Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PANDANGAN MENGENAI KEMATIAN DARI DIMENSI PSIKOSOSIAL

DISUSUN OLEH :

Baiq Candri Wulan Tunjung Tilah P07120421005

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI STR KEPERAWATAN

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Pandangan Mengenai Kematian
Dari Dimensi Psikososial” ini dapat tersusun sampai selesai.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah komuniksasi dalam keperawatan. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang telah membantu


menyelesaikan makalah ini. Baik kepada dosen maupun pihak sekitarnya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, Untuk itu setiap pihak
diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang bersifat
membangun.

Mataram, 21 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover………………………………………………………………………………1

Kata pengantar …………………………………………………………………...2

Daftar Isi…………………………………………………………………………..3

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………4

A. Latar Belakang……………………………………………………………….....4

B. Rmusan Masalah………………………………………………………..............4

C. Tujuan…………………………………………………………………….…….5

BAB II Pembahasan……………………………………………………….…….6

A. Definisi Kematian…………………………………..………………...………..6

B. Perspektif Perkembanganan Mengenai Kematian……………………..……….6

C. Menghadapi Kematian Sendiri……………………………………..…………10

D. Mengatasi Masalah Sehubungan Dengan Kematian Orang Lain…………..…15

BAB III Penutup…..……………………..……………….....………………….19

A. Kesimpulan…………………………………………………………….……..19

B. Saran……………………..…………………………………………………...19

Daftar Pustaka……………..……………………………………………………20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hidup, berkembang dan bertumbuh, kemudian mengalami penurunan
fungsi rohani dan jasmani merupakan hal yang hakiki terjadi pada setiap
manusia. Perjalanan sejak fertilisasi, lahir dan sampai kematian yang
merupakan fase akhir dari proses kehidupan manusia di dunia.
Kematian merupakan sesuatu yang penuh misteri sehingga banyak
tinjauan tentang kematian itu dari berbagai segi. Ada yang meninjau dari segi
religius, segi medis, dan segi psikologis. Tinjauan dari segi agama ada yang
mengaitkan dengan masalah ilahi, tinjauan medis mengaitkan kematian
dengan matinya fungsi vital kehidupan, dan segi psikologi meninjau bahwa
kematian merupakan suatu hal yang pasti dihadapi manusia sebagai fase akhir
dari hidup. Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris, psikologi terikat pada
pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia setelah mati,
melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap
masalah kematian, bagaimana jiwa manusia di saat-saat menjelang kematian
(sakarat). Saat ini, sebagian besar kematian terjadi di lingkungan institusi.
Perawat harus belajar menghadapi kematian sedemikian rupa sehingga
mampu membantu klien dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang
muncul akibat kematian tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kematian
2. Harapan-harapan apa yang muncul saat individu akan mati?
3. Bagaimana respon psikis seseorang yang menjelang kematian (sekarat)?
4. Bagaimana respon psikis orang yang ditinggalkan?
5. Bagaimana respon psikis orang yang menghadapi kematian?
6. Bagaimana cara sesorang mengatasi masalah terkait kematian?

4
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi kematian.
2. Untuk mengetahui harapan-harapan yang muncul saat individu akan mati.
3. Untuk mengetahui respon psikis seseorang yang menjelang kematian
(sekarat).
4. Untuk mengetahui respon psikis orang yang ditinggalkan.
5. Untuk mengetahui respon psikis orang yang menghadapi kematian.
6. Untuk mengetahui cara sesorang mengatasi masalah terkait kematian.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KEMATIAN
Pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak kita mengenai
kematian ialah kapan atau kondisi seperti apa seseorang dikatakan mati.
Sebelum berkembang pesatnya ilmu medis dalam hal upaya memperpanjang
hidup manusia, penentuan kondisi tubuh yang mati cukup sederhana, yakni
berhentinya fungsi biologi tertentu secara permanen, seperti pernafasan dan
tekanan darah serta kakunya tubuh dianggap cukup jelas menjadi tanda-tanda
kematian. Namun dalam beberapa dekade belakangan ini, definisi kematian
menjadi kian kompleks.
Kemajuan dalam teknologi medis telah memperumit definisi
kematian. Kontroversi terus berlanjut berkisar mengenai kriteria apa yang
seharusnya digunakan untuk menetukan kapan seseorang dikatakan mati.
Namun, mati otak masih menjadi kata kunci dalam penentuan mati tidaknya
seseorang. Hal ini didasarkan bahwasanya otak memegang semua kendali
fungsi kehidupan, seperti bernafas, pertumbuhan sel, suplai darah, gerak, dan
aktifitas biologis dan fisik lainnya. Mati otak (brain death) merupakan
definisi neurologis dari kematian. Seseorang dikatakan mati otak apabila
seluruh aktivitas elektrik di otak berhenti selama periode waktu tertentu.
Electroencephalogram (EEG) yang datar, merekam selama periode tertentu
merupakan satu kriteria dari mati otak.

