Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Gerontik


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Dian Bardiansyah, S.Kep
NIM: 11194692210133

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS

Tanggal Desember 2022

Disusun oleh :
Dian Bardiansyah
NIM: 1119462210133

Banjarmasin, Desember 2022

MenyetujuI,
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

Hj. Latifah, S.Kep., Ns., M.Kep Herlina Sucianingsih, S.Kep., Ns


NIK. 116072021198 NIP. 19870512 201001 2 01 5
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS

Tanggal Desember 2022

Disusun oleh :
Dian Bardiansyah, S.Kep
NIM: 11194692210133

Banjarmasin, Desember 2022

Menyetujui

Preseptor Klinik (PK) Program Studi Profesi Ners


Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia
Preseptor Akademik (PA)

Herlina Sucianingsih, S.Kep., Ns Hj. Latifah, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 19870512 201001 2 015 NIK. 1166072021198

Mengetahui,
Ketua Jurusan Profesi Ners
Fakultas Kesehatan
Universitas Sari Mulia Banjarmasin

Mohammad Basit, S.Kep., Ns., MM


NIK. 1166102012053
1. KONSEP DASAR PROSES MENUA
a. Definisi
Proses menua (aging process) adalah suatu proses yang
ditandai dengan penurunan atau perubahan dari berbagai kondisi,
menurut Word Health Organization (2014) lanjut usia adalah seseorang
yang memasuki umur 60 tahun atau lebih.
Proses Menua (Aging) merupakan proses alamiah yang dihadapi
setiap manusia, yang mana pada tahap ini terjadi penurunan atau
perubahan baik itu perubahan kondisi fisik, kondisi psikologis maupun
sosial. Keadaan tersebut cendrung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa pada lanjut usia.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di
dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepajang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti telah melalui 3 tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua.
Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
pemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, gerakan lambat, dan postur tubuh tidak
proporsional (Wijayanti, 2015).
Proses menua merupakan proses yang terus-menerus
(berkelanjutan) secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua
makhluk hidup. Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada
otot, susunan pada saraf dan jaringan lain, hingga tubuh mati sedikit
demi sedikit (Untari dan Rohmawati, 2018).
b. Teori Proses Menua
1) Teori biologis
a) Teori genetik
Teori genetik clock merupakan teori intristik yang
menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang
mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini
menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik
untuk spesies tertentu. Secara teoritis, memperpanjang umur
mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu dengan
pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau
tindakan tertentu. Teori mutasi somatik menjelaskan bahwa
penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh
lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan proses transkripsi
DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein atau
enzim. Kesalahan ini terjadi terus menerus sehingga akhirnya
akan terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel
menjadi kanker atau penyakit.
b) Teori Non Genetik
1) Teori Penurunan Sistem Imun Tubuh (Auto-immune theory)
Menua dianggap disebabkan oleh adanya penurunan
fungsi sistem immun. Perubahan itu lebih tampak secara
nyata pada Limposit–T, disamping perubahan juga terjadi
pada Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi
penurunan sistem imun humoral, yang dapat menjadi faktor
predisposisi pada orang tua untuk:
(a) Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor
dan perkembangan kanker.
(b) Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi
proses dan secara agresif memobilisasi pertahanan
tubuh terhadap pathogen
(c) Meningkatkan produksi autoantigen, yang berdampak
pada semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit
yang berhubungan dengan autoimmune.
2) Teori Kerusakan Akibat Radikal Bebas
Proses menua terjadi akibat kurang efektif fungsi
kerja tubuh dan hal itu dipengaruhi oleh adanya berbagai
radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas yang reaktif
mampu merusak sel, termasuk mitokondria, yang akhirnya
mampu menyebabkan cepatnya kematian (apoptosis) sel,
menghambat proses reproduksi sel.
3) Teori Menua Akibat Metabolisme
Setiap makhluk hidup mempunyai ketersediaan
kemampuan yang sudah ditentukan sesuai dengan
kapasitas energi yang digunakan untuk selama menempuh
kehidupannya. Energi yang digunakan terlalu banyak dimasa
awal kehidupannya akan habis sebelum usia optimalnya,
atau mempunyai usia yang relative lebih pendek dari pada
yang menggunakan energi secara optimal sepanjang usia
kehidupannya. Individu mempunyai lama usia yang optimal
jika energi yang digunakan merata sepanjang hidupnya,
tidak terlalu berlebih digunakan, diimbangi dengan istirahat
serta asupan energi yang cukup.
4) Teori Rantai Silang (Cross link theory)
Proses menua terjadi sebagai akibat adanya ikatan-
ikatan dalam kimiawi tubuh. Teori ini menyebutkan bahwa
secara normal, struktur molekular dari sel berikatan secara
bersama-sama membentuk reaksi kimia, termasuk
didalamnya adalah kolagen yang merupakan rantai molekul
yang relatif panjang yang dihasilkan oleh fibroblast.
Terbentuknya jaringan baru, maka jaringan tersebut akan
bersinggungan dengan jaringan yang lama dan membentuk
ikatan silang kimiawi. Hasil akhir dapi proses ikatan silang ini
adalah peningkatan densitas kolagen dan penurunan
kapasitas untuk transport nutrient serta untuk membuang
produk-produk sisa metabolisme dari sel.
5) Teori Fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik
terdiri atas teori oksidasi stress. Dalam teori ini dijelaskan
terjadi kelebihan usaha dengan stress menyebabkan sel
tubuh lelah terpakai regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal.
c) Teori sosiologis
1) Teori Interaksi Sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia
bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-
hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954), Homans
(1961) dan Blau (1964) dalam Suprianto (2017)
mengemukakan bahwa interaksi sosial didasarkan atas
hukum pertukaran barang dan jasa, sedangkan pakar lain
Simmons (1945) dalam Suardiman (2016) mengemukakan
bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi
sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status
sosialnya untuk melakukan tukar menukar
2) Teori Aktivitas atau Kegiatan
Teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965) dan
Lemon et al. (1972) dalam (Suardiman (2016) mengatakan
bahwa penuaan yang sukses tergantung dari bagaimana
lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktifitas dan
mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
Pokok-pokok teori aktivitas adalah:
(1) Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial
dan keterlibatan sepenuhnya dari lansia di masyarakat.
(2) Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan
seorang lansia.
d) Teori Kesinambungan (Continuity theory)
Kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia, dengan
demikian pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ini menjadi lansia
Gaya hidup perilaku dan harapan seorang ternyata tak berubah
walaupun ia menjadi lansia. Pokok-pokok dari continuity theory
adalah:
1) Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus
aktif dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada
pengalamannya di masa lalu, dipilih peran apa yang harus
dipertahankan atau dihilangkan.
2) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.
3) Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai macam cara
adaptasi.
e) Teori Pembebasan atau Penarikan Diri
Cumming dan Henry (1961) dalam Nugroho (2020)
mengemukakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seseorang
lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan
sekitarnya. masyarakat juga mempersiapkan kondisi agar para
lansia menarik diri, keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial
lansia menurun baik secara kualitas maupun secara kuantitas.
f) Teori Perkembangan (Development theory)
Joan Birchenall RN, Med dan Mary E Streight RN (1973)
dalam Berarah dan Jauhar (2019) menekankan perlunya
mempelajari psikologi perkembangan guna mengerti perubahan
emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya. Pokok-
pokok dalam development theory adalah:
1) Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh
masa kehidupannya.
2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap
kenyataan sosial yang baru yaitu pensiun dan atau
menduda atau menjanda.
3) Lansia harus menyesuaaikan diri akibat perannya yang
berakhir dalam keluarga, kehilangan identitas dan
hubungan sosialnya akibat pensiun, ditinggal mati oleh
pasangan hidup dan teman-temannya.
g) Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory)
Wiley (1971) dalam Donges (2020) menyusun stratifikasi
lansia berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan serta
membentuk adanya perbedaan kapasitas peran, kewajiban,
serta hak mereka berdasarkan usia. Dua elemen penting dari
model stratifikasi usia tersebut adalah struktur dan prosesnya.
Pokok-pokok dari teori ini adalah:
1) Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat
2) Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok
3) Terdapatnya mekanisme pengalokasian peran diantara
penduduk.
h) Teori psikologis
1) Teori Kebutuhan Manusia Menurut Hierarki Maslow
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari
dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku
manusia (Maslow, 1954).
2) Teori Individual Jung
Carl Jung (1960) merupakan psikolog swiss yang
mengembangkan teori bahwa perkembangan personal
individu dilalui melalui tahapan-tahapan: masa kanak-
kanak, masa remaja dan remaja akhir, usia pertengahan,
dan usia tua. Kepribadian personal ditentukan oleh adanya
ego yang dimiliki, ketidaksadaran personal dan
ketidaksadaran kolektif. Teori ini mengungkapkan bahwa
sejalan dengan perkembangan kehidupan, pada masa usia
petengahan maka seseorang mulai mencoba menjawab
hakikat kehidupan dengan mengeksplorasi nilai-nilai,
kepercayaan dan meninggalkan khayalan. Pada masa ini
dapat terjadi “krisis usia pertengahan” yang dapat
mempengaruhi/menghambat proses ketuaan itu sendiri
secara psikologis.
3) Teori Proses Kehidupan Manusia
Charlotte Buhler (1968) menyusun sebuah teori
yang menggambarkan perkembangan manusia yang
didasarkan pada penelitian ektensif dengan menggunakan
biografi dan melalui wawancara. Mengidentifikasi dan
mencapai tujuan hidup manusia yang melewati klima fase
proses perkembangan. Pemenuhan kebutuhan diri sendiri
merupakan kunci perkembangan yang sehat dan itu
membahagiakan, dengan kata lain orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri berarti dia tidak dapat memenuhi
kebutuhannya dengan beberapa cara.
4) Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas
perkembangan pada masa tua antara lain adalah :
(a) Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik
dan kesehatan
(b) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan
berkurangnya penghasilan
(c) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
(d) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang
sebaya
(e) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang
memuaskan
(f) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
5) Teori Delapan Tingkat Kehidupan
6) Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi
akibat adanya kondisi dimana kondisi psikologis mencapai
pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang
telah mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (depalan
tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas
perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai
keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus asa.
c. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia (Secara Fisik, Psikososial)
1) Perubahan Fisik
a) Sel: jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra dan extra seluler
b) Persarafan: cepatnya menurun hubungan persarapan, lambat
dalam respon waktu untuk meraksi, mengecilnya saraf panca
indra sistem pendengaran, presbiakusis, atrofi membran timpani,
terjadinya pengumpulan serum karena meningkatnya keratin.
c) Sistem penglihatan: spinkter pupil timbul sklerosis dan hlangnya
respon terhadap sinaps, kornea lebih berbentuk speris, lensa
keruh, meningkatnya ambang pengamatan sinar, hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang.
d) Sistem Kardivaskuler: katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % setiap tahun
setelah berumur 20 tahun sehingga menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volume, kehilangan elastisitas pembuluh darah,
tekanan darah meninggi.
e) Sistem respirasi: otot-otot pernafasan menjadi kaku sehingga
menyebabkan menurunnya aktifitas silia. Paru kehilangan
elastisitasnya sehingga kapasitas residu meingkat, nafas berat.
Kedalaman pernafasan menurun.
f) Sistem gastrointestinal: kehilangan gigi, sehingga menyebkan
gizi buruk, indera pengecap menurun krena adanya iritasi selaput
lendir dan atropi indera pengecap sampai 80 %, kemudian
hilangnya sensitifitas saraf pengecap untuk rasa manis dan asin
g) Sistem genitourinaria: ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi
sehingga aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, GFR
menurun sampai 50 %. Nilai ambang ginjal terhadap glukosa
menjadi meningkat. Vesika urinaria, otot-ototnya menjadi
melemah, kapasitasnya menurun sampai 200 cc sehingga vesika
urinaria sulit diturunkan pada pria lansia yang akan berakibat
retensia urine. Pembesaran prostat, 75 % doalami oleh pria
diatas 55 tahun. Pada vulva terjadi atropi sedang vagina terjadi
selaput lendir kering, elastisitas jaringan menurun, sekresi
berkurang dan menjadi alkali.
h) Sistem endokrin: pada sistem endokrin hampir semua produksi
hormon menurun, sedangkan fungsi paratiroid dan sekresinya
tidak berubah, aktifitas tiroid menurun sehingga menurunkan
basal metabolisme rate (BMR). Porduksi sel kelamin menurun
