Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH & STUDY CASE

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI

“SPONDILITIS SERVICAL + HIPERTENSI + DM + DISPEPSIA”

Clinical preseptor :
dr. Edi Nirwan, Sp.S., M.Biomed
apt. Defi Oktafia, S. Si., M. Farm Klin

Disusun oleh :
SYALSHABILLAH (2202055)
SYERLI SARI UTAMI (2202056)
ZAMORA MELINDRAWITA (2202060)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “SPONDILITIS
SERVICAL + HIPERTENSI + DM + DISPEPSIA” Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi.
Dalam proses penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada :
1 Bapak dr. Edi Nirwan, Sp.S., M.Biomed selaku preseptor yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan.
2 Bapak apt. Defi Oktafia, S.Si., M.Farm. Klin selaku preseptor yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan.
3 Ibu apt. Diska Wazani Amanike, S.Farm selaku Apoteker di bangsal neuro
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
4 Ibu apt. Tiara Tri Agustini, M. Farm selaku preseptor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan.
5 Staf Bangsal Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang
penyakit SPONDILITIS SERVICAL + HIPERTENSI + DM + DISPEPSIA.
Penulis menyadari makalah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak

Bukittinggi, Desember 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis servikal adalah suatu penyakit yang disebabkan


oleh kuman tuberkulosis yang terjadi peradangan pada area vertebra servikalis.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai, apabila terkena penyakit ini pasien akan
mengalami perubahan struktur vertebra servikalis sehingga menimbulkan gejala
yang sering muncul seperti nyeri dan spasme otot yang ditandai kaku pada leher
hingga sulit digerakkan seperti ketidakmampuan menolehkan kepala (Sahputra &
Munandar, 2015). Spondilitis tuberkulosis servikal memiliki angka kejadian yang
sedikit yaitu berkisar 2-3% dari kasus spondilitis tuberkulosis di Indonesia
(Saputra & Munandar, 2015). Pada tahun 2016 sesuai data rekam medis rumah
sakit angka kejadian spondilitis tuberkulosis servikal mengalami penurunan
dibanding tahun 2015. Angka kejadian pada tahun 2016 hanya terdapat 1 kasus
spondilitis tuberkulosis servikal menurun dibanding tahun 2015 yang mencapai 5
kasus.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia karena
tingginya tingkat prevalensi dan berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular (WHO, 2010). Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor
satu di dunia dan menjadi faktor risiko independen karena terlibat dalam proses
terjadinya mortalitas dan morbiditas pada penyakit kardiovaskular (WHO, 2010).
Diperkirakan sekitar 10,4 juta kematian per tahun diakibatkan oleh hipertensi
(AHA, 2020). Tahun 2025 diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan
meningkat sekitar 60% menjadi 156 juta orang (Beevers et al., 2014). Sebanyak
1.13 milyar orang di dunia mengalami hipertensi, dengan peningkatan jumlah
penderita terutama di negara berkembang (WHO, 2018).
Hipertensi adalah tekanan darah yang terlalu tinggi, yaitu ketika tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg setelah pemeriksaan berulang (AHA,2020). Selain itu hipertensi diketahui
sebagai The Silent Killer dikarenakan sebagian besar tanpa gejala atau
asimptomatik (Kitt et al., 2019). Karena sebagian besar asimptomatik maka
hipertensi dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit jantung, ginjal serta
stroke (WHO, 2013). Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah multifaktor karena
tidak bisa diterangkan hanya dengan satu mekanisme tunggal (Kaplan, 2010).
Beberapa faktor patofisiologi yang mempengaruhi terjadinya hipertensi yaitu
peningkatan sistem saraf simpatis, peningkatan hormon retensi natrium dan
vasokonstriktor, asupan tinggi natrium, asupan kalium dan kalsium yang tidak
adekuat, peningkatam sekresi renin yang mengakibatkan peningkatan angiotensin
II dan aldosteron, kurangnya vasodilator seperti nitric oxide dan prostasiklin,
diabetes melitus, resistensi insulin, obesitas, dll (Yunilasari, 2014).
DM dikenal sebagai silent killer karena sering tidak disadari oleh
penyandangnya dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi (Kemenkes RI, 2014).
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi diabetes
mellitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab
kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2013 angka kejadian diabetes
di dunia adalah sebanyak 382 juta jiwa dimana proporsi kejadian DM tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia. Prevalensi kasus Diabetes melitus tipe 2
sebanyak 85-90% (Bustan, 2015). Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia pada
tahun 2013 adalah sebesar 2,1%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2007 (1,1%). Sebanyak 31 provinsi (93,9%) menunjukkan kenaikan
prevalensi diabetes mellitus yang cukup berarti (Riskesdas, 2013). Pada DM yang
tidak terkendali dapat terjadi komplikasi. Timbulnya komplikasi mempengaruhi
kualitas hidup dan mempengaruhi perekonomian. Menurut konsensus
Perhimpunan Endoktrinologi Indonesia (PERKENI, 2011), pilar pengendalian
DM meliputi latihan jasmani, terapi gizi medis, intervensi farmakologis, dan
edukasi. Keberhasilan proses kontrol terhadap penyakit DM salah satunya
ditentukan oleh kepatuhan pasien dalam mengelola pola makan atau diet sehari-
hari. Hal ini agar mencegah timbulnya komplikasi dari penyakit DM.
Dispepsia merupakan penyakit sindrom gejala yang sering ditemukan di
kalangan masyarakat yang ditandai dengan adanya rasa nyeri atau tidak nyaman
pada bagian atas atau ulu hati (Satria, 2018). Kasus dispepsia di kota-kota besar di
Indonesia juga relative tinggi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan RI Tahun 2015, angka kejadian dispepsia di Surabaya mencapai 31,2
%, Denpasar 46 %, Jakarta 50 %, Bandung 32,5 %, Palembang 35,5 %, Pontianak
31,2 %, Medan 9,6 % dan termasuk Aceh mencapai 31,7 %. Angka dari kasus-
kasus tersebut dapat mengalami kenaikan disetiap tahunnya (Depkes, 2010).
Banyaknya kasus yang terjadi serta tidak diimbanginya dengan pengetahuan
dalam mengatasinya membuat keadaan semakin memprihatinkan. Penderita dari
penyakit ini tidak hanya di Indonesia, tetapi terjadi juga diseluruh dunia
(Kemenkes, 2018). Dari data yang diperoleh dari (WHO, 2016) kasus penyakit
dyspepsia di dunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap Negara. Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania, prevalensi
dyspepsia sangat bervariasi antara 5-43 %.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spondilitis Tuberculosis Cervical


