Oleh:
Edward Gani
C01418 2085
Residen Pembimbing:
dr. Novianti Hajai
Pembimbing Supervisor:
Dr.dr.H.M.Faisal Idrus,Sp.KJ
i
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : C014182085
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Mengetahui,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
…………………………………………………......................................... ii
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………………………………………………
….. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
……………………………………………………....................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN
……………………………………………………………………………………………. 2
2.1 DEFINISI
………………………………………………………………………………………………... 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
………………………………………………………………………………………. 2
2.3 ETIOLOGI
……………………………………………………………………………………………….. 3
2.4 PATOFISIOLOGI
………………………………………………………………………………………. 3
2.5 KRITERIA DIAGNOSIS
…………………………………………....................................... 4
2.6 PATOLOGI DAN PEMERIKSAAN
LABORATORIUM………………………………………… 5
2.7 DIAGNOSIS BANDING
………………………………………………………………………………. 6
2.8 PENATALAKSANAAN
…………………………………………....................................... 6
2.9 PROGNOSIS
…………………………………………………………………………………………….. 7
BAB 3 KESIMPULAN …………………………………………………...
………………………………………………. 8
LAPORAN
KASUS…………………………………………………………………………………………………
………… 10
DAFTAR PUSTAKA
iii
……………………………………………………………………………………………………….24
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Kleptomania adalah suatu kondisi yang penuh dengan teka teki dimana kejahatan
(pencurian) membentuk bagian dari kriteria diagnostiknya. Sudah tak mengejutkan lagi,
Kleptomania telah dideskripsikan baik dalam literatur medis maupun hukum selama
ratusan tahun , di tahun 1900-an, seorang psikolog swiss bernama Matthey menggambarkan
kleptomania sebagai “kegilaan yang unik yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk
mencuri tanpa adanya motif ataupun kebutuhan. Kecenderungan untuk mencuri tersebut
hati nurani”, saat itu ia menggunakan istilah ‘klopemania’ atau ‘stealing insanity’. Dua orang
dokter asal Prancis, Marc dan Esquirol kemudian mengubah istilah klopemania menjadi
kleptomania dan mendeskripsikannya sebagai “orang yang memiliki dorongan yang tidak
dapat dilawan dan tidak disadari untuk melakukan pencurian”. Pada tahun 1962, kleptomania
dimasukkan sebagai istilah tambahan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-I), belum sebagai diagnosis formal. Pada DSM-II, istilah kleptomania
dihilangkan, barulah pada DSM-III istilah kleptomania kembali diperkenalkan dan sekaligus
dimasukkan kedalam kategori “impulse control disorder not otherwise specified”. Hal yang
menarik dari diagnosa ini dalam DSM III dan IV adalah kleptomania dapat didiagnosa tanpa
antisosial yang sangat memungkinkan adanya kebiasaan mencuri 1. Barulah pada DSM-V,
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
barang yang tidak diperlukan untuk kepentingan pribadinya atau untuk keuangannya.
Kleptomania juga dikenal sebagai kesukaan untuk mencuri atau fanatik mencuri. Misalnya
seseorang yang mencuri buku meskipun mereka tidak bisa membaca atau mencuri pakaian
2.2 Epidemiologi
perhatian lebih dalam literatur sains, namun belum ada penelitian pasti mengenai
epidemiologi dari kleptomania. Dari data yang ada, diperkirakan kleptomania memiliki
prevalensi 0,5-1% dari total populasi secara umum. Dari beberapa penelitian juga didapatkan
bahwa prevalensi kleptomania terus meningkat. Pada suatu penelitian pada pasien rawat inap,
7,8 % memiliki gejala kleptomania untuk saat ini, dan 9,3% memiliki gejala kleptomania
seumur hidupnya. Penelitian lain lagi pada populasi dengan komorbid kleptomania, yaitu
pada pasien dengan depresi primer, ketergantungan alkohol dan judi patologis adalah 3,7%,
3.8% dan 5% sesuai urutannya. Kleptomania juga lebih sering didapatkan pada polulasi
wanita 4.
2
2.3 Etiologi
Etiologi dari kleptomania sendiri belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
teori yang mengatakan bahwa adanya peran genetik dan neurobiologis. Pada pasien dengan
gangguan impuls, gray matter tampak kurang padat pada korteks prefrontal. Area ini
diasosiasikan dengan pengontrolan impuls dan pengaturan diri. Pasien juga memiliki
peningkatan gray matter pada area temporal, dimana area ini berkaitan dengan impulsivitas,
Selain faktor biologis, ada juga faktor psikologis yang dapat berperan, dimana pada
pasien ini memiliki Id yang dominan, dan penekanan pada ego dan superego. Mereka juga
cenderung memiliki empati yang rendah, serta rasa percaya diri yang rendah. Sedangkan
untuk faktor lingkungan, beberapa hal yang dapat menyebabkannya misalnya orang tua yang
selalu menitipkan anaknya di tempat penitipan anak, atau orangtua yang mengalami banyak
masalah rumah tangga atau pada anak dengan orangtua yang bercerai 4.