seperti: progesteron, estrogen dan testosteron.
i) Sistem integumen: pada kulit menjadi keriput akibat
kehilangan jaringan lemak, kulit kepala dan rambut menuipis
menjadi kelabu, sedangkan rambut dalam telinga dan hidung
menebal. Kuku menjadi keras dan rapuh.
j) Sistem muskuloskeletal: tulang kehilangan densitasnya dan
makin rapuh menjadi kiposis, tinggi badan menjadi berkurang
yang disebut discusine vertebralis menipis, tendon mengkerut
dan atropi serabut otot, sehingga lansia menjadi
lamban  bergerak. otot kam dan tremor.
2) Perubahan Psikososial
a) Pensiun : nilai seorang dukur oleh produktifitasnya, identits
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
b) Merasakan atau sadar akan kematian
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
bergerak lebih sempit.
3) Perubahan Spritual
a) Semakin matangnya kehidupan keagamaan lansia
b) Dengan perkembangan spritual yang matang akan membantu
lansia untuk menghadapi kenyataan
c) Merasa sadar akan kematian
d. Klasifikasi Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Ekasari et al (2018), World Health Organization (WHO)
membagi lansia dalam empat Batasan kelompok, yaitu :
1) Usia pertengahan (middle age) : 45-59
2) Usia lanjut (elderly) : usia 60-74 tahun
3) Usia tua (old) : usia 74-90 tahun, dan
4) Usia sangat tua (very old) : usia 90 tahun keatas
2. Konsep Dasar Penyakit
a. Definisi
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang di tandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat. Lemak dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau
keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler,
makrovaskuler dan neoropatik (Nurarif & Kusuma, 2015).
Diabetes melitus ialah keadaan ketika tubuh merasa tidak mampu
menghasilkan insulin (hormon yang membawa darah ke sel-sel dan
menyimpannya sebagai glikogen). Hal tersebut yang membuat terjadinya
hiperglikemia disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan
hormonal, melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak serta menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada organ tubuh
(Aini & Aridiana, 2016). Diabetes Melitus tipe II (DM tipe II) merupakan
tipe paling umum DM, terdapat sekitar 90% dari kasus penderita DM
adalah DM tipe II. Hiperglikemia pada DM tipe 2 timbul karena
ketidakmampuan sel tubuh untuk merespon insulin atau resistensi insulin
serta gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas (Saeedi, et al,
2019).
1) Klasifikasi :
 Diabetes tipe 1: Pada diabetes 1 tubuh benar-benar berhenti
memproduksi insulin karena perusakan sel pankreas yang
memproduksi insulin oleh sistem kekebalan tubuh (autoimun),
dimana Organ pankreas tidak memproduksi insulin lagi sehingga
harus menerima supply insulin dari luar tubuh secara rutin.
 Diabetes tipe 2: Diabetes tipe 2 adalah jika sel tidak dapat
mengenali insulin, hormon ini tidak dapat membantu sel untuk
menggunakan glukosa sebagai energi. Akibatnya, glukosa akan
terus berdiam di dalam darah dan lama-lama menumpuk. Pankreas
akan menghasilkan insulin lebih banyak karena ada glukosa yang
tinggi di dalam darah, sedangkan sel tubuh tidak dapat
menggunakannya untuk menyerap glukosa. Diabetes melitus tipe 2
biasanya terjadi karena sel-sel tubuh yang tak lagi peka terhadap
insulin sehingga kesulitan mengubah glukosa menjadi energi.
Dengan kata lain, pankreas tetap memproduksi insulin pada orang
yang memiliki DM tipe 2, tapi tubuh tak lagi sensitif terhadap
keberadaannya.
 Diabetes kehamilan/gestasional: Diabetes gestasional adalah
diabetes yang berlangsung selama masa kehamilan sampai proses
persalinan. Kondisi ini umumnya terjadi pada trimester kedua atau
trimester ketiga. Diabetes diabetes gestasional terjadi ketika tubuh
tidak memproduksi cukup insulin untuk mengontrol kadar glukosa
(gula) darah selama masa kehamilan.
b. Etiologi
Faktor resiko pada penderita DM tipe II meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, jenis kelamin, lama menderita DM, riwayat hipertensi,
aktifitas fisik yang rendah dan riwayat merokok serta hiperkolesterolnemia
(Kanokphichayakrai, et al, 2018). Secara pasti penyebab dari DM tipe II
ini belum diketahui, faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh
kegemukan, tidak beraktivitas, penyakit, obat-obatan dan pertambahan
usia. Pada kegemukan, insulin mengalami penurunan kemampuan untuk
mempengaruhi absorpsi dan metabolisme glukosa oleh hati, otot 8
rangka, dan jaringan adiposa. Menurut Rendy, dkk, (2012) etiologi dari
penyakit DM tipe II ini antara lain:
1) Riwayat DM pada orang tua dan saudara kandung. Meski tidak ada
kaitan HLA yang terindentifikasi, anak dari penyandang DM tipe II
memiliki peningkatan resiko dua hingga empat kali menyandang DM
tipe II dan 30% resiko mengalami, intoleransi aktivitas
(ketidakmampuan memetabolisme karbohidrat secara normal).
2) Kegemukan, didefinisikan kelebihan berat badan minimal 20% lebih
dari berat badan yang diharapkan atau memiliki indeks massa tubuh
(IMT) minimal 27 kg/m. Kegemukan, khususnya viseral (lemak
abdomen) dikaitkan dengan peningkatan resistensi insulin.
3) Tidak ada aktivitas fisik
4) Pada wanita, riwayat DM gestasional, sindrom ovarium polikistik
atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg.
5) Hipertensi (≥ 130/85 pada dewasa), kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl dan
atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dl.
c. Patofisiologi
Gangguan fungsi umpan balik antara kerja insulin dan sekresi insulin
menghasilkan kadar glukosa darah yang tinggi secara abnormal. Dalam
kasus disfungsi sel, sekresi insulin berkurang dengan cara membatasi
kapasitas tubuh untuk mempertahankan kadar glukosa fisiologis. Di sisi
lain, resistensi insulin berkontribusi pada peningkatan produksi glukosa
dihati dan penurunan glukosa baik di otot, hati dan jaringan adiposa.
Bahkan jika kedua proses berlangsung pada awal terjadiya penyakit dan
berkontribusi pada perkembangan penyakit, disfungsi sel akan lebih
parah daripada resistensi insulin. Ketika disfungsi sel dan resistensi
insulin ada, maka hiperglikemia terjadi dan mengarah pada diabetes
melitus tipe II (Garcia, et al, 2020).
Adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada
metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan dengan baik.
Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh autoantibodi terhadap
reseptor insulin atau transmisi intrasel. Tanpa adanya disposisi genetik,
diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis
dengan kerusakan sel beta atau kerusakan toksik pada sel beta. DM
ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormon antagonis, diantaranya
somatotropin, glukokortikoid, epinefrin, progestogen dan
koriomamotropin, 15 ACTH, hormon tiroid dan glucagon (Silbernagl &
Lang, 2014).
Pathway
d. Manifestasi Klinis
Penyandang DM tipe II mengalami awitan, manifetasi yang lambat dan
sering kali tidak menyadari penyakit sampai mencari perawatan
kesehatan untuk beberapa masalah lain. Manifestasi lain juga akibat
hiperglikemi, penglihatan buram, keletihan, paratesia, dan infeksi kulit