2.1.1 Definisi
Spondilosis servikal adalah kondisi yang sering terjadi terkait dengan usia,
yang menyerang sendi dan diskus yang terletak pada tulang belakang bagian
servikal atau leher. Spondilosis servikal juga dikenal sebagai servikal
osteoarthritis atau arthritis leher.
2.1.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil. Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis (Mt),
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab,
seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika
Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun nontuberculous mycobacteria (banyak
ditemukan pada penderita HIV). Mycobacteria adalah bakteri aerob, berbentuk
batang yang tidak membentuk spora. Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan
batang ramping lurus berukuran kira-kira 0.4 X 3 m. Walaupun tidak mudah
diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna oleh
asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil ”tahan asam”. Teknik
pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri ini. Terdapat
tiga formulasi umum yang dapat dipergunakan untuk perbenihan, yaitu agar semi
sintetik (misalnya middlebrook, perbenihan telur tebal (misalnya Lowenstein-
Jensen), dan perbenihan kaldu. Biakan positif dapat dideteksi dalam waktu 3-6
minggu. Dinding Mt sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi.
Penyusun utama dinding sel Mt adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Unsur lain adalah polisakarida seperi arabinogalaktan dan
arabinomanan. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein.
2.1.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per
tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan
China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB
ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian
TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.
2.1.4 Patofisiologi
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat
badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas
berbentuk kifosis (angulasi posterior) yang progresifitasnya tergantung dari
derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul
deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas. Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses
dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di
dekatnya. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal
yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar
lordosis dimana sebagian besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior
sehingga terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya
bersifat minimal.
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul
pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi
karena kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis spinalis (karena perluasan
langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan tulang. Kanalis spinalis
dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung,
menyebabkan kompresi medula spinalis dan defisit neurologis. Fakta bahwa
defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat dijelaskan oleh
diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter medula
spinalis servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih
penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang,
diskus atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa.
2.1.5 Tatalaksana Terapi
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa
penulis menganjurkan pemberian obatobatan saja sedangkan yang lain
merekomendasikan pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah.
Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap
kasus. Strategi manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi
tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan
neurologis. Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12
bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.

a. Pemberian obat Anti-Tuberkolosa

Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada


individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal
memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari
obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat
yang lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British
and American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan.

Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri


punggung, dan kembalinya defisit neurologis, jika ada. Jika pasien tidak
menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12
bulan. Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu
fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H)
(5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari), rifampicin (R) (10
mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30 mg/kgBB/hari) dan
etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari), diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan,
dengan isoniazid dan rifampicin. Menurut The Medical Research Council, terapi
pilihan untuk spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah
isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan. Menurut pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah
9-12 bulan, dengan panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH.

b. Penatalaksanaan Bedah
Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum
mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas
spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi
medis (kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar,
biopsi diagnsotik. Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan
saraf, paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan
ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat
pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan
panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada foto polos,destruksi global pada CT
atau MRI) atau kompresi ekstradural (kompresi medula spinalis akibat jaringan
granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau kompresi
akar saraf).

Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah
perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi
segera. Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan
terapi dan membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe.

2.2. Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah kelainan sistem sirkulasi darah yang mengakibatkan
peningkatan tekanan darah diatas nilai normal atau tekanan darah ≥140/90 mmHg
(Kemenkes.RI, 2014). Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana
tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko
terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan
(Aisyiyah Nur Farida, 2012).
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5
juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya.
Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-
masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala penyakit
hipertensi adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung
berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan
mimisan (Kemenkes.RI, 2014) .

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi


1. Hipertensi Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun
dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita
hipertensi (Kemenkes.RI, 2014).
2. Hipertensi Sekunder Prevalensi hipertensi sekunder sekitar 5-8% dari
seluruh penderita hipertensi. Penyebab hipertensi sekunder yaitu ginjal
(hipertensi renal), penyakit endokrin dan obat.
2.2.3 Etiologi Hipertensi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni hipertensi
primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan suatu keadaan
hipertensi yang idiopatik. Hipertensi ini sering dikaitkan dengan inaktivitas tubuh
untuk berkegiatan yang menjadi faktor resiko untuk terkena hipertensi. Hipertensi
primer terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014). Sedangakn hipertensi sekunder merupakan hipertensi
yang diketahui penyebabnya. Penyakit ginjal menjadi salah satu penyebab dari
penderita hipertensi dengan angka sekitar 5- 10%. Kelainan hormonal dan
penggunaan obat tertentu (misal : pil KB) juga menjadi penyebab sekitar 1-2%
penyakit hipertensi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014) .

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi


Faktor pengontrol tekanan darah memiliki kontribusi penting dalam
perkembangan hipertensi esensial, seperti malfungsi humoral, contohnya
Reninangiotensin-aldosterone system (RAAS). Mekanisme vasodepresor,
abnormalitas mekanisme neuronal, cacat pada autoregulasi perifer dan gangguan
natrium, sodium dan hormon natriuretik. Banyak faktor tersebut secara kumulatif
dipengaruhi oleh multifaset RAAS yang meregulasi tekanan darah arterial yang
akhirnya mengatur tekanan darah arterial. Obat antihipertensi secara spesifik akan
memiliki target untuk mekanisme tersebut dan komponen dari RAAS (Saseen and
5 Maclaughlin, 2008). Hipertensi menjadi faktor predisposisi independen untuk
penyakit jantung, arteri koronaria, penyakit ginjal, arteri perifer dan stroke (Longo
et al., 2012).

2.2.5 Tatalaksana Hipertensi


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015) membuat
pedoman tentang tatalaksana pada penyakit hipertensi dengan membagi terapi
menjadi dua, yaitu :

