Makalah - Korban Pemerkosaan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KORBAN PEMERKOSAAN
Mata Kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II

Disusun Oleh :
KELOMPOK 9

1. MERISKA PUTRIYANTI 21230091P


2. NOVIYANTO 21230098P
3. LUSIANA 21230090P
4. HELMI YENTI 21230099P
5. MARLENI EKA PUTRI 21230093P

Dosen : Ns. Dilfera Hermiati, S.Kep, M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang atas rahmatnya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini Kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknik penulisan maupun materi, mengingatakan kemampuan yang kami
miliki untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan terimah kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dan taklupa pula kami
berikan banyak terimahkasih kepada teman-teman yang telah menbantu kami.

Bengkulu, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii


KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Teori................................................................ 3
1. Definisi ............................................................................. 3
2. Etiologi ............................................................................. 3
3. Klasifikasi.......................................................................... 6
4. Pathway ............................................................................. 7
5. Manifestasi Klinis ............................................................. 8
6. Pemeriksaan Penunjang..................................................... 10
7. Penatalaksanaan ............................................................... 16
B. Konsep Asuhan Keperawatan ................................................ 20
1. Pengkajian ......................................................................... 20
2. Diagnose ........................................................................... 26
3. Intervensi .......................................................................... 27
4. Implementasi .................................................................... 33
5. Evaluasi ............................................................................. 33
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 35
B. Saran ...................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak
dimana orang dewasa melampiaskan libidonya pada anak atau dengan kata
lain orang yang sudah dewasa mendapatkan stimulasi seksualnya pada anak
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Bentuk pelecehan seksual
anak termasuk atau menekan (memaksa) seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual, paparan tidak senonoh dari alat kelamin kepada anak,
menampilkan pornografi pada anak, kontak seksual yang sebenarnya pada
anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa
kontak fisik serta menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak
(Roy, 2018)
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan
seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak
berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa
di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk
tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Hampir dari setiap kasus yang
diungkap, pelakunya adalah orang yang dekat korban. Tak sedikit pula
pelakunya adalah orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orang tua
dan guru. Tidak ada satupun karakteristik khusus atau tipe kepribadian yang
dapat diidentifikasi dari seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Dengan kata lain, siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak atau pedofilia. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu
daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit
dihindari. Dari seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap
setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal.
Banyak kasus tersebut yaitu kekerasan seksual terhadap anak dapat
terjadi di mana saja, bisa di dalam rumah, bisa diluar rumah, bisa di jalan, bisa
di sekolah dan bisa di tempat lainnya. Dengan kata lain, kekerasan seksual di

1
zaman sekarang mengintai anak dimana pun mereka berada. Dari segi umur,
kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan memanglah tidak mengenal berapa
pun usia korban yang dimana usia mereka masih dibawah umur, hal ini
terungkap dari data yang di dapat Tiga tahun terakhir yang dimana menjadi
tahun yang memperhatinkan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai pelaku.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra
mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya menemukan 218 kasus
kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat
terdapat 120 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017,
tercatat sebanyak 116 kasus. Sementara dari segi umur pelaku, di temukan
bahwa pelaku mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek. Dalam kasus anak-
anak dan remaja biasanya dikarenakan dampak VCD porno dan media
internet. Sedangkan untuk usia pelaku yang sudah dewasa lebih dominasi
hubungan relasi kuasa, misalnya ayah dengan anak, kakek dengan cucu,
tetangga dengan anak di sebelah rumahnya, dukun dengan pasiennya.
Selanjutnya, untuk mencegah perluasan masalah dalam skripsi ini maka
pelecehan seksual yang dimaksud dibatasi pada masalah persetubuhan yang
terjadi terhadap anak dibawah umur dan pelakunya adalah orang dewasa dan
kebanyakan adalah orang yang telah dikenal korban.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada korban pemerkosaan?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada korban pemerkosaan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in
Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi
antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa
seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak
dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan
ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan
bahkan tekanan.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan
anak dimana orang dewasa melampiaskan libidonya pada anak atau
dengan kata lain orang yang sudah dewasa mendapatkan stimulasi
seksualnya pada anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Bentuk pelecehan seksual anak termasuk atau menekan (memaksa)
seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, paparan tidak senonoh
dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi pada anak, kontak
seksual yang sebenarnya pada anak, kontak fisik dengan alat kelamin
anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik serta menggunakan
anak untuk memproduksi pornografi anak (Roy, 2018)
2. Etiologi
Melihat dari teori-teori sebab terjadinya kejahatan menurut
kriminologi, maka terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dapat
disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya demikian
kompleks, secara umum dapat disebutkan bahwa faktor-faktor penyebab
terjadinya kejahatan seksual pada anak dibagi menjadi 2 (dua) bagian
yaitu:

3
a. Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri
individu. Faktor ini khusus dilihat pada diri individu dan hal-hal yang
mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual meliputi:
1) Faktor Kejiwaan. Kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak
normal dari seseorang dapat mendorong seseorang melakukan
kejahatan. Misalnya, nafsu seks yang abnormal dapat
menyebabkan pelaku melakukan pemerkosaan terhadap korban
anak-anak dengan tidak menyadari keadaan diri sendiri. Psikologis
(kejiwaan) seseorang yang pernah menjadi korban pemerkosaan
sebelumnya seperti kasus Emon yang kejiwaannya telah terganggu
sehingga ia kerap melakukan kejahatan seksual pada anak.
2) Faktor Biologis. Pada realitanya kehidupan manusia mempunyai
berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan
biologis itu terdiri atas tiga jenis, yakni kebutuhan makanan,
kebutuhan seksual dan kebutuhan proteksi. Kebutuhan akan
seksual sama dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang menuntut
pemenuhan.
3) Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan
timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap
munculnya perilaku yang menyimpang. Pemerkosaan, disebabkan
moral pelakunya yang sangat rendah. Seperti kasus terbaru yang
terjadi di Jakarta Timur yaitu seorang ayah berinisial YS tega
memperkosa anak kandungnya sendiri sebanyak 35 kali
menyetubuhi si anak.
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si
pelaku, sebagai berikut:
a. Faktor Sosial Budaya. Meningkatnya kasus-kasus kejahatan asusila
atau perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Akibat

