Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh Orang Tua

2.1.1 Pengertian pola asuh

Pola asuh adalah suatu tindakan, perbuatan, dan interaksi orang

tua untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak agar

mereka tumbuh dan berkembang dengan baik dan benar (Surbakti,

2012).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja,

sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

mendidik anak, sedangkan orangtua memiliki arti ayah dan ibu, jadi

dapat disimpulkan pola asuh orangtua memiliki arti cara atau sistem

ayah dan ibu dalam merawat atau mendidik anak. Pola asuh orangtua

adalah kegiatan atau cara mengasuh orangtua dalam berinteraksi

dengan anak (Handayani dkk, 2012).

Pola asuh orangtua adalah interaksi antara orangtua dan anak

selama masa pengasuhan agar terbentuk pribadi-pribadi yang

memiliki norma-norma yang sesuai dalam bermasyarakat (Aisyah,

2010).

Menurut Djamarah (2014), pola asuh orang tua adalah upaya

orang tua yang konsisten dan persisten dalam menjaga dan

membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh

orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua

5
dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan

6
6

kegiatan pengasuhan. Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri

dalam mengasuh dan membimbing anaknya.

2.1.2 Tipe pola asuh orang tua

Menurut Braumrind dalam Yusuf (2014) secara garis besar

pola asuh orang tua terhadap anak dapat dibedakan menjadi tiga tipe,

yaitu otoriter/otoritarian (authoritarian), autoritatif (authoritative),

dan permisif (permissive).

1. Authoritarian (Otoriter)

Orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha

membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta

sikapanakberdasarkanserangkaian standar mutlak,nilai-nilai

kepatuhan, menghormati otoritas, kerja tradisi, tidak saling

memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua

kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman

(Widyarini, 2012).

Pola asuh ini memiliki ciri orangtua sebagai pusat dalam

interaksi ini. Orangtua bertindak keras, memaksa, dan semena-

mena terhadap anak. Anak harus menuruti semua perkataan

orangtua tanpa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat.

Pola asuh otoriter ini juga bersifat kekerasan. Pola asuh ini

orangtua tidak segan-segan memukul anak bila anak melanggar

aturan-aturan yang sangat ketat yang telah dibuat oleh orangtuanya.

Hal ini menyebabkan anak menjadi tidak percaya diri, penakut,


7

kurang inisiatif, nakal, memberontak bahkan melarikan diri. Anak

dapat mengembangkan tingkah laku social yang baik jika

mendapatkan kasih sayang yang melandasi dalam sebuah keluarga

(Aisyah, 2010).

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang menggunakan

pendekatan yang memaksakan kehendak, suatu peraturan yang

dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak. Pendekatan

seperti ini biasanya kurang responsif pada hak dan keinginan anak.

Anak lebih dianggap sebagai objek yang harus patuh dan

menjalankan aturan, dan ketidakberhasilan kemampuan dianggap

ketidakmampuan. Orang tua yang menggunakan pola asuh ini

mempunyai kekuasaan penuh yang menuntut ketaatan mutlak,

sehingga kerap menghambat munculnya komunikasi terbuka antara

orang tua dan anak. Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu

arah dan lebih sering berupa perintah, anak sebagai objek kurang

mendengar dan cendrung diam dan menutup diri. Anak melakukan

sesuatu karena memang sudah diatur sedemikian rupa, dan tidak

berani berinisaiatif melakukan sesuatu daripada disalahkan dan

dimarahi (Yusuf, 2014).

Anak-anak diawasi dengan cukup ketat tidak boleh ini dan itu.

Biasanya sikap orang tua selalu menjaga jarak dengan anak-

anaknya dan kurang hangat serta tidak responsive pada kebutuhan

anak. Keadaan ini membuat anak tidak memiliki pilihan dalam


8

berperilaku, karena anak terlalu khawatir dengan apa yang

diperintahkan orangtua nya dan biasanya takut membuat kesalahan

(Yusuf, 2014).

Menurut Gunarsa (2012), pada pola pengasuhan otoriter, orang

tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak.

Komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari

orang tua ke anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan

anak akan menyebabkan keterampilan komunikasi anak remaja

juga berkurang.

Menurut Yusuf (2014) sikap atau perilaku orang tua pada

model pola asuh authoritarian ataralain:

1) Sikap acceptancerendah, namun kontrolnya tnggi.

2) Suka menghukum secara fisik.