a. Terapi non farmakologis


Mengatur pola hidup menjadi pola hidup yang sehat telah banyak
terbukti menurunkan tekanan darah dan dapat menurunkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi
derajat 1 dan tanpa risiko penyakit kardiovaskular lain, maka strategi
mengatur pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal yang
dapat dilakukan kurang lebih selama 4-6 bulan. Apabila setelah jangka
waktu tersebut tidak berhasil menurunkan tekanan darah menjadi
normal atau muncul risiko munculnya penyakit kardiovaskular lain,
maka dianjurkan untuk mulai menggunakan terapi farmakologis.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan adalah :
 Penurunan berat badan. Strategi ini dilakukan dengan cara
mengganti makanan yang tidak sehat dengan memperbanyak
asupan sayuran dan buah yang mengandung serat, vitamin dan
mineral.
 Mengurangi asupan garam. Diet rendah garam dapat bermanfaat
untuk mengurangi dosis obat anti hipertensi pada pasien hipertensi
dengan derajat >2. Asupan garam yang dianjurkan adalah tidak
melebihi 2 gr/hari.
 Olahraga. Olahraga yang teratur dengan durasi 30-60 menit/hari,
minimal 3 hari/seminggu dapat membantu penurunan tekanan
darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara 13 khusus, dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam melakukan
aktifitas sehari-harinya. iv. Mengurangi konsumsi alkohol.
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas
per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga
mengurangi atau menghentikan konsumsi alkohol akan membantu
menurunkan tekanan darah. v. Berhenti merokok. Merokok
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk berhenti
merokok.
b. Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologis pada hipertensi dimulai bila pasien
hipertensi derajat 1 tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah
menjalani terapi pola hidup sehat >6 bulan atau pada pasien hipertensi
derajat >2. Berikut beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan menjaga efek samping,
yaitu :
 Bila memungkinkan menggunakan dosis tunggal atau monoerapi.
 Bila sesuai, berikan obat generik (non-paten) dan dapat mengurangi
biaya.
 Berikan obat pada pasien usia lanjut (usia 55-80 tahun) dengan
memerhatikan faktor komorbid.
 Jangan mengombinasikan Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-i) dengan Angiotensin II Receptor (ARBs).
 Berikan edukasi menyeluruh tentang pengobatan pada penyakit
hipertensi.
 Melakukan pemantauan efek samping obat secara teratur. Berikut
algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan PERKI
(2015)

Gambar 1. Terapi Farmakologi Antihipertensi


Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Hipertensi
2.3. Diabetes Melitus

2.3.1 Definisi

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015).

2.3.2 Patogenesis Diabetes Mellitus

Sel tubuh membutuhkan hormone insulin untuk berikatan dengan reseptor


insulin agar gula darah dapat masuk ke dalam sel tubuh. Kerusakan yang terjadi
pada sel beta pankreas dimana sebagai pengahasil insulin akan mengarah pada
kekurangan insulin absolut sehingga gula darah tinggi didalam darah keadaan ini
disebut sebagai diabetes mellitus tipe I. Apabila yang terjadi sel beta pankreas
sedikit rusak, produksi insulin terganggu, atau hormon insulin tidak berfungsi
dengan baik yang mengakibatkan kadar gula darah meningkat dalam darah kedaan
ini disebut diabetes mellitus tipe II (perkeni, 2015).

2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015), adalah


sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Militus Berdasarkan Etiologinya

DM tipe 1 DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di


pankreas. Kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin
yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta
antara lain autoimun dan idiopatik.
DM tipe 2 Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara
optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam
tubuh.
DM tipe DM tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta,
lain defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan
imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
Diabetes DM tipe ini terjadinya peningkatan kadar gula darah selama kehamilan
melitus dengan nilai kadar glukosa darah normal tetapi dibawah dari nilai

Gestasiona diagnostik diabetes melitus pada umumnya.

2.3.4 Tanda dan Gejala Klinis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

2.3.5 Diagnosis Diabetes Melitus

Kriteria diagnosis DM menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :


a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 mg.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5 % dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Tabel 2. Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes dan
Prediabetes

2.3.6

Faktor risiko DM tipe 2

Faktor-faktor risiko penyakit DM tipe 2 menurut Garnita (2012) sebagai


berikut :
a. Riwayat DM keluarga / Genetik, e. Jenis kelamin
b. Berat lahir, f. Pola makan
c. Stress, g. Aktivitas Fisik
d. Umur, h. Merokok

2.3.7 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Terapi Non Farmakologi


1. Pengaturan diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik sebagai berikut (Perkeni, 2015) :
 Karbohidrat : 45-65%
 Protein : 10-20%
 Lemak : 20-25%
2. Olahraga
Olahraga/latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan
jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur
sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total
150 menit perminggu.Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut (Perkeni, 2015).
a. Terapi Farmakologi

Tabel 3. Obat Hiperglikemik Oral (Perkeni, 2015)

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja


Gliburida/
Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di kelenjar
Glipizida pankreas, sehingga hanya efektif pada
Sulfonilurea
Glikazida penderita diabetes yang sel-sel β
Glimepirida pankreasnya masih berfungsi dengan baik
Glikuidon
Menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1)
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
DPP IV Sitagliptine
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
Inhibitor Linagliptine
meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon bergantung kadar glukosa
darah (glucose dependent).
SGLT 2 Canagliflozin Menghambat penyerapan kembali glukosa
Empagliflozin di tubuli distal ginjal dengan cara
Inhibitor Dapagliflozin menghambat kinerja transporter glukosa
Ipragliflozin SGLT-2.
Bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosahati Tidak
Biguanida Metformin
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas.
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
Rosiglitazone insulin. Berikatan dengan PPARγ
Tiazolidindion Troglitazone (peroxisome proliferatoractivated receptor-
Pioglitazone gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati
untuk menurunkan resistensi insulin
Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan
Inhibitor α- Acarbose yang mencerna karbohidrat, sehingga
glukosidase Miglitol memperlambat absorpsi glukosa kedalam
darah

Tabel 4. Farmakokinetika insulin eksogen (Perkeni, 2015)


Gambar 3. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia

2.4. Dispepsia

2.4.1 Definisi Dispepsia


Dispepsia adalah penyakit yang tidak menular saluran pencernaan namun
banyak terjadi di kalangan masyarakat di dunia. Sindrom dispepsia berupa
kumpulan gejala atau sindrom rasa dari nyeri atau rasa tidak nyaman di lambung,
mual, muntah, kembung, mudah kenyang, rasa perut penuh, sendawa berulang
atau kronis. Keluhan yang timbul biasanya berbeda pada tiap individu penderita.

2.4.2 Etiologi Dispepsia


Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat
organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena
terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti
pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat
fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap
obat-obatan dan jenis makanan tertentu. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
dispepsia adalah:

 Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan


bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).
 Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah
(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).
 Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat
lambung terasa penuh atau bersendawa terus.
 Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya
dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi.
Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.
 Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs
(NSAID) misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani & Mariappan,
2011).
 Pola makan, pola makan yang tidak teratur ataupun makan yang terburu
buru dapat menyebabkan terjadinya dyspepsia.

2.4.3 Klasifikasi Dispepsia


Dispepsia terbagi menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik atau yang
sering disebut dengan dispepsia struktural dan dispepsia non-organik atau yang
sering disebut dengan dispepsia fungsional. Dispepsia organik terjadi karena
adanya kelainan organik. Pada dispepsia organik terlihat kelainan yang nyata
terlihat pada endoskopi terhadap organ saluran pencernaan seperti ulkus peptik
atau yang dikenal dengan tukak peptik, gastritis, stomach cancer, gastro
esophageal reflux disease (GERD), hiperasiditas. Dispepsia non organik tidak
ditemukan adanya kelainan saat dilakukan pemeriksaan fisik dan endoskopi,
hanya ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau
berulang. Awalnya dispepsia fungsional dibedakan menjadi 3 golongan yaitu
‘ulcer-like’,‘refluxlike’, dan ‘dysmotility-like’. Namun karena lebih banyak gejala
dipicu oleh konsumsi makanan (±80%) maka penggolongan dyspepsia fungsional
saat ini dibagi menjadi dua yaitu Sindrom Nyeri Epigastrium (nyeri epigastrium
atau rasa terbakar) dan Sindrom Distress Postprandial (rasa penuh pasca-makan
dan cepat kenyang).

