Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PRAKTIKUM

LABORATORIUM METALURGI II

METALOGRAFI

Disusun oleh :
Nama Praktikan : Aditya Rahman
NPM : 3334190060
Kelompok : 25
Rekan : 1. Chessa Yhosika
: 2. Edwin Maulana
Tanggal Praktikum : 6 Maret 2022
Tanggal Pengumpulan Lap. : 10 Maret 2022
Asisten : Muhammad Rafli Supriadi

LABORATORIUM METALURGI FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
CILEGON-BANTEN
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Tanggal Masuk Laporan Tanda Tangan

Disetujui untuk Laboratorium Metalurgi FT. UNTIRTA


Cilegon, Maret 2022

Muhammad Fikri Imbar Ramadhan

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
……………………………………………………………...i
LEMBAR PENGESAHAN
……………………………………………………...ii
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………….iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….v
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
…………………………………………………...1
1.2 Tujuan Percobaan ………………………………………………..1
1.3 Batasan Masalah …………………………………………………2
1.4 Sistematika Penulisan ……………………………………………2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baja ………………………………………………………………
3
2.2 Perlakuan Panas
………………………………………………….4
2.2.1 Annealing
………………………………………………….5
2.2.2 Normalizing ……………………………………………….7
2.2.3 Quenching ………………………………………………...7
2.3 Uji Kekerasan ……………………………………………………8
BAB III METODE PERCOBAAN
3.1 Diagram
Alir…………………………………………………….12
3.2 Alat dan Bahan………………………………………………….
12
3.2.1 Alat-alat yang Digunakan……………………………….13
3.2.2 Bahan-bahan yang Digunakan…………………………..13

iii
3.3 Prosedur Percobaan…………………………………………….
14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan…………………………………………………15
4.2 Pembahasan……………………………………………………..15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan……………………………………………………..
22
5.2 Saran…………………………………………………………….22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LAMPIRAN A. CONTOH PERHITUNGAN……………………………………
25
LAMPIRAN B. JAWABAN PERTANYAAN DAN TUGAS KHUSUS……….27
LAMPIRAN C. GAMBAR ALAT DAN BAHAN………………………………
34
LAMPIRAN D. BLANGKO
PERCOBAAN…………………………………….34

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 3.1 Diagram Alir Percobaan
…………………………………………...12
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar B.1
Gambar C.1
Gambar C.2
Gambar C.3
Gambar C.4
Gambar C.5
Gambar C.6

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Tabel 2.1 Skala Mohs
……………………………………………………………..8
Tabel 4.1 Data Hasil Percobaan …………………………………………………15

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
Lampiran A. Contoh
Perhitungan………………………………………………...26
Lampiran B. Jawaban Pertanyaan dan Tugas Khusus……………………………
28
Lampiran C. Gambar Alat dan
Bahan…………………………………………….36
Lampiran D. Blangko Percobaan…………………………………………………
35

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Baja adalah suatu logam paduan yang berbahan dasar besi dan karbon
dengan kandungan karbon berkisar antara 0,2 - 2,1% berat sesuai ukurannya.
Karbon pada baja memiliki fungsi sebagai unsur pengeras dengan cara mencegah
dislokasi pada kisi kristal atom besi. Selain karbon, ada beberapa unsur lain yang
ditambahkan pada baja guna mendapatkan suatu sifat yang diinginkan.
Penambahan unsur karbon pada baja ini dapat meningkatkan kekerasan dan
kekuatan tariknya. Akan tetapi, penambahan unsur karbon tersebut juga dapat
membuat baja menjadi getas serta menurunkan keuletannya. Selain daripada
menambahkan unsur lain pada baja untuk mendapatkan sifat tertentu, dapat juga
dilakukan dengan cara memberinya suatu perlakuan panas.
Perlakuan panas atau heat treatment adalah suatu perlakuan yang dilakukan
untuk mengubah sifat mekanik logam. Hal ini dilakukan dengan cara memanaskan
material logam hingga mencapai temperatur austenisasi dimana fasa baja berubah
dan stabil menjadi fasa austenite. Kemudian baja didinginkan dengan beberapa
cara seperti annealing, normalizing, dan quenching dimana proses tersebut
dilakukan untuk mengubah fasa baja. Mengingat betapa pentingnya perlakuan
panas pada baja, maka sangat penting bagi seorang mahasiswa metalurgi untuk
mengetahui bagaimana perlakuan panas itu dilakukan. Oleh karena itu,
dilakukanlah praktikum heat treatment dan uji kekerasan guna mengetahui
bagaimana proses perlakuan panas pada baja dan mengetahui kekerasan dari baja
yang telah diberikan perlakuan panas.

1.2 Tujuan Percobaan


Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap perubahan sifat
mekanik (kekerasan) logam sebagai ukuran ketahanan beban terhadap deformasi
plastis. Nilai kekerasan disini dinyatakan dalam Kekerasan Rockwell (HR).
2

1.3 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dari percobaan kali ini terbagi menjadi 2 variabel,
yakni variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah jenis spesimen
yang digunakan, waktu pemanasan, dan media pendingin spesimen. Sedangkan
variabel terikatnya adalah nilai Kekerasan Rockwell (HR).