3) Bersikap mengomando (mengharuskan/memerintah anak untuk

melakukan sesuatu tanpa kompromi)

4) Bersikap kaku (keras)

5) Cenderung emosional dan bersikap menolak

Profil perilaku anak dari pola asuh otoriter, yaitu mudah

tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah

terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan

yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2014).


9

2. Authoritative (Autoritatif/ Demokrasi)

Orang tua yang memiliki pola asuh jenis iniberusaha

mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah

yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan

menerima, menjelaskan alasan rasionalyang mendasaritiap-tiap

permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila

perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi

juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri

sendiri, saling menghargai antara anak dan orangtua,memperkuat

standar-standar perilaku.Orangtua tidak mengambil posisi mutlak,

tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata

(Widyarini, 2012).

Pola asuh demokratis menggunakan pendekatan yang

rasional dan demokratis. Orang tua sangat memperhatikan faktor

kepentingan anak dan mencukupinya dengan pertimbangan yang

realistis. Tipe pola asuh ini tidak semata-mata menuruti keinginan

anak tetapi sekaligus mengajarkan kepada mereka mengenai

kebutuhan yang penting bagi kehidupannya. Anak diberi kebebasan

dalam beraktivitas dan bergaul dengan teman-temannya disertai

rasa tanggung jawab, bahwa anak bisa melakukan kegiatan dan

bersosialisasi dengan yang lainnya Yusuf (2014).

Pola asuh ini akan mendorong anak untuk belajar

bertanggungjawab dengan apa yang dikatakannya namun,


10

kebebasan yang diberikan pada anak tetap dalam pengawasan

orangtua, sehingga orangtua masih dengan mudah mengontrol apa

yang dilakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan

usia anak. Menurut Aisyah (2010) kebutuhan pokok anak dapat

diakomodasikan dengan wajar pada penerapan pola asuhdemokrasi

ini, sehingga jika kebutuhan pokok manusia dapat terpenuhi maka

akan tercipta suasana psikologis maupun sosial yang

menggembirakan.

Pengawasan dan tuntunan tanggung jawab dilakukan

secara wajar. Orang tua juga mengarahkan aktivitas anak secara

rasional, sangat menghargai minat anak dan mendorong keputusan

anak untuk mandiri. Tetapi orang tua tetap tegas dan konsisten

dalam menentukan standar, dan jika perlu menggunakan

hukumansebagaiupaya memperlihatkan kepada anak konsistensi

suatu bentuk pelanggaran dan penerapan hukuman yang rasional.

Secara umum pola asuh orang tua ini mengkombinasikan kontrol

dan dorongan, dimana dalam waktu yag bersamaan mereka

mengawasi perilaku anak dan mendorong untuk mematuhi

peraturan yang ada dalam keluarga dengan mengikuti standar yang

ditetapkan (Widyarini, 2012).

Orang tua yang menerapkan pola demokrasi ini

menawarkan berbagaikehangatandanmenerimatingkahlakuagresif

anak mengenai peraturan, norma dan nilai-nilai. Orang tua biasanya


11

mendengar pendapat anak, menjelaskan peraturan dalam keluarga

serta nilai-nilai yang dianut dan mau bernegosiasi dengan anak.

Dengan aturan yang jelas dan konsisten, anak-anak belajar

mengetahui apa yang diinginkan dan diharapkan orang tuanya.

Orang tua yang autoritatif menekankan pentingnya

peraturan, norma, nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk

mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasidengan anak. Remaja

yang dibesarkan dengan pola pengasuhan autoratif akan merasakan

suasana rumah yang penuh rasa menghormati, penuh apresiasi,

kehangatan, dan adanya konsistensi pengasuhan dari orang

tua(Gunarsa, 2012).

Menurut Yusuf (2014), bentuk sikap atau perilaku orang

tua dalam pola asuh autoritatif:

1) Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi

2) Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak

3) Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan

4) Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik

dan buruk

Profil perilaku anakdari pola asuh autoritatif yaitu bersikap

bersahabat,memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri

(sefl control), bersikap sopan, mau bekerja sama,memiliki rasa

ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan/arah hidupyang jelas,

berorientasi terhadap prestasi (Yusuf, 2014)


