Abstrak
Puasa Ramadhan merupakan ibadah di dalam syariat Islam. Oleh karena itu puasa
menjadi salah satu rukun Islam yang lima yang harus dikerjakan oleh setiap orang
Islam yang mukallaf dan yang tidak sedang berhalangan (udzur). Namun dewasa ini,
fenomena yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin adalah masih banyaknya di
antara mereka yang tidak menyadari pentingnya dan besarnya keutamaan ibadah
puasa Ramadhan. Melihat hal tersebut, penulis akan mencoba menjembatani kondisi
zaman ini dengan mengemukakan penjelasan secara mendalam tentang puasa.
Tulisan ini akan membahas pengertian puasa, syarat dan rukun puasa, syarat wajib
puasa bulan ramadhan, keadaan yang membolehkan puasa, sunat puasa, fidyah puasa
dan kafarat karena melkukan senggama pada saat puasa.
I. PENDAHULUAN
Allah telah menjadikan ibadah dalam berbagai cara dan bentuk, ada yang
berupa perenungan yang mendalam terhadap kebesaran dan keagungan Allah, ada
yang merupakan munajat dan do‟a, ada yang merupakan gerakangerakan anggota
badan yang mengisyaratkan makna yang mendalam, ada yang berupa perintah
menahan diri dari beberapa perbuatan yang halal, ada pula yang berkaitan dengan
harta, dan ada pula yang berupa sikap dan tanggung jawab terhadap sesama
manusia dan sesama makhluk. Semuanya itu tentu ada hubungannya dengan sifat-
sifat, kemampuan, kebutuhan, serta fitrah yang telah Allah ciptakan untuk
makhluk-Nya. Dengan demikian ibadah memiliki cakupan makna yang luas,
meliputi seluruh perbuatan manusia yang beriman kepada Allah Swt. yang secara
global terbagi menjadi dua, yaitu: hubungan (muamalat) manusia dengan Allah,
dan hubungan (muamalat) antarsesama manusia. Yang pertama meliputi ibadah
mahdhah (ibadah intensif dan khusus) yaitu shalat dan puasa, ibadah finansial
sekaligus sosial yaitu zakat, dan ibadah fisik sekaligus sosial yaitu haji.
Sedangkan yang kedua meliputi: Tugas membela agama yaitu jihad, Tata aturan
rumah tangga yaitu segala yang berkaitan dengan pernikahan, thalaq, nasab, serta
warisan, Tata aturan bisnis seperti jual beli, akad jasa, dll, Mengenai hukuman
tindak pidana yaitu qishas, dan had-had.
Hal ini terjadi tidak lain akibat dari rendahnya kesadaran dan keimanan
seseorang terhadap nilai-nilai dan manfaat yang terkandung di dalam ibadah
puasa. Sedangkan rendahnya kesadaran serta keimanan tersebut adalah karena
ditimbulkan oleh minimnya pengetahuan tentang makna-makna dan hikmah-
hikmah ibadah puasa. Karena setiap orang itu akan cenderung tidak menyukai dan
tidak menggemari sesuatu yang tidak banyak ia ketahui tentang maksud dan
tujuannya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Menurut Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari makan, minum,
dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Mahamulia dan
Mahaagung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan,
dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak yang
rendah. Oleh karena itu puasa meningkatkan penyembuhan sifat rakus dan
sombong manusia yang awalnya telah diobati dengan sholat melalui ruku dan
sujud agar manusia jujur tentang akan siapa dirinya dan tidak melakukan
kerusakan karena kerakusan dan kesombongannya1.
Sedangkan pengertian puasa menurut Imam Madzhab yaitu2:
a. Madzhab Hanafi: puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang tertentu,
yaitu makan, minum, jima’, dan sesuatu yang membatalkan puasa dengan
persyaratan tertentu, yaitu niat.
b. Madzhab Maliki: puasa yaitu menahan diri dari hawa nafsu yang
ditimbulkan perut dan kemaluan, atau sesuatu yang mempunyai
kedudukan yang sama dengan kedua jenis hawa nafsu tersebut, karena
mentaati Allah diseluruh waktu siang dengan berniat sebelum fajar atau
diwaktu fajar selama dia tidak haid}, nifas dan bukan pada hari raya.
