Anda di halaman 1dari 17

------------------------------------------------------------------------------------------------

PETUNJUK PENGERJAAN TUGAS:


• Tugas ini dikerjakan sebagai tugas individual, sebagai bagian komponen evaluasi
hasil akhir perkuliahan
• Kerjakan sesuai urutan nomor dengan mengikuti rambu-rambu petunjuk jawaban
• Boleh menambah referensi jika diperlukan
• Tulis referensi yang digunakan dalam daftar pustaka tersendiri
• Tugas diketik rapi berjarak 1,5 ukuran font 12 /Time New Roman/ Arial.

BAGIAN I. PEMAHAMAN TENTANG FILSAFAT- ILMU


 Ciri-ciri Filsafat dan Ilmu
1. Ciri filsafat : esensial, komprehensif, normative
a. Essensial :
Esesial merupakan inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti aliran,
mazhab atau paham. Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan
juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan
mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau
hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu.
Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada
generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karena itu
Esensialisme tergolong tradisionalisme. Ciri-ciri filsafat esensial yang
disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut:
1). Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya
belajar awal yang memikat atau menarik perhatian.
2). Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan
yang khusus pada spesies manusia.
3). Kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut.
4). Ciri essensial menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan.
b. Komperhensif/menyeluruh: berusaha memberikan penjelasan secara
keseluruhan mengenai kebenaran dan harus dinyatakan dalam bentuk paling
umum. Pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Keseluruhan
merupakan lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik
artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme
(kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu
dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka
manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan
tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan
sebuah eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena
manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia
dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-
perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan
kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh)
yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat
berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang
berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa
manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan
hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan
ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh (Katsoff,
2004:12).
c. Normatif, sebagai ciri yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan
yang tidak hanya diperoleh dari pengalaman dan praktek mendidikan, namun
juga didapat dari sumber normatif yaitu norma masyarakat, norma filsafat
(pandangan hidup seseorang atau masyarakat) keyakinan beragama atau rasa
spirit keagamaan yang dianutnya. Ciri normatif adalah memberikan aturan-
aturan terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupanya sehari-hari. Aturan-
aturan tersebut mencakup etika, norma agama, dan lain sebagainya yang jelas
mengatur tentang tingkah laku manusia dalam kehidupanya. Sesuatu yang
normatif berarti berbicara tentang baik-buruknya perilaku manusia. Ilmu
pendidikan merumuskan peraturan-peraturan terhadap tingkah laku manusia
untuk mencapai keteraturan hidup, karena keteraturan hidup akan menjamin
kelangsungan keeratan (kohesi) hubungan antar manusia (hubungan sosial
manusia).

d. Berakar, seluruh definisi atau penjelasan harus memiliki akar atau dasar yang
kuat agar dapat membicarakan fakta dengan kuat. (Katsoff, 2004:13)
e. Koheren/runtut, suatu perenungan filsafat tidak boleh mengandung
pernyataan bertentangan karena berusaha memperoleh jawaban yang mudah
dipahami namun tetap terbukti kebenarannya. (Katsoff, 2004:8-9)
f. Rasional, seluruh konsep dalam filsafat disusun secara rasonal dengan bagian-
bagian yang berhubungan secara logis. (Katsoff, 2004:10-11)