B. PERSPEKTIF PERKEMBANGAN TENTANG KEMATIAN


1. Penyebab Kematian dan Harapan Mengenai Kematian
Walaupun kita sering berpikir mengenai kematian yang terjadi
diusia tua, namun kematian dapat terjadi di segala fase dalam siklus hidup
manusia. Kematian dapat terjadi selama perkembangan prenatal melalui
keguguran, ataupun lahir dalam keadaan mati. Kematian juga dapat terjadi

6
selama proses kelahiran berlangsung atau beberapa hari setelah kelahiran.,
dan biasanya terjadi karena cacat lahir ataau karena bayi tersebut tidak
berkembang secara memadai untuk menopang kehidupannya di luar
rahim. Bentuk tragis yang paling khusus dari kematian bayi adalah
Sudden Infant Death Syndrome (SIDS), yaitu kematian tiba-tiba pada bayi
yang terlihat sehat. SIDS sering terjadi di usia 2-4 bulan. Penyebabnya
diduga karena berhentinya pernafasan, tapi sampai saat ini penyebab
utamanya belum diketahui. Bayi yang mati karena SIDS membuat orang
tua sulit mengatasi rasa kehilangan karena bayi tersebut semula lahir
dengan begitu sehat, kemudian tiba-tiba mati. Memang kematian pada
beberapa orang terlihat lebih tragis dibandingkan dengan orang lain.
Kematian wanita tua berusia 90 tahun dianggap alamiah, karena ia telah
hidup begitu lama, sementara kematian seorang bayi dianggap begitu
tragis, karena hidupnya baru saja dimulai.
Di masa kanak-kanak kematian sering terjadi karena kecelakaan
atau sakit yang tertolong, orang tua akan tetap mendampingi mereka
sampai fase terakhir kehidupannya (Wass & Stillion, 1988). Jarak yang
diciptakan barangkali disebabkan oleh depresi yang dialami oleh banyak
pasien yang sekarat, atau barangkali cara seorang anak untuk melindungi
orang tuanya dari dukacita yang berlebihan pada saat kematian tiba.
Kebanyakan anak yang sekarat mengetahui bahwa mereka menderita
penyakit yang tak tertolong. Tingkat perkembangan yang dimiliki,
dukungan sosial, dan kemampuan mengatasi masalah akan mempengaruhi
seberapa anak-anak tersebut mengatasi perasaan atau memahami bahwa
mereka akan mati.
Dibandingkan dengan masa kana-kanak, kematian diusia remaja
banyak dikarenakan bunuh diri, kecelakaan sepeda motor, dan
pembunuhan. Sedangkan orang dewasa lebih sering mati karena penyakit
kronis dan kecelakaan. Penyakit pada orang dewasa seringkali
melumpuhkan sebelum membunuh. Orang-orang dewasa muda yang
sekarat sering kali merasa tertipu, karena tidak diberi kesempatan untuk

