Anda di halaman 1dari 20

BAB V

TATALAKSANA KOMORBID DAN KOMPLIKASI


PADA PASIEN COVID-19

1.1 Diabetes Melitus

Strategi pengobatan glukosa berdasarkan tipe diabetes mellitus pada pasien


covid-19:1,5,8

1. Diabetes Melitus Tipe 1


a. Pompa insulin/insuslin basal-bolus adalah regimen yang optimal
b. Insulin analog adalah pilihan pertama yang direkomendasikan
c. Pengobatan dengan insulin harus secara individualisasi
2. Diabetes Melitus Tipe 2
a. Pasien covid-19 gejala ringan dan peningkatan glukosa ringan-sedang, obat
antidiabetes non insulin dapat digunakan, umumnya cukup dengan isolasi
mandiri.
b. Pasien gejala sedang berat atau diobati dengan glukokortikoid, pengobatam
dengan insulin adalah pilihan pertama
c. Insulin intravena direkomendasikan untuk pasien dengan kondisi kritis
3. Glucocorticoid-associated diabetes (Diabetes Melitus Tipe lain)
a. Pemantauan kadar gula darah setelah makan sangat penting karena pada
glucocorticoid-associated diabetes peningkatan glukoasa sering terjadi pada
waktu setelah makan dan sebelum tidur
b. Pilihan pertama pengobatan ialah insulin.

Strategi pengolahan kadar glukosa berdasarkan klasifikasi kondisi klinis:

1. Gejala Ringan (rawat jalan)


a. Obat antidiabetes oral dan insulin dilanjutkan sesuai dengan regimen awal
b. Progresivitas covid-19 dapat dipercepat dan diperburuk dengan adanya
hiperglikemia. Pasien dengan komorbid diabetes direkomdasikan agar

67
68

meningkatkan frekuensi pengukuran kadar glukosa atau dengan pemantauan


glukosa darah secara mandiri dan berkonsultasi dengan dokter untuk
penyesuaian dosis bila target glukosa tidak tercapai.
c. Prinsip-prinsip pengolalaan diabetes di rawat jalan pada pasien covid-19
mengikuti kaidah sick day management pada penyandang diabetes
2. Gejala Sedang (rawat inap)
a. Pertahankan regimen awal jika kondisi klinis pasien, nafsu makan, serta kadar
glukosa dalam batas normal
b. Ganti obat antidiabetes oral dengan insulin untuk pasien dengan gejala covid-
19 yang tidak dapat makan secara teratur
c. Disarakan mengganti regimen insulin premix menjadi insulin basal-bolus agar
lebih fleksibel dalam mengatur kadar glukosa
d. Prinsip penglahan diabetes dengan infeksi covid-19 rawat inap mengikuti
kaidah tatalaksana hiperglikemia di rawat inap.
3. Gejala Berat dan kritis (HCU/ICU)
a. Insulin intravena menjadi pengobatan lini pertama
b. Pasien dalam pengobatan continuous renal replacement therapy (CRRT),
proporsi glukosa dan insulin dalam larutan penggantian harus ditingkatkan
atau dikurangi sesuai dengan hasil pemantauan kadar glukosa untuk
menghindari hipoglikemia dan fluktuasi glukosa yang berat.

Prinsip Pengelolaan Kadar Glukosa

Pengobatan dengan insulin menjadi pilihan pertama jika diabetes dengan infeksi
berat: 1,5,8

1.
a. Bagi pasien yang tidak kritis, injeksi insulin secara subkutan
direkomendasikan dan dosis dasar sesuai dosis rawat jalan
b. Bagi pasien kritis, variable rate intravenous insulin infusion (VRIII) lebih
dirasakan
69

c. Pengobatan insulin intravena dimulai dalam kombinasi dengan infus cairan


secara hati-hati, jika ada gangguan metabolisme glukosa yang berat dengan
gangguan asam basa dan gangguan cairan dan elektrolit.
2. Jika kondisi klinis stabil atau asaupan makanan baik, pasien dapat melanjutkan
obat antidiabetes oral seperti sebelum dirawat
3. Menggunakan insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dan insulin kerja
langsung (long acting) selama penggobatan dengan glukokortikoid untuk
mengontrol kadar glukosa
4. Pemantauan glukosa darah 4-7 titik selama pengobatan insulin

Pertimbangkan penggunaan obat-obatan diabetes dan obat yang sering digunakan


pada penyandang diabetes diserta dengan infeksi covid-19 dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Obat-obatan yang terkait dengan diabetes1


Metformin Tidak direkomendasikan bagi gejala berat/kritis
dengan gangguan GI atau Hipoksia. Dapat
dilanjutkan di rawat jalan jika tidak mengalami
keluhan
Sulfonilurea Dapat dilanjutkan pada rawat jalan jika gejala
ringan. Risiko hipoglikemia jika asupan makan
tidak baik
Penghambat alfa glucosidase Digunakan untuk mengontrol gula darah sesudah
makan. Tidak direkomendasi pada gejala
berat/kritis atau dengan gejala gastrointestinal
Thiazolidindione (TZD) Digunakan selama proses pengobatan dengan
glukokortikoid di rawat jalan. Risiko retensi
cairan dan tidak dianjurkan pada gangguan
hemodinamik
DPP-4i Dilanjutkan jika gejala ringan
SGLT-2i Tidak direkomendasikan untuk pasien covid-19
gejala sedang berat akibat risiko dehidrasi dan
ketosis
GLP-1 RA Lanjutkan saat arawat jalan, tapa gejala
gastrointestinal
70

