Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN PSIKIATRI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2022


UNIVERSITAS BOSOWA

KLEPTOMANIA

DISUSUN OLEH :
Rezal
45 22 112 016

DOSEN PEMBIMBING :
dr. Mayamariska Sanusi, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2022
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Rezal
NIM : 4522112016
Judul : Kleptomania
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa.

Makassar, Desember 2022

Mahasiswa

(Rezal)

Mengetahui,
Pembimbing

(dr. Mayamariska Sanusi, Sp. KJ)


1

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penulisan 3

1.3. Manfaat Penulisan 4


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Definisi 5
2.2. Prevalensi 6
2.3. Mekanisme 7
2.4. Diagnosis 13
2.5. Diagnosis Banding 18
2.6. Tatalaksana 18
2.7. Pencegahan 21
2.8. Prognosis 22
2.9. Komplikasi 22
BAB 3 PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 24

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1
2

Gambar 2.1 Karakteristik Pasien Kleptomania 7


Gambar 2.2 Struktur otak menunjukkan Amigdala 9
Gambar 2.3 Hubungan Antara Opioid dan Dopamine 12
Gambar 2.4 Kuesioner Kleptomania 15
Gambar 2.5 Yale Brown Obsessive Compulsive Scale 17
Gambar 2.6 Diagnosis Banding Kleptomania 18

2
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kleptomania adalah gangguan kontrol impuls yang dapat menyebabkan
gangguan signifikan dan konsekuensi serius. Seringkali, kondisi tersebut
dirahasiakan oleh pasien, dan biasanya bantuan hanya dicari ketika
dihadapkan pada konsekuensi hukum dari perilaku impulsif. Secara historis,
kleptomania telah dilihat dari perspektif psikodinamik, dan pengobatan
andalan adalah psikoterapi. Baru-baru ini, upaya untuk menjelaskan
kleptomania dalam paradigma neuropsikiatri telah menyoroti kemungkinan
hubungan antara gangguan mood, perilaku adiktif, dan cedera otak dengan
kleptomania. Asosiasi ini dengan kleptomania dapat diekstrapolasi ke strategi
farmakologis yang berpotensi membantu dalam mengobati kleptomania.
Kasus kleptomania, yang berpotensi diperburuk oleh berbagai faktor, akan
ditinjau. Modalitas pengobatan yang digunakan dalam kasus ini, termasuk
penggunaan Skala Obsesif Kompulsif Yale-Brown sebagai penanda pengganti
untuk mengukur respons terhadap pengobatan, akan dibahas. (Talih et al.,
2011).
Sejak diperkenalkan ke dalam leksikon psikiatri sebagai istilah
diagnostik pada tahun 1838, Kleptomania telah menjadi subyek kontroversi
dan perdebatan yang intens. Pertanyaannya adalah apakah Kleptomania
merupakan gangguan medis atau suatu bentuk perilaku ilegal dan
menyimpang yang lebih mirip dengan sosiopati. Manual Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental, Edisi Keempat, (DSM-IV) menggolongkan
kleptomania kedalam kelompok gangguan kontrol impuls yang tidak
diklasifikasikan di tempat lain, di samping trikotilomania, pyromania dan
gangguan eksplosif intermiten. DSM-IV mendefinisikan kleptomania sebagai
kegagalan berulang untuk menahan impuls untuk mencuri objek yang tidak
diperlukan untuk penggunaan pribadi atau untuk nilai moneternya. Seperti
gangguan kontrol impuls lainnya, kleptomania ditandai dengan dorongan
kecemasan yang didorong untuk melakukan tindakan yang menyenangkan