7
melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka kehilangan
apa yang seharusnya mereka capai, sedangkan pada usia dewasa lanjut
merasa kehilangan apa yang mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
2. Sikap Terhadap Kematian Pada Beberapa Fase yang Berbeda Dalam
Masa Kehidupan
Usia mempengaruhi pengalaman dan pemikiran tentang kematian.
Seorang dewasa yang telah matang, akan memahami bahwa kematian
merupakan akhir kehidupan dan itu tidak dapat diubah lagi, dan segala
yang hidup akan mati. Banyak peneliti menemukan bahwa seiring dengan
perkembangan anak, mereka mengembangkan pendekatan tentang
kematian yang lebih matang.
a. Masa kanak-kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki
konsep tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan
keterikatan dengan pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan
kehilangan atau pemisahan serta kecemasan yang menyertainya.tetapi
anak-anak tidak memahami waktu sebagaimana orang dewasa.
Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami sebagai kehilangan
total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan
memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi
kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi
tentang kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika
pengasuhan tidak digantikan yang dapat berpengaruh negatif pada
kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan sama sekali
tidak mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka
seringkali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan
keheranan “Mengapa ini tidak bergerak?”. Di usia sekolah anak-anak
jarang kaget oleh pemandangan seekor binatang yang mati atau dari
cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang telah
mati dapat kembali hidup secara spontan karena adanya hal yang

8
magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis
(Lanetto, 1980). Anak-anak kecil seringkali percaya bahwa hanya
orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang
hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin menyalahkan diri
mereka sendiri terhadap kematian orang yang mereka kenal baik,
mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin
terjadi karena mereka tidak patuh terhadap orang yang mati tersebut.
Kadang-kadang di masa kanak-kanak tengah atau akhir,
konsep kematian yang tidak logis mengenai kematian lambat laun
berkembang hingga diperoleh suatu persepsi tentang kematian yang
lebih realistik. Dalam penelitian awal mengenai persepsi kematian
seorang anak, anak 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-
9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh
beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali
kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948).
Kebanyak ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan
strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak.
Memperlakukan konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkan
sebagai strategi yang tidak sesuai, walaupun kebanyakan dari kita
masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat jarang
didiskusikan.
b. Masa remaja
Di masa remaja, pandangan tentang kematian, seperti juga
pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang begitu
jauh dan tidak banyak memiliki relevansi. Subjek kematian barangkali
dihindari, ditutupi, diolok-olok, dinetralisasi, dan dikontrol dengan
orientasi sebagai penonton (spektatorlike orientation). Perspektif ini
merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada masa remaja.
Bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan perhatiannya terhadap
kematian, mencoba untuk memahami maksud dari kematian, dan
menghadapi saat kematian mereka.

9
Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih
abstrak dibandingkan anak-anak. Sebagai contoh, para remaja
menggambarkan kematian dengan istilah kegelapan, cahaya terang,
transisi, atau ketiadaan sama sekali (Wenestam & Wass, 1987).
Mereka juga mengembangkan filosofi religius mengenai hakikat
kematian dan kehidupan sesudah mati.
c. Masa dewasa
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa di masa dewasa awal
dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai
kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan
saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa
tengah. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa
tengah sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan
mereka yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir (Kalish &
Reynolds, 1976). Orang-orang dewasa akhir lebih banyak berpikir
mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan
kematian.
Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan.
Pemikiran dan pembicaraan tentang kematian meningkat,
perkembangan integritaspun meningkat. Melalui peninjauan hidup
yang positif dan hal inimungkin dapat membantu mereka untuk
menerima kemaatian. Mereka cenderung tidak memiliki kerja byang
berhubungan dengan proyek yang menginginkan kesempurnaan.
Kurangnya antipasi terhadap kematian barangkali akan menyebabkan
rendahnya rasa sakit yang ditimbulkan secara emosional pada diri
mereka.