Insulin Umum digunakan pada rawat inap dengan gejala


sedang-berat. Hati-hati hipoglikemia
ACEi/ARB Dilanjutkan saat rawat jalan. Umumnya
digunakan di rawat inap kecuali ada
kontraindikasi
Aspirin Dilanjutkan pada rawat jalan untuk pencegahan
sekunder penyakit kardiovaskular
Statin Dilanjutkan pada rawat jalan, rawat inap
keputusan individualisasi

1.2 Geriatri
Kelompok geriatric sangat rentan terkena covid-19 sehingga penting untuk
melakukan penceghan. Pencegahan yang dilakukan ialah social dan physical
distancing, penggunaan masker dan upaya lainnya. Gejala demam tidak khas pada
pasien lanjut usia. The Infectious Disease Society of America merekomendasi definisi
demam yang telah dimodifikasi untuk pasien lanjut usia; 1,5,8

a. Pengukuran suhu sekali sewaktu di atas 37,7°C


b. Pengukuran suhu dua kali diatas 37,2°C
c. Ada peningkatan suhu 1,1°C dari suhu dasar
Penatalaksanaan covid-19 pada geriatric tidak jauh berbeda dengan dewasa,
namun diperlukan kehati-hatian mengenai efek samping dari obat-obatan yang
diberikan. Kondisi pasien juga meningkatkan kemungkinan terjadi badai sitokin saat
terkena penyakit covid-19 karena geriatric memiliki kondisi imunosenescense
(penurunan imunitas pada usia lanjut). Penatalaksanaan untuk badai sitokin atau
pemberian kortikosteroid membutuhkan kerjasama dan evaluasi tim. Pasien geriatric
covid-19 yang dirawat, perlu dilakukan upaya pencegahan akibat tirah baring contoh;
ulukus decubitus, kontraktur sendi, deep vein thrombosis (DVT) dan deconditioning
(penurunan kapasitas fungsional akibat tirah baring). 1,5,8

Kesejahteraan dan kesehatan mental pasien geriatric perlu diperhatikan. Sindrom


geriatri, multimorbiditas dan penurunan fungsi faali harus ditangani dengan
71

kolaborasi interdisiplin. Pasien lansia dengan polifarmasi perlu diperhatikan interaksi


terkait obat-obatan covid-19 dengan obat rutin yang dikonsumsi. Dianjrkan menilai
fungsi hati, fungsi ginjal, serta kondisi jantung minimal dengan EKG sebelum
memulai terapi farmakologi. 1,5,8

1.3 Autoimun
Secara umum pasien dengan penyakit autoimun atau artritis inflamasi dengan
aktifitas penyakit yang tinggi, lebih berisiko alami infeksi ataupun virus dan bakteri
dikarenakan adanya kondisi disregulasi imun. Terapi yang diterima seperti
imunosupresan termasuk golongan agen biologic, serta kortikosteroid juga
berkontribusi dalam peningkatan risiko infeksi tersebut. Naming hingga saat ini
belum terbukti menunjukan peningkatam risiko infeksi covid-19 pada populasi pasien
dengan penyakit autoimun, termasuk yang melakukan terapi imunosupresan dan
kortikosteroid.1,5,8

Anjuran yang diperlukan ialah tidak menghentikan pengobatan karena dapat


memicu flare up kondisi autoimunnya, dan tetap melaukan pencegahan seperti pada
umumnya. Terapi pada pasien covid-19 dengan penyakit autoimun tidak ada
perbedaan dengan populasi pada umumnya. Beberapa pilihan terapi bagi pasien
autoimun justru menjadi bagian dari terapi covid-19 seperti; anti IL-6 yang
dilaporkan berikan manfaat pada kondisi cytokine strom covid-19. 1,5,8
1.4 Penyakit Ginjal
Infeksi covid-19 berat dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan perlu perawatan
di rumah sakit. Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) terutama yang
menjalani dialysis atau trasnplantasi ginjal merupakan kelompok dengan daya tahan
tubuh yang rendah dan rentan terkena covid-19. 1,5,8
Pasien transplantasi harus hati-hati dan disiplin dalam pencegahan, tetap tinggal
di rumah, kurangi kontak, menggunakan masker dan tetap melanjutkan obat rutin.
Semua pasien diminta tetap melanjutkan terapi sebelum termasuk ACE inhibitor atau
ARB kecuali bila dihentikan oleh dokter yang merawat. 1,5,8
72