1
2

pada saat itu tetapi menyebabkan penderitaan dan disfungsi yang signifikan.
Perhatian yang cermat harus diberikan untuk membedakan kleptomania dari
gangguan kepribadian antisosial. Berbeda dengan gangguan yang lain,
kleptomania ditandai dengan adanya rasa bersalah dan penyesalan dan tidak
jelasnya motif pencurian seperti keuntungan moneter, penggunaan pribadi,
mencuri untuk mengesankan seseorang, atau mencuri untuk mendukung
kebiasaan narkoba. (Aboujaoude et al., 2004)
Prevalensi Kleptomania pada populasi umum AS tidak diketahui tetapi
diperkirakan 6 per 1000 orang, yang berarti sekitar 1,2 juta dari 200 juta orang
dewasa Amerika. Kleptomania diperkirakan merupakan 5% dari kegiatan
pencurian. Berdasarkan total biaya pencurian sebesar $10 miliar pada tahun
2002, 5% nya adalah menjadi kerugian tahunan sebesar $500 juta bagi
permasalahan ekonomi yang disebabkan oleh Kleptomania. Kerugian ini tidak
termasuk biaya yang terkait dengan pencurian dari teman dan kenalan atau
biaya yang dikeluarkan oleh sistem hukum. Selain korban jiwa pada individu
dan keluarga, perilaku Kleptomania membawa konsekuensi hukum yang
serius: sekitar 2 juta orang Amerika didakwa mencuri setiap tahun. Jika
kleptomania menyumbang 5% dari ini, ini berarti 100.000 penangkapan
merupaka penderita Kleptomania. (Aboujaoude et al., 2004).
Namun, beberapa ciri utama dari gangguan tersebut, yang meliputi
pikiran intrusi berulang, ketidakmampuan untuk menahan dorongan untuk
melakukan pencurian dan hilangnya ketegangan setelah tindakan tersebut,
menunjukkan bahwa kleptomania mungkin merupakan gangguan spektrum
obsesif-kompulsif. Kleptomania umumnya kurang terdiagnosis dan sering
disertai dengan kondisi kejiwaan lainnya, terutama gangguan afektif,
kecemasan dan makan, dan penyalahgunaan alkohol dan zat. Individu dengan
gangguan biasanya dirujuk untuk pengobatan karena keluhan komorbid dari
perilaku kleptomania. Selama abad terakhir telah terjadi pergeseran dari
intervensi psikoterapi ke psikofarmakologis untuk kleptomania.
Penatalaksanaan farmakologis menggunakan selective serotonin (5-
hydroxytryptamine; 5-HT) reuptake inhibitor (SSRIs) dan antidepresan

2
3

lainnya, penstabil mood dan antagonis reseptor opioid, sebagai adjuvant untuk
terapi kognitif-perilaku, telah menghasilkan hasil yang menjanjikan. (Durst et
al., 2001)
Kleptomania dijelaskan dalam literatur medis dan hukum selama
berabad-abad, sejak awal abad ke-19 ketika dokter Swiss Mathey yang bekerja
dengan "orang gila" menulis tentang "kegilaan yang unik yang ditandai
dengan kecenderungan untuk mencuri tanpa motif dan tanpa kebutuhan.
Kecenderungan untuk mencuri adalah permanen, tetapi kecenderungan
mencuri untuk kepuasaan”. Ia menyebut kondisi ini sebagai 'klopemania' atau
'kegilaan mencuri'. Istilah 'klopemania' berubah menjadi 'kleptomanie' dan
dijelaskan oleh dokter Prancis Marc dan Esquirol sebagai "orang yang
memiliki dorongan yang tak tertahankan dan tidak disengaja untuk mencuri."
Selanjutnya, kleptomania dimasukkan dalam Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-I) pada tahun 1962 sebagai istilah
tambahan daripada diagnosis formal. Menariknya, istilah tersebut dihilangkan
sama sekali dari DSM-II sebelum diperkenalkan kembali di DSM-III di bawah
kategori 'gangguan kontrol impuls yang tidak ditentukan'. Kleptomania
mempertahankan posisinya di bawah kategori diagnostik 2014) yang sama di
DSM-IV. (Saluja et al., 2014)

1.2. Tujuan

1. Mengetahui Definisi Kleptomania


2. Mengetahui Prevalensi Kleptomania
3. Mengetahui Mekanisme terjadinya Kleptomania
4. Mengetahui Diagnosis dan Diagnosis Banding Kleptomania
5. Mengetahui Tatalaksana Kleptomania
6. Mengetahui Pencegahan Kleptomania
7. Mengetahui Komplikasi Kleptomania

1.3. Manfaat

3
4

Penulisan dari referat ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman dokter muda mengenai Kleptomania dalam hal penegakkan
diagnosis, tatalaksana awal sebagai dokter umum, serta dapat menangani dan
merujuk dengan tepat

4
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut ICD 10, Kleptomania adalah gangguan yang ditandai
dengan kegagalan berulang untuk menahan impuls untuk mencuri benda –
benda yang tidak diperoleh untuk penggunaan pribadi atau keuntungan
moneter. Objek yang dicurinya mungkin saja dibuang, diberikan atau
ditimbun. Perilaku ini biasanya disertai dengan peningkatan rasa tegang
sebelumnya, dan rasa puas selama dan segera setelah tindakan.
Kleptomania adalah kondisi yang membingungkan di mana
kejahatan (pencurian) menjadi bagian dari kriteria diagnostiknya. Tidak
mengherankan, ini biasanya digunakan oleh pembela untuk mitigasi
pencurian dan pelanggaran terkait, terutama untuk pelanggar pencurian
berulang. (Talih et al., 2011)
Kleptomania ditandai dengan episode berulang dari pencurian.
tindakan pencurian berupa pengambilan barang dagangan tanpa
sepengetahuan penjualnya. Barang-barang yang terlibat biasanya bernilai
sepele dan tidak diperlukan oleh individu yang mencurinya. Dorongan
untuk mencuri bersifat distonik ego dan mengganggu pasien. (Saluja et al.,
2014)

