DEFENISI MOTIVASI
Menurut Materu (1987) motivasi merupakan suatu tenaga atau kekuatan yang mendorong
suatu tindakan, serta mengacu, menopang dan mengatur pola-pola tindakan sehingga terjadi
aktivitas dalam bertindak.
Motivasi ialah usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang
tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau
mendapat kepuasan dengan perbuatannya (Depdikbud, 1998). Brown mengartikan motivasi
sebagai kemudi, gerak hati, emosi, atau maksud yang mendorong seseorang untuk melakukan
suatu tindaka. Manusia memiliki kebutuhan dan kendali diri yang bersifat bawaan atau dibentuk
oleh lingkungan sekitarnya.
Sehubungan dengan hal ini, Ausubel (1968) menyebutkan adanya 6 kebutuhan pokok
manusia yang membentuk motivasi. Kebutuhan yang dimaksud adalah :
Sementara itu, Maslow (1970) menyebutkan adanya kebutuhan manusia yang membentuk
motivasi secara hirarkhis, yaitu :
a) Kebutuhan primer yang berupa kebutuhab fisik, seperti : udara, air, makanan
b) Kebutuhan sekunder seperti : keamanan, identitas dan penghargaan diri.
Dilihat dari segi sumbernya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
Kedua motivasi ini diduga memiliki andil yang sama dalam keberhasilan belajar bahasa.Namun
demikian, penelitian tentang sumbangan tentang motivasi dalam kegiatan belajar bahasa lebih
banyak diarahkan pada motivasi ekstrinsik. Misalnya Gardner dan Lambert (1959), (1972), yang
meneliti parenan motivasi dan sikap terhadap penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedi di
Kanada. Kesimpulan yang diperoleh adalah, disamping intelegensi dan bakat, masih ada factor
lain yang memberikan andil bagi keberhasilan penguasaan bahasa kedua, yaitu motivasi dan
sikap.
Dari sisi lain, Brown (1987 : 115) membagi motivasi menjadi dua kelompok besar yaitu :
motivasi integratif dan motivasi instrumental.Yang dimaksud dengan motivasi integratif adalah
kemauan yang dimiliki pembelajar untuk mempelajari bahasa sasaran yang didorong oleh
keinginannya untuk dapat menggunakan bahasa sasaran tersebut untuk keperluan komunikasi
dengan masyarakat pemakai bahasa serta ingin dihargai oleh kelompok pemakai bahasa sasaran
tersebut.
Selanjutnya, motivasi instrumental adalah keinginan untuk mempelajari bahasa sasaran
yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk keperluan atau tujuan tertentu, misalnya untuk
memperoleh suatu pekerjaan atau untuk mengembangkan karier. Menurut Brown, keduan jenis
motivasi tersebut sama-sama memiliki andil dalam belajar bahasa kedua.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental
berpengaruh terhadap penguasaan B2. gardner dan Lambert (1960) dalam penelitiannya tentang
motivasi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal memperoleh hasil bahwa motivasi
integratif bagi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal lebih kuat daripada motivasi
instrumental. Jadi motivasi integratif sangat penting untuk mengembangkan keterampilan
komunikasi. Dalam situasi yang lain, motivasi integratif memiliki skor lebih rendah daripada
motivasi instrumental. Lukmani (1972) yang meneliti pembelajaran bahasa Inggris di India dan
Kashru (1977) yang meneliti anak-anak Indian yang belajar bahasa Inggris menunjukkan bahwa
motivasi instrumental pembelajar lebih kuat daripada motivasi integratifnya (dalam Brown,
1981).
Lebih lanjut, Brown mencoba mamadukan motivasi intrinsik-ekstrinsik delan motivasi
integratif-instrumental seperti terlihat berikut ini :
Instrinsik Ekstrinsik
Pembelajar bermaksud mengintegrasi diri Pembelajar bermaksud
Intergratif dengan budaya bahasa sasaran menguasai bahasa sasaran
(misalnya : imigrasi, perkawinan) untuk alas an intergrasi
(misalnya : anak Batak belajar
di Bandung)
Untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya Adanya kekuatan luar yang
: meningkatkan karier) mendorong pembelajar untuk
Instrumental belajar bahasa sasaran
(misalnya : dalam perserikatan
dagang)
Jika motivasi dipadukan dengan proses internal dalam memperoleh bahasa, seperti yang
dikemukakan oleh Dulay Burt, dan Krashen (1982 : 46), maka motivasi dapat dijelaskan seperti
berikut ini. Menurut Dulay dkk. proses memperoleh bahasa dimulai dari adanya input
kebahasaan, selanjutnya disaring dengan menggunakan filter. Setelah dilakukan penyaringan
dilakukan penyaringan dilakukan kegiatan pengorganisasian, barulah dimonitor untuk
selanjutnya menghasilkan hasil performansi verbal.