(Lemone, dkk, 2016).
Manifestasi klinis yang terjadi pada penderita diabetes melitus secara
umum menurut Tandra (2013), antara lain yaitu:
1) Poliuri (sering berkemih)
2) Polidipsi (sering merasa haus)
3) Polifagia (sering makan badan tidak mengalami kenaikan)
4) Merasa badan lemah
5) Pandangan buram
6) Luka susah sembuh
7) Kesemutan
8) Kulit terasa kering dan gatal
9) Luka mudah terinfeksi
10) Terasa gatal pada bagian genitalianya
e. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purwanto (2016) pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
mengalami diabetes melitus, antara lain:
1) Glukosa Darah
a) Glukosa plasma sewaktu/random: >200 mg/dL
b) Glukosa plasma puasa/nuchter: >140 mg/dL
c) Glukosa plasma dari sampel setelah2 jam mengonsumsi 75 gr
karbohidrat: >200 mg/dL
2) Tes Oral Toleransi Glukosa
Nilai darah diagnostik kurang dari 140 mg/dl dan hasil 2 jam, serta
satu nilai lain lebih dari 200 mg/ dlsetelah beban glukosa 75 gr
3) Hb1Ac
Jika hasil >8% mengindikasikan DM yang tidak terkontrol
4) Pemeriksaan Kadar Glukosa Urin
Pemeriksaan ini dengan reduksi urin memakai cara benedic atau
menggunakan enzim glukosa. Pemeriksaan reduksi urin positif jika
didapatkan glukosa dalam urin.
f. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rendy, dkk, (2012) penatalaksanaan medis untuk DM tipe II
ini meliputi obat-obatan diabetik diantaranya:
1) Sulfunilurea
Sulfunilurea bekerja dengan merangsang beta sel pankreas untuk
melepaskan cadangan insulinnya, yang termasuk obat jenis ini
adalah Glibenklamid, Tolbutamid, klorpropamid.
2) Biguanida bekerja dengan menghambat penyerapan glukosa di
usus, misalnya metformin, glukophage.
3) Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase,
suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti
sukrosa dan karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi absorb
karbohidrat dan menghasilkan penurunan peningkatan glukosa
postprandial. Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan obat
yang lain, obat tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut
usia yang mengalami diabetes 19 ringan. Efek samping
gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi
mereka yang menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada
dosis tinggi, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah klinis.
4) Thiazolidinediones
Memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat
meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha
reseptor. Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif untuk pasien
lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia. Namun, harus
dihindari pada pasien dengan gagal jantung. Thiazolidinediones
adalah obat yang relatif.
5) Pemberian Hormon Insulin
Pasien dengan DM tipe satu tidak mampu memproduksi insulin
dalam tubuhnya. Berbeda dengan DM tipe II yang tidak tergantung
pada insulin, tetapi memerlukan sebagai pendukung untuk
menurunkan kadar glukosa darah dalam mempertahankan
kehidupan.
g. Pengkajian Fokus Keperawatan Pada Lansia
Tujuan pengkajian pada lansia adalah untuk mengidentifikasi kekuatan
dan keterbatasan klien sehingga intervensi yang efektif dan tepat dapat
diberikan untuk meningkatkan fungsi optimal dan mencegah
ketidakmampuan dan ketergantungan. Pengkajian keperawatan pada
lansia terdiri dari pengkajian riwayat kesehatan, pengkajian status
fungsional, pengkajian status kognitif dan afektif, pengkajian status sosial.
1) Identitas Klien
Identitas klien meliputi pengkajian mengenai nama, umur, jenis
kelamin, suku, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir,
pekerjaan dan alamat, orang yang paling dekat dengan klien atau
yang bertanggung jawab, hubungan orang tersebut dengan klien,
alamat dan jenis kelamin orang tersebut.
2) Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan meliputi keluhan saat ini, riwayat kesehatan
sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat penyakit keluarga,
riwayat pekerjaan, riwayat alergi (seperti: obat-obatan, makanan,
kontak substansi, faktor lingkungan), sumber/ sistem pendukung
yang digunakan (seperti: pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
dan jarak tempuh pelayanan kesehatan dari rumah / panti) dan
obat-obatan yang dikonsumsi jika ada.
3) Kebiasaan Sehari-hari
a) Biologis
(1) Pola makan: Frekuensi makan, jenis makanan yang
dimakan, jumlah makanan yang habiskan, makanan
kesukaan/ selingan.
(2) Pola minum: Jenis minuman yang dikonsumsi, frekuensi
minum dan jumlahnya.
(3) Pola tidur: Masalah tidur, tidur siang/ malam dan lamanya,
kebiasaan sebelum tidur/ penggunaan waktu luang ketika
tidak tidur
(4) Pola eliminasi (BAB/BAK): Frekuensi BAB/ BAK, keluhan
saat BAB/ BAK, konsistensi feses, warna feses/ urin.
(5) Rekreasi: Kegiatan diluar panti, liburan atau pulang
kampung saat perayaan hari besar
(6) Aktifitas sehari-hari: Kegiatan yang diikuti di panti, kegiatan
yang dilakukan sehari-hari (mandi, gosok gigi, dll), skala
aktivitas, pandangan klien tentang aktifitas dilingkungan
b) Psikologis
(1) Keadaan emosi: Kondisi emosi, raut wajah atau sikap
terhadap hal yang disukai/ tidak, cara menghadapi masalah
(2) Status depresi dan kecemasan: Kaji tingkat depresi dan
cemas lansia, hal apa yang membuat depresi/ cemas
muncul, upaya mengatasi rasa cemas dan depresi
(3) Perasaan saat menghadapi masalah/ penyakit
c) Sosial
(1) Dukungan keluarga: Kunjungan keluarga ke panti,
komunikasi dengan keluarga, keluarga menjemput untuk
merayakan peringatan besar
(2) Hubungan antar keluarga: Permasalahan lansia dengan
keluarga, hubungan lansia ke suami/ istri, anak, saudara,
keluarga lainnya
(3) Hubungan dengan orang lain: Hubungan dengan teman
satu wisma/ wisma lainnya, komunikasi dengan lansia lain
dan permasalahan dengan lansia lain
d) Spiritual/ Kultural
(1) Pelaksanaan ibadah: Kegiatan ibadah sesuai dengan
agama yang dianut, jumlah pelaksanaan yang dilakukan,
tempat melakukan ibadah, hambatan dalam melaksanakan
ibadah
(2) Keyakinan tentang kesehatan: Anggapan tentang
kesehatan saat ini, keyakinan tentang kesembuhan dan
pengobatan penyakit, kebiasaan yang dilakukan untuk
mengatasi penyakit.
4) Pengkajian Keseimbangan Untuk Lansia
Pengkajian posisi dan keseimbangan (sullivan)
No Tes koordinasi Keterangan Nilai
1 Berdiri dengan postur normal
2 Berdiri dengan postur normal,
menutup mata
3 Berdiri dengan kaki rapat
4 Berdiri dengan satu kaki
5 Berdiri, fleksi trunk dan berdiri ke
posisi netral
6 Berdiri, lateral dan fleksi trunk
7 Berjalan, tempatkan tumit salah
satu kaki didepan jari kaki yang lain
8 Berjalan sepanjang garis lurus
9 Berjalan mengikuti tanda gambar
pada lantai
10 Berjalan menyamping
11 Berjalan mundur
12 Berjalan mengikuti lingkaran
13 Berjalan pada tumit
14 Berjalan dengan ujung kaki
Jumlah
Keterangan
4 : mampu melakukan aktifitas dengan lengkap
3 : mampu melakukan aktifitas dengan bantuan
2 : mampu melakukan aktifitas dengan bantuan maksimal
1 : tidak mampu melakukan aktifitas
Nilai
42-54 : mampu melakukan aktifitas
28-41 : mampu melakukan sedikit bantuan
14-27 : mampu melakukan bantuan maksimal
14 ≤ : tidak mampu melakukan