2.4.4 Epidemiologi Dispepsia


Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan
defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus
lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

2.4.5 Penatalaksanaan Dispepsia


Terapi Farmakologi

 Antihiperasiditas
a. Antasida
Golongan antasida ini termasuk yang mudah didapat dan murah.
Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida
biasanya mengandung zat yang tidak larut dalam air seperti natrium
bikarbonat, Al (OH)3, Mg (OH)2, dan magnesium trisiklat
(kompleks hidrotalsit). Pemberian antasida tidak dapat dilakukan
terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi
nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk
senyawa MgCl2. Zat magnesium bersifat pencahar sehingga
menyebabkan diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi
oleh sebab itu kedua zat ini dikombinasikan.
b. NaHCO3 Antasida jenis ini larut dalam air dan bekerja cepat,
Namun zat utama NaHCO3 dapat menyebabkan darah bersifat basa
(alkalosis) jika dosisnya berlebih. Terlepasnya senyawa
karbondioksida dari kompleks obat ini dapat mennyebabkan
sendawa.
c. Kombinasi Bismut dan Kalsium Kombinasi antara Bi dan Ca dapat
membentuk lapisan pelindung pada lesi di lambung. Namun obat
ini dijadikan pilihan terakhir karena bersifat neurotoksik yang
menyebabkan kerusakan otak dengan gejala kejang-kejang dan
kebingungan aatau yang dikenal dengan ensefalopati. Selain itu,
dapat menyebabkan konstipasi, dan kalsium dapat menyebabkan
sekresi asam lambung yang berlebih. Kelebihan kalsium dapat
menyebabkan hiperkalsemia.
d. Sukralfat Golongann sukralfat yang sering dikombinasikan dengan
aluminium hidroksida, dan bismuth koloidal dapat digunakan untuk
melindungi tukak lambung agar tidak teriritasi asam lambung
dengan membentuk lapisan dinding pelindung.
 Antikolinergik
Antikolinergik Obat yang termasuk golongan ini obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%.
Kerja obat pirenzepin tidak spesifik dan juga memiliki efek sitoprotektif.
a. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 Obat yang termasuk golongan obat
ini adalah simetidin, nizatidin, roksatidin, dan famotidin. Ranitidin
merupakan yang paling banyak digunakan dalam pemilihan obat
golongan ini, namun telah ditarik dari peredaran karena adanya
Nitrosodimethylamine (NDMA) pemicu kanker. Golongan obat ini
banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik dengan mekanisme penghambatan reseptor H2
sehingga sekresi asam lambung berkurang.
b. Pompa Proton Inhibitor
Proton pump inhibitor (PPI) Obat-obat yang termasuk
golongan PPI adalah omeprazol, esomeprazol lansoprazol, dan
pantoprazol. Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung
pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung pada pompa
proton yang merupakan tempat keluarnnya proton (ion H+).
c. Sitoprotektif
Obat yang termasuk golongan ini prostaglandin sinetik
seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
siroprotektif juga dapat menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mucus, dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa,
serta membentuk lapisan protektif yang bersenyawa dengan protein
sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
d. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu cisapride, domperidon,
dan metoclopramide. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah
refluks dan memperbaiki asam lambung.
e. Golongan anti depresi
Obat yang termasuk golongan ini adalah golongan trisiclic
antidepressants (TCA) seperti amitriptilin. Obat ini biasanya
dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak
jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan
cemas dan depresi. Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih
belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti
ilmiah adalah pemberantasan helicobacter pylori, PPI, dan terapi
psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti: antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-
reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.

Terapi Non-Farmakologi

Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk penanganan


kasus dyspepsia yaitu:

1. Mengurangi stress Stress berlebihan dapat menyebabkan


produksi asam lambung meningkat, sehingga dapat memicu
dispepsia. Istirahat yang cukup dan melakukan kegiatan yang
disukai dapat meminimalisir stress.
2. Mengatur pola hidup sehat Pola hidup yang sehat dapat
dilakukan dengan olahraga secara teratur, menjaga berat badan
agar tidak obsesitas, menghindari berbaring setelah makan,
makan banyak terutama pada malam hari, merokok,
menghindari makanan yang berlemak tinggi dan pedas serta
menghindari minuman yang asam, bersoda, mengandung
alkohol dan kafein.
3. Terapi hangat /dingin Terapi kompres hangat Warm Water Zack
(WWZ) dilakukan dengan menggunakan botol karet yang berisi
air hangat kemudian diletakan pada bagian perut yang nyeri.
4. Terapi Komplementer Terapi komplemeter berguna untuk
mengurangi nyeri yang terjadi pada lambung. Terapi ini dapat
dilakukan dengan terapi aromaterapi, mendengar music,
menonton televisi, memberikan sentuhan terapeutik, dan teknik
relaksasi nafas dalam.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Penyelesaian Kasus dengan Metode SOAP


Tabel 5. Identitas pasien

Nama Ny. NE

No. MR 427xxx

Umur 52 tahun

Berat badan 70 kg

Jenis Kelamin Perempuan

Ruangan Neurologi cindo mato

Agama Islam

Diagnosa Spondilosis cervical, hipertensi,DM,dyspepsia

Mulai perawatan 26-November-2022

Dokter dr. Edi Nirwan,Sp.S

3.1.1 Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama
- Nyeri pada perut post rawat 1 minggu
- Muntah sejak 3 hari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
- Hipertensi tidak terkontrol
- DM tidak terkontrol
- Perut kembung
- Muntah-muntah sekak 3 hari
- Spondilosis cervical
- Dispepsia
3. Riwayat Penyakit Terdahulu
- Riwayat DM tidak terkontrol
- Riwayat Hipertensi tidak terkontrol
4. Riwayat Alergi
- Tidak ada
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada
3.1.2 Data Penunjang
Data Pemeriksaan Fisik

Data Klinik Normal IGD 27/1 28/11 29/11 30/11 01/12 02/12 03/12
26/11
Suhu (°C) 36.5-37.5 36,8 36 36,5 36 36,5 36,1 36
Nadi (x/menit) ≤ 110/ mnt 79 79 78 68 77 79 72
Nafas (x/menit) 12-20/mnt 20 - 19 - - - -
120/80 148/10 165/10 145/10 162/10
TD 173/91 160/100 161/100
(mmHg) 4 0 2 4

Tabel 2. Data pemeriksaan fisik pasien.