Pasien uremia rentan terhadap infeksi dan memberi variasi klinis yang luas, baik
dari gejala maupun infeksinya, sehingga pasien hemodialisa (HD) harus tetap
mendatangi unit HD secara teratur untuk mendapat tindakan hemodialysis, begitu
pula dengan pasien yang menjalani peritoneal dialysis. Fasilitas dialysis harus
menetapkan kebijakan serta protocol khusus untuk menurunkan penyebaraninfeksi di
unit ini. Skrining terhadap pasien, staf dan pengunjung unit dialysis yang mempunyai
kondisi berhubungan dengan infeksi covid-19 sesuai paduan Kemkes.1,5,8
Pasien dengan gejala infeksi pernapasan harus memberi tahu staf tentang gejala
dan menelepon terlebih dahulu agar dipersiapkan sesuai dengan prosedur. Pasien
menggunakan masker bedah saat memasuki area perawatan dan tetap memakai
sampai keluar dari ruang perawatan dialisisi. Para staf yang melayani harus
menggunakan APD, lakukan pembersihan rutin dan prosedur desinfeksi.1,5,8
HD dilakukan pada unit dialysis dengan fasilitas ruang isolasi airborne untuk
pasien terkontaminasi covid-19, suspek, probable dan kontak erat. Tetapi, untuk unit
dialysis dengan fasilitas ruangan isolasi penuh atau tidak mempunyai ruang isolasi
maka perawatan pasien dialysis dapat dilakukan dengan “fixed dialysis care system”,
pasien melakukan HD di tempat asalnya dengan rutin dan tidak boleh berpindah
dengan jadwal dan ditangi oleh staf yang sama. Ruang isolasi hepatits B dapat
digunakan bila pasien yang diduga terkonfirmasi covid-19 dengan HBsAG positif
atau ruangan tersebut belum pernah digunakan untuk pasien hepatitis B. Jika ruangan
isolasi tidak ada, maka HD dapat dilakukan diluar jadwal rutin agar meminimalisir
paparan bagi pasien, kecuali untuk kondisi gawat darurat. Pasien covid-19 harus
diberi jarak minimal 6 kaki(1,8 meter) dari mesin terdekat kesemua arag. Hal ini
berlaku bila dilakukan HD di ruang ICU, sebaiknya HD dilakukan di ruang isolasi
ICU. Tindakan HD menggunakan dialiser single use, apabila tidak maka dapat
dipakai ulang dengan catatan, proses sterilisasi dialiser harus terpisah. 1,5,8
Pasien dialysis peritoneal sebaiknya meminimalkan kunjugan pada unit CAPD,
kunjungan dilakukan bila didapatkan tanda-tanda peritonitis, infeksi exit site yang
73

berat dan training penggantian cairan dan pemeliharaan CAPD untuk pasien baru.
Tindakan lain, PET dan eukasi ditunda dahulu. Bila pasien CPAD terinfeksi covid-19
berat dan perlu perawatan, kondisi gagal organ multipel maka CPAD dapat
dipindahkan sementara ke automated peritoneal dialysis atau berupa continuous
renal replacement therapy (CRRT) atau prolonged intermittent renal replacement
therapy (PIRRT). Pasien masih dalam CPAD diusahakan agar kondisi “kering”
dengan meningkatkan ultrafiltrasi. Pembuangan cairan dialysis harus diperhatikan
pula beberapa pendapat mulai dari tidak menambahkan sesuatu sampai dengan
pemberian larutan klorin 500mg/liter sebelum dibuang ke toilet dan hindari percikan
saat pembuangan cairan. 1,5,8
Terapi covid-19 pada pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Pasien CKD yang telah menjalani HD, petugas kesehatan harus menggunakan
APD lengkap (level 3)
2. HD dilakukan pada ruang isolasi airbone yang terpisah dari pasien CKD yang
non covid-19
3. Pasien CKD yang jalani CPAD disarankan seminimalisir mungkin mengunjungi
unit CPAD. Kunjungan pada CPAD bila didapatkan adanya peritonitis berat atau
infeksi pada exist site yang berat. Perlu pelatihan untuk penggantian cairan dan
perawatan CPAD pada pasien baru
4. Pencegahan thrombosis, LMWH diberikan dosis yang sama tanpa perlu
peneyesuan dosis
5. Pneumonia berat atau ARDS, tocilizumab dapat diberikan dosos normal tanpa
perlu penyesuaian dosis
6. Remdesivir dan favipiravir tidak disarankan untuk diberi pada pada pasien CKD
dengan GFR <30 ml/menit/1,73 m2 kecuali kasus berat dimana lebih banyak
dibandingkan risiko
74