5) Pengkajian Fungsional Lansia


KATZ
Indeks kemandirian Katz untuk menilai aktifitas kehidupan sehari-
hari (ADL)
No Aktivitas Mandiri Tergantung
1 Mandi
Mandiri :
Bantuan hanya pada satu bagian
mandi (seperti punggung atau
ekstremitas yang tidak mampu) atau
mandi sendiri sepenuhnya
Tergantung :
Bantuan mandi lebih dari satu
bagian tubuh, bantuan masuk dan
keluar dari bak mandi, serta tidak
mandi sendiri
2 Berpakaian
Mandiri :
Mengambil baju dari lemari,
memakai pakaian, melepaskan
pakaian, mengancingi/mengikat
pakaian.
Tergantung :
Tidak dapat memakai baju sendiri
atau hanya sebagian
3 Ke Kamar Kecil
Mandiri :
Masuk dan keluar dari kamar kecil
kemudian membersihkan genetalia
sendiri
Tergantung :
Menerima bantuan untuk masuk ke
kamar kecil dan menggunakan
pispot
4 Berpindah
Mandiri :
Berpindah ke dan dari tempat tidur
untuk duduk, bangkit dari kursi
sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam naik atau turun dari
tempat tidur atau kursi, tidak
melakukan satu, atau lebih
perpindahan
5 Kontinen
Mandiri :
BAK dan BAB seluruhnya dikontrol
sendiri
Tergantung :
Inkontinensia parsial atau total;
penggunaan kateter,pispot, enema
dan pembalut ( pampers)
6 Makan
Mandiri :
Mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya sendiri
Bergantung :
Bantuan dalam hal mengambil
makanan dari piring dan
menyuapinya, tidak makan sama
sekali, dan makan parenteral ( NGT )