C. MENGHADAPI KEMATIAN SENDIRI


Manusia merupakan satu-satunya binatang yang tahu bahwa mereka
harus mati (Erich Fromm, 1955). Pengetahuan tentang kematian yang tidak
dapat dielekan memberi kesempatan pada kita untuk membangun prioritas

10
dan struktur waktu kita secara tepat. Saat kita bertambah unur, prioritas dan
struktur berubah, tertuju pada keterbatasan masa depan. Nilai-nilai yang
memokuskan pada pentingnya penggunaan waktu juga berubah.
Banyak orang yang menjelang kematiannya berharap diberi kesempatan
untuk membuat beberapa keputusan sehubungan dengan hidup dan mati
mereka. Beberapa individu lainnya ingin menuntaskan urusan yang belum
selesai, mereka menginnginkan waktu untuk menyelesaikan masalah dan
konflik yang ada dan menempatkan masalah tempat yang seharusnya.
1. Fase-Fase Menjelang Kematian Dari Kubler-Ross
Elisabeth Kubler-Ross (1969), membagi perilaku dan proses
berpikir seseorang yang sekarat menjadi 5 fase, yakni penolakan dan
isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Penolakan
dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama dimana orang
menolak bahwa kematian benar-benar ada. Namun, penolakan merupakan
pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan
dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan pada
beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai,
dan kekhawatirn mengenai kehidupan anggota keluarga yang lainnya
nanti.
Kemarahan (anger), merupakan fase kedua dimana orang yang
menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi
dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa marah, benci dan
iri. Pada titik ini, seseorang menjadi sulit dirawat, karena amarahnya
seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada para dokter, perawat,
anggota keluarga, dan juga Tuhan (Pencipta). Realisai dari kehilangan ini
besar, dan mereka menjadi simbol dari kehidupan, energi, dan fungsi-
fungsi yang merupakan target utama dari benci dan cemburu orang
tersebut.
Tawar-menawar (bargaining), merupakan fase ketiga menjelang
kematian dimana seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian
sewaktu-waktu dapat ditunda atau diundur. Dalam usaha mendapatkan

11
perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu, atau bulan dari
kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang
didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain.
Depresi (depression), merupakan fase keempat menjelang
kematian dimana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada
titik ini, suatu periode depresi atau persiapan berduka mungkin muncul.
Orang yang menjelang kematiannya mungkin akan menjadi pendiam,
menolak pengunjung, serta menghabiskan banyak waktunya untuk
menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan
sebenarnya merupakan usaha nyata untuk melepaskan diri dari seluruh
objek yang disayangi. Menurut Kubler-Ross, usaha untuk
membahagiakan orang yang menjelang kematian pada fase ini justru
menjadi penghalang karena orang tersebut perlu untuk merenungkankan
ancaman kematian.
Penerimaan (acceptance), merupakan fase kelima menjelang
kematian, dimana seseorang mengembangkan raa damai, menerima
takdir, dan dalam beberap hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini
perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross
mengambarkan fase ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Beberapa orang berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk
tetap berpegang pada hidup mereka. Mereka tidak pernah menerima
datangnya kematian. Beberapa ahli psikolog percaya bahwa semakin kuat
individu bertahan untuk menolak kematian yang sesungguhnya tidak
dapat dielakkan, dan semakin besar penolakan mereka, maka akan
semakin sulit bagi mereka untuk mati dalam keadaan damai atau layak.
Ahli lain berpendapat bahwa tidak melawan kematian sampai akhir
mungkin adaptif bagi beberapa orang (Kalish, 1988; Lifton, 1977;
Shneiman, 1973). Dikesmpatan lain, sejumlah emosi mungkin bertambah
dan berkurang. Harapan, ketidakpercayaan, rasa bingung, marah, dan
penerimaan, mungkin datang dan pergi silih berganti disaat individu
mencoba menyadari apa yang sedang terjadi pada diri mereka.