2.2 Prevalensi
Kleptomania terjadi pada sekitar 4% - 24% individu yang
tertangkap akibat kasus pencurian. Prevalensi pada populasi umum
termasuk sangat jarang, hanya sekitar 0,3 – 0,6%. Jenis kelamin
perempuan didapatkan lebih banyak dibandingkan laki – laki dengan
perbandingan 3 : 1. (DSM V)
Sebuah studi dari 400 penelitian penerimaan pada pasien rawat
inap psikiatri menemukan prevalensi saat ini 7,8% dan prevalensi seumur
hidup 9,3% menyiratkan bahwa gangguan terjadi lebih umum daripada
yang diperkirakan perbandingan Cross sectional kleptomania antara di

5
6

Amerika dan di Brazil menemukan bahwa kedua kelompok Mencari 10


sampai 20 tahun setelah onset penyakit dan tingkat bunuh diri yang tinggi.
(Torales et al., 2020)
Kleptomania dapat dimulai pada masa anak-anak remaja atau
dewasa tetapi dimulai pada masa remaja. Kleptomania terjadi lebih sering
pada wanita dengan sekitar 2/3 pasien kleptomania adalah wanita. wanita
dengan kleptomania biasanya sudah menikah, suka mengutil barang-
barang rumah tangga, menyimpan barang curian, lalu pada kemudian hari
muncul gangguan makan atau gangguan kontrol impuls lainnya.
Kleptomania memiliki komorbid tinggi pada pembelian kompulsif,
gangguan mood, kecemasan, gangguan makan, gangguan kepribadian, dan
penggunaan zat serta gangguan kontrol impuls dan perilaku lainnya.
Tingkat OCD pada kleptomania kisaran antara 6,5 - 60%. Karena
komorbiditas yang tinggi antara OCD dan kleptomania, telah disimpulkan
bahwa kleptomania mungkin merupakan varian OCD. (Torales et al.,
2020)

6
7

Gambar 2.1 Karakteristik Pasien Kleptomania

2.3 Mekanisme
Kecanduan perilaku ditandai dengan disfungsi di beberapa area
otak dan sistem neurotransmiter. Dua neurotransmiter utama yang terkait
dengan kecanduan perilaku adalah: serotonin dan dopamin. (Sulthana et
al., 2015)

7
8

Peran serotonin
Serotonin terlibat dalam setiap jenis perilaku seperti nafsu makan,
emosi, motorik, kognitif dan otonom. Serotonin memodulasi sistem saraf
seperti laju pembakaran serotonergik soma di inti raphe. Kleptomania
disebabkan oleh defek pada molekul yang mentransfer serotonin, yang
mengatur suasana hati dan emosi. Struktur otak yang paling umum terlibat
dalam perilaku kecanduan adalah amigdala. Pada amigdala ini memiliki
sertotonergik, dopaminergik, opiodergik dan nor-adrenergik neuron.
Ekspresi berlebih dari gen Fos B terlihat pada nukleus accumbens
amigdala pada pasien dengan kleptomania. Amygdala terlibat dalam
signifikansi emosional dan terkait belajar. (Sulthana et al., 2015)
Reseptor serotonin
Reseptor 5-HT1A terdapat di inti raphe. Reseptor ini adalah
reseptor otomatis yang mengontrol pengisian neuron serotonergik.
Reseptor ini berpasangan dengan protein Gi dari protein G. Mereka
menghambat enzim adenilat siklase dan menghambat pembentukan
cAMP. Sejumlah kecil reseptor 5-HT3 juga ditemukan di amigdala,
hipokampus dan daerah otak depan. Reseptor ini adalah kanal ion yang
selektif terhadap Na+ atau K+ atau Ca2+. Kleptomania melibatkan
gangguan neurotransmitter serotonin. (Sulthana et al., 2015)

8
9

Gambar 2.2. Struktur otak menunjukkan Amigdala


Peran Dopamine
Dopamin di otak dapat mempengaruhi gerakan, kognisi,
kesenangan dan motivasi. Dopamine merupakan neurotransmitter utama
yang terlibat dalam jalur kepuasan di otak. Jalur kepuasaan adalah
sekelompok saraf struktur yang secara kritis terlibat dalam memediasi efek
penguatan. Dopamine merupakan neurotransmitter yang penting di ganglia
basalis dan bertanggung jawab untuk kontraksi otot rangka, fungsi kognitif
seperti perhatian, memori dan perencanaan serta mengatur perilaku
emosional. Ketika dopamin dilepaskan, akan memberikan perasaan senang
atau puas. Akibat perasaan puas tersebut, menyebabkan orang ingin
melakukan apapun untuk bisa merasakan kepuasaan. Untuk memuaskan
keinginan itu orang tersebut akan mengulangi perilaku yang menyebabkan
pelepasan dopamin. Dapat diamati juga bahwa gen yang terkait dengan
dopamin ditemukan dua kali lebih sering pada orang yang berjudi daripada
yang tidak berjudi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kadar
dopamin bersifat genetik. Aktivasi dari sistem penghargaan terkait erat
dengan peningkatan aktivitas jalur dopamin tertentu yaitu jalur
mesolimbik yang berjalan dari ventral tegmental area (VTA) ke nucleus
accumbens. Neuron mesokortikolimbik memiliki peran utama dalam
penghargaan dan aspek motivasi lainnya. (Sulthana et al., 2015)

