Anda di halaman 1dari 6

Belakangan ini kita sering mendengar pembicaraan tentang autisme di media massa cetak atau

elektronik, baik itu berupa obrolan santai maupun perbincangan serius. Sekilas mungkin terlihat
atau terasa biasa saja dan tidak ada yang salah ketika kata autis digunakan oleh para pemakai
kata itu. Akan tetapi, ternyata jika dicermati dengan lebih teliti, bentuk kata autis itu tidak ada
dalam bahasa asalnya.

Kata autisme diserap dari kata Inggris autism. Kata itu mulai dipakai pada awal abad ke-20.
Menurut kamus Merriam-Webster Collegiate (2003), autisme adalah gangguan mental yang
muncul pada balita yang kemudian dicirikan oleh mental yang hanya sibuk dengan diri sendiri
dan tidak adanya kemampuan untuk membentuk hubungan sosial, perilaku yang berulang-ulang,
dan buruknya fungsi berbahasa.

Bentuk turunan dari kata autism adalah autistic ‘terganggu karena autisme’, dan dalam bahasa
Indonesia diserap menjadi autistik (periksa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga 2005).
Dalam bahasa Inggris, autistic mengacu ke ‘orang’ dan ke ‘sifat yang bertalian dengan autisme’.
Jadi, misalnya, dapat dikatakan Ali orang yang autistik, atau Ali seorang autistik. Dalam bahasa
Indonesia, ada juga kata fanatik yang mengacu ke ‘orang’ dan ‘sifat’.

Kata autis merupakan bentuk turunan yang menyimpang dari kaidah pembentukan istilah.
Menurut kaidah, akhiran –ism diserap dengan menambahkan huruf e sehingga menjadi –isme,
sedangkan akhiran –ic diserap menjadi –ik, misalnya pada characteristic menjadi karakteristik,
artistic menjadi artistik, futuristic menjadi futuristik.

Dalam penggunaan sehari-hari, kita seringkali mendapati bentuk anak autis atau penderita autis.
Berdasarkan penjelasan di atas, ungkapan itu hendaknya diubah menjadi anak autisik atau anak
penderita autisme.

Autisme Belakangan ini kita sering mendengar pembicaraan tentang autisme di media massa
cetak atau elektronik, baik itu berupa obrolan santai maupun perbincangan serius. Sekilas
mungkin terlihat atau terasa biasa saja dan tidak ada yang salah ketika kata autis digunakan oleh
para pemakai kata itu. Akan tetapi, ternyata jika dicermati dengan lebih teliti, bentuk kata autis
itu tidak ada dalam bahasa asalnya.

Kata autisme diserap dari kata Inggris autism. Kata itu mulai dipakai pada awal abad ke-20.
Menurut kamus Merriam-Webster Collegiate (2003), autisme adalah gangguan mental yang
muncul pada balita yang kemudian dicirikan oleh mental yang hanya sibuk dengan diri sendiri
dan tidak adanya kemampuan untuk membentuk hubungan sosial, perilaku yang berulang-ulang,
dan buruknya fungsi berbahasa.

Bentuk turunan dari kata autism adalah autistic ‘terganggu karena autisme’, dan dalam bahasa
Indonesia diserap menjadi autistik (periksa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga 2005).
Dalam bahasa Inggris, autistic mengacu ke ‘orang’ dan ke ‘sifat yang bertalian dengan autisme’.
Jadi, misalnya, dapat dikatakan Ali orang yang autistik, atau Ali seorang autistik. Dalam bahasa
Indonesia, ada juga kata fanatik yang mengacu ke ‘orang’ dan ‘sifat’.
Kata autis merupakan bentuk turunan yang menyimpang dari kaidah pembentukan istilah.
Menurut kaidah, akhiran –ism diserap dengan menambahkan huruf e sehingga menjadi –isme,
sedangkan akhiran –ic diserap menjadi –ik, misalnya pada characteristic menjadi karakteristik,
artistic menjadi artistik, futuristic menjadi futuristik.

Dalam penggunaan sehari-hari, kita seringkali mendapati bentuk anak autis atau penderita autis.
Berdasarkan penjelasan di atas, ungkapan itu hendaknya diubah menjadi anak autisik atau anak
penderita autisme.

Kata autisme diserap dari kata Inggris autism. Kata itu mulai dipakai pada awal abad ke-20.
Menurut kamus Merriam-Webster Collegiate (2003), autisme adalah gangguan mental yang
muncul pada balita yang kemudian dicirikan oleh mental yang hanya sibuk dengan diri sendiri
dan tidak adanya kemampuan untuk membentuk hubungan sosial, perilaku yang berulang-ulang,
dan buruknya fungsi berbahasa.