3.2 Objective

Nilai
Data labor 26/11/22 27/11/22 28/11/22 29/11/22 30/11/22 1/12/22 2/12/22 3/12/22
normal
Gula darah 75-115
- - - - - - -
puasa mg/dl
Total 150-200
- - - - - - -
kolesterol mg/dl
60-150
Trigliserida - - - - - - -
mg/dl
HDL >55
- - - - - - -
kolesterol mg/dl
LDL <150
- - - - - - -
kolesterol mg/dl
2,4-5,7
Asam urat - - - - - - -
mg/dl
W : 12-
Hb - - - - - - -
14 gr%
150-450
Trombosit ribu/mm3
- - - - - - -
Hematokrit W : 35-
- - - - - - -
(HCT) 45 vol %
3,5-5,5
Kalium - - - - - - -
MEq
135-147
Natrium - - - - - - -
mEq
100-106
Chlorida - - - - - - -
mEq
3.3 Catatan Perkembangan Pasien Oleh Dokter

Tgl S O A P

26/11/
-
2022 - -

27/11/ Tidak bisa angkat


- Spondilisis cervical TB MST 1 x 10mg pagi
2022 badannya

MST 1 x 10mg pagi


28/11/ Neyri radang
TD : 152/95 Spondilisis cervical TB
2022 OAT 4/5 tab

29/11/
- - - -
2022

Methyl Prednisolone 2 x
30/11/ Neyri pinggang TD : 165/100 62.5 iv
Spondilisis cervical TB + DM
2022
Eperison HCL 3 x 1

01/12/ Nyeri badan - Spondilisis cervical TB Methyl Prednisolone 2 x


2022 125 mg iv

02/12/
- - - -
2022

03/1/2
- - -
022

3.4 Catatan Perkembangan Pasien Oleh Apoteker

Tgl S O A P

26/11/2022 - - - -

27/11/2022 - - - -

28/11/2022 - - - -

29/11/2022 Mual (+), nyeri perut TD : 161/100, Nadi -Perubahan terapi dokter- Monitoring efek obat dan
(+), nyeri bahu (-) 68x/menit, skala nyeri 2 efek samping obat
Cefixime 200mg (stop)

Meropenen injeksi diganti


dengan Cefepime injeksi
2x1gr IU

30/11/2022 - - - -

01/12/2022 - - - -

02/12/2022 - - - -

03/12/2022 - - - -
3.5 Assesment (Terapi Farmakologi)

Tanggal Tanggal Pemberian Obat

No Nama Obat Regimen Dosis


26/ 27/ 28 29/ 01/ 02/ 03/
Mulai Stop 30/
11 11 /11 11 12 12 12
11

30/1 √ √ √ √
1. Asering infus - 26/11
1

Omeprazole 20
26/12 √ √ √ √ √ √ √ √
2. mg kaps - 3/11
1
2x1
Cefixime 200
29/1 √ √ √
3. mg - 26/11
1
2x1
Metformin 500
03/1 √ √ √ √ √ √ √ √
4. mg - 26/11
2
3x1
Metaneuron
(metrdinazol
29/1 √ √ √
5. 500 mg + - 26/11
1
diazepam 2 mg)
3x1
Blocad 8 mg 30/1 √ √ √ √
6. - 26/11
1x1 1

Patracet
(parasetamol + 30/1 √ √ √ √ √ √ √ √
7. - 26/11
tramadol) 1
3x1

Ondansetron inj √ √ √ √ √ √
8. - 27/11 3/12
2x1 √

Antasida tab √ √ √ √ √ √
9. - 27/11 3/12
3x1 √

MST 10 mg √ √ √
10. - 28/11 1/12
1x1

OAT 29/1 √
11. - 28/11
1x5 1

Vitamin B6 29/1 √
12. - 28/11
1x1 1
Cefepime inj √ √ √ √
13 - 28/11 2/12
2x1

Methyl
Prednisolone
√ √ √
14 - 30/11 2/12
2 x 6,25 iv

Eperison
√ √ √
15 - 30/11 2/12
3x1
3.5.1 Tinjauan Obat
1. Asering Infus

Komposisi Calcium chloride, potassium chloride, sodium chloride, sodium


acetate, anhydrous dextrose
Kelas terapi Kalium Intravena
Indikasi Untuk terapi pengganti cairan selama dehidrasi (kehilangan
cairan) secara akut.
Dosis 500 ml
Pemberian Obat Injeksi
Kontraindikasi  Gagal jantung kongestif
 Kerusakan ginjal
 Edema paru yang disebabkan oleh retensi kandungan Na
 Hiperhidrasi dan hiperkloremia
 Hipernatremia dan hiperproteinemia

Efek Samping
 Edema (pembengkakan pada anggota tubuh yang terjadi
karena penimbunan cairan di dalam jaringan)
 Hiperglikemia
 Hipokalemia
 Oliguria (jumlah urine yang keluar sedikit)

Farmakokinetika -
Perhatian  Hindari Pemberian Asering pada pasien gagal ginjal, pra
op dan dengan sepsis berat
Gambar sediaan
2. Omeprazole
Komposisi Omeprazole
Kelas terapi PPI
Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan
duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan
duodenum, regimen eradikasi H. pylori pada tukak peptik,
refluks esofagitis, Sindrom Zollinger Ellison.
Mekanisme Membentuk metabolit sulfenamida aktif yang secara ireversibel
Kerja mengikat dan menonaktifkan hidrogen-kalium ATPase (pompa
proton atau asam), menghalangi langkah terakhir dalam sekresi
asam klorida. Sekresi asam dihambat sampai tambahan
hidrogen-kalium ATPase disintesis, menghasilkan durasi kerja
yang lama.
Dosis 20mg 2x1 kapsul

Pemberian Obat Oral


Kontraindikasi Sakitkepala, rasa tidak enak pada perut
Efek Samping Gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, nyeri lambung,
kembung, diare dan konstipasi), sakit kepala dan pusing. Efek
samping yang kurang sering terjadi diantaranya adalah mulut
kering, insomnia, mengantuk, malaise, penglihatan kabur, ruam
kulit dan pruritus.
Peringatan Penghambat pompa proton sebaiknya digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan penyakit hati, kehamilan dan menyusui.
Farmakokinetik Absorbsi:
a Bioavailibilitas: Bioavailabilitas absolut dengan dosis 20-40 mg
adalah sekitar 30-40%. Bioavailabilitas sedikit meningkat
dengan dosis berulang.

Onset: Dalam 1 jam; efek maksimal dalam 2 jam.