4
modernisasi berkembanglah budaya yang semakin terbuka dan
pergaulan yang semakin bebas.
b. Faktor Ekonomi. Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan
seseorang memiliki pendidikan yang rendah dan selanjutnya akan
membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang
diperoleh. Secara umum, seseorang yang memiliki tingkat
pendidikan rendah cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak
layak. Keadaan perekonomian merupakan faktor yang secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pokok-
pokok kehidupan masyarakat. Akibatnya terjadi peningkatan
kriminalitas termasuk kasus pemerkosaan.
c. Faktor Media Massa. Media massa merupakan sarana informasi
didalam kehidupan seksual. Pemberitaan tentang kejahatan
pemerkosaan yang sering diberitahukan secara terbuka dan
didramatisasi umumnya digambarkan tentang kepuasan pelaku.
Hal seperti ini dapat merangsang para pembaca khususnya orang
yang bermental jahat memperoleh ide untuk melakukan
pemerkosaan
Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan
seksual yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut :
a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak
memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang
membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku.
Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan
baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau
perilakunya.
c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada
korban yang menjadi target dari pelaku.

5
3. Klasifikasi
Menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006), tindakan
kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu :
a. Perkosaan. Pelaku tindak perkosaan biasanya pria. Perkosaan terjadi
pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Bila perkosaan dilakukan
dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu resiko terbesar
karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil.
b. Incest, digambarkan sebagai kejadian relasi seksual diantara individu
yang berkaitan darah. Secara lebih luas, yaitu menerangkan hubungan
seksual ayah tiri dengan anak tiri, antar saudara tiri. Padahal kedua
hubungan seksual yang terakhir ini tidak terjalin pada individu yang
berkaitan darah. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hamper
setiap lingkungan budaya. Incest biasabya terjadi dalam waktu yang
lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.
c. Eksploitasi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi.
Sering melibatkan suatu kelompok secara berpartisipasii, dapat terjadi
sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang
dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan
suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus meliputi keluarga-
keluarga, seluruh keluarga ayah, ibu dan anak-anak dapat terlibat. Hal
ini merupakan situasi patologi di mana kedua orang tua sering terlibat
kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak -
anak sebagai prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak
membutuhkan intervensi dan penanganan yang serius.
Komisi Perlindungan Anak, Kekerasan seksual meliputi: mencolek,
meraba, menyentuh hingga melontarkan kata-kata berorientasi seksual
pada anak-anak. Diperparah dengan tindakan pencabulan, pemerkosaan,
sodomi, dan sejenisnya. (Sinar Harapan, 13 Maret 2004). Yuwono (2015)
menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan seks, sexual gesture
(serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme, sexual remarx

6
(serangan seksual secara verbal). Menurut Brison (Kusmiran, 2011)
kekerasan seksual dapat bersifat verbal atau non-verbal yang disertai
ancaman atau intimidasi, penganiayaan. Sampai pada pembunuhan.
Menurut Collier (Kusmiran, 2011) kategori kekerasan seksual meliputi
pelecehan seksual, ancaman perkosaan, percobaan perkosaan, perkosaan,
perkosaan disertai kekerasan, perkosaan disertai pembunuhan, dan
pemaksaan untuk melacur.
4. Pathway

7
5. Manifestasi Klinis
Ciri-Ciri anak yang mengalami kekerasan seksual menurut Zastrow
(dalam Huraerah, 2006), yaitu:
a. Tanda-tanda perilaku
1) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku dari bahagia ke
depresi atau permusuhan,dari bersahabat ke isolasi atau dari
komunikatif ke penuh rahasia.
2) Perilaku ekstrim
Perilaku lebih agresif atau lebih pasif dari teman sebayanya atau
dari perilaku individu sebelumnya, menjadi sensitive dan gampang
marah.
3) Gangguan Tidur
Takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu
yang lama, takut tidur sendiri, mimpi buruk.
4) Perilaku regresif
Kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti
mengompol, mengisap jempol.
5) Perilaku anti-sosial atau nakal
Bermain-main api, mengganggu anak lain atau binatang tindakan-
tindakan merusak
6) Perilaku menghindar
Takut akan atau menghindar dari orang tertentu (orang tua, kakak,
tetangga, saudara lain, pengasuh, lari dari rumah, nakal,membolos
sekolah.
7) Perilaku seksual yang tidak pantas
Masturbasi berlebihan, berbahasa atau bertingkah porno melebihi
usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih
muda,menggambar porno.
8) Penyalahgunaan NAPZA
Alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.
9) Bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self abuse)

8
Merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi pada
kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan
bunuh diri
b. Tanda-tanda Kognisi
Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan berkhayal, fokus
perhatian singkat/terpecah.Minat sekolah memudar: menurunnya
perhatian pada tugas sekolah dibanding sebelumnya. Respons atau
reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba – tiba dan orang
lain dalam jarak dekat.
c. Tanda-tanda Sosial – emosional
1) Rendahnya kepercayaan diri : perasaan tidak berharga
2) Menarik Diri : mengisolasi dari teman, lari ke dalam khayalan atau
ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.
3) Depresi tanpa penyebab jelas: Perasaan tanpa harapan dan
ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh
diri.
4) Ketakutan berlebihan: Kecemasan, hilang, kepercayaan terhadap
orang lain.
5) Keterbatasan Perasaan: Tidak dapat mencintai, tidak riang seperti
sebelumnya atau sebagaimana dialami teman dekatnya.
d. Tanda-tanda Fisik
1) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut,
tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnnya berat badan
secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai,
muntah-muntah.
2) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin:
Pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan,
lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin (menderita
penyakit seksual) dan kekerasan seksual pada korban juga akan
mengakibatkan kehamilan.