7. Penangan pasien covid-19 dengan kondisi gangguan ginjal kronik perlu penyesuai
dosis obat uji yang digunakan. Dari kajian terbatas teantang terapi covid-19 untuk
pasien dengan gangguan ginjal
1.5 Gastrointestinal
Sampai saat ini, masih dipelajari perjalanan klinis dari penyakit ini. Berdasarkan
laporan para ahli yang sudah dipublikasiakan atau dari pengalaman yang dilaporkan
dari beberapa kasus, disimpulkan bahwa infeksi covid-19 sebagai Great imitator.
Great imitator bisa dibilang gejala yang muncul sangat bervariasi. Awal manifestasi
mengarah ke infeksi paru yaitu pneumonia dengan gejla demam, batuk dan sesak,
awalnya pasien terinfeksi covid-19 tidak terdiagnosis. Gejala gastrointestinal bisa
menjadi gejala pertama pasien dengan covid-19. Pasien covid-19 bisa datang dengan
nyeri perut disertai diare sehingga mengarah pada suatu infeksi usus. Jika dilihat
patofisiologi penyakit ini virus bisa mengenai berbagai organ yang mengandung
reseptor angiostensin converting enzyme 2 (ACE-2). Virus masuk melalui organ dari
reseptor ini. ACE 2 merupakan regulator penting dalam peradangan usus. 1,5,8
Laporan dari China, sepertiga ksus yang ditemukan mempunyai keluhan diare,
pasien datang dengan demam dan diare. Gejala batuk dan sesak bisa berikutnya.
Pasien dengan gejal gastrointestinal disertai diare, pada feses juga ditemukan ada
virus covid-19. Walaupun sampai saai ini belum terjadi penyebaran infeksi melalui
fecal oral, seperti pada penyakit demam tifoid atau infeksi rotavirus pada saluran
cerna. Tetapi, pada pasien dengan gejala awal diare, hilang virus akan lama dibanding
pasien tanpa gejala gastrointestinal. 1,5,8
Penelitian oleh Jin dkk dilakukan investigasi pada 74 pasien yang terinfeksi
covid-19, didapatkan gejala gastrointestinal seperti diare, mual dan muntah.
Penelitian ini, 28% dari pasien tidak mempunyai gejala gangguan pernapasan.
Dibandingkan kelompok pasien tanpa keluhan gastrointestinal yang berjumlah 577
pasien, psien dengan gejala gastrointestinal mempunyai komplikasi yang berat, lebih
75

banyak pasien demam tinggi dari 38.5°C, banyak keluarga tertular dan terjadi
gangguan liver ditandai dengan peningkatan kadar SGOT/SGPT.1,5,8
Umumnya dilaporkan pada pasien terinfeksi covid-19 dengan angka kejadian
bervariasi gejala diare bisa ditemukan pada 2-10% kasus, mual pada 2-15% kasus,
muntah pada 1-5% kasus dan nyeri perut pada 2-6 % kasus. Umumnya nafsu makan
mereka akan menurun bahkan sampai 80% kasus. Belum lagi pasien covid-19 yang
alami gangguan penciuman dan pengecapan yang akan memperburuk nafsu
makannya. 1,5,8
Penelitian lainnya, mendapatkan dari 95 kasus yang diteliti, 58 pasien (61,6%)
mempunyai gejala gastrointestinal dengan gejala diare 24,2%, mual 17,9 %, muntah
4.2% serta gangguan fungsi hati yang ditandai peningkatan SGOT/SGPT sebanyak
32,6%. Pasien dengan gastrointestinal melakukan pemeriksaan endoskopi dan biopsy
dan ditemukan pada beberapa lokasi gastrointestinal; esofagus, gaster, duodenum dan
rectum. Pasien ini melakukan pemeriksaan virus dan feses hasilnya 52,4%
mendapatkan virus pada feses. Hal ini membuktikan bahwa virus dapat menempel
pada saluran cerna. 1,5,8
Penelitian pada Singapura, 50% kasus ditemukan virus pada vese dari 50% kasus
yang diperiksa, tetapi pasien dengan feses positif covid-19 gastrointestinal gejala
yang muncul hanya pada setengah kasus. Untuk mengkonfirmasi covid-19 pada feses
bisa juga dilakukan swal anus maupun swab rektal. Hal penting, feses masih bisa
ditemukan virus covid-19 dan bisa saja transmisi virus terjadi secara aerosol dari
feses yang diteliti. Oleh karena itu penting selama isolasi mandiri tempat tidur dan
toilet sebaiknya terpisah. 1,5,8
1.6 Trombosis dan Gangguan Koagulasi
Kasus yang dilaporkan sebanyak 31%. Angka ini cenderung rendah pada incividu
yang tidak dirawat inap dengan gejala ringan atau tidak bergejala. Risiko meningkat
dengan keparahan penyakit covid-19, dimana pasien alami perawatan intesif
mempunyai risiko yang lebih tinggi. 1,5,8
76

Berdasar studi di Jerman, risiko trombotik tetap tinggi pada periode gelombang
covid-19 kedua dibanding periode pertama. Hiperkoaguabilitas yang diinduksi covid-
19 memberi pengaruh yang signifikan terhadap covid-19. Sampai saat ini, belum ada
uji klinik yang memadai, namun studi observasional menunjukan bukti ilmiah yang
menjanjikan dalam penggunaan antikoagulan pada individu berisiko tinggi. 1,5,8
Dari berbagai laporan menunjukan tingginya kejadian tromboemboli vena
(Venous Trombotic Events/VTE) pada pasien covid-19 rawat inap, terutama pasien
dengan gejala berat, mirip dengan tingkat VTE pada pasien dengan infeksi virus
pneumonia lain, termasuk SARS dan MERS. Covid-19 berasosiasi dengan
abnormalitas marker hiperkoagulasi, juga peningkatan level D-dimer, fibrinogen,
faktor VIII, pemendekan masa tromboplastin parsial yang teraktivasi (activate
Partial Thromboplastin Time/aPTT), peningkatan skor sepsis induced coagulopathy
(SIC), dan Disseminated Intravascular Caogulation (DIC) berdasar kriteria The
Internasional Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH). Marker akan
berasosiasi dengan prognosis yang buruk pada pasien covid-19. 1,5,8
Penegakan diagnosis koagulopati, rekomendasi dari ISTH agar melakukan
pemeriksaan D-dimer, waktu protombin (prothrombin time/PT) serta hitung
trombosit bagi semua pasien covid yang terinfeksi. Interpretasi kadar D-dier
dilakukan dengan hati-hati bagi pasien yang lanjut usia dan jika didapatkan penyakit
penyerta/komorbid (gangguan fungsi hati, pasen dengan penyakit kardiovaskular)
karena dapat terjadi peningkatan D-dimer meski tanpa disertai infeksi. Pasien covid-
19 berat dengan risiko perburukan kagulopati dan menjadi DIC, ditambah pemberian
fibrinogen untuk menilai perburukan atau diagnosis awal terjadinya DIC.1,5,8
1.7 Cedera Miokardium pada Infeksi Covid-19
Virus Serve Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) menjadi
penyebab Coronavirus Disease 2019, menyebabkan gangguan system pernapasan
dengan tingkat infeksi yang sangat beragam dimulai dari tanpa masifestasi
(simptomatik) sampai dengan manifestasi berat yang memerlukan perawatan ruang
77