12
2. Pemahaman Terhadap Kontrol dan Penolakan
Pemahaman terhadap kontrol dan penolakan dapat bekerja bersama
sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa lanjut yang
sedang menghadapi kematian. Ketika individu diajak memercayai bahwa
mereka dapat memengaruhi dan mengontrol kejadian-kejadian seperti
memperpanjang hidup mereka, mereka menjadi lebih waspada dan ceria.
Penolakan mungkin merupakan cara yang dapat membuahkan hasil bagi
beberapa individu dalam menghadapi kematian. Bukan aneh bagi orang
yang sekarat untuk menolak kematian tersebut hingga sesaat sebelum
mereka mati. Hidup tanpa harapan mengambarkan keputusasaan.
Penolakan dapat melindungi kita dari perasaan tersiksa yang melanda
ketika kita menghadapi kematian. Penolakan dapat datang dalam beberapa
bentuk (Weisman, 1972). Pertama, kita dapat menolak kenyataan. Sebagai
contoh, seorang wanita yang telah diberitahu oelh dokternya mengenai
jadwal operasi kanker mungkin akan meyakinkan dirinya bahwa operasi
tersebut dimaksudkan untuk suatu tumor yang tidak ganas. Kedua, kita
dapat menolak implikasi daru suatu penyakit atau suatu situasi yang
mengancam. Sebagai contoh, seorang pria barangkali menerima
kenyataan bahwa ia punya penyakit tetapi ia menolak bahwa penyakit itu
akan menyebabkan kematian. Ketiga, kita dapat menolak bahwa kita akan
musnah apabila secara biologis kita mati. Disini, kita dapat memiliki
keyakinan tentang keabadian spiritual.
Penolakan dapat menjadi adaptif atau malaadaptif. Penolakan dapat
digunakan untuk menghindari pengaruh merusak dengan menunda
keharusan berhadapan dengan kematian. Penolakan dapat membuat
orang terasing dari keharusan mengatasi rasa marah dan rasa sakit yang
terus-menerus. Namun, apabila menghambat kita dari suatu operasi
penyelamatan kehidupan, maka hal tersebut jelas merupakan suatu yang
malaadaptif.

13
3. Beberapa Konteks Dimana Orang Mati
Bagi individu yang sekarat, situasi-situasi yang ada pada saat
mereka mati sangat penting. Rumah sakit menawarkan berbagai fasilitas
yang menguntungkan bagi mereka yang sekarat, misalnya staf profesional
yang selalu siap sedia, serta teknologi medis yang mampu
memperpanjang hidup, meskipun rumah sakit bukan tempat terbaik bagi
sesorang untuk mati. Kebanyakan orang lebih memilih menghembus
nafas terakhirnya di rumah. Namun, beberapa perasaan muncul, seperti
mereka hanya menjadi beban di rumah, atau mungkin ruangan rumah
terbatas. Individu yang menjelang kematian juga khawatir mengenai
kompetensi dan penggunaan perawatan medis darurat jika mereka tinggal
di rumah.
Selain rumah sakit dan rumah, situasi lain dalam kematian yang
baru-baru ini banyak mendapat perhatian adalah hospice, suatu institusi
humanis yang memiliki komitmen untuk mengusahakan berakhirnya
hidup tanpa rasa sakit, cemas, dan depresi. Tujuan hospice berbeda denga
rumah sakit, dimana rumah sakit merupakan tempat untuk merawat
penyakit dan memperpanjang hidup. Hospice bermula di London diakhir
tahun 1960-an, saat institusi medis yang baru, yaitu St. Christopher’s
Hospice dibuka. Sangat sedikit usaha yang dilakukan untuk
memperpanjang hidup di St. Christopher. Tidak ada mesin pemicu
jantung dan paru-paru, serta ICU. Tujuan utama hospice adalah
mengontrol rasa sakit, dan membantu pasien yang sekarat menghadapi
kematian secara sehat dari sudut pandang psikologi. Hospice juga
berusaha untuk selalu melibatkan keluarga individu yang sekarat. Hal ini
dipercaya tidak hanya menguntungkan orang yang akan meninggal tetapi
juga anggota keluarga yang ditinggalkan, mungkin dapat mengurangi rasa
bersalah setelah kematian terjadi.
Hospice tumbuh cepat di Amerika Serikat. Tahun 1987 terdapat
200 hospice (Kitch, 1987). Hospice berusaha terus menekankan bahwa
terbuka kemunngkinan untuk mengontrol rasa sakit pada individu yang

14
sekarat dan mungkin untuk menciptakan lingkungan yang superior bagi
pasien dari kebanyakan rumah sakit yang ada.