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika penulian pada laporan praktikum heat treatment dan uji
kekerasan yang terdiri dari 5 bab dimana pada Bab I berisikan tentang latar
belakang, tujuan percobaan, batasan masalah, serta sistematika penulisan.
Kemudian dilanjut dengan Bab II yang berisikan tentang teori-teori yang ada pada
heat treatment dan uji kekerasan yang disusun dalam bentuk tinjauan pustaka.
Berikutnya Bab III yang menjelaskan mengenai metode percobaan dalam bentuk
diagram alir dan prosedur percobaan serta menerangkan alat dan bahan yang
digunakan. Berikutnya Bab IV yang berisi tentang hasil percobaan dan
pembahasan mengenai percobaan yang telah dilakukan. Dan pada Bab V berisi
mengenai kesimpulan yang diperoleh serta saran untuk praktikum selanjutnya.
Selain itu, laporan ini juga terdapat daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang
terdiri dari contoh perhitungan, jawaban pertanyaan dan tugas khusus, gambar alat
dan bahan, serta blangko percobaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Baja
Baja adalah logam campuran yang komponen utamanya terdiri dari Fe
(besi) dan C (karbon). Jadi baja berbeda dengan besi (Fe), alumunium (Al), seng
(Zn), tembaga (Cu), dan titanium (Ti) yang merupakan logam murni. Dalam
senyawa antara besi dan karbon (unsur nonlogam) tersebut besi menjadi unsur
yang lebih dominan dibanding karbon. Kandungan kabon berkisar antara 0,05 –
2% dari berat baja, tergantung tingkatannya. Secara sederhana, fungsi karbon
adalah meningkatkan kualitas baja, yaitu daya tariknya (tensile strength) dan
tingkat kekerasannya (hardness). Selain karbon, sering juga ditambahkan unsur
krom (Cr), nikel (Ni), vanadium (V), molybdaen (Mo) untuk mendapatkan sifat
lain sesuai aplikasi dilapangan seperti antikorosi, tahan panas, dan tahan
temperatur tinggi. Besi dan baja mempunyai kandungan unsur utama yang sama
yaitu Fe, hanya kadar karbonlah yang membedakan besi dan baja, penggunaan
besi dan baja dewasa ini sangat luas mulai dari perlatan seperti jarum, peniti
sampai dengan alat – alat dan mesin berat. Baja terbagi menjadi 3 berdasarkan
kandungan karbonnya, seperti baja karbon rendah dimana kandungan karbonnya
sekitar 0,05% - 0,3%, baja karbon menengah dengan kandungan karbon 0,3% -
0,6%, dan terakhir adalah baja karbon tinggi dengan karndungan karbon berkisar
antara 0,6 – 2% (Salmon, 1990).
Baja karbon rendah biasanya digunakan pada spare part kendaraan
bermotor dikarenakan sifatnya yang mudah dibentuk dan mudah diaplikasikan
dalam machinery. Ada beberapa contoh barang yang dibuat dari baja karbon
rendah seperti automobile parts, rantai, paku keling, pipa, gears, baut, screw,
paku, dan lain-lain. Sedangkan baja karbon menengah memiliki kekuatan yang
lebih tinggi dari baja karbon rendah dimana baja ini memiliki sifat yang sulit
dibengkokkan, dilas, ataupun dipotong dan biasanya digunakan pada obeng, palu,
rel kereta api, car axles, axles, crank pin, dan lain-lain. Kemudian pada baja
4

karbon tinggi, biasanya digunakan pada knives, drills, steel cutter, dan lain-lain
(Salmon, 1990).
Selain daripada baja karbon, ada juga baja paduan rendah dengan kekuatan
tinggi dimana pada baja tersebut ditambahkan juga unsur-unsur lain dengan tujuan
untuk menaikkan sifat mekanik dari baja, meningkatkan ketahanan terhadap
korosivitas, serta untuk mendapatkan sifat-sifat spesial yang lainnya. Unsur-unsur
yang biasanya ditambahkan adalah unsur nikel, mangan, tembaga, vanadium,
forfor, sulfur, dan unsur-unsur yang lainnya dimana masing-masig unsur akan
meningkatkan atau mengurangi sifat mekanik dari suatu baja paduan rendah.
Selain itu juga terdapat baja ringan dimana baja tersebut merupakan baja canai
dingin dengan kualitas tinggi yang bersifat ringan dan tipis namun kekuatannya
tidak kalah dengan baja konvensional. Baja ringan memiliki tegangan tarik tinggi
(G550). Baja G550 berarti baja memiliki kuat tarik 550 MPa (Mega Pascal). Baja
ringan adalah Baja High Tensile G-550 (Minimum Yield Strength 5500 kg/cm2)
dengan standar bahan ASTM A792, JIS G3302, SGC 570. Untuk melindungi
material baja mutu tinggi dari korosi, harus diberikan lapisan pelindung (coating)
secara memadai. Berbagai metode untuk memberikan lapisan pelindung guna
mencegah korosi pada baja mutu tinggi telah dikembangkan. Salah satu metode
yang digunakan untuk melindungi baja ringan dari korosi adalah galvanized atau
galvanisasi dimana baja ringan akan dilapisi oleh seng dengan cara mencelupkan
baja ke dalam seng cair sehingga baja tersebut terlapisi oleh seng (Thamrin,
2011).

2.2 Perlakuan Panas


Perlakuan panas adalah suatu proses yang terdiri dari proses pemanasan dan
proses pendinginan pada logam dan paduannya dengan cara tertentu yang
bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat material yang diinginkan. Proses ini telah
digunakan secara meluas, tidak hanya pada logam ferro saja, akan tetapi pada
logam non ferro juga telah banyak digunakan. Perubahan dari sifat yang
dikarenakan proses perlakuan panas mencakup pada daerah keseluruhan dari
logam dan hanya sebagiannya saja, contoh pada permukaannya saja. Secara
5

umum, unsur-unsur paduan ditambahkan dalam baja dengan kadar tertentu


bertujuan untuk meningkatkan kekerasan, menaikkan keuletan, meningkatkan
ketahanan aus, meningkatkan ketangguhan, memperbaiki ketahanan korosi,
memperbaiki mampu permesinan, dan lain-lain. Perubahan sifat yang terjadi pada
proses perlakuan panas disebabkan karena adanya pertumbuhan fasa pada saat
pemanasan dan transformasi fasa pada saat pendinginan. Hal tersebut tidak akan
pernah terlepas dari temperatur. Diagram yang menyajikan tentang hubungan
antara temperatur dimana terjadinya perubahan fasa pada saat proses pemanasan
dan pendinginan lambat dengan kadar karbon disebut diagram fasa (Brooks,
1979).
Syarat-syarat perlakuan panas yang harus dipenuhi adalah suhu
pemanasan harus naik secara teratur dan merata, alat ukur suhu yang teliti, dan
laju pendinginan sesuai dengan jenis perlakuan panas yang dilakukan (Brooks
1979). Secara umum, perlakuan panas dapat diklasifikasikan sebagai annealing,
normalizing, dan quenching (Purwanto, 2016).
2.2.1. Annealing
Annealing adalah salah satu proses perlakuan panas yang biasanya
diikuti dengan pendinginan lambat di dalam furnace. Tujuan utama dari
proses ini adalah untuk mengurangi kekerasan dari baja dan membuat
struktur yang mudah dilakukan proses permesinan. Selain itu, annealing
bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat antara lain (Purwanto, 2016):
a. Mampu mesin
b. Mampu bentuk
c. Keuletan
d. Kehomogenan struktur
e. Menghilangkan tegangan dalam
f. Persiapan struktur untuk proses perlakuan panas
temperatur dan laju pendinginan dari annealing tergantung dari hasil yang
diinginkan dari struktur mikonya, oleh karena itu annealing dibagi lagi
menjadi beberapa proses spesifik antara lain (Purwanto, 2016):
1. Full annealing
6