Reseptor dopamine
Reseptor D2 sebagian besar ditemukan dalam perilaku kecanduan.
Reseptor ini berpasangan dengan protein Gi dari GPCR yang dapat
menurunkan pembentukan cAMP. Reseptor ini adalah reseptor otomatis
yang mengatur aktivitas neuron dopaminergik. Reseptor ini mengambil
kembali neurotransmitter melalui DAT (pengangkut dopamin) dan
membantu mengatur kadar dopamin dalam otak. Hambatan pada DAT
menyebabkan sinaps membanjiri dopamin dan mengakibatkan
peningkatan sinyal dopaminergik. Jika kejadian ini terjadi pada nukleus

9
10

accumbens, dapat meningkatkan aktivitas D1 dan menurunkan sinyal


reseptor D2 yang memediasi stimulus penghargaan pada kleptomania.
(Sulthana et al., 2015)

Peran opioid
Reseptor opioid didistribusikan ke seluruh otak dan sumsum tulang
belakang dan diketahui memediasi sejumlah aktivitas termasuk analgesia,
perilaku khas spesies, dan penghargaan (reward). Endogen opioid, yang
diproduksi secara alami di dalam tubuh, dan opiat eksogen, yang
diproduksi di luar tubuh, menghasilkan berbagai gejala termasuk pereda
nyeri, euforia, pernapasan depresi (jarang berbahaya secara klinis),
konstipasi, mual, dan muntah. Efek yang dihasilkan oleh opioid yang
mengikat pada reseptor opioid terjadi di seluruh tubuh. Opioid bekerja
pada tiga kelas reseptor yang berbeda: kappa, delta, dan mu, meskipun ada
kemungkinan ada subtipe tambahan. Karena masing-masing kelas reseptor
memiliki efek unik pada sel, banyak kelas memungkinkan opioid memiliki
berbagai efek dalam tubuh. Sebagian besar reseptor opioid memiliki
struktur umum yang sama. Mereka umumnya berupa G-Protein Coupled
receptor (GPCR). Mereka kadang-kadang bertindak independen dari G-
Protein. Reseptor ini menghambat aktivitas adenilat siklase yang
merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk mengkatalisis berbagai
reaksi kimia di neuron. Ketiga jenis reseptor terdapat pada neuron pra
sinaptik dan pasca sinaptik. Ketika bekerja pada reseptor prasinaptik,
peptida berfungsi sebagai neuromodulator yang mempengaruhi pelepasan
neurotransmiter. Pada reseptor pascasinaps, peptida bertindak sebagai
neurotransmiter dengan secara langsung mengubah potensial membran.
Efek keseluruhan dari opioid pada jaringan tertentu tergantung pada
konsentrasi dan lokasi reseptor opioid di daerah tersebut. Sistem opioid
terhubung dengan sebagian besar jaringan neurotransmiter di tubuh.
Interaksi antara opioid dan sistem dopaminergik tampaknya terlibat dalam
kecanduan, toleransi, dan gejala penarikan. Interaksi yang relevan