Language Lerner’s
Environment Filter Organizer Monitor Verbal
Performance
Filter merupakan bagian dari system proses internal yang terjadi secara bawah sadar yang
berfungsi menyaring input kebahasaan yang masuk. Filter ini terdiri atas komponen-komponen
yang serupa variable afeksi, seperti : motivasi, kebutuhan, sikap dan keadaan emosi. Jika dalam
diri pembelajar terdapat kebutuhan untuk menguasai bahasa, terdapat sikap positif terhadap
bahasa dan belajar bahasa, serta keadaan emosinya stabil, maka saringan afeksi yang membentuk
filter tersebut akan terbuka lebar. Dengan terbuka lebarnya filter ini input kebahasaan dapat
masuk dan selanjutnya diproses dalam diri pembelajar. Selanjutnya, jika dalam diri pembelajar
terdapat hal sebaliknya, maka saringan afeksi yang terdapat dalam filter akan menutup. Dengan
menutupnya saringan afeksi ini, maka input kebahasaan tidak akan dapat masuk dan proses
internal diri pembelajar tidak dapat bekerja.
Dari uraian internal di atas, dapat diketahui bahwa motiasi merupakan salah satu unsure
dalam komponen filter. Motivasi yang tinggi akan menjadikan filter bekerja secara optimal.
Dengan bekerjanya filter secara optimal akan sangat memungkinkan bagi pembelajar untuk
memroses input kebahasaan yang masuk yang selanjutnya akan menghasilkan performansi
verbal.
Sebagai penutup dari uraian di atas, berikut ini akan di sampaikan rangkuman :
1. Keberhasilan belajar bahasa pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor dari pembelajar
(internal) dan faktor luar dari pembelajar (eksternal). Antara faktor yang satu dengan
factor yang lain bersifat saling melengkapi, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan
demikian, dalam pelaksanaan pengajar bahasa, guru bahasa harus mempertimbangkan
keseimbangan peran kedua faktor tersebut.
2. Faktor-faktor yang berada dalam diri pembelajar yang mempengaruhi keberhasilan
kegiatan belajar bahasa, antara lain, meliputi factor LAD, factor syaraf, factor sikap dan
factor sikap. Dengan adanya LAD, meskipun masih terdapat beberapa kelemahan
argumentasi keberaadaannya, memungkinkan manusia untuk dapat menguasai suatu
bahasa. Manfaat yang dapat diambil oleh guru bahasa sehubungan dengan pelanjelaan
mengenai factor LAD, antara lain, guru harus mengingat bahawa anak didik pada
dasarnya memiliki potensi untuk dapat menguasai suatu bahasa. Yang menjadi tugas
guru adalah merealisasi potensi tersebut ke dalam kemampuan berbahasa secara aktual.
Dalam hal ini, guru dihadapkan pada masalah pemilihan strategi belajar mengajar
bahasa yang saat ini telah banyak dikembangkan.
3. Faktor diri pembelajar yang lain yang turut serta mempengaruhi keberhasilan belajar
bahasa adalah faktor syaraf. Seirama dengan perkembangan dan kematangan fungsi
syaraf dalam diri anak didik, berkembang pulalah kemampuan anak didik dalam belajar
bahasa. Ini berarti bahwa kemampuan anak didik yang berusia dini dalam belajar
bahasa tidaklah sama dengan kemampuan anak didik yang berusia remaja. Sehubungan
dengan itu, guru bahasa harus dapat menyesuaikan kegiatan belajar mengajar bahasa
dengan tahap perkembangan dan kematangan fungsi syaraf anak didiknya.