12

3. Permissive (Permisif)

Pola asuh permisif adalah pola asuh yang bertolak belakang

dengan otoriter, primisif dapat diartikan orang tua yang serba

membolehkan atau suka mengijinkan. Pola asuh ini menggunakan

pendekatan yang sangat responsif (bersedia mendengarkan) tetapi

cendrung terlalu longgar. Pola asuh yang sangat toleran membuat

orang tua memiliki sikap yang relatif hangat dan menerima sang

anak apa adanya. Kehangatan kadang cendrung memanjakan,

beberapa anak terlalu dijaga dan dituruti keinginannya, sedangkan

sikap menerima anak apa adanya akan memberikan kebebasan pada

anak untuk melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi

kebebasan tidak diikuti dengan tindakan mengontrol atau menuntut

anak untuk menampilkan perilaku tertentu. Dengan kata lain anak

menerima bimbingan yang terlampau sedikit, terlalu dibiarkan,

sehingga anak menjadi bingung mengenai apa yang harus

dilakukan. Kadang-kadang anak merasa cemas, mereka melakukan

sesuatu yang salah atau benar. Tetapi karena orang tua

membiarkan, maka anak melakukan apa saja yang mereka rasa

benar dan menyenangkan hati, sedangkan orang tua cendrung

membiarkan perilaku anak, tetapi tidak menghukum perbuatan

anak, walaupun perilaku dan perbuatan anak tersebut buruk(Yusuf,

2014).

Pola asuh ini memiliki ciri anak sebagai pusat dalam interaksi
13

ini, yakni pola asuh yang cenderung memberikan kebebasan

ditangan anak tanpa kontrol sama sekali. Pola asuh ini membentuk

pribadi yang manja, anak menggunakan kebebasannya tanpa rasa

tanggung jawab dan kurang disiplin dalam aturan-aturan social

yang ada. Ketidak adekuatan peran orangtua dapat berakibat jangka

panjang dalam perkembangan anak, yang mengakibatkan anak

tidak paham paham bahkan tidak mengetahui aturan yang ada

(Pramawaty & Hartati, 2012).

Pola pengasuhan permisif dapat dibedakan menjadi

pengasuhan yang mengabaikan (neglectful) dan pengasuhan yang

memanjakan (indulgent). Pada pengasuhan yang mengabaikan

orangtua tidak mempedulikan anak, memberikan izin bagi

anakuntuk bertindak semau mereka. Pada pengasuhan yang

memanjakan, orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional

pada anak namun kurang menerapkan kontrol pada mereka

(Gunarsa, 2012).

Menurut Widyarini (2012) orang tua yang memiliki pola asuh

jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif

terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan

perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman,

berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memeri tanggung jawab

rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya

sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu


14

dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.

Orang tua dengan pola asuh permisif memberikan kebebasan

kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya dan

memiliki sikap acceptance tinggi namun kontrolnya rendah (Yusuf,

2014).

Profil perilaku anak yang terbentuk dari pola asuh permisif

antara lain: bersikap impulsif dan agresif, suka memberontak,

kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, suka

mendominasi, tidak jelas arah hidupnya, prestasinya rendah (Yusuf,

2014).

2.1.3 Faktor-faktoryang mempengaruhi pola asuh

Menurut Gunarsa (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi orangtua dalam menerapkanpola asuh kepada

anak, yaitu:

1. Jenis pola asuh yang diterima oleh orangtua sebelumnya

Tidak sedikit orangtua yang menerapkan pola asuh yang

sama pada anaknya seperti yang mereka terima dari orangtua mereka

sebelumnya tanpa melihat perkembangan zaman yang juga memiliki

peran dalam pembentukan perilaku anak. Sangat disayangkan jika

pola asuh yang mereka terima sebelumnya termasuk kedalam pola

asuh yang kurang benar, maka mereka akan menerapkannya pada

anak-anak mereka dan jika kita melihat perkembangan zaman

sekarang yang begitu pesat, jika pola asuh tersebut tidak


15

dikendalikan dengan tepat, maka akan menghasilkan perilaku anak

yang tidak diinginkan.

2. Usia orangtua

Usia dapat menentukan tingkat kedewasaanorangtua

berdasarkan pengalaman hidup yang telah dilaluinya.

Akibatusiayang masih terlalu muda, anak cenderung mendapatkan

pengawasan yang lebih longgar karena sifat toleransi orangtua

(Permatasari, 2015).