10
11

tampaknya terjadi di sepanjang proyeksi mesolimbik, terutama di area


tegmental ventral (VTA) dan nukleus accumbens (NA). Keterlibatan
Dopamin dalam Opioid meningkat di VTA. Sejumlah penelitian
menyatakan bahwa VTA, pusat aktivitas DA yang diketahui, terlibat
dalam sistem penghargaan opioid. Opioid meningkatkan frekuensi neuron
DA mesolimbik yang diproyeksikan dari VTA 37, yang memberikan bukti
kuat bahwa opioid memiliki pengaruh rangsang pada dopamin. Opioid
tidak hanya memiliki efek rangsang pada dopamin; efek opioid tampaknya
bergantung pada aktivasi dopamin. Antagonis dopamine merupakan
molekul yang mengikat reseptor dan mencegah pengaktifan dopamin,
memblokir efek opioid dengan menghentikan aktivitas yang diinduksi
morfin. Dopamine terlibat dalam penguatan Opioid di Noradrenalin. Saat
neuron dopaminergik memproyeksikan dari VTA ke seluruh struktur di
otak, neuron menuju ke noradrenaline telah berulang kali terlibat dalam
sifat menguntungkan dari opioid. Pemberian sistemik (ke dalam tubuh
secara luas) opiat meningkatkan pergantian dopamin di NA yang
menunjukkan bahwa opioid dapat meningkatkan aktivitas dopamin. Telah
ditunjukkan lebih lanjut bahwa opiat dapat meningkatkan aktivitas gen
awal, c-fos, c-jun, dan zif yang mengubah transkripsi gen serta
menunjukkan bahwa opioid menyebabkan efek jangka panjang dan
bertahan lama pada perubahan sel-sel NA. Adanya eksitasi dopamin
memungkinkan dapat meningkatkan efek yang menguntungkan dari
opioid, tampaknya penguatan tidak bergantung pada aktivasi dari
dopamin. Penting untuk dicatat bahwa hewan akan lebih mengubah
perilaku mereka untuk mendapatkan opioid di VTA41 yang menunjukkan
bahwa aktivasi VTA dapat menghasilkan efek yang lebih bermanfaat
daripada aktivasi NA. Sangat menarik untuk dicatat bahwa agonis opioid
dan dopamin sama, keduanya zat yang terkait dengan kecanduan, menekan
eksitasi keseluruhan di NA. (Sulthana et al., 2015)

11
12

Gambar 2.3. Hubungan antara opioid dan dopamine

2.4 Diagnosis
Kriteria DSM-5 untuk kleptomania mencakupi fitur ini :
A. Sering kali tidak mampu untuk menolak dorongan mencuri benda –
benda yang sebenarnya tidak diperlukan dalam kehidupan dan tidak
bernilai moneter
B. Merasa tegang segera sebelum melakukan pencurian
C. Memiliki perasaan senang, lega atau puas selama tindakan mencuri
D. Pencurian yang dilakukan tidak berdasarkan motivasi untuk membalas
dendam atau untuk mengekspresikan kemarahan dan tidak dilakukan
sambil berhalusinasi atau delusi
E. Mencuri itu tidak terkait dengan gangguan perilaku, episode manik
dari gangguan bipolar, atau gangguan kepribadian antisosial

Benda – benda itu dicuri meskipun pada dasarnya benda tersebut


bernilai kecil untuk individu yang sebenarnya mampu untuk membayarnya
dan benda tersebut sering diberikan atau dibuang. Terkadang seseorang
dengan kleptomania dapat menimbun benda curian atau diam – diam
mengembalikannya. Meskipun individu dengan gangguan ini umumnya

12
13

akan menghindari mencuri ketika kemungkinan akan segera ditangkap


(misalnya, di depan mata petugas polisi), mereka biasanya merencanakan
pencurian sebelumnya atau sepenuhnya memperhitungkan kemungkinan
penangkapan. Pencurian ini dilakukan tanpa bantuan dari, atau kerjasama
dengan orang lain.
Individu dengan kleptomania biasanya berusaha untuk menahan
dorongan untuk mencuri, dan mereka menyadari bahwa tindakan tersebut
salah dan tidak masuk akal. Individu sering takut ditangkap dan sering
merasa tertekan atau bersalah mengenai pencurian yang dilakukannya.
Jalur neurotransmitter yang terkait dengan kecanduan perilaku, termasuk
didalamnya terdapat serotonin, dopamine dan sistem opiod berperan dalam
kleptomania.
Kriteria PPDGJ-3 untuk Kleptomania mencakupi fitur berikut ini.
Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah :
● Adanya peningkatan rasa tegang sebelum, dan rasa puas selama dan
segera sesudahnya melakukan tindakan pencurian
● Meskipun upaya untuk menyembunyikan biasanya dilakukan, tetapi
tidak setiap kesempatan yang ada digunakan
● Pencurian biasanya dilakukan sendiri (solitary act), tidak Bersama –
sama dengan orang lain
● Individu mungkin tampak cemas, murung dan rasa bersalah pada waktu
diantara episode pencurian, tetapi hal ini tidak mencegahnya
mengulangi perbuatan – perbuatan tersebut

Curi patologis/ Kleptomania harus dibedakan dari :


(a)Pencurian barang di toko tanpa gangguan jiwa yang nyata, dimana
perbuatannya direncanakan dengan lebih hati – hati dan terdapat motif
keuntungan pribadi yang jelas
(b)Gangguan mental organik (F00 – F09), dimana berulang kali gagal
untuk membayar barang belanjaan sebagai konsekuensi berkurangnya
daya ingat dan kemerosotan fungsi intelektual lain

13
14

(c)Gangguan depresif dengan pencurian (F30 – F33); beberapa penderita


depresi melakukan pencurian dan mungkin akan tetap mengulanginya
selama gangguan depresif masih ada