4. Sikap, khususnya sikap bahasa,merupakan salah sati factor diri pembelajar yang turut
serta mempengaruhi keberhasilan belajar bahasa. Sikap lebih banyak dihasilkan oleh
kegiatan belajar, serta interaksi dengan lingkungannya. Karena keberadaan sikap seperti
itu, maka guru bahaa harus berupaya menumbuhkan sikap yang positif ke dalam diri
anak didiknya, khususnya sikap positif terhadap bahasa. Upaya untuk menumbuhkan
sikap positif terhadap bahasa, di antaranya dapat dilakukan dengan cara memberikan
contoh penggunaan bahasa yang baik dan benar, memberikan penjelasan dan pengertian
tentang pentingnya penggunaan bahasa dengan baik dan benar dsb.
5. Dilihat dari segi sumbernya, motivasi belajar bahasa dapat dibedakan menjadi motivasi
instrinsik dan ekstrinsik. Dilihat dari segi kepentingannya, motivasi belajar bahasa
dapat dibedakan menjadi motivasi integrative dan motivasi instrumental. Jika dikaitkan
dengan proses internal yang terjadi dalam diri pembelajar, kesemua jenis motivasi
tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan belajar bahasa. Dengan tingginya
motivasi belajar bahasa, saringan afeksi akan terbuka lebar, sehingga input kebahasaan
dapan diproses yang pada akhirnya dapat melahirkan kegiatan performansi berbahasa.
Mengin gat keberadaan motivasi seperti itu, guru bahasa seharusnya berupaya untuk
membangkitnkan motivasi anak didiknya, agar kegiatan belajar bahasa dapat lebih
berhasil guna dan berdaya guna.
C. MOTIVASI DALAM BELAJAR BAHASA KEDUA
Hamid juga menjelaskan bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang melakukan tindakan tertentu. Menurut Hamid (1985), motivasi berfungsi
mengaktifkan, mengarahkan perilaku pada tujuan, dan membantu seseorang memilih dan
memberikan respon yang akurat.Dalam pembelajaran bahasa kedua, motivasi termasuk salah
satu faktor afeksi yang dapat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Gardner dan
Lambert (1972), dalam penelitiannya tentang peranan motivasi dan sikap terhadap penguasaan
bahasa Inggris sebagai B2 di Kanada menemukan bahwa di samping intelegensi dan bakat,
terdapat faktor lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan belajar bahasa
Inggris sebagai B2, yaitu motivasi dan sikap.
Dilihat dari sumbernya, motivasi dibedakan menjadi dua, motivasi ekstrinsik dan
motivasi intrisik (Winkel, 1987). Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar
diri pembelajar. Adapun motivasi intrisik merupakan motivasi yang bersumber dari diri
pembelajar.
a. Pendekatan Sosio-Edukasional
a. Tujuan
b. Hasrat untuk mencapai tujuan
c. Sikap positif
d. Usaha.
a. lingkup sosio-kultural
b. perbedaan individual
c. konteks pemerolehan bahasa
d. out-comes belajar bahasa
Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa.
Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel
kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahas.
Perhatian Gardner yang utama adalah mengarah pada motivasi integratif. Menurut
Gardner, motivasi integratif memiliki tiga variabel utama, yaitu :
Motivasi integratif dapat dibedakan menjadi dua, (a) integrativeness dan (b) motivasi.
Integrativeness merefleksikan tingkat interes individual dalam interaksi sosial dengan kelompok
bahasa target dan sikap terhadap situasi belajar.
Gardner mengemukakan bahwa efek motivasi integratif pada pembelajar bahasa sebagian
besar merupakan hasil dari komponen motivasi. Komponen tersebut merupakan kombinasi dari
intensitas motivasional, minat untuk belajar bahasa, dan sikap terhadap bahasa. Menurut
Gardner, pembelajar yang bermotivasi berusaha menggunakan bahasa, adapun yang tidak
bermotivasi tidak menunjukkan usaha yang besar.
Perbedaan individu beroperasi dalam situasi belajar formal dan informal dan memberikan out-
come baik linguistik dan non-linguistik. Situasi formal merupakan situasi pembelajaran dalam
kelas. Situasi non-formal merupakan konteks pemerolehan bahasa dalam berinteraksi dengan
berbagai pihak. Dalam hal ini motivasi memainkan peran substansial dalam pajanan individu
pada situasi yang memberikan kesempatan untuk belajar bahasa.
Keberadaan emosi sebagai variabel dalam belajar B2 kurang mendapat perhatian dalam
belajar B2. Tomkin memberikan argumen bahwa faktor afektif dikonsepsikan sebagai motivasi
utama. Emosi berfungsi sebagai pengeras (amplifier), yang memberikan intensitas, urgensi, dan
energi untuk menggerakkan tindakan.
b. Kecemasan Bahasa
Kecemasan bahasa masuk sebagai variabel dalam model sosio-edukasional Gardner.