9
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksasan Fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “head to
toe”. Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari
ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik
juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban
tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk
pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life saving”
terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik,
perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat
anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi
pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup:
1) Tingkat kesadaran,
2) Keadaan umum,
3) Tanda vital,
4) Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
5) Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan
sebagainya),
6) Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
7) Status generalis,
8) Tinggi badan dan berat badan,
9) Rambut (tercabut/rontok)
10) Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan
ketiga),
11) Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada
kuku yang tercabut atau patah),
12) Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
13) Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta
14) Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain
daerah kemaluan.

10
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan
diagram tubuh seperti pada gambar berikut :

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik


yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban
dan mencakup pemeriksaan:
1) daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada
jaringan lunak atau bercak cairan mani;
2) penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya
rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku,
penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;
3) daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya
perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani);
4) labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah
ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
5) vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan
bagian bawah), apakah ada perlukaan;
6) hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas
atau ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet,
atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah
robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam,

11
dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai
dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda
penyembuhan pada tepi robekan;
7) vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau
lendir;
8) serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah
melahirkan dan adanya cairan atau lendir;
9) uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
10) anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi
berdasarkan anamnesis;
11) mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
12) daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk
mencari bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
13) tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik
sangat penting.Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu
dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto
dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan
pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-
foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil
setelah pemeriksaan selesai.
Menentukan ada tidaknya persetubuhan:
1) Tanda langsung
a. Adanya robekan selaput dara
b. Luka lecet atau memar di lliang senggama
c. Ditemukan sperma
2) Tanda tidak langsung
a. Kehamilan
b. Penyakit hubungan seksual
b. Pemeriksaan korban
1) Pemeriksaan tubuh

12
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau
tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi
ruptur tersebut, teliti apakah sampai ke insertio atau tidak.
Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari
telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan
ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau
telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai
terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung
tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang
perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan
persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
2) Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak
ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan
adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.
c. Pemeriksaan pelaku
1) Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan
persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel
vagina pada glans penis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret
uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.
2) Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini penentuan
golongan darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada
pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium

13
forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik,
dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.
d. Aspek Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Swab dan Sampel
Pemeriksaan Swab dan sampel menurut Magalhães T dalam jurnal
berjudul Biological Evidence Management for DNA Analysis in
Cases of Sexual Assault sangat penting untuk dijadikan sebagai
bukti adanya kontak seksual antara korban dengan pelaku dan
membantu penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual.
Joanne Archambault menyatakan bahwa 44% tersangka
didapatkan dengan menggunakan analisis DNA yang diperoleh
dari pemeriksaan swab dan sampel, sehingga dengan melakukan
pemeriksaan swab dan pengumpulan sampel sangat membantu
investigasi dan penyelesaian kasus kejahatan seksual. Pemeriksaan
cairan biologis pada tubuh merupakan hal yang sangat penting hal
ini dikarenakan hasil dari pemeriksaan ini digunakan sebagai bukti
dalam sebuah kasus kejahatan seksual. Swab yang diperoleh dari
tubuh korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA yang dapat
digunakan oleh penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan
seksual. Peran dokter dalam mengumpulkan swab dan sampel
yaitu:
a) Melakukan swab sesuai dengan teknik pemeriksaan yang benar
b) Melakukan pemeriksaan terhadap sampel dan swab yang
didapat dari tubuh korban bila terdapat fasilitas di rumah sakit /
merujuk sampel kepada laboratorium yang lebih berkompeten
untuk dilakukan pemeriksaan
c) Mampu menjelaskan kepada penyidik mengenai hasil dari
sampel secara detail dan lengkap

14
2) Pemeriksaan darah dan urin
Pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan terutama apabila ada
riwayat konsumsi obat – obat dan alkohol. Peran sampel darah dan
urin adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis toksikologi.
Pemeriksaan toksikologi ini sangat dipengaruhi oleh lama waktu
ketika korban meminum obat atau alkohol hingga melapor ke
rumah sakit. Semakin lama durasi korban melapor sesudah
meminum obat atau alkohol maka semakin kecil pula zat – zat
yang dapat ditemukan dalam darah akibat proses dari metabolisme
tubuh. Pemeriksaan darah berperan dalam membantu dokter
mencegah penyakit menular seksual terutama HIV. Pemeriksaan
darah juga membantu dokter dalam mencegah penularan penyakit
hepatitis B yang ditularkan melalui cairan tubuh.
Peran dokter dalam pemeriksaan darah dan urin adalah.
a) Mengambil sampel darah dan urin yang dapat digunakan untuk
pemeriksaan toksikologi dan intoksikasi obat
b) Mengambil sampel darah yang digunakan untuk pemeriksaan
serologi khususnya penyakit menular seksual
c) Memeriksa sampel darah dan urin korban di laboratorium dan
menjelaskan hasil kepada penyidik
3) Pemeriksaan Kehamilan
Pemeriksaan kehamilan dengan metode β – HCG sangat penting
untuk dilakukan. Didalam buku victim of sexual violance : A hand
book for Helper digunakan pemeriksaan ini digunakan untuk
membuktikan apakah korban hamil akibat dari kasus kejahatan
seksual sehingga dokter dapat melakukan tatalaksana yang tepat
untuk kehamilannya. Korban yang dinyatakan hamil akibat kasus
kejahatan seksual dalam buku Rape Investigation Handbook dapat
dilakukan pemeriksaan DNA dengan menggunakan sampel dari
kehamilan dan fetus dari korban. Hasil pemeriksaan DNA tersebut
dapat digunakan sebagai bukti kasus kejahatan seksual tersebut. Di