D. MENGATASI MASALAH SEHUBUNGAN DENGAN KEMATIAN


ORANG LAIN
1. Berkomunikasi dengan Orang yang Menjelang Kematian
Banyak psikolog percaya bahwa yang terbaik bagi individu yang
menjelang kematian adalah mengetahui bahwa mereka akan mati dan
orang lain juga tahu bahwa mereka akan mati sehingga mereka dapat
berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain secara timbal balik.
Terdapat empat manfaat dari adanya kesadaran diri yang terbuka pada
individu yang akan mati, yaitu individu yang mati dapat mengakhiri
hidupnya sesuai dengan ide-ide mereka sendiri mengenai persiapan
kematian, individu yagn akan mati mungkin mampu menuntaskan rencana
dan proyek, dapat membuat persiapan bagi mereka yang akan
ditinggalkan, dan dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
mengenai penguburan dan pemakamannya.
Para ahli percaya bahwa komunikasi seharusnya tidak hanya
terfokus pada masalah patologi mental dan persiapan kematian, tetapi
juga memokuskan pada kekuatan individu dan persiapannya menghadapi
sisa kehidupan. Ketika upaya untuk menyembuhkan secara fisik tidak
memungkinkan lagi, komunikasi seharusnya diarahkan langsung pada
kesiapan mental atau perawatan internal. Dan yang perlu diingat ialah
bahwa perawatan tidak hannya datang dari profesional kesehatan mental,
perawata yang baik, ahli medis yang atentif, tetapi pasangan hidup yang
sensitif, atau teman dekat dapat melengkapi sistem pendukung terpenting
bagi individu yang akan mati.
2. Fase-Fase dan Dimensi Duka Cita
Duka cita (grieve) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya,
kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai
saat kita kehilangan orang yang dicintai. Satu pandangan menyebutkan

15
bahwa kita akan melewati 3 fase dukacita setelah kita kehilangan
seseorang yang kita cintai, yaitu terkejut, putus dan pulih kembali
(Averill, 1968). Pandangan lain menyebutkan ada 4 fase, yaitu
kelumpuhan, rindu, depresi, dan pulih kembali (Parker, 1972).
Pada pandangan pertama, di fase awal orang yang ditinggalkan
akan merasa terkejut, tidak percaya, dan dan lumpuh, sering menangis
atau mudah marah. Fase ini terjadi sesaat setalah kematian dan biasanya
berlangsung selama 1-3 hari. Fase ini seperti fase penolakan dan
kemarahan yang diusulkan oleh Kubbler-Ross pada individu yang
menjelang kematian. Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit atas
kematian, memori dan gambaran mengenai kematian, kesedihan, susah
tidur, sensitif, dan kegelisahan. Muncul tidak lama setelah kematian, dan
sering memuncak pada minggu kedua hingga keempat dan biasanya
mereda setelah beberapa bulan, tetapi dapat juga bertahan hingga 1-2
tahun. Elemen-elemen penawaran yang digunakan untuk mengembalikan
orang yang sudah mati bisa jadi muncul, dan ini berkaitan dengan salah
satu fase Kubller-Ross. Kemudian, fase ketiga terjadi, biasanya 1 tahun
setelah kematian. Dapat dianalogikan dengan fase penerimaan dari
Kubller-Ross, fase resolusi dukacita ini ditandai dengan mengingat
aktivitas sehari-hari, semakin tinggi kemungkinan mengingat kembali
memori yang menyenangkan mengenai orang yang mati dan membangun
hubungan baru dengan orang lain.
Seseorang menggambarkan bahwa dukacita itu tidaklah sederhana,
tidak hanya sekadar pernyataan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang
lambat laun terjadi, dan sifatnya multi dimensi (Jacob dkk., 1987). Dalam
pandangan ini, kerinduan terhadap orang yang mati merupakan dimensi
yang penting. Kerinduan atau harapan direfleksikan bergantian,
berulangkali muncul harapan atau kebutuhan terhadap kehadiran kembali
seseorang yang telah mati. Dimensi lainnya ialah duka cita, yaitu rasa
cemas akan perpisahan yang tidak hanya berkaitan dengan tempat dan
hal-hal lainnya yang berkaitan dengan orang yang mati, dengan cara

