Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bank dalam menjalankan fungsinya untuk menghimpun dana dan

menyalurkan atau memberikan kredit harus berpedoman pada aturan yang

berlaku. Berdasarkan Pasal 1 ayat (13) UU Perbankan menjelaskan bahwa

“Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan antara bank dan pihak lain

berdasarkan kesepakatan bank mengenakan bunga tertentu yang harus

dibayar oleh peminjam”.

Keberhasilan penyaluran kredit sangat tergantung pada saat proses

kredit dan sampai dengan saat pengembalian kredit oleh debitur kepada

kreditur sampai dengan kredit dinyatakan lunas oleh kreditur. Keberhasilan

penyaluran kredit tersebut sangat membutuhkan Dalam pertumbuhan

ekonomi suatu negara, adanya Hukum Jaminanperan serta dan atau kerjasama

yang baik dari krediturdan debitur. Bank sebelum memberikan kredit kepada

debitur melalui crediet screening atau biasa disebut proses kredit.

Dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, adanya hukum jaminan

yang pasti dan kuat merupakan salah satu indikasi untuk mempercepat

pertumbuhan perekonomian, karena Bank (Kreditur) sebagai penyedia dana

sudah tentu memerlukan jaminan dan perlindungan hukum yang memadai

ketika mengucurkan kredit kepada perorangan (individu) maupun perusahaan

(korporasi), bahkan keberadaan Hukum Jaminan yang kuat serta memberikan

1
2

kepastian hukum dan mudah dalam eksekusinya sangat didambakan oleh para

pelaku bisnis.1

Bank dalam memberikan kredit pada debiturnya mewajibkan untuk

menyerahkan jaminan berupa hak atas tanah. Hak atas tanah ini kemudian

oleh Bank akan dibebani hak tanggungan. Berdasarkan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

benda Yang Berkaitan dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT)

pasal 1 angka (1) menjelaskan bahwa “hak tanggungan merupakan hak

jaminan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda yang berada satu

kesatuan dengan tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

yang dipergunakan guna pelunasan utang debitur kepada debitur kepada

kreditur serta memberikan kedudukan utama kreditur pemegang hak

tanggungan dari pada kreditur lainnya”.

Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,

ditegaskanbahwa :

Dalam memberikan kredit mempunyai keyakinan berdasarkan analisis


yang mendalam atas itikad dasarkandan kemampuan serta kesanggupan
Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 8 ayat (1) tersebut di atas, tidak ditegaskan dalam setiap

pemberian kredit atau pembiayaan debitur wajib memberikan jaminan

1
Habib Adjie, Eksekusi Hak Tanggungan, (Pro Justitia, Tahun XVII, Nomor 2, April
1999), hal.71.
3

(collateral) kepada kreditur. Tapi dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1)

ditegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan sebagaimana disebutkan di

atas, maka bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,

kemampuan, modal, agunan, dan prospek usha dari Nasabah Debitur.

Dalam dunia perbankan mengenai watak, kemampuan modal, agunan

dan prospek usaha dari Nasabah Debitur dikenal dengan istilah the Five C’s,

yaitu :character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral

(agunan), dan condition of economic (kondisiatau prospek usaha).2

Bahwa meskipun bank tidak wajib meminta jaminan dari calon

Debitur ketika akan memberikan kredit, tapi hal tersebut menjadi sangat

penting jikadikaitan dengan keamanan kredit yang diberikan, yaitu jika

debitur wanprestasi, maka agunan atau jaminan tersebut dapat dieksekusi

untuk melunasi utang-utang debitur.Dengan kata lain adanya jaminan tersebut

merupakan upaya antisipasi dari pihak bank agar debitur dapat membayar

utangnya dengan cara menjual benda yang jaminan atas utangnya.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pemberian jaminan bukanlah

yang utama dalam pemberian kredit, oleh karena itu pemberian jaminan

bersifat eccesoir atau ikutan dari perjanjian pokok, sedangkan perjanjian

pokoknya yaitu perjanjian kredit, atau perjanjian accesoirakan ada jika ada

perjanjian pokoknya, sehingga jika perjanjian pokoknya hapus maka

perjanjian accesoirnya pun hapus.

2
Habib Adjie, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, (Bandung :
Mandar Maju, 2000), hal. 1.
4

Dalam Hukum Jaminan secara umum yang berlaku di Indonesia,

dapat membagi jaminan atas 2 (dua), yaitu jaminan kebendaan dan jaminan

Perorangan.3 Jaminan kebendaan adalah hak dari kreditur mendapatkan

prioritas untuk memperoleh pelunasan piutangnya didahulukan dari kreditur

yang lain. Sedangkan Jaminan perorangan adalah jaminan perorangan secara

pribadi atas utang tertentu dari seorang debitur.

Khusus mengenai jaminan berupa tanah, sejak tahun 1996 telah ada

unifikasi hukum dalam Hukum Jaminan untuk tanah, yaitu dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, untuk selanjutnya

disingkat UUHT.

Kelahiran UUHT tersebut merupakan amanat dari Pasal 51 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

yang menyebutkan “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak

Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25,

33 dan 39 diatur dengan Undang-undang”.

Sebelum tahun 1996 lembaga jaminan atas tanah dipergunakan

hipotik yang ketentuan materilnya diatur dalam Buku II Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan di

dalamnya telah dicabut oleh UUPA) dan pemberian pendaftarannya diatur

dalam Stb. 1908-52 sebagaimana telah diubah dengan stb 1937-190 Juncto

1937-191.

3
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2002), hal. 10.
5

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah, berdasarkan Pasal 29 Undang-undang tersebut, maka lembaga jaminan

Hipotik dan Credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi, selanjutnya

ditetapkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan yang kuat yang

dibebankan pada atas tanahsebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek hak tanggungan

yang bersangkutan arus memenuhi syarat, yaitu :

1. Dapat dinilai dengan uang ;

2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum ;

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan ;

4. Memerlukan penunjukan oleh undang-undang.4

Adapun obyek dari Hak Tanggungan dalam Pasal 4 ayat (1) UUHT

disebutkan bahwa : “ Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan

adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan adalah hak-hak

atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA.

Penjelasan Umum dari UUHT menyebutkan bahwa terdapat dua unsur

mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek tanggungan, salah

satunya adalah hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dalam umum, dalam hal kaitan ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini

berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada

4
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT,
(Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008), hal. 56.
6

kreditur pemegang tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada

catatan mengenai tanggapan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas

tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya

(asaspublisitas). Dengan demikian setiap Obyek Hak Tanggungan harus

terdaftar dan memiliki sertifikat hak atas tanah. Namun demikian terdapat

tanah-tanah yang belum bersertifikat dapat puladibebankan Hak Tanggungan

tersebut dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah

yang bersangkutan.

Dengan demikian, pembebanan hak tanggungan terhadap tanah yang

belum bersertifikat dapat dilakukan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Perbankan Pasal 8 dijelaskan bahwa tanah yang

kepemilikannya didasarkan tanah adat, yaitu tanah yang bukti

kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis dapat

digunakan sebagai jaminan. Ketentuan ini diperkuat dengan Undang-undang

Hak Tanggungan khususnya dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) yang

menyatakan bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa

girik, petuk dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai jaminan

dan dibebani hak tanggungan, namun pada waktu yang bersamaan harus

dilakukan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Dalam Pasal 13 Undang-undang Hak Tanggungan bahwa hak

tanggungan lahir dibuatnya buku tanah, maksudnya bahwa sejak saat itu

kreditur menjadi kreditur pemegang hak tanggungan dengan kedudukan yang

istimewa. Akan tetapi apabila Debitur melakukan wanprestasi sedangkan


7

pengurusan sertifikat belum selesai karena pensertifikatan tanah untuk

pertama kali memakan waktu yang cukup lama karena itu tidak memberikan

kepastian hukum bagi pihak kreditur yang menerima jaminan dengan tanah

yang belum bersertifikat.

Likuiditas keuangan, solvabilitas dan profitabilitas bank sangat

dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang

disalurkan. Hal ini menjadi lebih signifikan apabila pemberian Hak

Tanggungan tersebut diberikan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT), karena untuk tanah yang belum terdaftar maka

pemberian SKMHT harus dilanjutkan dengan Akta Pembebanan Hak

Tanggungan (APHT), selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan

setelah pemberian SKMHT.

Oleh Karena itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut diatas

dalam tesis ini dengan judul “KAJIAN TEORITIS PENYELESAIAN

PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH YANG BELUM

BERSERTIFIKAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4

TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN (Studi kasus Pada

PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk di

Jakarta)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis

mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :


8

1. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap debitur yang

wanprestasi dalam perjanjian pembebanan hak tanggungan atas tanah

yang belum bersertifikat.

2. Tindakan Kreditur untuk meminimalisasi kerugian akibat wanprestasi

sebelum proses pendaftaran tanah selesai.

C. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap

debitur yang wanprestasi dalam perjanjian pembebanan hak tanggungan

atas jaminan tanah yang belum bersertifikat ?

2. Bagaimanakah tindakan Kreditur untuk meminimalisasi kerugian akibat

wanprestasi sebelum proses pendaftaran tanah selesai ?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitianmerupakan kegiatan mutlak yang harus di lakukan

sebelum penyusunan tesis. Penelitian yang dilakukan ini mempunyai

tujuan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi kreditur


apabila debitur wanprestasi terhadap pembebanan hak tanggungan
atas jaminan tanah yang belum bersertifikat.
b. Untuk mengetahui Tindakan Kreditur untuk meminimalisasi

kerugian akibat wanprestasi sebelum proses pendaftaran tanah

selesai.
9

2. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis mengharapkan

manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

a. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang berguna bagi

masyarakat pada umumnya dan para pembaca khususnya mengenai

prosedur pelaksanaan, hambatan-hambatan serta pengambilan

kebijakan dalam pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap

tanah yang belum bersertifikat.

b. Manfaat Teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

yang bermanfaat dan cukup jelas bagi pengembangan disiplin

ilmu hukum pada umumnya dan hukum jaminan pada

khususnya. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan pembebanan

hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertifikat.

2) Menambah referensi koleksi bahan bacaan diperpustakaan

Universitas Pamulang.

E. Kerangka Teori

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana

dikemukakan tersebut di atas maka penulis dalam penulisan Tesis ini

mengemukakan beberapa teori atau pendapat dari beberapa pakar.Jan


10

Gijsselsdan Mark Vank Hocke mengemukakan bahwa pengertian teori adalah

sebuah system pernyataan-pernyataan (klaim-klaim), pandangan-pandangan

dan pengertian-pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan

dengan suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

menjadi mungkin untuk menjabarkan (menurunkan) hipotesis-hipotesis yang

dapat diuji.5Adapun teori yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari

Grand Theory, Middle Theory, dan Applied Theory.

1. Teori Dasar (Grand Theory)

Grand Theory yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

Teori Perjanjian. Teori ini digunakan karena antara debitur dan kreditur

mengadakan suatu perjanjian kredit atau pengikatan jaminan hak

tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut memberikan

konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua

pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur)

dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut

(kreditur).6

Pada teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian

adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan

kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru ini tidak

5
H. Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009)
hal. 9.
6
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2000), hal.13.
11

hanya memandang perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat

perbuatan sebelumnya atau mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam

membuat perjanjian menurut teori ini yaitu tahap prakontraktual ialah

adanya penawaran dan penerimaan, tahap kontraktual ialah adanya

persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dan tahap post

kontraktual ialah pelaksanaan perjanjian.7

Pada Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang. Perjanjian yang sah

adalah perjanjian yang memenuhi unsur pada Pasal 1320 KUHPerdata,

yaitu :

a. Sepakat mereka mengikatkan diri.

b. Cakap untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Teori menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian


mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak tidak semata-mata
hanya terikat sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga
terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral.8

Adapun pengertian lain dari perjanjian yaitu overeenkomst berasal

dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat. Jadi

overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas

konsensualisme yang dimuat oleh KUHPerdata. Oleh karena itu istilah

terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut.


7
Ibid, hal.26
8
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), hal. 87.
12

Adanya hubungan pinjam meminjam diawali dengan pembatalan

kesepakatan antara peminjam (debitur) dengan yang meminjamkan

(kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut

dapat berupa perjanjian lisan dapat pula dalam bentuk perjanjian tertulis.

Perjanjian Utang-piutang dalam perjanjian tertulis ada yang dibuat

dengan surat dibawah tangan, ada pula yang dibuat dengan akta notaris.

Perjanjian utang-piutang antara debitur dan kreditur dituangkan dalam

perjanjian kredit. Perjanjian Kredit diharapkan akan membuat para pihak

yang terkait dalam perjanjian memenuhi segala kewajibannya dengan

baik. Namun di dalam perjanjian pinjam-meminjam tersebut ada kalanya

salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah

disepakati bersama.

Perjanjian Kredit hendaknya dibuat secara tertulis karena dengan

bentuknya yang tertulis akan lebih mudah untuk dipergunakan sebagai

bukti apabila dikemudian hari ada hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam

hukum perdata, bukti tertulis merupakan bukti utama, dengan

dituangkannya perjanjian kedalam bentuk tertulis, maka masing-masing

pihak akan mendapat kepastian hukum terhadap perjanjian yang

dibuatnya.

Eksistensi perbankan dimulai sejak dilahirkannya Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian

diganti dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

dan selanjtnya dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang


13

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Perbankan. Bank memiliki peran yang strategis bagi masyarakat dalam

proses pembangunan nasional.

Penyaluran Kredit kepada masyarakat sebagai pelaku usaha,

selaku debitur, tidak lepas dengan resiko kemacetan dalam pelunasannya.

Agar dapat mengurangi resiko kemacetan dalam penyaluran kredit

diperlukan adanya Lembaga Jaminan sebagai sarana pengaman. Oleh

karena itu analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta

kesanggupan debitur mengembalikan utang (kredit) sebagaimana yang

diperjanjikan. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian peletakan jaminan

kebendaan terutama yang berkaitan dengan tanah merupakan hak yang

mutlak harus dilakuakn oleh bank, agar mendapatkan perlindungan yang

sempurna oleh hukum.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tercantum asas Pacta

SuntServanda yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang di buat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang sendiri mengakui

dan menempatkan posisi pihak sejajar dengan pembuat undang-undang.

Asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari dua asas


lainnya dalam perjanjian,yaitu konsensualisme dan kekuatan mengikat
suatu perjanjian yang lazimnya di sebut sebagai pacta sunt servanda.
Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian, pacta sunt
servanda berkaitan dengan akibat adanya perjanjian yaitu terikatnya para
14

pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak


menyangkut isi perjanjian.9

Teori perjanjian ini kiranya dapat digunakan untuk mengkaji

rumusan masalah yang ada, mengenai hubungan hukum yang muncul

antara Pihak bank dengan debitur melalui penjanjian kredit dan pihak

Notaris/PPAT yang membuatkan akta berupa Surat Kuasa Membebankan

Hak Tanggungan (SKMHT) dengan Pihak Bank.

2. Teori Menengah (Middle Theory)

Middle Theory yang dijadikan landasan ialah : Teori Perlindungan

Hukum dapat dijadikan landasan berpijak untuk menjawabnya. Fungsi

hukum adalah untuk mengatur hubungan antara Negara atau masyarakat

dengan warganya dan hubungan antara sesame warga masyarakat tersebut

agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam bukunya “Perlindungan

Hukum Bagi Rakyat Indonesia” bahwa perlindungan hukum dalam

kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan

“rechtbescherming van de burgers”.10 Pendapat ini menunjukkan kata

perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Kata

Perlindungan mengandung pengertian terdapat suatu usaha untuk

memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang

telah dilakukan. Ada dua macam bentuk perlindungan hukum yaitu

perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya

9
Ibid, hal. 131
10
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya :
Bina ilmu, 1987), hal. 25.
15

perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa,artinya

perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa.11

Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia ialah prinsip pengakuan

dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Pasal 1366

KUHPerdata menentukan bahwa :”setiap orang bertanggung jawab tidak

saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga

untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-

hatinya”. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun yang menimbulkan

kerugian akibat kelalaian maka bagi orang lain, menurut hukum untuk

mengganti kerugian tersebut.

Kaitannya dengan perbankan yaitu dalam memberikan kredit

dengan debitur yang bertujuan untuk mengembangkan usaha,

perlindungan hukum dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit dan

perjanjian pengikatan jaminan. Dalam perjanjian tersebut diatur mengenai

hak dan kewajiban para pihak sebagaimana yang telah disepakati. Akan

jelas terlihat bahwa bentuk perlindungan hukum yang akan diterima oleh

debitur adalah terjamin hak-haknya untuk mendapatkan fasilitas kredit dari

bank demikian pula sebaliknya bagi banksebagai kreditur akan

memperoleh haknya kembali atas pemberian kredit yang telah diberikan.

11
Ibid, hal. 15.
16

Kaitannya dengan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur dengan

jaminan tanah yang belum bersertifikat, perlindungan hukum dapat

diwujudkan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak

maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya

perseorangan. Ketentuan ini memberikan perlindungan bagi semua

kreditur dalam kedudukan yang sama. Kedudukan yang sama disini terkait

seluruh harta kekayaan debitur, tidak ada yang didahulukan dalam

pemenuhan piutang, kecuali kreditur tersebut mempunyai hak istimewa

sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1133 KUHPerdata.

3. Teori Terapan (Applied Theory).

Applied Theory adalah Teori Kepastian Hukum. Keberlakuan

hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum

didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian

hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,

konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi

oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki mengandung


dua (2) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atas
dilakukan oleh negara terhadap individu.12

12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup, 2008), hal. 158.
17

Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena

hukumlah yang berdaulat. Menurut Gustav Radbruch ada 4 hal

mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu :

a. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah

perundang-undangan.

b. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada

kenyataan.

c. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

menghidari dari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah

dilaksanakan.

d. Hukum positif tidak boleh mudah diubah.13

Untuk mewujudkan kepastian hukum terdapat unsur-unsur system

hukum yang harus dipenuhi, Lawrence M Freidman berpendapat

bahwa unsur-unsur itu terdiri dari :

a. Substansi Hukum, yaitu isi dari ketentuan-ketentuan tertulis dalam

hukum itu sendiri.

b. Aparatur hukum, yaitu perangkat berupa system tata kerja dan

pelaksana daripada apa yang diatur dalam subtansi hukum di atas.

c. Budaya Hukum, yaitu pelengkap untuk mendorong terwujudnya

kepastian hukum adalah bagaimana budaya hukum masyarakat atas

ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini

13
Widhi Handoko, Kebijakan Dalam Pendaftaran Tanah, (Yogyakarta : Tafa Media,
2010), hal. 139.
18

juga tidak kalah penting karena tegaknya peraturan-peraturan hukum

akan sangat tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya.

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum pemerintah

menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana yang diamanatkan

dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria. Pendaftaran tanah di

Indonesia dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

yang merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan

pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Pokok

Agraria yang meliputi : pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah,

pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak

sebagai alat pembuktian yang kuat.

Tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah adalah untuk

memberikan jaminan kepastian hukum yang meliputi :

a. Jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang

menjadi pemegang hak (subjek hak atas tanah);

b. Jaminan kepastian hukum mengenai letak, batas, dan luas suatu

bidang tanah (objek hak atas tanah) ; dan

c. Jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanahnya.14

Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data

fisik dan data yuridis bidang tanah dalam sertifikat, sangat tergantung

14
AP. Parlindungan, OP.Cit, hal. 15.
19

pada alat bukti kepemilikan tanah yang digunakan sebagai dasar bagi

pendaftaran tanah. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk

menentukan adanya hak-hak atas tanah secara jelas dan mudah

dilaksanakan serta memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak yang

bermaksud mendaftarkan haknya. Hak-hak atas tanah yang menjadi

objek pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah antara lain:

a. Tanah Hak Milik

b. Tanah Hak Guna Usaha

c. Tanah Hak Guna Bangunan

d. Tanah Hak Pakai

e. Tanah Wakaf

f. Tanah Hak Pengelolaan

g. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

h. Hak Tanggungan

i. Tanah Negara

Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini adalah agar

setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak kreditur dan debitur

dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terkait.


20

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan.

Metode yuridis empiris, yaitu dengan menekankan pada data-data

sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum positif

yang berasal dari data kepustakaan dan perbandingan hukum, serta

unsur-unsur atau faktor-faktor yang berhubungan dengan objek

penelitian sebagai bagian dari penelitian lapangan. Oleh karena itu titik

berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan yang berarti akan

lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder sebagai pendekatan

yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai

keterkaitan peraturan yang satu dengan lainnya dan penerapannya dalam

masyarakat.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dapat ditunjukkan dengan karakteristik

penelitian hukum. Misalnya bahan atau materi penelitian hukum

didasarkan atas data dan/atau informasi yang berasal dari kasus-kasus,

studi kepustakaan, dan penelitian lapangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian normatif, yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan

ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan

berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam tesis.


21

3. Teknik Pengumpulan Data

Pedoman penyelidikan kepustakaan, dan dapat dilakukan dengan

studi lapangan, yaitu untuk memperoleh data primer yang dilakukan

melalui wawancara, dengan mengadakan tanya jawab langsung kepada

responden dengan terlebih dahulu membuat kuesioner atau daftar

pertanyaan sebagai pegangan. Hal ini dapat dilakukan dengan

metode/teknik wawancara. Dalam hal lain sering juga disebut alat/teknik

pengumpulan data.

Adapun cara pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan

data dan bahan-bahan lain yang memuat tulisan yang diperlukan

dalam penulisan ini. Adapun bahan-bahan yang dipergunakan

sebagai bahan penelitian mencakup:

1) Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari: Bahan hukum yang

mempunyai kekuatan hukum mengikat yang mencakup

peraturan yang mengatur tentang persoalan dibidang perjanjian

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),

dan ketentuan-ketentuan terkait lainnya.

2) Bahan hukum sekunder terdiri dari: literatur-literatur atau bahan

pustaka yang berkaitan dan tulisan ilmiah lainnya yang relevan

dengan judul dan tulisan tesis ini.


22

b. Penelitian lapangan (Field Research).

Penelitian lapangan atau field research adalah upaya dalam

mengumpulkan bahan hukum primer untuk memperoleh bahan

hukum yang nyata mengenai permasalahan yang akan dibahas.

Dalam pengumpulan bahan hukum ini, penulis melakukan

dengan 2 cara, yaitu:

1) Teknik wawancara.

Pengumpulan melakukan wawancara secara langsung dengan

pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini.

2) Teknik analisis.

Setelah bahan hukum yang diperlukan terkumpul, maka bahan

hukum tersebut dianalisis sesuai dengan permasalahan yang

dirumuskan dan menggunakan hukum positif yang berlaku.


23

G. Kerangka Berpikir

Grand Theory Middle Theory Applied Theory

Teori Perjanjian Teori PerlindunganHukum Teori Kepastian


Hukum

Suatu perbuatan Bahwa hukum Adanya aturan


dengan mana satu bertujuan yang bersifat
pihak atau lebih mengintegrasikan umum membuat
mengikatkan dirinya dan individu
terhadap satu orang mengkoordinasikan mengetahui
atau lebih. berbagai perbuatan apa
kepentingan dalam yang boleh dan
masyarakat kerena tidak boleh
dalam suatu lalu dilakukan.
lintas kepentingan,
perlindungan
terhadap
kepentingan tertentu
hanya dapat
dilakukan dengan
cara membatasi
berbagai

Gambar 1.1

Kerangka Berpikir
24

H. Preposisi

1. Bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada kreditur

penerima jaminan tanah yang belum bersertifikat sebelum pendaftaran

tanah selesai apabila wanprestasi yaitu ada perjanjian pokok atau

perjanjian kredit yang di buat secara otentik oleh para pihak dan

ketentuan Pasal 131 KUHPerdata.

2. Tindakan yang dapat ditempuh oleh kreditur terhadap debitur yang

wanprestasi sebelum proses pendaftaran jaminan tanah selesai ialah

pihak kreditur dapat menggugat debitur kepengadilan atau melakukan

mediasi atau negosiasi. Upaya mediasi atau negosiasi lebih sering

ditempuh pihak kreditur agar tercipta win win solution dan debitur

memiliki kesepakatan dengan itikad baik untuk melunasi utangnya.


25

Anda mungkin juga menyukai