15
Indonesia , fungsi dari pemeriksaan kehamilan adalah sebagai
bukti yang ditulis dalam visum et repertum yang akan digunakan
oleh penyidik untuk menindaklanjuti sebuah kasus kejahatan
seksual.
Peran dokter dalam pemeriksaan kehamilan adalah
1) Melakukan tes kehamilan atau pregnancy test
2) Menginterpretasikan hasil pemeriksaan tes kehamilan
7. Penatalaksanaan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita
stres pasca trauma, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan
psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat (terapi anti
depresiva) (Kaplan dkk, 1997). Sedangkan pengobatan psikoterapi, ada
tiga tipe psikoterapi, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, dan
exposure therapy.
a. Anxiety Management
Terapis mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala stres pasca trauma melalui: 1) relaxation training,
yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis
dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama; 2) Breathing
retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik, seperti jantung berdebar-debar dan sakit kepala; 3) Positive
thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-
hal yang membuat stres; 4) Asserrtiveness training, yaitu belajar
bagaimana mengekspresikan harapan, opini, dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain; 5) Thought stopping, yaitu
belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika sedang memikirkan hal-
hal yang membuat stres.

16
b. Cognitive Therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan
individu. Tujuan kognitif terapi adalah untuk mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional dan mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk mencapai emosi yang lebih seimbang.
c. Exposure Therapy
Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya.
Terapis dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu
bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai
tidak mengalami hambatan menceritakan, atau exposure in reality,
yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
Program terapi untuk anak yang mengalami kekerasan seksual
sangat bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitif anak.
Zastrow (dalam Huraerah, 2006) mengemukakan beberapa model program
konseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami kekerasan
seksual, yaitu:
a. The Dynamics of sexual abuse
Konseling difokuskan pada pengembangan konsepsi bahwa
kejadian kekerasan seksual termasuk kesalahan dan tanggungjawabnya
berada pada pelaku bukan “korban”. Anak-anak dijamin bahwa mereka
tidak dipersalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual. Kontak
seksual yang terjadi adalah akibat trik para pelaku yang lebih dewasa,
kuat, cerdas dan itu merupakan pelanggaran hukum.
b. Protective behaviors counseling
Anak-anak dilatih untuk menguasai ketrampilan mengurangi
“kerentanannya” sesuai dengan usianya. Untuk anak-anak Pra-sekolah,
pelatihan dibatasi pada cara-cara: (a) berkata “tidak” terhadap

17
sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan, (b) menjauh secepat
mungkin dari orang-orang yang terlihat sebagai “abuse person”, (c)
melaporkan pada orang tua atau orang dewasa yang dipercaya dapat
membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling
Menyadarkan anak-anak yang menjadi “korban” bahwa mereka
sebenarnya bukan korban, melainkan “orang yang menghadapi
kekerasan seksual. Untuk mengurangi rasa bersalah pada anak yang
tidak melaporkan kejadian, anak perlu diyakinkan bahwa hal tersebut
merupakan situasi dan perasaan yang wajar. Konseling juga dapat
difokuskan untuk meningkatkan kedasaran anak akan kekuatan dan
kelebihan yang dimiliki anak. Terapi akan menjadi pengalaman yang
berharga manakala anak merasa dihargai dan diterima oleh konselor.
d. Feeling counseling
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, diidentifikasi
kemampuannya mengenali berbagai perasaan. Anak-anak diyakinkan
bahwa mereka mempunyai hak untuk memiliki perasaan sendiri dan
bahwa perasaan mereka tidak akan dinilai “baik” atau “buruk”. Mereka
kemudian didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang
tidak menyenangkan baik pada saat mengalami kekerasan seksual
maupun saat ini. Perasaan-perasaan yang belum tersalurkan
memungkinkan anak-anak menunjukkan perilaku agresif dan merusak
diri sendiri. Sehingga anak-anak diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah
menyakitinya dan menghianati kepercayaannya. Konselor perlu
menghargai hak-ahak anak yang sulit atau bahkan menolak untuk
membicarakan perasaan-perasaannya. Memaksa anak justru akan
memperkuat perasaan-perasaan bersalah dan penderitaannya.
e. Cognitive Therapy
Konsep dasar teknik ini adalah bahwa perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi

18
oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-ulang.
Konselor dapat mengintervensi terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan negative ini melalui berbagai cara: (a) Penghentian pikiran-
pikiran imajinatif, (b) Penggantian atau penukaran pikiran, (c)
Distraksi. Konselor dapat bekerjasama dengan anak dan orangtuanya
guna mengembangkan kegiatan waktu tidur, seperti membaca cerita
yang menyenangkan atau membiarkan anak mendengarkan musik
lembut pada saat menjelang tidur.
Berikut beberapa langkah yang bisa orang tua lakukan untuk
mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak Anda:
a. Jangan berikan pakaian yang terlalu terbuka karena bisa menjadi
rangsangan bagi tindakan pelecehan seksual;
b. Tanamkan rasa malu sejak dini dan ajarkan si kecil untuk tidak
membuka baju di tempat terbuka, juga tidak buang air kecil selain di
kamar mandi;
c. Jaga si kecil dari tayangan pornografi baik film atau iklan;
d. Ketahui dengan siapa anak Anda menghabiskan waktu dan temani ia
saat bermain bersama teman-temannya. Jika tidak memungkinkan
maka sering-seringlah memantau kondisi mereka secara berkala;
e. Jangan membiarkan anak menghabiskan waktu di tempat-tempat
terpencil dengan orang dewasa lain atau anak laki-laki yang lebih tua;
f. Jika menggunakan pengasuh, rencanakan untuk mengunjungi
pengasuh anak Anda tanpa pemberitahuan terlebih dahulu;
g. Beritahu anak agar jangan berbicara atau menerima pemberian dari
orang asing;
h. Dukung anak jika ia menolak dipeluk atau dicium seseorang
(walaupun masih keluarga), Anda bisa menjelaskan kepada orang
bersangkutan bahwa si kecil sedang tidak mood. Dengan begitu anak
Anda belajar bahwa ia berwewenang atas tubuhnya sendiri;
i. Dengarkan ketika anak berusaha memberitahu Anda sesuatu, terutama
ketika ia terlihat sulit untuk menyampaikan hal tersebut;