Distribusi: Cakupan Omeprazole melintasi plasenta dan
didistribusikan ke dalam susu.
Ikatan Protein Plasma: 95%.
Metabolisme: Mengalami metabolisme lintas pertama.
Dimetabolisme menjadi metabolit tidak aktif di hati oleh
isoenzim CYP, terutama CYP2C19, dan pada tingkat lebih
rendah oleh CYP3A4.
Eliminasi: Diekskresikan terutama dalam urin (77%) sebagai
metabolit dan pada tingkat lebih rendah dalam tinja.
T1/2: 0,5-1 jam.
Gambar Sediaan

3. Cefixime
Komposisi Cefixime 200 mg
Kelas terapi Antibiotic
Indikasi  Untuk infeksi parah atau infeksi yang sulit disembuhkan
(intractable) dosis ditingkatkan sampai 200 mg dua kali sehari
Mekanisme Kerja Cefixime mengikat protein pengikat penisilin spesifik (PBP)
yang terletak di dalam dinding sel bakteri, menyebabkan
penghambatan tahap ketiga dan terakhir dari sintesis dinding
sel bakteri. Lisis sel kemudian dimediasi oleh enzim autolitik
dinding sel bakteri seperti autolisin; ada kemungkinan cefixime
mengganggu inhibitor autolysin.

Dosis 200mg 2x1 kapsul


Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap cefixime, salah satu komponen
formulasi, atau sefalosporin lainnya (DHI)

Efek Samping Konstipasi


Farmakokinetika Absorbsi : Sekitar 40%-50% diserap secara oral baik diberikan
dengan atau tanpa makanan, namun waktu untuk penyerapan
maksimal meningkat sekitar 0,8 jam bila diberikan dengan
makanan.
Distribusi : -
Metabolisme : dimetabolisme di hati, sekitar 50% obat yang
diserap akan di eksresikan di urin dalam waktu 24 jam
Eksreksi : -

Perhatian Sensitivitas terhadap antibakteri beta-laktam (hindari jika ada


riwayat hipersensitivitas), gangguan ginjal, kehamilan dan
menyusui (tetapi boleh digunakan), positif palsu untuk glukosa
urin (jika diuji untuk penurunan glukosa), positif palsu pada uji
Coombs.
Gambar sediaan

4. Metformin
Komposisi Metformin
Kelas terapi Antidiabetes
Indikasi Diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien dengan berat
badan berlebih (overweight), apabila pengaturan diet dan
olahraga saja tidak dapat mengendalikan kadar gula darah.
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam
kombinasi dengan obat antidiabetik lain atau insulin (pasien
dewasa), atau dengan insulin (pasien remaja dan anak >10
tahun). Lihat juga keterangan di atas.
Dosis Dewasa & anak > 10 tahun: dosis awal 500 mg setelah
sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500
mg setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan,
setelah makan siang dan setelah makan malam. Dosis
maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila terjadi
kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis, kegagalan
pernafasan, baru mengalami infark miokardia, gangguan
hati), menggunakan kontras media yang mengandung iodin
(jangan menggunakan metformin sebelum fungsi ginjal
kembali normal) dan menggunakan anestesi umum
(hentikan metformin pada hari pembedahan dan mulai
kembali bila fungsi ginjal kembali normal), wanita hamil
dan menyusui.
Efek Samping Anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya sementara), nyeri
perut, rasa logam, asidosis laktat (jarang, bila terjadi hentikan
terapi), penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus,
urtikaria dan hepatitis.
Perhatian Lihat keterangan di atas, tentukan fungsi ginjal (menggunakan
metoda sensitif yang sesuai) sebelum pengobatan sekali atau dua
kali setahun (lebih sering pada atau bila keadaan diperkirakan
memburuk).
Gambar sediaan

5. Metaneuron
Komposisi Metampiron dan Diazepam
Kelas terapi Antiinflamasi Non Steroid
Indikasi Mengurangi rasa sakit, mengurangi demam, mencegah
pembekuan darah dan dalam dosis yang lebih tinggi,
mengurangi peradangan.
Dosis 1 kaplet, di minum 3 x sehari. Diminum sesudah makan.
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis,
insufisiensi pulmoner akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis
kronik, glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut,
trimester pertama kehamilan, bayi prematur; tidak boleh
digunakan sendirian pada depresi atau ansietas dengan depresi.
Efek Samping Mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksikal dalam
agresi, gangguan mental, amnesia, ketergantungan, depresi
pernapasan, kepala terasa ringan hari berikutnya, bingung.
Kadang-kadang terjadi: nyeri kepala, vertigo, hipotensi,
perubahan salivasi, gangguan saluran cerna, ruam, gangguan
penglihatan, perubahan libido, retensi urin, dilaporkan juga
kelainan darah dan sakit kuning, pada injeksi intravena terjadi:
nyeri, tromboflebitis dan jarang apneu atau hipotensi.
Perhatian Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau
mengoperasikan mesin, hamil, menyusui, bayi, lansia, penyakit
hati dan ginjal, penyakit pernapasan, kelemahan otot, riwayat
penyalahgunaan obat atau alkohol, kelainan kepribadian yang
nyata, kurangi dosis pada lansia dan debil, hindari pemakaian
jangka panjang, peringatan khusus untuk injeksi intravena,
porfiria.
Gambar sediaan

6. Blocand
Komposisi Candesartan Cilexetil
Kelas terapi ARB
Indikasi Antihipertensi
Mekanisme Kerja Terapi hipertensi, pasien gagal jantung dan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri bilamanaACEI tidak dapat ditolerir
tubuh.
Dosis Hipertensi : 8 mg sekali sehari. Dosis dapat disesuaikan dengan
respons tubuh pasien. Dosis maksimal 32 mg 1–2 kali sehari.
(Dipiro et al, 2015)
Hipertensi :16 mg PO / hari, CHF : dosis inisial 4 mg / hari,
DM : 32 mg / hari (Medscape, 2017)
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Hipersensitif, kerusakan hati berat/kolestasis, hamil dan
menyusui.
Efek Samping Sakit kepala, reaksi alergi: gatal-gatal; sulit bernapas;
pembengkakan pada wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan
(drugbank)
Farmakokinetika Absorbsi : diabsorbsi di saluran gastrointestinal, bioavailabilitas
absolut sekitar 15%. Waktu mencapai puncak plasma 3-4 jam.
Distribusi : VD=0,13 L/Kg. Ikatan protein plasma >99%
Metabolisme : candesartan cilextil mengalami hidrolisis ester di
saluran GI menjadi bentuk aktif candesartan
Ekskresi : melalui urin dan empedu dalam bentuk tak berubah
dan meabolit inaktif. (Drugbank)
Perhatian Riwayat angiodema, hipovolemia, resiko hipotensi, perhatikan
penggunaan pada pasien gangguan ginjal, lakukan penyesuaian
dosis.
Gambar sediaan