intensif, ventilasi mekanik, hingga extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).


Diketahui virus SARS-CoV-2 juga menyerang saluran cerna, mengakibatkan
miokarditis atau cedera miokardium. Cedera miokardium sebagai manifestasi dari
covid-19 menjadi sorotan karena mengakibatkan peningkatan mortalitas kebutuhan
perawatan ICU, dan berat penyakir intra perawatan rumah sakit. Pasien cedera
miokardium memiliki faktor risiko hipertensi, DM, dan oenyakit jantung.
Keterlibatan cedera miokardium pada pasien covid-19 perlu menjadi perhatian karena
menuntukan prognosusu pasien, kebutuhan akan ruang rawat intensif, serta biaya
perawatan yang tentu akan meningkat. 1,5,8
Pathogenesis Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Hingga saat ini belum diketahui pasti cedera miokardium akibat covid-19, namun
diketahui terdapat tiga proses pathogenesis: 1,5,8
1. Interaksi antar virus SARS-Cov-2 dengan angiotensisn convertase enxyme-2
berakibat pada terjadinya kardiomiopati, disfungsi kardiak dan gagal jantung.
2. SARS-Cov-2 berpotensi menginvasi langsung otot jantung berakibat pada otot
jantung. Hal ini berdasarkan temuan ribonucleic acid (RNA virus) SARS-Cov-2
di otot jantung dari orang yang meninggal.
3. Akivasi sitokin inflamasi berupa TNFα dan TGF-β memiliki efek berupa
disfungsi otot jantunung dan reaksi inflamasi berpotensi mengakibatkan
kerusakan otot yang terus menerus.
Faktor Risiko Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya cedera miokardium:
1. Usia Tua: rata-rata pasien dengan decera miokardium berusia 66 tahun
2. Gangguan metabolik: pasien dengan cedera miokardium memiliki
prevalensi (faktor berisiko) hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung.
Diagnostik Cedera Miokardium Akibat Covid-19 Tidak ada Gejela Khusus
Cedera miokardium pada pasien covid-19 memiliki beberapa gejala serupa
dengan keluhan pada penyakit jantung seperti;nyeri dada dan sesak napas. Namun
78

tidak ada perbedaan bermakna pada gejala yang muncul dengan cedera miokardium
ataupun tidak mengalami cedera miokardium. Gejala sesak napas, batuk, demam,
nyeri dada, pusing, myalgia, mual dan muntah serta diare dialami pada proporsi yang
sama antara pasien covid-19 dengan cedera atau tanpa cedera miokardium.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan awal saat curiga pasien covid-19 dengan keterlibatan cedera
miokardium. Saus PS, dkk menunjukan adanya gelombang T inversi yang difus
pada lead II, III, aVF, V2-V6. Variasi gambaran EKG vukup khas pada pasien
covid-19 dengan keterlibatan cedera miokardium ialah: segmen ST elevasi atau
depresi baik regional maupun difus, perubahan gambaran iskemik EKG
selama perawatan di rumah sakit, gangguan konduksi dan gambaran
voltage rendah (low voltage).
2. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan diantara pasien
covid-19 dengan atau tanpa cedera miokardium.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Adanya peningkatan enzim jantung (Hs Troponin I, Hs Troponin T, Troponin
T, Troponin I dan CKmb) melampaui batas atas 99 persentil yang merupakan
dasar diagnostic Cidera Miokard. Ada bebeapa perbedaan parameter laboratorium
dengan angka yang cenderung tinggi pada pasien covid-19 dengan cedera
miokardium: NTpro BNP, laktat, CRP, IL-6, Laktat dehydrogenase, ferritin,
D-dimer dan procalcitonin.
4. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan dilakukan sesuai indikasi klinis. Terdapat lima kelainan mayor
ekokardiografi yang bisa ditemukan:
a. Gerakan abnormal ventrikel kiri
b. Disfungsu ventrikel kanan
79