c. Madzhab Syafi’i: puasa adalah menahan diri (mencegah diri) dari mulai
terbit fajar sampai maghrib dengan niat sebelum fajar dari hal-hal yang
membatalkan puasa dengan cara tertentu.
d. Madzhab Hambali: puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa yaitu segala sesuatu yang masuk ke dalam perut, otak
dan tenggorokan melalui mulut, termasuk di dalamnya adalah jima’ dan
hal-hal yang mendorong untuk melakukan jima’ seperti bercumbu jika
sampai keluarnya mani sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
1
Andy, S. (2018). Hakikat puasa Ramadhan dalam perspektif tasawuf (tafsir QS Al-Baqarah: 183).
Jurnal Ibn Abbas, 1(1), 1-17.
2
Lestari, M. (2021). KONSEP PUASA DALAM KITA< B FATH {AL-MU’IN KARANGAN
SYEKH ZAYN AD-DI< N AL-MALIBARY DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI FIQIH
KELAS VIII MTS (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).
B. Syarat dan Rukun Puasa
a. Syarat sah puasa
Syarat sah puasa ialah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
agar puasanya sah menurut syara’. Syarat-syarat sah puasa adalah sebagai
berikut3:
1. Islam, Menurut jumhur ulama Islam merupakan syarat sah puasa,
tetapi menurut Madzhab Hanafi, Islam merupakan syarat wajib puasa.
Orang yang kafir tidak diwajibkan puasa. Sama halnya dengan orang
murtad, ia tidak dituntut berpuasa, tetapi jika ia masuk Islam kembali,
maka ia wajib mengqadha’ puasa yang ia tinggalkan selama masa
murtad itu, karena ia telah terikat dengan kewajiban itu pada masa
Islamnya yang pertama, kewajiban itu tidak gugur karena murtad,
sama dengan berbagai hak lain yang terkait dengan dirinya.41
2. Mummayiz, artinya bisa membedakan yang baik dengan yang tidak
baik. Orang yang tidak mummayiz tidak sah puasanya.
3. Suci dari haid (menstruasi bulanan), wiladah (darah melahirkan) dan
nifas (darah setelah melahirkan). Perempuan yang dalam keadaan haid
atau nifas itu tidak sah jika melakukan puasa. Tetapi mereka wajib
mengqada’ puasanya dilain hari sebanyak yang mereka tinggalkan.
4. Dilaksanakan pada hari-hari yang dibenarkan berpuasa. Berpuasa
pada hari-hari terlarang hukumnya tidak sah.
b. Rukun Puasa
Pada waktu kita berpuasa, ada dua rukun yang harus diperhatikan,
yaitu4:
1. Niat, yaitu menyengaja untuk berpuasa Niat puasa yaitu adanya suatu
keinginan di dalam hati untuk menjalankan puasa semata-mata
mengharap ridha Allah Swt, karena menjalankan printahNya. Semua
puasa, tampa adanya niat maka tidak bisa dikatakan sebagai puasa.
Syarat Puasa Bulan Ramadhan Untuk puasa wajib, maka kita
harus berniat sebelum datang fajar, sementara itu untuk puasa sunnah,
kita dibolehkan berniat setelah terbit fajar, dengan syarat kita belum
3
Lestari, M. (2021). KONSEP PUASA DALAM KITA< B FATH {AL-MU’IN KARANGAN
SYEKH ZAYN AD-DI< N AL-MALIBARY DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI FIQIH
KELAS VIII MTS (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).
4
Sutrisno, M. (2020). Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Aplikasi Flip Builder Materi
Puasa di MTS Bandar Agung Lampung Timur (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa, seperti
makan, minum, berhubungan suami istri, dan lain-lain. Rasulullah
Saw bersabda :
“Barang siapa yang tidak meneguhka niat sebelum fajar, maka
puasanya tidak sah.” (HR. Abu Dawud, Triminzi, dan Nisa’i).
2. Meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit
fajar hingga terbenam matahari.