3. Status sosial ekonomi orangtua

Terpenuhinya kebutuhan pokok sebuah keluarga dapat menentukan

perilaku keluarga tersebut. Terdapat keterkaitan antara polaasuh

orangtua dengan status social ekonomi keluarga. Semakin rendah

status sosial ekonomi keluarga, maka orangtua akan semakin depresi

karena tertekan dalam tuntutan kebutuhan keluarga sehingga

membuat orang tua menerapkan pola asuh yang keras dan memaksa

(otoriter).

4. Dominasi orangtua

Ibu adalah seseorang yang mengandung danmelahirkan anak,tidak

heran jika ibu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan anaknya.

Ikatan batin yang dimiliki ibu ini akan membentuk pola asuh yang

lebih lembut dibandingkan pola asuh ayah (Khairani, 2011).

Halserupa juga dinyatakan dalam penelitian Teviana & Yusiana

(2012) bahwa orangtua perempuan cenderung menerapkan pola asuh


16

autoratif, sedangkan orangtua laki-laki cenderung menerapkan pola

asuh otoriter.

4. Jenis kelamin dan kondisi anak

Anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Anak perempuan

cenderung memiliki perasaan yang lebih lembut,karena memilih

bermain boneka, sedangkan anak laki-laki lebih memilih

bermaindenganberlarian.Terutamadalam hal bergaul. Anak

perempuan lebih rentan untuk terjerumus kedalam pergaulan yang

membahayakan masa depannya (Khairani, 2011).

2.2 Konsep Anak Sekolah Dasar

2.2.1 Pengertian Anak Sekolah Dasar

Anak usia sekolah dasar melakukan berbagai macam kegiatan

di sekolah tidak hanya dengan menuntut ilmu tetapi juga dengan

berinteraksi dengan teman seusianya. Pada masa ini anak belajar

menerima keberadaan orang lain di sekitarnya. Menurut Nasution

(Djamarah, 2011) masa usia SD sebagai masa kanak-kanak akhir yang

berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua

belas tahun. Usiasekolah dasar ditandai dengan mulainya anak masuk

sekolah dasar, dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupannya yang

kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para guru

mengenal masa ini sebagai “masa sekolah”, oleh karena pada usia

inilah anak untuk pertama kalinya menerima pendidikan formal.

Hurlock (Halimah dan Kawuryan,2010) menyatakan bahwa


17

rentang masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda,

yaituawal danakhir. Periode awal berlangsung dari umur dua sampai

enam tahun, sedangkan periode akhir masa kanak-kanakberkisar

antara enam sampai tiba saatnya anak matang secara seksual, dengan

demikian awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa

bayi;usiadimana kemandirian dan berakhir di sekitar usia sekolah

dasar.

Menurut Janke(Halimah dan Kawuryan, 2010) menganggap

usia enam tahun sebagai usia yang cukup matang untuk sekolah.

Anakusia sekolah dasar umumnya telah memiliki perbendaharaan kata

yang cukup banyak. Anak usia SD juga memiliki kemampuan

membayangkan seperti anak-anak seusianya, dapat mengemukakan

secara verbal ide-ide dan pikiran-pikirannya serta organ-organ indra

dan motorik telah terkoordinasi dengan baik.

Masaanakusiasekolah dasar merupakan masa intelektual atau

masa keserasianbersekolah.Secararelatif,pada masaini anak-anak lebih

mudahdibimbingdaripadamasa sebelum dansesudahnya. Terdapat dua

fase dalam masa usia sekolah dasar yaitu masa usia 6 atau 7 tahun

sampai 9 atau 10 tahun dan masa usia 9 atau 10 tahun sampai umur 12

atau 13 tahun (Yusuf, 2011).

2.2.2 Tahapan Perkembangan Anak

Tahapan perkembangan anak (Yusuf, 2011; Monks, dkk, 2014)

dalam pendekatan perkembangan kognitif menurut model Piaget,


18

yaitu :

1. Sensorimotor (0-2 tahun)

Pengetahuan anak didapat dari interaksi fisik, baik dari orangtua

atau objek (benda). Interaksi masih berbentuk reflek- reflek

sederhana, seperti menggenggam, memukul, menghisap, dan

mengikuti objek yang bergerak dengan mata.

2. Pra operasional (2-6 tahun)

Anak sudah memberi pengertian suatu objek, anak mampu untuk

mengikuti atau menirukan tingkah laku objek yang dilihatnya, anak

masih memperhatikan objek yang dilihatnya dari perspektif atau

pendapatnya sendiri namun tidak memperhatikan perspektif atau

pandangan yang berbeda, perasaan dan pandangan masih berpusat

pada diri sendiri (egosentrisme).