Keterangan :
Beri tanda ( v ) pada point yang sesuai kondisi klien
Analisis Hasil/ Nilai:
A : Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke
kamar kecil, berpakaian, dan mandi.
B :Kemandirian dalam semua hal, kecuali satu dari fungsi
tersebut.
C :Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu
fungsi tambahan.
D :Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian
dan satu fungsi tambahan.
E :Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian,
ke kamar kecil, dan satu fungsi tambahan.
F :Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian,
ke kamar kecil, berpindah, dan satu fungsi tambahan.
G :Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.
Modifikasi Barthel Indeks
Barthel Indeks merupakan skala yang digunakan untuk mengukur
kinerja dalam aktifitas sehari-hari.
Nilai
No Kriteria Bantua Keterangan
Mandiri
n
1 Makan 5 10
2 Berpindah dari kursi roda
5-10 15
ke tempat tidur, sebaliknya
3 Kebersihan diri, mencuci
muka, menyisir, mencukur 0 5
dan menggosok gigi
4 Aktivitas di toilet
5 10
(menyemprot, mengelap)
5 Mandi 0 5
6 Berjalan di jalan yang datar
(jika tidak mampu jalan /
10 15
melakukannya dengan
kursi roda)
7 Naik turun tangga 5 10
8 Berpakaian termasuk
5 10
mengenakan sepatu
9 Mengontrol BAB 5 10
10 Mengontrol BAK 5 10
Total
Penilaian:
0 – 20 : Ketergantungan
21 – 61 : Ketergantungan berat/ sangat ketergantungan
62 – 90 : Ketergantungan moderat
91 – 99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri

6) Pengkajian Masalah Emosional


a) Pertanyaan tahap 1
(1) Apakah klien mengalami susah tidur?
(2) Apakah klien sering merasa gelisah?
(3) Apakah klien murung atau menangis sendiri?
(4) Apakah klien sering was-was atau kuatir?
Lanjutkan pertanyaan tahap 2 jika
jawaban “ya” 1 atau lebih.
b) Pertanyaan tahap 2
(1) Keluhan > 3 bulan atau > 1 kali dalam sebulan
(2) Ada masalah atau banyak pikiran
(3) Ada gangguan atau masalah dengan orang lain
(4) Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter
(5) Cenderung mengurung diri
Jika >1 atau = 1 jawaban “ya”, maka
ada masalah gangguan emosional.
Gangguan emosional
7) Pengkajian Status Kognitif dan Afektif
a) SPMSQ (short portable mental status quesioner).
Ajukan beberapa pertanyaan pada daftar dibawah ini:
No Item Pertanyaan Benar Salah
1 Jam berapa sekarang?
Jawab:
………………………………………………
2 Tahun berapa sekarang?
Jawab:
………………………………………………
3 Kapan bapak/ ibu lahir?
Jawab:
………………………………………………
4 Berapa umur bapak/ ibu sekarang?
Jawab:
………………………………………………
5 Dimana alamat bapak/ ibu sekarang?
Jawab:
………………………………………………
6 Berapa jumlah anggota keluarga yang
tinggal bersama bapak/ ibu?
Jawab:
………………………………………………
7 Siapa nama naggota keluarga yang
tinggal bersama bapak/ ibu?
Jawab:
………………………………………………
8 Tahun berapa Hari kemerdekaan
Indonesia?
Jawab:
………………………………………………
9 Siapa nama Presiden Republik
Indonesia sekarang?
Jawab:
………………………………………………
10 Coba hitung terbalik dari angka 20 ke 1?
Jawab:
………………………………………………
Jumlah

Analisis Hasil
Skor salah (0 – 2) : Fungsi intelektual utuh
Skor salah (3 – 4) : Kerusakan intelektual ringan
Skor salah (5 – 7) : Kerusakan intelektual sedang
Skor salah (8 – 10) : Kerusakan intelektual berat

b) MMSE (Mini Mental Status Exam)


No Aspek Nilai Nilai Kriteria
Kognitif Maksimal Klien
1 Orientasi 5 Menyebutkan dengan
benar
Tahun:
Musim:
Tanggal:
Hari:
Bulan:
2 Orientasi 5 Dimana sekarang kita
berada?
Negara :
Propinsi:
Kabupaten/kota:
Panti werda:
Wisma:
3 Registrasi 3 Sebutkan 3 nama
obyek (misal: kursi,
meja, kertas),
kemudian ditanyakan
kepada klien,
menjawab:
1. Objek ........
2. Objek ........
3. Objek ........
4 Perhatian 5 Meminta klien
dan berhitung mulai dari
kalkulasi 100 kemudian kurangi
15 sampai 5 tingkat.
Jawaban:
a. 85
b. 70
c. 40
d. 25
e. 10
5 Mengingat 3 Minta klien untuk
mengulangi ketiga
objek pada poin ke 2
(tiap poin nilai 1),
misal: kursi, meja,
kertas
1. Objek ........
2. Objek ........
3. Objek ........
6 Bahasa 9 a) Menanyakan pada
klien tentang
benda (sambil
menunjukan benda
tersebut).
Contoh:
Jam tangan, meja,
kursi, pensil

b) Minta klien untuk


mengulangi kata
berikut:
tidak ada, dan, jika/
tetapi
c) Minta klien untuk
mengikuti perintah
berikut yang terdiri
3 langkah:
1. Ambil kertas
ditangan anda
2. Lipat dua
3. Taruh di lantai

d) Perintahkan pada
klien untuk hal
berikut (bila
aktifitas sesuai
perintah nilai satu
poin).
“tutup mata anda”

e) Perintahkan
kepada klien untuk
menulis kalimat
atau menyalin
gambar.
Klien menulis/
menggambar
Total nilai 30