Merupakan proses pemanasan yang bertujuan untuk melunakan


baja, prosesnya dilakukan dengan cara dipanaskan diatas daerah
kritisnya dan didinginkan secara perlahan melawati daerah kritis.
Walaupun full annealing dapat dilakukan pada semua baja, tetapi
kebanyakan hanya dilakukan pada baja karbon menengah (0,3-
0,6% C) saja, dimana bertujuan untuk meningkatkan mampu
mesinnya.
2. Spheroidizing
Proses ini bertujuan untuk membulatkan karbida yang berbentuk
serpih pada pearlite dan cementite. Sehingga dapat meningkatkan
mampu mesin serta meningkatkan keuletan. Spheroidizing secara
luas digunakan pada baja karbon tinggi, baja perkakas, baja
bearing, dan pada semua baja yang akan menjalani proses
pengerjaan dingin.
3. Stress relieving
Pada baja yang telah mengalami proses pengecoran, permesinan,
pengelasan maka akan terdapat sejumlah tegangan sisa
didalamnya. Tegangan sisa tersebut akan menyebabkan distorsi
bahkan dapat mengalami retakpada saat digunakan atau pada saat
dilakukan proses perlakuan panas. Untuk menghilangkan
tegangan sisa tersebut maka dilakukan proses ini.
4. Bright annealing
Merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk
menghasilkan benda kerja yang permukaannya terbebas dari
lapisan oksidasi. Prosesnya dilakukan dengan cara menyelimuti
spesimen dengan atmosfir furnace yang sesuai selama
pemanasan. Cara ini juga bertujuan untuk menghindari terjadinya
penggetasan, timbulnya sulfidasi, serta adanya dekarburisasi.
Jenis gas yang banyak digunakan dapat berupa nitrogen, amoniak,
hidrogen, dan lain-lain.
5. Homogenizing
7

Proses ini bertujuan untuk menyeragamkan komposisi baja.


Biasanya dilakukan setelah proses pengecoran. Spesimen
dipanaskan sampai temperatur 1100-1200°C kemudian
didinginkan secara lambat.
6. Recrystallisation annealing
Merupakan proses pemanasan untuk menumbuhkan atau
membentuk butir baru setelah mengalami proses pengerjaan
dingin (cold working). Selain itu juga bertujuan untuk
menghilangkan tegangan sisa. Pemanasan dilakukan pada
temperatur 600°C selama 0.5 – 1 jam.
2.2.2. Normalizing
Normalizing adalah salah satu perlakuan panas yang dilakukan
dengan cara memanaskan baja hingga temperatur austenisasi kemudian
dengan media pendingin berupa udara terbuka sehingga didapatkan fasa
berupa fasa bainite. Baja karbon tinggi seperti die steel dan HSS (High
Speed Steel) tidak pernah dilakukan proses ini karena baja-baja tersebut jika
dikeraskan akan menjadi struktur martensite dengan cara normalizing.
Tujuan dari normalizing pada baja adalah (Purwanto, 2016):
1. Memperhalus ukuran butir dan menghomogenisasi struktur mikro
dari hasil coran dan tempa, sehingga dapat meningkatkan sifat
mekanik dalam proses pengerasan baja.
2. Meningkatkan mampu mesin dengan komposisi karbon sekitar
0.3% C.
3. Memperhalus karbida kasar yang mempunyai precipitate selama
pendinginan lambat setelah proses pengerjaan panas.
2.2.3. Quenching
Proses quenching melibatkan beberapa faktor yang saling
berhubung-an. Pertama yaitu jenis media pendingin dan kondisi proses yang
digunakan, yang kedua adalah komposisi kimia dan hardenbility dari logam
tersebut. Hardenbility merupakan fungsi dari komposisi kimia dan ukuran
butir pada temperatur tertentu. Selain itu, dimensi dari logam juga
8

berpengaruh terhadap hasil proses quenching. Pada saat dilakukan


pendinginan lambat fasa austenite (FCC) akan berubah sel satuannya
menjadi BCC kembali. Namun karena adanya pendinginan cepat maka ada
atom karbon yang terjebak pada kisi tegak sehingga austenite
bertransformasi menjadi fasa martensite dengan sel sastuan BCT.
Martensite inilah yang bersifat keras dan getas. Contoh spesimen yang
berfasa martensite adalah roda gigi, pahat potong, dan dies. Temperatur
pemanasan untuk proses quenching sama dengan proses seperti annealing
dan normalizing (Purwanto, 2016).
Agar diperoleh hasil yang baik dari proses pengerasan, maka benda
kerja sebaiknya harus dibersihkan terlebih dahulu. Untuk baja karbon
rendah dan baja paduan rendah tidak perlu dilakukian preheat (pemanasan
awal). Namun pada baja perkakas harus di-preheat terlebih dahulu karena
banyaknya unsur paduan sehingga konduktivitas panasnya menurun. Pada
pendinginnya harus dengan media pendingin cepat agar atom karbonnya
terjebak pada kisi tegaknya. Adapun media pendingin yang sering dipakai
untuk proses quenching adalah air atau oli (Purwanto, 2016).

2.3 Uji Kekerasan


Ketahanan suatu material terhadap gaya penekanan dari material lain yang
lebih keras. Penekanan tersebut biasanya berupa mekanisme penggoresan
(scratching) atau pantulan (indentasi) dari material keras terhadap suatu
permukaan benda uji. Berdasarkan metode yang digunakan, pengujian kekerasan
terbagi menjadi 3, yakni metode gores dimana suatu material akan digores oleh
material lain yang besar skala Mohs-nya sudah diketahui. Metode ini
diperkenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material
berdasarkan skalanya yang sekarang dikenal sebagai skala Mohs. Skala Mohs
memiliki nilai yang dimulai dari 1 hingga 10 dimana pada setiap nilainya
diwakilkan oleh 1 material, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Skala Mohs (Vander Voort, 1999)
Material Skala Mohs
9

Talc 1
Gypsum 2
Calcite 3
Fluorite 4
Apatite 5
Feldspar 6
Quartz 7
Topaz 8
Corumdum 9
Diamond 10

Pada prinsipnya, pengujian kekerasan dengan metode gores ini adalah


dimana suatu material akan digores oleh 2 material lain yang besar nilai Mohs-nya
sudah diketahui. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa metode ini
memiliki kekurangan yang sangat terlihat dengan jelas berupa ketidakakuratan
nilai kekerasan material. Hal ini dikarenakan belum tentu material tersebut
memiliki nilai kekerasan yang sama dengan material sebelumnya. Contohnya
adalah ketika grafit yang mampu digores oleh gypsum bukan berarti nilai
kekerasannya sama seperti talc yang sebesar 1 Mohs (Nugraheni, 2014).
Ditambah lagi, metode ini sangat tidak cocok untuk logam karena interval skala
pada nilai kekerasan ini tidaklah benar. Contohnya saja logam yang paling keras
memiliki nilai kekerasan Mohs sebesar 4 hingga 8 Mohs. Oleh karena itu,
sekarang metode ini hanya digunakan pada mineralogi (Irwana, 2018).
Metode pengujian yang kedua adalah metode pantulan. Dengan metode ini,
kekerasan suatu material ditentukan oleh alat scleroscope yang mengukur tinggi
pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari
suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang
dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang
ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai
semakin tinggi (Nugraheni, 2014). Contoh paling umum dari suatu alat penguji
kekerasan dinamik mengukur kekerasan yang dinyatakan dengan tinggi lekukan
10