Bentuk turunan dari kata autism adalah autistic ‘terganggu karena autisme’, dan dalam bahasa
Indonesia diserap menjadi autistik (periksa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga 2005).
Dalam bahasa Inggris, autistic mengacu ke ‘orang’ dan ke ‘sifat yang bertalian dengan autisme’.
Jadi, misalnya, dapat dikatakan Ali orang yang autistik, atau Ali seorang autistik. Dalam bahasa
Indonesia, ada juga kata fanatik yang mengacu ke ‘orang’ dan ‘sifat’.

Kata autis merupakan bentuk turunan yang menyimpang dari kaidah pembentukan istilah.
Menurut kaidah, akhiran –ism diserap dengan menambahkan huruf e sehingga menjadi –isme,
sedangkan akhiran –ic diserap menjadi –ik, misalnya pada characteristic menjadi karakteristik,
artistic menjadi artistik, futuristic menjadi futuristik.

Dalam penggunaan sehari-hari, kita seringkali mendapati bentuk anak autis atau penderita autis.
Berdasarkan penjelasan di atas, ungkapan itu hendaknya diubah menjadi anak autisik atau anak
penderita autisme.

Ragam Bahasa Anak Autis


RAGAM BAHASA ANAK AUTIS

1. Pengantar
Anak melalui dua tahap perkembangan bahasa, yaitu pemerolehan bahasa (language
acquisition) dan pembelajaran bahasa (language learning). menurut Maksan (1993:19-20)
pemerolehan bahasa dilakukan secara tidak sadar, informal, serta implisit. Pembelajaran
bahasa dilakukan dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya
kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa setiap
anak mengalami tahapan yang sama (universal) dalam pemerolehan bahasa, yaitu tingkat
membabel (0—1), masa holofrasa (1—2), masa ucapan dua kata (2—2,6), masa
permulaan tata bahasa (2,6—3), masa menjelang tata bahasa dewasa (3—4), dan masa
kecakapan penuh (4—5).
Perkembangan bahasa pada anak bergantung pada maturasi otak, lingkungan,
perkembangan motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism
(Sidiarto, 1991:134). Apabila terdapat gangguan pada proses perkembangan anak, maka
akan berimplikasi pula terhadap pembelajaran bahasa pada anak. Gangguan ini dapat
berupa gangguan berbahasa, gangguan pendengaran, keterbelakangan mental, autis,
afasia, disleksia, dan sebagainya.
Gangguan berbahasa pada anak dapat berupa keterlambatan bicara. McCormic dan
Schiefelbusch (dalam Sidiarto, 1991:136) membagi gangguan berbahasa ke dalam lima
kategori penyebab:
1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan gangguan motorik.
Termasuk di dalam kelompok ini adalah anak dengan cerebral palsy.
2. Gangguna bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan deficit sensori. Termasuk
dalam kategori ini adalah anak dengan gangguan pendengaran.
3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan sistem syaraf
pusat. Kerusakan sistem syaraf ini dapat bersifat ringan dan bersifat berat. kelompok ini
tergolong pada afasia.
4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi emisional-
sosial yang berat. termasuk dalam kelompok ini adalah anak dengan psikosis, skizofernia,
dan autis.
5. Gannguan bahasa dan komunikasi yang berhubugan dengan gannguan kognitif.
Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan keterbelakangan mental.
Beberapa gangguan berbahasa yang telah diuraikan, tentunya tidak tertutup kemungkinan
adanya usaha agar anak dapat berbahasa dan berkomunikasi dengan lingkungan
sekitarnya. Untuk memberikan penanganan terhadap gangguan bahasa pada anak perlu
dikenali terlebih dahulu jenis gangguannya.

a. Anak autis
Di dalam kajian psikologi, anak autistik (anak autis) merupakan bagaian integral dari
anak luar biasa. Hadis (2006:43) menyatakan bahwa anak autistik adalah anak yang
mengalami gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang
untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Autis juga merupakan
gangguan perkembangan organik yang mempengaruhi kemampuan anak-anak dalam
berinteraksi dan menjalani kehidupannya (hanafi dalam hadis, 2006:2002). Gangguan
perkembangan ini sangat kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas imajinasi anak, serta emosional anak. Dengan kata lain, pada anak autis terdapat
hambatan yang berat dalam kemampuan perkembangan verbal dan interaksi non-verbal.
Dari segi neurolinguistik (Sidiarto, 1991:140), penyebab autis adalah sulitnya anak dalam
memfungsikan integrasi sensoris dan proses urutan (sequencing process). Fungsi ini
merupakan dasar perkembangan sistem komunikasi dan linguistik. Terganggunya
penggunaan bahasa verbal untuk komunikasi, interaksi komunikasi, dan kurang
mampunya membaca bahasa tubuh, ekspresi muka, atau nada suara mengindikasikan
bahwa secara neurologis, anak mengalami kerusakan pada kedua hemisfer otaknya.
Anak-anak dengan autis menggunakan komunikasi dan strategi yang kacau dalam belajar
bahasa. apabila diberi stimulus yang kompleks, maka anak autis cenderung memberi
respon pada satu komponen. Pola respon demikian disebut stimulus overselectivity atau
overselective attention.
Faktor penyebab autis masih terus dicari. Namun, beberapa teori terbaru menyatakan
bahwa faktor genetika (keturunan) memegang peran penting dalam proses terjadinya
autis. Komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal juga ditemukan pada anak autis.
Berbagai kondisi neuopatologi yang berada diluar kewajaran (normal) juga turut menjadi
penyebab terjadinya autis (Hadis, 2006:45-46).
Lebih jauh, Hadis (2006:46) juga mendeskripsikan karakteristik anak autis dari enam
masalah/ gangguan, yaitu:
1. Masalah di bidang komunikasi: perkembangan bahasa anak autis lambat atau sama
sekali tidak ada. Anak tambak seperti tuli dan sulit bicara. Senang membeo (echolalia)
dan senang menarik tangan orang lai untuk menyatakan keinginannya.
2. Masalah di bidang interaksi sosial: anak autis lebih suka menyendiri, tidak melakukan
kontak mata bahkan cenderung menghindari kontak mata.
3. Masalah di bidang sensoris:anak autis tidak peka terhadap sentuhan (tidak mau
dipeluk), langsung menutup telinga ketika medengar suara keras. Senang mencium dan
menjilat mainan, dan tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Masalah di bidang pola bermain: anak autis tidak bermain seperti anak umumnya,
tidak memiliki kreativitas, senang bermain dengan benda yang berputar, dan tidak mau
lepas dari benda yang mapu ia pegang dan dapat dibawa kemana-mana.
5. Masalah di bidang perilaku: anak autis dapat berperilaku hiperaktif dan kadangkala
hipoaktif, menstimulasi diri sendiri, suka duduk bengong dengan tatapan kosong, dan
tidak suka perubahan.
6. Masalah di bidang emosi: anak autis sering marah tanpa alasan, kadang agresif dan
merusak, kadang menyakiti diri sendiri, serta tidak memiliki empati.
b. Perkembangan Bahasa pada Anak Autis
Keluhan utama dari orang tua yang memiliki anak dengan ciri-ciri autistik adalah
keterlambatan bicara atau bahkan belum bicara sama sekali. Banyak orang tua
beranggapan jika anaknya bisa bicara maka 99% masalah anak akan terselesaikan, namun
hal yang lebih penting adalah pemahaman anak terhadap bahasa dan kemampuan untuk
berkomunikasi secara dua arah. Banyak anak autis yang mampu bicara, namun
sebenarnya belum mampu memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang mereka
ucapkan dan diucapkan oleh orang lain. Tidak jarang anak autis yang bisa lancar
mendeskripsikan sesuatu, menghapal lagu, meniru jingle iklan, membaca dengan baik,
namun gagal ketika diajak tanya jawab mengenai kejadian sehari-hari. Sehingga, anak
autis yang dapat berbicara belum tentu memiliki pemahaman bahasa yang baik serta
dapat berbicara dengan benar. Sebagian anak autis tidak dapat berkomunikasi baik
dengan verbal maupun nonverbal. Biasanya mereka tidak dapat mengkomunikasikan
perasaan maupun keinginan, sukar memahami kata-kata atau bahasa orang lain,
sebaliknya kata-kata mereka sukar dipahami maknanya, berbicara sangat lambat,
berbicara bukan untuk berkomunikasi, suka bergumam, dapat menghapal kata-kata atau
nyanyian tanpa mengenali arti dan konteksnya, perkembangan bahasa sangat lambat
bahkan sering tidak tampak dan komunikasi terkadang dilakukan dengan cara menarik-
narik tangan orang lain untuk menyampaikan keinginannya.

c. Stimulus Kemampuan Berbahasa Anak Autis


Hampir semua anak autis mengalami kesulitan dalam kemampuan verbalnya. Kadang mereka
mampu untuk berbicara, namun tidak termasuk dalam kategori komunikasi. Salah satu cara
untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak autis dapat dilakukan pembelajaran bahasa
pada mereka. Bentuk pembelajaran bahasa yang dapat dilakukan berupa terapi wicara yang dapat
dikombinasikan dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis)
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam terapi wicara menyentuh ranah (Veskarisyanti,
2008:48—49):
1. Artikulasi atau pengucapan:
Anak autis mengalami kekurangsempurnaan dalam pengucapan karena daerah artikulasinya
mengalami gangguan. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan latihan pengucapan dengan
melibatkan cara dan tempat artikulasi (place and manners of articulation). Latihan yan dapat
diberikan antara lain, propoceptive neuromuscular.
2. Organ bicara dan sekitarnya:
Sifatnya fungsional, sehingga perl dilibatkan oral peripheral mechanism exercises dan oral motor
activities: aktivitas yang melatih fungsi dari motorik organ bicara pada manusia.
3. Untuk bahasa:
Aktivitas yang dilakukan adalah dalam tahapan fonologi, semantik, morfologi, sintaksis, wacana,
metalinguistik, dan pragmatik.
4. Pendengaran:
Terapi yang dapat diberikan adalah dengan menyertakan alat bantu bersifat medis dan
penggunaan sensori lainnya.
5. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan
lain dari atribut dasar pada suara, yang menimbulkan gangguan komunikasi, memeberikan kesan
negative pada si pembicara akan mempegaruhi pendengar.

d. Kasus Autisme
Peter minun susu dengan bersemangat, duduk dan berjalan pada usia yang sesuai. Namun
sebagian perilakunya merasa membuat kami tidak nyaman, Ia tidak pernah memasukkan apapun
kedalam mulutnya,. Tidak jarinya, tidak mainannya, tidak apapun juga…
Lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa Peter tidak memandang kami, atau tersenyum
dan Ikut dalam permainan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masa bayi seperti halnya
popok. Ia jarang tertawa, dan jika Ia melakukannya, Itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak lucu
bagi kami. Ia tidak suka memeluk, tetapi duduk tegak dipangkuan saya. Bahkan ketika saya
mengayunnya. Tetapi setiap anak beda dan kami senang membiarkan peter menjadi dirinya
sendiri. Kami pikit merupakan hal yang lucu ketika saudara laki-laki saya berkunjung ketika
Peter berusia 8 bulan., dan Ia mengatakan “Anak ini tidak memiliki insting social sama sekali.”
Walaupun Peter anak pertama, Ia tidak terisolasi. Saya sering menaruh tempat bermainnya di
depan rumah dimana anak-anak sekolah akan berhenti dan bermain dengannya saat mereka
melewati rumah. Ia tidak mengacuhkan mereka juga. Kitty, anak yang berkarakter, yang lahir 2
tahun kemudian, responsivitasnya menekankan adanya perbedaan pada Peter. Bila saya pergi ke
kamar Kitty untuk menyusuinya pada Malam hari, kepala kecilnya akan menyembul dan Ia
menyapa saya dengan senyum dari kepala hingga kakinya. Dan kesadaran akan perbedaan itu
membuatku merasa beku, lebih dari kamar yang dingin.
Ocehan Peter tidak berubah menjadi bahasa sampai usianya mencapai 3 tahun. Ia bermain secara
soliter dan repetitive. Ia merobek kertas menjadi bagian-bagian tiis yang jumlahnya
berkeranjang-keranjang setiap harinya. Ia memutar tutup toples dan menjadi kesal ketika kami
mencoba mengalihkannya. Hanya kadang-kadang saja saya mendapat kontak matanya, tetapi
kemudian saya melihat fokusnya berubah dari mata saya menuju bayangan pada kacamata saya.
Petualangan Peter dilingkungan tetangga pinggiran kota kami tidak menggembirakan. Dia tidak
mengikui aturan-aturan umum bahwa pasir harus dimainkan dikotak pasir, dan anak-anak
memberi hukuman padanya. Ia tampak seperti sosok yang sedih dan sendirian, selalu membawa
mainan kapal terbang yang tidak pernah dimainkannya. Pada saat itu, saya belum mendengar
kata yang mendominasi pada kehidupan kami, yang selalu diucapkan pada percakapan, dan yang
duduk bersama pada setiap acara makan. Kata itu Autisme.

3. Penutup
Anak-anak normal memperoleh bahasa secara alamiah dan mampu mengikuti pembelajaran
bahasa. Namun, sebagian lainnya karena berbagai sebab mengalami kesulitan dalam memperoleh
bahasa dan pembelajaran bahasa, misalnya anak autis. Autisme adalah gangguan perkembangan
pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya
kemampuan berbahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak
menyukai perubahan dalam lingkungan.
Secara umum, perkembangan komuniksi anak autis terbagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Perkembangan komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara
mereka yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang
aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta makan:”Makan, ya!”).
2. Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh,
mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis akan
menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan kemampuan
komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat membantu mereka untuk
berkomunikasi dengan lingkungannya. Anak autis dapat dibantu mempelajari bahasa melalui
terapi wicara.

4. Referensi
Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Kebutuhan Khusus:Autistik. Bandung: Alfabeta.

Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.


Sidiarto, Lily. 1991. PELLBA: penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Jakarta: Kanisius.

Veskarisyanti, Galih. A. 2008. 12 Terapi Autis: Paling Efektif dan Hemat. Yogyakarta: Galang
Press.

Anda mungkin juga menyukai