3. Operasional konkret (6-11 tahun)

Anak sudah mampu memperhatikan suatu objek dari perspektif

atau pandangan yang berbeda dan dapat menghubungkan suatu

objek satu sama lain.Anak sudah dapat mengatur atau

mengklasifikasikan suatu objek secara konkrit.

4. Operasional formal (11 tahun sampai dewasa)

Anak usia 11 tahun atau lebih (remaja) tidak membedakan antara

situasi yang dipikirkannya sendiri dengan yang dipikirkan orang

lain, remaja pada tahap ini cenderung memikirkan atau

memperhatikan pendapat orang lain terhadap dirinya dan ingin


19

menjadi pusat perhatian. Remaja pada tahap ini juga sudah dapat

menyelesaikan atau menganalisis masalah secara teoretis,

menghubungkan satu dengan yang lainnya sehingga masalah dapat

terselesaikan.

2.2.3 Tugas Perkembangan Usia Sekolah

Menurut Yusuf (2011), tugas perkembangan pada masa

sekolah (6- 12 tahun), yaitu :

1. Belajar mendapatkan keterampilan fisik yang berupa penguasaan

otot untuk melakukan kegiatan/ permainan, dalam pertumbuhan

fisik dan otak, anak belajar dan melakukan kegiatan olahraga

seperti berlari dan melakukan senam pagi, serta dapat melakukan

permainan ringan (sepakbola, loncat tali, berenang, dll).

2. Belajar membuat perilaku yang sehat terhadap dirinya sendiri

sebagai makhluk biologis, seperti mengembangkan kebiasaan

untuk memelihara badan(kebersihan,keselamatan diri, dan

kesehatan),membedakansikappositifterhadapjeniskelaminnya(laki-

laki atau perempuan) dan juga menerima dirinya (rupa wajah

maupun postur tubuh) secara positif.

3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya untuk dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.

5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan

berhitung.
20

6. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari, yakni dapat

mengingat sesuatu dengan panca indera mengenai pengamatan

yang telah lalu. Bertambahnya pengalaman dan pengetahuan, maka

semakin tambah pula konsep yang diperoleh. Konsep yang meliputi

kaidah-kaidah atau ajaran agama (moral), ilmu pengetahuan, adat

istiadat, dll.

7. Mengembangkan kata hati, yakni mengembangkan sikap dan

perasaan yang berhubungan dengan norma-norma agama. Tugas

perkembangan ini berhubungan dengan masalah benar-salah,

boleh-tidak boleh, seperti jujur itu baik, bohong itu buruk, dll.

8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi, dapat

menjadi orang yang berdiri sendiri (membuat rencana, berbuat

untuk masa sekarang dan masa yang akan datang), bebas dari

pengaruh orangtua dan orang lain.

9. Mengembangkan sifat yang positif terhadap kelompok sosial dan

lembaga-lembaga, dapat mengembangkan sikap social yang

demokratis dan menghargai hak orang lain, seperti

mengembangkan sikap tolong-menolong, sikap tenggang rasa,

bersedia bekerjasama dengan orang lain, toleransi terhadap

pendapat orang lain, dan menghargai hak orang lain.


21

2.3 Konsep Prestasi Belajar

2.3.1 Pengertian Prestasi Belajar Siswa

Prestasi belajar terdiri dari dua kata yaitu prestasi dan belajar.

Antara kata prestasi dan belajar mempunya arti yang berbeda. Prestasi

adalah hasildari sebuah evaluasi terhadap individu yang dinilai.

Prestasi biasanyadigunakansebagaitanda keberhasilan dari suatuusaha

atau kegiatan yang telah dilakukan. Sedangkanbelajar merupakan

suatu unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraansuatu

pendidikan.

Suryabrata (2012) mengungkapkan, prestasi belajar lebih

mengarah ke sebuah simbol yang berbentuk angka yang menyatakan

bentuk keberhasilan dan tolak ukur kemampuan dari para peserta

didik dalam proses pembelajaran yang telah dilalui. Angka tersebut

biasanya disebut dengan nilai yang kemudian dicantumkan pada rapor

sebagai bahan evaluasi, jika nilai tinggi sudah dipastikan jika peserta

didik tersebut memiliki prestasi belajar yang baik, sedangkan jika

rendah maka sebaliknya.