2.4 Patofisiologi
penelitian sebelumnya, penyebab yang mungkin dari kleptomania adalah: (1) faktor genetik;
kebanyakan keluarga dekat dari penderita kleptomania memiliki gangguan mental atau
kepribadian. (2) faktor keluarga; kebanyakan penderita kleptomania diasuh oleh kakek-
neneknya , atau memiliki orangtua yang telah bercerai, atau menikah lagi, sehingga pasien
dan orang tuanya kurang berkomunikasi. Penderita kleptomania seringkali terisolasi dan
dihukum di sekolah, menyebabkan mereka menerima rasa kasih sayang yang kurang, dan
akhirnya rasa cinta pada diri sendirinya juga kurang. Ketika orientasi dari kebahagiaan
terelasikan dengan kelakuan yang buruk, mereka mulai berpikir bahwa melakukan hal buruk
merupakan kompensasi psikologis untuk diri mereka sendiri di alam bawah sadarnya.
3
Psikodinamik percaya bahwa kebanyakan pasien memiliki masa kecil yang tidak bahagia,
sehingga mereka melakukan pencurian sebagai kompensasi atas masa kecil mereka yang tak
bahagia. (3) cacat kepribadian; pasien dengan kleptomania paling sering memiliki salah satu
dari kepribadian, yaitu yang pertama adalah expansion, dimana mereka memiliki empati yang
sangat rendah dan melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa memikirkan perasaan
orang lain, yang kedua adalah self represi , mereka sangat tidak perduli dengan orang lain,
jarang berinteraksi dengan orang lain, kurang mencintai dan menghargai diri sendiri, dan
menghadapi nkondisi penuh tekanan, dan emosi negatifnya seperti stress, depresi, kecemasan,
tidak dapat mereka lampiaskan, dan mereka pendam, dan akhirnya pada suatu titik mereka
tidak dapat lagi menahannya dan mencari cara untuk melampiaskannnya. Bagi mereka
perbuatan mencuri adalah hal yang menantang dan menarik dan keberhasilan dalam mencuri
akan memberi mereka kepuasan dan pencapaian yang tak wajar. Karena dorongan untuk
dapat disebabkan oleh faktor organik, seperti tumor, epilepsi, demensia, atau akibat obat.
Kleptomania juga dapat disebabkan oleh atrofi otak, dan retardasi mental 5. Salah satu
penelitian terbaru di 2019 oleh Vlado et al, mereka menemukan hubungan antara penggunaan
Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), kleptomania termasuk dalam kategori
4
gangguan disruptif, impuls, dan conduct. Gangguan ini ditandai dengan suatu tindakan
khusus berupa kebiasaan mencuri. Kebiasaan ini terjadi tanpa adanya kebutuhan akan
Adanya peningkatan rasa tegang sebelum, dan rasa puas selama dan
pembantunya
keuangannya
dendam dan bukan dilakukan sebagai respon terhadap delusi atau halusinasi
Pencurian tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan conduct,
5
2.6 Patologi dan pemeriksaan laboratorium
diagnosis kleptomania.
gangguan kepribadian antisosial, dimana kedua gangguan tersebut juga dapat menyebabkan
perilaku mencuri1.
