Hipotensi permisif pada resusitasi cairan pasien trauma dengan syok hemoragik menurunkan
angka kematian dan meningkatkan keluaran bila dibandingkan dengan pasien yang mendapat
resusitasi cairan agresif.
Syok hemoragik merupakan kondisi tersering yang ditemukan pada pasien dengan trauma
dan menjadi penyebab utama kematian dalam 24 jam pasca kejadian. Kondisi syok yang terus
menerus dapat mengganggu aliran darah dan oksigenasi jaringan, menyebabkan kegagalan
multiorgan hingga kematian. Kontrol perdarahan dan resusitasi cairan menjadi terapi utama
untuk kondisi ini. Selama ini, resusitasi cairan yang rutin dilakukan pada pasien trauma
dengan syok hemoragik adalah pemberian cairan secara dini dan agresif untuk menormalkan
tanda vital pasien secepatnya. Diharapkan pemberian cairan secara dini dan agresif dapat
mengembalikan volume darah di sirkulasi dan mempertahankan perfusi jaringan. Namun
konsep ini tidak didasari dengan bukti yang adekuat.[1,2]
Studi pada hewan menunjukkan pemberian cairan secara agresif dapat berbahaya terutama
pada kondisi perdarahan tidak terkontrol. Resusitasi cairan secara agresif akan meningkatkan
tekanan hidrostatik di pembuluh darah, melepaskan bekuan darah yang baru terbentuk,
menggagalkan vasokonstriksi, menyebabkan hemodilusi yang memicu koagulopati,
akibatnya perdarahan semakin tidak terkontrol. Selain itu hemodilusi juga menyebabkan
berkuranganya kapasitas pengiriman oksigen, memicu asidosis dan menyebabkan kerusakan
selular.[1-3]
Pada manusia, resusitasi cairan kristaloid dalam jumlah besar berhubungan dengan
peningkatan kejadian cedera paru akut, sindroma kompartemen dan lama perawatan. Oleh
karena itu, konsep hipotensi permisif atau sering disebut juga resusitasi terkontrol dan
resusitasi hipotensif mulai digunakan. Beberapa studi juga telah dilakukan untuk
mengevaluasi dan membandingkan keluaran resusitasi hipotensi permisif dengan strategi
resusitasi konvensional.[1,2]
Terdapat beberapa kontroversi lain terkait penerapan resusitasi hipotensi permisif pada
beberapa mekanisme dan keparahan trauma. Dalam telaah sistematis tersebut, dua studi
mengevaluasi penerapan strategi resusitasi ini pada trauma tajam, sedangkan 3 lainnya pada
trauma tajam dan tumpul. Beberapa penelitian dengan hewan coba menunjukkan bahwa
metode hipotensi permisif kurang efektif bila diterapkan pada perdarahan yang tidak
terkontrol dengan kegagalan pembentukan bekuan darah. Selain itu pada trauma akibat
ledakan, penerapan resusitasi hipotensi permisif meningkatkan risiko terjadinya asidosis dan
kematian karena telah terjadi kerusakan mikrovaskular yang luas. Selain mekanisme trauma
dan keparahan trauma, beberapa faktor lain juga perlu diperhatikan seperti pada pasien
dengan usia tua dan pasien dengan hipertensi kronik.[1,4]