atau tinggi pantulan. Standar yang digunakan pada metode scleroscope shore adalah
ASTM C-886 (Irwana, 2018).
ASTM C-866 merupakan American society for testing and materials dengan
spesifikasi C-866 yang merupakan material untuk mesin mesin penguji yang
merupakan paduan atau campuran dari karbon, kromium, vanadium, tungsten atau
kombinasi kobalt atau standar konversi kekerasan dari logam. Metode Kekerasan
scleroscope ditunjukan dengan angka yang diberikan oleh tingginya ujung palu
kecil setelah dijatuhkan dalam tabung gelas dalam ketinggian 10 inch (250mm)
terhadap permukaan benda uji (Irwana, 2018). Metode pengujian yang terakhir
adalah metode indentasi dimana pengetesan kekerasan material/logam ini adalah
dengan mengukur tahanan plastis dari permukaan suatu material komponen
konstruksi mesin dengan spesimen standar terhadap penetrator. Terdapat 3 macam
metode lagi dalam metode indentasi ini, yakni (Nugraheni, 2014).
a. Metode Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode ini bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola
baja (indentor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut
(spesimen). Idealnya, pengujian ini diperuntukan bagi material yang
memiliki kekerasan Brinell sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut
maka disarankan menggunakan metode pengujian Rockwell ataupun
Vickers. Angka Kekerasan Brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi
(koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan
angka
faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A)
dalam milimeter persegi. Indentor (bola baja) biasanya telah dikeraskan
dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten. Jika diameter
Indentor 10 mm maka beban yang digunakan (pada mesin uji) adalah
3000N sedang jika diameter Indentornya 5 mm maka beban yang
digunakan (pada mesin uji) adalah 750N. Diameter bola dengan gaya
yang
diberikan mempunyai ketentuan, yaitu:
11

 Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang diberikan terlalu kecil
maka akan mengakibatkan bekas lekukan yang terjadi akan terlalu
kecil dan mengakibatkan sukar diukur sehingga memberikan
informasi yang salah.
 Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang diberikan terlalu besar
maka dapat mengakibatkan diameter bola pada benda yang diuji
besar (amblasnya bola) sehingga mengakibatkan harga kekerasannya
menjadi salah.
Pengujian kekerasan pada Brinell ini biasa disebut BHN (Brinell
Hardness
Number). Pada pengujian Brinell akan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti kehalusan permukaan, letak benda uji pada indentor, dan adanya
pengotor pada permukaan (Nugraheni, 2014).
b. Metode Rockwell
Rockwell merupakan metode yang paling umum digunakan karena
simpel dan tidak menghendaki keahlian khusus. Digunakan kombinasi
variasi indentor dan beban untuk bahan metal dan campuran mulai dari
bahan lunak sampai keras. Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell
bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan
material terhadap benda uji (spesimen) yang berupa bola baja ataupun
kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
c. Metode Vickers
Metode ini hampir sama dengan uji kekerasan Brinell saja dapat
mengukur sekitar 400 VHN. Pengujian kekerasan dengan metode
Vickers bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk
daya tahan material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut
puncak 136. Derajat yang ditekankan pada permukaan material uji
tersebut. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi
(koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan
angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola
baja (A) dalam millimeter persegi.
12
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Diagram Alir


Untuk mencapai keberhasilan dari suatu percobaan, maka dibutuhkanlah
suatu diagram alir. Diagram alir pada percobaan heat treatment dan uji kekerasan
kali ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Baja AISI 1045

Spesimen dimasukkan ke dalam muffle


furnace dan mengatur suhu hingga 900 oC

Pemanasan dilakukan dengan cara tempering


atau penahanan pemanasan selama 30 menit

Spesimen didinginkan pada 3 media berbeda


seperti di dalam furnace (annealing),
didiamkan di udara terbuka (normalizing), dan
dicelup ke dalam air (quenching).

Spesimen diberi tanda dan disimpan untuk


modul metalografi

Data Pengamatan

Pembahasan Literatur

Kesimpulan
Gambar 3.1 Diagram Alir Percobaan
13

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat-alat yang Digunakan
Berikut ini adalah alat-alat yang akan digunakan pada percobaan
kali ini.
1. Ampelas
2. Apron
3. Face shield
4. Indentor berbentuk bola baja
5. Mesin uji kekerasan rockwell
6. Muffle furnace
7. Sarung tangan
8. Tang penjepit
3.2.2 Bahan-bahan yang Digunakan
Berikut ini adalah bahan-bahan yang akan digunakan pada
percobaan kali ini.
1. Baja AISI 1045
2. Air

3.3 Prosedur Percobaan


Adapun prosedur percobaan yang akan dilakukan pada praktikum ini adalah
sebagai berikut.
1. Spesimen berupa baja AISI 1045 disiapkan sebanyak 3 buah;
2. Spesimen dimasukkan ke dalam muffle furnace dan temperaturnya
diatur hingga 900 oC;
3. Pemanasan dilakukan dengan cara tempering atau penahanan panas
selama 30 menit;
4. Dua buah spesimen dikeluarkan dari furnace dengan bantuan tang
penjepit dan didinginkan sesuai dengan media pendinginnya, spesimen
yang dicelup ke dalam air (quenching), spesimen yang ditaruh di udara
terbuka (normalizing), dan spesimen yang tetap berada di dalam
furnace untuk didinginkan (annealing);
14

5. Lalu spesimen diberi tanda untuk digunakan kembali pada modul


metalografi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


Dari percobaan heat treatment dan uji kekerasan yang telah dilakukan,
maka didapatkanlah hasil yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Hasil Percobaan
Holdin
Temperatu Vickers
g Hardness Average
Bahan r Perlakuan Hardness
(menit) (HRB) Hardness
(oC) (VHN)

96
AISI
900 30 Quenching 94 95,33 211,98
1045
96
92
AISI Normalizin
900 30 93 92,67 198,35
1045 g
93
83
AISI
900 30 Annealing 85 84 162
1045
84

4.2 Pembahasan
Baja adalah salah satu logam paduan dengan komposisi utamanya
adalah besi dan karbon dengan kandungan karbon berkisar antara 0,2 –
2%. Kandungan karbon yang terdapat pada baja ini akan menambah
kekuatan dari baja sehingga baja akan memiliki sifat yang semakin getas.
Ada banyak sekali baja karbon yang digunakan oleh manusia saat ini,
salah satunya adalah baja AISI 1045. AISI 1045 adalah baja karbon yang
mempunyai kandungan karbon sekitar 0,43 - 0,50% dan termasuk
16

golongan baja karbon menengah Baja spesifikasi ini banyak digunakan


sebagai komponen automotif misalnya untuk komponen roda gigi pada
kendaraan bermo-
tor. Komposisi kimia dari baja AISI 1045 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Komposisi Kimia Baja AISI 1045 (Pramono, 2011)
Kode %C % Si % Mn % Mo %P %S
AISI 1045 0,4 – 0,45 0,1 – 0,3 0,6 – 0,9 0,025 0,04 0,05