Interpretasi Hasil
> 23 : aspek kognitif dari fungsi mentak baik
18 – 22 : kerusakan aspek fungsi mental ringan
0 – 17 : terdapat kerusakan fungsi mental berat
8) Pengkajian Skala Jatuh Pada Lansia
Morse Fall Scale (MFS) digunakan untuk melakukan pengkajian
skala jatuh pada lansia
No Pengkajian Skala Nilai
1 Riwayat jatuh: Apakah lansia pernah Tidak : 0
jatuh dalam 3 bulan terakhir? Ya : 25
2 Diagnosa sekunder: Apakah lansia Tidak : 0
memiliki lebih dari satu penyakit? Ya : 15
3 Alat bantu jalan:
- Bed rest/ dibantu perawat 0
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-benda 30
disekitar (kursi, lemari, meja)
4 Terapi intravena : Apakah saat ini Tidak : 0
lansia terpasang infus? Ya : 20
5 Gaya berjalan/ cara berpindah
- Normal/ bed rest/ imobilisasi (tidak 0
dapat bergerak sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga) 10
- Gangguan/ tidak normal (pincang, 20
diseret)
6 Status mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya 0
sendiri 15
- Lansia mengalami keterbatasan
daya ingat
Total Skala

Tingkatan Risiko Jatuh


0 – 24 : Tidak berisiko (tindakan perawatan dasar)
25 - 50 : Risiko rendah (intervensi pencegahan jatuh
standar)
>51 : Risiko tinggi (intervensi pencegahan jatuh risiko)

9) Pengkajian Tingkat Depresi Pada Lansia


Geriatric Depression Scale merupakan skala yang digunakan untuk
pengkajian tingkat depresi pada lansia
No Pertanyaan Keterangan
1 Apakah anda sebenarnya puas dengan Ya Tidak
kehidupan anda?
2 Apakah anda telah meninggalkan banyak Ya Tidak
kegiatan dan minat atau kesenangan anda?
3 Apakah anda merasa kehidupan anda Ya Tidak
kosong?
4 Apakah anda sering merasa bosan? Ya Tidak
5 Apakah anda mempunyai semangat yang Ya Tidak
baik setiap saat?
6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang Ya Tidak
buruk akan terjadi pada anda?
7 Apakah anda merasa bahagia untuk Ya Tidak
sebagian besar hidup anda?
8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah Ya Tidak
daripada pergi ke luar dan mengerjakan
sesuatu hal yang baru?
10 Apakah anda merasa mempunyai banyak Ya Tidak
masalah dengan daya ingat anda
dibandingkan kebanyakan orang?
11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda Ya Tidak
sekarang ini menyenangkan?
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti Ya Tidak
perasaan anda saat ini?
13 Apakah anda merasa penuh semangat? Ya Tidak
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda Ya Tidak
tidak ada harapan?
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih Ya Tidak
baik keadaanya dari anda?
SKOR

Keterangan:
Lingkari pilihan jawaban berdasarkan pernyataan klien
Skor : hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal
Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1
Skor antara 5 – 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi

10) Penilaian Potensi Dekubitus


Skor norton digunakan untuk menilai potensi dekubitus
No Item Penilaian Skor
1 Kondisi fisik:
 Baik 4
 Cukup baik 3

 Buruk 2

 Sangat buruk 1

2 Kondisi mental:
 Waspada/ sadar penuh 4
 Apatis 3

 Bingung 2

 Pingsan/ tidak sadar 1

3 Aktifitas:
 Dapat berpindah sendiri 4
 Berjalan dengan bantuan 3

 Terbatas dikursi 2
 Terbatas ditempat tidur 1
4 Mobilitas:
 Penuh/ bergerak bebas 4
 Sedikit terbatas 3

 Sangat terbatas 2

 Sulit bergerak 1

5 Inkontinensia:
 Tidak ngompol 4
 Kadang-kadang 3

 Sering inkontinensia urin 2

 Inkontinensia alvi dan urin 1

SKOR

Keterangan:
Skor < 14 : Resiko tinggi terjadinya ulkus diabetikum
Skor < 12 : Peningkatan risiko 50 kali lebih besar terjadinya ulkus
diabetikum
Skor 12 – 13 : Resiko sedang
Skor > 14 : Resiko kecil

h. Diagnosa Keperawatan Gerontik


a) Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
b) Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan asam
urat berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga tentang
cara pencegahan dan perawatan asam urat
c) Gangguan Memori
d) Penurunan Curah Jantung
e) Perfusi Perifer Tidak Efektif
f) Gangguan Pertukaran Gas
g) Pola Napas Tidak Efektif
h) Defisit Nutrisi
i) Gangguan Eliminasi Urin
j) Konstipasi
k) Gangguan Komunikasi Verbal
RENCANA KEPERAWATAN