Gambar 2.4. Kuesioner Kleptomania

Y-BOCS (Yale Brown Obsessive Compulsive Scale) adalah kuesioner


tervalidasi yang menilai tingkat keparahan gejala pada gangguan obsesif
kompulsif dan digunakan dalam studi pasien dengan pembelian kompulsif untuk
mengikuti perubahan kompulsif. Y-BOCS bukanlah kuesioner yang divalidasi
untuk kleptomania dan tidak diindikasikan untuk digunakan pada kleptomania.
Namun, dalam upaya untuk mengukur peningkatan secara objektif pada pasien,
peneliti memutuskan untuk menggunakan Y-BOCS sebagai penanda pengganti
untuk intensitas kompulsi yang terkait dengan gejala kleptomanianya. Pasien
diinstruksikan untuk menjawab kuesioner dalam hal gejala kleptomania saja Y-
BOCS diberikan tiga kali pada interval sekitar delapan minggu. (Talih et al.,
2011)
Laporan ini menggambarkan beberapa masalah neuropsikiatri yang
mungkin menyertai dan mungkin memperumit kleptomania. Pasien kami datang

14
15

dengan riwayat kecanduan, trauma masa kecil dan psikologis, depresi, dan trauma
kepala (gegar otak). Sejauh pengetahuan kami, ini adalah laporan pertama yang
menjelaskan eksaserbasi kleptomania yang sudah ada sebelumnya. Memburuknya
gejala dilaporkan oleh pasien kami terdiri dari dorongan kuat dan lebih sering
untuk mencuri. Hal ini tercermin dari peningkatan pencurian ke pola hampir
setiap hari, padahal sebelumnya frekuensinya setiap 3 hingga 4 minggu sekali.
Perasaan bersalah, malu, dan ketidakberdayaan meningkat dan menyebabkan
memburuknya depresi. (Talih et al., 2011)

15
16

Gambar 2.5. Yale Brown Obsessive Compulsive Scale

16
17

2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis Banding pada kleptomania meliputi gangguan jiwa
dengan gejala mencuri, berikut merupakan gejala yang berbeda dari
Kleptomania dan gangguan mood lainnya. (Sulthana et al., 2015)

Gambar 2.6 Diagnosis Banding Kleptomania

2.6 Tatalaksana
Hingga saat ini FDA belum menentukan obat untuk kleptomania.
Pada pasien dengan gangguan kleptomania yang merupakan gangguan
pengendalian impuls, rencana pengobatan yang dapat diberikan berupa
terapi farmakoterapi, psikoterapi, terapi kombinasi, terapi kelompok serta
edukasi terhadap pasien (Sulthana et al., 2015).
Farmakoterapi
Terapi farmakologis yang biasa digunakan terkait dengan
gangguan terhadap neurotransmiter dopamine dan serotonin, adalah :
1. SSRI
Mekanisme kerja SSRI yang merupakan antidepresan yaitu dengan
menghambat pengambilan serotonin ke dalam neuron presinaptik.
Obat golongan ini sering digunakan sebagai lini pertama dikarenakan
efek samping yang minimal, seperti sakit kepala, kelelahan, insomnia,
disfungsi seksual (Santarsieri et al., 2015). Contoh obat-obatan
golongan SSRI yaitu fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine.

17
18

SSRI lebih selektif dibandingkan antidepresan-triksiklik, walaupun


aktivitas SSRI sebagai penghambat reuptake neurotransmiter non-
serotonergik seperti norepinefrin lemah, namun SSRI menjadi
inhibitor reuptake serotonin yang kuat. Sehingga efek samping yang
ditimbulkan lebih sedikit daripada antidepresan-trisiklik (Sulthana, et
al., 2015).
2. Antidepresan Triksiklik
Antidepresan trisiklik, atau yang biasa diebut TCA merupakan
golongan antidepresan, yang mekanisme kerjanya yaitu dengan
menghambat reuptake dari norepinefrin dan serotonin, menghambat
adrenergik, kolinergik serta reseptor histaminergik (Wells, et al.,
2009).
Berbeda dengan SSRI, TCA kurang selektif sehingga
menyebabkan efek samping yang lebih kompleks dan tidak diinginkan
seperti, peningkatan berat badan, mulut menjadi kering, konstipasi,
kelelahan serta pusing (Sulthana, et al., 2015). Selain itu TCA juga
memiliki efek terhadap sistem kardiovaskuler (Roose, et al., 1998).
Obat golongan TCA antara lain yaitu Imipramine, Nortryptiline.
3. Antagonis Opiod
Mekanisme kerja obat ini yaitu dengan menurunkan
neurotransmitter dopamine di nukleus accumbens, sehingga dapat
meredam kegembiraan dan hasrat yang timbul pada pasien
kleptomania. Obat golongan antagonis opioid yang sering digunakan
pada terapi gangguan ini yaitu Naltrexon (Grant, et al., 2002).
Naltrexon digunakan sebagai terapi medikasi terhadap adiksi
alkohol, yang mana memiliki kesamaan gejala dengan kleptomania.
Dosis Naltrexon yang dapat diberikan yaitu 50mg/hari peroral, dengan
dosisi injeksi sebulan sekali (Shantrel, S., et al., 2017).
4. Mood-stabilizer
Mood stabilizer merupakan obat yang digunakan untuk
mengendalikan suasana hati, sehingga pasien yang mengalami episode