Baja AISI 1045 disebut sebagai baja karbon karena sesuai dengan
pengkodean internasional, yaitu seri 10xx berdasarkan nomenklatur yang
dikeluarkan oleh AISI dan SAE (Society of Automotive Engineers). Pada
angka 10 pertama merupakan kode yang menunjukkan plain carbon
kemudian kode xxx setelah angka 10 menunjukkan komposisi karbon Jadi
baja AISI 1045 berarti baja karbon atau plain carbon steel yang
mempunyai komposisi karbon sebesar 0,45%. Baja spesifikasi ini banyak
digunakan sebagai komponen roda gigi, poros dan bantalan. Pada
aplikasinya ini baja tersebut harus mempunyai ketahanan aus yang baik
karena sesuai dengan fungsinya harus mempu menahan keausan akibat
bergesekan dengan rantai. Ketahanan aus didefinisikan sebagai ketahanan
terhadap abrasi atau ketahanan terhadap pengurangan dimensi akibat suatu
gesekan Pada umumnya ketahanan aus berbanding lurus dengan kekerasan
(Pramono, 2011).
Heat treatment adalah proses perlakuan panas yang diberikan
kepada suatu material logam untuk mengubah sifat mekaniknya. Heat
treatment terbagi menjadi 3 berdasarkan kecepatan pendinginannya, yakni
annealing, normalizing, dan quenching. Annealing adalah suatu proses
perlakuan panas dimana kecepatan pendinginannya berlangsung lama
karena spesimen didinginkan di dalam furnace sehingga laju pendinginan
spesimen sama seperti laju pendinginan muffle furnace. Normalizing
adalah proses perlakuan panasnya dimana spesimen akan didinginkan di
udara terbuka. Sedangkan pada quenching, spesimen akan didinginkan
17

dengan cara dicelup ke dalam air sehingga laju pendinginannya benar-


benar cepat. Pada percobaan kali ini, spesimen yang digunakan ada 3
sehingga dapat melakukan proses annealing, normalizing, dan quenching.
Laju pendinginan pada praktikum ini berlangsung selama 24 jam karena
sistem pendingin dari muffle furnace yang tersedia di laboratorium
metalurgi FT Untirta baru akan sesuai dengan temperatur ruang setelah 24
jam. Sedangkan pada spesimen yang di-normalizing memiliki laju
pendinginan sekitar 2 jam setelah proses pemanasan. Dan pada spesimen
yang di-quenching memiliki laju pendinginan yang cepat, yakni hanya
sekitar beberapa detik.
Pada praktikum heat treatment dan uji kekerasan pada kali ini
menggunakan spesimen berupa baja AISI 1045 sebanyak 3 buah untuk
menyesuaikan 3 proses perlakuan panas, yakni annealing, normalizing,
dan quenching. Baja AISI 1045 dipilih karena baja tersebut merupakan
baja karbon dengan kandungan karbon sebanyak 0,45% dimana baja
tersebut merupakan medium carbon steel. Lalu tahapan yang berikutnya
adalah memasukkan spesimen ke dalam muffle furnace dan mengatur
temperaturnya sebesar 900oC. Hal ini disebabkan oleh temperatur 900oC
merupakan temperatur austenisasi sehingga baja AISI 1045 dapat
diberikan perlakuan panas. Kemudian pemanasan dilakukan dengan cara
menahan panasnya selama 30 menit atau dilakukan tempering. Hal ini
dilakukan austenisasi tidak hanya terjadi pada permukaan spesimen saja
tetapi terjadi juga di dalam spesimen. Setelah 30 menit, 2 buah spesimen
dikeluarkan dari dalam furnace untuk diberi perlakuan yang berbeda.
Spesimen I yang tetap berada di dalam furnace diberi perlakuan berupa
annealing. Spesimen II dikeluarkan dan ditaruh diatas keramik supaya
meja laboratorium tidak mengalami gosong dan spesimen II diberi
perlakuan berupa normalizing, sedangkan spesimen III diberikan
perlakuan berupa quenching dengan cara dicelup ke air yang sudah
disediakan di dekat furnace. Lalu yang terakhir, spesimen yang sudah
18

dingin diberi label dan disimpan utuk digunakan kembali di modul


metalografi.
Pada praktikum kali ini, dilakukan juga uji kekerasan dengan cara
indentasi menggunakan metode rockwell. Terdapat 3 metode yang biasa
digunakan dalam uji kekerasan, seperti metode gores, pantul, dan
indentasi. Metode gores adalah sebuah metode dimana suatu material akan
digores oleh material lainnya yang nilai Mohs-nya sudah diketahui. Akan
tetapi sekarang metode ini hanya dipakai pada mineralogi. Hal ini
dikarenakan oleh hasil yang didapatkan dari pengujian ini belum tentu
benar karena jarak antar skala yang bisa dibilang masih sedikit rancu.
Selain itu rata-rata logam yang paling keras dalam skala Mohs berkisar
antara skala 4-8 dan memiliki nilai yang terlalu dekat. Beberapa contoh
material yang sudah diketahui materialnya adalah talc (1), gypsum (2),
calcite (3), fluorite (4), apatite (5), feldspar (6), quartz (7), topaz (8),
corundum (9), dan diamond (10). Oleh karena itu metode ini masih
digunakan pada mineralogi untuk mengukur kekerasan dari suatu material
bijih. Metode pengukuran kekerasan suatu material yang kedua adalah
dengan menggunakan metode pantulan. Metode ini dilakukan dengan cara
memantulkan suatu hammer diatas benda uji sehingga hammer tersebut
memantul kembali. Pantulan yang dihasilkan dari pengujian ini dianggap
mewakili nilai kekerasan dari suatu material. Pengujian ini dilakukan
dengan suatu alat yang disebut dengan scleroscope.
Metode pengujian yang terakhir disebut dengan indentasi. Indentasi
adalah suatu metode pengujian kekerasan suatu material dimana material
yang akan diuji, ditekan oleh suatu indentor hingga didapatkan seberapa
keras material tersebut. Metode ini terbagi lagi menjadi 3 metode lainnya
berdasarkan indentornya, yakni metode Brinell, Vickers, dan Rockwell.
Metode Brinell adalah suatu pengujian kekerasan material logam yang
dilakukan dengan cara menekan suatu material dengan indentor berupa
bola baja. Biasanya, pengujian seperti ini hanya diperuntukkan bagi
material yang memiliki nilai kekerasan hingga mencapai 400 HB. Indentor
19