2.8 Penatalaksanaan
Pada saat ini, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kleptomania. Tapi selama
ini dipercaya bahwa kombinasi terapi dengan obat dan psikoterapi merupakan metode
terbaik. Pasien dengan kleptomania membutuhkan terapi psikologis. Yang terutama, dokter
harus mencari akar permasalahan yang menyebabkan kondisi tersebut dan meringankan
kleptomania adalah akibat libido. Orang normal akan melampiaskan libidonya melalui
olahraga, permainan, mencari teman, atau seks dan sebagainya. Ketika seseorang memilih
cognitive behavioral theraphy (CBT) telah digunakan untuk menggantikan psikoanalitik dan
dalam penelitian komparatif dan kontrol, tetapi laporan kasus menunjukkan bahwa pasien
merespon dengan baik pengobatan CBT terutama jika dikombinasikan dengan terapi
farmakologi. Jenis pengobatan CBT yang digunakan termasuk didalamnya adalah terapi
6
desensitisasi, terapi aversi, serta pengalihan perhatian dan minat. Pengobatan farmakologi
dapat efektif pada beberapa kasus kleptomania dan strategi pengobatannya bisa beragam
sebagai bentuk dari gangguan obsesif kompulsif, maka SSRI sering digunakan sebagai
pengobatan farmakologi. Namun hasil yang ditampakkan pada beberapa kasus tidak
konsisten, pada beberapa kasus SSRI gagal untuk menghilangkan keinginan mencuri, bahkan
pada beberapa kasus SSRI dapat menyebabkan beberapa gejala kleptomania. Pada beberapa
kasus lainnya, obat penstabil mood seperti asam valproat, litium, dan topiramat dapat
memberikan manfaat. Beberapa pasien juga merespon terhadap antagonis opioid dimana
sistem opioid juga dipercaya menjadi salah satu penyebab kleptomania, obat tersebut antara
lain adalah naltrexone. Anggota keluarga juga diharapkan dapat berperan aktif dalam
mendidik, mengkritik dan memperhatikan kelakuan pasien. Pasien juga dianjurkan untuk
menulis diari harian, dimana pasien menuliskan hal-hal baik yang mereka lakukan dan
sebagai media pelampiasan untuk hal yang tidak mereka senangi, sehimgga mereka dapat
menekan keinginan mencuri dan meningkatkan kepercayaan dirinya bahwa ia bisa berhenti 5.
2.9 Prognosis
Rata-rata usia pada awal kleptomania adalah pada masa dewasa, paling sering
setelah usia 18. Proses perjalanan gangguan ini tidak dikenal; bentuk timbul dan kronis yang
terjadi. Prognosis kleptomania sendiri dipengaruhi oleh tingkat keparahannya yang dapat
dilihat dari frekuensi keinginan untuk mencuri, rasa bahagia setelah mencuri dan faktor
komorbid lainnya (anorexia nervosa, bulimia nervosa, OCD). Untuk mengukur tingkat
7
BAB 3
KESIMPULAN
melakukan pencurian yang terjadi secara berulang, dan kegiatan mencuri ini dilakukan bukan
ini juga bukan dilakukan atas dasar balas dendam atau kemarahan. Dan saat berhasil
melakukan pencurian, orang tersebut mendapat kepuasan dan ppencapaian yang tidak wajar.
Namun sesaat setelah melakukan pencurian, mereka mungkin saja merasakan penyessalan
Etiologi pasti dari kleptomania belum diketahui, namun ada beberapa etiologi
yang dianggap berperan yaitu faktor genetik, faktor keluarga, faktor kepribadian, faktor
sosial, dan faktor psikologis. Kleptomania dipercayai sebagai pelampiasan dari emosi yang
terpendam, seperti yang telah dijelaskan bahwa penderita kleptomania memiliki kepribadian
tertutup dan seringkali memiliki rasa cinta terhadap dirinya sendiri yang rendah serta tidak
perduli terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka juga seringkali melakukan hal yang
membuat orang terganggu namun mereka tak perduli mengenai perasaan orang lain. Selain
itu mereka juga kebanyakan adalah anak yang dibesarkan di keluarga yang berantakan,
dimana kedua orangtua sering bertengkar atau telah berpisah dan menikah kembali. Mereka
juga seringkali dikatakan bodoh dan dihukum di sekolah sehingga rasa cinta pada diri
sendirinya berkurang. Emosi yang terpendam akibat masalah- masalah tersebut oleh alam
bawah sadarnya akhirnya dilampiaskan melalui kegiatan mencuri, dimana setelah mencuri
8
mereka mendapat kepuasan dan kebahagiaan sementara. Dan kepuasan itu merangsang
mereka untuk melakukan hal yang sama berulangkali dan hal tersebut tak dapat dikontrol.
etiologinya, ada beberapa penanganan yang dapat diberikan baik psikoterapi maupun
farmakologi. Untuk psikoterapi, pengobatan yang dinilai memberi perubahan yang paling
signifikan adalah cognitive and behavioral therapy (CBT) terutama jika dikombinasi dengan
obat. Untuk pengobatan farmakologinya, karena kleptomania dianggap salah satu penyakit
gagguan impuls, maka pemberian SSRI dapat membantu, seperti pemberian fluoxetine,
meskipun pada beberapa kasus tak membantu. Pemberian obat penstabil mood juga dapat
membantu pada beberapa kasus, seperti asam valproat, litium, dan topiramat dapat
membantu.