Dan yang membatalkan ada empat macam :
1) Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga melewati mulut,
berupa makanan atau minuman yang menjadi konsumsi fisik atau
tidak menjadi konsumsi fisik. Sedangkan yang menjadi konsumsi
fisik tetapi tidak masuk melalui mulut, seperti jarum infus dan
sebagainya, dianggap tidak membatalkan.
2) Sengaja muntah, sedangkan yang tidak sengaja maka tidak
membatalkan. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang
terpaksa muntah, maka ia tidak wajib qadha’ sedangkan yang
sengaja maka ia wajib qadha.” (HR. Triminzi dan Abu Dawud).
3) Istimna’, yaitu sengaja mengeluarkan sperma, baik karena ciuman
dengan istri, atau sentuhan tangan maka hukumnya batal.
Sedangkan jika karena melihat saja, atau berfikir saja maka tidak
membatalkan. Demikian juga keluarnya madzi, tidak
mempengaruhi puasa.
4) Jima’, karena Allah Swt berfirman tidak memperbolehkanya
kecuali di waktu malam
C. Syarat Wajib Puasa
5
Sarwat, A. (2019). Puasa: Syarat Rukun & Yang Membatalkan.
1. Beragama Islam, Jumhur ulama sepakat bahwa syarat wajib berpuasa
yang pertama kali adalah bahwa orang yang diwajibkan untuk
berpuasa itu hanya orang yang memeluk agama Islam saja. Sedangkan
mereka yang tidak beragama Islam, tidak diwajibkan untuk berpuasa.
2. Baligh, mereka yang belum sampai usia baligh seperti anak kecil,
tidak ada kewajiban untuk berpuasa Ramadhan. Namun orang tuanya
wajib melatihnya berpuasa ketika berusia 7 tahun. Bahkan bila sampai
10 sudah boleh dikenakan sanksi. Hal itu sebagaimana ketika melatih
anak-anak untuk shalat.
3. Berakal, sudah menjadi ijma’ ulama bahwa orang gila adalah orang
yang tidak berakal, sehingga orang gila tidak diwajibkan untuk
mengerjakan puasa. Dasarnya adalah potongan hadits Nabi SAW yang
artinya :
“Dari orang gila hingga waras.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Tirmizy)
Seorang yang dalam keadaan gila bila tidak puasa maka tidak
ada tuntutan untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya ketika dia
telah sembuh selama masih hidup di dunia. Di akhirat kelak, tidak ada
dosa yang harus ditanggungnya karena meninggalkan kewajiban
berpuasa. Namun dalam kasus dimana seseorang secara sengaja
melakukan sesuatu yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka
wajib puasa atau wajib menggantinya. Hal yang sama berlaku pada
orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja. Tapi bila mabuknya
tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.
4. Sehat, orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa
Ramadhan. Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti
kesehatannya telah pulih. Allah SWT berfirman :
7. Suci dari haid dan nifas, para ulama telah berijma’ bahwa para wanita
yang sedang mendapat darah haidh dan nifas tidak diwajibkan untuk
berpuasa. Bahkan bila tetap dikerjakan juga dengan niat berpuasa,
hukumnya malah menjadi haram. Dasar ketentuannya adalah hadits
Aisyah radhiyallahuanha berikut ini :
“Kami (wanita yang haidh atau nifas) diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak 18 diperintah untuk mengqadha;
shalat.” (HR. Muslim).
D. Keadaan yang Membolehkan Berbuka Puasa
6
Fauziyah, R. (2021). KETENTUAN PUASA BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI. AL
MAQASHIDI, 4(1), 82-91.
2. Sakit, seseorang yang dalam keadaan sakit dan merasa terancam
keselamatannya apabila ia berpuasa, maka diperbolehkan berbuka.
Setelah sembuh ia diwajibkan untuk mengqadha’ puasanya
3. Tidak mampu, seseorang yang berpuasa lalu merasa dirinya tidak mampu
berpuasa dan jika dengan berpuasa akan menimbulkan bencana bagi
dirinya, maka dibolehkan berbuka puasa, kemudian diwajibkan
mengqadha’ puasanya. Jika ketidak mampuannya itu bersifat temporal,
maka ia diwajibkan mengqadha’, sedangkan apabila bersifat permanen
maka cukup dengan membayar fidyah.