Kecemasan merupakan permulaan dari motivasi. Gardner dan MacIntyre menyatakan bahwa
motivasi dan kecemasan merupakan dua variabel yang berhubungan secara timbal balik. Richard
Clemant mengusulkan suatu model kombinasi kecemasan dan persepsi diri tentang kemampuan
berbahasa untuk menciptakan kepercayaan diri yang dipandang sebagai proses motivasi kedua.
Hubungan antara kecemasan dan kemampuan B2 memunculkan pertanyaan tentang arah
sebab. Apakah kecemasan menyebabkan miskin performansi ataukah sebaliknya. macIntyre dan
Gardner melakukan penelitian untuk melihat efek kecemasan terhadap proses kognitif. Penelitian
dilakukan dalam tiga tahap (a) tahap input, (b) tahap proses, dan (c) tahap output. Kelas dibagi
menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selama studi, kelas kelompok eksperimen
dipasang kamera. Pada awalnya, kecemasan subyek sangat meningkat dan performansinya
sangat kecil. Setelah mereka beradaptasi dengan kamera, kecemasan menghilang dan terjadi
peningkatan performansi. Hal itu mendukung ide bahwa kecemasan mengganggu proses atau
aktifitas kognitif.
Dengan berkurangnya kecemasan, usaha untuk menampilkan performansi meningkat, yang
berarti menunjukkan hubungan antara emosi dan motivasi. Kecemasan dapat menjadi penyebab
perbedaan individual dalam capaian bahasa.
MacIntyre meringkas penelitian tentang efek kecemasan bahasa dalam empat bidang :
a) Akademik
Kecemasan bahasa berkorelasi negatif dengan hasil belajar. Meneliti sikap, motivasi, dan
kecemasan di berbagai lokasi dan menemukan bahwa kecemasan secara konsisten
merupakan prediktor terkuat bagi hasil belajar bahasa (language course grades).
b) Kognitif
Sumber pengaruh akademik dapat dijelaskan dengan melihat gangguan berpikir yang
diakibatkan oleh kecemasan.
c) Social
Efek sosial yang paling dramatik dari kecemasan adalah keseganan/keengganan untuk
berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Daly & McCroskey (1984) menampakan
bahwa menghindari komunikasi melahirkan sejumlah persepsi sosial yang negatif.
d) Personal
Secara personal, kecemasan dapat menimbulkan trauma dalam belajar bahasa.
Kecemasan seseorang dalam belajar bahasa di lain pihak juga memiliki andil dalam
membentuk konsepsi diri tentang bahasa, kegiatan belajar-mengajar bahasa, dan
keberhasilan belajar.
Apa yang dimaksud dengan tugas? Tugas dalam kegiatan instruksional merupakan
bagian terpisah dari perilaku belajar dalam situasi tertentu. Spesifikasi terpenting dari
tugas adalah identifikasi tentang batas-batas yang menentukan kapan suatu tugas berawal
dan berakhir. Dalam konteks ini, tugas-tugas belajar dimaknai sebagai jumlah operasi
mental dan perilaku yang kompleks dengan mengacu pada tujuan-tujuan tertentu yang
dilakukan mahasiswa selama periode antara awal pelajaran sampai dengan hasil akhir
belajar. Tugas belajar merupakan hubungan antara tujuan pendidikan, guru, dan
mahasiswa.
Tremblay, Golberg, dan Gardner (1995) membedakan trait motivation dan state
motivation. Trait motivation merupakan watak atau kecenderungan yang tetap atau stabil,
sedangkan state motivation bersifat temporal. Pembedaan ini telah diterapkan pada
psikologi yang berkenaan dengan sejumlah variabel perbedaan individu. Meskipun
pendekatan trait/state dapat digunakan untuk mengkonseptuaisasi motivasi pelaksanaan
tugas, ia mempunyai kelemahan sebagai konsepsi yang statik. Tugas instruksional
mencakup seperangkat perilaku pembelajaran yang dapat bertahan/menghilang dalam
tempo tertentu (beberapa jam). Berbeda dengan pendekatan trait/state, karakteristik yang
lebih akurat diberikan melalui pendekatan berorientasi proses yang dijelaskan berikut ini.