penyakitnya yang dapat dilihat melalui beberapa hal seperti frekuensi mencurinya, dan
9
LAPORAN KASUS
Skizofrenia Paranoid (F20.0)
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AY
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Umur : 18 Juni 1977 / 42 tahun
Status perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : belum/tidak bekerja
Alamat : Jl.Manunggal 31 no 18 Maccini
Sombala
No Status / No. Reg : 00 00 82 43
Tanggal datang ke RSKD : 18/ 2/2019
LAPORAN PSIKIATRIK
Diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari:
Nama : Ny. R
Usia : 36 tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pendidikan Terakhir : SD
10
I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Gangguan
2014
2. Hendaya/disfungsi
• Hendaya sosial (+)
• Hendaya pekerjaan (+)
• Hendaya waktu senggang (+)
• Merokok (-)
11
• Alkohol (-)
Pasien diasuh dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudaranya.
Pada waktu kecil, pasien mampu bermain dengan teman sebayanya. Pasien
mendapat kasih sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya.
Pasien mulai bersekolah di SD pada usia 6 tahun. Pasien merupakan murid
yang rajin dan tidak malas ke sekolah serta mendapat prestasi yang cukup
baik di sekolah. Pasien adalah seorang yang mudah bergaul dan mempunyai
banyak teman walaupun agak pemalu dan tertutup. Ketika keluarganya
datang berkunjung, pasien seringkali masuk ke dalam kamar.
12
Pasien sudah mulai bekerja sebagai petani. Pasien dikenali sebagai seorang
yang penyabar dan pendiam. Pasien juga mempunyai hubungan yang baik
sesama tetangga.
Genogram
Laki- laki
Perempuan
Penderita
X Meninggal
F. Situasi Sekarang
Saat ini pasien tinggal bersama ayah dan ibunya serta saudaranya.
13
G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien tidak sadar akan dirinya yang sakit dan menyangkal bahwa dirinya sakit
serta menolak untuk berobat.
14
II. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang laki-laki berpakaian dengan mengenakan baju kaos berwarna abu-
abu dan celana panjang jeans biru. Rambut pendek, warna hitam. Wajah
sesuai usia (42 tahun), perawakan sedang, perawatan diri cukup.
2. Kesadaran : Berubah
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Gelisah
4. Pembicaraan : Spontan, lancar, intonasi sedang
5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
15
1. Halusinasi : Halusinasi Visual (melihat wanita), halusinasi
auditorik(mendengar suara wanita tetapi tidak jelas apa yang dikatakan)
2. Ilusi : Belum dapat dinilai
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada
E. Proses Berpikir
1. Arus pikiran
•
• Produktivitas : Cukup
• Kontinuitas : kadang-kadang irrelevan, koheren
• Hendaya berbahasa : Tidak ada
2. Isi pikiran:
• Pre-okupasi : merasa patah hati tapi tidk jelas penyebabnya
• Gangguan isi pikiran : Waham Bizarre ( merasa bahwa dirinya adalah
robot, dan tak memiliki otak), waham kendali(merasa dirinya
dikendalikan oleh suara hatinya untuk terus makan)
F. Pengendalian Impuls : Terganggu
G. Daya Nilai
1. Norma sosial : Terganggu
2. Uji daya nilai : Terganggu
3. Penilaian realitas : Terganggu
H. Tilikan (Insight)
Derajat 1 (Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit)
16
ikterus, jantung paru abdomen dalam batas normal, ekstremitas atas dan
bawah tidak ada kelainan.
B. Status Neurologis
GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif, pupil
bulat isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik dan
sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan refleks
patologis. Cara berjalan normal, keseimbangan baik. Sistem saraf sensorik
dan motorik dalam batas normal. Kesan: Normal.
17
tidak dapat dirabarasakan. Daya konsentrasi terganggu. Gangguan isi pikir yaitu
waham. Tilikan derajat 1, penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit. Secara
keseluruhannya, setiap informasi yang diutarakan pasien dapat dipercaya.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I
Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan status mental,
ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna konsentrasi terganggu dan tidur
terganggu. Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya, sulit
melakukan tugas dalam kehidupan harian, dan sulit mengisi waktu luangnya
dengan hal yang bermanfaat (disability) sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita Gangguan jiwa. Pasien mengalami hendaya berat dalam
menilai realitas sehingga pasien digolongkan dengan Gangguan Jiwa Psikotik.
Pasien tidak ditemukan adanya riwayat infeksi dan trauma kepala maupun
gangguan neurologis sehingga Gangguan Jiwa Organik dapat disingkirkan.
Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan status mental
ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna berupa afek tumpul, konsentrasi
berkurang, nafsu makan terganggu, dan tidur terganggu. Pasien juga sering
melihat cewek dan mendengar suara cewek tapi tidak jelas apa yang
dikatakan(halusinasi visual dan auditorik). Pasien juga sering mendengar
suara hatinya yang menyuruhnya makan sehingga pasien menjadi sering
makan(waham kendali). Pasien juga percaya bahwa dirinya robot karena ia tak
memiliki otak(waham bizarre). Keadaan ini berlangsung sejak 7 hari yang
lalu. Berdasarkan gejala-gejala klinis ini dapat ditegakkan diagnosis
Skizofrenia Paranoid (F20.0).
Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya, sulit
melakukan tugas dalam kehidupan harian, dan sulit mengisi waktu luangnya
dengan hal yang bermanfaat (disability). Didapatkan juga hendaya dalam
pekerjaan. Berdasarkan pemeriksaan ini, dapat ditegakkan diagnosa yaitu
Skizofrenia Paranoid (F20.0).
18
yang mana onsetnya adalah kronik. Pasien ini mengalami perubahan
perilaku lebih dari 2 minggu sehingga differensial diagnosis ini dapat
disingkirkan.
Axis II
Pasien dikenal sebagai seorang yang pendiam dan pemalu dan cenderung
menghindari tempat ramai tapi memiliki cukup banyak teman . Dari informasi
tersebut pasien memiliki ciri keperibadian yang tidak khas namun mengarah ke
skizoid.
Axis III
Tidak ada
Axis IV
Stressor tidak jelas
Axis V
GAF Scale 50-41 (gejala berat (serious), disabilitas berat).
• Sosial
Ditemukan adanya hendaya dalam sosial, bekerja sehingga pasien
memerlukan sosioterapi.
19
VII. RENCANA TERAPI
1. Farmakoterapi
R/Haloperidol 5mg 3x1
R/Chlorpromazin 100mg 0-1/2-1
R/Triheksifenidil 2mg 2x1 jika ada gejala ekstrapiramidal
2. Psikoterapi
Ventilasi: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan
keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.
3. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang-orang di
sekitarnya sehingga dapat menerima dan menciptakan suasana lingkungan
yang mendukung.
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad
bonam
Ad sanationam : Dubia ad
malam
1. Faktor pendukung prognosis:
• Pasien menunjukkan gejala positif
• Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien
• Akses ke pelayanan jiwa lancar
• Faktor penghambat: Pasien tidak merasa sakit dan merasa tidak perlu
berobat.
• Pasien mengalami keluhan untuk kedua kalinya
IX. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakit pasien, tanda-
tanda vital pasien dan efektifitas terapi serta kemungkinan terjadinya efek
samping dari obat yang diberikan.
20
X. DISKUSI
21
d. Gejala-gejala negatif
• Sebagai tambahan:
Diagnosis banding yang boleh dipertimbangkan pada pasien ini adalah Gangguan
psikotik akut dan sementara (F23) dan Skizoafektif (F25).2
Pasien ini diberikan Haloperidol 5 mg, sesuai dengan terapi antipsikosis tipikal.
Haloperidol bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamine.9 Pasien turut diberikan
chlorpromazin 100 mg yang merupakan obat antipsikosis yang bekerja dengan cara memblok
reseptor dopamin, untuk hal ini yang diinginkan adalah efek sedatifnya.
Selain itu, pasien turut diberikan Trihexyphenidyl 5mg untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal ini muncul akibat penggunaan obat antipsikotik.
Trihexyphenidyl bekerja dengan cara menghambat asetilkolin.10
Pasien diberikan psikoterapi berupa terapi interpersonal dan sosioterapi. Hal ini
sesuai karena terapi interpersonal, sosioterapi dan kognitif telah terbukti efektifitasnya
dalam kasus gangguan psikotik. Terapi kognitif bertujuan untuk mengurangi gejala depresi
dan mencegah rekurensi, dengan cara mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi masalah
dan mengubah pola pikir pasien menjadi positif. Terapi interpersonal dilakukan untuk
memperbaiki kemampuan sosial pasien dan memperbaiki hubungan interpersonal. Selain
22
itu, terapi sosioterapi dilakukan untuk keluarga pasien, atau orang disekitar pasien dapat
menerima keadaan pasien dan menciptakan suasana yang mendukung pasien.11
23
DAFTAR PUSTAKA
J.55(12).e207e209.doi:10.11622/smedj2014188
Compulsivity.dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-407724-9-00002-1.Elsevier.Africa;
38(5):937-940
Journal of Neuropsychopharmacology;
8. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2013). Buku Ajar Psikatri (2nd ed).
Sylvia DE, Gitayanti H, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
9. Maslim R (2014). Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi 2014.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya;
10. Amir Syarif et al (2012). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Jakarta;
24