Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN RHEUMATOID ARTHRITIS

DosenPengampu :Ahmad Kusnaeni, S.Kep.,Ns.

Disusun Oleh :

1. JONI KOSWARA (108114019)


2. RIZKI SEFRIYANTO (108114024)

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH CILACAP


TAHUN AKADEMIK 2016/2017
A. Definisi
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006). Penyakit RA ini merupakan kelainan
autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan
mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).
RA adalah penyakit auto imun dengan inflamasi kronik yang ditandai
dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang
disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur.
Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri,
kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak
sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi
kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid
arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari.

B. Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)
1) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
(Suarjana, 2009).
2) Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting
dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
3) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
4) Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi
sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan
molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi
silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis (Suarjana, 2009).
5) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo,
2012).

C. Manifestasi klinis
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu :
(Nasution, 2011)
1) Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu
inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi
yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak
simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga
terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang
proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
2) Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap
(Nasution, 2011)
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi
artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
1) Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi
sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri,
bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan
(Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri,
bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan
pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan
perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik
(Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering
menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini
mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun
dari onset terjadinya (Longo, 2012).
2) Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA
(Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA
mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi
ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
a) Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa
RA. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan,
demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan
pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului
terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012).
b) Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya
merupakan level tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat
dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat
periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di
paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul
bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi,
ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
c) Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki
secondary sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai
dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia
(Longo, 2012).
d) Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura
kemudian diikuti dengan penyakit paru interstitial (Longo,
2012).
e) Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis
pada jantung yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis,
kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri koreoner atau
disfungsi diastol (Longo, 2012).
f) Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada
penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis (Longo,
2012).
g) Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated
trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa
neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering disebut
dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita
RA tahap akhir (Longo, 2012).
h) Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4
kali lebih besar dibanding populasi umum. Hal ini
dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas
(Longo, 2012).

D. Patofisiologi
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.
Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai
terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel
kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang
terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi.
Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi
dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran
sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan
bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17,
Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi
spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD (Baratwidjaja,
2012). Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T
dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-
SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau
sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahi secara
pasti (Suarjana, 2009).

E. Pathways
F. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X untuk menunjukan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi
sendi dan osteoporosis.
2) Scan radionukida untuk mengidentifikasi peradangan sinovium.
3) Artroskopi langsung untuk visualisasi dari area yang menunjukan
irregularitas/degenerasi tulang pada sendi.
4) Biopsi membran sinovial untuk menunjukan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas.
5) JDL untuk menunjukan anemia sedang.

G. Penatalaksanaan
1) Terapi Farmakologik
Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year
2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok,
yaitu (Symmons, 2006) :
a) NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi
rasa nyeri dan kekakuan sendi.
b) Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat
dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan
DMARD. Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan
proses penyakit dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini
memiliki efek samping dan harus di monitor dengan hati-hati.
c) Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala
simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki
konsekuensi jangka panjang yang serius.
d) Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam
proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
e) Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin
inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini
dalam terapi RA
2) Terapi non-Farmakologik
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi
komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya
dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta
massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan
penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer
berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive
(Afriyanti, 2009).
3) Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat
dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang
bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan
berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan
artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan
untuk menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat 2010)

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kaku sendi
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
4. Resiko cidera

I. Rencana Asuhan Keperawatan


1. Diagnosa 1.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis

a) Definisi : Pengalaman Sensori dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual
atau potensial atau di gambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa .awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intesitas ringan hingga berat dengan akhir yang
berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan

b) Batasan Karakteristik
 Sikap melindungi area nyeri
 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
 Fokus pada diri ssendiri
 Gangguan pola tidur

c) Faktor yang berhubungan


 Agen cidera (misal : Biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

2. Diagnosa 2
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan sendi
a) Definisi : Keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau
lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah
b). Batasan Karakteristik
 Penurunan waktu reaksi
 Kesulitan membolak balik posisi
 Keterbatasan rentang pergerakan sendi
 Pergerakan lamnbat
 Ketidakstabilan fostur
c) Faktor yang berhubungan
 Ansietas
 Penurunan ketahanan tubuh
 Penurunan kekuatan otot
 Ketidaknyamanan
 Kaku sendi
 Kerusakan integritas struktur tulang
 Gangguan muskuloskeletal
 Gangguan neuromuskular
 Program pembatasan gerak