c. Efusi pericardium
d. Disfungsi global ventrikel kiri
e. Disfungsi diastolic grade II/III
Membedakan dengan Sindrom Koroner Akut
Perlu dibedakan peningkatan enxim jantung akibat cedera miokard akut iskemik
(sindrom koroner akut) atau cedera miokard. Cedera miokard non iskemia dan iskemi
terjadi peningkatan dan atau penurunan enzim jantung yang bermakna. Pada cedera
miokard kronik tidak ditemukan peningkatan dan atau penurunan enzim jantung
secara bermakna. Peningkatan dana tau penurunan enzim jantung bermakna bila
ditandai peningkatan dana tau penurunan kadar enzim jantung lebih dari 20% pada
pemeriksaan enzim jantung kedua (serial). 1,5,8
Dengan hasil pemeriksaan yang hamper mirip dengan sindrom koroner akut,
seringkali pasien berakhir dengan label penyakit jantung koroner, namun tidak berarti
seluruh pasien tersebut harus dikirim ke laboratorium kateterisasi jantung untuk
dibuktikan apakah sebuah sindrom koroner akut atau bukan. 1,5,8
Pasien cedera miokard akut iskemik (infark miokard akut) mempunyai keluhan
nyeri dada terutama pada saat datang kerumah sakit (awal onset) sedangkan
miokardium akut non iskemia, akibat covid-19 dengan onset yang lebih akhir rata-
rata pada hari ke-5, mempunyai nilai elevasi troponin yang lebih tinggi, nilai D-dimer
lebih tinggi, serta hamper pasti ditemukan gangguan gerakan dinding ventrikel kiri.
1,5,8

Tatalaksana Cedera Miokardium Akibat Covid-19


Masih banyak terapi yang diteliti sampai saat ini untuk penatalaksanaan cedera
miokardum akibat covid-19. Namun ada beberapi terapi yang diajukan sebaga
tatalaksananya;
a. Terapi Antiviral: remdesivir dapat dipertimbangkan untuk pasien infeksi covid-
19 derajat sedang hingga berat
80

b. Ace-inhibitor: sesuai mekanisme dari over aktivasi berlebih angiotensin II,


penggunaan ACE-I atau angiotensin II reseptor bloker (ARB) dapat menurunkan
angka mortalitas dan kebutuhan akan ventilasi mekanik pada pasien non-severe
acute respiratory syndrome (SARS).
c. Cytokine Strom: tatalaksana anti-syok, simtomatik dan suportif dan pemberian
steroid. Diperhatikan saat pemberian steroid dosis tinggi dapat berakibat pada
pemanjangan waktu bersihan virus
d. Terapi Suportif: pada kondisi injeksi fraksi yang turun pemberian obat anti-
failure seperti retriksi cairan. Pengobatan ACE_I, beta bloker, diuretic, topangan
inotropic dan vasopressor bila dibutuhkan serta retriksi cairan.

1.8 Gagal Jantung


Pasien dengan komorbid kardiovaskular alami peningkatan risiko gejala yang
lebih berat dan risiko komplikasi covid-19. Prevalensi hipertensi dan penyakit
kardiovasklar pada populasi covid-19 mencapai 17,1& dan 16,4% yang dirawat di
rumah sakit, berisiko 2-3 kali lebih tinggi alami manifestasi covid-19 derajat berat.
1,5,8

Gagal jantung akut dapat mempersulit perjalanan klinis covid-19, khususnya


kasus berat. Mekanisme yang mendasari gagal jantung akut pada covid-19 ialah
iskemia miokard akut, infark atau peradangan (miokarditis), sindrom distress napas
akut, cedera ginjal akut dan hypervolemia, kardiomiopati yang diikuti stress
(Takotsubo Kardiomiopati), miokarditis dan takiartimia. Pneumonia covid-19
menyebabkan status hemodinamik memburuj karena hipoksemia, dehidarasi dan
hipoperfusi. 1,5,8
Level BNP/NT-proBNP meningkat secara signifikan menunjukan gagal jantung
akut. Penghunaan bedside point of care (POC) transthoracic echocardiography
81

(TTE) dapat dipertimbangkan, dengan memperhatikan upaya pencegahan


kontaminasi dari pasien personil medis dan atau peralatan. 1,5,8
Strategi pengobatan yang sama pada gagal jantung akut dapat diterapkan pada
pasien dengan tanpa covid-19. Pasien gagal jantung curiga covid-19, penilaian klinis
rutin, pengkuran suhu dengan perangkat non kontak. EKG (aritmia, iskemia miokard,
miokarditis), rotgen dada (kardiomegali, pneumonia covid-19) temuan laboratorium
(peningkatan tingkat sendimentasi, fibrinogen, protein C-reaktif dan limfositopenia)
memberi petunjuk diagnostic. 1,5,8
Transtorakal ekokardiografi dan CT-scan thoraks digunaan untuk penilaian
kelainan paru-paru sebagai diagnosis banding gagal jantung seperti fibrosis, emboli
paru, dll. Terutama diharuskan pemberian dan pencegahan penularan virus ke
penyedia layanan kesehatan atau kontaminasi peralatan. Pasien gagal jantung kronis
harus menaati langkah-langkah perlindungan untuk mencegah infeksi. Pasien gagal
jantung stabil yang beraktifitas (tanpa keadaat darurat jantung) harus mengurangi
kunjungan ke rumah sakit. Terapi medis disarankan sesuai pedoman, termsuk beta
bloker, ACEI, ARB dan antagonis reseptor mineralokortikoid harus dilanjutkan pada
pasien gagal jantung kronik, terlepas dari ada atau tidaknya infeks covid-19. 1,5,8
Telemedicine dipertimbangkan agar memungkinkan untuk memberikan pelayanan
medis dan tindak lanjut dari pasien gagal jantung yang stabil.
1.9 Hipertensi
Salah satu komorbid yang paling sering dijumpai dan terdapat juga pada pasien
covid-19 yang mengalami ARDS. Saat ini tidak diketahui secar pasti apakah
hipertensi yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko seseorang terjangkit covid-
19, tetapi pengontrolan tekanan darah tetap dianggap penting untuk mengurangi
beban peyakit. SARS-CoV-2 penyebab covid-19, berikatan dengan ACE-2 pada
paru-paru untuk masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan penghambat angiotensin
converting enxym (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker (ARB), 2
golongan yang sering digunakan dalam pengontrolan tekana darah, dipertanyakan
82