4. Jihad, seseorang yang sedang berada dalam suasana peperangan boleh
berbuka puasa. Dalam hal ini ia dapat memilih, berpuasa atau berbuka.
Sangat dianjurkan untuk berbuka apabila peperangan sedang berkecamuk.
Ia diwajibkan mengqadha‟ setelah pulang dari peperangan.
5. Hamil, seseorang yang sedang dalam keadaan hamil (mengandung) boleh
berbuka puasa apabila ia khawatir akan keselamatan diri dan
kandungannya atau khawatir akan keselamatannya saja atau khawatir
akan keselamatan kandungannya saja (Ahmad Thib dan Siti Musdah
Mulia 2003, 221).
6. Menyusui, wanita yang sedang menyusui akan terkuras energinya,
sehingga akan selalu merasa lapar. Oleh karenanya agama membolehkan
untuk tidak berpuasa.
E. Sunat Puasa
7
M. Tatam Wijaya. (2019, May 4). 10 Amalan Sunnah dalam Berpuasa. Nu.or.id;
https://islam.nu.or.id.
Aktivitas sahur sendiri tercapai dengan menyantap sesuatu
walaupun hanya sedikit atau hanya seteguk air. Waktunya adalah selepas
tengah malam. Utamanya, ia diakhirkan selama tidak sampai masuk
waktu yang diragukan: apakah masih malam atau sudah terbit fajar.
2. Menyegerakan berbuka sebelum shalat maghrib. Namun, itu tentu
dilakukan setelah yakin masuk waktu maghrib, berdasarkan hadis di atas.
Saat pertama berbuka, sunnahnya dilakukan dengan kurma. Jika tidak
ada, hendaknya dengan air, berdasarkan sabda Rasulullah:
َ فَ َعلَى ْال َما ِء فَِإ َّن ْال َما َء، فَِإ ْن لَ ْم يَ ِج ِد التَّ ْم َر، فَ ْليُ ْف ِطرْ َعلَى التَّ ْم ِر،صاِئ ًما
طهُو ٌر َ ِإ َذا َكانَ َأ َح ُد ُك ْم
Artinya,:
“Jika salah seorang berpuasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma. Jika
tidak ada kurma, maka dengan air. Sebab, air itu menyucikan,” (HR Abu
Dawud).
3. Membaca doa yang ma‘tsur sebelum atau setelah berbuka,
4. Mandi besar dari junub, haid, atau nifas sebelum terbit fajar agar bisa
menuanikan ibadah dalam keadaan suci, di samping khawatir masuk air
ke mulut, telinga, anus, dan sebagainya jika mandi setelah fajar. Kendati
tidak bersedia mandi seluruh tubuh sebelum fajar, hendaknya mencuci
bagian-bagian tersebut (yang sekiranya rawan masuk air) disertai dengan
niat mandi besar.
5. Menahan lisan dari perkara-perkara yang tak berguna, apalagi perkara
haram, seperti berbohong dan mengumpat. Sebab, semuanya akan
menggugurkan pahala puasa.
6. Menahan diri dari segala hal yang tak sejalan dengan hikmah puasa,
meskipun itu tidak sampai membatalkan, seperti berlebihan dalam
mengadakan makanan atau minuman, bersenang-senang dengan perkara-
perkara yang sejalan dengan keinginan dan kepuasan nafsu
7. Memperbanyak sedekah, baik kepada keluarga, kaum kerabat, maupun
tetangga.
8. Memperbanyak i'tikaf di masjid. Sebaiknya dilakukan sebulan penuh. Jika
tidak, sepuluh malam terakhir diutamakan.
9. Mengkhatamkan Al-Quran setidaknya sekali selama bulan Ramadan.
Maksimalnya tentu sebanyak-banyaknya, seperti para ulama terdahulu.
10. Istiqamah dalam menjalankan amaliah Ramadhan dan melanjutkan
amaliah-amaliah tersebut di bulan-bulan berikutnya.