18
19

depresif maupun episode mania dapat mengendalikan moodnya. Mood


stabilizer yang digunakan yaitu lithium dan valproat (Stahl, 2013).
Psikoterapi
Terapi ini dilakukan dengan menggali alasan utama penderita
melakukan hal yang tidak terpat tersebut, dan membantu penderita unutuk
menghilakngkan keadaan stress yang dihadapi. Tujuan psikoterapi ini
yaitu mengubah persepsi penderita dari hal-hal negatif menjadi ke hal yang
positif. Ketika penderita mengalami keinginan untuk mencuri, maka
stimulus akan diberikan unutuk menginduksi emosi yang tidak
menyenangkan, sehingga keinginan mencuri akan menurun. Penderita
diminta unutuk mencatat semua aktivitas sehari hari dalam buku harian
sebagai evaluasi (Zhang, et al.,2018).
Psikoterapi yang dapat dilakukan yaitu Cognitive Behavior
Therapy (CBT), yang meliputi beberapa teknik seperti (Grant, 2002) :

- Covert sensitization : penderita membayangkan dirinya


mencuri kemudian menghadapi hal
negatif seperti tertangkap.
- Terapi Aversi. : penderita diminta menahan napas
sampai penderita menjadi tidak
nyaman.
- Desensitisasi sistemik : Melibatkan teknik relaksasi dengan
mengendalikan dorongan untuk
mencuri.
- Terapi Kombinasi. : Gabungan terapi farmakologis dan
perilaku adalah strategi pengobatan
yang optimal untuk kleptomani.
- Coping and Support : 1. Sesuai dengan rejimen terapi
2. Edukasi mandiri individu
3. Menentukan dorongan
4. Mengobati penyalahgunaan zat atau

19
20

masalah kesehatan lainnya


5. Menemukan lingkungan yang sehat
6. Relaksasi dan manajemen stres
7. Fokus pada tujuan

2.7 Pencegahan
Pencegahan pada kleptomania dapat dilakukan dengan (Sulthana,
2015) :
- Mendidik anak dengan baik
- Memperkuat hubungan yang harmonis dan positif
- Manajemen stres yang baik
- Untuk mencegah masalah pencurian, pasien harus ditemani rekan saat
pergi keluar untuk menyadarkan penderita
- Mendapatkan pengobatan segera setelah muncul gejala kompulsif
mencuri, sehingga dapat membantu untuk mencegah kleptomania
menjadi lebih buruk dan mencegah konsekuensi negatif
Menghindari kekambuhan
- Tetap melakukan rencana perawatan yang sudah ditetapkan
- Apabila muncul keinginan mencuri, segera hubungi tenaga penyedia
kesehatan mental
- Hubungi kelompok terapi atau orang-orang yang dipercaya

2.8 Prognosis
Pasien dengan kleptomania memiliki prognosis yang sesuai dengan
hasil pengobatan farmakologis dan non farmakologis. Perilaku pasien
dengan kleptomania tanpa menjalani pengobatan yang sesuai akan dapat
berlangsung terus menerus, serta hal ini merupakan kondisi jangka
panjang (Sulthana, 2015). Pada beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya bukti, bahwa dorongan untuk mencuri akan berkurang seiring usia
yang makin bertambah. Gangguan ini sebagian besar tidak disadari,

20
21

sehingga dapat muncul sebagai penyakit kronis, dan menyebabkan dampak


tehadap psikologis, sosial dan hukum penderita (Grant, 2008).

2.9 Komplikasi
Kleptomania jika tidak segera dilakukan terapi akan menyebabkan
berbagai masalah. Masalah yang muncul bisa masalah emosional,
pekerjaan, keluarga, lingkungan, keuangan serta hukum. Sebagai contoh,
penderita kleptomania mungkin merasa bersalah, malu, bahkan
membenci dirinya sendiri. Perasaan tersebut muncul dari kesadaran
bahwa mencuri adalah tindakan yang salah, namun dia tidak bisa
menahan dorongan untuk mencuri (Sulthana, et al. 2015).
Kondisi lain yang dapat menyebabkan atau dikaitkan dengan
kleptomania meliputi (Sulthana, et al. 2015).:
● Perjudian kompulsif atau belanja
● Penangkapan karena mencuri
● Dipenjarakan
● Penyalahgunaan alkhol dan zat berbahaya
● Gangguan makan
● Depresi
● Gelisah