19
j. Berikan anak Anda waktu cukup sehingga anak tidak akan mencari
perhatian dari orang dewasa lain;
Untuk anak yang berusia remaja yang lebih mengenal dunia luar
alangkah baiknya pada orang tua dapat mengkontrol anak dalam hal
berikut ini:
1. Ajarkan penggunaan internet yang aman - berikan batasan waktu
baginya dalam menggunakan internet, selalu awasi situs- situs yang ia
buka. Jelaskan juga bahwa tidak semua orang yang ia kenal di internet
sebaik yang ia kira, jadi ia tak boleh sembarangan memberi informasi
atau bercerita kepada mereka;
2. Minta anak untuk segera memberitahu Anda jika ada yang
mengirimkan pesan atau gambar yang membuat anak tak nyaman;
3. Awasi juga penggunaan gadget seperti seperti ponsel atau smartphone
jangan sampai anak terekspos dengan hal berbau porno melalui alat-
alat tersebut meskipun tidak disengaja karena bisa berdampak pada
perkembangan seksual anak.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pada tahap ini ada beberapa faktor yang perlu dieksplorasi baik
pada klien sendiri maupun keluarga berkenan dengan kasus halusinasi
yang meliputi :
a. Indentitas klien
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
1) Faktor genetis
2) Faktor biologis
3) Faktor presipitasi psikologis
d. Faktor presipitasi
1) Biologi

20
2) Stress lingkungan
3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap,
dan perilaku
e. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan
apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien.
f. Psikososial
1) Genogram
Perbuatan genogram minumal 3 generasi yang menggambarkan
hubungan klien dengan keluarga, masalah yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh, pertumbuhan
individu dan keluarga.
2) Konsep Diri
a) Gambaran Diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya,bagian tubuh yang
disukai,reaksi klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai
dan bagian yang disukai.
b) Identitas Diri
Klien dengan halusinasi tidak puas akan dirinya merasa bahwa
klien tidak berguna.
c) Fungsi peran
Tugas atau peran klien dalam keluarga/pekerjaan/kelompok
masyarakat, kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau
perannya, dan bagaimana perasaan klien akibat perubahan
tersebut. Pada klien halusinasi bisa berubah atau berhenti
fungsi peran yang disebabkan penyakit, trauma akan masa lalu,
menarik diri dari orang lain, perilaku agresif.
d) Ideal diri
Harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas,
peran dalam kelurga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien

21
terhadap lingkungan, harapan klien terhadap penyakitnya,
bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya.
Pada klien yang mengalami halusinasi cenderung tidak peduli
dengan diri sendiri maupun sekitarnya.
e) Harga Diri
Klien yang mengalami halusinasi cenderung menerima diri
tanpa syarat meskipun telah melakukan kesalahan, kekalahan,
dan kegagalan ia tetap merasa dirinya sangat berharga.
3) Hubungan Sosial
Tanyakan siapa orang terdekat dikehidupan klien tempat mengadu,
berbicara, minta bantuin, atau dukungan. Serta tanyakan organisasi
yang diikuti dalam kelompok/ masyarakat. Klien dengan halusinasi
cenderung tidak mempunyai orang terdekat, dan jarang mengikuti
kegiatan yang ada dimasyarakat. Lebih senang menyendiri dan
asyik demgan isi halusinasi.
4) Spritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah/menjalankan keyakinan,
kepuasaan dalam menjalankan keyakinan. Apakah isi halusinasi
mempengaruhi keyakinan klien dengan Tuhannya.
g. Status Mental
1) Penampilan
Melihat penampilan klien dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Pada klien dengan halusinasi mengalami defisit perawatan diri
(penampilan tidak rapi, penggunaan pakaian tidak sesuai, cara
berpakaian tidak seperti biasanya, rambut kotor, rambut seperti
tidak disisir, gigi kotor, dan kuning, kuku panjang dan hitam). Raut
wajah tampak takut, kebingungan, cemas.

22
2) Pembicaraan
Klien dengan halusinasi cenderung sukamberbicara sendiri, ketika
diajak bicara tidak fokus. Terkadang yang dibicarakan tidak masuk
akal. memulai pembicaraan.
3) Aktivitas Motorik
Klien dengan halusinasi tampak gelisah, kelesuan, ketegangan,
agitasi, tremor. Klien terlihat sering menutup telinga, menunjuk –
nunjuk kearah tertentu, menggaruk-garuk permukaan kulit, sering
meludah, menutup hidung.
4) Afek emosi
Pada klien halusinasi tingkat emosi lebih tinggi, perilaku agresif,
ketakutan yang berlebih, eforia.
5) Interaksi selama wawancara
Klien dengan halusinasi cenderung tidak kooperatif (tidak dapat
menjawab pertanyaan pewawancara dengan spontan) dan kontak
mata kurang (tidak mau menatap lawan bicara) mudah tersinggung.
6) Proses berpikir
a) Bentuk fikir
Mengalami dereistik yaitu bentuk pemikiran yang tidak sesuai
dengan kenyaaatan yang ada atau tidak mengikuti logika secara
umum (tidak ada sangkut pautnya antara proses individu dan
pengalaman yang sedang terjadi). Klien yang mengalami
halusinasi lebih sering was-was terhadap hal-hal yang
dialaminya.
b) Isi fikir
Selalu merasa curiga terhadap suatu hal dan depersoalisasi
yaitu perasaan yang aneh atau asing terhadap diri sendiri, orang
lain lingkungan sekitar, berisikan keyakinan berdasarkan
penilain non realistis.