F. Fidyah Puasa
a. Golongan yang wajib membayar fidyah
Beberapa golongan yang wajib membayar fidyah yaitu8:
1. Lansia (Orang Tua), Orang tua yang kondisi fisiknya sudah lemah dan
tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka tidak diwajibkan untuk
berpuasa
2. Orang Sakit, yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan hanya
membayar fidyah adalah orang sakit. Yang dimaksud orang sakit di
sini adalah bukan mereka-mereka yang sakit kemudian berobat atau
dirawat dan sembuh kembali, atau punya potensi untuk sembuh
kembali. Namun yang dimaksud adalah mereka-mereka yang
mengidap penyakit yang membuat fisik mereka menjadi lemah
sehingga tidak memungkinkan untuk berpuasa
3. Wanita Hamil dan/atau Menyusui Diantara mereka yang boleh tidak
berpuasa dan membayar fidyah adalah wanita hamil dan/atau
menyusui. Namun memang para ulama berbeda pendapat dalam kasus
wanita hamil dan/atau menyusui. Antara membayar fidyah saja atau
qadha dan fidyah. Jumhur ulama dari empat madzhab sepakat bahwa
wanita hamil dan/atau menyusui kemudian mereka tidak berpuasa,
maka mereka tidak diwajibkan untuk membayar fidyah, yang wajib
adalah mereka tetap harus mengqadhanya setelah selesai bulan
Ramadhan.
4. Meninggal dan Berhutang Puasa Pada kasus orang yang meninggal
dan masih memiliki hutang puasa, paling tidak ada dua kemungkinan
atau kondisi. Pertama, dia meninggalkan karena puasa karena udzur
syar’i, seperti sakit, kemudian dia sembuh, dan punya kesempatan
untuk mengqadhanya namun belum dilaksanakan sampai datang
ajalnya. Kedua, dia meninggalkan ibadah puasa juga karena udzur
syar’i, namun sampai selesainya bulan Ramadhan kondisinya tidak
kunjung membaik sehingga tetap tidak mungkin untuk berpuasa
sampai datng ajalnya.
5. Menunda Qadha ke Ramadhan Berikut Pada dasarnya menunda-nunda
melunasi hutang puasa (qadha) sampai datang bulan Ramadhan
8
Nugroho, L. (2018). Kupas Tuntas Fidyah.
berikutnya dibolehkan dalam Islam, dengan catatan ada alasan atau
udzur yang dibenarkan menurut sudut pandang agama, seperti sakit
b. Ukuran dan Bentuk Fidyah
Ukuran Ketika berbicara soal fidyah, maka hal ini tidak
terlepaskan dari soal berapa ukuran fidyah yang harus dikeluarkan yaitu:
Menurut madzhab Hanafi misalkan, ukuran fidyah yang wajib
dikeluarkan adalah satu sha’, berarti ukuran ini sama dengan ukuran zakat
fitrah. Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, ukuran fidyah
bukan satu sha’, melainkan satu mud. Dan ternyata pendapat ini juga
dipegang oleh beberapa ulama lainnya seperti al-Tsauri dan al- ‘Auzai.
Pandangan mereka ukuran fidyah tergantung pada jenis makanan yang
dikeluarkan. Kalau kurma, ukurannya adalah setengah sha’, dan kalau
gandum utuh maka ukurannya satu mud.
Sha’ adalah satuan ukur yang umum digunakan dizaman Nabi
Muhammad SAW, begitu juga mud. Namun bedanya adalah, sha’ (satuan
ukur dalam bentuk volume, bukan berat) itu setara dengan ukuran ya
katakan lah kurma yang memenuhi dua telapak tangan orang dewasa
normal yang digabungkan, persis seperti posisi telapak tangan ketika
berdoa. Sedangkan mud adalah ukuran yang volumenya hanya ¼ dari
ukuran sha’. Yang mana kalau kita konversikan kedua ukuran tersebut
kedalam satuan ukur saat ini maka satu mud setara dengan 675gr atau
0,688lt. Berarti kalau ukuran satu sha’, ya tinggal dikalikan empat saja, 1
sha’ = 675grx4=2700gr (2,7kg) atau 0,688x4=2,752lt.16 b.