2. Ilmu : eksperimental, spesifik, factual


a. Eksperimental
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif, tujuannya untuk
menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan
yang diperoleh dengan ilmu, diperoleh melalui observasi, eksperimen,
klasifikasi dan analisis. Ilmu itu objektif dan mengesampingkan unsur pribadi,
pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu
yang bersifat pribadi, karena dimulai dengan fakta, ilmu merupakan milik
manusia
secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap
dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan
waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindera manusia.
b. Spesifik
Ilmu merupakan pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara spesifik dan sistematis. Ciri spesifik ilmu menunjukkan bahwa ilmu
merupakan berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan tersebut mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan
yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya
suatu azas tata tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok
permasalahan.
c. Faktual
Faktual, artinya ilmu tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap
apa yang ditelaannya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi
sepengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena,
menurut mereka ilmu sebagai sebuah hasil budaya manusia, selalu bertautan
atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan
atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus bertanggungjawab
d. Instrumental
Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana
tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu, dalam hal ini sukar namun, juga
amat muda dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk
melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-
ide baru.
e. Objektif, menerima fakta apa adanya dan tidak bergantung dari suatu
pertimbangan subjek dann tertebas dari bias.
f. Verifikatif, berdasar pada data indra yang dapat terbukti dari pengamatan
factual sehingga mampu mengakurasi fenomena dari pengamatan
g. Bebas nilai, bebas dari nial-nilai yang melekat dari masyarakat dan tidak
boleh mendistorsi dari keutuhan pengetahuan tersebut.
(Puja Mondal dalam https://www.yourarticlelibrary.com/science/top-9-main-
characteristics-of-science-explained/35060 )

• Hubungan Filsafat dan Ilmu


Filsafat dan ilmu memiliki keterkaitan timbal balik dengan filsafat berusaha untuk
berbicara mengenai ilmu namun bukan apa yang ada di dalam ilmu tersebut. Filsafat
menjawab pertanyaan pokok dan memperhatikan hasil-hasil dari ilmu, sedangkan
ilmu berusaha menyingkap rahasia alam harus menggunakan filsafat (Katsoff,
2004:102-104).
Pada ciri-ciri ilmu dan filsafat terdapat kelemahanyang dapat dibantu dengan berbagai
pendekatan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Kelemahan dalam ciri ilmu
eksperimental dapat dibantu oleh pendekatan esensial dalam filsafat, kelemahan
spesifik akan dibantu oleh pendekatan komprehensif dalam filsafat.
Pada ciri rasionalisme mempunyai kelebihan mampu menyusun sistem – sistem
kefilsafatan yang berasal dari manusia, namun doktrin – doktrin filsafat rasio
cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya
berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek –
objek rasional secara peka. Cara memahami objek di luar cakupan rasionalitas
sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai
permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem –
sistem filosofis yang subjektif tersebut. Pada ciri empirisme, mempunyai kelebihan
pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris
mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, namun keterbatasan indera dapat
mengelabui ilmu. Ciri positivisme, mempunyai manusia dapat kehilangan makna,
seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu
tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan, berhenti pada sesuatu
yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
Prakmatisme mempunyai kelebihan membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi
ilmu pengetahuan maupun teknologi, namum prakmatif seringkali mengutamakan
kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam
ini menjurus kepada ateisme.

• Tujuan Filsafat Ilmu dan Etika Penelitian


1. Mengkaji dan memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dari
ilmu dan perkembangan penelitian dari persoalan dasar atau kerangka eksistensi
ilmu (ontology, epistemology, aksiologi)
2. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, agar ilmuan lebih
kritis dan cermat dalam melakukan kegiatan ilmiah dan terhindar dari sikap
subjektif. Maksudnya seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap
bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik,
menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar.
3. Filsafat ilmu memberikan penalaran logis-historis, dengan metode yang ada
harus dapat dipertanggunjawabkan validitasnya secara logis-rasinal dan memiliki
sejarah dalam pertumbuhannya. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus
dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan
dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode
ilmiah, maka semakin valid metode tersebut.
4. Mendorong pada calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami
ilmu dan mengembangkannya

(Suryaningrum, 2020 diambil dari


https://www.researchgate.net/publication/347441378_Manfaat_Filsafat_Ilmu).
• Urgensi Filsafat ilmu bagi seorang ilmuwan, professional
Pemikiran ilmiah diperlukan oleh ilmuwwan dan professional, kemampuan mengolah,
mengkritisi dalam pola penalaran yang logis untuk membangun dunia keilmuannya
yang khas. Ilmuwan dan professional terarah sepernuhnya untuk mengerjakan pikiran-
pikiran keilmuannya, baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara luas maupun
untuk penerapan dalam memecahkan permasalahan kehidupan di dalam
lingkungannya. Epistemik atau pertumbuhan pemikiran dapat menghasilkan
pengetahuan khusus (special knowledge) yang disebut pengetahuan keilmuan atau
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Sehingga hal penting dalam urgensi
filsafat ilmu pada ilmuwan dan professional dapat disebutkan juga sebagai berikut:
1. Dalam melakukan riset ilmiah : meletakkan kerangka eksistensi ilmu sebagai basis
pengembangan ilmu pengetahua dan teknologi.
2. Ilmu yang berkembang harus secara otonom dan tertutup sehingga kontak terbatas
dan tidak terpengaruh oleh campur tangan subjektif dan latar pelakang peneliti.
3. Ilmu harus dapat lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi namun
juga justifikasi sehingga ilmu dapat meresapi dan saling memberikan pengaruh
terhadap peradaban manusia.
4. Dasar metodologi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga tidak hanya
dibatasi dalam konteks justifikasi namun juga heuristik.
(Rofiq, M. (2018). Peranan Filsafat Ilmu Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
FALASIFA : Jurnal Studi Keislaman, 9(1), 161-175.
https://doi.org/10.36835/falasifa.v9i1.112)
• Kaitan Filsafat Ilmu dengan Metodologi Penelitian Ilmiah
Filsafat ilmu yang merupakan interaksi anatara ilmu dan filsafat mengandung arti
bahwa filsafat saat ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.
Dan juga sebaliknya, ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih
kreatif dan inovatif. Dapat dijelaskan kaitannya sebagai berikut:
1. Meletakkan basis ontologis sebagai landasan konseptual
Ontologi sebagai teori hakekat suatu konseptual, teori konseptual ini sangat luas,
segala yang ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan
nilai (yang di carinya ialah konsep penegetahuan dan konsep nilai). Didalam
ontologi membahas dua bidang yaitu:
a. Kosmologi membicarakan hakekat asal, hakekat susunan, hakekat berada, juga
hakekat tujuan.
b. Metafisik atau antropologi secara etimologis berarti dibalik atau dibelakang
fisika artinya ia ingin mengerti atau mengetahui apa yang ada dibalik dari
alam ini atau suatu yang tidak Nampak.
Jadi kosmologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki hakekat asal, susunan,
tujuan alam besar, yang dibicarakan didalam cabang ini misalnya hakekat kosmos,
bagaimana caranya ia menjadi (how daes it come to being).
2. Meletakkan basis epistemologis sebagai landasan metodologis
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara
memperoleh pengetahuan. atau suatu cabang filsafat yang membahas sumber,
proses, syarat, batas dan validitas dan hakekat pengetahuan. Sistematika dan
logika sangat berperan dalam epistemologi demikian pula metode-metode berfikir
dalam metodologis penelitian seperti deduktif dan induktif. Epistemologi
disampaikan bahwa bila ontology memahami sesuatu adalah tunggal maka cara
memperoleh kebenarannya dengan menggunakan jenis penelitian kuantitatif, akan
tetapi bila ontologynya memahami sesuatu secara jamak, maka digunakan jenis
penelitian kualitatif.
3. Meletakkan basis aksiologis sebagai landasan pertimbangan nilai (nilai etik, moral
dan agama)
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki nilai-nilai (value),
tindakan moral melahirkan nilai etika, ekspresi keindahan yang melahirkan nilai
esthetika dan kehidupan sosial yang menjelaskan apa yang di anggap baik dalam
tingkah laku manusia, apa yang di maksud indah dalam seni. Demikian pula
apakah yang benar dan diinginkan didalam organisasi sosial kemasyarakatan dan
kenegaraan. Dalam aksiologi ini di pengaruhi oleh ontology yang digunakan,
ontology yang memahami sesuatu itu tunggal, penelitiannya jenis kuantitatif,
maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai, sedangkan
ontology yang memahami sesuatu itu jamak dan penelitiannya jenis kualitatif. lmu
yang di hasilkan disebut ideografik dan bermuatan nilai.
Didalam menjalankan fungsinya metodologi menggunakan cara dan di buktikan
kebenarannya adalah metode ilmiah. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode ini secara filsafati
termasuk dalam apa yang di namakan epistemologi. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapat pengetahuan, apakah sumber-
sumber pengetahuan? apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan?
apakah manusia di mungkinkan untuk mendapat pengetahuan? sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk di tangkap manusia. Metode ilmiah merupakan
bagian dari metodologi ilmiah, bahwa filsafat Ilmu dan metodologi penelitian
mempunyai kedudukan yang sama dalam cabang filsafat yaitu masuk dalam golongan
epistemologi. Metodologi bisa juga diartikan Ilmu yang membahas konsep berbagai
metode, apa kelebihan dan kekurangan dari suatu, kemudian bagaimana seseorang
memilih suatu metode. Sedangkan penelitian bertujuan menghimpun data yang akurat
yang kemudian diproses sehingga menemukan kebenaran atau teori atau Ilmu dan
mungkin pula mengembangkan kebenaran terdahulu atau menguji kebenaran tersebut.
Jadi metode ilmiah untuk memperoleh Ilmu pengetahuan yang benar di perlukan cara-
cara yang benar pula. Menurut para pakar, mencari kebenaran, cara-cara memperoleh
kebenaran ilmiah diebut metode ilmiah, yang terdiri mencari masalah, menentukan
hipotesis, menghimpun data, menguji hipotesis, prinsip ini berlaku untuk untuk semua
sains oprasionalisasi, metode ilmiah itu dilakukan bidang studi metodologi penelitian.
dari sini tampak dengan jelas hubugan antara filsafat Ilmu dengan metodologi
penelitian.

BAGIAN II. PEMAHAMAN KERANGKA EKSISTENSI ILMU


1. Arah pemikiran filosofis - membangun kerangka eksistensi ilmu :
Kajian pemikiran filosofis dapat menemukan atau menggali persoalan-persoalan
kerangka eksistensi ilmu dan pembuktian dari masing-masing pemikiran (pelajari
PPT)
o Pemikiran esensial - Kerangka Ontologis,
Pembuktian : orientasi pada pemikiran hakikat ilmu (mencerdaskan,
mensejahterakan, memartabatkan). Ketiganya merupakan hakikat atau esensi
ontologis yang berfungsi sebagai pegangan atau pijakan dalam kegiatan riset
maupun praktik profesi.
o Pemikiran komprehensif - Kerangka Epistemologis,
Karena berpikir komprehensif dapat melihat suatu masalah dari berbagai
aspek atau sudut permasalahan yang bertujuan untuk menangkap
permasalahan secara utuh. Sehingga dapat ditentukan metode atau cara
penyelesaian permasalahan secara tepat dan tuntas tidak menyisakan masalah
atau tidak menimbulkan permasalahan baru.
o Pemikiran normative - Kerangka Aksiologis
Pembuktian : mempertimbangkan aspek nilai atau mempertimbangkan apa
yang seharusnya dari fakta yang ada. Pemikiran normative menempatkan
permasalahan dalam konteks sistim nilai yang berlaku di lingkungan
masyarakat tempat ilmu akan diterapkan. Sehingga masyarakat akan
menerima kebenaran-kebenaran ilmiah atau temuan-temuan teknologi yang
bersifat factual, empiric yang dapat mengadaptasikan nilai-nilai yang berlaku.
Berpikir filosofis  membangun kerangka eksistensi ilmu yang harus
dipegang oleh seorang ilmuwan atau professional.
Jika pengembangan ilmu bergeser dari kerangka atau eksistensi ilmu, maka
akan menimbulkan akibat-akibat yang menjauh dari hakikat ilmu – iptek tidak
mencerdaskan (aspek ontologis). Fenomena hoax, teknologi bisnis fiktif,
kejahatan virtual??? (mungkin kejahatan teknologi). Pengembangan IPTEK
tidak menggunakan cara-cara atau metode-metode yang selektif yang dapat
mendukung kepentingan hakiki manusia (aspek epistemology). Teknologi
“mendikte atau memaksa” manusia, teknologi mendahului kebutuhan
manusia, sehingga manusia terpasung oleh kemajuan teknologi, perubahan
pola pikir manusia. Pengembangan IPTEK tidak memiliki arah tujuan yang
jelas dalam mendukung kepentingan manusia (aspek aksiologi), sehingga
terjadi sekuralisasi (mendewakan teknologi sebagai norma yang dapat
mengatasi permasalahan sehingga dapat menggeser peran etika, moral),
singularisasi (orang pada sibuk sendiri dengan gadget, kurangnya dialog antar
sesame), dan kehidupan bermasyarakat semakin kering dari spiritualitas nilai.
2. Pengembangan ilmu, riset, praktik profesi harus berbasis pada kerangka eksistensi
ilmu
Hal ini dikarenakan agar ilmu, riset dan praktik profesi tetap objektif tanpa ada
campur tangan subjektif atau latar belakang dari ilmuan dalam melakukan riset
dan praktik keilmuan. Selain itu, eksistensi keilmuan dapat menghindarkan
dari mitos dan kepercayaan peneliti dalam mencapai tahap akhir penelitian.
3. Berbagai konsekuensi dari pengembangan ilmu yang mengabaikan kerangka
eksistensi ilmu. (terjawab pada penjelasan diatas)
4. Ilmuwan dan tanggungjawabnya.
Ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan membawa risiko tanggung jawab secara
individual terhadap masyarakat. Karena setiap praktik keilmuan membawa akibat
bagi lingkungan (lingkungan alam, lingkungan social). Sehingga semakin tinggi
kompetensi ilmuwan semakin besar tanggung jawabnya.

BAGIAN III. SIFAT DASAR PENGETAHUAN ILMIAH (Buku Living Issues ….


halaman awal)
1. Menurut pandangan subjektivisme dan objektivisme
Dua aliran filsafat yang menjelaskan sifat dasar ilmiah :
 Subjektivisme  Adalah posisi yang berpendapat bahwa semua penilaian
fakta atau nilai mencerimkan keadaan pemikiran seorang individu dengan keadaan
validitas benar dan salah tidak lepas dari interpretasi individu. Dapat juga
diartikan sebagai citra baik yang dirujuk oleh proposisi etis dengan refleksi atau
penilaian pribadi. Subjektivisme berpendapat bahwa semua harus merujuk
preferensi pribadi atau budaya.
 Objektivisme  adalah posisi penilaian ditetapkan benar atau salah telah
terlepas dari perasaan, kepercayaan dan pengalaman pribadi. Sehingga
objektivisme berpedapat bahwa sudah tidak lagi ada campur tangan pribadi dan
budaya dalam mencari kebenaran, semua fakta dan data telah terbukti dan
dibuktikan secara metode.
(Rønnow-Rasmussen, T. (2003). Subjectivism and objectivism. In Patterns of
Value; Essays on Formal Axiology and Value Analysis. Department of
Philosophy, Lund University.)
2. Pandangan umum: Rasional, logis, objektif, metodologis, empiris, sistematis
Rasional  pengetahuan ilmiah menggunakan rasio atau akal melalui proses logis
Logis  cara kerja dalam ilmu konsisten atau melalui proses berpikir yang
konsisten atau logis
Objektif  kebenaran ilmu memiliki dasar empiric
Metodologis  cara kerja ilmu menggunakan metode yang selektif
Empiris  setiap kebenaran ilmiah diperoleh melalui langkah-langkah
eksperimental (laboratorium, praktik lapangan)
Sistematis  pengetahuan ilmiah tersusun atas dasar bagian-bagian yang
terintegrasi, memiliki tahapan langkah yang jelas, dan target tujuan yang jelas

BAGIAN IV. VALIDITAS PENGETAHUAN ILMIAH (Validitas : keabsahan kebenaran


ilmiah  wujud, ukuran, dsb?) (Buku Living Issues ….. )
a. Tre Test of Truth : (standart dalam menjelaskan kebenaran ilmiah)
1. Coherence Theory / teori logis : kebenaran terukur sejauh mana hasil dari proses
berpikir runtut atau logis.) Contoh : logika matematik.
Merupakan teori yang didasari pada analisa kriteria koheren atau konsistensi
sehingga suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila sesuai dengan
pernyataan yang berhubungan secara logis atau penyataan terdahul sudah
diketahui, diterima dandiakui kebenarannya.
Keutamaan : menuntut seseorang untuk berpikir sistematis, sehingga
memudahkan orang lain untuk memahami jalan, isi pemikirannya.
Kelemahan : kurang memiliki dasar-dasar empiric. Pernyataan yang tidak koheren
akan tidak termasuk kebenaran, namun tidak semua penyataan koheren tidak
merupakan kebenaran
Contoh : Kebenaran bahwa “Soekarno merupakan ayahanda Megawati”, didasari
dari penyataan logis terdahulu dan telah dibuktikan kebenaraannya yaitu,
“Soekarno memiliki seorang puteri” dan “Megawati adalah puteri Seokarno”
2. Correspondence Theory
Kebenaran terukur sejauh mana memiliki alat bukti/data empiric (jelaskan : hasil
uji laboratorium, hasil praktik atau pengamatan di lapangan)
Teori ini berpandangan bahwapenyataan akan dianggap benar apabila memiliki
kesesuaian dengan fakta aau penyataan yang dimaksud dan sering beriringan
dengan empiris pengetahuan karena terkadang merupakan teori kebenaran awal.
Keutamaan : cara kerja yang memiliki akurasi, presisi karena menggunakan
metode eksperimental, sehingga serba terukur kebenarannya
Kelemahan : teori ini baru dapat mengenali kebenaran yang bersifat kuantitatif
(belum menyentuh atau menjangkau sisi kebenaran yang bersifat kualitatif yang
justru lebih subtantif karena berupa nilai-nilai dan menjadi basis bagi kebenaran
hasil kerja eksperimental) (terkadang memberikan gambaran yang menyesatkan
dan terlalu sederhana dalam mementukan kebenaran sehingga seseorang dapat
menolak pernyataan tersebut. Sehingga terkadang teori ini sulit diterapkan di
penelitian non-empirik)
Sehingga masih ada ruang kerja yang belum terjangkau oleh pendekatan
eksperimental, maka diperlukan adanya pendekatan lain seperti sisi rasional atau
sisi etis
Contoh : Ilmu mengenai agama, tidak dapat dibuktikan secara metodologi empiric
dengan penelitian kualitiaf dan kuantitatif lapangan, tetapi lebih kepada
pemahaman dan pendalaman secara logis.
3. Pragmatic Theory – asal dari pragman
Mengukur kebenaran sejauh memberikan manfaat atau kegunaan, meletakkan asas
praktis
Keutamaan : teori kebenarannya sangat praktis atau memenuhi kebutuhan saat
diperlukan atau hadir di waktu yang tepat (timely)
Contoh : orang lapar solusi pragmatiknya diberikan sepiring nasi agar kenyang
dan sembuh dari lapar. Sehingga dikatakan salah, jika orang lapar diberi
pekerjaan.
Sehingga pendekatan dikatakan sebagai solusi yang bersifat
instan/unprocedural/unmetodological dan kurang atau tidak menyentuh akar
persoalannya. Karena tidak memiliki dasar rasional dan empiric.
Masing-masing memiliki landasan pijak yang berbeda meskipun arah tujuan sama
(menjelaskan kebenaran ilmiah)  jelaskan sikap Anda menghadapi perbedaan
ketiga teori ketika akan mendefinisikan kebenaran ilmiah.
Sikap yang harus dibangun adalah kebenaran ilmiah tidak mungkin mendasarkan
pada satu teori saja.
Kebenaran ilmiah memiliki dasar koheren, koresponden dan pragmatik.
Contoh : ilmu kesehatan dan kedokteran dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat
memberikan keamanan karena sudah teruji secara eksperimental. Sehingga
kebenaran ilmu kesehatan dan kedokteran dapat diterima oleh akal sehat dan
diterima oleh semua orang, dan dapat dipercaya membuat manusia menjadi lebih
aman, serta menyentuh sisi kemanusiaan karena membawa manfaat bagi manusia.

b. Limitations of the Scientific Method (Buku Living Issues …., dan uraikan)
Metode ilmiah dalam batas lingkup  seperti diatas (logis, empiris, dsb)
Kebenaran ilmiahnya bersifat tentative atau sementara dan sewaktu-waktu dapat
berubah atau salah.

BAGIAN V. THEOLOGY AND SCIENCE (Buku Issues in Science and Religion)


a. Contrasts Of Theology And Science
• God’s Self-Revelation versus Man’s Discovery (Neo-Orthodoxy) 
pandangan lebih moderat
Kebenaran agama bersifat kewahyuan dan menggambarkan
epistemologisnya. Manusia hanya menerima. Cara penerimaan kebenaran
melalui keyakinan. Man,s discovery (kebenaran secara ilmiah) vs
revelation,
• Subjective involvement versus Objective Detachment (Existentialism)
Kebenaran agama melibatkan subjektif secara total atau penyatuan diri
dalam meyakini kebenaran keagamaannya dan tidak terdebatkan lagi.
Implementasi dalam penelitian  harus objektif dalam pengumpulan data
• The varities of Uses of Language (Linguistic Analysis)
Bahasa agama  tematik, symbol yang perlu ditafsirkan
Hermeneutika  Hermeneutika adalah teori mengenai metode penafsiran
atau interpretasi terhadap teks dan tanda-tanda yang dianggap sebagai teks
(Palmer,1969)
Bahasa ilmiha  eksplisit dan menghindari multi tafsir
b. Parallels of Theology and Science
• Similar Attitudes in Science and Religion (Liberal Theology)
• An Inclusive metaphysical System ( Process Philosophy )
Metafisikal sistim  suatu kajian. Meta : dibalik, fisik : yang kelihatan.
Metafisika  ilmu yang mempelajari dibalik yang nampak (aspek hakikat
ilmu (lihat kembali catatan diatas)
Kontras teologi dan science  diharapkan ilmuwan dapat memposisikan atau menempatkan
nilai kebenaran science secara tepat berdampingan dengan nilai-nilai kebenaran agama.
Misalnya : dengan kesadaran aksiologis, kebenaran ilmu merupakan bagian integral dari
kebenaran agama. Kesadaran aksiologis akan menghindarkan dari sekuralisasi IPTEK dalam
kehidupan manusia. Dan sebaliknya IPTEK akan memperkuat penghayatan nilai-nilai
keagamaan.
BAGIAN VI . THE METHODES OF SCIENCE (Buku Issues in Science and Religion) 
Kaji tentang bagaimana cara kerja keilmuan, hal-hal yang terjadi ketika kita melakukan riset,
observasi, dsb)
• Experience and Interpretation in Science (pengalaman dan penafsiran
dalam ilmu)
• The Interaction of Experiment and Theory  pembuatan atau
penyusunan teori berdasarkan langkah-langkah eksperimen tertentu
Teori  konsepsi kebenaran yang telah dilakukan eksperimen-
eksperimen ilmiah tertentu, sehingga dapat dipercaya sebagai
pegangan, pijakan dan kerangka berpikir
• The Formation of Theories  penyusunan teori melalui proses
atau tahapan
Misalnya : berawal dari penemuan masalah-mencoba
megkonsepsikan hipotesis sementara-verifikasi lapangan terhadap
hipotesa (mencari titik kesesuaian dan kelayakan dari asumsi
dengan fakta)-eksperimen tahap awal-penyusunan kembali sebuah
konsepsi teoritik yang mendekati hipotesis yang layak digunakan
untuk eksperimen selanjutnya-menyusun teori (konsep kebenaran
yang teruji)
Teori dapat diverifikasi ulang maupun muncul permasalahn baru-
penelitian baru-dst.
• Criteria for Evaluating Theories  teori data dipercaya terkait
batasan sebelum ditemukan teori baru
Contoh : teori geosentrisme versus heliosentrisme (teori pusat tata
surya : bumi sebagai pusat tata surya versus matahari sebagai pusat
tata surya dan bumi mengelilingi matahari)
Bagaimana teori lama dapat menghadapi sangkalan atau falsifikasi
teori baru?
• Understanding as the Goal of Science  ilmu tidak semata-mata
mencari kebenaran, sehingga tujuan ilmu adalah proses
pemahaman atau memahami kebenaran. Ilmu tidak akan pernah
mengalami akhir dari sebuah pertanyaan. Ilmu tidak akan pernah
berhenti dalam pengembaraan intelektual. Ilmu sifatnya dinamis
• The Relation of Scientific Concept to Reality  menjelaskan teori dengan
fakta
• Theories as Summaries of Data (Positivism)  mendasarkan hal-
hal yang dapat diukur, dapat diraba. Teori merupakan ringkasan
data yang terorganisasi secara sistematik dan sangat konkrit.
Keunggulan : yang diteorikan memiliki dasar atau landasan yang
kuat
• Theories as Useful Tools (Instrumentalism)  Teori merupakan
alat yang membawa manfaat (sebagai kerangka berpikir, landasan
pijak dan sangat praktis)
• Theories as Mental Structures ( Idealism )  Teori merupakan
struktur mental atau gambaran tentang impian-impian. Teori berisi
gagasan yang ideal atau dicita-citakan.
Contoh : studi S3 merupakan bagian dari realitas yang ideal atau
merupakan bayang-bayang dari realitas kebenaran ideal
• Theories as Represetations of The World ( Realism)  Teori
merupakan perwujudan dari dunia nyata