23
7) Tingkat kesadaran
Pada klien halusinasi seringkali merasa bingung, apatis,(acuh tak
acuh).
8) Memori
1) Daya ingat jangka panjang:mengingat kejadian masa lalu lebih
dari satu bulan
2) Daya ingat jangka menengah:dapat mengingat kejadian yang
terjadi 1 minggu terakhir.
3) Daya ingat jangka pendek:dapat mengingat kejadian yang
terjadi saat ini.
9) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Pada klien dengan halusinasi tidak dapat berkonsentrasi dan dapat
menjelaskan kembali pembicaraan yang baru saja di bicarakan
dirinya/orang lain.
10) Kemampuan penilaian mengambil keputusan
1) gangguan ringan:dapat mengambil keputusan secara sederhana
baik dibantu orang lain/tidak
2) gangguan bermakna:tidak dapat mengambil keputusan secara
sederhana cenderung mendengar/melihat ada yang
diperintahkan.
11) Daya tilik diri
Pada klien halusinasi cenderung mengingkari penyakit yang
diderita: klien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik)
pada dirinya dan merasa tidak perlu minta pertolongan/klien
menyangkal keadaan penyakitnya, klien tidak mau bercerita
tentang penyakitnya.
h. Kebutuhan perencanaan ulang
1) Kemampuan klien memenuhi kebutuhan kebutuhan
Tanyakan apakah klien mampu atau tidak mampu memenuhi
kebutuhanya sendiri.

24
2) Kegiatan kehidupan sehari-hari
a) Perawatan diri
Pada klien halusinasi tidak mampu melakukan kegiatan hidup
sehari-hari seperti mandi, kebersihan, ganti pakaian, secara
mandiri perlu bantuan minimal.
b) Tidur
Klien halusinasi cenderung tidak dapat tidur yang berkualitas
karena kegelisahan, kecemasan akan hal yang tidak realita
c) Kemampuan klien lain lain
Klien tidak dapat mengantisipasi kebutuhan hidupnya, dan
membuat keputusan.
d) Klien memiliki sistem pendukung
Klien halusinasi tidak memiliki dukungan dari keluarga
maupun orang sekitarnya karena kurang nya pengetahuan
keluarga bisa menjadi penyebab. Klien dengan halusinasi tidak
mudah untuk percaya terhadap orang lain selalu merasa
curigas.
e) Klien menikmati saat bekerja/kegiatan produktif/hobi
Klien halusinasi merasa menikmati pekerjaan, kegiatan yang
produktif karena ketika klien melakukan kegiatan
berkurangnya pandangan kosong.
i. Mekanisme koping
Biasanya pada klien halusinasi cenderung berprilaku maladaptif,
seperti mencederai diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Malas
berkreatif, perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain, mempercayai orang
lain dan asyik dengan stimulus intenal Masalah psikososial dan
lingkungan.Biasanya pada klien halusinasi mempunyai masalah di
masalalu dan mengakibatkan dia menarik diri dari masyarakat dan
orang terdekat.

25
j. Aspek pengetahuan
Pada klien halusinasi kurang mengetahui tentang penyakit jiwa karena
tidak merasa hal yang dilakukan dalam tekanan
k. Aspek medis
Memberikan penjelasan tentang diangnostik medis. Pada klien terapi
medis seperti haloperidol (HLP), Clapromazine (CPZ),
Trihexyphenidyl (THP)
2. Diagnose
Diagnose keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadp masalah atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien indivisu, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnose keperawatan yang muncul pada kasus
keperawatan jiwa pada anak yang mengalami kekerasan seksual antara lain
sebagai berikut :
1. Resiko bunuh diri d.d gangguan psikologis (penganiayaan masa
kanak-kanak, riwayat bunuh diri sebelumnya dan penyalahgunaan
zat). (D.0135).
2. Isolasi sosial b.d Ketidaksesuaian nilai-nilai dengan norma,
ketidaksesuaian perilaku sosial dengan norma, perubahan status
mental d.d merasa ingin sendirian, menarik diri, tidak
berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan,
merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak mempunyai tujuan
yang jelas, afek datar, afek sedih, tidak ada kontak mata dan tidak
bergairah/lesu. (D. 0121).
3. Harga diri rendah kronis b.d terpapar situasi traumatis dan d.d menilai
diri negatif (mis, tidak berguna, tidak tertolong), merasa
malu/bersalah, merasa tidak mampu melakukan apapun, merasa sulit
konsentrasi, sulit tidur, kontak mata kurang, lesu dan tidak bergairah,
berbicara pelan dan lirih dan pasif. (D. 0086)

26
3. Intervensi
Diagnosa Tujuan Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan Criteria

Resiko bunuh diri Setelah dilakukan Pencegahan bunuh diri (I 14538).


d.d gangguan intervensi
psikologis keperawatan selama 2 Observasi :
(penganiayaan x 8 jam diharapkan
1. identifikasi gejala risiko bunuh
masa kanak-kanak, kontrol diri meningkat
diri (mis. Gangguan mood,
riwayat bunuh diri dengan kriteria hasil
halusinasi, delusi, panik,
sebelumnya dan sebagai berikut :
penyalahgunaan zat, kesedihan,
penyalahgunaan
1. Perilaku melukai gangguan kepribadian).
zat). (D.0135).
diri sendiri 2. Identifikasi keinginan dan pikiran
menurun. rencana bunuh diri.
2. Verbalisasi 3. Monitor lingkungan bebas
keinginan bunuh bahaya secara rutin (mis, barand
diri menurun. pribadi, pisau cukur, jendela).
3. Verbalisasi 4. Monitor adanya perubahan mood
isyarat bunuh diri atau perilaku.
menurun.
4. Verbalisasi
Terapeutik :
ancaman bunuh
diri menurun. 5. Libatkan dalam perencanaan
5. Verbalisasi perawatan mandiri.
rencana bunuh diri 6. Libatkan keluarga dalam
menurun. perencanaan perawatan.
6. Perilaku 7. Lakukan pendekatan langsung
merencanakan dan tidak menghakimi saat
bunuh diri membahas bunuh diri.
menurun. 8. Berikan lingkungan dengan
7. Alam perasaan pengamanan ketat dan mudah di
depresi menurun. pantau (mis, tempat tidur dekat
ruang perawat).
9. Tingkatan pengawasan pada
kondisi tertentu (mis, rapat saraf,
pengantin shift).
10. Lakukan intervensi perlindungan
(mis, pembatasan area,
pengekangan fisik), jika di
perlukan.
11. Hindari diskusi berulang tentang
bunuh diri sebelumnya, diskusi
berorientasi pada masa sekarang
dan masa depan.
12. Diskusikan rencana menghadapi

27
ide bunuh diri di masa depan
(mis, orang yang dihubungi,
kemana mencari bantuan).
13. Pastikan obat di telan.