Bentuk Fidyah Namanya saja tebusan makanan, maka bentuk
fidyah yang dikeluarkan sudah barang tentu berupa makanan. dan dalil-
dalil tentang fidyah pun memang redaksinya makanan yang dalam bahasa
arabnya disebut tho’am طع||ام. Namun makanan yang dimaksud di sini
adalah makanan mentah berupa kurma, atau gandum, baik yang masih
utuh ataupun yang sudah tepung atau bubuk, dan bukan hidangan siap
santap atau makanan matang.
c. Waktu Pelaksanaan Fidyah
1. Sebelum Bulan Ramadhan Yang dimaksud membayar fidyah sebelum
Ramadhan di sini adalah jika mereka orang-orang yang merasa bahwa
nanti ketika bulan Ramadhan tiba tidak mampu untuk menjalankan
ibadah puasa kemudian jauh-jauh hari sebelum datang bulan
Ramadhan atau paling tidak sebelum masuk bulan Ramadhan mereka
sudah membayarkan fidyah. Dalam kasus seperti ini, menurut
kalangan madzhab Hanafi dianggap sah-sah saja.
2. Di Bulan Ramadhan Kalau tadi menurut madzhab Hanafi
membayarkan fidyah sebelum bulan Ramadhan tiba dibolehkan, beda
hal nya dengan madzhab Syafi’i. Dalam pandangan madzhab ini ,
aturan main yang berlaku adalah membayar fidyah itu dilakukan di
bulan Ramadhan9.
G. Kafarat karena melakukan Senggama pada saat Puasa
1. Dia sudah berniat puasa pada malam hari. Jika dia tidak berniat, puasanya
tidak sah, tetapi dia tetap wajib menjauhi perkara pembatal puasa.
2. Dia melakukannya dengan sengaja,
3. Dia melakukannya atas kehendak sendiri,
4. Mengetahui keharamannya. Jadi tidak ada kafarat atas orang yang lupa,
dipaksa, atau tidak tahu keharamannya karena dia baru masuk islam.
5. Jimak itu terjadi pada siang hari di bulan Ramadhan. Tidak ada kafarat
atas jimak yang merusak puasa selain puasa di bulan Ramadhan (misalnya
puasa sunnah, nadzar, qadha atau kafarat). Jimak di siang hari di bulan
Ramadhan haram hukumnya dengan dalil firman Allah Ta’ala yang
artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
9
Nugroho, L. (2018). Kupas Tuntas Fidyah.
10
Sarwat, A. (2019). Puasa: Syarat Rukun & Yang Membatalkan.
11
Orlando, G. (2020). HUKUM YANG BERKAITAN KELUARNYA MANI ATAU MADZI BAIK
DENGAN SENGAJA ATAU TIDAK SENGAJA KETIKA BERPUASA MENURUT IMAM 4
MADZHAB DALAM FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU (KARYA PROF. DR. WAHBAH AZ-
ZUHAILI). Tarbiyah bil Qalam: Jurnal Pendidikan Agama dan Sains, 4(2).
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (Al Baqarah: 187).
6. Puasanya rusak gara-gara jimak itu saja. Jika dia makan lalu jimak, tidak
ada kafarat atasnya. Juga, tidak ada kafarat gara-gara perbuatan selain
jimak, seperti makan, minum, onani dengan tangan, bercumbu tanpa
penetrasi di kemaluan yang mana percumbuan ini mengakibatkan
ejakulasi.
7. Dia berdosa dengan jimak ini. Tidak ada kafarat atas anak kecil maupun
orang berpuasa yang sedang menempuh perjalanan atau orang sakit, jika
mereka ini berjimak dengan niat mengambil rukhsah maupun dengan niat
lainnya (menurut pendapat yang paling shahih). Sebab orang seperti ini
memang diperbolehkan untuk tidak puasa. Juga tidak ada kafarat atas
orang yang berzina dalam keadaan lupa bahwa ia sedang dalam berpuasa.
sebab, dia lupa. juga, tidak ada kafarat atas musafir yang batal puasanya
gara-gara berzina, yang mengambil rukhshah dengan berbuka, sebab tidak
berpuasa memang boleh baginya.
8. Dia berkeyakinan bahwa puasanya sah. Tidak ada kafarat atas orang yang
berjimak dengan sengaja setelah makan karena lupa dan dia mengira
bahwa puasanya sudah batal gara-gara makan tadi. Karena, dia
berkeyakinan bahwa dia tidak sedang berpuasa. Hanya saja pendapat yang
paling shahih menyatakan bahwa puasanya batal gara-gara jimak ini.