apakah bermanfaat atau merugikan, karena ACE inhibitor dan ARB meningkatkan
ACE2 sehingga secara teori akan meningkatkan ikatan SARS-CoV-2 ke paru-paru.
Tetapi pada studi ekperimental ACE2 menunjukan efek proteksi dari kerusakan paru.
ACE2 bentuk angiotensin 1-7 dari angiotensin II, mengurangi efek inflamasi dari
angiotensin II dan meningatkan potensi efek antiinflamasi dari angiotensin 1-7. ACE
inhibitor dan ARB, dengan mengurangi pembentukan angiotensin II dan
meningkatkan angiotensin 1-7, mungkin berkontribusi dalam mengurangi inflamasi
secara sistemik terutama pada paru, jantung, ginjal dan menghilangkan kemungkinan
terburuk menjadi ARDS, miokarditis atau cedera ginjal akut (acute kidney injury). 1,5,8
Faktanya ARB telah disarankan penggunaanya pada pengobatan covid-19 dan
komplikasinya. Peningkatan ACE2 terlarut dalam sirkulasi dapat mengikat SARS-
Cov-2, kurangi kerusakan pada paru atau organ yang memiliki ACE2. Penggunaan
ACE 2 rekombinan menjadi pendekatan terapeutik untuk kurangi viral load dengan
ikat SARS-CoV-2 di sirkulasi dan mengurangi potensi ikatan ke ACE2 dalam
jaringan. Penggunaan obat-obatan ini harus dilanjutkan agar mengontrol tekana darah
dan tidak dihentikan, dengan dasar dari bukti yang ada saat ini. 1,5,8
Beberapa tinjauan sistematik dan meta analisis, pemberian ACE ing=hibitor dan
ARB tikad meningkatkan progresivitas penyakit covid-19, sehingga ACE inhibitor
dan ARB teteap dapat digunakan sebagi terapi antihipertensi pada populasi pasien
covid-19. European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan pemberian
ACE inhibitor dan ARB sebagai upaya pengendalian hipertensi pada pasein covid-19
dikerenakan efek negative dari kedua obat ini tidak memiliki basis kaidah ilmiah.
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB tidak berhubungan dengan peningakatan
risiko covid-19 dan ddapatkan penurunan derajat keparahan covid-19 dengan ACE
inhibitor atau ARB pada populasi umum dan kelompok pasien dengan hipertensi.
Risiko kematian karena semua sebeb (all-cause death) alami penurunan dengan terapi
ACE inhibitor dan ARN pada populasi umum dan paseien dengan hipertensi.
Direkomendasi pemberian RAAS inhibitor tetap dilanjutkan. 1,5,8
83

Saat ini tidak ada buki yang dilaporkan bahwa hipertensi merupakan faktor risoko
independen untuk komplikasi berat atau kematian akibat infeksi covid-19. Meskipun
banyaknya spekulasi, tetapi tidak ada bukti menunjukan bahwa pengobatan sebelum
dengan ACEI atau ARB meningkatkan risiko infeksi covid-19, atau risiko muncul
komplikasi berat dari infeksi covid-19. Pengobatan hipertensi mengikuti rekomendasi
dalam pedoman ASH (European Society of Cardiology). Tidak ada perubahan untuk
rekomendasi pengoobatan saat ini selama masa pancemi covid-19. Pasien isolasi
mandiri dengan kondisi hipertensi dan dirawat tidak perlu mengunjungi rumah sakit
untuk pemeriksaan rutin selama pasndemi. Pasien dapat melakukan pemantauan
tekanan darah dari rumah secara berkala dengan konfersi video atau konsultasi
telepon jika diperlukan. Pasien dengan hipertensi mungkin alami risiko yang
meningkat terhadap atrmia jantung akibat penyakit jantung bawaan atau sering pada
pasien yang alami hypokalemia pada kondisi infeksi covid-19 berat. Terapi
antihipertensi perlu diberhentikan sementara pasien infeksi akut di rumah sakit yang
alami hipotensi atau cedera ginjal akut sekunder akibat infeksi covid-19 yang berat.
Pasien yang belum mendapatkan perawatan karena hipertensi yang memerlukan
ventilasi invasive, obat antihipertensi parenteral diindikasikan pada mereka yang
alami hipertensi berat persisten.1,5,8
1.10 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
PPOK berisiko terhadap covid-19, terutama yang erat dengan VEP1 prediksi
<50%, riwayat eksaserbasi dengan perawatan di rumah sakit, membutuhkan oksigen
jangka pasnjang, sesak dan komorbid lainnya.
Pasien PPOK dalam masa pandemic disaranakn meminimalisir konsultsi secara
tatp muka. Bila konsultasi tatap muka perlu dilakukan skrining terlebih dahulu
melalui telepon agar memastikan pasien tidak ada gejal covid-19. Pasien segera
berobat bila terdapat gejala atau perubahan dari gejala sehari-hari yang mengarah
pada covid-19 ke rumah sakit rujukan covid-19. 1,5,8
84