NO SDKI SLKI SIKI


1. Risiko Setelah dilakukan Label: Manajemen
Ketidakstabilan intervensi Hiperglikemia &
Glukosa Darah keperawatan selama Manajemen Hipoglikemia
3x24 jam didapatkan
Risiko Ketidakstabilan Observasi:
Glukosa Darah 1. Ientifikasi kemungkinan
membaik dengan penyebab hiperglikemia
kriteria hasil: 2. Identifikasi randa gejala
hipoglikemia
Label: Kestabilan 3. Monitor intake & output
Kadar Glukosa cairan
Darah 4. Monitor keton urine,
kadar analisa darah,
1. Kadar glukosa elektrolit, tekanan darah
dalam darah dari ortostatik dan frekuensi
memburuk nadi
menjadi cukup
memburuk
Terapeutik:
2. Lelah/lesu dari 1. Berikan asupan cairan
meningkat oral
menjadi cukup
meningkat Edukasi:
1. Anjurkan kepatuhan diet
3. Keluhan lapar dari dan olahraga
meningkat 2. Ajarkan pengelolaan
menjadi cukup diabetes
meningkat
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
insulin, jika perlu

2. Defisit Pengetahuan Setelah dilakukan Observasi:


intervensi 1. Identifikasi kesiapan
keperawatan selama dan kemampuan
3x24 jam didapatkan menerima informasi
defisit pengatahuan
membaik dengan Terapeutik:
kriteria hasil: 1. Sediakan materi dan
media pendidikan
1. Perilaku sesuai kesehatan
anjuran 2. Berikan kesepakatan
untuk bertanya
2. Pertanyaan
tentang masalah
Edukasi:
yang dihadapi
1. Ajarkan perilaku hidup
3. Persepsi yang bersih dan sehat
keliru terhadap
masalah

3. Gangguan Integritas Setelah dilakukan Observasi:


Kulit/jaringan intervensi 1. Identifikasi penyebab
keperawatan gangguan perubahan
selama3x24 jam integritas kulit
didapatkan gangguan
integritas kulit/jaringan Terapeutik:
meningkat dengan 1. Ubah posisi setiap 2 jam
kriteria hasil: jika tirah baring
2. Hindari produk
1. Elastisitas dari berbahan dasar alkohol
menurun menjadi pada kulit
cukup menurun
Edukasi:
2. Kerusakan lapisan
1. Anjurkan menggunakan
kulit dari
pelembab
meningkat menjadi
2. Anjurkan minum yang
cukup meningkat
cukup
3. Nyeri dari cukup 3. Anjurkan menghindari
meningkat menjadi suhu ekstrem
sedang
4. Gangguan Rasa Setelah dilakukan Observasi:
Nyaman intervensi 1. Identifikasi penurunan
keperawatan selama tingkat energi
3x24 jam didapatkan 2. Identifikasi teknik
status kenyaman relaksasi yang pernah
meningkat dengan efektif digunakan
kriteria hasil:
Terapeutik:
1. Keluhan tidak 1. Ciptakan lingkungan
nyaman dari tenang dan tanpa
meningkat menjadi gangguan dengan
cukup meningkat pencahayaan dan suhu
ruangan yang nyamna,
2. Gelisah dari jika diperlukan
meningkat menjadi 2. Berikan informasi
cukup meningkat tertulis tentang
3. Keluhan sulit tidur persiapan dan prosedur
dari meningkat teknik relaksasi
menjadi cukup
meningkat Edukasi:
1. Anjurkan mengambil
posisi nyaman
5. Nyeri Akut Observasi:
Setelah dilakukan 1. Identifikasi skala nyeri
intervensi 2. Identifikasi respon nyeri
keperawatan selama non verbal
3x24 jam didapatkan
tingkat nyeri menurun Terapeutik:
dengan kriteria hasil: 1. Berikan teknik non-
farmakologi untuk
1. Keluhan nyeri dari mengurangi rasa nyeri
cukup meningkat 2. Fasilitasi istirahat dan
menjadi sedang tidur
2. Meringis dari
meningkat menjadi Edukasi:
cukup meningkat 1. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Clevo, Rendi dan Margareth. (2015). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha medika.

Fatimah, R.N. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: J MAJORITY. Vol. 4, No.
5:93-99

Galicia-Garcia, U., Benito-Vicente, A., Jebari, S., Larrea-Sebal, A., Siddiqi, H.,
Uribe, K. B., Ostolaza, H., & Martín, C. (2020). Pathophysiology of type 2
diabetes mellitus. International Journal of Molecular Sciences, 21(17), 1–34.
https://doi.org/10.3390/ijms21176275

Hall JE. Guyton and Hall. (2016). Textbook of Medical Physiology. 13th ed.
Philadelphia (PA): Elsevier.

Kanokphichayakrai, K., Kaewmahanin, W., Tangvarasittichai, O., &


Tangvarasittichai, S. (2018). Ankle Brachial Index (ABI) measurement
associated with High Sensitivity-C-Reactive Protein, Insulin Resistance and
Pulse Pressure Levels in Type 2 Diabetes Mellitus Patients. Madridge
Journal of Diabetes, 2(1), 31–35. https://doi.org/10.18689/mjd-1000106

LeMone, Burke, & Bauldoff. (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.
Jakarta: EGC

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 1.Jogjkarta : MediAction.

Purwanto, Hadi. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta : Kemenkes

Saeedi, P., Petersohn, I., Salpea, P., Malanda, B., Karuranga, S., Unwin, N.,
Colagiuri, S., Guariguata, L., Motala, A. A., Ogurtsova, K., Shaw, J. E.,
Bright, D., & Williams, R. (2019). Global and regional diabetes prevalence
estimates for 2019 and projections for 2030 and 2045: Results from the
International Diabetes Federation Diabetes Atlas, 9th edition. Diabetes
Research and Clinical Practice, 157, 107843.
https://doi.org/10.1016/j.diabres.2019.107843

Stefan Silbernagl, Florian Lang. (2014). Color Atlas Of Pathophysiology. EGC.


Jakarta

Tandra, H. (2013). Life Healty with Diabetes. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : CV Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai