Anda di halaman 1dari 9

JHTM e-ISSN.

2541-5409
p-ISSN. 2541-4178
Journal of Holistic and Traditional Medicine
Vol 03 No 02, November 2018
www.jhtm.or.id

Open Acces
KUALITAS TIDUR PADA PENDERITA KUSTA

Nesa Suci Ayu Anggardina1


1
Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Kadiri

Corresponding Author: Nesa Suci Ayu Anggardina, Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Kadiri
E-mail: nesasuci.ayu@yahoo.com

Received May 07, 2018; Accepted June 11, 2018; Online Published November 05, 2018

Abstrak

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh sebagian besar masyarakat karena dapat menimbulkan ulserasi,
mutilasi, deformitas, dan terjadi kerusakan saraf besar yang irreversible baik di wajah maupun ekstremitas, motorik maupun
sensorik yang disertai dengan adanya kerusakan berulang pada daerah anestetik sehingga dapat terjadi paralisis dan atrofi otot.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan episode akut hipersensitifitas terhadap M leprae yang
menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.

Keywords: Kualistas Tidur, Kusta, Imunologi

PENDAHULUAN kusta adalah salah satu penyakit menular yang


Penyakit kusta merupakan salah satu menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
penyakit menular kronik yang disebabkan oleh Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang medis, tetapi meluas sampai masalah sosial,
intra seluler obligat menyerang saraf perifer ekonomi, dan psikologis (Kosasih, 2007).
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa Etiologi Kusta
traktus respiratorius bagian atas kemudian ke Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae
organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen tahun
kusta dikenal juga dengan nama Morbus Hansen 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam,
atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan
sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-
gejala-gejala kulit secara umum (Djuanda, 2007). ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 um
Penyakit kusta adalah penyakit kronik dan diameter 0,25-0,3 um.
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Basil ini menyerupai kuman berbentuk
leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak
tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil
saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh,
endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit berwarna merah terang, dengan ujung bulat
270
(solid), sedang basil yang mati bentuknya komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi
terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M.
ini hidup dalam sel terutama jaringan yang leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri
media buatan (in vitro) (Kosasih, 2007). dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat
Klasifikasi mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis
Setelah seseorang didiagnosis menderita selanjutnya (Geluk, 2011).
kusta, maka tahap selanjutnya menentukan tipe/ M. leprae merupakan bakteri obligat
klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan intraseluler, maka respon imun yang berperan
tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi
klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit adalah respon imun seluler. Respon imun seluler
kusta bertujuan untuk menentukan jenis dan merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan
lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita meningkatkan kemampuannya dalam menekan
dinyatakan Release from Treatment (RFT). multiplikasi atau menghancurkan bakteri (Geluk,
Klasifikasi Internasional (Madrid,1953). 1) 2011).
Indeterminate (I). Terdapat kelainan kulit berupa Respon imun humoral terhadap M. leprae
makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada
Batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. dalam jaringan limfosit dan aliran darah.
Permukaan halus dan licin. 2) Tuberkuloid (T). Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut
Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma
teratur dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Batas yang akan menghasilkan antibodi yang akan
lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, membantu proses opsonisasi. Namun pada
pipi. Permukaan kering, kasar sering dengan penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini
penyembuhan di tengah. 3) Borderline (B). tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan
Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak timbulnya beberapa reaksi kusta karena
teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan diproduksi secara berlebihan yang tampak pada
Tuberkuloid. 4) Lepromatosa (L). Kelainan kulit kusta lepromatosa (Geluk, 2011).
berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk Pengobatan
tidak jelas. Berbentuk bintil-bintil (nodule), Obat anti kusta yang paling banyak dipakai
macula-makula tipis yang difus di badan, merata saat ini adalah DDS (Diaminodifenil Sulfon) lalu
di seluruh badan, besar dan kecil bersambung Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai
simetrik. sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia.
Imunologi Kusta Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan
Respon imun pada penyakit kusta sangat Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada
kompleks, dimana melibatkan respon imun seluler tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika
dan humoral. Sebagian besar gejala dan lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
271
Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin menjalani pengobatan MDT, sebanyak 99,9 %
(Kosasih, 2008). kuman kusta akan terbunuh. Sisa kuman kusta
Reaksi Kusta yang mati atau pecah akan dibersihkan sistem
Reaksi kusta adalah gambaran dari episode imun tubuh yang terkadang memicu terjadinya
akut hipersensitifitas terhadap M. leprae yang reaksi kusta.
menyebabkan gangguan dalam keseimbangan Pengobatan dengan obat anti kusta akan
sistem imunologi. Reaksi kusta dapat berlangsung mencetuskan ENL, karena beredarnya material
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan antigen dan juga dipengaruhi oleh antibodi (anti
dapat berakibat kecacatan yang permanen. PGL - 1). Reaksi kusta tipe I merupakan reaksi
Pencegahan, penemuan dan managemen dari hipersensitifitas tipe lambat, hal ini disebabkan
gangguan fungsi saraf menjadi prioritas utama rangsangan kuman patogen secara terus menerus
dalam pemberantasan penyakit kusta (Prawoto, dan berkelanjutan (Alfan, 2010).
2008). Imunologi Reaksi Kusta
Meskipun reaksi kusta merupakan Respon imun pada penyakit kusta meliputi
manifestasi klinik yang berat, penyebab pastinya respon imun humoral atau antibody mediated
belum diketahui dan patogenesisnya hanya sedikit immunity dan respon imun seluler atau cell
yang dapat diterangkan. Pada penderita kusta, mediated immunity (CMI). Pada respon imun
Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk
tubuh seperti saraf, kulit dan jaringan tubuh menghancurkan antigen yang masuk. Dengan
lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya CMI, bahan asing atau antigen akan memacu
merupakan respon dari ditemukannya produksi sel pertahanan spesifik yang dapat
Mycobacterium leprae dalam kulit yang dimobilisasi untuk menghancurkan antigen dan
memunculkan reaksi imunologi pada penderita. akan memicu terjadinya reaksi kusta.
Beberapa penderita mengalami perluasan Sel pertahanan spesifik adalah limfosit,
lesi dan rekuren yang berlanjut sampai hitungan yang tidak berkemampuan fagosit. Sedangkan
bulan bahkan hitungan tahun sehingga menjadi makrofag dapat memakan Mycobacterium leprae.
kronik. Kusta tipe lepromatosa mempunyai Pada kusta terdapat respon imun seluler yang
dampak paling buruk, hal ini karena tidak adanya merupakan imunitas protektif, sebanyak 90%-95%
respon imun seluler terhadap antigen manusia mempunyai imunitas ini dengan berbagai
Mycobacterium leprae (Alfan, 2010). tingkatan. Meskipun respon imun berfungsi
Beberapa hipotesis menyatakan tidak sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri atau
adanya respon imun seluler termasuk kekurangan antigen, tetapi respon imun yang berlebihan dapat
IL - 1 atau IL - 2, menurunnya reseptor IL - 2, menimbulkan reaksi kusta reversal maupun ENL
adanya penekanan makrofag, dampak dari limfosit (Alfan, 2010). Mycobacterium leprae bersifat
T, kekurangan antigen spesifik dari limfosit T dan patogen intraseluler dan dapat mempengaruhi
adanya blokade reseptor. Pada penderita yang makrofag serta saraf tepi. Limfosit Th CD-4 dan
272
Th1 keduanya dapat memproduksi sitokin yang (TNF-α) dan interferon gamma (IFN-γ),
mengaktifkan makrofag dan efektif sebagai bagian merupakan komponen sitokin spesifik pada ENL.
respon imun seluler. Pada kusta tipe lepromatosa Sirkulasi TNF yang tinggi terjadi pada reaksi
aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi IL- ENL, diduga akibat sel mononuklear pada darah
4 dan IL-10, yang akan menstimulasi respon imun tepi penderita ENL yang dapat meningkatkan
humoral dan intensitas produksi antibodi limfosit jumlah TNF (Alfan, 2010).
B. Sebaliknya reaksi reversal (RR)
Karakteristik respon imun yang diaktivasi merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat
limfosit Th2 oleh IL-4 dan IL-10 tidak yang dijumpai pada kusta tipe borderline. Antigen
menyebabkan formasi dari sel epitel granuloma Mycobacterium leprae muncul pada saraf dan
dan dapat aktifitas makrofag. Sebanyak 15%–50% kulit penderita reaksi tipe ini. Infeksi
kusta tipe lepromatosa berkembang menjadi ENL. Mycobacterium leprae akan meningkatkan
Reaksi ENL berhubungan dengan bakteri yang ekspresi major histocompatibility complex
hancur, antigen serta intensitas produksi antibodi. (MHC) pada permukaan sel makrofag dan
Berdasarkan tanda klinis dan laboratorium, memacu limfosit Th CD–4 untuk menjadi aktif
patogenesis ENL belum dapat ditetapkan dengan dalam membunuh Mycobacterium leprae. Pada
jelas. Reaksi ENL sering terjadi pada kusta tipe studi immunohistochemistry, terjadi peningkatan
borderline lepromatous dan lepromatous (Alfan, bercak TNF pada kulit dan saraf penderita dengan
2010). reaksi kusta tipe I dibandingkan penderita yang
Konsentrasi antigen dari bakteri yang tidak mengalami reaksi kusta (Alfan, 2010).
tinggi dalam jaringan akan meningkatkan level Diagnosis Reaksi Kusta
antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe Diagnosis reaksi kusta dapat ditegakkan
lepromatosa. Formasi dan berkurangnya komplek dengan pemeriksaan klinis, meliputi pemeriksaan
imun serta aktivasi sistem komplemen dengan pada lesi kulit, saraf tepi dan keadaan umum
meningkatnya mediator inflamasi, merupakan penderita. Pemeriksaan untuk mendiagnosis reaksi
mekanisme imunopatologi penting pada ENL. kusta menggunakan formulir pencegahan cacat
Selama reaksi ENL terjadi penurunan tingkat IgM atau preventions of disabillity (POD), yang
anti PGL-1 (phenol glukolipid) yang berasal dari dilakukan setiap satu bulan sekali. Formulir POD
dinding M. leprae. Sesudah penderita mengalami digunakan untuk mencatat dan memonitor fungsi
pemulihan, memacu antibodi IgM membentuk saraf serta alat untuk mendeteksi dini adanya
komplek imun dengan konsentrasi yang reaksi kusta.
berlebihan dari PGL-1 dalam jaringan. Fungsi saraf utama yang diperiksa adalah
Beratnya ENL disebabkan oleh saraf di muka (nervus facialis), tangan (nervus
meningkatnya produksi sitokin oleh limfosit Th2 medianus, nervus ulnaris dan nervus radialis) dan
sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi di kaki (nervus peroneus, nervus tibialis
peradangan. Sitokin tumor nekrosis faktor alpha posterior). Bila didapatkan tanda klinis seperti
273
adanya nodul, nodul ulserasi, bercak aktif atau Fisiologi Tidur
bengkak di daerah saraf tepi, nyeri tekan saraf, Fisiologi tidur merupakan pengaturan
berkurangnya rasa raba dan kelemahan otot serta kegiatan tidur yang menghubungkan mekanisme
adanya lagophalmus dalam 6 bulan terakhir, serebral secara bergantian agar mengaktifkan dan
berarti penderita sedang mengalami reaksi kusta. menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun.
Cara memeriksa gangguan fungsi saraf dan Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh sistem
kelemahan otot adalah dengan teknik voluntary pengaktivasi retikularis. Sistem pengaktivasi
muscle test (VMT) atau tes kekuatan otot dan retikularis mengatur seluruh tingkatan kegiatan
untuk memeriksa berkurangnya rasa raba susunan saraf pusat, termasuk pengaturan
dilakukan sensitivity test (ST) atau tes rasa raba kewaspadaan dan tidur (Hidayat, 2008).
(Gustia, 2011). Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan
dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian
KUALITAS TIDUR
atas pons. Dalam keadaan sadar, neuron dalam
Tidur berasal dari kata bahasa latin
Reticular Activating System (RAS) akan
“somnus” yang berarti alami periode pemulihan,
melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
keadaan fisiologi dari istirahat untuk tubuh dan
Selain itu, RAS yang dapat memberikan
pikiran. Tidur merupakan keadaan hilangnya
rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan
kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati,
perabaan, juga dapat menerima stimulasi dari
2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan
korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan
bawah sadar dimana seseorang masih dapat
proses pikir (Hidayat, 2008).
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik
Saat tidur terdapat pelepasan serum
atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall,
serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan
1997).
batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing
Tidur adalah status perubahan kesadaran
Regional (BSR). Sedangkan pada saat bangun
ketika persepsi dan reaksi individu terhadap
bergantung dari keseimbangan impuls yang
lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan
diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan
dengan aktifitas fisik yang minimal, tingkat
demikian, sistem pada batang otak yang mengatur
kesadaran yang bervariasi, perubahan proses
siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan
fisiologis tubuh, dan penurunan respons terhadap
BSR (Hidayat, 2008).
stimulus eksternal.
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang
Tidur dapat memulihkan atau
terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak
mengistirahatkan fisik setelah seharian
memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang
beraktivitas, mengurangi stress dan kecemasan,
dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar
serta dapat meningkatkan kemampuan dan
mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah,
konsenterasi saat hendak melakukan aktivitas
mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala
sehari-hari (Asmadi, 2008).
dan sering menguap atau mengantuk (wong,
274
2005). Kualitas tidur secara langsung siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe
mempengaruhi kualitas aktivitas saat terjaga, gelombang EEG diklasifikasikan sebagai
termasuk kewaspadaan mental, produktivitas, gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Wong,
keseimbangan emosi, kreativitas, tanda vital fisik 2005).
dan bahkan berat badan (Smith, 2012). Hubungan Kualitas Tidur Dengan Reaksi
Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur Kusta
yang dijalani seorang individu menghasilkan Studi yang dilakukan oleh Michael Irwin
kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas dari Universitas California menunjukkan bahwa
tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti kurang tidur menyebabkan perubahan dalam
durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif dari jaringan sitokin. Kekebalan yang seharusnya
tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan setiap memuncak di pagi hari berubah, sehingga
orang untuk mempertahankan keadaan tidur dan mikroorganisme yang masuk tidak dapat dilawan
untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM oleh tubuh.
yang pantas (Khasanah, 2012). Seseorang yang memiliki kualitas tidur yang
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif buruk, mengakibatkan antibodi tubuh menjadi
dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu lemah (Fikri, 2011). Ninds (2005) berpendapat
yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi bahwa pada saat tidur, aktifitas pada bagian otak
terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman yang mengatur emosi, membuat keputusan dan
dan kepulasan tidur (Priambodo, 2012). Di sisi interaksi sosial menurun drastis. Seseorang yang
lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan kurang tidur cenderung memiliki emosi yang tidak
bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana stabil, sehingga terjadi ketidakseimbangan
seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada hormon. Salah satu hormone yang berperan adalah
malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan adenokortikotropik hormon (ACTH) yang akan
tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa mengaktifkan biosintesis dan melepaskan
bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat glukokortikoid dari korteks adrenal. Steroid ini
memberikan perasaan tenang di pagi hari, akan menjadi reseptor penting yang
perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh
tidur. secara umum yang membutuhkan banyak energi
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa (Prawoto, 2008).
melalui pemerikasaan laboraorium yaitu EEG Penyebab terjadinya reaksi kusta tipe 2
yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. adalah reaksi humoral karena tingginya respon
Perekaman listrik dari permukaan otak atau imun humoral pada penderita borderline dan
permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya lepromatous, dimana tubuh membentuk antibodi
aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam karena salah satu protein M. Leprae bersifat
otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi antigenic (Pedoman Nasional Pemberantasan
otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan Penyakit Kusta, 2012). Dengan demikian, jika
275
penderita kusta ENL memiliki kualitas tidur yang Darmada (1999) Faktor-faktor yang Berpengaruh
buruk, maka sistem kekebalan tubuh akan Terhadap Reaksi Kusta -
menurun dan tidak bisa melawan antigen M. eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf
leprae yang ada di dalam tubuh dan terjadilah Diakses tanggal 02 Oktober 2014
reaksi tipe II.
Dave, at all (2003) ). Faktor-faktor yang
DAFTAR PUSTAKA
Berpengaruh Terhadap Reaksi Kusta.
Alimul, A. (2006) Pengantar Kebutuhan Dasar
jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/.../80
Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses
35/8001. Diakses Tanggal 02 Oktober 2014
Keperawatan . Jakarta : Salemba Medika
Afandi, alfan (2010) Reaksi Kusta.
Depkes RI (2006). Sistem Kesehatan Nasional,
id.scribd.com/doc/248376948/BAB-I-
Jakarta.
docx#scribd. Diakses tanggal 02 Oktober
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2012)
2014
Jumlah Penderita Kusta.
Amrullah, Khasan (2011) Cara Skoring PSQI.
Dinkes.jatimprov.go.id. Diakses Tanggal 02
http://www.scribd.com/doc/142946155/KUI
Oktober 2014
SIONER-PSQI#scribd. Diakses tanggal 02
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2007). Ilmu
Januari 2015
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
Arif, Mansjoer, dkk. (2002). Kapita Selekta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: Medica
press.
Aesculpalus, FKUI.
Fikri, Rijalul (2011) Analisis Dampak Penyakit
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu
Kusta Terhadap Interaksi Sosial
Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate.../16244
Asmadi (2008). Teknik Prosedural Keperawatan
. Diakses Tanggal 02 Oktober 2014
Konsep dan Aplikasi Kebutuhan dasar.
Geluk, Annemieke (2011). Antigen M. leprae.
Jakarta : Salemba Medika
https://www.lepra.org. Diakses Tanggal 02
Benaroch, Roy (2012)
Oktober 2014
Tidur.repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Ch
Guera, J.G (2002) Faktor-faktor yang
apter%20II.pdf . Diakses tanggal 02
Berpengaruh Terhadap Reaksi Kusta
Oktober 2014
eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf
Brakel, Van (1994) Kusta.
. Diakses Tanggal 02 Oktober 2014
perdoski.org/doc/mdvi/fulltext/.../TP_(Dr.Ny
Guyton & Hall ( 1997). Fisiologi Kedoktera.
oman).d. Diakses tanggal 02 Oktober 2014
Jakarta : EGC
Chayatin, M. & Mubarak, W. (2007). Kebutuhan
Gustia, rina (2012). MH atau Kusta.
Dasar Manusia. Jakarta: EGC
repository.unand.ac.id/18452/4/MH%20atau

276
%20KUSTA.ppt. Diakses Tanggal 02 Prawoto (2008). Faktor-faktor Resiko yang
Oktober 2014 Berpengaruh terhadap Terjadinya Reaksi
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Kusta. http://www.garuda.dikti.go.id
Hipokrates (Diakses 02 Oktober 2014).
Hidayat, Alimul (2003). Metode Penelitian Potter, P. A; dan Perry, A, G. (2005). Buku Ajar
Keperawatan dan Tehnik Analisis Data. Fundamental Keperawatan : Konsep,
Jakatra : Salemba Medika Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 1.
Hitchcock (1999) At Risk Kusta. Jakarta : EGC
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285751- Rahaju, Budi (2007). Tersisakah Empati untuk
T%20Tantut%20Susanto.pdf Diakses Penderita Kusta. http//
Tanggal 02 Oktober 2014 1.surya.co.id/v2/?p=402.Diakses tanggal 02
Khasanah (2012) Kualitas Tidur. Oktober 2014
jurnal.ummgl.ac.id/index.php Sarwono, Jonathan (2009). Statistik Itu Mudah.
/fikes/article/.../104/88 Diakses Tanggal 02 Yogyakarta: Penerbit ANDI
Oktober 2014 Smith (2012) Kualitas Tidur.
Kosasih, A, et al. (2003). Ilmu Penyakit Kulit dan repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter
Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. %20II.pdf Diakses Tanggal 02 Oktober
Kumar, at all (2004) Kecacatan pada Pasien 2014
Kusta. Susanto, Tantut (2010) Faktor-faktor yang
journal.unair.ac.id/.../kecacatan%20pend% Berpengaruh Terhadap Reaksi Kusta
20kusta%2. Diakses Tanggal 02 Oktober lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285751-
2014 T%20Tantut%20Susanto.pdf.Diakses
Maas, J.B.(2002). Power Sleep. Bandung: Tanggal 02 Oktober 2014
Penerbit Kaifa Swarth (2000) kecacatan pasien kusta.
Marsley, Bob (2012). Kusta, Penyakit Menular https://id.scribd.com/doc/20937833/cdk-
Yang Sulit Menular. 117-kusta Diakses Tanggal 02 Oktober
regional.kompas.com/read/2012/01/27/1803 2014
3674/Kusta.Penyakit.Menular.yang.Sulit.Me Tarwoto & Wartonah (2004). Kebutuhan Dasar
nular. Diakses Tanggal 02 Oktober 2014 Manusia dan Keperawatan. Jakarta:
Noor, Juliansyah (2012).Metodologi Penelitian. Penerbit Salemba
Jakarta: Kencana Ulfa, Azimatul (2008) Faktor Yang Berhubungan
Pagolori (2002). Faktor-faktor yang Berpengaruh Dengan Tingkat Kecacatan Kusta.
Terhadap Reaksi Kusta. http://library.unej.ac.id. Diakses Tanggal 02
https://id.scribd.com/doc/135538762/Prawo Oktober 2014
-To . Diakses Tanggal 02 Oktober 2014

277
WHO (2013). Jumlah Penderita Kusta.
www.who.int/gho/publications/
world.../2013/en/ . Diakses Tanggal 02
Oktober 2014
Wavy (2008) Kualitas Tidur.
repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter
%20ll.pdf . Diakses Tanggal 02 Oktober
2014
Wong, Moses (2005). Tidur Tanpa Obat. Jakarta:
Bumi Aksara

278

Anda mungkin juga menyukai