7. Patracet
Komposisi Tramadol dan Paracetamol
Kelas terapi Analgetik
Indikasi Nyeri akut dan kronik berat
Mekanisme Kerja
Dosis
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Intoksisasi akut dengan alcohol, hipnotik, epilepsi tak
terkontrol, obstruksi saluran cerna, ileus paralitik.
Efek Samping Pusing, sedasi, rasa lelah, sakit kepala, berkeringat, ruam kulit,
mulut kering, mual, muntah dan dispepsia
Perhatian Pasien dengan cedera kepala, gangguan fungsi hati dan dan
ginjal berat, hipereksresi bronkus, peningkatan resiko kejang,
syok, ibu hamil dan laktasi.
Gambar sediaan
8. Ondansentron Inj
Komposisi Ondansentron
Indikasi mual dan muntah akibat kemoterapi dan radioterapi, pencegahan
mual dan muntah pasca operasi.
Dosis Dewasa, kemoterapi dan radioterapi yang menyebabkan muntah
tingkat sedang: oral: 8 mg, 1-2 jam sebelum terapi atau injeksi
intravena lambat 8 mg sesaat sebelum terapi, dilannjutkan dengan 8
mg oral tiap 12 jam sampai dengan 5 hari
Pemberian Obat Oral, Parenteral
Kontraindikasi hipersensitivitas, sindroma perpanjangan interval QT bawaan.
Efek Samping Sangat umum: sakit kepala; umum: sensasi hangat atau
kemerahan, konstipasi, reaksi lokasi injeksi, tidak umum: kejang,
gangguan gerakan (termasuk reaksi ekstrap iramidal seperti reaksi
distoni, oculogyric crisis, diskinesia), aritmia.
Peringatan/ hipersensitivitas terhadap antagonis 5HT3 lainnya, kepekaan
perhatian terhadap perpanjangan interval QT, obstruksi intestinal subakut,
operasi adenotonsillar, kehamilan, menyusui, gangguan hati
sedang dan berat (maksimal 8 mg/hari).
Farmakokinetika Eliminasi
Eksresi : oleh ginjal
Stabilitas Pada suhu 20-25 °C
Gambar Sediaan

9. Antasida
Komposisi Alumunium hidroksida magnesium hidroksida
Kelas terapi Antasida
Indikasi Mengatasi kembung
Mekanisme Kerja Menetralkan asam lambung
Dosis 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila
diperlukan. Suspensi: 1-2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari,
anak > 8 tahun: ½ -1 sachet, 3-4 kali sehari.
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Hipofosfatemia, porfiria
Efek Samping Konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, pusing,
gangguan irama jantung dan ruam kulit.
Farmakokinetika Absorbsi : sekitar 17-30% alumunion klorida diserap dan
magnesium klorida akan diserap di secara lambat di usus halus
Distribusi : aksi puncak dan distribusi antasida bervariasi.
Metabolisme : tidak mengalami metabolism apapun karena
akan vepat di ekskresikan di ginjal.
Eksreksi : alumunion klorida akan diserap diginjal pada pasien
dengan ginjal normal.
Perhatian Pemberian antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya
dihindari karena mungkin dapat mengganggu absorpsi obat
lain. Selain itu, antasida mungkin dapat merusak salut enterik
yang dirancang untuk mencegah pelarutan obat dalam lambung
Gambar sediaan
10. MST
Komposisi Morfin Sulfat
Kelas terapi Analgetik Opioid
Indikasi Meredakan nyeri sedang sampai berat
Mekanisme Kerja Menghambat sinyal saraf nyeri ke otak, sehingga tubuh tidak
merasakan sakit untuk sementara.
Dosis Dosis terapi 1x10 mg, untuk nyeri berat yang tidak dapat
dikendalikan dengan opioid yang lebih lemah : dosis awal 20-
30 mg setiap 12 jam.
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Depresi nafas akut, alkoholisme akut, penyakit hati akut, ileus
paralifik; peningkatan tekanan intrakanial atau cedera kepala.
Efek Samping Mual dan muntah, kosntipasi, rasa mengantuk. Dosis yang
lebih besar menyebabkan depresi nafas, hipotensi dan
kekakuan otot.
Farmakokinetika Absorbsi : Morfin diserap dalam lingkungan basa usus bagian
atas dan mukosa rektal. Ketersediaan hayati morfin adalah 80-
100% dan terdapat metabolisme lintas pertama yang signifikan,
oleh karena itu dosis oral 6 kali lebih besar daripada dosis
parenteral untuk mencapai efek yang sama.
Distribusi : Volume Distribusi Morfin adalah 5,31L/kg
Metabolism : morphine sulfat di metabolism oleh glukuronidasi
oleh UGT2B7.
Eksresi : 70-80% dari dosis yang diberikan diekskresikan
dalam waktu 48 jam. Morfin sebagian besar dieliminasi dalam
urin dengan 2-10% dari dosis diperoleh kembali sebagai obat
induk yang tidak berubah. 7-10% dari dosis morfin sulfat
dieliminasi dalam feses.
Perhatian Hati-hati pada pasien dengan hipotensi, hipotiroidisme, asma,
hipertrofi prostat, gangguan konvulsi. Hati-hati pada wanita
hamil dan menyusui; kurangi dosis atau hindari pada gangguan
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal dan penderita lansia.
Gambar sediaan

11. OAT
Komposisi
Kelas terapi
Indikasi
Mekanisme Kerja
Dosis
Pemberian Obat
Kontraindikasi
Efek Samping
Farmakokinetika
Perhatian
Gambar sediaan
12. Vitamin B6
Komposisi Piridoksin
Kelas terapi Vitamin
Indikasi Mencegah neuritis perifer akibat penggunaan Isoniazid.
Mekanisme Kerja Vitamin B6, terutama dalam bentuk koenzim biologis aktif
piridoksal 5'-fosfat, terlibat dalam berbagai reaksi biokimia,
termasuk metabolisme asam amino dan glikogen, sintesis asam
nukleat, hemogloblin, sphingomyelin dan sphingolipid lainnya,
dan sintesis neurotransmiter serotonin, dopamin, norepinefrin
dan asam gamma-aminobutyric (GABA).
Dosis
Pemberian Obat Oral
Efek Samping Mual, sakit perut, berkurangnya selera makan dan sakit kepala
Farmakokinetika Absorbsi : Vitamin B6 mudah diserap dari saluran pencernaan,
kecuali pada sindrom malabsorpsi. Pyridoxine diserap terutama
di jejunum. Cmax piridoksin dicapai dalam 5,5 jam.
Distribusi : Metabolit aktif utama piridoksin, piridoksal 5'-
fosfat, dilepaskan ke dalam sirkulasi (terhitung setidaknya 60%
dari vitamin B6 yang bersirkulasi) dan sangat terikat dengan
protein, terutama dengan albumin.
Metabolisme : Pyridoxine adalah prodrug yang terutama
dimetabolisme di hati. Skema metabolisme piridoksin sangat
kompleks, dengan pembentukan metabolit primer dan sekunder
bersamaan dengan interkonversi kembali menjadi piridoksin.
Metabolit utama piridoksin adalah asam 4-piridoksik.
Eliminasi : Metabolit utama piridoksin, asam 4-piridoksik,
tidak aktif dan diekskresikan dalam urin