Edukasi :
14. Anjurkan mendiskusikan
perasaan yang di alami kepada
orang lain.
15. Anjurkan menggunakan sumber
pendukung (mis, layanan
spiritual, penyediaan layanan).
16. Jelaskan tindakan pencegahan
bunuh diri kepada keluarga atau
orang terdekat.
17. Informasikan sumber daya
masyarakat dan program yang
tersedia.
18. Latih pencegahan risiko bunuh
diri (mis, latihan asertif, relaksasi
otot progesif).

Kolaborasi :
19. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, atau antipsikotik,
sesuai indikasi.
20. Kolaborasi tindakan keselamatan
kepada PPA.
21. Rujuk ke pelayanan kesehatan
mental, jika perlu.
Isolasi sosial b.d Setelah dilakukan Terapi aktivitas (1.05186).
Ketidaksesuaian intervensi
nilai-nilai dengan keperawatan selama 2 Observasi :
norma, x 8 jam diharapkan
1. Identifikasi defisit tingat
ketidaksesuaian kontrol diri meningkat
aktivitas.
perilaku sosial dengan kriteria hasil
2. Identifikasi kemampuan
dengan norma, sebagai berikut :
berpartisipasi dalam aktivitas
perubahan status
1. Perilaku menarik tertentu.
mental d.d merasa
diri menurun. 3. Identifikasi sumber daya untuk
ingin sendirian,
2. Verbalisasi aktivitas yang diinginkan.
menarik diri, tidak
perasaan berbeda 4. Identifikasi strategi meningkat
berminat/menolak
dengan orang lain partisipasi dalam aktivitas.
berinteraksi
5. Identifikasi makna aktivitas rutin

28
dengan orang lain menurun. (mis, bekerja) dan waktu luang.
atau lingkungan, 3. Afek 6. Monitor respons emosional, fisik,
merasa berbeda murung/sedih sosial, dan spiritual terhadap
dengan orang lain, menurun. aktivitas.
merasa tidak 4. Kontak mata
mempunyai tujuan menurun.
yang jelas, afek Terapeutik :
datar, afek sedih,
7. Fasilitasi fokus pada
tidak ada kontak
kemampuan, bukan defisit yang
mata dan tidak
di alami.
bergairah/lesu. (D.
8. Sepakati komitmen untuk
0121).
meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas.
9. Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial.
10. Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia.
11. Fasilitasi makna aktivitas yang
dipilih.
12. Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika sesuai.
13. Fasilitas pasien dan keluarga
dalam menyesuaikan lingkungan
untuk mengakomodasi aktivitas
yang dipilih.
14. Fasilitasi aktivitas fisik rutin
(mis, ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan.
15. Fasilitasi aktivitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu,
energi, atau gerak.
16. Fasilitasi aktivitas motorik kasar
untuk pasien hiperaktif.
17. Tingkatan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, juka
sesuai.
18. Fasilitasi aktivitas motorik untuk
merelaksasi otot.
19. Fasilitasi aktivitas dengan
komponen memori impilsit dan
emosional (mis, kegiatan
keagamaan, khusus) untuk pasien
demensia, jika sesuai.

29
20. Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak kompetitif,
tekstruktur, dan aktif.
21. Tingkatkan keterlibatan dalam
aktivitas rekreasi dan
diversifikasi untuk menurunkan
kecemasan (mis, vocal group,
bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permainan sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga, perawatan
diri, dan teka-teki dan kartu).
22. Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu.
23. Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri.
24. Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan.
25. Jadwalkan aktivitas dalam
rutinitas sehari-hari.
26. Berikan penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas.

Edukasi :
27. Jelaskan metode aktivitas fisik
sehari-hari, jika perlu
28. Ajarkan cara melakukan aktivitas
yang dipilih.
29. Anjurkan melakukan aktivitas
fisik, sosial, spiritual, dan
kognitif dalam menjaga fungsi
dan kesehatan.
30. Anjurkan terlibat dalam aktivitas
kelompok atau terap, jika sesuai.
31. Anjurkan keluarga untuk
memberi penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
kolaborasi.
32. Kolaborasi dengan terapis
akupasi dalam merencanakan dan
memonitor program aktivitas,
jika sesuai.
33. Rujuk pada pusat atau program
aktivitas komunitas, jika perlu.

30
Harga diri rendah Setelah dilakukan Promosi koping (1.09312)
kronis d.d terpapar intervensi
situasi traumatis keperawatan selama 2 Observasi :
dan d.b menilai diri x 8 jam diharapkan
1. Identifikasi kegiatan jangka
negatif (mis, tidak kontrol diri meningkat
pendek dan panjang sesuai
berguna, tidak dengan kriteria hasil
tujuan.
tertolong), merasa sebagai berikut :
2. Identifikasi kemampuan yang di
malu/bersalah,
1. Perasaan malu miliki.
merasa tidak
menurun. 3. Identifikasi sumber daya yang
mampu melakukan
2. Perasaan bersalah tersedia untuk memenuhi tujuan.
apapun, merasa
menurun. 4. Identifikasi pemahaman proses
sulit konsentrasi,
3. Perasaan tidak penyakit.
sulit tidur, kontak
mata kurang, lesu mampu melakukan 5. Identifikasi dampak situasi
apapun menurun. terhadap peran dan hubungan.
dan tidak
4. Meremehkan 6. Identifikasi metode penyelesaian
bergairah,
kemampuan masalah.
berbicara pelan dan
mengatasi masalah 7. Identifikasi kebutuhan dan
lirih dan pasif. (D.
menurun. keinginan terhadap dukungan
0086).
sosial.