• From the Sciences to the Humanities  ilmu tidak terlepas dari


manusia
 Objectivity and Personal Involvement in Science  upaya
menjaga objektivitas atau kehormatan akademik atau nilai-nilai
ilmiah. Namun, tidak terelakkan adanya keterlibatan dari
personal peneliti yang dapat mengurangi nilai objektivitas ilmu.
• The Influence of the Observer on the Data  kisi-kisi kuesioner
tidak boleh menggiring ke jawaban yang diinginkan peneliti.
Namun, hanya membuka jalan pemikiran dari responden. Observer
harus netral.
• The Personal Judgement of the Scientist  kemampuan yang
dimiliki tidak dapat diwariskan
• Objectivity as Intersubjective Testability  objektivitas kebenaran
ilmiah merupakan kemampuan keterujian secara empiric oleh para
pihak atau sejawat ilmuwan.
BAGIAN VII. ETHICS IN RESEARCH & WHY IS IT IMPORTANT (artikel
What is Ethic …)

• What is Ethics in Research & Why is it Important  kaidah normative


yang harus ditaati dan dipegang oleh peneliti, sehingga segala perilaku
keilmuannya (proses riset, publikasi hasil, penerapan hasil) dapat dinilai
secara etis.
• Ethical Decision Making in Research  seorang ilmuwan secara sadar
terdorong untuk membuat keputusan secara etik untuk melakukan yang
seharusnya
• Promoting Ethical Conduct in Science  pioneer dalam
mempromosikan etika dalam ilmu.

BAGIAN VIII. PROBLEM ETIK DALAM RISET BIDANG KESEHATAN


(carilah dari referensi mengenai contoh kasus praktik dalam riset kesehatan)
Riset mengenai bayi tabung dan praktiknya. Dalam pandangan teknologis riset mengenai bayi
tabung merupakan trobosan baru yang mengandung peluang untuk memperoleh hidup pada
bayi. Dalam keadaan normal dan alami, kehidupan adalah hal yang kudus (atau suci) bagi
manuisa. Dengan adanya bayi tabung, embrio yang dijadikan bahan uji coba tidak dapat
diterima karena akan mengubah hubungan antara orang tua dan anak. Selain itu, embrio
sudah dapat dikatakan makhluk hidup sehingga melakukan uji coba bayi tabung dengan
menggunakan embrio dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. (Chang, W.
(2009). Bioetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.)
Penjelasan dilengkapi dengan bukti empiric atau analitik kritis.

Semarang, 8 Okt 2021


Dosen Pengampu/PJMK

Prof. Dr. Iriyanto Widisuseno, M.Hum

----------------------------

Daftar Pustaka
Syaripudin, Tatang & Kurniasih. 2014. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Percikan
Ilmu.
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama

Anda mungkin juga menyukai