yang terdapat pada metode ini berupa bola baja yang terbentuk dari
karbida tungsten. Ukuran indentor dengan besarnya gaya tekan yang
diberikan kepada benda uji haruslah berbanding lurus, karena jika
berbanding terbalik, maka akan mengalami kesulitan dalam pengukuran
kekerasan yang disebabkan pengukuran terhadap bekas cekungan hasil
tekanan indentor yang terlalu kecil sehingga sukar diamati.
Pada metode yang kedua, yakni metode Vickers menggunakan
indentor yang berbentuk jarum. Material akan diuji dengan cara ditekan
dan diukur hasilnya. Metode ini hanya dapat mengukur suatu material
dengan kekerasan hingga 400 VHN. Dan metode yang terakhir adalah
metode Rockwell. Pada metode ini memiliki banyak sekali macam
indentor yang digunakan dalam pengujiannya. Terdapat 3 jenis indentor
yang biasa digunakan, yakni HRA, HRB, HRC. Kode HR berarti
Hardness Rockwell sedangkan huruf yang berada di belakangnya memiliki
makna sebagai grade dari indentor yang digunakan dalam pengujian ini.
Pada praktikum kali ini digunakan uji kekerasan dengan indentasi
menggunakan metode Rockwell. Indentor yang digunakan adalah indentor
dengan grade B, yakni suatu bola baja dengan ukuran 1/16 inch.
Dari praktikum ini dapat diketahui bahwa nilai kekerasan dari
material AISI 1045 yang telah diberi perlakuan panas yang berbeda
memiliki nilai kekerasan yang berbeda pula. Menurut Purwanto, material
logam yang diberi perlakuan panas yang berbeda akan memiliki kekerasan
yang berbeda pula. Material yang diberi perlakuan berupa annealing akan
memiliki nilai kekerasan yang lebih kecil. Sedangkan material yang di
quenching akan memiliki nilai kekerasan yang lebih besar dan material
yang di normalizing akan memiliki nilai kekerasan yang berada diantara
keduanya. Pada percobaan kali ini sesuai dengan literatur dimana material
yang diberi perlakuan berupa quenching memiliki nilai kekerasan sebesar
211,98 VHN. Pada material yang di normalizing memiliki nilai sebesar
198,35 VHN dan pada material yang di annealing memiliki nilai sebesar
20

162 VHN. Berdasarkan nilai kekerasan yang telah diketahui, dapat dibuat
diagram garis yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.
250

200

150

100

50

0
Annealing Normalizing Quenching

Gambar 4.1 Diagram Garis Besar Nilai Kekerasan AISI 1045 dengan Perlakuan
Panas yang Berbeda

Dari grafik diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa nilai kekerasan


dari suatu material akan semakin besar apabila laju pendinginannya
semakin cepat. Cepatnya laju pendinginan ini membuat suatu material
yang sudah dipanaskan mencapai fasa austenisasi akan mengalami
perubahan fasa seperti fasa pearlite dan ferrite jika spesimen dilakukan
annealing. Jika spesimen diberi perlakuan normalizing, maka akan
memiliki fasa bainite. Sedangkan pada spesimen yang di quenching akan
memiliki fasa martensite. Fasa-fasa tersebut dapat dilihat pada Gambar
4.2, Gambar 4.3, Gambar 4.4, dan Gambar 4.5.

Gambar 4.2 Gambar Fasa Pealite (Vander Voort, 1999)


21

Gambar 4.3 Gambar Fasa Ferrite (Vander Voort, 1999)

Gambar 4.4 Gambar Fasa Bainite (Vander Voort, 1999)

Gambar 4.5 Gambar Fasa Martensite (Vander Voort, 1999)


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari percobaan heat treatment dan uji kekerasan pada kali ini, dapat
diketahui bahwa:
1. Nilai kekerasan vickers pada spesimen yang di quenching sebesar 211,
98 VHN, spesimen yang di normalizing sebesar 198,35 VHN, dan
spesimen yang di annealing sebesar 162 VHN.
2. Spesimen yang diberikan perlakuan berupa laju pendinginan yang cepat
lebih keras dibandingkan yang lambat.
5.2 Saran
Dari percobaan ini, saran yang dapat dibagikan ialah
1. Pada saat proses quenching, pastikan spesimen sudah terjepit dengan
benar pada tang penjepit.
2.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Pramono., “Jurnal Ilmiah Teknik Mesin”, Karakteristik Mekanik Proses


Hardening Baja AISI 1045 Media Quenching untuk Aplikasi Sprochet
Rantai, vol. 5, hal. 32-38, April. 2011.
Avner, S. H., Introduction to Physical Metallurgy, McGraw-Hill Education. India,
1964.
Charles G. Salmon dan John E. Johnson., Struktur Baja, Design dan Perilaku.
Jakarta: Airlangga, 1990.
George F. Vander Voort., Metallography, Principles, and Practice. USA: ASM
International, 1999.
Indra Irwana., Pembuatan dan Analisa Kekerasan dan Struktur Mikro Logam
Paduan Aluminium dengan Aditif 6 Fe – 1 Ni (% Berat). Tangerang
Selatan: Universitas Pamulang, 2018.
Novi Tri Nugraheni, dkk., Uji Kekerasan Material dengan Metode Rockwell.
Surabaya: Universitas Airlangga, 2014.
Purwanto, dkk., Perlakuan Bahan. Malang: Polinema Press, 2016.
Thamrin Nasution., Struktur Baja 1. Medan: ITM, 2011.
LAMPIRAN A
CONTOH PERHITUNGAN
26

Lampiran A. Contoh Perhitungan


 Average hardness
a. Quenching
96+94+96
= 95,33
3
b. Normalizing
92+93+93
= 92,67
3
c. Annealing
83+85+84
= 84
3
 Vickers hardness (VHN)
a. Quenching
x- x 1 y- y1
=
x2 - x1 y2- y1
95,33-95 y-210
=
9 6 -9 5 216- 210
0,33 y-210
=
1 6
6 (0,33) = y-210
1,98+210 = y
y = 211,98
b. Normalizing
x- x 1 y- y1
=
x2 - x1 y2- y1
92,67-92 y-195
=
93-92 200-195
0,67 y-195
=
1 5
5 (0, 67 ) = y-195
3, 35+ 195 = y
y = 198,35
LAMPIRAN B
JAWABAN PERTANYAAN DAN TUGAS KHUSUS
28

Lampiran B. Jawaban Pertanyaan dan Tugas Khusus


B.1 Jawaban Pertanyaan
1. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pengujian mekanik! (minimal 3)
Jawab:
a. Tensile test, merupakan suatu pengujian yang dilakukan dengan cara
menarik suatu material hingga putus. Material yang diuji pada uji tarik
akan diberi beban tarik yang bertambah secara kontinyu serta
pengamatan terhadap perilaku bahan selama proses pembebanan.
b. Impact test, merupakan suatu pengujian yang dilakukan dengan cara
menumbuk benda uji dengan pendulum hingga mengalami patahan.
Terdapat 2 metode yang berbeda yang dilakukan jika dilihat dari
peletakkan spesimen. Metode yang pertama adalah metode charpy
dimana spesimen diletakkan secara horizontal dan biasanya digunakan
di Amerika. Sedangkan metode yang satunya lagi adalah metode izod
dimana spesimen diletakkan secara vertikal dan biasanya dilakukan di
negara-negara eropa.
c. Uji kekerasan dengan cara penekanan atau indentation test. Terdapat 3
metode yang digunakan dalam pengujian ini, yakni metode brinell,
vickers, dan rockwell.