Sudijono (Suryabrata, 2012) mengungkapkan, prestasi adalah

salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan nilai akhir, sebab

prestasi atau pencapaian peserta didik yang dilambangkan dengan

nilai-nilai hasil belajar pada dasarnya mencerminkan sampai sejauh

mana tingkat keberhasilan yang telah dicapai oleh peserta didik dalam

pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan bagi masing-


22

masing mata pelajaran atau bidang studi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010), prestasi

adalah “hasil yang telah dicapai”. Menurut Hamzah (2014) belajar

adalah suatu proses yang menghasilkan perubahan prilaku yang

dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh pengetahuan, ke-

cakapan, dan pengalaman baru kearah yang lebih baik, berusaha

mengetahui sesuatu. Dan menurut Zainal Aqib (2014) belajar menurut

pandangan teori kognitif diartikan proses untuk membangun persepsi

seseorang dari sebuah obyek yang dilihat.

Gagne (1977) dalam (Kokom Komalasari, 2013)

mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku

yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat,

atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan

kemampuan untuk melakukanberbagai jenis performance (kinerja).

Menurut Tukiran, Irma, d an Nyata (2013) prestasi belajar

adalah sebagian dari hal tersebut, yaitu berkenaan dengan hasil tes

yang mencerminkan kemampuan siswa dalam menguasai materi.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009) dalam (EllyFebriyani,

2013) prestasi belajar adalah suatu pencapaian tujuan pengajaranyang

ditentukan dengan peningkatan kemampuan mental siswa.Selanjutnya

menurut Gunarsa (1998) dalam Ruhali, (2013) prestasi belajar adalah

hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan usaha

belajar.
23

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan prestasi belajar

adalah hasil dari aktivitas belajar atau prestasi belajar merupakan hasil

belajar atau nilai pelajaran sekolah yang di capai oleh siswa

berdasarkan kemampuan atau usahanya dalam belajar dan biasanya

dinyatakan dalam bentuk angka atau huruf yang tertera dalam rapor.

2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar siswa

Menurut Slameto (2013) faktor yang mempengaruhi belajar

banyak jenisnya tetapi dapat digolongkan menjadi 2 golongan saja,

yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang

ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern

adalah faktor yang ada diluar individu.

Syah (2012), faktor-faktor yang mempengaruhiprestasi belajar

siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam:

1. Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa)

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi

dua aspek, yaitu:

a) Aspek Fisiologis (yangbersifat jasmaniah)

Siswa ketika belajar membutuhkankondisi badanyang sehat.

Orang yang badannyasakit akibatpenyakit-penyakit tertentu serta

kelelahan tidak akan dapat belajar denganefektif. Cacat fisik juga

akan mengganggu proses belajar siswa.

b) Aspek Psikologis (yang bersifat rohaniah)

Faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat


24

mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran

siswa.

c) Tingkat Kecerdasan/Inteligensi Siswa

Reber (Syah, 2012) mengungkapkan inteligensi adalah

kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau

menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat

Tingkat kecerdasan siswa turut menentukan tingkat keberhasilan

belajar. Semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa maka

semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, begitu pula

sebaliknya semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa

maka semakin kecil pula peluangnya untuk meraih sukses.

d) Sikap Siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektik berupa

kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tendency)

dengan cara yang relatif tetap terhadap objekorang, barang dan

sebagainya, baik secra positif maupun negative. Sikap siswa yang

positif, baik kepada guru ataupu pada mata pelajaran merupakan

pertanda yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya,

bila yang muncul adalah sikap negatif maka hal tersebut dapat

menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut sehingga prestasi

yang dicapai kurang memuaskan.

e) Bakat Siswa

Bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki


25

seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan

datang. Bakat juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu

untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada

upaya pemdidikan dan latihan. Misalnya, seorang siswa yang

berbakat dalam bidang seni, ia akan jauh lebih mudah menyerap

informasi pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan

bidang tersebut dibandingkan siswa lainnya, dengan demikian

bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi pada

bidang- bidang studi tertentu. Pemaksaan kehendak terhadap

seorang siswa ataupun ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya

sendiri, sehingga ia memilih jurusan keahlian yang kurang tepat,

akan memberikan dampak yang buruk terhadap kinerja akademik

(academic performance) ataupun prestasi belajarnya.

f) Minat Siswa

Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi

ataukeinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat ini

turutmempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam

bidang-bidang studi tertentu. Misalnya, seorang siswa yang

menaruh minat besar terhadap matematika akan memutuskan

perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya sehingga ia

belajar lebih giat dan mencapai prestasi yang diinginkannya.