21
22

BAB 3
PENUTUP

Kleptomania merupakan gangguan berupa kegagalan untuk menahan


impuls atau keinginan untuk mengambil benda-benda yang sebenarnya tidak
dibutuhkan oleh penderita, baik untuk penggunaan pribadi atau untuk sesuatu
yang menghasilkan keuntungan. Objek yang dicuri mungkin saja tidak disimpan.
Namun, penderita biasanya merasakan peningkatan rasa tegang sebelum
melakukan aksinya, dan mendapatkan kepuasaan selama dan setelah melakukan
tindakan. Gangguan impuls ini disebabkan karena adanya disfungsi pada
beberapa area otak dan sistem neurotransmitter, terutama dopamin, serotonin, dan
opioid yang berkaitan dengan perilaku kecanduan. Diagnosis Kleptomania dapat
ditegakkan dengan memenuhi kriteria pada pedoman DSM V maupun PPDGJ 3.
Dalam upaya untuk mengukur peningkatan secara objektif pada penderita
kleptomania, penelitian menggunakan Yale Brown Obsessive Compulsove Scale
(Y-BOCS), sebagai penanda pengganti untk intensitas kompulsi yang terkait
dengan gejala kleptomania-nya, walaupun kuesioner Y-BOCS bukan merupakan
kuesioner yang divalidasi untuk kleptomania.
Gangguan ini dapat diterapi dengan terapi farmakologis dan non-
farmakologis. Terapi farmakologis yang dapat diberikan yaitu SSRI, antidepresan-
trisiklik, antagonis opiod serta Mood-Stabilizers. Sedangkan untuk terapi non-
farmakologis dapat dilakukan psikoterapi, dan terapi kelompok. Keberhasilan
pengobatan dapat mencegah terjadinya kekambuhan pada gangguan ini. Untuk
mengontrol gangguan impuls yang terjadi pasien harus tetap melakukan
pengobatan sesuai saran terapi oleh dokter. Dukungan keluarga serta lingkungan
juga akan membantu penyembuhan dari gangguan kleptomania ini.

22
23

DAFTAR PUSTAKA
Aboujaoude, E., Gamel, N. and Koran, L.M., 2004. Overview of kleptomania and
phenomenological description of 40 patients. Primary care companion to
the Journal of clinical psychiatry, 6(6), p.244.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric
Publishing.
DEPKES. RI. 2000. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III(PPDGJ-III). Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI
Durst, R., Katz, G., Teitelbaum, A., Zislin, J. and Dannon, P.N., 2001.
Kleptomania. CNS drugs, 15(3), pp.185-195.
Grant JE, Kim SW. 2002. Kleptomania: Emerging therapies target mood,
impulsive behavior, Current Psychiatry
Grant JE, Kim SW. 2002. Adolescence Kleptomania treated with naltrexone: a
case report. Eur Child Adolesc Psychiatry; 11:92-95.
Grant, Jon E., Odlaug, Brain. 2008. Kleptomania : Clinical Characteristics and
Treatment. Brazilian Journal of Psychiatry 30 (suppl 1).
McElroy, S.L., Pope, H.G., Hudson, J.I., Keck, P.E. and White, K.L., 1991.
Kleptomania: a report of 20 cases. The American journal of psychiatry.
Roose SP, Laghrissi-Thode F, Kennedy JS. 1998. Comparison of paroxetine and
nortriptyline in depressed patients with ischemic heart disease. JAMA
279(4):287-19.
Saluja, B., Chan, L.G. and Dhaval, D., 2014. Kleptomania: a case
series. Singapore medical journal, 55(12), p.e207.
Santarsieri, Schwartz. 2014. Antidepressant efficacy and side-effect burden: a
quick guide for clinicians. Drugs Context.
Shantrel S. Canidate, Giselle D. Carnaby, Christa L. Cook RLC. 2017. A
Systematic Review of Naltrexone for Attenuating Alcohol Consumption in

23
24

Women with Alcohol Use Disorders (AUD). Alcohol Clin Exp Res.
41(3):466–72.
Stahl, Stephen M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific
Basis and Practical Application fourth edition. New York. Cambridge
Medicine Press.
Sulthana, N., Singh, M. and Vijaya, K., 2015. Kleptomania-the Compulsion to
Steal. Am. J. Pharm. Tech. Res, 5(3).
Talih, F.R., 2011. Kleptomania and potential exacerbating factors: a review and
case report. Innovations in clinical neuroscience, 8(10), p.35.
Torales, J., González, I., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020).
Kleptomania as a neglected disorder in psychiatry. International Review of
Psychiatry, 1–4.
Zhang Z, Huang F, Liu D. 2018. Kleptomania: Recent Advances in Symptoms,
Etiology and Treatment. Curr Med Sci. 38(5):937–40.

24

Anda mungkin juga menyukai