2. Jelaskan perbedaan penggunaan dari diagram Fe3C dan diagram TTT


untuk kesetimbangan fasa!
Jawab:
Diagram Fe3C berguna untuk memahami struktur mikro dan sifat-sifat baja
karbon. Sedangkan diagram TTT digunakan untuk mengetahui kapan
transformasi pada logam dimulai dan berakhir saat diberikan perlakuan
panas yang isothermal sebelum menjadi campuran austenite.

3. Jelaskan reaksi peritectic, eutectic, dan eutectoid pada diagram Fe3C!


Jawab:
a. Reaksi peritektik terjadi pada temperatur 1495oC dimana logam dalam
29

fasa liquid dengan kandungan 0,53% C bergabung dengan fasa δ


kandungan 0,09% C bertransformasi menjadi austenite dengan
kandungan 0,17% C. Delta (δ) adalah fasa padat pada temperatur
tinggi dan kurang berarti untuk proses perlakuan panas yang
berlangsung pada temperatur yang lebih rendah.
b. Reaksi eutektik adalah reaksi yang terjadi pada temperatur 1148oC.
Dalam hal ini, logam cair dengan kandungan 4,3% membentuk fasa
austenite dengan 2% C dan senyawa cementite yang mengandung
6,67% C
c. Reaksi eutektoid adalah reaksi yang berlangsung pada temperatur
723oC, austenite padat dengan kandungan 0,8% C menghasilkan ferit
(α) dengan kandungan 0,025% C dan cementite (Fe3C) yang
mengandung 6,67% C.

4. Jelaskan mengenai diagram TTT dan diagram CCT serta hubungannya


dengan proses heat treatment!
Jawab:
Diagram TTT atau Time, Temperature, and Transformation adalah sebuah
diagram yang menggambarkan pengaruh suhu dan laju pendinginan
terhadap struktur mikro pada logam dimana diagram ini memberitahukan
kapan transformasi dimulai dan berakhir pada perlakuan panas yang
isothermal. Sedangkan diagram CCT (Continuous Cooling
Transformation) adalah suatu diagram yang menggambarkan hubungan
antara laju pendinginan kontinyu dengan fasa atau struktur yang terbentuk
setelah terjadinya transformasi fasa.

5. Sebutkan dan jelaskan jenis fasa yang dapat terbentuk pada baja beserta
gambarnya!
Jawab:
Jenis-jenis fasa yang terbentuk pada baja, yaitu ferrite (besi α) merupakan
suatu komposisi logam yang mempunyai batas maksimum kelarutan
30

karbon 0,025% C pada temperatur 723oC struktur kristal BCC dan pada
temperatur kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,008%. Kemudian
pearlite merupakan eutectoid mixture dari ferrite dan cementite (α + Fe3C)
terjadi pada temperatur 723oC, mengandung 0,8% karbon. Lalu ada
cementite (besi karbida) merupakan suatu senyawa ang terdiri dari unsur
Fe dan C dengan perbandingan tertentu dan struktur kristalnya
orthorhombic. Austenite (besi γ ) termasuk juga karena merupakan suatu
larutan padat yang mempunyai batas maksimum kelarutan karbon 2,11% C
pada temperatur 1148oC, struktur kristal FCC. Selanjutnya, ledeburite
merupakan campuran eutectic antara besi gamma dengan cementite yang
dibentuk pada temperatur 1130oC dengan kandungan karbon 4,3% terakhir
yaitu bainite merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi pendinginan
yang sangat cepat pada fasa austenite ke temperatur antara 250-550oC dan
ditahan pada suhu tersebut (isothermal). Bainite adalah strukur mikro dari
reaksi eutectoid (γ ⇾ α + Fe3C) non lamellar.

Gambar B.1 Diagram Fasa Fe-Fe3C

6. Mengapa pada proses heat treatment perlu dilakukan proses hingga


mencapai austenisasi?
Jawab:
Proses austenisasi merupakan proses memanaskan baja di atas suhu
31

kritisnya dan ditahan untuk jangka waktu tertentu agar transformasi dapat
terjadi. Hal ini bertujuan agar mendapatkan struktur austenite yang
homogen. Kesetimbangan kadar karbon austenite akan bertambah dengan
naiknya suhu austenisasi, hal ini mempengaruhi karakteristik isothermal
pada baja. Pada proses ini atom-atom karbon akan larut interstisi pada
struktur FCC pada permukaan baja sampai pada kedalaman tertentu.
Masuknya atom – atom karbon (C) secara interstisi ke dalam struktur
kristal logam pada temperatur austenite disebut proses difusi. Selain itu,
proses perlakuan panas selalu diawali dengan transformasi dekomposisi
austenite menjadi struktur mikro yang lain. Hal tersebut dimaksudkan
untuk memperoleh sifat mekanik dan fisik yang diperlukan.

7. Bagaimana mekanisme austenite sisa dapat terbentuk serta pengaruhnya


terhadap kekerasan!
Jawab:
Austenite sisa dapat terbentuk karena pendinginan yang cepat atau tidak
sempurna. Untuk fenomena ini, austenite tidak semuanya bertransformasi
menjadi fasa martensite. Austenite sisa dapat menurunkan kekerasan pada
baja secara keseluruhan dan meningkatkan kerapuhan. Oleh karena itu
austenite sisa perlu dihilangkan yang salah satu caranya adalah dengan
tempering.