Gambar sediaan

13. Cefepime
Komposisi Cefepime
Kelas terapi Antibiotic
Indikasi Profilaksis infeksi nosokomial
Mekanisme Kerja Cefepime mengganggu dinding sel bakteri dengan mengikat
dan menghambat transpeptidase yang dikenal sebagai protein
pengikat penisilin (PBPs), yang merupakan enzim yang terlibat
dalam tahap akhir sintesis lapisan peptidoglikan. Hal ini
menyebabkan lisis dan kematian mikroorganisme yang rentan.
Cefepime memiliki spektrum aktivitas in vitro yang luas yang
mencakup bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
Dosis Pemakaian intravena atau intramuskular: 1 g setiap 12 jam.
Pengobatan dilakukan selama 7-10 hari tergantung beratnya
infeksi. Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati tidak
diperlukan penyesuaian dosis. Perlu penyesuaian dosis pada
kelainan fungsi ginjal: Bersihan kreatinin lebih kecil atau sama
dengan 10 mL/menit, 250 mg/hari; Bersihan kreatinin 11-30
mL/menit, 500 mg/hari; Bersihan kreatinin 30-60 mL/menit, 1
g setiap 12 jam. (PIONAS)
Pemberian Obat Injeksi atau parenteral
Efek Samping Hipersensitif: kemerahan, pruritus, demam. Saluran cerna:
mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri abdomen, dispepsia
Kardiovaskular: takikardia, nyeri dada. Pernapasan: batuk,
nyeri di tenggorokan, dispnea. SSP: sakit kepala, pusing,
insomania, paretesia, ansietas, bingung. Lainnya: astenia,
berkeringat, vaginitis, edema perifer, nyeri, nyeri punggung.
Kadang terjadi reaksi lokal seperti flebitis dan radang pada
tempat injeksi intravena
Farmakokinetika Distribusi : Rata-rata volume distribusi Cefepime adalah 18,0 L

Perhatian Hati-hati pemakaian pada pasien yang hipersensitif terhadap


obat ini, antibiotik penisilin atau beta-laktam lainnya, dan
golongan sepalosporin. Jika terjadi alergi, pemakaian obat
dihentikan, gangguan fungsi ginjal. Tidak dianjurkan
pemakaian pada lansia, wanita hamil dan menyusui. Jangan
digunakan untuk anak-anak di bawah 13 tahun
Gambar sediaan

14. Methyprednisolon
Komposisi Methylprednisolone
Kelas terapi Antiinflamasi
Indikasi Sebagai anti inflamasi atau imunosupresi pada beberapa
penyakit hematologi, alergi, inflamasi, neoplasma maupun
autoimun.
Mekanisme Kerja Kortikosteroid yang berikatan dengan reseptor glukokortikoid
memediasi perubahan ekspresi gen yang menyebabkan efek
multipel selama berjam-jam hingga berhari-hari.
Glukokortikoid menghambat apoptosis dan demarginasi
neutrofil; mereka menghambat fosfolipase A2, yang
menurunkan pembentukan turunan asam arakidonat; mereka
menghambat NF-Kappa B dan faktor transkripsi inflamasi
lainnya; mereka mempromosikan gen anti-inflamasi seperti
interleukin-10.
Dosis
Pemberian Obat Parenteral
Kontraindikasi Diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya
Efek Samping Gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glikosuria,
mudah mendapat infeksi, pasien tukak peptic mungkin dapat
mengalami perdarahan atau perfolasi, osteoporosis dan miopati
psikosis
Farmakokinetika Adsobsi : Metilprednisolon intravena memiliki Tmax 2,5 jam. Kira-
kira 1/10 dosis metilprednisolon oral atau IV akan mencapai vitreous
humor (gel yang mengisi ruang antara lensa mata dan retina di dalam
bola mata manusia).
Distribusi : rata-rata volume distribusi metilprednisolon adalah
1,38L/kg.1
Metabolisme : metilprednisolon diperkirakan sebagian besar
dimediasi oleh 11-beta-hidroksisteroid dehidrogenase dan 20-
ketosteroid reduktase.
Eksresi : Methylprednisolone dan metabolitnya telah
dikumpulkan dalam urin manusia. Sebuah penelitian pada
anjing menunjukkan 25-31% eliminasi dalam urin dan 44-52%
eliminasi dalam feses (Drugbank)

Perhatian Supresi adrenal dan infeksi, anak dan remaja (gangguan


pertumbuhan kemungkinan tidak reversible), lanjut usia
(memerlukan supervise ketat terutama pengobatan jangaka
panjang); diperlukan pengawasan terus menerus jika ada
sejarah tuberkulosis (atau perubahan X-ray), hipertensi, infark
miokard (dilaporkan rupture), gagal jantung kongestif, gagal
hati, gangguan ginjal, diabetes melitus termasuk riwayat
keluarga, osteoporosis (wanita pascamenopouse yang risiko
terkena), glaukoma (termasuk riwayat keluarga), perforasi
kornea, gangguan berat (terutama jika riwayat psikosis steroid-
induced), epilepsi, tukak lambung, hipotiroid, riwayat steroid
miopati, kehamilan.
Gambar sediaan

15. Eperison
Komposisi Eperison Hydroclorida
Kelas terapi antispasmodik
Indikasi Untuk kejang atau keram otot
Mekanisme Kerja Melemaskan otot rangka, mengurangi kekuatan kontraksi otot,
dan otot polos pembuluh darah. Obat ini juga berguna untuk
meningkatkan sirkulasi darah dan menekan refleks nyeri.
Dengan begitu, rasa sakit dan tegang pada otot bisa berkurang
Dosis Dewasa : 1 tab 3 kali sehari
Pemberian Obat Oral
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Efek Samping Rasa lemah, pusing, insomnia, gangguan hematologic dan
gastrointestinal, ruam dan gangguan berkemih
Farmakokinetika -
Perhatian Gangguan hati, anak dan ibu hamil
Gambar sediaan

Anda mungkin juga menyukai