16
menangis dan menarik nafas panjang sebagai suatu tipe menahan
tangisan. Dimensi lain lagi ialah reaksi yang bersifat tiba-tiba terh, dengan
cara menangis dan menarik nafas panjang sebagai suatu tipe menahan
tangisan. Dimensi lain lagi ialah reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap
kehilangan, seperti emosi yang tumpul, kelumpuhan, ketidakpercayaan,
dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihanadap
kehilangan, seperti emosi yang tumpul, kelumpuhan, ketidakpercayaan,
dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan.
Dimensi lainnya melibatkan keputusasaan dan kesedihan, yang
mengandung perasaan putus harapan, dan penolakan, gejala depresif,
apatis, kehilangan arti mengenai kegiatan yang melibatkan orang yang
telah pergi, dan memunculkan kesunyian. Dimensi ini tidak menunjukkan
fase-fase yang jelas tapi terjadi berulang-ulang dalam suatu situasi.
Kecemasan dan rasa kehilangan mungkin akan tetap ada hingga kematian
tiba, namun banyak orang yang lebih memilih kembali produktif kembali
dan memandang hidup lebih positif.
3. Kesadaraan Terhadap Dunia
Satu aspek yang mennguntungkan dari dukacita ialah bahwa hal itu
akan menstimulasi banyak orang untuk mencoba menyadari dunia
mereka. Peristiwa hidup silih berganti hingga kematian. Tiap-tip orang
yang mengenal orang yang telah mati akan mengembangkan dan
memodifikasi versi masing-masing dari cerita kematian keluarga, teman,
atau tetangganya. Ternyata memang mati tak dapat ditebak. Hari ini kita
melihat orang yang kita kenal masih bersama-sama dengan kita, dan hari
berikutnya ia telah tiada. Inilah kesadaran yang perlu diperhatikan bahwa
manusia bisa belajar dan lebih siap untuk menghadapi kematian kelak.
4. Masa Menjanda
Biasanya kehilangan yang paling sulit, ialah kehilangan pasangan
hidup. Kematian pasangan hidup mungkin melibatkan kehancuran ikatan
yang telah lama terjalin, muncul peran dan status baru, kekurangan
keuangan, dan juga meninggalkan mereka yang hidup tanpa sistem

17
pendukung yang kuat. masa menjanda dapat dialami dalam berbagai cara
yang berbeda (Lopataa, 1987; O’Bryant, 1991). Beberapa janda ada yang
pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya. Yang
lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan dapat berkembang
selama masa menjandanya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi di
sekelilingnya dan yang lain lebih memilih mencari sumber baru dan
peranan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa
menjanda datang dari dalam diri maupun dukungan sosial.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kematian adalah berhentinya fungsi biologi tertentu secara
permanen, seperti pernafasan dan tekanan darah serta kakunya tubuh
dianggap cukup jelas menjadi tanda-tanda kematian Namun, mati otak
masih menjadi kata kunci dalam penentuan mati tidaknya seseorang. Mati
otak (brain death) merupakan definisi neurologis dari kematian. Kematian
dapat terjadi kapanpun dalam rentang perkembangan manusia.
Pada saat menjelang kematian seseorang memiliki koping masing-
masing dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang muncul. Hal
yang perlu diperhatikan adalah adanya pandangan yang berbeda mengenai
kematian dari usia anak, remaja, dan dewasa. Para ahli tanatologi percaya
bahwa pendidikan tentang kematian memberikan persiapan positif bagi
orang yang yang menjelang kematian maupun orang yang ditinggalkan.

B. SARAN
Masalah-masalah psikologi terkait kematian, baik individu yang
menjelang kematian maupun orang yang ditinggalkan perlu dipelajari agar
sebagai seorang perawat nantinya kita dapat membantu meningkatkan
koping yang adekuat bagi mereka.

19
DAFTAR PUSTAKA

Diana Mumpuni, (2014) Skripsi : “Analisis Faktor-Faktor Psikologis Yang


Mempengaruhi Death Anxiety”, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta

https://www.academia.edu/9115108/psikologi_kematian

20

Anda mungkin juga menyukai