9. Dia tidak keliru. Tidak ada kafarat atas orang yang berjimak yang ketika
berjimak menyangka waktunya masih malam atau waktunya sudah
maghrib, tapi lantas terbukti bahwa dia ternyata berjimak di siang hari,
karena perbuatan ini tidak berdosa.
10. Dia tidak gila atau mati setelah bersetubuh pada siang hari
persetubuhannya sebelum matahari terbenam. Tidak ada kafarat atas
orang yang menjadi gila atau mati pada waktu itu. Sebab, dia sudah tidak
memenuhi syarat taklif. Jadi, terjadinya kegilaan atau kematian
menggugurkan kafarat. Karena, dengan terjadinya hal itu terbukti bahwa
dia sebelumnya tidak mengerjakan puasa, sebab kondisinya bertentangan
dengan puasa. Artinya, puasa hari itu sudah tidak terhitung sebagai
sesuatu yang sah. Maka, tidak wajib membayar kafarat garagara
persetubuhan di waktu itu, sama seperti puasanya musafir, atau seperti
jika telah terbukti bahwa ternyata hari itu sudah masuk bulan syawal.
11. Persetubuhan itu dinisbatkan kepadanya. Jika dia diperkosa oleh seorang
wanita sehingga dia mengalami ejakulasi akibat penetrasi, dia tidak wajib
membayar kafara, kecuali jika wanita itu merangsangnya dengan
penetrasi.
12. Jimak itu terjadi dengan memasukkan kepala penis. Tidak ada kafarat atas
orang yang belum memasukkan penisnya dalam ukuran tersebut, hanya
saja dia wajib menjauhi perkara pembatal puasa.
13. Jimak dilakukan pada lubang kemaluan atau anus, baik pada wanita mati
maupun hewan. Tidak ada kafarat atas orang yang melakukan penetrasi
pada selain lubang tersebut. Menytetubuhi wanita pada anus dan
hubungan homoseks( lelaki dengan lelaki) sama hukumnya dengan
penetrasi pada liang vagina.
14. Orang itu posisinya sebagai pelaku penetrasi, bukan yang menjadi objek.
Tidak ada kafarat atas objek penetrasi, siapapun dia. Kafarat hanya wajib
atas pelaku. Wanita hanya mengharuskan mengqadha.
KESIMPULAN
Syarat Puasa Bulan Ramadhan Untuk puasa wajib adalah kita harus berniat
sebelum datang fajardan meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan puasa
mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Syarat wajib yaitu beragama Islam,
baligh, berakal, sehat, mampu, tidak dalam perjalanan, dan suci dari haid dan nifas.
Adapun keadaan yang membolehkan berbuka puasa ketika safar, sakit, tidak mampu,
jihad, hamil, dan menyusui.
Beberapa golongan yang wajib membayar fidyah yaitu lansia (Orang Tua),
orang Sakit, wanita hamil dan/atau menyusui,meninggal dan berhutang puasa dan
menunda Qadha ke Ramadhan berikut. Para ulama sepakat bahwa berjima’ di siang
hari bulan Ramadhan ketika sedang dalam keadaan puasa dan dilakukan secara
sengaja, bukan saja membatalkan puasa, tetapi juga mewajibkan bayar denda atau
kaffarah.
DAFTAR PUSTAKA
Andy, S. (2018). Hakikat puasa Ramadhan dalam perspektif tasawuf (tafsir QS Al-Baqarah:
183). Jurnal Ibn Abbas, 1(1), 1-17.
Lestari, M. (2021). Konsep Puasa dalam Kitab Fath} Al-Mu’in Karangan Syekh Zayn Ad-Di>
n Al-Malibary dan Relevansinya dengan Materi Fiqih Kelas VIII MTs (Doctoral
dissertation, IAIN Ponorogo).
M. Tatam Wijaya. (2019, May 4). 10 Amalan Sunnah dalam Berpuasa. Nu.or.id;
https://islam.nu.or.id.
Sains, 4(2).
Sarwat, A. (2019). Puasa: Syarat Rukun & Yang Membatalkan.