saat ini telah terjadi banyak perubahan di dalam penerapan instrumen ekonomi di
negara-negara tersebut. Misalnya saja, saat ini penggunaan tradeable permits telah banyak diadopsi dibeberapa negara lain di luar AS. Mekanisme ini terutama berupa
carbon trading. Sebagai perbandingan atas paparan Pearce dan Turner, lihat misalnya laporan OECD tahun 1999 seperti dikutip oleh Perman, et al., dalam: Roger Perman, et
al., 1999, Natural Resources and Environmental Economics, 2nd ed (Essex: Longman), hal. 221.

30
Lampiran 2. Instrumen ekonomi di Inggris

Type%of%Instruments General%description

Charges

Effluent%charges Paid%on%discharges%into%the%environment%and%
are% based% on% the% quantity% and/or% quality% of%
the%effluent

Incentive%effluent%charges Revenue% collected% via% the% charge% is% not%


returned%to%the%polluter

Distributive%effluent%charges Revenue%collected%via%the%charge%is%returned%
to% the% polluter,% in% the% form% of% subsidies% for%
new%pollution%control%equipment

User%charges Payments%for%the%cost%of%collective%or%public%
treatment%of%effluents

Product%charges/tax%differentiation Additions% to% the% price% of% products,% whic% are%


polluting% or% are% difficult% to% dispose% of,% the%
former%have%a%revenueDraising%feature

Administrative%charges Control%and%authorisation%fees

Subsidies

Grants NonDrepayable%forms%of%financial%assistance,%
contingent% on% the% adoption% of% pollution%
abatement%measures

Soft%loans Loans% linked% to% abatement% measures% and%


carrying%belowDmarket%rates%of%interest

Tax%allowances% Allows% accelared% depreciations,% tax% or%


charge% exemptions% or% rebates% if% certain%
pollution%abatement%measures%are%adopted

Deposit1refund4system Systems%in%which%surcharges%are%laid%on%the%
price%of%potenntally%polluting,%a%refund%of%the%
surcharge% is% given% on% the% return% of% the%
product%or%its%residuals

Market1creation Artificial% markets% in% which% actors% can% buy%


and% sell% “rights”% for% actual% or% potential%
pollution

Emissions% trading% (bubles,% offsets,% Wthin% a% plant,% within% a% firm,% or% among%
netting%and%banking) different%firms

31
Market%intervention Price% intervention% to% stabilise% markets,%
typically% secondary% materials% (recycled%
markets)

Liability%insurance Polluter%liability%leading%to%insurance%market

Sumber: David W. Pearce dan R. Kerry Turner, 1990, hal. 172.91

91
David Pearce dan R. Kerry Turner, op cit, hal. 172.

32
Lampiran 3. Penentuan Tingkat Pajak yang Optimal

Dengan mengadopsi penjelasan dari Turner, penentuan tingkat pajak yang optimal, t*,
dapat diterangkang sebagai berikut:92
Manfaat sosial netto (Net sosial benefit / NSB) adalah keuntungan bruto pada tingkat
kegiatan Q dikurangi biaya privat (private cost), C dan dikurangi pula dengan biaya
eksternal (external cost), EC. Sehingga:
NSB = PQ – C (Q) – EC (Q) (1)
Di mana P adalah harga jual, Q adalah output (aktivitas produksi yang menghasilkan
polusi). Jadi:
∂ NSB = P - ∂ C = ∂ EC = 0
∂Q ∂Q ∂Q
P = ∂ C + ∂ EC = ∂ SC (2)
∂Q ∂Q ∂Q
Di mana:
-% SC adalah biaya sosial (social cost) yaitu hasil dari biaya (C) ditambah biaya
eksternal (EC).
-% NPB adalah net private benefit, yaitu harga dikurangi dengan biaya privat.

Karena pajak ditetapkan pada titik di mana harga dari produk yang mencemari sama
dengan biaya sosial marjinal (price of polluting products equals marginal social
cost), maka pajak (t*) adalah:
t* = ∂ EC
∂ Q*
Dimana Q* adalah level aktivitas yang optimal.
Harga barang pada level yang optimal adalah:
P = ∂ C + t*
∂ Q*
yaitu biaya privat pada level yg optimal ditambah dengan pajak (t*).

92
Ibid., hal. 86-87.

33

Anda mungkin juga menyukai