3. Diagnosa 3
Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur

a). Definisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat


faktor eksternal

b) Batasan Karakteristik

 Perubahan pola tidur normal


 Penurunan kemampuan berfungsi
 Ketidakpuasan tidur
 Merasa tidak cukup istirahat.
c) Faktor yang berhubungan
 Kelembapan lingkungan sekitar
 Suhu lingkungan sekitar
 Perubahan pajanan terhadap cahaya gelap
 Bising
 Kurang kontrol tidur
 Privasi

4. Diagnosa 4
Resiko Cidera
a) Definisi : Berisiko mengalami cidera sebagai akibat kondisi
lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan
sumber defensif individu
b) Batasan Karakteristik

Eksternal
 Biologis ( tingkat imunisasi komunikasi,
mikroorganisme)
 Zat Kimia ( racun, agen farmasi ,alkohol)
 Fisik ( bangunan dan peralatan)
 Cara pemindahan /transpor
Internal
 Usia perkembangan ( fisiologis, psikososial)
 Disfungsi imun – autoimun
 Disfungsi integratif
 Disfungsi sensorik

J. Perencanaan keperawatan
1. Diagnosa 1
NOC : Pain Level
INDIKATOR
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,mampu
menggunakan tekhnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
menejemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri ( skala,intensitas,frekuensi dan tanda
nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
NIC : Pain Managemen
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komfrehensif termasuk lokasi,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
4. Kaji kultur yang mempengaruhi nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6. Ajarkan tentang tekhnik nonfarmakologi
7. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri\
8. Tingkatkan istirahat
2. Diagnosa 2

NOC : Mobility level

INDIKATOR

1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik


2. Keseimbangan tubuh
3. Gerakan sendi
4. Gerakan otot
5. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
6. Memperagakan penggunaan alat

NIC : Exercise therapy: Ambulation

1. Monitor vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon
pasien pada saat latihan
2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cidera
3. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan
4. Kaji kemampuan pasien dan dampingi dalam mobilisasi
5. Ajarkan pasien atau keluarga tentang tekhnik ambulasi
6. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisidan berikan bantuan jika
di perlukan

3. Diagnosa 3
NOC Sleep:Extence and patern
INDIKATOR
1. Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/ hari
2. Pola todur ,kualitas dalam batas normal
3. Perasaan segar setelah tidur atau istirahat
NIC : Self Care Assistance Sleep enhancement
1. Jelaskan pentingnya tidur secara adekuat
2. Ciptakan lingkungan yang aman
3. Monitor/ catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam
4. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur
5. Diskusikan dengan pasien dengan keluarga tentang teknik tidur
pasien
6. Intruksikan untuk monitor tidur pasie n.
4. Diagnosa 4
NOC : Risk Kontrol
INDIKATOR
1. Klien bebas dari resiko cidera
2. Mampumemodifikasi gaya hidup untukmencegah injury
3. Klien mampu menjelaskan cara/metode untukmencegah
injury/cedera
4. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
NIC : Environment Management (Managemen Lingkungan)

1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien


2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi
fisik dan fungsi kognitif  pasien dan riwayat penyakit terdahulu
pasien
3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya
memindahkan perabotan)
4. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau
pasien.
6. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
7. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan.
DAFTAR PUSAKA

http://kuliahiskandar.blogspot.com/2012/05/makalah-atritis-rematoid.html

Lukman, Ningsih Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Srirye, N. 2011. Laporan Pendahuluan Artritis.

https://www.scribd.com/doc/145145228/LP-Osteoartritis

NANDA , 2014 Nursing Diagnosis : Definition and Classification


(2014), philadelphia

Merdean , J, M-2000, ”Nursing Outcome Classification (NOC) , United


states of Amerika: Morby
McCloskey, Joanne C, Bulechek, Gloria M. 2008 Nursing Intervention
ClassificatioN (NIC). Mosby, St. Louse.

Anda mungkin juga menyukai