8. Jelaskan proses terbentuknya fasa martensite pada proses heat treatment!


Jawab:
Baja yang telah dipanaskan hingga mencapai fasa austenite sekitar
temperatur 900oC kemuadian didinginkan secara cepat hingga temperatur
ruang pada waktu sekitar 5 sampai 10 detik maka akan menghasilkan fasa
martensite. Perubahan fasa yang terjadi dari austenite menjadi martensite
pada waktu yang sangat singkat dapat dilihat pada diagram TTT yang
menjelaskan hubungan antara waktu, temperatur dan hasil akhir fasa yang
terbentuk. Martensite akan diperoleh pada setiap kecepatan pendinginan
32

yang sedemikian rupa tidak memotong diagram tersebut. Kecepatan


pendinginan yang terendah untuk menghasilkan martensite (menyinggung
nose) disebut kecepatan pendinginan kritis (critical cooling rates).

9. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kekerasan material!


Jawab:
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekerasan material yaitu
yang pertama penambahan kadar karbon sangat mempengaruhi kekerasan,
dimana dengan meningkatnya kadar karbon maka kekerasannya semakin
meningkat pula dan unsur-unsur paduan logam juga berpengaruh dalam
sifat kekerasan logam. Lalu ukuran butir, dengan bentuk butiran yang kecil
maka menyebabkan tingkat kekerasan material lebih sehingga ikatan antar
butirnya lebih kuat sedangkan dengan bentuk butiran yang lebih besar
akan menyebabkan tingkat kekerasan material lebih rendah sehingga
ikatan antar butiran kurang kuat. Kecepatan pendinginan pun
mempengaruhi karena apabila logam dipanaskan lalu didinginkan secara
cepat maka kekerasan logam tersebut akan semakin meningkat karena
banyaknya martensite yang terbentuk pada material. Kemudian media
pendingin, setiap media yang digunakan akan menghasilkan kekerasan
yang berbeda karena semakin tinggi viskositas/kekentalan maka semakin
lambat proses pendinginannya sehingga semakin berkurang sifat
kemampuan kerasnya dan semakin encer medianya maka semakin cepat
waktu pendinginannya. Selain itu, suhu berpengaruh karena saat material
dipanaskan maka atom-atom penyusun material tersebut akan bergetar
karena mendapatkan energi dari kenaikan temperatur sehingga akan
menyebabkan keuletan material tersebut meningkat karena terjadi
perubahan ukuran dari butir akibat getaran atom.

B.2 Tugas Khusus


1. Hitung kelarutan karbon dalam baja!
Jawab:
33

Baja karbon merupakan salah satu jenis baja paduan yang terdiri atas unsur
besi (Fe) dan karbon (C). Dimana besi merupakan unsur dasar dan karbon
sebagai unsur paduan utamanya. Dalam proses pembuatan baja akan
ditemukan pula penambahan kandungan unsur kimia lain seperti sulfur
(S), fosfor (P), slikon (Si), mangan (Mn) dan unsur kimia lainnya sesuai
dengan sifat baja yang diinginkan. Baja karbon memiliki kandungan unsur
karbon dalam besi sebesar 0,2% hingga 2,14%, dimana kandungan karbon
tersebut berfungsi sebagai unsur pengeras dalam struktur baja. Baja karbon
dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah persentase komposisi kimia
karbon dalam baja. Pada baja karbon rendah (low carbon steel) merupakan
baja dengan kandungan unsur karbon dalam sturktur baja kurang dari
0,3% C. Baja karbon rendah ini memiliki ketangguhan dan keuletan tinggi
akan tetapi memiliki sifat kekerasan dan ketahanan aus yang rendah.
Selanjutnya yaitu baja karbon sedang (medium carbon steel) merupakan
baja karbon dengan persentase kandungan karbon pada besi sebesar 0,3%
C – 0,59% C. Baja karbon sedang memiliki sifat mekanis yang lebih kuat
dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pada baja karbon rendah.
Kemudian, baja karbon tinggi (high carbon steel) adalah baja karbon yang
memiliki kandungan karbon sebesar 0,6% C – 1,4% C. Baja karbon tinggi
memiliki sifat tahan panas, kekerasan serta kekuatan tarik yang sangat
tinggi akan tetapi memiliki keuletan yang lebih rendah sehingga baja
karbon ini menjadi lebih getas (Avner, 1964).

2. Sebutkan dan jelaskan pengaruh unsur paduan baja terhadap sifat


mekaniknya!
Jawab:
a. Karbon, dapat meningkatkan kekerasan, kekuatan, kekuatan tarik, dan
melting point.
b. Silikon, dapat menambah kekerasan, sifat kemagnetan dan kelistrikan,
serta tahan terhadap oksidasi.
c. Mangan, dapat meningkatkan kekerasan.
34

d. Fosfor, dapat meningkatkan kekuatan, tahan terhadap korosi, dan


machinability.
e. Aluminium, akan bertindak sebagai deoxidizer dan menghasilkan
ukuran butir fine austenite.
f. Tembaga (Copper), meningkatkan ketahanan terhadap korosi
lingkungan dan meningkatkan yield point.
g. Nikel, meningkatkan kekuatan dan ketangguhan.
h. Seng, meningkatkan ketahanan terhadap korosi.
i. Sulfur, meningkatkan kekerasan.
j. Krom, meningkatkan kuat tarik, fatigue strength, kekerasan, dan wear
resistance.
k. Kobalt, meningkatkan heat resistance, kuat tarik, fatigue strength, dan
kekerasan.
l. Tugsten, meningkatkan kekerasan dan wear resistance.
m. Vanadium, meningkatkan kekerasan.

3. Sebutkan dan jelaskan sifat mekanik logam!


Jawab:
a. Kekerasan, kemampuan suatu material untuk menahan goresan.
b. Kekuatan, kemampuan suatu material untuk menahan energi yang
diberikan
c. Ketangguhan, kemampuan suatu material untuk menyerap energi yang
diberikan
d. Kegetasan, sifat dari logam yang apabila diberi energi yang melebihi
batasnya, dia akan mengalami patahan tanpa terdeformasi plastis.
e. Keuletan, sifat dari logam yang apabila diberi energi yang melebihi
batasnya, dia akan mengalami patahan dengan secara terdeformasi
plastis.
f. Elastisitas, kemampuan suatu logam untuk kembali ke bentuknya
semula.
g. Plastisitas, kemampuan suatu logam untuk mengalami deformasi
35

plastis.
h. Kekakuan, kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi).

4. Sebutkan fasa-fasa yang ada pada diagram TTT!


Jawab:
Fasa-fasa yang terdapat pada diagram TTT ada 3, yaitu fasa pearlite,
bainite, dan martensite dimana fasa-fasa ini terbentuk dari perlakuan panas
dan laju pendinginan yang berbeda.
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT DAN BAHAN
28

Lampiran C. Gambar Alat dan Bahan

Gambar C.1 Tang Penjepit Gambar C.2 Sarung Tangan

Gambar C.3 Muffle Furnance Gambar C.4 Apron

Gambar C.5 Face Shield Gambar C.6 Baja Aisi 1045


LAMPIRAN D
BLANGKO PERCOBAAN

Anda mungkin juga menyukai