26

g) Motivasi Siswa

Motivasi adalah keadaan internal organisme

mendorongnyauntuk berbuat sesuatu, dalam pengertian ini motivasi

berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkahlaku secara

terarah. Motivasi ini dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu

motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah

doronganyangberasal dari dalam diri siswa, sedangkan motivasi

ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar diri siswa

tersebu.Motivasi instrinsik lebih signifikan dari dalam dirinya

sendiri dan tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh lain.

2. Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa)

Faktor yang berasal dari luar siswa yakni kondisi

lingkungan di sekitar siswa baik itu yang terdiri atas:

a) Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf

administrasi,dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi

semangatbelajar seorang siswa, selain itu yang termasuk

lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga

teman-teman sepermainandi sekitar tempat tinggal siswatersebut,

apabila lingkungan tersebut kurang kondusif bagi kegiatan belajar

siswa tentunyahaltersebut akanberpengaruh padapencapaiam

prestasinya. Lingkungansosial yang paling utamadan paling

berpengaruh adalah orang tua dan keluarga siswa itusendiri, dalam


27

kegiatan belajar seorang anak perlu diberikan dorongandan

pengertian dari orang tua. Anak-anak suatu saat mengalami lemah

semangat, dalam hal ini orang tua berkewajiban memberikan

pengertian dan dorongan, serta semaksimal mungkin membantu

memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh anak di sekolah,

bila memungkinkan orang tua mengadakan konsultasi dengan guru

bimbingan dan konseling, guru bidang studi, dan wali kelas untuk

mengetahui perkembangan anak di sekolah.

b) Lingkungan Non Sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial adalah

gedung sekolah dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan

waktu belajar yang digunakan siswa, semua faktor tersebut

dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

c) Faktor Pendekatan Belajar (approach to lerning)

Lawson (Syah, 2012) mengungkapkan, pendekatan belajar

dapat dipahami sebagai sagalacara atau strategi yang digunakan

siswa dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses

pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini

berartiseperangkat langkahoperasionalyang direkayasa sedemikian

rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai

tujuanbelajartertentu. Faktor pendekatan belajar juga berpengaruh

terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa. Seorang

siswa yang memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dari


28

pada teman-temannya, ternyata hanya mampu mencapai hasil yang

sama atau bahkan lebih rendah karena ia menggunakan pendekatan

belajar yang kurang tepat, sebaliknya seorang siswa yang

sebenarnya hanya memiliki kemampuan yang sedang atau rata-rata,

namun ia dapat mencapai prestasi yang optimal karena ia

menggunakan pendekatan belajar yang efisien dan efektif.

Ketiga faktor di atas (internal, eksternal, dan pendekatan

belajar) saling berkaitan dan mempengaruhi satusamalain. Seorang

siswa yang belajar karena motif ekstrinsik (faktor eksternal)

biasanya cenderung memilih pendekatan belajar yang sederhana

dan tidak mendalam, sebaliknya seorang siswa memiliki intelegensi

tinggi (faktor internal) mendapat dorongan positif dari orang tuanya

(faktor eksternal) mungkin akan memiliki pendekatan yang lebih

mementingkan kualitas hasil pembelajaran, jadi karena pengaruh

faktor-faktor tersebut diatas, muncul siswa-siswa yang high-

achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi

rendah) atau gagal sama sekali.

2.3.3 Fase dan Teknik yang Efektif dalam Belajar

Syah (2012) membagi fase belajar kedalam dua fase yaitu fase

persiapan belajar dan fase proses belajar. Dalam tiap-tiap fase tersebut

cara atau teknik belajar tersendiri. Fase-fase tersebut yaitu:

1. Fase Persiapan Belajar

Fase ini merupakan fase sebelum belajar, landasan utama bagi


29

pembentukan cara belajar yang baik adalah sikap mental yang baik,

yaitu sikap mental yang di tumbuhkan dan dipelihara dengan

sebaik– baiknya agar siswa mempunyai kesadaran berupa

kesediaan mental. Tanpa kesediaan mental siswa dalam belajar

tidak akan bertahan menghadapi berbagai macam kesukaran,

terutama pada saat siswa dihadapi pada berbagai masalah yang

harus dipecahkan. Sikap mental yang perlu di usahakan oleh setiap

siswa dalam rangka persiapan belajar sekurang–kurangnya

mencakup empat segi yaitu: tujuan belajar, minat belajar terhadap

pelajaran, kepercayaan pada diri sendiri dan keuletan.

2. Fase proses belajar

Fase ini sangat menentukan seorang siswa berhasil tidaknya

diskolah, pada fase proses ini dituntut kepada siswa untuk

menerapkan cara-cara belajar yang sebaik mungkin. Hal-hal yang

perlu diperhatikan dalam fase ini antara lain adalah pedoman dalam

belajar, Cara mengikuti pelajaran, dan cara mengulangi materi

pelajaran atau membaca buku.

2.3.4 Prinsip-Prinsip Belajar

Dalam mengerjakan sesuatu seseorang harus mempunyai

prisip-prinsip tertentu begitu juga halnya dalam belajar. Untuk

menertibkan diri dalam belajar harus mempunyai prinsip sebagaimana

yang diketahui prinsip belajar memang kompleks tetapi dapat juga di

analisis dan diperinci dalam bentuk-bentuk prinsip atau azas belajar,


30

meliputi: belajar adalah suatu proses aktif dimana terjadi hubungan

mempengaruhi secara dinamis antara siswa dan lingkungan, belajar

harus senantiasa bertujuan searah dan jelas bagi siswa, belajar yang

paling efektif apabila disadari oleh dorongan motivasi yang murni dan

bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri. Senantiasa ada hambatan

dan rintangan dalam belajar karena siswa itu harus sanggup

menghadapi atau mengatasi secara tepat, belajar memerlukan

bimbingan baik itu dari guru atau tuntutan dari buku pelajaran itu

sendiri, jenis belajar yang paling utama ialah belajar dengan

berpikiran kritis, lebih baik dari pada pembentukan kebiasaan

kebiasaan mekanis, cara belajar yang paling efektif adalah dalam

pembentukan pemecahan masalah melalui kerja kelompok asalkan

masalah tersebut disadari bersama, belajar memerlukan pemahaman

atas hal-hal yang dipelajari, sehingga diperoleh pengertian-pengertian,

belajar memerlukan latihan dan ulangan agar apa-apa yang dipelajari

dapat dikuasai, belajar harus disertai dengan keinginan dan kemauan

yang kuat untuk mencapai tujuan, belajar dianggap berhasil apabila

pelajar telah sanggup menerapkan dalam prakteknya (Syah, 2012).

Banyak siswa yang telah belajar dengan giat tetapi usahanya

itu tidak memberikan hasil yang diharapkan dan sering kali

mengalami kegagalan bekerja keras belum tentu menjamin seseorang

dapat belajar dengan berhasil. Di samping itu seorang siswa perlu

memperhatikan syarat-syarat dapat belajar secara efesien atau belajar


31

dengan baik. Di antara syarat-syarat tersebut (Syah, 2012) adalah

sebagai berikut:

1. Kesehatan jasmani, badan yang sehat berarti tidak mengalami

gangguan penyakit tertentu cukup dengan vitamin dan seluruh

fungsi badan berjalan dengan baik.

2. Rohani yang sehat, tidak berpenyakit syaraf, tidak mengalami

gangguan emosional, senang dan stabil.

3. Lingkungan yang tenang, tidak ribut, serasi bila mungkin jauh dari

keramaian dan gangguan lalu lintas dan tidak ada gangguan yang

lainnya.

4. Tempat belajar menyenangkan, cukup udara, cukup matahari,

penerangan yang memadai.

5. Tersedia cukup bahan dan alat-alat yang diperlukan, bahan-bahan

dan alat-alat itu menjadi sumber belajar dan alat sebagai pembantu

belajar.
32

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Prestasi Belajar
Pola Asuh

Faktor yang mempengaruhi


Prestasi Belajar:
Faktor yang mempengaruhi Pola Internal
Asuh: Kecerdasan
Jenis pola asuh yang diterima Bakat
oleh orangtua sebelumnya Minat
Usia orangtua Motivasi
Status sosial ekonomi orangtua Eksternal
Dominasi orangtua Pengalaman
Jenis kelamin dan kondisi anak Keadaan keluarga
lingkungan

Anak usia sekolah

Sumber: Surbati (2012), Suryabrata (2012), Djamarah (2011)

Anda mungkin juga menyukai