Terapeutik :
8. Diskusikan perubahan peran
yang di alami.
9. Gunakan pendekatan yang tenang
dan meyakinkan.
10. Diskusikan alasan mengkritik diri
sendiri.
11. Diskusikan untuk
mengklarifikasi kesalahpahaman
dan mengevaluasi perilaku
sendiri.
12. Diskusikan konsekuensi tidak
menggunakan rasa bersalah dan
rasa malu.
13. Diskusikan risiko yang
menimbulkan bahaya pada diri
sendiri.
14. Fasilitiasi dalam memperoleh
informasi yang dibutuhkan.
15. Berikan pilihan realistis
mengenai aspek-aspek tertentu
dalam perawatan.
16. Motivasi untuk menentukan
harapan yang realistis.

31
17. Tinjau kembali kemampuan
dalam pengambilan keputusan.
18. Hindari mengambil keputusan
saat pasien berada di bawah
tekanan.
19. Motivasi terlibat dalam
keterbatasan social.
20. Motivasi mengidentifikasi sistem
pendukung yang tersedia.
21. Dampingi saat berduka (mis,
penyakit kronis, kecacatan).
22. Perkenalkan dengan orang atau
kelompok yang berhaasil
mengalami pengalaman sama.
23. Dukung penggunaan mekanisme
pertahanan yang tepat.
24. Kurangi rangsangan lingkungan
yang mengancam.

Edukasi :
25. Anjurkan menjalin hubungan
yang memiliki kepentingan dan
tujuan sama
26. Anjurkan penggunaan sumber
spiritual, jika perlu.
27. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
28. Anjurkan keluarga terlibat.
29. Anjurkan membuat tujuan yang
lebih spesifik.
30. Anjurkan cara memecahkan
masalah secara konstuktif.
31. Latih penggunaan teknik
relaksasi.
32. Latih keterampilan sosial, sesuai
kebutuhan.
33. Latih mengembangkan penilaian
obyektif.

32
4. Implementasi
Implementasi adalah tindakan dari rencana keperawatan yang telah
disusun dengan menggunakan pengetahuan perawat, perawat melakukan
dua intervensi yaitu mandiri atau independen dan kolaborasi atau
interdisipliner. Tujuan dari implementasi antara lain adalah: melakukan,
membantu dan mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari,
memberikan asuhan keperawatan untuk mecapai tujuan yang berpusat
pada klien, mencatat serta melakukan pertukaran informasi yang relevan
dengan perawatan kesehatan yang berkelanjutan dari klien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan sebagai penialian status pasien dari efektivitas
tindakan dan pencapaian hasil yang diidentifikasi terus pada setiap
langkah dalam proses keperawatan, serta rencana perawatan yang telah
dilaksanakan (NANDA, 2015). Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat
dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan
apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum, serta mengkaji
penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008).
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam
mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan
dengan pasien.
a. Evaluasi Formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera
pada saat setelah dilakukan tindakan keperawatan. Ditulis pada catatan
perawat.
b. Evaluasi Sumatif
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan
perkembangan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan pada SOAP, yaitu:
S: Data subjektif, yaitu data yang diutarakan klien dan pandangannya
terhadap data tersebut.

33
O: Data objektif, yaitu data yang didapat dari hasil observasi perawat,
termasuk tanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan dengan penyakit
pasien (meliputi data fisiologis, dan informasi dan pemeriksaan tenaga
kesehatan).
A: Analisis, yaitu analisa ataupun kesimpulan dari data subjektif dan data
objektif.
P: Perencanaan, yaitu pengembangan rencana segera atau yang akan
datang untuk mencapai status kesehatan klien yang optimal.(Hutahaen,
2010).
Adapun ukuran pencapaian tujuan tahap evaluasi dalam keperawatan
meliputi:
1) Masalah teratasi, jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2) Masalah teratasi sebagian, jika klien menunjukkan perubahan sebagian
dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Masalah tidak teratasi, jika klien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/diagnose keperawatan
baru.

34
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi
dirinya dan mengganggu kehormatan orang lain. Kejahatan seksual adalah
sebuah bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah
hukum nasional suatu negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua
negara di dunia atau masalah global. Dari kejadian ini dapat menyebabkan
trauma psikologi bagi korban, dan dapat menyebakan pengaruh pada kualitas
hidup korban. Bahkan berdampak pada gangguan kejiwaan klien hingga
menuju ke tindakan bunuh diri.
Semua tindakan keperawat dan asuhan keperawatan dilakukan sesuai
dengan keadaan klien, mulai dari pengkajian, analisas data, pohon masalah
yang muncul, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

B. Saran
Demikian makalah asuhan keperawatan ini kami sampaikan, jika masih
terdapat kekurangan baik dalam penulisan maupun penyusunan, maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

35
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Ratna dkk.2017. “Pemeriksaan Fisik dan Aspek Medikolegal Kekerasan


Seksual Pada Anak dan Remaja”.Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

Jeanne Wess, and Videbeck .(2008).“ Metode Penelitian Pengetahuan


Sosial. Alih bahasa: Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan
Suhardjito”. Semarang: IKIP Semarang Press.

Samatha, Sie Ariawan dkk.2018. “Aspek Medis Pada Ksus Kejahatan


Seksual”.Jurnal Kedokteran Diponogoro, Voume 7 Nomor 2, Mei 2018

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2017.“Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia”.Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018.“Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia”.Jakarta Selatan : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2019.“Standar Luaran Keperawatan Indoensia”.


Jakarta Selatan : DPP PPNI

36

Anda mungkin juga menyukai