Tindakan pencegahan perlu untuk menghindari terpajan corona virus seperti,


jaga jarak, memakai masker, sering mencuci tangan, tidak menyentuh muka, hidung,
mulut dan mata serta hindari kontak dengan orang yang mungkin telah terinfeksi
covid-19. 1,5,8
Pasien PPOK diminta rutin menggunakan inhaler atau oral yang sudah teratur
digunakan. Demikian juga bagi pasien PPOK yang terinfeksi atau curiga covid-19.
Tidak ada bukti pemakaian kortikosteroid inhaler (ICS) atau oral untuk PPOK harus
dihindari selama masa pandemic. Namun ICS untuk pasien PPOK dipertimbangkan
pada pasien riwayat raway inap kareana, eksaserbasi PPOK, ≥2 eksaserbasi dalam
setahun, eosinophil darah >300 sel/ul, riwayat atau konkomitan asma, sehingga jika
tidak memenuhi hal-hal ini makan tidak dianjurkan pemberian ICS. Pasien PPOK
yang mendapat terapi ICS dosis tinggi perimbangakn untuk menurunkan ke dosis
standar. Pasien PPOK dengan eksaserbasi, tatalaksana yang dilakukan sesuai
pedoman nasional yang telah ada. 1,5,8
1.11 Tuberkulosis (TB)
Pasien harus mematuhi protocol kesehatan seperti, etiket batuk, praktik hidup
sehat dan bersih, rajin cuci tangan, jaga jarak dan memakai masker. Pasien tetap
diberi obat anti TB (OAT) seusui standar suspek, probable dan pasien terkontaminasi
covid-19. Prinsip yang dianjurkan tetap berjalan tanpa pasien harus sering
mengunjungi fasyankes TB untuk pengambilan OAT. 1,5,8
1. Pasien suspek dan pasien terkonfirmasi covid-19 gejala ringan atau tanpa gejala
a. Pasien diberi obat sesuai tatalaksana covid-19 dengan melakukan isolasi
mandiri 14 hari sambil menunggu swab covid-19
b. Pasien TB diberi sejumlah OAT untuk periode tertentu sehingga stok OAT
memadai harus disediakan selama isolasi mandiri atau selama dalam
perawatan
85

c. Pemantauan pengobatan diselenggarakan secara elektronik menggunakan


metode non tatap muka, misalnya video call yang membantu pasien
menyelesaikan pengobatan TB.
d. Pasien TB sensitive obat pada faser pengobatan intesif, pemberian OAT diberi
interval tiap 14-28 hari
e. Pasien TB sensitive obat pada fase pengobatan lanjut pemberian OAT diberi
dengan interval 28-56 hari
f. Pasien TB resisten obat pada fase pengobatan intensif pemberian OAT oral
diberikan dengan interval 7 hari
g. Pasien TB resisten obat pada fase pengobatan lanjutan, pemberian OAT diberi
dengan frekuensi iap 14-28 hari dengan memperkuat pengawasan meinum
obat (PMO)
h. Interval pemberian OAT dapat diperpendek melihat dari kondisi pasien
i. Pasien TB belum terkonfirmasi covid-19 namun masih menggunakan terapi
injeksi, diharapkan tetap melakukan kunjugan setiap hari kef askes dengan
penggunaan masker. Diupayakan injeksi dilakukan di faskes terdekat dengan
memperhatikan keaman petugas faskes tujuan
j. Pasien TB resisten obat yang terkonfirmasi covid-19 dengan penggunaan
injeksi tetap mendapat terapi dari faskes yang ditunjuk dengan petugas
menandatangi rumah pasien atau tempat isolasi pasien. Petugas memberi
terapi injeksi harus memperhatikan keaman dengan mengunakan APD
lengkap sesuai standar penangan covid-19
k. Pasien suspek rawat inap mendapat OAT sesuai standar.
l. Pasien dan keluarga harus diberi informasi terkait efek samping dan tanda
bahaya yang mungkin terjadi dana pa yang harus dilakukan juka kondisi
tersebut muncul
86

m. Pasien TB yang masih batuk, tetap memakai masker baik di dalam rumah
maupun diluar rumah, disarankan memiliki ruang tidur terpisah dari anggotan
keluarga lain.
n. Pemberian terapi pencegahan TB diberi 2 bulan sekali dengan kewajuban
melapor perkembangan pada petugas kesehatan melalui telepon atau sarana
komunikasi lainnyha minimal sebulan sekali.
o. Pasien atau keluarga diharapkan proaktif menghubungi petugas kesehtan jika
mengalami keluhan atau efek samping obat.
2. Pasien TB terkonfirmasi covid-19 dengan gejala sedang dan berat
Pasein dengan gejala sedang berat mendapat OAT sesuai standar rumah sakit
tempat pasien dirawat.

Anda mungkin juga menyukai